Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 24

Kisah Si Bangau Merah Jilid 24

24

"Hyaaattt....!" Nenek Bu Ci Sian menggerakkan sulingnya dan tongkat yang sudah terputar-putar melekat pada suling itu tiba-tiba meluncur balik ke arah pemiliknya yang sudah melarikan diri! Akan tetapi, nenek itu mencari sasaran yang tidak mematikan dan tongkat itu dengan tepat menancap dan menembus paha kiri Hek-pang Sin-kai dari belakang! Kakek jembel itu mengeluarkan teriakan kesakitan. Akan tetapi saking takut kalau dikejar dan dibunuh, dia tetap berloncatan lari sambil terpincang-pincang, membawa lari tongkat yang menembus paha kirinya.
Sejak tadi, Sian Li mengikuti pertandingan itu dan diam-diam ia merasa girang bahwa nenek itu dapat mengalahkan kakek jembel yang jahat. Akan tetapi, ia merasa kecewa melihat nenek itu membiarkan Si Bongkok jahat itu pergi.
"Nek, kenapa tidak kaubunuh saja kakek jembel jahat itu?"
Mendengar ucapan ini, nenek Bu Ci Sian menghampiri Sian Li dan alisnya berkerut.
"Kenapa dibunuh?" tanyanya.
"Dia jahat. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau membebaskan mereka yang akan menjadi korbannya di kemudian hari. Sekarang engkau malah membiarkan dia pergi. Tentu dia akan mencelakai banyak orang lagi dan kalau hal itu terjadi, berarti engkau pun ikut bersalah, Nek."
Nenek Bu Ci Sian terbetalak. Anak ini sungguh cerdik, akan tetapi juga galak dan tak kenal ampun terhadap orang jahat. Ia tersenyum, teringat akan wataknya sendiri di waktu muda.
"Anak baik, benarkah engkau cucu Kao Cin Liong dan Suma Hui?
Sian Li memandang tajam,
“Apakah kau kira aku ini seorang yang suka berbohong?"
“Kalau benar, berarti kita ini bukan orang lain, anak yang baik. Engkau mengenal Suma Ceng Liong?"
"Tentu saja!" kata anak itu, "Dia masih keluarga nenekku, adik nenekku, bahkan dia calon guruku."
"Ehh?" Tentu saja nenek Bu Ci Sian menjadi heran mendengar pengakan itu.
"Engkau menjadi muridnya? Bagaimana pula ini?"
"Sebelum aku menceritakan hal itu, aku ingin tanya lebih dulu. Siapakah engkau, Nek?"
Nenek Bu Ci Sian kembali tersenyum. Anak ini memang cerdik dan berhati-hati.
”Engkau sudah mengenal Suma Ceng Liong, tentu mengenal pula isterinya.”
"Tentu saja. Nenek Kam Bi amat baik kepadaku ketika berkunjung ke rumah Kakek Kao Cin Liong dan kami bertemu disana,
"Nah, aku adalah nenek buyutmu, aku adalah ibu dari nenekmu Kam Bi Eng itulah."
"Aih, kiranya Nenek Buyut Bu Ci Sian!" kata Sian Li sambil cepat memberi hormat sambil berlutut.
Nenek itu girang sekali, mengangkat bangun anak itu, dan memeluknya.
"Engkau bahkan sudah mengenal saudaraku?"
"Tentu saja. Sejak kecil Ayah dan Ibu sudah mendongeng kepadaku tentang Kakek Buyut Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas, juga tentang Nenek Buyut. Sekarang baru aku melihat sendiri bahwa Nenek Buyut memang lihai bukan main, dengan mudah mengalahkan Hek-pang Sin-kai yang lihai dan jahat tadi."
“Sekarang ceritakan bagaimana kau dapat terculik pengemis itu, dan di mana adanya ayah ibumu."
Sian Li menceritakan tentang pengalaman ia dan ayah ibunya di kota Heng-tai, tentang persekutuan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang mengadakan persekutuan jahat.
Karena Sian Li memang cerdik dan ia sudah mendengar dari ayah ibunya, ia dapat bercerita dengan jelas dan mendengar itu, wajah nenek Bu Ci Sian berubah tegang.
"Aihh, kalau begitu, ayah ibumu menghadapi urusan besar yang menyangkut keselamatan keluarga Kaisar. Pantas saja engkau diculik orang dan tidak kebetulan, yang menolongmu juga seorang tokoh sesat macam Hek-pang Sin-kai. Untung sekali agaknya Tuhan yang menuntunku pagi-pagi ini lewat di sini sehingga dapat melihat engkau dalam tawanan penjahat itu. Akan tetapi, apa artinya engkau tadi mengatakan bahwa Suma Ceng Liong akan menjadi calon gurumu?"
"Sebetulnya, aku bersama Ayah Ibu meninggalkan rumah sedang menuju ke Cin-an karena sudah tiba saatnya aku harus belajar ilmu dari Kakek Suma Ceng Liong seperti yang telah dijanjikan antara dia dan Ayah. Sebelum ke sana, Ayah dan Ibu mengajak aku berpesiar ke kota raja. Akan tetapi ketika tiba di kota Heng-tai, terjadi peristiwa itu."
"Aih, begitukah? Bagus sekali kalau begitu. Aku sendiri sedang dalam perjalanan menuju ke rumah anak dan mantuku itu."
"Akan tetapi, Ayah dan Ibu akan mencari-cariku, Nek. Mereka akan menjadi bingung. Sebaiknya kalau kita kembali dulu ke Heng-tai dan...."
"Berbahaya sekali, cucuku. Seperti ceritamu tadi, di sana penuh dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Kalau sampai mereka melihatmu den mereka mengeroyokku, bagaimana aku akan mampu melindungimu?"
"Aku tidak takut, Nek."
"Bukan soal takut atau tidak takut, cucuku. Akan tetapi, setelah kini engkau terbebas dari bahaya, apakah kita harus mendatangi bahaya lagi dan membiarkan engkau tertawan musuh? Kalau begitu, ayah dan ibumu tentu akan gelisah sekali. Sebaiknya, mari kuantar engkau ke Cin-an. Aku yakin ayah dan ibumu akan pergi ke sana pula. Kalau tidak, aku sendiri yang akan mencari mereka ke Heng-tai, kemudian ke kota raja, dan kalau perlu aku akan berkunjung ke Ta-tung untuk memberitahu mereka bahwa engkau telah berada di Cin-an."
Akhirnya Sian Li menurut karena bagaimanapun juga, oleh ayah dan ibunya ia memang akan diantarkan ke Cin-an. Berangkatlah mereka ke Cin-an dan mereka diterima dengan penuh kegembiraan oleh Suma Ceng Liong dan Isterinya, Kam Bi Eng.
"Ibu, kenapa Ayah tidak ikut?" Kam Bi Eng bertanya.
Ditanya demikian, tiba-tiba wajah nenek itu menjadi murung. Inilah yang dikhawatirkannya, namun sejak tadi ditahan-tahannya. Ia seorang wanita yang tabah, akan tetapi ia khawatir bahwa anaknya yang akan menderita duka.
"Ibu, apa yang terjadi?" Kam Bi Eng merangkul ibunya begitu melihat wajah ibunya menjadi murung setelah ia bertanya tentang ayahnya.
Nenek itu menghela napas panjang.
"Engkau ingat berapa usia ayahmu tahun ini?"
"Sudah lebih dari delapan puluh tahun, Ibu. Bukankah dua tahun yang lalu kita memperingati ulang tahunnya yang ke delapan puluh?" kata Kam Bi Eng, masih mengamati wajah ibunya dengan khawatir.
"Engkau benar. Usianya sudah delapan puluh dua dan dia telah meninggalkan kita dengan tenang sebulan yang lalu...."
"Ibuuuu....!" Kam Bi Eng menjerit sambil merangkul ibunya dan pecahlah tangisnya.
"Ibu, kenapa....? Kenapa Ibu diam saja? Kenapa aku tidak diberitahu?" Ia bertanya di antara ratap tangisnya.
Nenek itu tidak ikut menangis, melainkan tersenyum lembut sehingga anaknya merasa heran memandangnya. Juga Suma Ceng Liong memandang kepada ibu mertuanya, lalu bertanya dengan hati-hati,
"Akan tetapi, Ibu, kenapa kami tidak diberitahu tentang kematian Ayah?"
Nenek Bu Ci Sian mengusap kepala puterinya.
”Tenangkan hatimu, hentikan tangismu. Ini semua kehendak ayahmu. Dia sudah memesan agar begitu dia menghembuskan napas terakhir, aku segera mengurus jenazahnya yang harus dikebumikan pada hari kematiannya. Ini pesan ayahmu, dan juga dia berpesan agar perlahan-lahan aku memberitakan kematiannya kepadamu setelah lewat satu bulan."
"Tapi.... tapi mengapa....?" Kam Bi Eng mencoba untuk menahan tangisnya.
"Engkau mengenal ayahmu. Kadang aku sendiri sukar mengikuti jalan pikirannya. Dia tidak ingin jenazahnya dibiarkan berminggu atau berhari-hari, membusuk sebelum dikubur. Dia juga tidak ingin ditangisi, diratapi karena menurut pendapatnya, orang yang meratapi yang mati sebenarnya hanya menangisi diri sendiri. Dapat dibayangkan betapa sedihku ketika terpaksa memenuhi permintaan terakhirnya itu, menguburkan jenazahnya tanpa dihadiri kalian dan kerabat dekat, hanya dihadiri para tetangga saja. Sampai matinya, ayahmu ingin sederhana, memperlihatkan kerendahan hatinya dengan tidak mau menonjolkan diri."
Mendengar suara yang mengandung kebanggaan itu, Kam Bi Eng merasa tidak tega untuk menangis lagi. Ia merangkul Ibunya.
"Baiklah, Ibu. Kalau begitu, kami akan pergi ke makam Ayah untuk bersembahyang." Kemudian ia merangkul Sian Li dan bertanya kepada ibunya. "Bagaimana tahu-tahu Sian Li dapat datang bersama Ibu? Apakah Ibu yang singgah di rumah Sin Hong dan Hong Li, dan mengajak anak ini ke sini?"
"Panjang ceritanya," kata nenek itu.
"Secara kebetulan saja aku bertemu dengan Sian Li dan mendengar bahwa ia memang sedang diantar oleh ayah ibunya ke sini, maka aku lalu mengajaknya."
Nenek itu lalu menceritakan apa yang terjadi.
Mendengar cerita itu, Suma Ceng Liong berseru,
"Aih, sungguh berbahaya sekali kalau Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw sampai berhasil menyusup ke dalam istana! Sin Hong dan Hong Li tentu menghadapi bahaya karena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw banyak yang lihai."
"Hemm, apakah engkau ingin kita pergi ke kota raja dan menentang mereka?" tanya Bi Eng sambil memandang suaminya dengan penuh selidik.
Ceng Liong mengenal sinar mata isterinya dan dia pun menggeleng sambil menghela napas panjang. "Kita tidak berkewajiban untuk melindungi Kaisar penjajah Mancu, akan tetapi bagaimana kita dapat tinggal diam saja kalau Sin Hong dan Hong Li terancam bahaya?"
"Tentu saja tidak. Mari kita berangkat sekarang juga untuk mencari mereka," kata isterinya penuh semangat.
"Tidak usah kalian sibuk," kata nenek Bu Ci Sian. "Aku yang akan mencari mereka. Aku memang sengaja mengantar Sian Li ke sini, kemudian aku akan kembali ke kota raja dan mencari mereka."
"Aih, Ibu sudah tua dan baru saja datang setelah melakukan perjalanan jauh. Biar Ibu beristirahat di sini ditemani Sian Li dan Sian Lun. Kami yang akan mencari mereka."
"Sian Lun? O ya, cucu muridku itu, di mana dia?" Nenek itu bertanya dan memandang ke kanan kiri. Hampir ia lupa bahwa puteri dan mantunya mempunyai seorang murid, dan ia sendiri sayang kepada murid yang sudah dianggap sebagai anak angkat oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu.
Suami Isteri itu agaknya baru teringat dan Bi Eng lalu menoleh ke arah dalam lalu berteriak,
"Sian Lun....! Di mana engkau? Kesinilah, nenekmu datang!
Dari arah belakang terdengar jawaban
"Teecu datang, Subo!” Dan tak lama kemudian muncullah seorang pemuda remaja yang gagah perkasa. Pemuda ini biarpun baru berusia lima belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar seperti seorang dewasa. Wajahnya yang tampan itu cerah, sepasang matanya bersinar-sinar dan mulutnya membayangkan senyum, akan tetapi dia pendiam dan sopan. Begitu tiba di situ, dia memberi hormat sambil berlutut ke arah nenek Bu Ci Sian.
"Nenek, selamat datang dan terimalah hormat saya."
Nenek itu memandang dengan wajah berseri, lalu menyentuh pundak anak muda itu dan menyuruhnya bangun berdiri.
"Cukup, Sian Lun. Wah, engkau kini sudah kelihatan dewasa!"
"Terima kasih, Nek." Pemuda itu lalu memberi hormat kepada suhu dan subonya. "Harap Suhu dan Subo maafkan teecu. Karena melihat nenek datang bersama tamu, meka teecu tidak berani ke luar, takut mengganggu pembicaraan penting."
"Ah, tamu ini bukan orang lain, Sian Lun," kata Kam Bi Eng. "Ia bernama Tan Sian Li. Puteri keponakan kami Tan Sin Hong dan Kao Hong Li di Tatung. Sian Li, perkenalkan, ini murid kami bernama Liem Sian Lun.”
Dua orang remaja itu berdiri dan saling pandang. Sian Lun mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan, dibalas oleh Sian Li dan gadis cilik ini memandang kepada Suma Ceng Liong lalu berkata dengan suaranya yang nyaring.
"Ku-kong (Paman Kakek), aku harus menyebut dia bagaimana? Mengingat dia murid Kakek den Nenek, sepatutnya aku menyebutnya Su-siok (Paman Guru)...."
Suma Ceng Liong tertawa.
"Memang seharusnya engkau menyebut dia paman, mengingat bahwa dia murid kami dan engkau cucu kami. Akan tetapi, karena engkau juga akan belajar ilmu dari kami, berarti engkau menjadi murid kami pula dan kalian adalah saudara seperguruan."
Wajah Sian Li berseri.
"Aih, kalau begitu aku boleh menyebutnya Suheng (Kakak Seperguruan)! Memang aku lebih senang menyebutnya Suheng, karena dia hanya sedikit lebih tua dariku. Kami lebih pantas menjadi saudara seperguruan daripada menjadi paman dan keponakan murid. Suheng, terimalah hormatku!" Katanya sambil menghadapi Sian Lun. Semua orang tersenyum dan Sian Lun dengan sikap tersipu membalas penghormatan itu.
"Sumoi...." katanya lirih.
Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu menekankan lagi keinginan mereka kepada nenek Bu Ci Sian, dan akhirnya nenek ini menyetujui bahwa suami isteri itu yang akan mencari Tan Sin Hong dan Kao Hong Li ke kota raja dan membantu mereka menghadapi para penjahat kalau diperlukan, sedangkan nenek itu tinggal di rumah bersama Sian Li dan Sian Lun.
Karena Sian Li selalu mengkhawatirkan keselamatan ayah ibunya, maka hari itu juga Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng berangkat meninggalkan rumah mereka, menuju ke kota raja, melakukan perjalanan secepatnya.
Akan tetapi, tiga hari kemudian, mereka telah kembali bersama Sin Hong dan Hong Li!
Tentu saja Sian Li gembira bukan main melihat ayah ibunya datang. Juga suami isteri itu gembira melihat Sian Li yang tadinya mereka khawatirkan karena anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Kiranya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li setelah selesai urusan di istana, juga sedang melakukan perjalanan menuju ke Cin-an karena tidak berhasil menemukan jejak anak mereka. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Tentu saja kedua pihak merasa gembira, terutama sekali Sin Hong dan Hong Li yang mendengar bahwa anak mereka dalam keadaan selamat dan kini berada di rumah paman mereka itu. Pertemuan yang membahagiakan itu mereka rayakan dengan pesta keluarga, walaupun berita tentang meninggalnya kakek Kam Hong sempat membuat mereka termenung dan berduka.
Demikianlah, setelah beberapa hari tinggal di rumah Suma Ceng Liong, pada suatu hari mereka semua, termasuk Sian Li dan Sian Lun, pergi ke puncak Bukit Nelayan di mana berdiri Istana Kuno Khong-sim Kai-pang untuk bersembahyang di depan makam mendiang pendekar sakti Kam Hong yang dikubur di taman belakang istana kuno itu.
Kam Bi Eng membujuk ibunya yang sudah berusia enam puluh tujuh tahun untuk ikut dengannya tinggal di Cin-an. Akan tetapi nenek itu menolak sambil tersenyum.
"Bi Eng, tidak tahukah engkau betapa ibumu ini tidak mungkin berpisah dari mendiang ayahmu? Kini ayahmu hanya tinggal menjadi segunduk tanah di taman belakang. Biarlah aku tinggal di sini menghabiskan sisa hidupku dan kalau aku mati, aku ingin dikubur di sebelah makam ayahmu."
Biarpun hatinya merasa berat, terpaksa Kam Bi Eng meninggalken ibunya seorang diri di istana kuno itu, hanya ditemani oleh seorang pelayan wanita. Ia kembali ke Cin-an bersama suaminya, Suma Ceng Liong, dan kedua orang anak remaja itu, Sian Lun dan Sian Li. Adapun Tan Sin Hong dan Kao Hong Li juga berpamit dan berpisah dari anak mereka setelah menitipkan anak itu kepada paman dan bibi mereka untuk dididik ilmu.
Mereka kembali ke Ta-tung setelah mereka berjanji kepada anak mereka bahwa selama lima tahun anak itu belajar ilmu di Cin-an, setiap tahun baru mereka akan datang berkunjung.
***
"Suhu, bagaimana keadaan Suhu?" pemuda itu bersila di dekat tubuh yang tergolek di atas lantai tanah keras dan dia meletakkan telapak tangan kirinya di atas dada itu.
Kakek itu menghela napas panjang.
"Saat terbebas dari segala penderitaan hidup bagiku telah tiba. Tidak ada obat di seluruh dunia ini yang akan dapat memperpanjang usia manusia yang sudah tiba di garis akhirnya."
"Tapi, Suhu....!"
"Hushhh! Tidak senangkah hatimu melihat gurumu, satu-satunya orang di dunia ini yang mencintamu, terbebas dari hukuman yang membuat hidupnya amat sengsara ini? Inginkah engkau melihat hukuman dan siksaan terhadap gurumu diperpanjang lebih lama lagi?"
Pemuda itu menunduk. Dia seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh sedang dan tegap. Wajahnya lonjong dengan dagu meruncing dan berlekuk, alisnya tebal berbentuk golok, dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan keramahan dan kelembutan walaupun dagu yang berlekuk itu membayangkan ketabahan tanpa batas, Pakaiannya sederhana seperti pakaian petani namun bersih, dan ikat pinggang yang diikatkan kuat-kuat itu memperlihatkan bentuk pinggang yang ramping.
Tubuhnya padat walau tidak memperlihatkan kekuatan otot. Rambutnya hitam dan panjang, diikat secara sederhana saja dan dibiarkan tergantung di belakang punggung.
Dilihat sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, seperti seorang di antara ribuan pemuda seperti dia di perkampungan, pemuda petani atau pemuda yang bekerja kasar.
Bukan seorang pemuda hartawan atau pemuda bangsawan, apalagi terpelajar. Akan tetapi kalau orang melihat dengan perhatian, akan nampak bahwa sinar matanya mencorong namun lembut, dan dalam setiap gerak-geriknya terdapat ketenangan dan kemantapan yang mengagumkan.
Kalau pemuda itu nampak seperti pemuda dusun biasa, kakek yang rebah telentang itu sama sekali tidak dapat dibilang seperti kakek biasa, bahkan juga tidak seperti manusia biasa pada umumnya. Kakek itu hanya terdiri dari kepala, leher dan badan saja. Tanpa kaki tanpa tangan! Rambut putih panjang itu lebih panjang dari badannya dan kini menyelimutinya seperti sehelai selimut kapas.
Mereka berdua pun bukan berada di sebuah pondok atau rumah, melainkan berada di dasar sumur! Pemuda itu bukan lain adalah Yo Han, sedangkan kakek buntung kaki dan lengannya itu adalah kakek Ciu Lam Hok, kakek sakti dalam sumur yang menjadi guru terakhir Yo Han.
Ketika pertama kali memasuki sumur di dalam guha sebelah belakang sarang Thian-li-pang di mana Thian-te Tok-ong, tokoh besar Thian-li-pang bertapa, Yo Han berusia lima belas tahun. Kini dia telah berusia dua puluh tahun. Ini berarti bahwa dia telah tinggal di dalam sumur itu selama lima tahun. Setiap hari dia digembleng ilmu yang aneh-aneh oleh kakek yang buntung kaki dan lengannya itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, Yo Han telah menguasai ilmu yang amat hebat. Dia kini sudah menyadari behwa dia dilatih ilmu silat yang amat hebat. Karena dia mulai dapat melihat bahwa baik buruknya ilmu tergantung dari manusia yang menggunakannya, maka dia tidak lagi menolak dan bahkan mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya dengan tekun dan penuh semangat. Dia hanya akan mempergunakan ilmu-ilmu itu demi kebaikan, bukan untuk mencelakai orang.
Dalam waktu empat tahun, Yo Han telah menguasai ilmu-ilmu yang menjadi dasar, bahkan kini dia dapat melihat betapa apa yang tadinya dianggap ilmu "tari" dan "senam" yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong, sesungguhnya merupakan ilmu silat yang hebat. Dan di bawah bimbingan kakek buntung, semua ilmu itu telah dapat dilatihnya dan diperdalam sehingga matang. Kemudian, setahun yang lalu, selama setahun penuh kakek aneh itu menurunkan ilmunya yang dikatakan sebagai ilmu segala ilmu silat tinggi, diberi nama Bu-kek-hoat-keng yang pernah diperebutkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan.
"Bahkan karena ilmu inilah aku disiksa oleh dua orang Suhengku. Mereka begitu menginginkan ilmu Bu-kek-hoat-keng ini sehingga mereka tega untuk membuntungi kaki tanganku, dan menyiksaku di dalam sumur. Kini, ilmu itu telah kuwariskan kepadamu Yo Han. Hatiku lega sudah dan kuharap, dengan ilmu ini engkau akan memulihkan nama baik Thian-li-pang, dapat mencuci bersih Thian-li-pang dari unsur-unsur jahat, menjadikan perkumpulan itu sebagai perkumpulan para pahlawan yang berjuang demi tanah air dan bangsa." Demikianlah katanya setelah dia mengajarkan seluruh ilmu itu kepada Yo Han. Selama setahun barulah Yo Han dapat menguasai ilmu itu dengan baik, hanya tinggal mematangkannya melalui latihan saja. Dan semenjak menurunkan ilmu itu kesehatan kakek Ciu Lam Hok mundur sekali. Dia jatuh sakit dan biarpun Yo Han sudah membantunya dengan penggunaan ilmu Bu-kek-hoat-keng yang dapat pula dipergunakan untuk melancarkan jalan darah dengan menyalurkan tenaga sakti dari ilmu itu yang amat dahsyat, namun karena usia tua ditambah penderitaan dari siksaan yang luar biasa, kakek itu tetap saja menjadi lemah dan sakit-sakitan. Penderitaan yang ditanggung kakek Ciu Lam Hok memang luar biasa. Kalau bukan dia yang telah menguasai ilmu Bu-kek-hoat-keng, kiranya tidak mungkin dapat bertahan sampai sepuluh tahun lebih di dalam sumur itu!
Demikianlah, pada hari itu, Yo Han merasa bersedih melihat keadaan gurunya semakin payah. Ketika dia menempelkan telapak tangannya pada dada gurunya, tahulah dia bahwa jantung gurunya bekerja lemah sekali. Sungguh amat mengherankan. Ketika gurunya melatih Bukak-hoet-keng, gurunya demiklan penuh semangat dan tidak mengenal lelah.
Kini, seolah-olah tenaganya habis setelah setahun penuh melatih ilmu itu. Ketika dia mendengar ucapan gurunya yang terakhir dia pun menunduk.
"Suhu memang berkata benar. Akan tetapi Suhu, hidup kita sudah dicengkeram dan dipengaruhi oleh peradaban dan tatasusila yang sudah diterima oleh semua orang. Bagaimana mungkin teecu mengemukakan kata hati melalui mulut, mengatakan bahwa teecu akan lebih senang melihat Suhu terbebas dari siksaan melalui kematian? Seluruh dunia akan mengutuk teecu kalau teecu berani mengatakan hal seperti itu."
Mendengar ini, kakek itu masih dapat tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, aku sejak dulu tahu bahwa engkau hebat, muridku. Matamu yang ke tiga selalu terbuka sehingga engkau lebih awas, lebih waspada daripada orang biasa. Engkau melihat segalanya seolah menembus dan engkau dapat melihat intinya. Engkau melihat segala kepalsuan yang dilakukan manusia! Ha-ha-ha, dibandingkan engkau, aku ini bukan apa-apa. Kalau engkau sudah tahu, aku akan mati dengan mata terpejam dan tidak ada rasa penasaran apa pun. Ya, Tuhan, hamba telah siap!" kata kakek itu dan kembali dia tertawa bergelak.
Akan tetapi, suara ketawanya itu makin lama semakin surut dan akhirnya berhenti sama sekali. Kedua matanya terpejam.
Yo Han cepat meraba dada gurunya kembali dan tahulah dia bahwa tubuh itu telah menjadi mayat. Dia menunduk dengan sikap hormat untuk menghormati jenazah suhunya. Dia tidak menangis, tidak perlu berpura-pura karena di situ tidak ada orang lain, juga karena suhunya ini, biarpun kaki tangannya buntung, namun kewaspadaannya tidak buntung dan suhunya tahu bahwa andaikata dia menangisi kematian suhunya, maka tangisnya itu palsu. Tangisnya itu bukan bersedih untuk suhunya, melainkan bersedih karena dirinya sendiri, karena ditinggal, karena kehilangan. Bahkan mungkin tangisnya terdorong perasaan agar tidak menganggap diri sendiri keterlaluan, tidak mengenal budi!
Dia tidak menangis, karena memang tidak ada hal yang perlu ditangisi, tidak ada hal yang perlu disedihkan. Bahkan kalau dia mau jujur, ada perasaan lega dalam hatinya bahwa gurunya, yang diam-diam amat dikasihinya itu, kini bebas dari penderitaan. Selain itu, dengan meninggalnya kakek itu, berarti dia bebas pula untuk meninggalkan sumur itu!
Gurunya pernah berpesan agar kalau dia mati, jenazahnya diletakkan di lantai kamar yang kecil dan yang terlindung atasnya, merupakan guha batu dalam sumur itu.
"Engkau tahu, tempat itu amat kusukai. Setiap kali melakukan siu-lian (samadhi) aku selalu menggunakan kamar itu. Biarlah aku beristirahat di kamar itu selamanya, maksudku badanku," demikian pesannya. Dengan hati dipenuhi rasa iba terhadap kakek yang meninggal di tempat terasing itu, tanpa ada yang berkabung, tanpa disembahyangi, tanpa di jenguk keluarga maupun kawan, Yo Han memondong tubuh tanpa kaki tanpa lengan itu dan membawanya ke dalam guha, merebahkannya di dalam guha itu.
Kemudian dia mengumpulkan semua bahan yang masih ada, roti dan daging kering, beberapa potong pakaian, dan dia tidak lupa mengambil beberapa potong batu emas dari dinding sumur dan memasukkan semua itu dalam buntalan. Kemudian, dia pun mengikatkan buntalan di punggungnya, dan memasuki guha, berlutut di depan jenazah gurunya.
"Suhu, sesuai dengan pesan terakhir Suhu, teecu membaringkan jenazah Suhu di sini, dan sesuai pula dengan perintah Suhu, teecu segera meninggalkan tempat ini untuk melaksanakan pesan Suhu. Suhu untuk terakhir kalinya, teecu menghaturkan terima kasih melalui ucapan yang keluar dari sanubari teecu." Dia memberi hormat delapan kali di dekat jenazah gurunya, kemudian dia keluar dari dalam guha kecil. Sekali lagi dia meneliti di sepanjang dinding sumur dan terowongan. Setelah yakin bahwa tidak ada sisa coretan dan lukisan yang dibuat suhunya dengan sepotong besi yang digigitnya, untuk menggambarkan pelajaran Bu-kek-hoat-keng yang amat sulit, baru Yo Han menuju ke dasar sumur dan merayap naik.
Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, mudah saja dia merayap naik, seperti orang mendaki tangga saja. Dengan cepat tibalah dia di dalam guha di atas tanah, guha yang menjadi jalan masuk ke sumur itu. Dia mendengar suara orang lapat-lapat dari dalam guha yang tertutup semak-semak yang rimbun dan penuh duri. Maka, dia pun menanti di guha itu, duduk dengan santai sambil melamun. Dia mengingat kembali pesan terakhir dari gurunya.
Pertama-tama, dia dipesan untuk pergi mencari keluarga gurunya. Menurut kakek Ciu Lam Hok, dia berasal dari keluarga kerajaan! Ayahnya seorang panglima yang membantu perkembangan kerajaan baru Mancu. Karena dia gagah perkasa dan berjasa besar, maka dia menerima hadiah yang besar, diangkat menjadi panglima, bahkan dinikahkan dengan seorang puteri adik Kaisar Kang Hsi. Akan tetapi karena melihat bangsa Mancu yang tadinya berjanji akan memperbaiki nasib rakyat melanggar janji, banyak di antara pejabatnya yang bahkan menindas rakyat dan menghina rakyat Han, maka Ciu Wangwe, Jenderal Ciu Kwan menjadi marah dan memberanikan diri untuk mengajukan protes keras. Melihat ini, Kaisar marah dan dia pun ditangkap, dituduh memberontak dan dihukum mati.
Ciu Kwan yang beristeri seorang puteri Mancu itu mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Ciu Lam Hok, sedangkan yang ke dua seorang wanita bersama Ciu Ceng.
Sejak muda, Ciu Lam Hok mewarisi watak ayahnya, yaitu berdarah pendekar dan pembela rakyat. Biarpun ibunya dan dia bersama adik perempuannya diampuni Kaisar dan tidak ikut dihukum, namun diam-diam Ciu Lam Hok mendendam kepada Kerajaan Mancu. Dia pun meninggalkan ibunya yang masih tinggal di istana, karena puteri adik Kaisar itu diampuni dan masih dianggap keluarga istana. Ciu Lam Hok amat mencinta adiknya, akan tetapi terpaksa dia meninggalkan ibu dan adiknya karena dia tidak sudi tinggal di dalam istana, bahkan dia menaruh dendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya sebagai seorang pahlawan besar.
Demikianlah, setelah puluhan tahun lamanya mempelajari ilmu silat dengan amat tekun, bersama dua orang suhengnya Ciu Lam Hok mendirikan Thian-li-pang yang maksudnya untuk menentang kekuasaan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, seperti pernah diceritakan kakek sakti itu kepada muridnya, dua orang suhengnya setelah bergaul dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang menamakan diri mereka pejuang pula, mulai menyeleweng kejalan sesat. Dia menentang mereka dan akhirnya dia disiksa dan menderita selama bertahun-tahun di dalam sumur. Seringkali kakek buntung itu mengenang keluarganya dan dia merasa rindu sekali kepada ibunya, terutama sekali adik perempuannya karena dia dapat menduga bahwa ibunya tentu telah amat tua dan telah meninggal dunia. Karena rindunya maka dia membebankan tugas di pundak muridnya agar setelah muridnya keluar dari dalam sumur, pertama-tama Yo Han harus mencari adiknya yang bernama Ciu Ceng, seorang puteri di istana dan mengenal keluarga adiknya itu. Bahkan dia meninggalkan pesan bahwa Yo Han harus melakukan sesuatu yang baik bagi keluarga Ciu Ceng sebagai tanda kasih sayang kakek Ciu kepada adiknya. Kalau perlu, Yo Han harus melindungi keluarga Ciu Ceng dengan taruhan nyawa!
"Pesanku ini merupakan tanda kasih sayangku yang terakhir untuk adikku, saudara kandungku yang tunggal itu, maka aku sungguh mengharapkan engkau akan melaksanakannya dengan baik, Yo Han," demikian kakek itu menutup pesannya yang pertama.
Pesan ke dua gurunya adalah bahwa setelah dia menyelesaikan tugas pertama, dia harus pergi mencari Mutiara Hitam, yaitu sebuah pusaka berupa mutiara yang berwarna hitam dan yang mempunyai khasiat yang amat hebat. Mutiara itu pernah dimiliki kakek Ciu, akan tetapi dalam perebutan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan, benda mustika itu lenyap dan kabarnya dikuasai oleh seorang kepala suku Miao di selatan. Yo Han mendapat tugas untuk mencari dan merampas kembali benda itu yang bukan saja amat penting karena khasiatnya, juga hal ini untuk mengangkat kembali nama besar Ciu Lam Hok sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan.
Adapun pesan ke tiga dari gurunya adalah agar dia membersihkan Thian-li-pang dari tangan-tangan kotor dan mengembalikan kedudukan Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang hendak membebaskan rakyat dari tangan penjajah Mancu berdasarkan kebenaran dan keadilan, tidak dibawa menyeleweng seperti sekarang ini.
"Aku tahu, kedua suhengku itu menyeleweng setelah mereka bergaul dengan orang-orang Pek-lian-kauw. Karena itu, Thian-li-pang harus dibersihkan dari pengaruh Pek-lian-kauw dan menjadi perkumpulan para pahlawan, para patriot kembali. Di antara para murid Thian-lipang masih banyak yang bersih, hanya mereka takut kepada pimpinan mereka yang sudah dicengkeram pengaruh Peklian-kauw. Bersihkan Thian-li-pang, muridku. Sesungguhnya untuk Thian-li-pang maka aku menderita seperti ini. Kalau engkau berhasil membersihkan Thian-li-pang, berarti bahwa semua penderitaanku ini tidak sia-sia."
Yo Han mengepal tinjunya. Dia harus melaksanakan pesan ini lebih dahulu. Apa pun resikonya, dia harus dapat dan mampu membersihkan Thian-li-pang. Apalagi, dia memang berada di daerah Thian-li-pang, maka untuk sementara dia harus melupakan dua tugas yang lain, dan berusaha untuk melaksanakan tugas membersihkan Thian-li-pang dari pengaruh jahat. Setelah orang-orang Thian-li-pang yang lewat di depan guha itu menjauh, dia pun menyelinap keluar dari guha dan dari balik semak-semak dia melihat betapa Thian-li-pang agaknya sedang melakukan suatu kegiatan karena berbondong-bondong para anggautanya menuju ke pekarangan rumah induk. Dia sudah mengenal baik tempat itu dan tahu bahwa tentu ada pertemuan besar di pekarangan. Hanya kalau ada rapat besar yang melibatkan seluruh anggauta, maka pertemuan itu diadakan di pekarangan yang luas di depan rumah induk. Dia pun menyusup mendekat dan mengintai.
Memang benar dugaan Yo Han. Pada hari itu diadakan pertemuan penting di Thian-li-pang. Semua anggauta yang berada di pusat, yang jumlahnya tidak kurang dari dua ratus orang, berkumpul di pekarangan yang luas itu. Anggauta Thian-li-pang tersebar di banyak tempat, puluhan ribu orang jumlahnya, terbagi dalam cabang-cabang dan ranting-ranting. Kini yang hadir dalam rapat adalah ketua-ketua cabang, kepala-kepala ranting, dan para anggauta di pusat. Pertemuan itu amat penting karena selain dihadiri ketuanya, yaitu Ouw Ban dan wakilnya, yaitu Lauw Kang Hui, juga dihadiri pula oleh dua orang kakek yang selama ini jarang muncul dan mereka menjadi penasehat dan pujaan para pimpinan Thian-li-pang, yaitu Ban-tok Mo-ko guru ketua dan wakil ketua, dan suhengnya, yaitu Thian-te Tok-ong yang selama bertahun-tahun bersembunyi dan bertapa di dalam guha. Kalau dua orang ini sampai muncul di dalam rapat itu, tentu rapat itu istimewa sekali. Dan hadir pula di situ dua orang tokoh Pek-lian-kauw sebagai tamu undangan, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang yang sudah lama bekerja sama dengan Thian-li-pang bersama Ang I Moli.
Setelah semua orang hadir lengkap, Ouw Ban sebagai Ketua Thian-li-pang menceritakan dengan singkat akan kegagalan usaha mereka untuk membunuh para pengeran di Istana.
Bahkan dalam usaha itu, puteranya, Ouw Cun Ki, dan juga Ang I Moli tokoh Pek-lian-kauw, ditangkap dan dihukum mati, bersama banyak anggauta Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang menyusup sebagai anak buah Ouw Cun Ki.
"Kita tidak boleh membiarkan saja kejadian itu!" Ouw Ban berseru dengan suara keras karena hatinya diliputi kemarahan dan kedukaan atas kematian puteranya. "Kita akan mengumpulkan kekuatan dan kita serbu istana, kita bunuh Kaisar dan seluruh keluarganya!"
Ucapan penuh semangat itu disambut sorakan gegap gempita oleh para anggauta Thian-li-pang. Juga dua orang tosu Pek-lian-kauw bertepuk jangan gembira dan setelah sorakan itu mereda, Kwan Thian-cu yang bertubuh gendut itu tertawa,
"Ha-ha-ha, sungguh gagah sekali Pangcu dari Thian-li-pang! Memang pendapatnya itu tepat sekali. Perjuangan kita takkan berhasil sebelum kita membunuh Kaisar Kian Liong dan para pangeran. Kalau mereka terbunuh, tentu pemerintahan mereka akan kacau dan kita pergunakan kesempatan itu untuk mengerahkan pasukan menghancurkan mereka!"
Kembali ucapan ini disambut sorakan.
"Hancurkan penjajah Mancu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Diam....!"
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar