Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 3.

Jodoh Rajawali Jilid 3.
Jodoh Rajawali Jilid - 3 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 3 “Terima kasih atas undangan Ji-wi Ciangkun, dan tentu saja saya akan suka sekali.” Dua orang perwira tinggi itu menjadi girang sekali dan seorang di antara me¬reka segera memperkenalkan diri, dan memperkenalkan kakek peminum arak berambut kemerahan itu, “Lo-enghiong ini adalah seorang tokoh pengawal ke¬percayaan Paduka Gubernur Ho-nan, dia terkenal dengan julukannya Ho-nan Ciu¬lo-mo (Setan Arak Tua dari Ho-nan) “ “Heh-heh, julukan kosong! Namaku adalah Wan Lok it!” Kakek berambut merah itu menyela dan membalas peng¬hormatan Kian Lee dengan anggukan cepala acuh tak acuh. Kian Lee tidak menjadi kecil hati melihat sikap tidak pedulian ini karena pemuda ini sudah kenyang akan pengalaman bertemu de¬ngan orang-orang sakti di dunia kang¬-ouw yang memang banyak yang berwatak aneh dan tak acuh. Mereka lalu berang¬kat, diiringkan oleh Su-clangkun yang sudah naik ke tebing dengan jalan memutar, dan anak buahnya yang seratus orang banyaknya itu, kembali ke kota Lok-yang di mana Gubernur Propinsi Ho¬-nan tinggal. Untuk menuju ke Lok-yang, mereka menyeberangi Sungai Kuning dan ternyata di sebuah pantainya telah ter¬sedia perahu-perahu pasukan itu sehingga perjalanan itu dapat dilakukan dengan mudah. Pada waktu itu, yang menjadi guber¬nur di Ho-nan, propinsi di sebelah sela¬ta Sungai Kuning itu, adalah seorang bertubuh kecil kurus, berusia lima puluh tahun bernama Kui Cu Kam. Gubernur Kui ini pun merasa tidak senang kepada kaisar banyak menggeser dan menyingkirkan orang-orang penting yang tadinya berjasa untuk kerajaan. Timbuliah rasa tidak senangnya dan jiwa kepahlawanan gubernur ini, yang menganggap Kaisar bangsa Mancu yang menjajah tanah airnya itu sudah keterlaluan. Dia sendiri adalah seorang Han tulen yang kebetulan saja masih mendapatkan kepercayaan untuk menjadi gubernur, hal yang sudah langka terjadi. Ketika mendengar betapa Jenderal Kao Liang juga dipensiun, hati¬nya makin panas dan mulailah gubernur ini berpikir untuk memisahkan diri dari kedaulatan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan mulai bertindak sewenang-wenang itu. Memang pada waktu itu Gubernur Kui sedang menantikan datangnya utusan kaisar dari kota raja. Untuk menyelimuti dan menyembunyikan niatnya untuk memisahkan diri dan berdiri sendiri, yang akan dilakukan lambat-laun setelah dia dapat menyusun kekuatan, maka Guber¬nur Kui mengadakan penyambutan besar¬-besaran. Jauh hari sebelum utusan itu tiba, istana Gubernur telah dihias dengan megah. Tamu-tamu dari seluruh propinsi, yaitu para pembesar sipil dan militer, kaum hartawan dan terkemuka, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan, semua menerima undangan. Dua orang perwira tinggi yang me¬wakili gubernur yang tentu saja sibuk sekali itu lalu mempersilakan Kian Lee untuk tinggal di sebuah kamar dekat taman, sebuah di antara kamar-kamar tamu yang banyak disediakan untuk para tamu yag dihormati. Sedangkan Si Ram¬but Merah dengan guci araknya yang sudah kosong itu segera meninggalkan taman untuk bertugas di dalam, sebagai pengawal pribadi gubernur. Ditinggal seorang diri, Kian Lee me¬meriksa kamarnya yang memang megah dan indah. Dia diberi tahu tadi bahwa pesta akan diadakan malam nanti di waktu bulan purnama untuk menyambut tamu agung dari kota raja, dan dia di¬persilakan mengaso di dalam kamar ini dan akan dikirim seorang pelayan yang akan melayani segala keperluannya. Kamar itu memang menyenangkan, terpisah dari kamar-kamar lain dan ke¬tika Kian Lee ke luar ke depan, ter¬nyata, kamarnya itu menghadapi taman dan dari situ nampak banyak kamar-kamar yang sebagian sudah ditempati orang-orang lain yang agaknya juga tamu-¬tamu dari tempat jauh yang telah datang lebih dulu. Terdengar suara nyanyian merdu diiringi yang-kim, (alat musik ber¬senar) dari beberapa buah kamar tamu itu, diseling suara ketawa. Kian Lee lalu masuk lagi ke dalam kamarnya, menutup¬kan jendela dan daun pintu karena dia ingin beristirahat sebelum menghadapi pesta itu di mana dia harapkan akan dapat memecahkan rahasia peristiwa¬peristiwa aneh yang tadi dan kalau mung¬kin mendengar berita tentang adiknya. Hari telah siang dan dia masih mem¬punyai waktu setengah hari untuk me¬ngaso. Akan tetapi belum lama dia merebahkan diri terlentang di atas pembaringan yang lunak dan hampir pulas, tiba-tiba pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara ketukan halus pada daun plntu kamar itu. Dia cepat bangkit du¬duk lalu melangkah ke pintu dan dengan hati-hati dia membuka daun pintu. Terkejutlah dia ketika melihat seorang wa¬nita muda yang amat, cantik, akan tetapi melihat wanita itu membawa sebuah baki berisi makanan dan minuman, dia dapat menduga bahwa wanita ini, biarpun ke¬lihatan cantik sekali, adalah seorang pelayan. “Maaf, Kongcu. Saya bertugas me¬layani Kongcu dan mengantar makanan dan minuman untuk Kongcu.” Kian Lee merasa agak canggung. Belum pernah dia berada di dalam kamar bersama seorang wanita muda yang can¬tik seperti itu, sungguhpun wanita itu hanyalah seorang pelayan. Tidak mungkin dia menolak, maka dia mengangguk dan mundur, memberi jalan kepada wanita itu yang melangkah masuk. Masih tercengang Kian Lee mengawasi wanita yang mem¬bawa baki itu berlenggang dengan halus, seperti lenggang seorang puteri saja, menghampiri meja, kemudian jari-jari tangan yang halus meruncing itu me¬nurunkan mangkok piring dan masakan¬masakan ke atas meja, mengatur hidang¬an di atas meja dengan sikap halus na¬mun cekatan. “Kongcu, silakan makan dan minum!” katanya lagi, suaranya merdu dan halus, juga sopan teratur, seperti kata-kata yang keluar dari seorang yang terdidik baik. “Terima kasih,” Kian Lee menjawab lalu menghampiri meja makan yang bun¬dar kecil itu. Masakan-masakan itu masih mengebul panas, nasinya putih dan di situ terdapat arak dan air teh. Cukup lengkap dan baunya sedap menimbulkan selera, apalagi karena perutnya memang sudah lapar. Akan tetapi pemuda itu tidak jadi mengambil mangkok untuk diisi masakan ketika dia melihat wanita muda itu de¬ngan langkah-langkah yang gontai menuju ke pintu, kemudian bukannya keluar dari pintu dan pergi, melainkan menutup¬kan daun pintu dengan perlahan, kemudi¬an dia melangkah kembali dan berdiri tak jauh dari meja dengan sikap menanti! Kian Lee menelan ludah, merasa ki¬kuk, lalu menoleh. “Eh, kau.... kau.... tidak pergi?” Wanita itu memandang dengan sinar matanya yang halus, lalu tersenyum. Bukan main manisnya senyum itu, se¬nyum yang sopan karena agaknya nona itu geli hatinya melihat pemuda yang gagap gugup ini. Lalu dia menggeleng kepala dan berkata, “Kongcu, mengapa saya mesti keluar? Saya telah ditugaskan untuk melayani Kongcu di sini. Silakan Kongcu makan, saya akan menanti di sini untuk melayani segala keperluan Kongcu. Silakan dan jangan malu-malu!” Kem¬bali dia tersenyum. Kia Lee mengangguk, kemudian dia mengambil mangkok kosong dan mengisi mangkok dengan nasi putih. Ketika dia mengambil sepasang sumpit dan hendak mulai menyumpit, dia mengerling dan melihat wanita itu berdiri memandangnya, dia kembali menelan ludah. “Eh, mari kau duduk dan makan ber¬sama!” katanya. Wanita itu kaget sekali, terbelalak, mukanya yang cantik dan putih halus itu menjadi kemerahan, kelihatan dia malu sekali. “Aih, Kongcu mana saya be¬rani? Silakan Kongcu makan “ “Ah, mengapa tidak? Tidak enak se¬kali makan sendiri dan kau.... kau hanya menonton. Mari kita makan bersama.” Kian Lee yang masih belum banyak pe¬ngalaman sehingga dia tidak tahu bahwa mengajak makan bersama seorang wanita muda mempunyai arti yang lain lagi, yang lebih mendalam! Tentu saja pela¬yan itu menjadi malu sekali dan muka¬nya makin merah. “Harap Kongcu tidak mempunyai mak¬sud yang bukan-bukan” katanya halus dan suaranya tiba-tiba menjadi demikian menggetar seolah-olah mengandung ke¬dukaan dan kegelisahan besar. Kian Lee terkejut dan meletakkan mangkoknya. “Eh, Nona, harap jangan salah kira. Aku tidak mempunyai maksud yang bukan-bukan, melainkan sejujurnya mengajak engkau makan. Aku.... aku tidak biasa dilayani seperti ini, dan aku mengajak, engkau makan seperti seorang sahabat, apa salahnya?” Sejenak sepasang mata yang indah jernih memandang dengan bengong dan terheran-heran, seolah-olah menjelajahi dan menyelidiki wajah Kian Lee. Kemudian wanita muda itu menghela napas panjang dan menjura. “Maaf, Kongcu, saya memang tadi salah duga. Kongcu baik sekali. Terima kaslh. Akan tetapi saya sudah makan, maka silakan Kongcu makan sendiri. Kalau Kongcu tidak biasa ditunggu seperti ini, biarlah saya main yang-kim selagi Kongcu makan, agar tidak terganggung.” Kian Lee mengangguk-angguk dan ketika dia melihat wanlta itu kini meng¬ambil sebuah alat musik yang-kim yang tergantung di dinding, kemudlan menye¬tel senar-senarnya dan duduk di atas sebuah bangku kecil di sudut kamar, agak di belakangnya, maka dia pun mulai makan. Biarpun dia makan, akan tetapi sebagian dari perhatiannya tercurah ke belakang, ke arah suara yang dibuat wanita itu, melalui pendengarannya. Ta¬dinya dia hanya mendengar suara senar yang-kim disetel, kemudian terdengar senar-senar itu dimainkan, perlahan-lahan dan merdu suaranya. Kian Lee tersenyum seorang diri. Sungguh aneh pengalamannya. Pagi tadi mengalami hal tidak enak, kini begini enaknya. Makan masakan yang lezat¬-lezat, diiringi musik yang merdu! Bukan main! Dia merasa dimanja. Di Pulau Es pun tidak seperti ini hidupnya. Bahkan ketika dia berada di istana Puteri Mi¬lana, kakak tirinya, dia pun tidak di¬manja seperti ini! Akan tetapi tiba-tiba perhatiannya makin banyak tercurah ke bela¬kangnya, ketika dia mendengar suara nyanyian yang halus merdu, nyanyian yang dilakukan dengan perlahan namun cukup jelas oleh pendengarannya, nyanyi¬an yang diiringi oleh berkentringnya se¬nar-senar yang-kim. Nyanyian itu me¬mang indah, suara lirih itu setengah berbisik-bisik amat merdunya, namun yang menarik perhatiannya adalah kata-¬kata dari nyanyian itu. “Tiada ayah tiada bunda tiada sanak keluarga badan sendiri nyaris binasa! Apa daya si dara lemah cintanya bertepuk tangan sebelah mengubur diri dalam keluh-kesah! Pendekar sakti penolong nyawa yang disanjung dan dipuja telah jauh meninggalkannya!” Nyanyian itu demikian menyedihkan, suara itu menggetar penuh perasaan se¬hingga Kian Lee tak dapat menahan diri untuk tidak menoleh. Betapa heran hati¬nya ketika dia melihat gadis yang masih mainkan yang-kim akan tetapi sudah tidak bernyanyi lagi itu menunduk dan kedua pipinya terhias butiran-butiran air mata! Gadis itu bernyanyi sambil me¬nangis! Kian Lee mengakhiri makannya, me¬neguk secangkir air teh, kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi gadis pelayan yang masih bermain yang-kim sambil menunduk itu. “Nona....!” dia memanggil. Gadis itu masih terus bermain yang¬-kim dengan perlahan, tidak menjawab seolah-olah semangatnya melayang jauh mengikuti alunan suara yang-kim. “Nona...., hentikan permainan yang-¬kim itu!” Kian Lee kembali menegur. Suara yang-kim tiba-tiba berhenti. Nona itu kelihatan terkejut, cepat me¬ngusap pipinya dengan ujung lengan baju dan bangkit berdiri, menggantungkan yang-kimnya dan menghampiri meja. “Maaf apakah Kongcu telah selesai makan?” tanyanya, suaranya masih setengah berbisik dan mengandung isak tertahan. Kian Lee mengangguk dan memandang gadis itu membereskan mangkok, piring, menumpuknya di atas baki, kemudian berkata, “Saya menyingkirkan mangkok piring dulu, sebentar saya kembali. Apa¬kah Kongcu perlu diambilkan sesuatu?” Kian Lee menggeleng dan hanya me¬mandang ketika wanita itu keluar dari kamarnya. Dia termenung, masih ter¬ngiang di telinganya isi nyanyian kuno tentang seorang wanita ditinggalkan ke¬kasihnya. Akan tetapi mengapa gadis itu bernyanyi sambil menangis? Dia memandangi yang-kim yang kini tergantung di dinding, semuanya melayang-layang dan terbayanglah dia kepada wajah Ceng Ceng, , keponakannya atau bekas kekasihnya, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, cinta pertamanya yang gagal. Nyanyian gadis pelayan itu menbangkit¬kan kenang-kenangan ini dan berulang kali Kian Lee menghela napas. Di dunia ini mengapa terdapat begitu banyak orang yang menderita sengsara karena cinta? Memang cinta banyak mendatangkan derita? Cintakah yang mendatangkan derita itu? Ataukah kegagalannya? Lebih tepat lagi, bukankah karena keinginan hati tak tercapai itulah yang mendatangkan hati sengsara? Sengsara yang timbul karena kecewa, karena harapan hampa. Daun pintu terbuka halus dan gadis itu melangkah masuk, menutupkan kembali daun pintu. “Mengapa ditutup?” Kian Lee me¬negur. “Agar tidak nampak dari luar, kalau Kongcu merasa gerah, bagian atas daun jendela dapat dibuka,” jawabnya halus dan tanpa diperintah, gadis itu lalu mem¬buka daun jendela bagian atas sehingga pemandangan di luar dapat nampak se¬bagian. “Nona, kenapa kau kembali ke sini? Aku sudah selesai makan dan aku tidak butuh apa-apa lagi. Nona boleh beristirahat di tempat Nona sendiri.” Gadis itu memandang Kian Lee, ke¬mudian menjawab sambil menunduk, “Sa¬ya bertugas melayani Kongcu sambil menanti datangnya saat pesta dimulai. Dan saya.... saya senang di sini me¬layani Kongcu....” “Hemmm.... sesuka hati Nona sajalah. Apakah Nona juga bertugas melayani bercakap-cakap?” Gadis itu mengangkat muka meman¬dang merasa betapa lucunya kata-kata itu dan tersenyum, sama sekali tidak mengandung keriangan hati sungguhpun amat manis. “Tentu saja, Kongcu.” “Nah, kalau begitu, aku ingin meng¬ajak kau omong-omong. Pertama, aku ingin membicarakan tentang isi nyanyian¬mu tadi.” “Ehhh....?” Gadis itu memandang heran. “Maksudku, aku ingin tahu siapakah dara yang merana itu dan siapa pula pendekar yang begitu kejam meninggalkannya.” Gadis itu menunduk. “Kongcu.... itu hanya.... hanya nyanyian.... dongeng....” “Hemmm, perlukah dongeng nyanyian ditangisi? Ada kulihat engkau menangis ketika bernyanyi tadi.” “Ohhhhh....“ Gadis itu terkejut dan kini menundukkan mukanya. Kian Lee mengerutkan alisnya dan memandang penuh perhatian. Ternyata gadis itu dengan susah payah menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dua butir air mata seperti mutiara berkilauan menggantung di bulu matanya dan akhir¬nya bergerak perlahan menuruni kedua pipinya. “Nona, aku dapat menduga bahwa engkau sedang mengalami tekanan batin yang hebat. Engkau sedang menderita sengsara dan kalau kau percaya kepada¬ku, kau ceritakanlah kesengsaraanmu itu. Siapa tahu aku akan dapat menolongmu, Nona. Akan tetapi kalau kau tidak per¬caya kepadaku, sudahlah, kau boleh pergi meninggalkan aku sendiri dan terima kasih atas semua pelayananmu yangbaik.” “Ahhh.... Kongcu....!” Gadis itu mengusap air matanya dan mengangkat muka memandang. “Harap maafkan sa¬ya.... tentu saja saya percaya kepada Kongcu. Sekali bertemu saja saya tahu bahwa Kongcu adalah seorang yang amat baik.” “Kalau begitu, kaukatakanlah, siapa dara yang kaunyanyikan tadi?” Gadis itu kembali menunduk. “Dia.... dia.... adalah saya sendiri, Kongcu.” “Hemmm,.... sudah kuduga demikian. Dan siapakah Si pendekar yang tak tahu dicinta orang itu?” “Dia.... dia.... adalah penolong saya....“ Gadis itu menjawab dengan muka merah sambil menunduk, kemudian dia meng¬hela napas seperti orang mengambil ke¬putusan dan mengangkat muka, berkata “Sebaiknya saya ceritakan sejelasnya kepada Kongcu. Terjadi kira-kira tiga bulan yang lalu, Kongcu. Saya adalah anak sulung seorang kepala kampung dari dusun Can-li-cung. Pada suatu malam, dusun kami diserbu perampok-perampok dan seluruh keluarga saya terbunuh.... Ayah, Ibu, dan tiga orang adik-adik sa¬ya....“ Wanita itu memejamkan mata dan dua butir air mata kembali meloncat ke luar. Kian Lee membiarkan gadis itu berdiam diri sejenak untuk menenteram¬kan hatinya yang tentu saja dilanda ke¬dukaan mengenangkan itu semua. Dia merasa kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja tadi bernyanyi “Tiada ayah tiada bunda tiada sanak keluarga,” kira¬nya semua keluarganya terbasmi habis oleh perampok jahat! “Saya sendiri lalu diculik oleh peram¬pok-perampok itu, dibawa lari ke dalam cengkeraman manusia-manusia Iblis dan akan mengalami hal yang lebih mengeri¬kan daripada kematian sendiri, akan te¬tapi saya tidak berdaya, Kongcu. Dalam keadaan seperti itu, munculiah pendekar sakti itu yang dengan gagah perkasa membasmi semua perampok sampai tidak ada seorang pun yang terlewat! Tentu saja saya berterima kasih sekali kepada¬nya, Kongcu. Dia begitu baik, dia begitu gagah, dan kalau tidak ada dia.... ah, ngeri saya membayangkan“ “Hemmm, lalu bagaimana?” Kian Lee bertanya dan di dalam hatinya dia mak¬lum. Pantas saja gadis ini jatuh cinta kepada penolangnya itu. “Penolong saya itu tentu saja men¬dapat penghargaan dari gubernur karena dia telah berhasil membasmi pecampak yang suka mengganas itu. Dan saya.... oleh penolong saya itu saya lalu dititip¬kan kepada gubernur, karena keluarga saya telah habis.... kemudian.... dia pergi, meninggalkan saya seorang diri di sini....“ “Hemmm, dan kau lalu bekerja se¬bagai pelayan di sini? Apakah engkau mengalami hal-hal yang tidak menyenang¬kan di sini?” “Tidak, tidak, Kongcu.... Paduka gubernur baik sekali.... saya menjadi seorang pelayang yang terkasih juga oleh Nyonya dan semua keluarga. Akan tetapi, Kongcu tahu sendiri.... sebagai seorang pelayan.... dan saya kadang-kadang harus melayani tamu-tamu....“ “Aku mengerti, Nona. Eh, bolehkah saya mengetahui namamu?” “Nama saya Cui Lan, Phang Ghui Lan” “Nama yang indah sekali, Cui Lan. Akan tetapi mengapa.... mengapa.... kau tadi bernyanyi mengenangkan pendekar penolongmu yang kau cinta itu?” “Kamar ini, Kongcu. Kamar inilah kamar pendekar itu ketika dulu dia ber¬malam di sini. Saya yang selalu mem¬bersihkannya dan melayaninya, akan te¬tapi dia.... dia pergi. Dan kamar ini tidak pernah dipakai lagi, akan tetapi selalu saya rawat dan saya bersihkan, kalau-kalau.... dia datang kembali ke sini...., akan tetapi sekarang kamar ini dibuka karena banyaknya tamu dan kebetulan Kongcu dipeersilakan bermalam di sini....“ Suaranya gemetar. “Siapa nama pendekar penolongmu itu?” “Itulah yang menyusahkan hati saya, Kongcu. Saya tidak tahu namanya, bahkan di sini pun tidak ada yang tahu na¬nanya. Dia masih muda, rambutnya pan¬jang terurai akan tetapi berwarna putih seperti perak, dia.... dia tampan dan gagah, pendiam dan penuh rahasia. Kian Lee meraba dahinya dan menge¬rutkan alisnya. “Masih muda, rambutnya putih terurai, lihai sekali? Hemmm.... pernah aku mendengar tokoh seperti itu. Bukankah orang-orang menyebutnya Pen¬dekar Siluman Kecil?” “Benar!” Dara itu berseru penuh ha¬rapan. “Apakah Kongcu sudah mengenal¬nya!?” “Sayang sekali belum. Apalagi me¬ngenalnya, bertemu muka pun belum pernah. Aku hanya mendengar berita orang saja....“ Tiba-tiba Kian Lee menghentikan kata-katanya karena dia melihat berkele¬batnya seseorang di depan kamar itu. Hanya kelihatan kepala orang itu yang menoleh ke dalam, seperti orang men¬jenguk dan terdengar suara orang itu mendehem kecil “ehmmm....“ Wajah Kian Lee menjadi merah dan cepat dia membuka daun pintu, kamarnya. Ketika dia memandang, dia melihat se¬orang laki-laki yang tadi lewat di depan pintu kamar itu, kini sudah memasuki taman, menyeberang sebuah jembatan taman dan orang itu menoleh kepadanya, lalu tersenyum dengan sinis. Kian Lee menjadi penasaran, akan tetapi orang itu sudah membuang muka dan tidak menoleh lagi, lalu berjalan pergi dan lenyap di tikungan bangunan, Kian Lee memasuki kamarnya lagi. “Siapa dia?” tanya Kian Lee kepada¬ gadis itu yang kelihatannya memandang khawatir. “Yang menjenguk tadi?” Bibir yang merah tipis itu berjebi tanda muak dan tidak senang. “Dia pun seorang tamu, kabarnya dia pengawal dari Ouw-taijin, seorang pembesar berpangkat Tee-tok dari San-sian. Rombongan Ouw-teetok itu kepala pengawal she Bu. Orangnya menjemukan sekali, Kongcu, sejak kemarin dia selalu berusaha untuk menggoda saya kalau kebetulan bertemu.” “Hemmmmm....“ Diam-diam Kian Lee mencatat laki-laki berusia empat puluhan tahun bermuka hitam dan berkumis lebat itu. Dia masih membuka daun pintu dan ketika dia hendak menutupkan daun pin¬tu, tiba-tiba terdengar suara berisik dan datanglah lagi beberapa orang tamu yang agaknya juga memperoleh kamar-kamar di dekat taman itu. Agaknya mereka itu hanyalah pengawal-pengawal dari pem¬besar yang baru datang. Akan tetapi ketika Kian Lee memandang kepada rom¬bongan orang itu, dia terkejut sekali me¬lihat salah seorang di antara mereka yang dikenalnya. Seorang wanita yang cantik pesolek, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, namun tubuhnya masih ramping dan padat terpelihara, sinar matanya tajam dan kerlingnya menyam¬bar-nyambar ganas, di pinggangnya ter¬gantung pedang dengan sarung pe¬dang yang terukir indah. Itulah Mauw Siauw Mo-li, Si Siluman Kucing wanita yang lihai bukan main, ahli peledak, dan masih sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Wanita ini merupakan se¬orang tokoh yang amat ditakuti, dan ke¬tika terjadi huru-hara pemberontakan dua orang Pangeran Liong, wanita ini pun mengambil bagian yang penting. Mau ape wanita tokoh sesat yang amat berhahaya itu berkeliaran di sini, pikir Kian Lee dan hatinya mulai tertarik. Tentu akan ter¬jadi peristiwa penting di tempat ini pikirnya. Cepat dia masuk kembali agar tidak kelihatan oleh Siluman Kucing itu. Agak¬nya akan banyak kaum persilatan dan tokoh-tokoh golongan hitam yang datang ke tempat ini, pikirnya. Entah siapa gerangan utusan kaisar dari kota raja itu dan tentu akan terjadi seuatu yang hebat. Dia harus waspada. “Sudahlah,.... Cui Lan. Sekarang lebih baik kautinggalkan aku sendiri, tidak baik kalau kita berdua berada di dalam kamar ini terlalu lama. Aku khawatir kalau¬-kalau orang akan menduga jelek kepada¬mu” “Tapi, Kongcu…. saya justeru takut untuk pergi meninggalkan Kongcu“ Kata gadis itu mulai basah dengan air mata. “Harap Kongcu jangan menyuruh saya pergi saya takut kalau saya harus melayani tamu lain. Jangan-jangan saya akan disuruh melayani pe¬ngawal Ouw-teetok itu, dia sudah terus mengincarku. Kongcu, saya mohon ke¬padamu, harap Kongcu perbolehkan saya berada di sini selama orang-orang ini belum pergi. Saya takut....“ Suma Kian Lee memandang dengan kasihan dan tersenyum. “Kenapa kalau di sini bersama aku tidak takut? Kau pun belum mengenal aku, Cui Lan.” “Tidak, kalau di sini saya tidak takut. Saya tahu bahwa Kongcu tentu tidak akan mengganggu gaya “ “Hemmm, baiklah.... akan tetapi aku hendak mengaso, Cui Lan.” “Mengasolah, Kongcu, saya akan du¬duk di sini saja. Apakah saya harus ber¬main yang-kim untuk Kongcu?! “Tidak usah. Aku hendak mengaso dan aku tidak ingin melihat engkau menangis lagi menyanyikan lagu yang sedih itu.” Kian Lee lalu merebahkan dirinya di atas pembaringan, sedangkan Cui Lan duduk di atas bangku seperti orang melamun. Tentu. saja ditunggui orang seperti itu, seorang gadis cantik lagi, Kian Lee tidak dapat tidur. Akhirnya dia bangun dan mengajak Cui Lan bermain catur yang memang disediakan di dalam kamar itu. Ternyata gadis ini pandai bermain catur, sehingga untuk beberapa lamanya Kian Lee asyik bermain catur bergembira dan lupa seolah-olah dia se¬dang bermain catur dengan seorang sa¬habat lama. Juga gadis itu kadang-kadang tertawa kecil dan melupakan kedukaan¬nya. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang begitu sopan, halus dan sama sekali tidak pernah kurang ajar sehingga dia merasa terhibur dan se¬olah-olah memperoleh seorang sahabat yang amat baik dan boleh diandalkan. Waktu lewat tak terasa dan selama itu Kian Lee mendengar datangnya rom¬bongan demi rombongan para tamu. Akhirnya senja tiba dan Kian Lee lalu mencuci muka dengan air hangat yang diambilkan oleh Cui Lan. Setelah ber¬tukar pakaian dan diberi tahu oleh Cui Lan bahwa bulan telah muncul dan pesta akan dimulai, bahkan sebagaian para tamu sudah memasuki taman, Kian Lee lalu meninggalkan Cui Lan, memesan ke¬pada Cui Lan untuk menutupi pintu dan jendela dan kalau terjadi sesuatu supaya menjerit saja. Dia langsung memasuki taman yang telah diatur dan dihias untuk keperluan pesta di malam hari itu untuk menyambut datangnya tamu agung dari kota raja. “Selain sinar bulan yang belum ter¬la1u tinggi sehingga sinarnya masih belum terang benar, juga banyak digantung lampu-lampu yang berbentuk lentera-¬lentera yang beraneka macam, digantung di pohon-pohon dan di tempat-tempat yang disediakan khusus untuk keperluan itu. Di sudut taman terdapat serombong¬an tukang main musik membunyikan alat musiknya sehingga suasana menjadi meri¬ah. Tamu-tamu mulai berdatangan, di¬sambut oleh petugas-petugas dan diper¬silakan duduk di tempat masing-masing yang sudah disediakan sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka. Semua bupati dan pembesar-pembesar di seluruh wilayah Propinsi Ho-nan datang. Mereka ini rata-rata membawa pengawal masing¬masing yang terdiri dari orang-orang yang bertubuh kokoh kekar dan berwajah serem-serem, kelihatannya lihai dan ang¬kuh gerak-geriknya. Kian Lee yang kebagian tempat duduk di bagian belakang, yaitu tempat para tamu undangan terdiri dari orang-orang kang-ouw yang tidak memiliki pangkat, sengaja memilih tempat duduk dekat kolam, agak menyendiri akan tetapi dari tempat itu dapat melihat ke seluruh tempat duduk para tamu sampai tempat duduk tuan rumah dan tamu agung yang telah dipersiapkan di panggung, agak tinggi dari tempat duduk lainnya. Sebentar-sebentar Kian Lee menengok apa¬bila ada tamu baru datang dan dia pun menoleh ke sana-sini untuk melihat ba¬rangkali ada adiknya di antara sekian banyak tamu itu. Hatinya lega ketika melihat bahwa yang berkumpul adalah tokoh-tokoh baru yang tidak dikenalnya. Tidak kelihatan tokoh-tokoh lama, dan yang dia kenal hanyalah si wanita genit Siluman Kucing Mauw Siauw Mo-li yang untung duduk¬nya di seberang cukup jauh dari tempat dia duduk. Suasana makin gembira de¬ngan suara para tamu yang mulai ber¬cakap-cakap sambil makan kwaci yang telah lebih dulu disediakan di atas piring di meja masing-masing. Suara kletak¬-kletik orang makan kwaci bercampur dengan suara orang-orang bicara, dilatar¬belakangi suara musik yang meriah. Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Guber¬nur Ho-nan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh kurus kecil dan berpakaian gemerlapan indah, sejak tadi sudah duduk di tempatnya. Sebagai seorang gubernur atau pembesar yang paling tinggi kedudukannya, dia tidak menyambut tamu sendiri, melainkan di¬wakili oleh pembesar-pembesar bawahan¬nya dan dia hanya duduk sambil meng¬angguk sebagai balasan salam dari para tamu yang baru berdatangan dan yang memberi hormat kepadanya. Gubernur ini kelihatan gembira dan tersenyum-senyum sambil menoleh ke kanan kiri. Di bela¬kangnya berdiri pasukan pengawal yang dikepalai oleh Si Rambut Merah yang selalu membawa guci arak itu. Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It pada kesempatan itu pun mengenakan pakaian yang baru untuk menghormat tamu, akan tetapi tetap saja bibirnya berlepotan arak! Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari pasukan pengawal di pintu gerbang depan, sambung-menyambung memberi¬tahukan bahwa tamu agung, yang mulia utusan kaisar telah tiba! Semua tamu bangkit berdiri dan pintu kehormatan yang berada di tengah-tengah menghubungkan taman dengan istana gubernur dibuka oleh para penjaga. Para pemain musik yang sudah dipesan lebih dulu kini me¬mainkan musik yang berbunyi gagah, se¬olah-olah hendak mengiringkan datangnya tamu agung. Maka tampaklah iring-iringan tamu agung itu. Seorang pemuda yang ber¬wajah tampan sekali, berpakaian indah gemerlapan, melangkah masuk ke dalam taman, dengan senyum di bibir dan mata¬nya memandang ramah ke kanan kiri. Pemuda tampan ini diiringkan oleh tiga losin orang pengawal istana yang juga berpakaian gagah dan indah dan melihat bulu burung menghias kepala mereka serta pakaian mereka yang gemerlapan seperti terhias banyak emas, tahulah orang bahwa tiga losin pengawal itu adalah pasukan pengawal Kim-i-wi (Pengawal Baju Emas) yang terkenal, dan bulu di kepala itu menunjukkan bahwa mereka termasuk anggauta pasukan Kuku Garuda yang terkenal lihai dan berkepandaian tinggi. Di kanan kiri pemuda tampan itu berjalan pelindungnya, dua orang jagoan pengawal kaisar dari kota raja, komandan dari pasukan Kuku Garuda yang tersohor, yang dahulu terangkat tinggi-tinggi nama¬nya berkat pimpinan Puteri Nirahai yang gagah perkasa. Di belakang pemuda tam¬pan itu berjalan sebagai pengiring atau pengantarnya, seorang kakek tinggi kurus berjenggot putih yang melihat pakaiannya juga bukan berpangkat rendah. Dia ini adalah Gubernur Hok Thian Ki, gubernur dari Propisi Ho-pei yang berada di utara Ho-nan dan di mana kota raja terletak. Di belakang Gubernur Hok ini berjalan parapengawalnya, dikepalai oleh seorang laki-laki bermata sebelah, akan tetapi mata yang tinggal satu ini bukan main ¬tajam sinarnya. Orang-orang banyak yang mengenal Si Mata Satu ini yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw (Si Mata Satu Tangan Sakti), jagoan dari Mo-pei yang menjadi pengawal Gubernur Hok. Akan tetapi Kian Lee tidak mem¬pedulikan orang lain yang tidak dikenal¬nya, pandang matanya tertuju kepada ppmuda tampan yang bersikap tenang dan berwajah ramah itu. Kiranya utusan kai¬sar itu adalah putera kaisar sendiri, ya¬itu Pangeran Yung Hwa yang terkenal sebagai pangeran yang suka membantah dan melawan kehendak kaisar, itu, pange¬ran yang suka minggat dari istana untuk memprotes kehendak kaisar yang menjadi ayahnya! Juga Kian Lee mendengar bah¬wa pangeran yang amat tampan ini per¬nah menjadi saingannya, karena pangeran ini kabarnya pernah jatuh cinta kepada Ceng Ceng! Maka, tentu saja hatinya tertarik dan dia memperhatikan dengan seksama. Setelah tiba di ruangan itu, di depan Gubernur Kui sebagai tuan rumah, sam¬bil tersenyum Pangeran Yung Hwa lalu mengeluarkan len-ki (bendera utusan atau wakil kaisar dan mengangkatnya tinggi ke atas kepalanya. Melihat ben¬dera ini, Gubernur Kui lalu menjatuhkan diri berlutut dan hal ini diikuti oleh semua orang yang hadir di situ karena bendera ini dianggap sebagai kehadiran kaisar sendiri. “Hamba Kui Cu Kan Gubernur Ho¬-nan siap menerima perintah Sri Baginda Kaisar,” Kui-taijin berkata dengan suara merendah dan terdengar nyaring karena semua orang yang berlutut tidak ada yang berani membuka suara. Pangeran Yung Hwa mengeluarkan sebuah gulungan kain tertulis, kemudian komandan pasukan pengawal Kuku Garuda yang dua orang itu lalu membuka gulung¬an ini di depan Pangeran Yung Hwa agar mudah bagi pangeran muda itu untuk membacanya. Dengan suara lantang Pa¬ngeran Yung Hwa lalu membaca amanat dari kaisar yang ditujukan kepada seluruh pejabat di Ho-nan sampai kepada rakyatnya. Diperintahkan oleh kaisar agar semua rakyatnya, terutama gubernur dan para pejabat pemerintahnya, menjaga¬ tata tertib kerajaan, jangan ada yang menyeleweng daripada peraturan yang telah diadakan. Akhirnya diperingatkan bahwa setiap penyelewengan akan di¬hancurkan sampai ke akar-akarnya. Baru saja membaca sampai di situ, tiba-tiba terdengar suara mengejek, suara sinis yang keluar dari lubang hidung, da¬tangnya dari arah sudut di mana banyak terdapat orang-orang yang semua juga sedang berlutut sehingga sukar untuk di¬ketahui siapa orangnya yang mengeluar¬kan suara ejekan yang amat jelas ter¬dengar tadi itu. Pangeran Yung Hwa menghentikan bacaanya dan bertanya dengan nada suara halus, namun penuh wibawa, “Siapa yang berani mentertawa¬kan amanat Sri Baginda Kaisar?” Tentu saja tidak ada seorang pun yang menjawab. Mereka semua masih saja berlutut, bahkan tidak ada yang berani mengangkat kepala. Semua ini tampak oleh Kian Lee yang biarpun ikut pula berlutut akan tetapi dia miringkan kepalanya sehingga dia dapat mengintai ke depan. “Hemmm, tidak ada yang mau meng¬aku, ya?” Pangeran Yung Hwa menjadi marah juga, merasa diejek dan dihina sebagai utusan kaisar. Dia menoleh ke¬pada Gubernur Hok dari Ho-pei dan mem¬beri isyarat. Gubernur ini lalu berbisik kepada jagoannya yaitu Tok-gan Sin-ciang Si Mata Satu. “Baik, akan hamba tangkap dia!” Orang bermata sebelah ini mengangguk dan tiba-tiba dia menggerakkan kakinya dan seperti seekor burung garuda saja, tubuhnya sudah mencelat bagaikan ter¬bang menyambar ke sudut tadi. Tangan¬nya yang kurus itu, dengan lengan yang panjang, mencengkeram ke depan, ke arah seorang laki-laki yang berlutut di dekat pot bunga cemara katai. Orang itu terkejut bukan main, tidak mengira bah¬wa Si Mata Satu itu demikian cepat gerakannya. Dia mengangkat lengan me¬nangkis. “Dukkkkk!” Keduanya terhuyung dan orang itu cepat meloncat berdiri. Maka bertandinglah Si Mata Satu melawan orang ini. Kian Lee mengerling, dan ter¬heran-heran ketika mengenal orang yang diserang oleh Si Mata Satu itu, karena dia itu ternyata adalah laki-laki yang sore tadi lewat di depan kamarnya, ber¬dehem dan kemudian tersenyum sinis kepadanya, lakl-laki muka hitam yang berkumis lebat, yang menurut Cui Lan bernama Bu Ok Ti, pengawal dari Ouw¬tee-tok bupati kota San-sian! Dan ter¬nyata orang bermuka hitam yang agak¬nya tergila-gila kepada Cui Lan itu juga memiliki kepandaian hebat! Gerakannya cukup lincah dan kuat sehingga pertan¬dingan antara dia dan Si Mata Satu itu berlan seru dan dahsyat. Biarpan di situ terdapat banyak orang, bahkan banyak orang pandai, diantara¬nya terdapat Suma Kian Lee, akan tetapi tidak ada yang tahu bahwa Si Muka Hitam inilah yang tadi mengejek amanat¬-amanat dari kaisar. Hal ini adalah ka¬rena mereka semua berlutut. Sebaliknya, sebagai pengawal rombongan utusan kaisar, Si Mata Satu tadi tidak brlutut maka matanya yang tinggal sebelah dan amat tajam pandangnya itu depat melihat siapa yang telah mengejek itu, maka dia dapat langsung turun tangan hendak menangkap Si Muka Hitam. Pertandingan makin seru, akan tetapi para tamu tidak ada yang berani bergerak. Pangeran Yung Hwa masih berdiri dengan leng-ki, bendera yang berkuasa itu, di tangan dan diangkat tinggi-tinggi. Dan dua orang yang bertanding itu ber¬loncatan ke sana-sini, mencari tempat-¬tempat kosong. Akan tetapi akhirnya Si Muka Hitam itu terdesak juga, repot dia menghadapi kelihaian Tok-gan Sin-ciang yang memiliki tangan sakti, pukulan¬pukulan keras, dan tenaga sinkang yang membuat pukulannya mendatangkan angin bersuitan itu. Mulailah Bu Ok Ti me¬loncat ke sana-sini berputar-putar menghindarkan diri dari serangan-serangan maut itu. Akan tetapi, sambil meloncat seperti terbang, yaitu loncatan ginkang istimewa yang dikuasai oleh Si Mata Satu, Tok-gan Sin-ciang menyerbu dan melewati banyak kepala orang, menubruk dan dengan suatu totokan kilat akhir¬nya dia berhasil merobohkan Bu Ok Ti. Tok-gan Sin-ciang lalu menyeret ta¬wanannya itu, hendak dibawa ke depan Pangeran Yung Hwa. Kian Lee yang sejak tadi melirik dengan penuh perhati¬an, dapat melihat ini semua. Akan tetapi ketika Tok-gan Sin-ciang lewat di dekat si tokoh sesat Siluman Kucing, dia berteriak mengaduh dan roboh! Gegerlah keadaan ketika Tok-gan Sin¬ciang roboh itu. Komandan pengawal Kuku Garuda yang lihai tentu saja dapat melihat bahwa robohnya Tok-gan Sin¬ciang adalah ketika lewat di depan Silu¬man Kucing, maka sambil berseru keras, seorang di antara mereka meloncat dan menerkam ke arah Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini terkekeh dan bangkit berdiri ialu menangkis, tangkisan hebat yang membuat komandan itu hampir terjeng¬kang karena dia tidak menyangka sama sekali bahwa perempuan cantik itu se¬demikian hebat tenaga sinkangnya. Maka mereka lalu bertempur, lebih hebat dari¬pada pertempuran yang tadi. Tok-gan Sin-ciang dan Bu Ok Ti sudah tak dapat bergerak dan kini pertandingan antara komandan Kuku Garuda yang bermata sipit melawan Mau Siauw Mo-1i terjadi lebih cepat lagi. Tidak percuma Si Mata Sipit menjadi komandan Kuku Garuda dan kini dipercaya untuk menjadi seorang di antara dua pengawal pribadi utusan kai¬sar, karena memang hebat kepandaian¬nya. Biarpun Mauw Siauw Mo-li adalah seorang tokoh lalim sesat yang amat lihai, ternyata komandan ini dapat meng¬imbangi kecepatannya dan para tamu yang kini berani mengangkat muka, menjadi silau menyaksikan pertempuran di antara mereka yang demikian cepatnya. Mauw Siauw Mo-li telah mengeluarkan sebatang pedangnya dan kini pedang itu diputar sedemikian rupa, lenyap bentuk pedang¬nya berubah menjadi segulung sinar hijau yang menyilaukan mata. Akan tetapi komandan itu pun mengeluarkan sebatang pedang yang sinarnya putih, sehingga tampaklah pemandangan yang amat in¬dah, dua gulungan sinar hijau dan putih, saling belit di antara berkelebatnya bayangan mereka, seolah-olah dua orang penari yang sedang bergaya dengan meng¬gunakan selendang hijau dan putih. Akan tetapi semua orang merasa tegang kare¬na maklum bahwa “selendang” hijau dan putih itu adalah sinar-sinar pedang yang mematikan. Sambil mengeluarkan suara aneh se¬perti kucing terinjak ekornya, Mauw Siauw Mo-li mengirim tusukan kilat dan tangan kirinya juga menghantam dengan pukulan beracun yagg mengeluarkan uap hitam. Komandan itu terkejut dan cepat dia meloncat ke belakang. Akan tetapi ketika dia meloncat tiba di dekat tempat Gubernur Ho-nan atau tuan rumah yang sedang berlutut, tiba-tiba ada angin me¬nyambar ke arah punggungnya. “Tranggg....!” Untung dia cepat me¬nangkis dengan pedangnya yang dikelebat¬kan ke belakang dan ternyata yang me¬nyerangnya adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang tadi menggunakan guci araknya sebagai senjata! Kiranya guci arak itu brkan hanya terdapat arak untuk diminum, akan tetapi juga merupakan sebuah sen¬jata yang aneh dan ampuh! Tanpa banyak cakap, Ho-nan Ciu-lo-mo yang tentu saja sudah mendapat perkenan dan isyarat dari Gubernur Kui itu, terus menerjang dan mengeroyok komandan bermata sipit dari istana iaisar itu. “Penjahat pemberontak!” Komandan ke dua dari Kuku Garuda yang jenggotnya lebat, sudah menerjang maju dan dengan pedangnya yang bersinar putih pula dia telah menerjang Ciu-lo-mo sehingga kini pertandingan terpecah menjadi dua. Dua orang komandan itu melawan Mauw Siauw Mo-li dan Ciu-lo-mo. Kini keadaan menjadi makin geger. Semua tamu sudah bangkit berdiri dan kini para jagoan Ho-nan sudah menerima perintah lalu maju, disambut oleh pasu¬ken penwal Kuku Garuda yang tiga losin jumlahnya itu. Terjadilah pertem¬puran yang kacau-balau dan hebat. Kian Lee juga sudah melompat ber¬diri, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa, tidak tahu mengapa ada pertempuran di antara orang-orang pe¬merintah sendiri. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri dikejar ole Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia ketika hendak menangkapnya di celah tebing. Melihat ini dia cepat meloncat dan mengejar secepatnya bagai¬kan seekor burung terbang karena dia mengkhawatirkan keselamatan pangeran itu. Dilihatnya betapa Pangeran Yung Hwa lari ke luar dari taman dan terus dikejar oleh perwira Su Kiat dengan sikap mengancam, maka dia pun mem¬bayangi dan siap untuk menolong apabila pangeran itu terancam bahaya. *** Kita tinggalkan dulu keributan yang terjadi di taman istana Gubernur Ho¬-nan, Kui Cu Kam, yang ternyata diam-¬diam mempersiapkan pemberontakan itu, dan agar tidak terlalu lama tertinggal, maka sebaiknya kita menengok keadaan Puteri Syanti Dewi di Istana Raja Bhutan. Pada suatu senja yang dingin. Musim¬ dingin telah mulai di Bhutan dan udara amat dinginnya, menyusup ke tulang sumsum sehingga semua orang yang mem¬beranikan diri ke luar dari rumah tentu memakai baju yang tebal atau baju bulu, dengan kopyah atau pelindung kepala bulu yang menutup kedua telinga. Hanya orang-orang yang mempunyai keperluan penting saja mau ke luar dari rumah yang hangat di saat seperti itu. Di dalam rumah, hawanya hangat dan nyaman karena setiap rumah tentu me¬nyalakan api di dalam perapian. Tidak ada angin berkelisik di dalam taman istana Bhutan. Pohon-pohon berdiri se¬perti mati, sungguhpun daun-daunnya masih segar dan berwarna hijau kehitam¬an karena sinar matahari sudah menyu¬ram. Hanya di langit barat saja tampak awan-awan seperti terbakar merah yang nampak nyata dan luar biasa dibawah langit yang biru. Burung-burung sudah sejak tadi bergegas pulang dan berlindung ke sarang masing-masing, di pohon-pohon atau di batu-batu gunung, mendekam dengan bulu mekar untuk menghangatkan tubuh. Tiada nampak seauatu bergerak di dalam taman yang penuh bunga itu dan bunga-bunga pun agaknya mulai mengaso, tidak berseri-seri seperti di siang hari. Seluruh dunia, dan langit biru sampai air empang teratai di dalam taman yang tidak bergerak sedikit pun, nampaknya lengang dan hening, merupakan suatu keseluruhan yang tidak pernah terpisah senapas dan tercakup dalam keiindahan yang satu. Akan tetapi di dalam kesunyian senja yang indah itu, tampak ada seorang wa¬nita muda duduk seorang diri di dalam taman istana, memandang dengan sinar mata kosong dan sayu ke arah bunga-bunga teratai merah di atas empang. Dia seorang wanita yang amat cantik jelita, usianya kurang lebih dua puluh tahun, dan dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa dia bukanlah wanita biasa, bukan¬lah pelayan istana. Wajahnya cantik se¬kali, dengan hidung mancung dan mata yang lembut pandangnya, namun mulut yang bentuknya indah mengaairahkan itu membayangkan kekerasan hati. Dia adalah Puteri Syanti Dewi, puteri Rja Bhutan yang terkasih, disayang oleh raja dan ratu, disayang pula oleh para punggawa, dan dipuja oleh rakyat Bhutan. Bagi rakyat Bhutan, Puteri Syanti Dewi seolah merupakan bulan yang me¬nyinarkan keindahan dan kegembiraan. Apalagi setelah puteri yang tadinya di¬anggap telah hilang atau mati, setelah puteri ltu lenyap bertahun-tahun, ke¬mudian muncul kembali dalam keadaan selamat, sehat bahkan lebih cantik jelia! Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan pengalaman Puteri Syanti Dewi ini ketika bersama Lu Ceng atau Ceng Ceng dia mengalami banyak sekali hal-hal yang hebat sampai akhirnya dia berhasil kembali ke Bhutan. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali di¬ceritakan pula betapa Puteri Syanti Dewi akhirnya menemukan cintanya dalam diri Ang Tek Hoat, pemuda perkasa yang telah berkali-kail menolongnya, bahkan yang terakhir sekali pemuda itu mem¬buat banyak jasa terhadap Bhutan se¬hingga dianggap sebagai pahlawan Bhutan dan diangkat menjadi panglima oleh Raja Bhutan di samping menjadi tunangannya secara resmi. Tentu saja Syanti Dewi menjadi berbahagia dan dia hanya me¬nanti saat datangnya hari pernikahannya dengan pria pilihan dan idaman hatinya itu. Akan tetapi, segala sesuatu memang tidak kekal di dunia ini. Bahkan ke¬bahagiaan hati Sang Puteri ini pun tidak kekal adanya. Seperti telah diceritakan dibagian depan cerita ini, munculiah awan gelap yang menghalangi kecerahan hidup puteri ini ketika seorang wanita yang bernama Ang Siok Bi muncul di Bhutan. Wanita yang hidupnya diracuni dendam ini adalah ibu Ang Tek Hoat yang ingin menarik puteranya ke luar dari Bhutan agar dapat membalaskan dendamnya terhadap keluarga Pulau Es dan akhirnya wanita itu berhasil mem¬bakar hati Raja Bhutan sehingga Ang Tek Hoat dihentikan sebagai panglima, bahkan ikatan jodoh antara pendekar itu dan Syanti Dewi dibatalkan. Peristiwa ini membuat pendekar itu merasa penasaran dan terhina sehingga dia pergi mening¬galkan Bhutan tanpa sempat pamit dari kekasihnya. Demikianlah, Syanti Dewi hanya me¬nerima kabar dari ayahnya bahwa Ang Tek Hoat telah minggat dari Bhutan karena terbuka rahasianya bahwa pemuda yang tadinya disangka seorang pendekar terhormat, masih keluarga dari Majikan Pulau Es, yang dianggap pahlawan dan diterima sebagai tunangan Puteri Syanti Dewi itu, ternyata hanyalah seorang anak haram! Karena malu, pemuda itu lolos dari Bhutan tanpa pamit, demikian berita yang diterima oleh Syanti Dewi. Men¬dengar berita ini, Syanti Dewi jatuh pingsan dan menderita sakit demam ka¬rena guncangan batin yang amat hebat. Sampai tiga bulan puteri ini sakit dan nyaris tewas oleh sakitnya. Akan tetapi berkat perawatan penuh ketelitian dari para tabib yang dikumpulkan oleh Raja Bhutan, akhirnya Sang Puteri sembuh juga. Akan tetapi terjadi perubahan be¬sar dalam diri Sang Puteri. Puteri yang tadinya lincah jenaka itu kini selalu murung, dia kehilangan gairah hidupnya, tidak mempunyai kegembiraan lagi. Biar¬pun dia masih cantik jelita seperti bulan purnama, namun bulan itu selalu tertutup mendung. Tentu saja raja dan ratu merasa pri¬hatin sekali dengan keadaan puteri me¬reka itu. “Syanti Dewi, ingatlah bahwa engkau adalah puteri kerajaan! Nasibmu masih baik bahwa engkau belum terlanjur men¬jadl isteri anak haram itu. Betapa akan mencemarkan nama keluarga kita kalau hal itu terjadi! Perlu apa engkau me¬mikirkan lagi manusia tak tahu malu ltu?” berkali-kali raja dan ratu menegur dan menghibur puteri mereka. “Kenapa dia pergi tanpa menemui aku?” berkali-kali Syanti Dewi mengeluh dengan suara mengandung penuh penyesalan. “Tentu dia malu!” kata Sri Baginda Raja. “Setelah terbuka rahasianya, tentu dia tidak ada muka lagi untuk bertemu denganmu dan memang sudah semestinya begitu.” “Tidak, Ayah.... tidak.... Syanti Dewi mengepal tinju dan menggeleng kepala keras-keras. “Dia bukan manusia seperti itu! Aku cinta padanya, Ayah, Ibu. Aku cinta padanya, tidak mengerti¬kah Ayah dan Ibu? Aku cinta padanya!” “Hemmm, Syanti Dewi, ingatlah bah¬wa dia adalah seorang anak haram, tidak ketahuan siapa Ayahnya! Dan kau tahu siapa yang memberitahukan kepada kami akan hal itu? Ibunya sendiri!” Sri Baginda berkata marah. “Aku tahu, aku pernah melihat Ibu¬nya. Ayah, Ibu.... yang kucinta adalah orangnya, bukan silsilah keturunannya, bukan kedudukannya, bukan nama baik atau buruknya. Tidak mengertikah Ayah dan Ibu?” Akan tetapi semua bantahan Syanti Dewi, segala pembelaannya percuma saja karena Tek Hoat telah pergi dan tidak ada seorang pun tahu kemana perginya. Beberapa kali Syanti Dewi hendak minggat dari istana untuk pergi menyusul dan mancari kekasihnya, akan tetapi selalu gagal karena Sri Baginda raja telah memerintahkan kepada para pengawal agar mereka melakukan penjagaan ketat dan tidak memperbolehkan siapapun juga memasuki istana puteri. Apalagi manusia, seekor kucing pun tidak akan mungkin masuk menerobos penjagaan ratusan orang pengawal yang berjaga siang dan malam itu! Syanti Dewi memprotes ayahnya, menangis, namun semua itu sia-sia bela¬ka. Ayahnya tidak mengijinkan dia pergi. Kemudian ayahnya memutuskan untuk mengawinkan puteri itu dengan Mohinta, putera dari Panglima Tua Sangita yang telah banyak jasanya. “Mohinta adalah seorang panglima muda yang amat setia, tampan dan ga¬gah, juga ayahnya adalah seorang yang setia kepada Bhutan,” demikian antara lain Sri Baginda membujuk puterinya. Selain kita semua tahu akan riwayat keluarganya, juga sejak kecil engkau telah mengenalnya karena dia adalah sahabatmu di waktu kecil. Hanya dialah yang dapat menyelamatkan namamu dan nama keluarga kita dari aib yang di¬datangkan oleh penjahat asing Ang Tek Hoat itu.” “Ayah....!” Syanti Dewi hanya dapat menangis. Akan tetapi setiap kali pernikahan direncanakan, Syanti Dewi selalu minta waktu dan minta mundur. Karena Sri Baginda juga mengenal watak puterinya yang keras, maka dia tidak berani me¬maksa, apalagi karena Panglima Mohinta yang mencinta puteri itu juga bersabar dan menanti sampai Sang Puteri tidak berduka lagi. Dia percaya bahwa keduka¬an tidak akan berlangsung selamanya, maka panglima muda itu bersabar me¬nanti. Betapa dia tidak akan sabar kalau mengingat bahwa selain dia akan dapat memiliki puteri yang amat cantik jelita itu, juga kelak isterinya itu akan menjadi Ratu Bhutan dan tentu saja hal itu ber¬arti mengangkat dia menjadi orang yang paling tinggi kedudukannya di kerajaan itu? Demikianlah, sampai empat tahun lamanya sejak Tek Hoat meninggalkan Bhutan, Syanti Dewi masih sering kali termenung seorang diri di dalam taman, di mana dahulu dia sering mengadakan pertemuan yang asyik dan mesra dengan Tek Hoat. Memang rasa sakit di hatinya sudah tidak begitu terasa lagi, luka itu sudah hampir kering, namun puteri itu belum dapat memulihkan kegembiraan hidupnya dan lebih suka menyendiri. Ka¬lau dia sedang melamun seperti itu, dia lupa akan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak merasakan lagi hawa dingin yang menyusup tulang! Sementara itu, di luar pintu gerbang istana Bhutan juga terjadi hal yang amat menarik. Hawa udara yang amat dingin membuat orartg-orang segan keluar rumah dan lalu lintas di jalan-jalan raya juga sepi. Para penjaga yang kedinginan sudah mengenakan baju bulu dan topi bulu pe¬nutup telinga dan kepala, bahkan mereka juga membuat api unggun di tempat pernagaan untuk menambah hangat dan mengusir hawa dingin yang mencoba untuk menyusup dan menyerang kulit mereka melalui lengan baju dan leher baju. Api unggun bernyala merah, hampir sama dengan warna merah di langit ba¬rat yang mulai memudar, targanti warna kelabu yang gelap. “Sssttttt, lihat dia itu....!” Tiba-tiba seorang penjaga menyentuh lengan ka¬wannya yang sedang menambah kayu dalam api unggun, lalu menuding ke luar pintu gerbang. Kawannya menengok dan mengeluarkan suara suitan tertahan sa¬king kagumnya. Suara ini sudah biasa bagi para penjaga, suara suitan tertahan yang menjadi tanda kekaguman kalau mereka melihat wanita cantik lewat di pintu gerbang. Karena itu, para penjaga yang jumlahnya lima belas orang, yang keisengan di waktu hawa sedingin itu, kini memperhatikan ke luar pintu ger¬bang, kepala mereka menjeguk ke luar dan mata mereka terbelalak memandang menembus kesuraman senja. “Waduh cantiknya....!” kata seorang. “Bukan main! Manis sekali....!” “Tubuhnya.... amboiiiii....!” “Mati aku.... lenggangnya....“ “Wab, dia memakai pakaian setipis itu dan tidak kelihatan kedinginan!” Seorang yang lebih teliti berkata dan barulah teman-temannya juga melihat kenyataan yang memang luar biasa ini. “Dan tidak hujan tidak panas dia me¬makai payung!” “Wah, wah.... sepatunya juga kain, bagaimana dia dapat bertahan dalam udara sedingin ini?” “Cantik jelita, pakai payung malam¬-malam tidak hujan, sedingin ini berpakai¬an tipis tanpa merasa dingin, wah-wah, jangan-jangan dia bukan manusia !” “Hihhh....!” Semua orang mulai merasa seram dan untuk menabahkan hati, mereka meraba gagang senjata masing-masing dan kini lima belas orang itu sudah keluar semua dari gardu penjagaan. Komandan mereka, seorang pendek gemuk yang terkenal galak dan pemberani, sudah keluar pula dan memandang dengan alis berkerut, kumisnya yang tipis bergerak-gerak dan ini merupakan tanda bagi anak buahnya bahwa komandan mereka itu sedang te¬gang hatiya! “Hemmm, mencurigakan. Anak-anak, siap!” Sang komandan memberi komando dan dia sendiri lalu menghadang di te¬ngah pintu gerbang. Kebetulan sekali sangat sunyi saat itu, tidak ada orang lain yang lewat di pintu gerbang kecuali wanita itu. Tidak salah penjaga yang sambat mati melihat lenggang itu. Memang bukan ma¬in! Seperti harimau lapar lenggangnya, lambat-lambat dan satu-satu kedua kaki itu bergantian melangkah maju dengan gerakan agak menyilang sehingga dari depan pun nampak jelas pinggang yang ramping itu meliuk-liuk dan sisi pinggul yang padat itu miring ke kanan kiri ber¬irama! Lenggang itu seperti lenggang tarian! Wanita itu berjalan seperti orang menari saja, berirama dan begitu teratur indah! Lengan kirinya terayun manis di sisi tubuhnya dan siku lengan kanan yang memegang gagang payung itu pun ber¬gerak-gerak mengikuti gerak tubuh ke kanan kiri. Bukan main! Setiap bagian tubuh itu seperti hidup dalam lenggang maut itu! Wanita itu kini makin dekat dan ma¬kin jelaslah kelihatan bentuk wajah dan tubuhnya yang tertutup pakaian tipis dari sutera. Wajah yang aduhai! Manis seperti madu. Dagunya meruncing dan bi¬birnya yang selalu mengulum senyum itu bergerak-gerak lucu dan penuh daya pi¬kat. Bibir bawah itu tak pernah diam, selalu bergerak dan tergetar seolah-olah mengandung penuh perasaan hati, me¬ngandung gejolak perasaan yang meng¬gerakkan bibir bawah dan cuping hidung yang tipis. Matanya agak lebar, jeli dan tajam pandangnya, kadang-kadang redup penuh rahasia dan seolah-olah sinar mata itu bersembunyi di balik bulu mata yang merupakan selubung atau tirai indah. Lesung pipit menghias pipi yang segar kemerahan seperti buah tomat masak. Seorang dara yang amat cantik jelita, yang usianya tidak akan lebih dari sem¬bilan belas tahun. Pakaiannya dari sutera tipis yang lemas sehingga seolah-olah mencetak bentuk tubuhnya, namun po¬tongan pakaiannya rapi dan dari model terakhir dan terbuat dari sutera mahal. Payungnya juga indah sekali buatan selatan, dari sutera dan gagangnya berukir. Wajah yang amat cantik itu selalu tersenyum, mata yang sinarnya jernih itu seolah-olah mengajak semua orang ber¬sendau-gurau tanpa kata. Kalau saja para penjaga itu terdiri dari orang-orang yang mempunyai pan¬dangan tajam, tentu mereka sudah dapat menduga bahwa dara yang cantik jelita ini, yang kelihatan begitu ayu dan lemah lembut, tentulah bukan orang sembarang¬an. Tanda-tandanya sudah nampak jelas. Dara ini aneh, tidak hujan, tidak panas memakai payung, ini menunjukkan bahwa dia suka bersikap aneh, sikap yang biasa¬nya hanya dimiliki para kelana yang berilmu tinggi. Dara ini seorang diri saja melakukan perjalanan, padahal di masa itu bagi seorang wanita muda melaku¬kan perjalanan seorang diri merupakan hal yang langka. Kalau dara ini kelihatan membawa senjata jelas bahwa dia adalah seorang kang-ouw (kelana persilatan), akan tetapi tanpa senjata berani melakukan perjalan¬an seorang diri membayangkan keadaan seorang yang tentu sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, sehingga tidak mem¬butuhkan bantuan senjata! Ini pun biasanya hanya terdapat pada orang-orang yang berilmu tinggi sekali. Kemudian, lebih jelas lagi, dalam keadaan hawa udara sedingin itu sehingga para perajurit penjaga yang terlatih dan bertubuh kuat itu pun masih melindungi tubuh dengan baju tebal dan api unggun, dara itu ha¬nya memakai pakaian sutera tipis dan berjalan enak-enak saja berlenggang kangkung memakai payung. Ini pun suatu keanehan luar biasa, ciri seorang yang tidak boleh digolongkan orang-orang biasa. Akan tetapi, para penjaga itu seperti buta oleh kesombongan mereka sendiri. Terutama terdorong oleh gairah yang sudah dinyatakan oleh kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh, apalagi setelah kini tercium bau semerbak harum yang datang dari dara itu, memancing sikap ugal-ugalan dari mereka. Si komandan gendut pendek cepat berjalan menghampiri dan tubuhnya yang pendek itu seolah-olah menggelundung saking cepatnya gerakan kedua kakinya yang pendek. “Ehmmm, berhenti dulu, Nona!” katanya sambil mengangkat ta¬ngan ke atas dengan gerakan menghenti¬kan dan tangan kirinya bertolak pinggang dengan aksi sekali. Wajah di bawah payung itu berseri dan bibir merah itu merekah sedikit sehingga kelihatan benda putih seperti mutiara berkilau sebentar lalu tertutup lagi oleh bibir yang bergerak-gerakitu. Si Gendut menelan ludah, sampai ber¬ceguk bunyinya. Matanya seperti bergantung kepada bibir itu seperti seorang kehausan melihat buah anggur masak yang segar. Dengan bahasa Bhutan yang tidak kaku, dara yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia adalah orang Han dari timur itu menjawab, “Mengapa aku harus ber¬henti? Bukankah ini merupakan jalan umum?” Ketika bicara, bibirnya itu ber¬gerak-gerak manis dan pinggang yang seperti batang pohon yang-liu tertiup angin itu dengan lemasnya meliuk-liuk. Komandan gendut itu kembali me¬nelan ludah dan pandang matanya menggerayangi seluruh tubuh orang, dari rambut yang hitm subur itu sampai ke kaki yang kecil mungil. “Memang jalan umum, akan tetapi kami berhak menahan setiap orang yang mencurigakan.” Senyum manis itu melebar dan men¬jadi makin manis. “Eh, kauanggap aku mencurigakan?” “Engkau seorang wanita muda ber¬jalan sendirian. Engkau mencurigakan dan engkau juga manis sekali menggairahkan.... eh, Nona.... kasihan sekali hawa begini dingin engkau jalan sendirian. Marilah, mari masuk ke dalam gardu penjagaan yang hangat dan kita meng¬obrol heh-heh....” Si Gendut menyeringai, nampak gigi yang panjang-panjang dan teman-temannya juga tersenyum menyeringai. Dara itu tidak menjadi marah. Agak¬nya semuda itu dia telah pandai me¬nguasai hatinya dan tidak mudah menjadi marah, sungguhpun pandang matannya tetap tersenyum dan dia berkata, “Aihh, Paman pengawal. Jangan begitu! Aku hanyalah seorang gadis perantau yang kebetulan lewat di sini, harap jangan menggangguku dan biarkan aku lewat.” Dia membujuk. Melihat gadis itu tidak marah malah tersenyum, Si Gendut mendapat hati dan dia melangkah maju makin dekat dan tangannya bergerak hendak memegang lengan kiri gadis itu. Akan tetapi gadis itu mundur selangkah dan menarik ta¬ngannya sehingga pegangan itu luput. “Ehemmmmm, Nona Manis. Engkau berpakaian seperti orang timur, engkau mencurigakan. Kalau engkau mau menemani aku di dalam gardu, aku masih bisa membiarkan kau lewat nanti. Kalau kau menolak, terpaksa aku akan meng¬geledah seluruh tubuhmu, kalau-kalau kau menyembunyikan sesuatu yang rahasia, heh-heh!” “Ho-ho, dia memang menyembunyikan banyak rahasia yang hebat-hebat!”' ter¬dengar seorang penjaga berkata dan tertawalah mereka semua. Si Gendut sambil menyeringai kembali mendekati gadis itu. Tidak ada yang sadar bahwa kini sepasang mata yang indah itu mengeluar¬kan sinar yang anehisinar mata yang tidak lumrah manusia, mencorong dan mengandung wibawa yang luar biasa ku¬atnya, akan tetapi mulut yang manis itu masih saja tersenyum sehingga sepasang lesung pipit nampak mengapit mulut di kanan kiri, menambah kemanisan wajah itu. Kembali dara jelita itu menggerak¬kan tubuh dan tangkapan tangan Si Gen¬dut mengenai tempat kosong. “Hei, eng¬kau ini manusia ataukah katak? Kaulihat engkau gendut bundar mirip katak!” Tiba¬-tiba dara itu berseru, suaranya yang halus merdu melengking nyaring, menusuk telinga semua penjaga yang sudah keluar dari dalam gardu penjagaan. “Heiiiii, kawan-kawan penjaga, dari mana kalian memperoleh katak gendut sebesar ini?” Dara itu menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka tangan kiri itu seperti melakukan gerakan mendorong ke arah si komandan gendut dan me¬lambai ke arah para penjaga, senyum manisnya tetap menghias bibirnya. “Katak....?” “Katak gendut....?” “Katak....! “Heiiiii! Ada katak....!” “Dari mana datangnya katak raksasa ini?” “Wah, jangan diserang! Lihat celana¬nya.... eh, dia....!” Semua penjaga terbelalak dan me¬mandang dengan muka pucat ke arah seekor katak besar gendut yang men¬dekam di atas tanah di mana tadi si komandan gendut berdiri. Katak raksesa ini memakai pakaian si komandan, dan mendekam dengan sepasang mata ter¬belalak tak pernah berkedip. Para penjaga menggosok-gosok mata mereka dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja, komandan mereka telah le¬nyap dan sebagai gantinya di tempatnya terdapat seekor katak raksasa yang me¬makai pakaian si komandan tadi! Tantu saja hal yang mustahil itu membuat me¬reka tidak percaya dan berulang kaii menggosok mata, namun mereka tidak mimpi dan memang komandan mereka telah berubah menjadi seekor katak besar! Dan selagi lima belas orang penjaga itu terlongong keheranan memandang kepada katak raksasa itu, Si Dara jelita melenggang dengan seenaknya melewati pintu gerbang, masuk ke halaman istana Raja Bhutan! “Hei....!” seorang penjaga yang dapat menekan ketegangan hatinya menengok dan berseru ketika melihat gadis itu. Semua orang juga menengok dan dalam sesaat mereka bengong, mata mereka menjuling ketika dari belakang melihat pemandangan yang amat mempesonakan. Lenggang lemah gemulai seperti orang menari itu mengakibatkan dua bukit ping¬gul yang bulat padat dan terbentuk oleh pakaian sutera ketat itu bergerak menari-nari naik turun dan dalam gerakan ini terkandung kekuatan yang seolah-olah membetot semangat lima belas orang itu! “Hei, tunggu dulu....!” Seorang pen¬jaga yang sadar lebih dulu berteriak dan lari sambil memegang tombaknya erat-erat. “Tangkap....!” “Dia tentu siluman....!” Lima belas orang itu yang kini ter¬ingat bahwa komandan mereka telah di¬kutuk menjadi raksasa oleh dara jelita yang mereka yakin tentu sebangsa silu¬man, kini lari mengejar dengan senjata di tangan. Dara itu berhenti melenggang, tubuh atasnya masih tertutup payung yang di¬panggul di atas pundaknya. Kini, payung itu diputar-putar, kemudian setelah lima belas orang itu mengejar dekat, dia membalikkan tubuhnya dan berkata, “Ka¬lian ini sebetulnya mau apa sih?” Lima belas orang itu tersentak kaget dan otomatis mereka menahan kaki me¬reka sampai ada yang hampir terjungkal. Semua mata memandang wajah dara itu dan semuanya menahan napas, mata me¬reka melotot sampai hampir meloncat keluar dari pelupuk mata. Muka mereka menjadi pucat dan tubuh mereka meng¬gigil, dari tenggorokan mereka keluar suara ah-ah-uh-uh seolah-olah mereka semua mendadak telah menjadi gagu atau menjadi gila. Mereka adalah perajurit¬-perajurit penjaga Bhutan yang sudah biasa menghadapi bahaya melawan musuh dan rata-rata memiliki tenaga besar dan kepandaian bertempur, bukan laki-laki lemah dan penakut. Akan tetapi saat itu mereka menjadi ketakutan, bahkan ada yang saking ngerinya sampai terkencing¬-kencing, celana mereka basah tanpa me¬reka sadari! Siapa orangnya yang tidak akan merasa takut dan serem kalau me¬lihat wajah wanita itu? Tadinya wanita itu demikian cantik jelita, seperti bida¬dari yang murah senyum manis, akan tetapi sekarang? Kalau berubah buruk saja masih tidak menakutkan, akan tetapi kini wajah itu “polos”, hanya merupakan seraut wajah polos berkulit halus dan rata, tidak ada mata hidung atau mulut, tidak ada tonjolan atau lekukan, halus mulus dan polos! Mereka bergidik. Tadi saja mereka sudah merasa ngeri dan ketakutan melihat komandan mereka ber¬ubah menjadi katak, sekarang lebih lagi ketika melihat wanita yang mereka sang¬ka siluman itu menghadapi mereka de¬ngan muka polos seperti itu! “Hihhhhh.... hu-hu-huuhhhhh....“ Di antara mereka ada yang menggigil dan mengeluarkan suara seperti itu. Suara ini tak tertahankan lagi oleh mereka dan larilah mereka tunggang-langgang, jatuh bangun dan saling tabrak, kembali ke gardu mereka. Apalagi ketlka mereka melihat “katak raksasa” tadi sudah le¬nyap dan kini mereka melihat komandan mereka masih berdiri dengan mata ter¬belalak dan mulut masih menyeringai, kaku seperti arca! Dara itu mengeluarkan suara ketawa ditahan, tubuhnya membalik lagi, payung¬nya berputaran dan lenggangnya yang mempesona dilanjutkan menuju ke arah istana. “Hi-hik, orang-orang tolol....!” bisik¬nya sambil menggunakan tangan kirinya, melepaskan “kedok” atau topeng yang terbuat dari bahan semacam karet putih yang tadi dia pakai untuk menutupi mu¬kanya sehingga membuat para penjaga lari terbirit-birit. Tiba-tiba komandan jaga yang tadinya diam seperti patung itu bergerak dan berteriak, “Eh, orang-orang tolol! Mengapa kalian diam saja membiarkan dia masuk? Hayo kejar dan tangkap dia!” Komandan itu sendiri sudah mencabut pedangnya dan lari mengejar. Para anak buahnya terbelalak ngeri. “Tapi.... tapi.... dia.... siluman” “Siluman atau setan, kalau sampai dia memasuki istana, kita celaka!” Si komandan membentak dan para anak buah¬nya sadar. Mereka lalu berteriak-teriak sambil memegang sanjata dan mengejar, termasuk mereka yang celananya basah. Teringat akan tugas dan tanggung jawab, mereka terbangun semangatnya dan men¬jadi berani lagi. “Kejar....!” “Tangkaaapppp....!” Berserabutan mereka lari mengejar. Dara itu mendengar teriakan-teriakan mereka, menengok, tersenyum mengejek dan tubuhnya mencelat ke depan, jauh sekali seolah-olah dia telah terbang saja! Terdengar suara ketawa halus merdu dan dengan beberapa lompatan lagi, tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok istana dan lenyap. “Siluman....!” Semua penjaga kembali bengong dan muka mereka berubah pu¬cat. “Celaka, dia masuk pagar tembok istana, kita harus melaporkan!” Si ko¬mandan yang masih belum sadar betapa dia tadi telah berubah menjadi katak raksasa, lalu cepat lari ke pintu depan istana untuk melaporkan peristiwa itu kepada para pengawal istana. Gegerlah seluruh istana Kerajaan Bhutan dengan berita tentang siluman yang memasuki istana itu. Tentu saja sebagian besar orang tidak percaya, dan raja sendiri pun tidak percaya. Namun betapapun juga, para panglima mengerah¬kan pengawal-pengawal istana untuk melakukan penjagaan dan perondaan yang ketat untuk menjaga keselamatan keluar¬ga istana raja. Juga para pendeta Bu¬ddha dikerahkan untuk mengusir “roh” jahat atau siluman yang mengganggu istana. Kalau saja tidak ada pengerahan pendeta-pendeta untuk mengusir roh-roh jahat, kiranya tidak akan terjadi hal-hal yang menghebohkan. Malam itu juga, seorang pendeta Buddha yang terkenal sebagai seorang ahli roh-roh jahat dan siluman yang bernama Nalanda, seorang yang bertubuh tinggi besar, berusia lima puluh tahun berwajah angker dan serius, dengan membawa tem¬pat pedupaan yang terisi dupa wangi mengebul, berjalan mengelilingi istana. Asap dupa mengebul dari tempat pedupa¬an, baunya semerbak sampai ke sudut¬-sudut, dan Pendeta Nalanda berkemak¬-kemik membaca mantera untuk mengusir roh jahat. Pada saat itu, sesosok bayangan me¬nyelinap di antara bayangan-bayangan gedung istana. Bayangan ini bukan lain adalah dara cantik jelita yang tadi telah menggegerkan luar istana. Kini payung¬nya telah ditutup dan dikempit di bawah ketiak kirinya, dan dengan gerakan kaki yang ringan dan gesit, tanda bahwa gadis “siluman” ini memiliki kepandaian tinggi, dan menyelinap ke sana ke mari men¬cari-cari. Dara itu sudah mulai kelihatan gelisah dan jengkel karena dia tidak mengenal jalan dan selalu tersesat ber¬temu dengan lorong buntu di komleks istana yang luas itu. “Siaalan....!” Berulang kali dia meng¬umpat dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Tiba-tiba hidung yang cupingnya tipis itu bergerak-gerak, seperti hidung kelinci mencium bau harimau yang berbahaya, matanya berkilat dan kepalanya menoleh ke sana-sini mencari-cari sumber bau dupa harum itu yang makin lama makin keras. Akhirnya dia bergerak menyelinap di antara pot-pot bunga antik yang be¬sar, bersembuyi di balik pot bunga dan mengintai ke arah Pendeta Nalanda yang melangkah datang perlahan-lahan dengan tangan memegang pedupaan yang menge¬bulkan asap putih dan bibirnya berkemak¬-kemik membaca mantera pengusir roh jahat. Dara itu tersenyum geli. Sekelebat mata giginya yang putih seperti mutiara itu berkilat tertimpa cahaya lampu yang banyak bergantung di lorong-lorong is¬tana. Dara itu mengerti mengapa pen¬deta ini membakar dupa dan berdoa me¬ngusir roh jahat. Matanya yang cerdik itu berkilauan dan wajahnya yang jelita berseri gembira. Dia memperoleh seorang petunjuk jalan, pikirnya! Maka dengan gerakan yang ringan menandakan bahwa dia memiliki ginkang yang tinggi, dara itu lalu menyelinap dan membayangi pendeta itu dari belakang. Pendeta Nalanda memasuki taman bunga istana, di istana bagian puteri yang terjaga ketat. Penjagaan di sekitar taman ini ketat bukan main dan dara cantik itu hanya bersembunyi di luar taman, akan tetapi dia dapat mengintai dari luar, melihat pendeta itu memasuki taman, tiba di tengah taman yang luas dan dari jauh dia melihat pendeta itu bicara kepada seorang wanita yang agak¬nya duduk di dalam taman, lalu pendeta itu mengelilingi taman dengan pedupaan¬nya dan keluar lagi. Si Dara terus mem¬bayanginya dan akhirnya dia melihat pendeta itu memasuki sebuah kamar kosong, meletakkan pendupaan di atas lantai di tengah kamar, kemudian dia berjalan mengelilingi pendupaan, kedua tangan dirangkap di depan dada, mulut¬nya tiada hentinya berkemak-kemik mem¬baca mantera. Kemudian pendeta itu berdiri tegak di tengah kamar, pendupaan mengebul di dekat kakinya, dan terdengar dia ber¬kata, “Wahai semua roh penasaran yang berkeliaran di sekitar istana Bhutan, dengarlah perintahku! Aku adalah yang terkasih, Pendeta Nalanda, yang telah memperoleh penerangan dan kekuasaan untuk mengusir kalian! Jangan kalian berani mendekati dan mengganggu istana, atau aku akan menggunakan kekuasaan untuk menghukum kalian!” Ucapan itu dilanjutkan dengan doa-¬doa dan mantera lagi dan pada saat itulah, selagi Pendeta Nalanda. melaku¬kan upacara pengusiran roh jahat, tiba¬tiba saja pandang mata pendeta itu ter¬belalak menatap bayangan yang muncul dari pintu kamarnya! Bayangan seorang wanita yang cantik jelita, yang mengem¬pit sebuah payunng! Pendeta yang selama¬nya menjadi pengusir roh ini hanya me¬ngusir siluman-siluman dalam khayalnya saja, kini melihat pemandangan itu, me¬rasa tengkuknya dingin dan tebal, semua bulu di tubuhnya, dan banyak memang bulu ini karena semua tubuhnya berbulu, berdiri satu-satu! Makin diperhebat doa dan manteranya, kulit di antara alisnya berkerut ketika dia memusatkan kekuatan batinnya. Akan tetapi, ketika dia melirik ke depan, “roh jahat” itu masih berdiri di situ, malah makin mendekat memasuki kamar dan tersenyum-senyum! “Wahai, roh yang keras kepala!” ben¬taknya menudingkan telunjuknya ke arah hidung mancung “roh” itu. “Pergilah kau kalau tidak ingin merasakan ampuhnya pusakaku!” “Roh” cantik itu tersenyum, manisnya bukan main, membuat tangan pendeta yang mencabut keluar sebatang pedang kayu itu gemetar. Tersenyum lagi dan mengerling dengan sikap menggoda dan mempermainkan. “Sliuman jahat.... pedang pusakaku akan menghukummu!” Dengan suara geme¬tar pula pendeta Nalanda itu menggerak¬kan pedang kayu yang berbau harum itu, terbuat dari semacam kayu cendana yang berkhasiat melumpuhkan siluman, me¬nusuk ke arah dada wanita cantik itu. “Plakkkkk!” Sekali wanita itu meng¬gerakkan tangannya, pedang kayu te¬lah dirampasnya, kemudian pedang itu bergerak dua kali menotok dan tubuh pendeta yang tinggi besar itu jatuh bertekuk lutut! Dara jelita itu terkekeh, menutupi mulutnya, kemudian menggunakan pedang kayu yang dia oles-oleskan abu pendupa¬an untuk mencoret-coret muka pendeta itu dengan arang hitam! Setelah melaku¬kan kenakalan ini sambil tertawa, dia lalu merenggut lepas jubah pendeta itu, menyelimutkan di atas tubuhnya sendiri, menyambar kopyah pendeta dan menaruh¬nya di atas kepala, lalu diambilnya pen¬dupaan itu dan keluarlah dia dari kamar itu, mengepit payung dan memegang pendupaan, lalu menuju ke taman istana yang tadi pernah dikunjungi oleh Pendeta Nalanda! “Eh, Losuhu, kenapa kembali lagi?” Penjaga taman itu berseru heran dan menghadang di tengah pintu taman. “Minggir, ada siluman di dalam ta¬man!” kata dara itu dengan suara di¬besarkan, dan dia cepat membaca mantera dengan ngawur dan berjalan masuk. Para penjaga sudah menjadi ketakutan mendengar itu, maka mereka tidak be¬gitu memperhatikan di dalam kegelapan malam yang mulai tiba itu bahwa si pendeta kini tiba-tiba berubah kecil tu¬buhnya, dan kini mengempit payung di bawah ketiaknya! Dara itu terus memasuki taman. Se¬telah para penjaga tidak kelihatan lagi, dia melemparkan pendupaan, kopyah dan jubah ke belakang semak-semak dan dia cepat menyelinap ke belakang pohon¬-pohon dan semak-semak, menuju ke te¬ngah taman. Seperti telah diceritakan di bagian terdahulu, pada saat itu Puteri Syanti Dewi tengah duduk melamun seorang diri di dalam taman, termenung memandangi bunga teratai merah di dalam empang. Bunga teratai.... engkau jauh lebih ba¬hagia daripada manusia, demikian keluhan hati Sang Puteri. Dia teringat akan ke¬kasihnya. Betapa sukarnya menjadi ma¬nusia. Kotor atau bersihnya manusia di¬tentukan oleh keadaan, oleh lingkungan, dan terutama oleh pendapat orang lain atau umum. Sebelum pergi meninggalkan Bhutan, Tek Hoat dikenal sebagai se¬orang pahlawan, seorang calon mantu raja, seorang yang patut dihormati dan dimuliakan. Akan tetapi sekali saja suara orang lain dijatuhkan, Tek Hoat menjadi orang yang direndaahkan. “Tidak....!” bantah hatinya. “Bagiku, engkau masih bersih, Tek Hoat. Seperti bunga teratai itu biar direndam ke dalam lumpur masih tetap bersih dan cemerlang. Dan selamanya aku akan menganggapmu begitu“ Dia menghela napas panjang dan ter¬ingat akan pesan pendeta Nalanda tadi. Pendeta itu memasuki taman dan me¬nasihati agar dia masuk ke kamarnya karena ada “hawa siluman” mengotori istana dan pendeta itu tengah berusaha untuk mengusir roh jahat. Akan tetapi Syanti Dewi tidak merasa takut! Puteri ini telah terlepas dari ketahyulan semen¬jak dia terjun di dunia bebas dahulu, setelah dia mengalami banyak sekali hal¬-hal hebat sehingga membuka matanya bahwa segala macam ketahyulan itu ha¬nyalah kebohongan semata (baca Kisah Sepasang Rajawali). Dia telah mengalami hal-hal yang nyata, dan dalam keadaan bagaimanapun juga, dia tidak pernah mengalami hal-hal aneh seperti yang di¬percaya oleh orang-orang yang suka me¬nerima ketahyulan sebagai sesuatu yang benar. Maka, nasihat pendeta itu tidak dipedulikannya dan puteri ini masih saja duduk seorang diri di dalam taman itu. “Selamat malam, Adinda Syanti De¬wi!” Puteri itu menengok dan hatinya ber¬bisik mencela, “Hemmm, kalau memang di dunia ini ada siluman, dia inilah si¬luman bagiku.” Akan tetapi Syanti Dewi adalah se¬orang yang berperangai halus, dan biar¬pun hatinya tidak senang kepada Pang¬lima Mohinta yang tiba-tiba muncul itu, namun dia memaksa senyum dan men¬jawab, “Selamat malam, Panglima Mo¬hinta.” Mohinta menyeringai dan kumis tipis¬nya yang membuat wajahnya tampan menarik itu bergerak sedikit. Dia kecewa karena setiap kali mereka berduaan, puteri ini selalu menyebutnya “panglima”, dan hanya dalam pertemuan resmi yang disaksikan oleh keluarga istana saja pu¬teri itu mentaati ayahnya dan menyebut “kakanda” kepada tunangannya ini! Sebut¬an “panglima” sungguh sama sekali tidak mesra, bahkan membayangkan kedudukan puteri itu yang lebih tinggi, seorang puteri yang bicara dengan seorang pang¬lima kerajaan, seorang bawahan! “Mengapa Adinda masih di sini? Hawa udara dingin sekali, Adinda bisa masuk angin.” “Biarlah, Panglima Mohinta. Aku se¬dang menikmati malam sunyi di sini. Engkau datang menemuiku di sini ada urusan apakah?” Kembali panglima muda itu menyeri¬ngai seperti orang sakit gigi. Betapa dingin sikap tunangannya ini, melebihi dinginnya hawa udara di waktu itu. “Saya.... saya.... hanya menjenguk, khawa¬tir kalau Adinda sakit. Dan kabarnya.... hemmm.... ada siluman berkeliaran.... tadi Pendeta Nalanda memberi tahu....“ “Hemmm, apakah seorang panglima seperti engkau takut siluman? Aku sih tidak takut. Sudahlah, Panglima, tinggal¬kan aku sendiri menikmati kesunyian.” Akan tetapi panglima itu tidak pergi, bahkan kini matanya memandang puteri itu dengan mesra. Alangkah cantiknya puteri tunanganya itu! Alangkah manis bibir itu, putih halus wajah dan leher itu! Dan Panglima Mohinta melangkah maju, lalu tanpa diminta dia duduk di atas bangku, di sisi Syanti Dewi. “Adinda Syanti Dewi....“ “Panglima, aku ingin sendirian!” “Aduhai, Adinda sayang. Bukankah sudah bertahun-tahun kita bertunangan? Kita adalah calon suami isteri. Apakah aku tidak boleh mendekati calon isteriku yang tercinta? Adinda Syanti, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dengan menunda-nunda pernikahan kita?” “Panglima, aku tidak ingin bicara tentang itu!” “Adinda, itu adalah urusan kita ber¬dua, urusan pribadiku dan pribadi....“ “Sudahlah. Kalau kau mau bicara ten¬tang itu, bicara dengan Sri Baginda. Be¬liau sebagai Ayahku yang berhak mem¬bicarakan soal itu, bukan aku.” “Adinda.... aku.... aku cinta padamu, sejak masih kanak-kanak. Sudah berapa ribu kalikah aku menyatakan ini....?” “Sudah terlalu sering sampai mem¬bosankan!” “Duhai, Adinda.... jangan begitu“ Panglima Mohinta memegang tangan Syanti Dewi dan diciuminya tangan itu sepenuh kasih sayang hatinya. Syanti Dewi menarik tangannya dan bangkit berdiri, mukanya menjadi merah dan matanya berkilat, dua titik air mata tergenang di matanya. “Panglima, bukan aku tidak kasihan kepadamu. Akan tetapi.... aku tidak suka membicarakan hal itu. Pergilah!” “Adinda.... Syanti Dewi, kaukasihani¬lah aku....!” Panglima itu kini menjatuh¬kan diri berlutut! Pada saat itu, dara cantik jelita yang sejak tadi mengintai, perlahan-lahan bangkit dan keluar dari tempat sem¬bunyinya, melangkah ringan sampai de¬kat. Syanti Dewi melihatnya, memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Panglima Mohinta yang sedang mabuk asmara dan berlutut itu tidak melihat¬nya. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar