Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 38

Kisah Si Bangau Merah Jilid 38

38

Diberondong pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Yo Han tersenyum dan memandang wajah Sian Li penuh kasih sayang. Sian Li masih cerewet, masih lucu seperti dulu!
"Panjang ceritanya, Li-moi. Akan tetapi.... apakah engkau sudah melupakan suhengmu yang ditawan oleh gerombolan Lama Jubah Hitam?"
Sian Li seperti baru teringat kepada Sian Lun.
"Ah, engkau benar juga, Hanko. Kita harus cepat menolong dan membebaskannya, sekarang juga!"
Yo Han mengangguk dan diam-diam hatinya merasa girang. Adik seperguruan yang sejak kecil sudah dianggap seperti adiknya sendiri dan yang amat disayangnya ini ternyata merupakan seorang gadis gagah perkasa yang bertanggung jawab dan juga setia.
"Tidak akan ada gunanya kalau kita menyerbu ke sana sekarang. Malam hampir tiba dan selain di sana banyak terdapat orang lihai, juga penjagaan amat kuat dan dipasangi banyak jebakan berbahaya. Kita memang harus membebaskannya, akan tetapi tidak sekarang. Besok pagi aku akan berkunjung ke sana dan minta kepada Dobhin Lama, Ketua Lama Jubah Hitam, agar suhengmu dibebaskan.
"Tapi.... kenapa harus menanti sampai besok? Bagaimana kalau kita telambat dan terjadi apa-apa dengan Suheng? Mungkin saja dia dibunuh!"
"Jangan khawatir, Li-moi. Aku sudah tahu akan sepak terjang gerombolan Lama Jubah Hitam. Mereka tidak memusuhi para pendekar, bahkan ingin merangkul dan mengajak para pendekar bersekutu. Mereka membutuhkan kerja sama dan bantuan orang-orang pandai dalam usaha mereka merebut tahta kekuasaan di Tibet. Perjuangan melawan pemerintah Mancu hanya sebagai sarana untuk memperoleh dukungan pare pendekar saja. Pada hakekatnya, yang terpenting bagi mereka adalah menguasai Tibet seperti juga orang-orang Nepal itu bercita-cita untuk merampas kekuasaan di Nepal dan mereka mencari sekutu agar kelak dapat membantu mereka. Jangan khawatir, suhengmu tidak akan dibunuh, mungkin bahkan dibujuk untuk bakerja sama dengan mereka."
Legalah rasa hati Sian Li. Ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han, bukan hanya percaya karena Yo Han adalah suhengnya yang sejak dahulu paling disayangnya dan dipercayainya, akan tetapi juga karena ia ingat bahwa sudah lama Yo Han bertualang di daerah ini dan tentu mengenal benar keadaannya sehingga keterangannya tadi pasti benar.
"Baiklah kalau begitu, aku menyerahkan kepadamu agar Suheng dapat bebas dari tangan mereka. Sekarang, herap kauceritakan semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah, Han-ko."
Yo Han merasa girang bahwa Sian Li menyebut dia koko (kakak), bukan suheng (kakak seperguruan) karena bagaimanapun juga dia tidak pernah dengan sungguh-sunggguh belajar silat dari ayah ibu Sian Li.
"Memang sebaiknya malam ini kita lewatkan dengan saling menceritakan pengalaman, Li-moi. Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu, bagaimana engkau dapat mengobati luka beracun di pundakku. Kurasakan racun itu cukup berbahaya dan kalau harus menggunakan kekuatan sendiri untuk mengusirnya dan menyembuhkan luka beracun itu, tentu akan menggunakan waktu sedikitnya sepuluh hari. Akan tetapi sekarang aku telah sembuh sama sekali! Bagaimana engkau dapat memiliki kepandaian pengobatan yang begini hebat?"
Biasanya, Sian Li tidak haus pujian, bahkan ia akan menganggap seorang pria merayu kalau memujinya. Akan tetapi entah bagaimana sekali ini menerima pujian dari Yo Han, ia merasa amat girang dan bangga.
"Aku mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai," katanya sederhana untuk menyembunyikan rasa bangga dan senangnya.
"Ah, begitukah? Pantas saja kalau begitu. Aku sudah mendengar nama besar Dewa Obat itu. Dan kulihat ilmu silatmu juga hebat, agaknya engkau telah menguasai benar Pek-ho Sin-kun dari Suhu, akan tetapi aku melihat gerakan lain yang bukan dari ayah ibumu."
Sian Li mengangkat telunjuk kanan dan mengamangkannya kepada Yo Han.
"Nah, nah kau mau mengakali aku, ya? Engkau belum menceritakan sedikit juga tentang pengalamanmu dan engkau sudah memancing-mancing agar aku menceritakan segala tentang diriku."
Yo Han tertawa. Sudah lama dia tidak pernah merasakan kegembiraan hati seperti saat itu. Dan dia bersyukur kepada Tuhan bahwa dia dipertemukan dengan Sian Li di tempat yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini dan melihat Sian Li telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, manis budi dan gagah perkasa.
Yo Han menceritakan pengalamannya dengan singkat saja.
"Setelah aku meninggalkan tempat tinggal orang tuamu di Ta-tung...."
"Nanti dulu, ceritakan dulu kenapa engkau meninggalkan aku, meninggalkan kami dan sampai selama ini tidak pernah kembali, Han-ko!"
Yo Han menatap wajah gadis itu dan menarik napas panjang. Sekali lagi dia harus menghadapi suatu kenyataan dalam hidup ini, bahwa biarpun membohong adalah perbuatan tidak baik, namun ada waktunya perlu sekali orang membohong! Membohong bukan dalam arti menipu demi keuntungan pribadi, melainkan membohong agar jangan sampai menyinggung atau menyakiti perasaan orang yang dibohonginya! Kalau sekarang dia berterus terang bahwa dia meninggalkan keluarga gadis itu karena mendengar ayah ibu gadis itu menyatakan keinginan hati agar Sian Li jauh darinya, tentu cerita ini akan mengguncang perasaan Sian Li dan bukan hanya menyinggung, namun menyakitkan dan membingungkan. Maka, dia harus berbohong!
"Lupakah engkau, Li-moi? Aku menggantikanmu menjadi tawanan Ang I Moli. Aku sudah berjanji kepadanya bahwa kalau ia mengembalikan engkau kepada orang tuamu, aku akan menggantikanmu menjadi muridnya." Lega rasa hati Yo Han setelah dia mulai memberi keterangan. Bagaimanapun juga, dia tidaklah berbohong, hanya tidak berterus terang menceritakan keadaan selengkapnya.
Tentu saja Sian Li masih ingat akan semua itu. Bahkan dahulu ketika Yo Han pergi, hampir setiap hari ia menangis dan menanyakannya, dan ia pun teringat akan pembelaan Yo Han kepadanya terhadap Ang I Moli.
"Han-ko, jadi engkau telah menjadi murid iblis betina itu?"
"Tidak, Li-moi. Ia jahat bukan main, jahat dan kejam. Aku tidak suka menjadi muridnya. Aku berhasil lolos darinya dan aku mendapatkan seorang guru di tempat rahasia. Guruku itu kini telah tiada, dan aku merantau ke sini adalah untuk memenuhi pesan terakhir guruku."
"Mencari mutiara hitam itu?"
"Benar, Li-moi. Benda mustika itu dahulu milik guruku yang hilang dicuri orang. Aku hanya ingin merampasnya kembali untuk memenuhi pesan mendiang Suhu."
"Dan engkau malang melintang di daerah barat ini sebagai Sin-ciang Taihiap?”
Yo-Han menarik napas panjang. Selama bertahun-tahun dia berhasil menyimpan rahasia dirinya, akan tetapi, sekali ini rahasianya terbuka, bukan oleh orang lain, bahkan oleh Sian Li!
"Ternyata tidak mudah mencari mutiara hitam seperti yang menjadi pesan terakhir Suhu," dia bercerita. "Suhu hanya mengatakan bahwa benda pusaka itu berada di daerah barat ini. Sampai hampir lima tahun aku berkeliaran di sini, bahkan sudah menjelajah sampai ke daerah Tibet, namun belum berhasil. Dalam penjelajahan itulah aku bertemu dengan hal-hal yang menggerakkan hatiku untuk turun tangan menentang kejahatan. Aku tidak ingin dikenal orang, maka aku selalu menyembunyikan mukaku dan tidak memperkenalkan diri. Orang-orang memberi julukan Sin-ciang Tai-hiap. Aku membiarkan saja dan tidak ada seorang pun tahu bahwa akulah Sin-ciang Tai-hiap. Baru hari ini ada yang tahu, yaitu engkau Li-moi."
Sian Li tertawa dan suasana menjadl akrab sekali ketika dara itu tertawa. Yo Han teringat akan masa lalu. Suatu tawa Sian Li seperti bunyi musik merdu yang mendatangkan perasaan bahagia dalam hatinya. Seperti tetesan air hujan pada hatinya yang selama ini seperti tenah kering. Terasa demikian sejuk den segar dan dia pun tak dapat menahan timbulnya senyum lebar penuh kebahagiaan yang membuat wajahnya berseri.
"Hi-hi-hik, heh-heh, engkau ini sungguh aneh dan lucu, Han-ko. Engkau ingin menyembunyikan diri, tidak ingin dikenal orang, ataukah engkau bahkan ingin mempopulerkan julukanmu atau penyamaranmu itu? Dengan penyamaranmu itu, maka semakin terkenallah Sin-ciang Tai-hiap sebagai seorang pendekar yang rambutnya riap-riapan, bercaping yang ditutupi tirai! Sebaliknya, kalau engkau tidak menyamar lagi, tidak menyembunyikan diri, siapa yang akan tahu bahwa engkau adalah Sin-ciang Tai-hiap? Kenapa mesti menyamar lagi, Han-ko?"
Yo Han mengangguk-angguk.
"Engkau benar, Li-moi. Aku sudah begitu khawatir untuk dikenal orang maka aku bahkan membuat Sin-ciang Tai-hiap semakin terkenal karena dipenuhi rahasia. Mulai sekarang aku akan menanggalkan penyamaran sebagai Sin-ciang Tai-hiap, dan aku akan menjadi Yo Han biasa saja....” Setelah berkata demikian, Yo Han yang sudah menanggalkan capingnya itu lalu menggelung rambutnya, tidak lagi dibiarkan riap-riapan. Dia menggelung rambut, tidak dikuncirnya karena dia tidak senang harus mentaati peraturan pemerintah Mancu agar semua orang Han menguncir rambutnya. Peraturan itu dianggapnya menghina.
"Tapi jangan dibuang caping itu, Han-ko. Pertama, benda itu memang berguna untuk melindungi kepalamu dari panas dan hujan, dan ke dua, siapa tahu kadang-kadang kauperlukan juga tokoh Sin-ciang Tai-hiap itu."
"Li-moi, sudah cukup aku menceritakan pengalamanku, sekarang kaulah yang harus menceritakan padaku keadaanmu. Semenjak kita saling berpisah. Engkau kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, lincah dan juga lihai ilmu silatnya. Tentu sekarang usiamu sudah dewasa, Li-moi."
"Ketika engkau pergi, usiaku empat tahun, Han-ko. Kita saling berpisah selama tiga belas tahun lebih, Jadi usiaku sekarang hampir delapan belas tahun. Aku belajar ilmu silat dari Ayah dan Ibu, kemudian aku menerima gemblengan dari Paman Kakek Suma Ceng Liong dan isterinya di dusun Hong-cun dekat kota Cin-an. Di sana aku bertemu dengan Suheng Liem Sian Lun, murid mereka. Selain itu, juga aku belajar ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai."
"Wah, engkau beruntung sekali, Limoi, mendapat ilmu-ilmu dari banyak orang sakti. Akan tetapi bagaimana engkau dan suhengmu itu dapat berada di sini, amat jauh dari tempat tinggal orang tuamu?"
"Aku dan Suheng Sian Lun sedang dalam perjalanan pulang. Kami baru saja berkunjung ke Bhutan, Han-ko."
"Bhutan? Kenapa pergi ke tempat yang demikian jauh?"
Sian Li lalu bercerita tentang Gangga Dewi dan paman kakeknya Suma Ciang Bun, tentang perjalanan mereka yang jauh, juga tentang pengalamannya ketika bertemu dan bertentangan dengan Lulung Lama dan sekutunya.
Dua orang muda yang merasa amat berbahagia dalam pertemuan yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka itu, bercakap-cakap sampai larut tengah malam. Mereka makan malam secara amat sederhana sekali, dari persediaan makanan yang disimpan Yo Han di dalam guha. Mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing, menjawab semua pertanyaan. Setelah lewat tengah malam, barulah mereka istirahat dan tidur saling mengetahui hampir semua keadaan diri masing-masing. Hanya ada sebuah hal yang masih membuat Yo Han sangsi dan ragu, yaitu tentang hubungan batin aratara Sian Li dan suhengnya. Mereka adalah kakak beradik seperguruan, akan tetapi apakah tidak lebih daripada itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis tidak ada hubungan darah, dan keduanya tampan dan cantik, melakukan perjalanan berdua saja. Tidak aneh kalau mereka itu saling mencinta, bahkan agaknya tidak wajar kalau tidak ada perasaan cinta di antara mereka. Yo Han tidak berani bertanya akan hal itu, akan tetapi dia menduga bahwa Sian Li agaknya amat mencinta suhengnya itu. Dan dia pun tidak akan merasa heran, suheng Sian Li itu memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, sudah sepatutnya kalau menjadi jodoh Sian Li. Hanya, dia merasa heran dan tidak enak mengapa hatinya menjadi pedih membayangkan kakak beradik seperguruan itu saling mencinta dan menjadi jodoh.
Bahkan bayangan ini menghantuinya, membuat dia gelisah dan tidak dapat pulas. Baru setelah jauh lewat tengah malam, dia dapat mengusir gangguan itu dan tidur pulas.
***
Pada keesokan harinya, Yo Han menunjukkan kepada Sian Li anak sungai berair jernih yang mengalir tak jauh dari guha itu, di mana dara itu dapat membersihkan diri. Mereka mandi bergantian dan dengan badan segar mereka sarapan pagi seadanya, hanya roti kering dan daging kering yang dihangatkan di atas api ungun, kemudian mereka meninggalkan guha.
"Kita harus menolong suheng, Hanko," kata Sian Li ketika mereka keluar dari hutan.
"Tentu saja, Li-moi." Dia menepuk buntalan pakaiannya. "Aku sudah mempersiapkan capingku. Kalau aku menghadapi para Lama, aku harus berperan sebagai Sin-ciang Tai-hiap. Aku akan minta dengan hormat kepada mereka untuk membebaskan suhengmu."
"Akan tetapi bagaimana mungkin, Han-ko? Bagaimana kalau mereka tidak menuruti permintaanmu?"
"Aku tidak pernah bermusuhan dengan para Lama itu, dan mereka adalah orang-orang yang menghargai kegagahan. Kalau perlu, aku akan menantang mereka dengan taruhan bahwa kalau aku menang, mereka harus memenuhi permintaanku."
"Kalau kau kalah?"
"Hemm, kita harus bertanggung jawab dan tidak lari dari kenyataan, Li-moi. Kalau aku kalah, mereka boleh melakukan apa saja terhadap diriku."
"Tapi.... itu berbahaya sekali, Han-koi"
Yo Han tersenyum.
"Aku tahu, Limoi, sejak aku mempelajari ilmu silat, tahulah aku bahwa aku telah terjun ke dalam dunia kekerasan di mana terdapat penuh bahaya. Akan tetapi, hidup seperti apakah yang tidak berbahaya? Hidup itu sendiri Sudah merupakan suatu bahaya, Li-moi. Hidup adalah perjuangan, suatu perjuangan orang tiada hentinya melawan bahaya yang datang dari segala jurusan. Hidup merupakan suatu tantangan yang harus kita perjuangkan, kita hadapi, dan perjuangan itu adalah untuk mengatasi semua tantangan itu, semua bahaya itu!"
Sian Li mengerutkan alisnya dan saking tertarik, ia menghentikan langkahnya, memandang kepada pemuda itu.
"Eh? Apa maksudmu, Han-ko? Kehidupan seorang dari dunia persilatan seperti kita memang menghadapi banyak tantangan, banyak bahaya, akan tetapi kehidupan seorang biasa, apakah bahaya dan tantangannya?"
Yo Han tersenyum,
"Tiada bedanya, Li-moi. Apakah kehidupan seorang petani miskin itu tidak penuh tantangan yang harus mereka hadapi dan atasi tantangan itu dapat datang dari kemiskinannya, dari kesehatan yang terganggu, dari kesejahteraan keluarganya, dari kerukunan keluarganya. Orang dapat ditentang oleh kekurangan makan pakaian dan tempat tinggal, oleh gangguan kesehatan oleh percekcokan rumah tangga, dan seribu satu tantangan lagi. Semua itu mau tidak mau, harus dihadapi dan diatasi, kita tidak mungkin dapat lari darinya, karena itulah isi kehidupan ini, urusan jasmani, urusan duniawi."
"Hemm, kalau orang kaya dan orang berpangkat tentu tidak menghadapi semua tantangan dan kesulitan...."
"Siapa bilang? Mereka pun dapat sakit, dapat cekcok dengan keluarga. Bahkan ditambah lagi. Orang kaya harus mempertahankan kekayaannya, menjaganya agar tidak berkurang atau lenyap, selalu khawatir akan kehilangan. Demikian pula orang berkedudukan selalu ingin mempertahankan kedudukannya, takut kehilangan. Pendeknya, selagi hidup sebagai manusia, kita tidak akan dapat bebas dari tantangan dan bahaya. Justeru itulah isi kehidupan, itulah romantikanya kehidupan. Dan menghadapi semua itu, berusaha mengatasinya. Perjuangannya melawan semua tantangan, itulah seninya, seni kehidupan! Betapa akan membosankan kalau hidup ini tidak ada tantangan yang harus ditanggulangi, dihadapi dan diatasi. Senang baru akan terasa senang kalau kita pernah merasakan susah. Kepuasan yang sebenarnya hanyalah terasa kalau kita pernah merasa kecewa. Bukankah begitu, Li-moi?"
Sian Li terbelalak, kemudian tertawa.
"Wah-wah-wah, bicaramu seperti seorang guru besar kebatinan saja, Han-ko. Menurut Ayah dan Ibuku, dahulu engkau tidak suka akan kekerasan, tidak suka belajar silat, akan tetapi sekarang malah menjadi seorang pendekar sakti dan bicaramu seperti seorang pendeta!"
"Li-moi, mengenai kehidupan, apakah hanya para pendeta saja yang harus mengetahuinya? Kehidupan adalah kita sendiri, Li-moi. Sudah sewajarnya, bahkan sepatutnya kalau setiap orang tahu dan mengerti akan kenyataan dalam hidup ini. Sampai sekerang pun aku tidak suka akan kekerasan, Li-moi, karena aku tahu dan yakin benar bahwa kekerasan bukanlah cara terbaik untuk hidup. Namun, menghadapi tantangan dalam kehidupan, sekali waktu kita membutuhkan juga kekuatan untuk menanggulanginya, dan seperti juga semua ilmu, ilmu silat pun amat berguna kalau saja dipergunakan melalui garis yang benar, bukan sebagai alat mengumbar nafsu. Nah, kurasa engkau pun tentu sudah mengerti akan semua itu, karena aku tahu bahwa orang tuamu adalah sepasang suami isteri yang bijaksana. Apalagi engkau telah digembleng oleh paman kakekmu dan isterinya, juga oleh seorang tokoh besar seperti Yok-sian Lo-kai."
Sian Li mengangguk-angguk kagum.
"Cara mereka bicara tidak jauh bedanya dengan apa yang kaukatakan semua tadi, Han-ko...."
"Hemmm, ada orang-orang datang ke sini, Li-moi. Jangan katakan bahwa aku adalah Sin-ciang Tai-hiap...."
Sian Li mengangkat muka memandang ke depan dan benar saja. Ada enam orang datang dengan langkah lebar. Dari jauh saja, sudah nampak bahwa lima orang di antara mereka adalah para pendeta Lama Jubah Hitam, dapat dilihat dari kepala mereka yang gundul dan jubah hitam mereka yang lebar. Yang seorang lagi adalah seorang pemuda. Setelah mereka datang lebih dekat dan Sian Li mengenal siapa pemuda itu, wajahnya berubah merah dan ia menjadi marah. Pemuda itu bukan lain adalah Cu Ki Bok murid Lulung Lama yang kurang ajar itu. Dan lima orang gundul itu adalah lima orang anggauta Hek I Lama.
"Jahanam busuk! Akan kubunuh kalian!" Sian Li sudah meraba gagang pedangnya, akan tetapi Yo Han menyentuh lengannya,
"Sabarlah, Li-moi, biarkan mereka mengatakan dulu apa maksud mereka mencari kita."
Kini Cu Ki Bok sudah tiba di depan mereka. Pemuda yang tinggi tegap dan tampan gagah itu tersenyum, dan lima orang pendeta Lama yang berdiri di belakangnya, diam tak bergerak seperti patung.
“Selamat pagi, Nona Tan Sian Li. Senang sekali bertemu denganmu, karena Nona tentu akan dapat memberi tahu kepada kami di mana kami dapat bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap."
Sian Li tersenyum mengejek.
"Hemm, keparat busuk, andaikata aku tahu sekalipun tak akan sudi aku memberitahukan kepadamu!"
"Hemm, Nona jangan berlagak. Kalau tidak ada Sin-ciang Tai-hiap, apa kaukira akan mampu lepas dari tangan kami? Sekarang kami menginginkan Sin-ciang Tai-hiap, untuk menyampaikan pesan dari ketua kami. Katakan di mana aku dapat bertemu dengan dia, dan aku tidak akan mengganggumu lagi, melihat muka pendekar itu."
"Sobat, katakan saja kepada kami apa yang akan kausampaikan kepada Sin-ciang Tai-hiap, dan kamilah yang akan menyampaikan kepadanya," kata Yo Han dengan suara tenang dan lembut.
Cu Ki Bok memandang kepada Yo Han dengan alis berkerut, jelas bahwa dia memandang rendah kepada pemuda itu, tidak mengenalnya, akan tetapi merasa tidak senang karena pemuda ini berdua dengan gadis yang dirindukannya.
"Siapa kamu? Dan mengapa aku harus menyampaikan pesanku untuk Sin-ciang Tai-hiap kepada kamu?"
Sian Li marah sekali melihat sikap dan mendengar ucapan yang nadanya menghina dan memandang rendah itu. Akan tetapi Yo Han tersenyum, girang bahwa kini dia dapat menghadapi orang tanpa menyembunyikan wajah aselinya dan orang itu tidak mengenalnya. Benar juga pendapat Sian Li semalam. Sin-ciang Tai-hiap yang harus dirahasiakan, bukan Yo Han!
"Namaku Yo Han, dan aku orang biasa saja, akan tetapi aku telah dipesan oleh Taihiap bahwa jika ada orang yang mencarinya, boleh menyampaikan kepada kami berdua. Kalau engkau percaya kepada kami, nah, katakan apa yang kau ingin sampaikan kepadanya. Kalau tidak percaya, sudahlah, kau cari saja sendiri."
Sian Li mengeluarkan suara tawa mengejek.
"Huh, mana pengecut ini berani mencari Sin-ciang Tai-hiap? Baru melihatnya saja, dia akan lari terbirit-birit!" Lalu dilanjutkannya dengan nada suara marah, "Kawanan srigala ini licik dan pengecut, beraninya hanya main keroyokan. Buktinya, Suheng ditawan karena keroyokan. Jahanam Cu Ki Bok, kalau kalian mengganggu Suhengku, aku akan membasmi kalian semua, tak seorang pun kubiarkan hidup!"
Mendengar ucapan yang keras itu, Cu Ki Bok tidak menjadi marah, bahkan dia tertawa geli.
"Ha-ha-ha, kau kira suhengmu itu kami ganggu, Nona? Nona masih saja salah sangka. Kami bukanlah penjahat. Kami adalah pejuang-pejuang yang bercita-cita mengusir penjajah Mancu. Kami membutuhkan kerja sama dengan para pendekar. Bukankah ketua kami tadinya juga menawarkan kerja sama dengan Nona dan suheng Nona itu? Dan sekarang suhengmu dengan suka rela membantu kami, dan dia hidup bersenang-senang. Hemm, suhengmu memang pandai mempergunakan kesempatan, aku sendiri sampai iri melihat dia bersenang-senang seperti itu...."
"Kau bohong!" Sian Li membentak, akan tetapi diam-diam ia ingin sekali tahu kesenangan apa yang dimaksudkan oleh orang itu.
"Sudahlah, aku pun datang bukan untuk membicarakan urusan Liem Sian Lun. Aku diutus oleh ketua kami untuk bicara dengan Sin-ciang Tai-hiap. Kuharap saja dia akan muncul menemui kami."
"Orang macam engkau tidak berharga untuk bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap," kata Sian Li. "Sampaikan saja kepadaku atau kau boleh minggat dari sini."
Wajah Cu Ki Bok berubah merah. Dia merasa direndahkan dan dihina oleh gadis itu, akan tetapi harus diakuinya bahwa dia memang merasa jerih untuk berhadapan dengan pendekar sakti itu. "Baiklah, akan kusampaikan kepadamu, Nona Tan Sian Li, akan tetapi tidak kepada cacing tanah itu." Cu Ki Bok menggerakkan kepala ke arah Yo Han dengan sikap amat merendahkan sehingga wajah Sian Li berubah, merah karena marahnya.
"Cu Ki Bok, kalau engkau menghina kami berdua, berarti engkau menghina Sin-ciang Tai-hiap karena Taihiap telah memberi kuasa kepada kami berdua untuk mewakilinya bicara dengan siapa saja! Nah, katakan kepada kami berdua apa keperluanmu tanpa menghina orang, atau aku akan mewakilinya membunuhmu di sini juga!"
Cu Ki Bok tidak gentar terhadap Sian Li, akan tetapi dia takut kalau Sin-ciang Tai-hiap muncul membantu nona itu.
"Baik, dengarlah pesan kami. Ketua kami, Dobhin Lama mengundang Sin-ciang Tai-hiap untuk mengadakan pertandingan adu ilmu...."
"Huh, dan kalian tentu akan menjebaknya dan mengeroyoknya dengan mengandalkan banyak orang, bukan?" Sian Li mengejek. Ia sengaja memanaskan hati pihak lawan.
"Sama sekali tidak!" bantah Cu Ki Bok penasaran. "Nona, engkau belum mengenal siapa adanya Supek (Uwa Guru) Dobhin Lama! Beliau adalah seorang tokoh besar di Tibet yang memiliki kedudukan tinggi. Tidak mungkin Supek menggunakan siasat. Supek telah lama mendengar akan nama besar Sin-ciang Tai-hiap dan kini ingin mengadu ilmu dengan Sin-ciang Tai-hiap. Kalau Sin-ciang Taihiap mampu menandingi Supek Dobhin Lama, maka mutiara hitam akan dikembalikan kepadanya."
"Hemm, tidak cukup dengan itu! Kalau dia dapat mengalahkan Dobhin Lama, selain mutiara hitam diserahkan kepadanya, juga Suheng Liem Sian Lun harus dibebaskan!" kata Sian Li. "Kalau syarat ini tidak dijanjikan, aku tidak sudi menyampaikan kepadanya."
"Ha-ha-ha, sekarang juga dia sudah bebas, akan tetapi mana mungkin dia mau meninggalkan segala kesenangan itu? Akan tetapi baiklah, aku yang tanggung bahwa syarat ke dua itu dapat diterima dan disetujui oleh Supek. Kalau Supek kalah, Liem Sian Lun akan dibebaskan dan mutiara hitam akan diserahkan kepada Sin-ciang Tai-hiap. Akan tetapi sebaliknya, kalau Supek yang menang, Sin-ciang Tai-hiap harus membantu perjuangan untuk menentang penjajah Mancu."
Tentu saja Sian Li tidak berani lancang menerima syarat itu, maka ia menoleh kepada Yo Han dan berkata,
"Han-ko, bagaimana pendapatmu? Biarpun Taihiap sudah menyerahkan keputusannya kepadaku, akan tetapi aku ingin tanya pendapatmu sebelum menerima syarat itu."
Yo Han mengangguk-angguk.
"Sin-ciang Tai-hiap adalah seorang pendekar yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Bangsa Mancu menjajah, hal itu jelas tidak adil dan tidak benar, maka tentu saja dia tidak akan berkeberatan untuk menentang penjajah Mancu."
Sian Li mengangguk-angguk.
"Tepat sekali, aku pun berpikir demikian, Hanko. Nah, Cu Ki Bok, akan kusampaikan pesan itu kepada Sin-ciang Tai-hiap. Kuulangi taruhannya. Kalau dia menang, mutiara hitam harus diserahkan kepadanya dan Suhengku harus dibebaskan. Kalau Dobhin Lama yang menang, Sin-ciang Tai-hiap harus membantu perjuangan menentang penjajah Mancu. Kalau dia menerima tantangan itu, lalu kapan pertandingun itu diadakan dan di mana?"
Cu Ki Bok tersenyum.
"Dalam hal ini, Supek ingin memperlihatkan iktikad baiknya dan kejujurannya ketika mengajak Sin-ciang Tai-hiap untuk mengadu ilmu. Supek menyerahkan kepada Sin-ciang Tai-hiap untuk menentukan waktu dan tempat."
"Kalau begitu sekarang juga!" Sian Li berkata dengan cepat. Dara yang cerdik ini segera mengambil keputusan yang dianggapnya menguntungkan pihaknya. "Dan tempatnya, di puncak bukit sebelah sana itu!" Ia menunjuk ke arah bukit di sebelah kiri. Ia tahu bahwa tempat yang menjadi sarang Hek I Lama berada di sebelah kanan, maka bukit itu tentu merupakan tempat bebas dari pengaruh kekuasaan Hek I Lama sehingga kalau diadakan pertandingan di sana, maka pihak musuh tidak akan sempat mengatur siasat untuk menjebak atau mengeroyok.
Cu Ki Bok memandang ke arah bukit itu dan mengangguk-angguk.
"Baiklah. Kami akan melapor kepada ketua kami. Sebentar lagi, menjelang tengah hari, tentu Supek telah berada di puncak bukit itu. Harap saja janji kalian bukan merupakan bual kosong belaka. Selamat tinggal!" Cu Ki Bok lalu pergi dari situ diikuti lima orang pendeta Lama.
"Kenapa engkau memilih tempat pertandingan di puncak bukit itu, Li-moi?"
"Aku sengaja memilih tempat yang jauh dari mereka agar kita dapat mendahului mereka ke tempat itu sehingga mereka tidak sempat membuat jebakan. Sebaiknya kalau kita sekarang juga pergi ke sana, Han-ko, untuk mengenal medan dan mempersiapkan diri."
Yo Han kagum. Kiranya Sian Li, Si Bangau Merah yang dahulu sering digendongnya dan diajak bermain-main itu, kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, lihai, pemberani dan juga cerdik sekali. Cara gadis itu tadi menghadapi Cu Ki Bok saja sudah menunjukkan kecerdikannya. Diam-diam dia merasa bangga.
Mereka lalu berangkat mendaki bukit yang tadi ditunjuk oleh Sian Li. Bukit itu ternyata merupakan sebuah bukit yang sunyi, penuh dengan hutan belukar dan tidak nampak ada dusun di atas bukit. Dusun-dusun hanya terdapat di kaki bukit, begitu mereka mendaki ke atas, ternyata tidak terdapat dusun di lereng-lereng bukit itu yang penuh hutan liar belukar dan rawa-rawa. Bahkan mendaki ke puncak pun tidak mudah walaupun bukit itu tidak terlalu besar. Karena kini dia sudah berada di tempat di mana ditentukan adu kepandaian itu, untuk menjaga kalau-kalau ada pihak musuh yang melihatnya. Yo Han sudah mengenakan caping berikut tirai sutera hitamnya, dan membiarkan rambutnya juga terlepas riap-riapan.
Akan tetapi, betapa heran mereka ketika tiba di puncak, mereka melihat sebuah pondok berdiri di situ! Sebuah pondok kayu yang nampaknya masih baru, mungkin hanya beberapa bulan saja umurnya. Kecil namun kokoh kuat. Dan di belakang dan kanan kiri pondok itu nampak ditanami sayur-sayuran, di depan pondok, sebuah taman yang penuh bunga indah amat menyedapkan pandang mata. Tentu saja Sian Li dan Yo Han tertegun sejenak dan saling pandang. Sungguh di luar dugaan mereka bahwa di tempat sunyi itu terdapat pondok tempat tinggal orang! Siapa orangnya yang tinggal di di tempat sunyi seperti ini? Tentu hanya pertapa atau pendeta yang sengaja mengasingkan diri dari dunia ramai.
Ketika dengan ragu-ragu mereka memasuki pelataran rumah itu yang merupakan sebuah taman dikelilingi pagar bambu, tiba-tiba terdengar bentakan halus suara wanita,
"Berhenti! Siapa kalian berani lancang memasuki pekarangan rumah orang tanpa diundang!"
Yo Han dan Sian Li berhenti, lalu memandang ke arah suara yang keluar dari pinggir pondok. Ketika pemilik suara muncul, mereka memandang heran. Wanita itu berusia lima puluh tahun lebih, namun masih nampak cantik manis. Pakaiannya sederhana namun bersih dan ringkas, tubuhnya masih padat dan tegak, sikapnya gagah dan sebatang pedang yang tergantung di pinggang menunjukkan bahwa wanita ini seorang ahli silat yang tidak lemah. Rambut panjang yang sudah dihias uban itu digelung ke atas, dengan hiasan tusuk sanggul dari perak berbentuk bunga seruni. Wanita itu dengan alis berkerut dan sinar mata tajam menyelidik, mengamati Yo Han dan Sian Li. Juga ia merasa heran melihat bahwa tamu-tamu yang tidak diundangnya itu seorang pemuda tampan bermata tajam mencorong, dan seorang gadis yang jelita.
Sian Li yang lincah jenaka itu sudah dapat menguasai keheranannya dan ia pun tersenyum manis. "Aih, Bibi ini manusia ataukah peri? Bibi kelihatan seperti seorang wanita setengah tua yang cantik dan gagah, agaknya memang seorang manusia dari darah daging. Akan tetapi kalau manusia, kenapa hidup di puncak bukit yang amat sepi ini seorang diri?"
Wanita itu terbelalak dan matanya bersinar marah.
"Kau bocah lancang mulut!" Wanita itu menggerakkan lengan bajunya dan tiba-tiba tubuhnya sudah meloncat dan melayang ke depan Sian Li. Gerakannya demikian ringannya seperti terbang saja. Begitu tiba di depan Sian Li, ia menggerakkan tangan menampar ke arah pundak gadis itu.
Tamparannya nampak lembut dan tidak mengandung tenaga, akan tetapi ada angin yang dingin menyambar ke arah pundak Sian Li. Gadis ini terkejut, mengenal pukulan yang mengandung sin-kang (tenaga sakti) dingin. Cepat ia pun mengelak dan sambaran tangan wanita itu luput. Kini tangan kanan wanita itu menyambar dan kembali tangan itu menampar ke arah pundak kiri Sian Li. Kalau tadi tangan kiri wanita itu mendatangkan angin yang dingin sekali, sekarang tangan kanannya yang menyambar itu membawa angin pukulan yang amat panas sehingga telapak tangan itu beruap! Kembali Sian Li terkejut dan cepat ia menggeser kaki, menarik diri ke belakang sehingga pukulan ke dua itu pun luput.
"Ehh....?" Wanita itu nampak terkejut dan heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis remaja yang lancang mulut itu mampu menghindarkan diri dari dua tamparannya yang hebat! Ia merasa penasaran dan siap untuk menyerang sungguh-sungguh akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencegahnya.
"Ibu, harap jangan pukul orang....!"
Wanita setengah tua itu terkejut dan membalikkan tubuh, dan ketika ia melihat seorang pemuda keluar dari pintu pondok, ia mengangkat kedua tangannya ke atas dan memandang penuh kekhawatiran.
"Ciang Hun, kenapa engkau bangun. Seharusnya engkau melanjutkan pengobatan dengan menghimpun hawa murni agar engkau sembuh benar!"
Pemuda itu tersenyum,
"Ibu, aku sudah sembuh." Mendengar ini, wanita itu berlari menghampiri dan merangkul pundak pemuda itu dengan pandang mata yang membuat Sian Li terharu. Pandang mata wanita itu terhadap puteranya sungguh penuh kasih sayang mendalam! Wanita itu seorang ibu yang teramat besar kasih sayangnya kepada puteranya. Ia pun seperti Yo Han, kini memperhatikan pemuda yang baru muncul dari dalam pondok itu.
Pemuda itu bertubuh tinggi besar dan tegap sehingga nampak gagah perkasa, namun wajahnya membayangkan kelembutan dan ketenangan. Usianya sekitar dua puluh delapan tahun. Pada saat itu, wajahnya agak pucat, wajah yang tampan dengan alis tebal dan hidung mancung besar. Matanya seperti mata ibunya, jeli dan bersinar tajam.
Pemuda itu kini menghampiri Sian Li dan Yo Han. Pandang matanya menyelidik, akan tetapi mulutnya tersenyum ramah dan dengan rendah hati dia mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan. Tentu saja Yo Han segera membalasnya, dan Sian Li yang masih mendongkol karena tadi diserang secara membabi-buta, mengikuti Yo Han dengan setengah hati.
"Harap Jiwi (Anda Berdua) memaafkan ibuku yang menyambut Jiwi dengan sikap kasar. Hendaknya Jiwi ketahui bahwa di sini banyak berkeliaran orang jahat, maka ibuku menjadi pemarah dan mencurigai semua orang. Kalau boleh kami mengetahui, siapakah Jiwi dan apa pula maksud kunjungan Jiwi ke sini?"
Selain suaranya lembut, wajahnya cerah dan dihias senyum, juga kata-katanya teratur, tanda bahwa pemuda tinggi besar itu seorang yang terpelajar. Yo Han segera merasa tertarik dan dia pun merasa sungkan sekali, ingat betapa dia dan Sian Li telah lancang memasuki pekarangan orang tanpa ijin. Wanita, setengah tua itu tidak bersalah, apalagi agaknya ucapan jenaka dari Sian Li tadi agaknya membuat wanita yang sedang risau dan pemarah itu salah sangka atau salah tampa.
selanjutnya--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar