Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 26

Kisah Si Bangau Merah Jilid 26

26

Thian-te Tok-ong menghentikan tangisnya dan dia pun menghadapi sutenya dengan mata berkilat dan alis berkerut.
“Apa kaubilang? Sute, jangan seenaknya saja kau bicara. Engkaulah yang memberi siasat itu kepadaku! Engkau yang menganjurkan aku untuk turun tangan terhadap Sute Ciu Lam Hok! Dan aku menyesal telah menuruti kemauanmu. Sute Ciu Lam Hok, inilah orangnya yang menjadi penyebab kematianmu, bukan aku!”
“Suheng, Jangan menyangkal! Engkau melakukan kekejaman terhadap Ciu Sute karena engkau murka, karena engkau menghendaki ilmunya, terutama Bu-kek-hoat-keng. Engkaulah yang menanggung dosa terbesar, Suheng!”
“Keparat, engkau pun berdosa besar, bahkan aku tertarik oleh bujukanmu!”
“Bohong.”
“Engkau pengecut, tidak berani bertanggung jawab. Aku memang berdosa terhadap Sute Ciu Lam Hok, akan tetapi engkau pun lebih berdosa lagi!”
“Engkau biang keladinya!”
Dua orang kakek, yang satu gendut yang satu kurus itu, saling maki dan akhirnya, tanpa dapat dicegah lagi, saling serang dengan penuh kemarahan! Suheng dan sute ini sama-sama merasa menyesal, merasa berdosa terhadap sute mereka yang kini telah meninggal dunia. Karena saling menyalahkan, duka dan menyesal, mereka lupa diri dan akhirnya saling serang dengan hebatnya. Karena keduanya merupakan orang-orang sakti, maka tidak ada anggauta Thian-li-pang yang berani melerai. Maju melerai berarti membahayakan nyawa sendiri. Di seputar dua orang itu, angin pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga Lauw Kang Hui sendiri terpaksa mundur menjauh agar tidak sampai terkena serangan hawa pukulan.
Pertandingan antara dua orang tokoh yang sakti dan yang usianya sudah amat tua, tidak lagi mengandalkan kecepatan gerakan, tidak mau membuang waktu dan mereka segera mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing, dan mengerahkan sin-kang untuk mengalahkan lawan. Di lain saat, setelah lewat belasan jurus saja, keduanya sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang, kedua tangan saling tempel dan saling dorong dengan pengerahan tenaga sin-kang. Uap mengepul dari kepala mereka dan semua orang tahu bahwa pertandingan ini merupakan pergulatan mati hidup. Lauw Kang Hui mengerti pula dan dia meajadi amat khawatir. Dia pun tahu bahwa gurunya, Ban-tok Mo-ko, masih kalah kuat dibandingkan supeknya, dan bahwa gurunya terancam maut. Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani mencampuri, tidak berani melerai. Dia tadi teringat akan Yo Han yang telah mampu merobohkan suhunya dan supeknya, maka timbul harapannya. Cepat dia menghampiri Yo Han dan dengan suara sungguh-sungguh dia berkata,
“Sute Yo Han, tolonglah mereka. Cepat pisahkan mereka agar jangan sampai saling bunuh.”
Yo Han yang sejak tadi menonton, menoleh kepadanya dan menggeleng kepalanya.
“Kurasa tidak ada gunanya lagi, Suheng. Mereka sudah saling serang mati-matian dan andaikata aku dapat memisahkan mereka pun, tentu mereka telah terluka dalam....“
Lauw Kang Hui memandang kepada dua orang kakek itu dan dia merasa gelisah melihat betapa dari ujung bibir gurunya telah mengalir darah dari dalam mulut, tanda bahwa gurunya telah menderita luka dalam. Dan biarpun di bibir Thian-te Tok-ong belum nampak darah, akan tetapi wajah kakek yang kecil pendek itu pucat sekali.
“Mereka sudah terluka, akan tetapi setidaknya, jangan mereka itu tewas selagi mengadu tenaga. Sute, tolonglah, pisahkan mereka, biarpun mereka sudah terluka.”
Yo Han menarik napas panjang. Dia sudah melihat betapa keadaan dua orang kakek itu payah sekali, dan kalau dia memisahkan mereka, dia harus menggunakan sin-kang untuk mematahkan dua tenaga yang sudah saling lekat itu. Bukan pekerjaan mudah, bahkan berbahaya baginya, akan tetapi dia pun tidak dapat menolak karena dia tidak dapat membiarkan mereka itu mengadu tenaga sampai seorang di antara mereka mati di tempat.
“Jiwi Supek, maafkan saya!” katanya dan dia pun meloncat mendekati dua orang kakek itu, kedua tangannya bergerak-gerak membentuk lingkaran dan tiba-tiba, dengan bentakan nyaring sehingga terdengar suara melengking, dia mendorongkan kedua tangannya ke tengah-tengah antara dua pasang tangan yang sedang melekat itu.
Dua orang kakek itu mengeluarkan suara keras dan tubuh mereka terdorong ke belakang.
Ban-tok Mo-ko roboh terguling dan Thian-te Tok-ong terhuyung-huyung, kemudian cepat dia duduk bersila dan memejamkan mata. Ban-tok Mo-ko juga bangkit duduk dengan susah payah, lalu bersila pula. Wajah keduanya pucat dan napas mereka terengah-engah.
Yo Han memeriksa dengan menempelkan tangan di punggung mereka, dan diam-diam dia pun terkejut. Kiranya, kedua orang kakek itu menderita luka dalam yang jauh lebih parah daripada yang disangkanya. Ban-tok Mo-ko yang kalah kuat oleh suhengnya, telah menderita parah sekali dan sukar diselamatkan. Akan tetapi ketika Yo Han memeriksa keadaan Thian-te Tok-ong, dia pun terkejut. Kakek ini memang memiliki tenaga yang lebih kuat, akan tetapi agaknya usianya yang sudah delapan puluh delapan tahun itu membuat tubuhnya lemah dan karena itu, dia pun menderita luka hebat!
Ban-tok Mo-ko yang membuka mata lebih dulu, mata yang sayu dan dia pun memandang kepada Thian-te Tok-ong yang masih duduk bersila dan terdengar suaranya yang lemah gemetar.
“Suheng, aku girang dapat mati di tanganmu....” lalu dia memandang ke angkasa, terbatuk dan gumpalan darah keluar lebih banyak lagi dari dalam mulutnya.
“Sute, aku telah siap menerima pembalasanmu....” Kakek itu memejamkan kembali kedua matanya dan kepalanya menunduk.
Thian-te Tok-ong membuka matanya dan dari kedua matanya itu mengalir air mata.
“Aku telah membunuh Sute Ciu Lam Hok, dan aku pula yang membunuh Sute Ban-tok Mo-ko. Kedua adikku, tunggulah aku....!” Dan dia pun memejamkan kedua matanya dan menundukkan kepala. Dua orang kakek itu tak bergerak lagi.
Yo Han berbisik kepada Lauw Kang Hui.
“Lauw-suheng, kedua orang Supek telah tewas....!”
“Haaa....?” Lauw Kang Hui cepat menghampiri gurunya dan menyentuh pundak gurunya.
Disentuh sedikit saja, tubuh yang tadinya duduk bersila itu terguling roboh. Demikian pula tubuh kakek Thian-te Tok-ong.
Lauw Kang Hui menangis di depan makam gurunya dan supeknya, juga para murid tingkat tinggi Thian-li-pang menangisi kematian dua orang tua yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu.
Yo Han ikut pula dalam upacara sembahyangan dan dalam kesempatan itu dia berkata kepada Lauw Kang Hui dan para murid lain.
“Karena saya telah menjadi murid mendiang Suhu Ciu Lam Hok, bahkan juga pernah berguru kepada Supek Thian-te Tok-ong, maka sedikit banyak saya mengenal hubungan dekat dengan Thian-li-pang. Saya harap peristiwa ini dapat menjadi cermin bagi kita semua. Tiga orang sesepuh Thian-li-pang itu dahulu yang mendirikan Thian-li-pang, dan sejak berdiri, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Namun, sayang sekali, agaknya mendiang Supek Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong terseret oleh arus duniawi yang membuat mereka melakukan penyelewengan. Apalagi ketika Thian-li-pang dipimpin mendiang Suheng Ouw Ban, hubungan baik dengan Pek-lian-kauw membuat banyak murid yang ikut melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan jiwa perkumpulan kita. Hendaknya kita semua selalu ingat bahwa musuh yang paling besar, paling berbahaya dan paling tangguh adalah dirinya sendiri. Sekali kita mampu menundukkan napsu sendiri, maka batin kita menjadi kokoh kuat dan tidak mudah terseret ke dalam kesesatan. Bagaikan berlayar di tengah samudera, yang terpenting adalah memiliki perahu yang kokoh kuat sehingga tidak khawatir lagi menghadapi badai dan taufan. Kepandaian tinggi bahkan depat mencelakakan kalau tidak disertai batin yang kuat dan bersih, karena kepandaian itu bahkan kita pergunakan untuk melakukan kejahatan.”
Lauw Kang Hui memandang kepada pemuda itu.
“Yo Sute, terima kasih atas nasihatmu itu. Kami sudah mengalami cukup banyak kepahitan sebagai akibat daripada penyelewengan yang kami lakukan. Aku berjanji akan mengembalikan Thian-li-pang ke jalan benar, akan bertindak disiplin dan tegas sehingga Thian-li-pang akan kembali menjadi perkumpulan pendekar yang bukan saja memusuhi penjajah tanah air, akan tetapi juga memusuhi perbuatan jahat yang mencelakai orang lain demi kesenangan diri dan pemuasan nafsu sendiri.”
“Bagus, aku girang sekali mendengar ini, Lauw-suheng. Aku hanya akan menjadi saksi bahwa pesan terakhir Suhu Ciu Lam Hok akan terlaksana dengan baik.”
Yo Han lalu berpamit dari semua murid Thian-li-pang, meninggalkan tempat itu dengan hati lapang. Satu di antara pesan suhunya telah dapat dia laksanakan dengan baik, kini dia akan melaksanakan tugas kedua yaitu mencari keluarga mendiang suhunya, yaitu adik suhunya yang bernama Ciu Ceng atau keluarganya karena tentu adik suhunya itu sudah menjadi seorang nenek yang sudah tua sekali. Dia pun meninggalkan Thian-li-pang menuju ke kota raja.
***
Mendiang kakek Ciu Lam Hok memang mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Ciu Ceng. Ketika dia sendiri pergi meninggalkan kota raja, adiknya itu masih seorang gadis yang cantik dan tinggal bersama ibunya di lingkungan istana. Kemudian, Ciu Ceng menikah dengan seorang panglima muda she Gan. Pernikahan ini membuahi seorang anak laki-laki yang diberi nama Gan Seng. Panglima Gan sendiri gugur ketika memimpin pasukan membasmi gerombolan pemberontak. Gan Seng yang mendapatkan pendidikan tinggi, telah mendapat pangkat yang lumayan, yaitu sebagai pejabat yang mengelola gedung pusaka istana. Jabatan ini penting sekali karena hanya orang yang dipercaya sepenuhnya oleh Kaisar saja yang dapat menduduki pangkat ini.
Gan Seng, putera Ciu Ceng itu, kini telah berusia lima puluh tahun dan dia hidup serba kecukupan dengan isterinya dan puteri tunggalnya yang bernama Gan Bi Kim dan yang pada waktu itu berusia tujuh belas tahun. Juga nenek Ciu Ceng yang sudah tua tinggal bersama puteranya dan keluarga ini hidup cukup berbahagia.
Tidak begitu sukar bagi Yo Han untuk menyelidiki dan mendengar tentang nenek Ciu Ceng ini. Girang hatinya ketika dia mendapat keterangan bahwa nenek itu tinggal bersama puteranya yang menjadi kepada gedung pusaka istana, dan keluarga Gan itu tinggal di luar istana, walaupun Gan Seng bertugas di lingkungan istana, yaitu di gedung pusaka. Maka, pada hari itu, pagi-pagi dia meninggalkan rumah penginapan dan mendatangi rumah gedung tempat tinggal Gan Seng. Untuk memenuhi pesan mendiang suhunya, dia harus berkunjung dan menceritakan tentang meninggalnya kakek Ciu Lam Hok kepada nenek Ciu Ceng dan melihat bahwa keluarga itu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Baru kemudian dia akan melaksanakan tugas ke tiga, tugas yang paling sukar, yaitu mencari dan merampas kembali mestika mutiara hitam di daerah barat.
Akan tetapi, alangkah herannya ketika dia tiba di rumah gedung itu, dia melihat suasana yang amat sunyi dan ketika seorang pelayan keluar untuk menyapanya pelayan tua itu nampak seperti orang yang berduka sekali.
“Saya kira Kongcu datang berkunjung pada saat yang kurang tepat,” kata pelayan itu.
“Gan-taijin sekeluarga sedang prihatin dan tidak suka menerima tamu, bahkan memesan kepada saya untuk menolak setiap orang tamu yan datang berkunjung.”
Tentu saja Yo Han merasa heran bukan main. Gurunya berpesan agar dia mengunjungi nenek iu Ceng dan membela nenek itu sekeluargaya kalau perlu dengan taruhan nyawa, karena dirinya ingin membuktikan rasa sayangnya kepada adiknya itu melalui muridnya.
“Paman yang baik, tolong sampaikan bahwa aku datang mohon menghadap Nyonya Besar Ciu Ceng, ibu dari Gan-taijin. Katakan bahwa aku membawa kabar yang penting sekali dari kakak nyonya besar yang bernama Ciu Lam Hok. Kalau laporanmu itu tidak mendapat tanggapan, aku tidak akan mendesak lagi.”
“Tapi.... tapi.... Nyonya Besar Tua sedang menderita sakit....”
“Ahh....!” Yo Han terkejut. “Kalau begitu, lebih penting lagi berita itu. Mungkin laporanmu tentang kakaknya akan dapat menyembuhkan sakitnya dan engkau akan berjasa besar, Paman.”
“Benarkah?” Pelayan itu meragu, kemudian berkata, “Baik, kau tunggulah sebentar, Kongcu (Tuan Muda), aku akan melapor ke dalam.”
Yo Han menanti dengen sabar, akan tetapi hatinya gelisah juga mendengar bahwa orang yang dicarinya itu, adik mendiang gurunya yang bernama Ciu Ceng, sedang menderita sakit. Karena panyakitnya itu kah maka keluarga Gan dalam keadaan prihatin seperti yang dikatakan pelayan tadi? Tentu saja akan mudah beginya untuk melakukan penyelidikan sendiri pada malam hari, namun dia menghormati adik mendiang suhunya dan tidak mau menggunakan cara seperti pencuri untuk menyelidiki keadaan nenek itu, kecuali kalau dia tidak dapat menghadap secara berterang.
Tak lama kemudian, pelayan itu sudah datang lagi dan sekali ini wajahnya berseri.
“Kongcu, dugaanmu tadi benar! Aku memberanikan diri untuk menghadap Nyonya Besar Tua dan begitu mendengar bahwa kongcu datang membawa berita tentang kakaknya, ia seketika bangkit dan wajahnya gembira, bahkan ia minta kepada Kongcu untuk segera menghadap ke dalam kamarnya!”
Bukan main girangnya hati Yo Han mendengar ini. Dia pun segera mengikuti pelayan itu memasuki rumah gedung yang besar. Setelah melalui beberapa ruangan besar dan lorong berliku-liku, pelayan itu mengantarnya masuk ke dalam sebuah kamar yang besar. Dua orang pelayan wanita muda segera mundur ketika melihat ada tamu pria masuk.
Ketika memasuki kamar itu, Yo Han memandang ke arah pembaringan di mana rebah seorang nenek yang sudah tua. Nenek itu rebah telentang dan nampak kurus dan pucat. Ketika Yo Han masuk, ia menoleh dan memandang kepada pemuda itu, lalu terdengar suaranya lemah.
“Orang muda, siapakah engkau dan berita apa yang kaubawa mengenai kakakku Ciu Lam Hok?”
Yo Han menjatuhkan dirinya berlutut menghadap ke arah nenek yang masih rebah di atas pembaringan itu.
“Saya bernama Yo Han dan saya muridnya.”
Nenek itu mengeluarkan seruan girang dan ia pun bangkit duduk. Dua orang pelayan wanita cepat menghampiri dan membantunya duduk. Setelah duduk, nenek itu memandang kepada pemuda yang masih berlutut.
“Bangkitlah dan duduklah, Yo Han. Ambilkan kursi untuk pemuda itu,” perintahnya kepada pelayan yang segera mengambilkan sebuah kursi dan Yo Han lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan nenek Ciu Ceng yang wajahnya nampak berseri.
“Engkau muridnya? Ah, bagaimana dengan kakakku? Dan mengapa engkau yang datang ke sini, bukan dia sendiri? Betapa rinduku kepada kakakku itu!”
Yo Han melihat bahwa nenek yang sudah tua itu dalam keadaan sakit dan lemah, maka dia pun tidak berani mengabarkan tentang kematian gurunya.
“Saya datang untuk memenuhi pesan Suhu Ciu Lam Hok. Saya disuruh mencari adiknya yang bernama Ciu Ceng, dan saya disuruh menyelidiki keadaan keluarganya dan diharuskan membantu kalau keluarga itu membutuhkan bantuan.”
“Aih, kalau saja kakakku sendiri berada di sini, tentu dia akan dapat menolong kami. Akan tetapi engkau muridnya, engkau hanya seorang yang masih muda begini, bagaimana akan mampu menolong kami? Kami sedang dilanda malapetaka.”
“Harap suka memberitahukan kepada saya, dan saya akan membantu sekuat tenaga, dengan taruhan nyawa, demi memenuhi perintah Suhu!” kata Yo Han dengan sikap tenang dan suara bersungguh-sungguh.
“Benarkah itu?” Nenek itu berseru dan suaranya mengandung harapan, akan tetapi pada saat itu, beberapa orang memasuki kamarnya. Mereka itu ternyata adalah puteranya, Gan Seng, mantunya, dan cucu perempuannya, Gan Bi Kim yang cantik. Melihat betapa ibunya yang sedang sakit itu duduk di atas pembaringan dan bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing, tentu saja Gan Seng menjadi heran sekali. Tadi dia menerima laporan dari seorang pelayan bahwa ibunya kedatangan seorang tamu, maka dia bersama isteri dan puterinya yang merasa khawatir akan kesehatan ibunya, segera pergi ke kamar ibunya. Kini tahu-tahu ibunya sudah duduk bercakap-cakap dengan seorang pemuda.
“Siapakah pemuda ini?” tanya Gan Seng dengan alis berkerut karena dia menganggap pemuda itu mengganggu ibunya yang perlu beristirahat.
Akan tetapi, melihat keluarganya memasuki kamarnya, nenek itu lalu memperkenalkan dengan wajah berseri,
“Anakku, pemuda ini adalah Yo Han, dia murid pamanmu Ciu Lam Hok yang sering kuceritakan kepada kalian.”
“Ah, begitukah?” Gan Seng tertegun dan merasa heran mengapa pamannya yang tentu sudah tua sekali, mempunyai murid yang masih begini muda. Yo Han sendiri cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Gan Seng, isterinya, dan juga kepada gadis cantik itu. Nenenk Ciu Ceng segera memperkenalkan mereka kepadanya.
“Yo Han, ini adalah puteraku Gan Seng, ini mantuku, dan itu cucuku Gan Bi Kim!”
Sambil memberi hormat, Yo Han berkata kepada Gan Seng.
”Mohon maaf sebanyaknya kepada Taijin bahwa saya telah berani lancang mengganggu, karena saya hanya memenuhi perintah Suhu, untuk mencari adik Suhu....”
Gan Seng menggeleng kepala.
“Tidak mengapa, tidak mengapa, hanya....” Dia mengerutkan alisnya karena memang pada waktu itu dia sedang menghadapi hal yang amat memusingkan, bahkan ibunya sampai jatuh sakit karena malapetaka yang menimpa dirinya itu.
Seng-ji (Anak Seng), Yo Han ini diutus gurunya untuk datang berkunjung dan dia mewakili gurunya untuk menolong kita dari kesukaran! Siapa tahu, dia akan mampu mengangkat kita keluar dari kesulitan ini!”
“Ibu, mana mungkin....?” kata Gan Seng meragu.
Melihat sikap mereka, Yo Han kembali memberi hormat.
“Harap Taijin suka memberi tahu kepada saya, kesulitan apa yang dihadapi keluarga Taijin. Saya telah berjanji kepada Suhu untuk membantu keluarga adik Suhu kalau menghadapi kesulitan, dan saya akan mentaati perintah Suhu, membantu keluarga Taijin kalau perlu dengan taruhan nyawa.”
“Ceritakanlah kepadanya, Seng Ji. Siapa tahu pemuda ini yang akan mampu membebaskan kita dari kesulitan ini,” bujuk nenek tua itu.
“Baiklah, Ibu. Sekarang Ibu beristirahatlah, dan mari Yo Han, kita bicara di ruangan dalam,” kata Gan Seng.
Yo Han menoleh kepada nenek Ciu Ceng.
“Harap Paduka beristirahat dan saya menyampaikan pesan Guru saya bahwa Suhu mengutus saya membantu keluarga Paduka untuk membuktikan bahwa Suhu sayang kepada Paduka.”
Mendengar ini, nenek Ciu Ceng menangis dan merebahkan dirinya. Akan tetapi suaranya terdengar gembira bercampur haru ketika ia berkata,
“Ah, Hok-koko (Kakak Hok), ternyata engkau masih teringat kepada adikmu ini! Kakakku yang baik, aku pun selalu terkenang kepadamu dan aku sayang kepadamu....” Ia menangis dan tertawa sekaligus dan berita yang diucapkan Yo Han ini merupakan obat yang mujarab bagi nenek itu.
Dengan hati lega Gan Seng lalu menggandeng tangan Yo Han, diajaknya keluar dari kamar itu, diikuti oleh isterinya dan oleh Gan Bi Kim.
Setelah mereka semua duduk mengelilingi sebuah meja besar, Can Seng yang masih meragu dan belum yakin benar bahwa pemuda yang usianya paling banyak dua puluh tahun, bersikap sederhana itu akan mampu menolong keluarganya dari malapetaka yang menimpa, segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya.
“Sebelum kami menceritakan persoalan yang menyulitkan keluarga kami, lebih dulu kami ingin mendengar keteranganmu mengenai Paman Tuaku itu dan bagaimana engkau yang masih muda ini akan mampu menolong kami. Nah, ceritakan dimana adanya Paman Tuaku itu.”
Kalau terhadap nenek Ciu Ceng yang sedang sakit Yo Han belum berani berterus terang tentang kematian suhunya, terhadap keluarga ini dia merasa lebih baik untuk berterus terang.
“Taijin....”
“Nanti dulu, Yo Han. Kalau engkau benar murid pamanku, tidak semestinya engkau menyebut aku taijin (orang besar). Usiamu masih amat muda. Kau pantas menjadi keponakanku, maka sebut saja paman kepadaku, agar lebih enak kita bicara. Namaku Gan Seng dan engkau boleh menyebut aku paman, dan menyebut isteriku bibi. Nah, lanjutkan ceritamu.”
Wajah Yo Han berubah merah. Tentu saja dia merasa canggung sekali. Yang dia hadapi adalah seorang yang berkedudukan tinggi, bagaimana dia dapat menyebut mereka demikian akrab? Akan tetapi, dia pun tidak berani membantah.
“Terima kasih atas keramahan Paman dan Bibi. Sesungguhnya di depan Nyonya Besar Gan....”
“Ah, kalau engkau menyebut aku paman, maka engkau sebut saja nenek kepada Ibuku.” Pembesar itu memotong.
Diam-diam Yo Man kagum. Keluarga suhunya ini memang orang-orang bijaksana.
Biarpun berkedudukan tinggi namun tidak angkuh.
“Begini, Paman. Di depan Nenek, saya tidak berani berterus terang karena melihat beliau sedang sakit. Sebetulnya, Suhu Ciu Lam Hok telah meninggal dunia....”
“Hemm, bagaimana meninggalnya?” Gan Seng bertanya. Yo Han merasa tidak ada perlunya menceritakan apa adanya. Kalau dia menceritakan bagaimana suhunya disiksa oleh dua orang suheng dari suhunya yang juga sudah tewas, maka ceritanya yang terus terang itu hanya akan mendatangkan penyesalan dan sakit hati. Tidak ada perlu dan gunanya.
“Suhu meninggal dunia dengan baik, karena sudah tua. Dan sebelum meninggal, Suhu meninggalkan pesan kepada saya agar saya mencari adik Suhu yang bernama Ciu Ceng, dan agar saya membantu keluarga adik Suhu itu dengan segala kemampuan saya. Karena itulah maka saya datang menghadap dan menawarkan bantuan. Apalagi kalau Paman sedang menghadapi kesulitan. Katakan apa kesulitan itu, Paman, dan saya, demi pesan Suhu, akan membantu sekuat tenagaku.”
“Akan tetapi, kesulitan kami ini amat hebat dan sukar diatasi. Bagaimana seorang muda seperti engkau akan mampu menolong kami? Bahkan pasukan penyelidik yang sudah kami kerahkan tidak berhasil menolong kami, apalagi engkau? Apa yang telah kaupelajari dari mendiang Paman Tua?”
“Mendiang Suhu telah mewariskan ilmu-ilmu silatnya kepada saya, Paman, dan saya akan mengerahkan segala kemampuan saya untuk membantu Paman, tentu saja kalau Paman percaya kepada saya dan suka menceritakan kesulitan yang Paman hadapi itu kepada saya.”
“Sebaiknya ceritakan saja kepada Yo Han,” desak isteri pembesar itu kepada suaminya.
“Biarpun para komandan yang bersahabat telah mengerahkan pasukan mereka untuk melakukan penyelidikan, tidak ada salahnya kalau Yo Han mencoba untuk menyelidiki pula. Makin banyak yang menyelidiki dan mencari-cari pusaka yang hilang, semakin baik.”
Gan Seng menarik napas panjang, lalu mengangguk-angguk.
“Dengarkan baik-baik, Yo Han, siapa tahu, Tuhan mengutusmu datang ke sini untuk mengangkat kami dari malapetaka ini.” Pembesar itu lalu bercerita. Dia menjadi pembesar yang bertanggung jawab akan semua pusaka milik istana, dan dia diserahi mengurus gudang pusaka. Selama bertahun-tahun dia bertugas, dibantu pasukan penjaga yang kuat, tidak pernah terjadi sesuatu. Akan tetapi, dua minggu yang lalu, dua buah pusaka lenyap dari dalam gudang pusaka itu. Dua buah pusaka yang amat penting, yaitu sebuah cap kebesaran Kaisar Kang Hsi, kakek dari Kaisar Kian Liong yang sekarang, dan sebuah bendera lambang kekuasaan Kaisar pertama Kerajaan Mancu, telah hilang! Gegerlah istana karena kedua benda itu merupakan pusaka yang amat penting sekali, sebagai tanda kebesaran Kerajaan Ceng-tiauw. Dan tentu saja Gan Seng sebagai penanggung jawab, segera dihadapkan Kaisar untuk mempertanggung-jawabkan kehilangan itu.
Gan Seng menjadi sibuk sekali karena Kaisar memberi waktu sebulan kepadanya untuk menemukan kembali dua buah pusaka yang hilang. Gan Seng sudah memerintahkan para komandan jaga untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan, namun setelah lewat dua minggu, hasilnya tetap sia-sia belaka. Pencuri itu memasuki gudang tanpa merusak kunci atau jendela, bahkan tidak ada genteng yang pecah. Dua buah pusaka itu lenyap secara aneh sekali, tidak meninggalkan bekas!
Gan Seng tahu bahwa malapetaka akan menimpa keluarganya kalau dua buah benda itu tidak diketemukan. Dia akan dihukum berat, bahkan keluarganya mungkin akan tersangkut.
“Demikianlah malapetaka yang menimpa kami, Yo Han. Semua usaha telah kami lakukan, namun sampai hari ini tidak ada hasilnya. Padahal, waktu yang diberikan Kaisar tinggal dua minggu lagi! Ibuku jatuh sakit karena memikirkan keadaan kami. Nah, bagaimana engkau akan dapat menolong kami, Yo Han? Pasukan keamanan sudah dikerahkan tanpa hasil,” kata pembesar itu dengan nada kesal dan putus asa menutup ceritanya.
Yo Han mengerutkan alisnya. Memang tidak mudah mencari pusaka yang hilang dari dalam gudang pusaka, tanpa diketahui siapa yang mengambilnya! Kalau para komandan pasukan, yang lebih hafal akan keadaan di kota raja tidak mampu menemukan dua buah pusaka itu, apalagi dia yang sama sekali asing dengan keadaan di situ! Akan tetapi, dia akan mencoba, dia tidak putus asa. Dia yakin bahwa Tuhan pasti akan menolongnya, seperti yang sudah-sudah. Dia akan menyerahkan segalanya kepada Tuhan, dan dengan penyerahan total, maka semua tindakannya tentu akan dibimbing oleh kekuasaanNya.
Kalau Tuhan menghendaki, apa sih sukarnya menemukan kembali dua buah benda yang hilang? Akan tetapi, kalau tidak dikehendaki Tuhan, apa pun yang dilakukan benda-benda itu takkan dapat ditemukan kembali, Tuhan Kuasa. Segala kehendak Tuhan pun jadilah! Demikian bisik hatinya.
“Maaf, Paman dan Bibi, apakah sama sekali tidak ada ditemukan jejak ke mana lenyapnya dua buah benda pusaka itu?”
Gan Taijin menghela napas panjang dan menggeleng kepala.
“Apakah tidak ada orang yang dapat dicurigai? Misalnya, adakah selama ini orang-orang yang memusuhi Paman? Siapa tahu, perbuatan itu merupakan perbuatan yang disengaja untuk menghancurkan keluarga Paman.”
Suami isteri itu saling pandang, dan tiba-tiba isteri pejabat itu berkata,
“Sebaiknya kuceritakan saja kepadanya!” Suaminya mengangguk dan wanita itu berkata kepada Yo Han. “Memang ada orang yang merasa tidak senang kepada kami dan bukan tidak mungkin dia melakukan perbuatan itu untuk mencelakakan kami. Akan tetapi karena tidak ada bukti-bukti, bagaimana kami dapat menuduh dia?”
“Maaf, Bibi. Sedikit keterangan saja amat berarti dan penting bagi saya untuk melakukan penyelidikan. Saya pnn tidak akan sembarangan saja menuduh orang, akan tetapi setidaknya, saya depat melakukan penyelidikan.”
Gan Seng menarik napas panjang.
“Memang ada yang kami curigai, akan tetapi tidak ada bukti, dan dia seorang yang berkedudukan tinggi sehingga tidak ada orang yang akan berani menyelidikinya.”
Yo Han memandang dengan wajah berseri.
“Ah, siapakah dia orangnya, Paman? Dan mengapa Paman mencurigai dia?”
“Dia seorang panglima yang dipercaya Kaisar, seorang jagoan istana she Coan. Coan Ciangkun terkenal lihai dan berkedudukan tinggi. Bagaimana kita akan dapat membuktikan bahwa dia yang melakukan perbuatan itu? Tidak ada yang berani menyelidik ke sana. Rumahnya saja dijaga oleh pasukan keamanan yang kuat!”
“Hemm, kenapa Paman mencurigai dia? Apakah alasan Paman dan Bibi mencurigai panglima itu?”
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar