Jumat, 31 Januari 2014

Si Tangan Sakti Jilid 5

Si Tangan Sakti Jilid 5

5

“Sebaiknya kalau kita bersikap waspada saja dan tidak mengambil tindakan sendiri-sendiri,” kata Sim Houw yang selalu bersikap tenang itu. “Bagaimanapun juga, kalau Pao-beng-pai melakukan gerakan memusuhi pemerintah Ceng hal itu bukan urusan kita. Kalau kita memusuhi mereka, dapat saja mereka menuduh bahwa kita benar-benar membela pemerintah. Hal ini tentu akan mendatangkan heboh di dunia persilatan. Sudah untung tadi tidak terjadi hal yang lebih hebat dan kita sudah mampu memperlihatkan bahwa kita tidak boleh dibuat permainan oleh mereka. Kalau mereka tetap memusuhi kita, tentu saja harus kita hadapi. Akan tetapi kalau mereka tidak lagi memusuhi kita, kita lupakan saja apa yang tadi terjadi dan menganggap itu hanya ulah kesombongan seorang gadis Pao-beng-pai yang tidak tahu diri.”
Para tokoh tua membenarkan pendapat Sim Houw. Akan tetapi isterinya, Can Bi Lan, mengerutkan alisnya dan ia pun mengeluarkan pendapatnya.
“Aku melihat dari sikap gadis tadi bahwa ia amat membenci keluarga kita. Hal ini kurasakan amat janggal. Biarpun ia bersikap sombong, hal itu kurasa karena kebenciannya kepada kita. Akan tetapi ia tidak seperti golongan sesat pada umumnya, bahkan sepak terjangnya teratur dan para anak buahnya demikian sopan dan hormat kepadanya seolah ia seorang puteri kerajaan saja. Karena kebenciannya yang meluap itulah kukira ia sengaja mendatangi pesta ini. Melihat tingkat kepandaiannya yang sudah cukup tinggi, tidak mungkin ia begitu tolol untuk menantang kita selagi semua anggauta keluarga kita berkumpul. Tentu keberaniannya terdorong kebencian yang amat besar.”
“Atau mungkin juga ia sengaja diutus oleh Pao-beng-pai untuk melakukan penyelidikan sampai di mana kekuatan kita.” kata Kam Hi Eng, isteri Suma Ceng Liong.
Demikianlah, para anggauta tiga keluarga besar itu sampai jauh malam membicarakan gadis Pao-beng-pai itu, menduga-duga dan merasa heran karena peristiwa itu memang amat aneh dan mencurigakan. Kalau ada pihak golongan sesat datang memusuhi seorang dua orang di antara mereka, hal itu tidaklah aneh karena memang mereka selalu menentang kejahatan. Akan tetapi, seorang gadis muda berani mendatangi dan menantang seluruh anggauta tiga keluarga besar selagi mereka berkumpul, sungguh ini hanya dapat dilakukan oleh seorang gila yang tentu saja tidak lagi mengenal apa artinya takut. Dan gadis itu bersikap demikian tenangnya! Gadis itu merasa yakin bahwa orang-orang gagah dari ketiga keluarga itu sudah pasti tidak akan mengeroyoknya, dan agaknya kunjungannya itu telah direncanakan dengan perhitungan yang masak. Memang, andaikata yang menghadapi gadis tadi Suma Ceng Liong atau Sim Houw, atau Tan Sin Hong, tiga orang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu gadis itu tidak akan menang, akan tetapi siapapun di antara tiga orang pendekar ini sudah pasti pula tidak akan mau melukai apalagi membunuh seorang gadis muda yang menjadi lawan mereka.
Hal ini agaknya sudah diperhitungkan oleh gadis Pao-bengpai itu maka ia berani menantang sedemikian nekatnya.
Sampai jauh malam baru para anggauta tiga keluarga besar itu beristirahat di kamar masing-masing yang sudah dipersiapkan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya.
Pada keesokan harinya, terjadi lagi keributan di rumah yang penuh dengan tamu yang bermalam di situ. Keributan itu terjadi ketika Kao Hong Li mencari puterinya ke sana sini dan bertanya-tanya dengan wajah khawatir apakah ada di antara para anggauta keluarga yang melihat gadis itu. Namun, tak seorang pun melihatnya dan Kao Hong Li menjatuhkan diri dengan lemas di atas kursi, wajahnya muram dan khawatir sekali. Tan Sin Hong menghiburnya.
“Sudahlah, anak kita bukan lagi anak kecil yang perlu diasuh. Ia sudah dewasa, dan ia pun sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menjaga diri sendiri.”
“Tapi anak kita belum berpengalaman dan kalau ia ceroboh dan kurang waspada, dapat terancam bahaya.” Isterinya membantah.
Semua anggauta kini berkumpul dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi.
Kao Hong Li menghela napas dan memperlihatkan sehelai surat kepada kakek Kao Cin Liong.
“Lihat Ayah, cucumu telah pergi, meninggalkan surat ini. Bagaimana baiknya? Hatiku merasa gelisah sekali, apalagi mengingat akan peristiwa yang baru kemarin terjadi.”
Dengan tenang Kao Cin Liong menerima surat cucunya itu, lalu membacanya dengan suara cukup keras agar terdengar oleh semua anggauta keluarga yang mendengarkan.
Dalam suratnya itu dengan singkat Sian Li memberi tahu kepada ayah dan ibunya bahwa ia pergi untuk membantu Yo Han dalam usahanya mencari Sim Hui Eng, puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan yang hilang sejak kecil itu. Juga ia ingin melakukan penyelidikan terhadap Pao-beng-pai.
“Harap Ayah dan Ibu jangan khawatir, aku akan bersikap waspada dan hati-hati.” demikian ia mengakhiri suratnya.
“Aih, anak itu, kenapa demikian nekat!” seru Can Bi Lan. “Biarpun kami berterima kasih sekali kepada Sian Li akan tetapi ke mana ia akan mencari anak kami? Kami berdua sendiri pun sudah hampir putus harapan karena bertahun-tahun mencari tak pernah berhasil!”
“Memang sejak kecil anak kami itu keras hati dan keras kepala!” kata Kao Hong Li.
“Bagaimanapun juga, ia masih belum matang benar biarpun kepandaiannya sudah lumayan. Bagaimana ia akan mampu menghadapi kecurangan dan kelicikan orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat?”
Mendengar ucapan keponakannya ini, Suma Ceng Liong tertawa.
“Ha-ha-ha, Hong Li, kenapa engkau begitu memandang ringan puterimu sendiri? Ingat, ia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li! Kurasa benar ucapan suamimu bahwa ia sudah cukup mampu untuk menjaga diri sendiri dan tentang pengalaman, lupakah engkau ketika ia pergi ke Bhutan mengikuti pamanmu Suma Ciang Bun dan bibimu Gangga Dewi? Tenangkanlah hatimu, dan biarkan puterimu meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan.”
Gangga Dewi mengangguk-angguk dan dengan lembut wanita keturunan puteri Bhutan ini berkata. “Benar apa yang dikatakan adik Suma Ceng Liong, Sian Li telah memiliki kemampuan besar untuk menjaga diri. Biarpun ia keras hati, namun ia tidak ceroboh, ia cukup waspada dan pula ia juga cerdik.” Mendengar ini, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk membenarkan.
Setelah para tokoh tua dalam keluarga itu menghibur dan menenangkan hati Kao Hong Li, tiba-tiba terdengar suara lantang dari Gak Ciang Hun.
“Ibu, apakah ibu mengijinkan kalau aku pergi mencari dan membantu adik Sian Li untuk mencari adik Sim Hui Eng yang hilang dan menyelidiki Pao-beng-pai?”
Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka semua menoleh kepada ibu dan anak itu. Mendengar pertanyaan puteranya yang tiba-tiba itu wajah Nyonya Gak atau Souw Hui Lian menjadi kemerahan. Ia tahu benar apa yang berada dalam hati puteranya, maka ia pun mengangguk dan menjawab singkat.
“Engkau sudah dewasa, aku tidak berhak lagi melarangmu melakukan apa saja asal apa yang kaulakukan itu baik dan benar, Ciang Hun.”
Pemuda itu kelihatan girang bukan main dan cepat dia memberi hormat kepada ibunya.
“Terima kasih, Ibu. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga. Para Locianpwe, para Paman dan Bibi, saya mohon diri!” Tanpa menanti jawaban lagi, pemuda itu lalu melangkah keluar dari rumah itu dengan cepat setelah dia menyambar sebuah buntalan yang ternyata sudah dia persiapkan sejak dia mendengar akan kepergian Sian Li pagi tadi!
Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Mereka berdua adalah orang-orang berpengalaman, maka tanpa diberi penjelasan sekalipun, peristiwa tadi dapat mereka terka apa artinya. Mereka dapat menduga bahwa Gak Ciang Hun agaknya jatuh cinta kepada puteri mereka. Bukan karena mereka tidak setuju karena Gak Ciang Hun juga merupakan seorang pendekar gagah perkasa keturunan Beng-san Siang-eng yang merupakan anak murid keluarga Pulau Es pula. Akan tetapi mereka sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Pangeran Cia Sun. Maka, dengan lirih Kao Hong Li berkata.
“Sian Li sebetulnya tidak boleh pergi sekarang karena kami bertiga sedang bermaksud pergi ke kota raja, untuk meresmikan pertunangan anak itu dengan Pangeran Cia Sun.”
“Pangeran....?” Kao Cin Liong memandang puterinya dengan alis berkerut. “Engkau akan bermenantukan seorang pangeran? Kenapa engkau tidak pernah memberitahu kami?”
Tentu saja kakek ini merasa terkejut, karena baru saja mereka semua dimaki sebagai antek-antek Kerajaan Mancu. Mereka semua menyangkal karena memang mereka tidak lagi bekerja untuk Kerajaan Mancu, dan sekarang, puterinya menyatakan bahwa ia hendak bermenantukan seorang pangeran Mancu!
Tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya tahu apa yang dipikirkan kakek itu. Sin Hong cepat membantu isterinya.
“Ayah, kami memang belum memberitahu karena hal itu belum resmi. Kami pernah bertemu dan berkenalan dengan Pangeran Cia Yan dan dalam pertemuan itulah kami saling mufakat untuk menjodohkan kedua orang anak itu. Sebetulnya, dari sini kami bertiga hendak berkunjung ke kota raja untuk mengukuhkan itu.”
“Tapi.... tapi kenapa seorang pangeran....?” Kao Cin Liong berkata lirih. Dia tentu saja tahu siapa Pangeran Cia Yan. Yaitu putera angkat Kaisar Kian Liong, maka dengan sendirinya Pangeran Cia Sun adalah cucu kaisar!
Mendengar ini, Kao Hong Li yang menjawab ayahnya.
“Kalau seorang pangeran kenapa, Ayah? Kami tidak melihat kedudukannya, melainkan melihat manusianya. Pangeran Cia Yan adalah seorang pangeran yang baik, dan kami sudah melihat dan menyelidiki keadaan Pangeran Cia Sun. Dia seorang pemuda yang gagah dan tampan, juga ahli sastra dan ahli silat, sehingga cocok untuk menjadi suami Sian Li.”
Kao Cin Liong menghela napas panjang dan tidak mampu menjawab lagi. Terlalu menentang perjodohan cucunya dengan seorang pangeran Mancu, hanya akan membuka kenyataan pahit bahwa keluarga Pulau Es sendiri adalah keturunan Mancu dari pihak ibu!
Dia tidak menentang orang Mancu, tidak menentang manusianya, hanya merasa tidak enak karena justeru orang Mancu yang kini menjajah tanah air dan bangsanya.
Semantara itu, tentu saja diam-diam, Nyonya Gak mengeluh. Ia tahu bahwa puteranya jatuh cinta kepada Sian Li dan tentu saja mengharapkan gadis baju merah itu menjadi isterinya, dan kini ia sendiri mendengar dari orang tua gadis itu bahwa Sian Li akan dijodohkan dengan seorang pangeran! Ia pun hanya menyerah dan hatinya merasa yakin bahwa perjodohan berada di tangan Tuhan! Kalau memang anakku berjodoh dengan Si Bangau Merah, apa pun rintangannya, kelak pasti akan dapat menjadi suami isteri juga.
Selama beberapa hari, berangsur-angsur para anggauta keluarga meninggalkan rumah Suma Ceng Liong dan akhirnya, di rumah itu hanya tinggal Suma Ceng Liong berdua isterinya, Kam Bi Eng. Suami isteri yang sudah mulai tua ini duduk termenung seperti patung, dan merasa kehilangan sekali. Baru saja rumah mereka demikian cerah meriah dengan adanya para anggauta keluarga, dan kini rumah itu menjadi kosong dan sunyi.
Makin sedih hati mereka ketika mereka teringat kepada Liem Sian Lun, murid mereka yang telah tewas ketika pemuda itu melakukan perjalanan bersama Sian Li ke Bhutan.
Murid mereka itu, menurut keterangan Sian Li, tewas ketika dua orang muda itu terlibat dalan urusan pemberontakan yang terjadi di daerah Tibet dan Sian Lun terbunuh oleh para pemberontak. Tentu saja suami isteri ini sama sekali tidak tahu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa murid mereka tersayang itu sebetulnya telah melakukan penyelewengan sehingga tewas akibat ulah sendiri. Sian Li tidak menceritakan tentang penyelewengan Sian Lun itu atas bujukan Yo Han yang menjaga agar suami isteri ini tidak merasa menyesal.
“Kita harus mengambil seorang murid lagi!” tiba-tiba Suma Ceng Liong berkata kepada isterinya.
“Ah, ke mana kita harus mencari? Tidak banyak terdapat anak yang berbakat, bertulang dan berdarah baik, juga berwatak baik. Juga, sebaiknya murid itu kita didik sejak masih kecil, seperti Sian Lun.” Kam Bi Eng tiba-tiba menjadi sedih ketika teringat kepada Sian Lun.
“Kita harus mencari,” kata suaminya. “Telah puluhan tahun kita mempelajari ilmu sehingga dapat menguasai beberapa macam ilmu silat. Kini kita sudah semakin tua. Apakah semua ilmu yang kita pelajari dengan susah payah ini akan kita bawa ke liang kubur? Sayang sekali! Kita harus mewariskan kepada seorang murid yang pantas.”
“Hemmm, kurasa kata-katamu itu kurang tepat. Bukankah kita berdua sudah menurunkan ilmu-ilmu kita kepada Suma Lian, bahkan juga kepada Si Bangau Merah Tan Sian Li? Sayang sekali anak kita itu sampai sekarang tidak mempunyai keturunan, kalau ada, tidak akan susah-susah kita mencari murid. Cucu-cucu kita sendiri akan kita warisi ilmu-ilmu kita.”
“Benar, akan tetapi baik Suma Lian maupun Sian Li, keduanya bukan hanya menerima ilmu-ilmu dari kita. Mereka juga mempunyai guru-guru lain. Aku ingin seorang murid yang hanya menguasai ilmu-ilmu kita berdua, dan aku ingin menggabung ilmu-ilmu silat kita agar kelak dapat diteruskan dan dikembangkan oleh seorang murid yang berbakat.” Pendekar itu menarik napas panjang.
Isterinya tersenyum.
“Baiklah, aku setuju saja dan kita perlahan-lahan mencari seorang murid. Akan tetapi kita harus waspada dalam memilih, karena sekali kita salah pilih dan mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada seorang murid yang kelak menjadi seorang penjahat, maka nama kita akan ternoda selamanya.”
Suaminya mengangguk-angguk.
“Kita berdua akan mencari, kalau perlu kita merantau ke mana saja sampai menemukan seorang murid yang cocok. Bagaimana pendapatmu?”
Isterinya memandang dengan wajah berseri.
“Setuju! Sudah terlalu lama kita kesepian di sini, melakukan perantauan akan menyegarkan semangat. Kita kunjungi keluarga, juga sahabat-sahabat lama, sekalian mendengarkan berita tentang Pao-beng-pai.”
***
Lembah bagian barat dari Kui-san (Gunung Setan) merupakan lembah yang amat liar dan sukar dikunjungi orang biasa. Lembah ini selain mempunyai banyak hutan liar yang dihuni binatang-binatang buas, juga terkenal banyak ularnya yang berbisa dan terdapat pula penjahat-penjahat yang berbahaya karena para penjahat yang menjadi buronan pemerintah maupun buronan para pendekar, kalau sudah memasuki lembah ini lalu lenyap dan sukar ditangkap. Di lembah itu terdapat jurang-jurang yang curam dan berbahaya, juga terdapat rawa-rawa yang berbisa, bahkan di beberapa tempat terdapat lumpur maut, yaitu rawa berlumpur yang dapat menyedot siapa saja yang terjatuh ke dalamnya. Sekali kaki terperosok ke dalam lumpur maut ini, jangan harap akan dapat selamat kalau tidak tertolong orang lain yang menariknya keluar. Kalau malam tiba, tempat di sekitar lembah itu gelap dan menyeramkan, terdengar suara-suara aneh seolah-olah laksana iblis berpesta pora di situ. Karena ini, maka lembah ini disebut Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Racun)!
Akan tetapi, kalau ada orang yang memiliki kepandaian, kemampuan dan keberanian sedemikian tingginya sehingga berani dan mampu memasuki lembah, dia akan ternganga keheranan kalau melihat di bagian paling dalam dari lembah itu. Di dataran yang tinggi dan terkepung hutan-hutan liar sehingga tidak nampak dari luar, terdapat bagian tanah yang amat indah dan subur. Tempat ini diatur secara rapi oleh tangan-tangan ahli. Petak rumput hijau segar dan bersih diseling rumpun bunga-bunga yang beraneka warna.
Pohon-pohon buah yang lebat dengan buahnya. Petak rumput itu luas sekali dan di sebelah sana nampak berdiri sebuah bangunan yang anggun dan megah. Orang yang berhasil memasuki lembah sampai di tempat itu tentu akan merasa seperti dalam mimpi.
Bangunan itu pantasnya berada di kota raja, milik pangeran atau pembesar tinggi. Selain megah dan besar, juga gedung itu terawat baik, nampak bersih. Halaman depan gedung itu pun bersih dan terawat baik.
Ada sesuatu yang aneh pada gedung itu, keanehan yang mengerikan. Yaitu, gedung yang jelas terawat baik dan megah itu seperti rumah hantu saja, sunyi melengang tidak nampak seorang pun manusianya, tidak pula terdengar kesibukan atau suara apa pun dari sana.
Seperti rumah kosong saja, padahal melihat perawatannya, tidak mungkin rumah gedung itu kosong. Untuk merawat dari petak rumput, halaman, taman dan gedung itu saja setiap hari dibutuhkan tenaga belasan orang!
Pagi hari itu cuaca amatlah cerahnya. Hawa udara juga hangat oleh matahari pagi dan sejuk oleh bersilirnya angin gunung yang membawa keharuman bunga-bunga yang sedang mekar, daun-daun dan rumput hijau. Ada pula keharuman tanah yang baru digali atau dicangkul, yang datang dari belakang gedung di mana terdapat sebuah kebun yang subur. Matahari mulai naik di sebelah timur, dan hawa udara menjadi semakin hangat, cuaca semakin cerah, namun masih saja tempat itu sunyi lengang.
Di lereng sebelah bawah, tak jauh dari situ, tiba-tiba saja burung-burung yang berada di sebuah hutan, beterbangan sambil mengeluarkan bunyi seperti ketakutan. Juga suara monyet-monyet di pohon-pohon besar cecowetan sambil berloncatan dari dahan ke dahan dengan kacau menunjukkan bahwa mereka juga ketakutan. Semak-semak bergerak, terdengar bunyi ranting kering patah terinjak, daun-daun kering tersaruk kaki dan ternyata yang membuat burung-burung dan kera ketakutan itu adalah tiga orang laki-laki yang mencari jalan di hutan itu. Seorang yang berjalan paling depan memegang sebatang golok dan dengan benda tajam ini dia membabati semak belukar yang menghadang jalan.
Memang hutan itu liar dan tidak nampak adanya lorong atau jalan setapak sekalipun karena memang tidak pernah ada manusia berani lewat di situ. Terlalu besar bahayanya.
Karena itulah, maka tiga orang ini terpaksa harus membuka jalan baru. Beberapa kali mereka itu menemui jalan buntu. Akan tetapi, ternyata mereka bukanlah orang-orang lemah. Baru kenyataan bahwa mereka bertiga berani memasuki daerah Lembah Selaksa Setan saja sudah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian dan kuat.
Ketika mereka berhasil membabat rumpun alang-alang yang lebat dan tinggi, mereka tiba di tempat yang membuat mereka saling pandang dan terheran-heran, juga penasaran. Dari rumpun belukar yang bekas dibabat, mereka mengenal tempat itu, tempat yang tadi pernah mereka lewati. Kiranya perjalanan mereka hanya berkeliaran di hutan itu, berputar-putar dan tidak pernah dapat keluar dari hutan!
“Hemmm, kita tersesat jalan!” kata orang terdepan yang memegang golok. “Tadi pun kita sudah lewat di sini.”
“Sudah tiga kali kita kembali ke tempat yang pernah kita lewati. Kapan kita akan dapat keluar dari hutan keparat ini?” orang kedua mengomel.
“Jelas bahwa hutan ini bukan hanya hutan liar, akan tetapi memang agaknya sudah diatur sehingga merupakan semacam jebakan. Kita harus berhati-hati,” kata orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
“Kita adalah tamu-tamu yang diundang, bagaimana mereka berani menghina kita dengan membuat jebakan dalam hutan ini?” orang ke dua bertanya penasaran. Dia bertubuh pendek gendut dan agaknya sudah kepayahan melakukan perjalanan jauh dan sukar itu.
Perutnya yang gendut merupakan beban yang amat berat baginya.
“Kalian tenang dan bersabarah,” kata orang ke tiga yang tinggi kurus bermuka kuning.
“Kita sendiri yang bersalah, kita tergesa-gesa memasuki daerah ini tanpa menanti datangnya penjemput. Karena kelancangan kita itu maka pihak tuan rumah sengaja membiarkan kita berkeliaran dan tersesat di sini.”
Tiga orang itu berhenti melangkah, kebingungan. Mereka adalah tiga orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun dan melihat dandanan mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan orang-orang kang-ouw, petualang-petualang yang hidup berlandaskan kekerasaan dan mengandalkan tebalnya kulit kerasnya tulang dan lihainya ilmu silat.
“Hemmm, seperti apa sih kehebatan orang-orang Pao-beng-pai, maka berani memandang rendah kita?” si muka hitam mengomel lagi.
“Ssttt, Ji-te (Adik ke Dua), jangan ribut,” cela orang pertama yang kurus tinggi bermuka kuning dan berkumis kecil berjuntai ke bawah. “Kita adalah tamu dan karena kita telah mencari jalan sendiri, kita harus dapat menemukan sarang mereka. Biar aku menyelidiki lagi dari atas pohon.” Dia lalu meloncat ke atas, menangkap dahan pohon paling bawah dan dengan cekatan seperti seekor monyet dia berloncatan dari dahan ke dahan, makin tinggi di pohon besar itu. Dia melihat-lihat dari atas pohon dan tiba-tiba dia berteriak.
“Ahhh, bukan main....! Betapa megahnya sarang mereka....! Itu, di sana sarang mereka, besar dan megah sekali!”
Si muka hitam dan si gendut yang berada di bawah, tertarik dan mereka pun cepat memanjat pohon itu dan dari atas pohon, mereka melihat gedung yang besar dan megah itu. Tidak jauh lagi nampaknya dari situ, sebuah bangunan besar yang nampaknya sunyi saja, tidak nampak ada orang di sana.
“Mari kita cepat ke sana, aku sudah haus dan lelah sekali!” kata si gendut yang segera menyerosot turun dari pohon. Mereka lalu melangkah lagi, membabat rumpun semak belukar menuju ke arah di mana tadi mereka melihat gedung itu berada. Ketika akhirnya semak belukar terakhir mereka babat, tiba-tiba di depan mereka nampak hamparan rumput dan melihat ini, si gendut girang sekali.
“Wah, sekarang baru enak jalannya!” katanya dan dia pun hendak lari ke depan, akan tetapi baru saja kakinya menginjak hamparan rumput, kaki itu terjeblos ke bawah, diikuti kaki ke dua dan dia pun sudah terperosok ke dalam lumpur tertutup rumput sampai sepinggang dalamnya! Si gendut terbelalak kaget dan ketakutan, apalagi merasa betapa tubuhnya tersedot dari bawah, makin dalam masuk ke dalam lumpur.
“Tolooonggg...., Twako..... Ji-ko, tolong....!” Dia berkaok seperti seekor babi disembelih, matanya melotot penuh kengerian, mukanya pucat sekali. Melihat ini, si muka hitam terkejut dan cepat dia berjongkok di tepi kubangan lumpur tertutup rumput itu dan menjulurkan lengan kanannya. Dalam keadaan penuh ketakutan itu, si gendut menyambar tangan kakak seperguruan atau kakak segerombolan itu dan menangkap tangan, memegangi dengan kedua tangannya lalu dia pun menarik sekuatnya dengan maksud untuk menarik tubuhnya keluar dari dalam lumpur.
Akan tetapi, terjadilah hal yang mengejutkan hati mereka ketika si muka hitam yang tinggi besar itu berteriak karena dia terbetot dan tak dapat dielakkannya lagi, dia pun terjatuh ke dalam lumpur di sebelah si gendut! Kiranya, tenaga tarikan si gendut ditambah dengan tenaga sedotan lumpur itu terlalu kuat bagi si muka hitam yang hanya berjongkok, yang mengira bahwa dengan mudah dia akan mampu menarik saudaranya itu keluar dari kubangan lumpur.
“Tolong.... Twako (Kakak Tertua) tolong....!” kini si muka hitam juga berteriak-teriak ketakutan karena tubuhnya yang berat ditambah rontaannya membuat tubuhnya cepat sekali amblas sampai ke pinggang! Adapun si gendut sudah terbenam sampai ke dada.
Melihat ulah kedua orang saudaranya, si kumis tipis yang bertubuh tinggi kurus itu mengerutkan alisnya. Dia mendongkol dan kecewa sekali. Mereka bertiga di dunia kang-ouw berjuluk Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi), akan tetapi kedua orang adiknya yang sudah berpengalaman itu kini berulah seperti kanak-kanak yang masih hijau dan bodoh!
“Tenang, jangan bergerak kalau kalian tidak ingin mampus!” bentaknya mendongkol.
Mendengar bentakan kakak mereka, kedua orang itu sadar dan mereka pun kini berdiam diri, sama sekali tidak bergerak sehingga tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam semakin dalam dan mereka melintangkan kedua lengan dengan tangan terbuka sehingga kedua lengan dan tangan yang dibuka jari-jarinya itu sedikit banyak dapat melawan sedotan lumpur dan menahan tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam. Sementara itu, orang pertama dari Tiat-liong Samheng-te segera mencari sepotong dahan pohon yang cukup panjang dan kuat, mengikat ujung kayu itu dengan sabuknya yang kuat dan panjang, melibatkan ujung ikat pinggang itu kepada sebatang pohon yang besar, lalu dia melemparkan dahan itu ke dekat kedua orang adiknya yang menyambutnya dengan girang sekali. Kini kedua orang itu menarik tubuh mereka sambil berpegang kepada dahan kayu, dibantu si kumis tipis, dan biarpun dengan susah payah melawan sedotan lumpur, akhirnya mereka berdua berhasil juga keluar dari kubangan lumpur dan rebah menelungkup di atas tanah di tepi kubangan, terengah-engah dan ketika mereka berdua saling pandang, mereka tertawa bergerak saking gembira dan lega hati mereka, juga karena lucu melihat betapa mereka kini menjadi seperti setan lumpur.
“Kalian sungguh ceroboh dan kurang hati-hati, juga bersikap demikian penakut sehingga kehilangan ketenangan.” Sang kakak mengomel.
“Aih, maafkan kami, Twako. Menghadapi lawan manusia, kami tidak akan gentar, akan tetapi siapa orangnya tidak akan merasa ngeri menghadapi sedotan lumpur itu? Membuat kita merasa tak berdaya seperti boneka dan melihat kematian merayap begitu dekat dan berangsur-angsur, perlahan-lahan tapi pasti. Hihhh, masih ngeri kalau kukenangkan kembali!” kata si gendut.
“Hemmm, kubangan lumpur ini memang berbahaya sekali, Twako. Jebakan ini sungguh licik dan kejam bukan main. Huhhh!” kata si muka hitam.
“Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Dari atas tadi, gedung itu terletak di sana. Akan tetapi, biar aku yang berjalan di depan untuk menjaga kalau-kalau ada jebakan lain.” kata si kumis tipis dan kini dia pun berjalan di muka sebagai pemimpin, sedangkan dua orang adiknya yang masih terbungkus lumpur itu mengikuti dari belakang.
Memang tidak terdapat jebakan berbahaya lagi, akan tetapi kembali mereka terpaksa berhenti melangkah karena mereka tiba di tepi jurang yang dalamnya tak dapat dilihat atau diukur! Jurang itu demikian curam sehingga dasarnya tidak nampak, tertutup rumput alang-alang yang tebal. Membayangkan diri terguling jatuh ke dalam jurang itu cukup membuat bulu tengkuk meremang. Mereka mencari-cari jalan lain. Akan tetapi sama sekali tidak ada! Perjalanan mereka sama sekali mati, terputus oleh jurang yang curam itu. Kalau hendak mengunakan kepandaian melompati jurang pun tidak mungkin, karena jurang itu lebar sekali dan untuk dapat mencapai tepi di seberang, hanya dapat dilakukan kalau mereka bersayap dan dapat terbang. Membelok ke kiri atau ke kanan, berarti memasuki hutan lagi dan mereka menyimpang dari arah di mana gedung itu berada! Jalan buntu.
“Jahanam! Kita diundang hanya untuk dipermainkan!” si gendut mengomel dan mengepal tangan. Dia merasa tidak enak sekali karena kini lumpur yang menempel di tubuhnya mulai mengering dan tubuh terasa kaku dan gatal-gatal.
“Keparat memang, kalau tahu begini, aku tidak sudi datang!” kata pria si muka hitam dan tiba-tiba dia menampar lehernya. Darah muncrat ketika seekor lintah yang gemuk terguncet pecah. Kiranya seekor lintah menempel dan menghisap darah di lehernya tanpa dirasakannya! Dia bergidik dan menyumpah-nyumpah, ditertawakan si gendut yang merasa lucu. Memang penderitaan sendiri terasa ringan tiba-tiba kalau si penderita melihat orang lain lebih menderita darinya. Sebaliknya, keuntungan sendiri nampak tiba-tiba menjadi kecil tak berarti kalau yang untung itu melihat orang lain mendapat keuntungan yang lebih besar darinya. Demikian sifat dan watak seseorang yang dikuasai nafsu, dicengkeram perasaan iri dan dengki.
Kembali si tinggi kurus berkumis tipis mengerutkan alisnya dan menegur kedua orang adiknya yang kasar.
“Jangan sembarangan bicara kalian! Kita berada di daerah kekuasaan Pao-beng-pai!” Lalu dia memandang ke seberang sana, memasang kedua tangan seperti corong di kanan kiri mulutnya, kemudian mengerahkan khi-kang dan berteriak lantang.
“Saudara pimpinan Pao-beng-pai! Kami tiga saudara Tiat-liong Sam-heng-te sudah tiba di sini memenuhi undangan Pao-beng-pai! Kami mohon penunjuk jalan!”
Suara itu lantang dan bergema karena diteriakkan oleh si kumis tipis dengan pengerahan khi-kang, dan gemanya terdengar dari sekeliling tempat itu.
“Tiat-liong Sam-heng-te, aku sudah berada di sini untuk menjadi penunjuk jalan.” tiba-tiba terdengar suara lembut dan mereka bertiga terkejut sekali karena ketika mereka menengok ke arah suara di belakang mereka, ternyata di situ telah berdiri seorang wanita cantik! Munculnya wanita ini seperti setan saja, sama sekali tidak mereka lihat atau dengar, tahu-tahu telah di situ, tersenyum manis. Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya, berpakaian serba putih dan wajahnya demikian cantik sehingga muncul di tempat seperti itu, sepatutnya ia seorang siluman, bukan manusia!
Si gendut pendek tercengang, lalu dia tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang juga pendek-pendek besar seperti perutnya, dan berkata.
“Nona manis, engkau ini bidadari, siluman ataukah manusia?”
Si tinggi kurus memandang marah kepada adiknya, akan tetapi gadis berpakaian putih itu tersenyum ramah.
“Aku adalah manusia biasa, aku seorang di antara perajurit Pao-beng-pai yang diutus untuk menjemput Sam-wi (Anda Bertiga).”
“Bukan main!” kata si muka hitam yang tadi terpesona dan baru sekarang dapat mengeluarkan suara. “Apakah semua perajurit Pao-beng-pai cantik-cantik jelita seperti engkau ini, Nona!”
Gadis itu menggeleng kepala.
“Nanti engkau akan melihatnya sendiri, harap Sam-wi suka mengikuti aku.”
“Nanti dulu!” teriak si gendut. “Bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka kalau badan dan pakaianku kotor seperti ini!”
---lanjut ke jilid 6---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar