Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 13

Kisah Si Bangau Merah Jilid 13

13

“Maaf, Supek. Kalau Supek berkenan dengan anak yang teecu bawa ke sini, teecu mohon sedikit petunjuk Supek agar teecu memperoleh kemajuan dalam ilmu silat teecu.”
“Heh-heh-heh-heh, engkau orang tamak! Tapi kalau anak ini memang menyenangkan hati, kelak akan kuajarkan sebuah ilmu kepadamu.”
“Terima kasih, Supek. Terima kasih!” kata Lauw Kang Hui sambil memberi hormat lalu dia bergegas pergi sebelum kakek aneh itu membatalkan janjinya.
Sementara itu, Yo Han yang menggelinding seperti disedot tenaga yang amat kuat, kini tiba di dalam guha, masih duduk di lantai guha di dekat sepasang kaki yang kurus dan telanjang karena celana pemilik kaki itu hanya sampai ke lutut. Kaki itu memakai sandal yang amat sederhana, hanya sepotong kulit tebal diikatkan pada kaki secara kasar, di masing-masing kaki. Yo Han merasa penasaran dan juga marah sekali. Dia adalah seorang anak yang pernah menjadi murid suami isteri yang sakti, maka biarpun dia tidak pernah berlatih ilmu silat, namun pengetahuannya akan ilmu silat sudah cukup mendalam. Dia tahu bahwa pemilik kaki ini telah mempergunakan semacam ilmu yang aneh untuk menariknya dari luar gua. Semacam sinkang (tenaga sakti) yang sudah demikian tinggi tingkatnya sehingga Si Pemilik tenaga itu dapat mempergunakan seenaknya saja dapat untuk menyedot seperti tadi! Dan dia pun tahu bahwa orang ini tentu lihai bukan main. Akan tetapi dia tidak takut, bahkan marah karena merasa dipermainkan. Dia hendak bangkit berdiri dan memprotes, akan tetapi sungguh aneh, dia tidak mampu bangkit berdiri!
Baru setelah Lauw Kang Hui pergi, kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han merasa leher bajunya dicengkeram tangan yang kecil, lalu tubuhnya diangkat dan dia pun sudah di jinjing pergi memasuki guha itu yang ternyata di sebelah dalamnya amat luas, seperti sebuah rumah gedung saja dengan dua buah kamar dan berikut pula ruangan duduk, dapur dan kamar mandi lengkap! Juga di sebelah dalam guha itu tidak gelap seperti nampak dari luar karena selain bagian atasnya terdapat lobang sehingga sinar matahari dapat masuk, juga guha itu menembus ke terowongan belakang dari mana datang pula sinar matahari. Belum lagi adanya lampu-lampu gantung.
Yo Han dibawa masuk ke dalam ruangan yang terang sekali dan dia lalu dilepas oleh tangan yang menjinjingnya. Ketika dia turun, dia membalik dan menghadapi orang yang membawanya ke dalam guha. Baru sekarang dia dapat melihat kakek itu dan diam-diam Yo Han terkejut. Seorang kakek yang tua renta, ada delapan puluh tahun usianya.
Rambutnya putih seperti kapas, tinggal sedikit saja sehingga di bagian tengah kepalanya botak mengkilat. Tubuhnya kecil pendek. Pakaiannya sederhana seperti pakaian kanak-kanak, dengan celana setinggi lutut dan baju yang lengannya juga hanya sampai di sikunya. Kaki dan tangan yang menonjol keluar itu nampak kecil kurus seperti kaki tangan anak-anak. Wajah kakek itu pun kecil namun ketuaannya karena keriput. Matanya tajam dan lincah, dan mulutnya selalu menyeringai, memperlihatkan mulut yang ompong tanpa gigi secuil pun!
Mereka saling pandang, berdiri berhadapan dan kakek itu hanya lebih tinggi sekepala saja dibandingkan Yo Han. Sampai lama mereka saling berpandangan dan diam-diam Yo Han merasa heran. Kakek ini sama sekali tidak mendatangkan kesan buruk atau jahat. Sinar mata yang tajam lincah itu nampak demikian lembut. Bahkan kakek ini jauh berbeda dibandingkan Ban-tok Mo-ko.
“Heh-heh, aku dengar dari sini tadi bahwa namamu Yo Han?” tanya kakek itu, dan suaranya seperti suara anak-anak pula, demikian ringan dan belum pecah. Yo Han kagum. Dari tempat ini, cukup jauh dari tempat dia bicara dengan Bantok Mo-ko dan dua orang muridnya tadi, kakek ini dapat mendengarkan!
“Benar, Locianpwe (orang Tua Pandai), namaku Yo Han,” jawabnya dan dia bersikap hormat karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti.
“Heh-heh, dan engkau anak luar biasa?” tanya kakek itu pula. Yo Han merasa kesal.
Hanya itu saja yang dibicarakan orang! Dia pun tanpa diminta menghampiri sebuah dipan dan naik, lalu duduk bersila di atas dipan itu, mulutnya cemberut.
“Orang-orang itu mengada-ada saja, Locianpwe. Aku bernama Yo Han. Yatim piatu, hidup sebatang kara saja di dunia ini, tidak bisa apa-apa, dan orang-orang mengatakan aku anak luar biasa, dan aku dijadikan rebutan! Sungguh aneh orang-orang tua di dunia ini, seperti orang gila saja. Aku ini manusia biasa, hanya ingin melanjutkan hidup wajar dan tentram, tidak senang diganggu dan tidak senang pula menggangu.”
Kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han melihat hal yang aneh. Kakek itu tidak membuat gerakan meloncat atau berjalan, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dipan dan kakek itu sudah pula duduk bersila di depan Yo Han. Akan tetapi anak itu sudah terlalu banyak melihat kehebatan ilmu kepandaian yang dipamerkan orang kepadanya sehingga dia tidak kelihatan heran, bahkan acuh saja.
“Heh-heh-heh, aku yakin Kang Hui tidak akan salah pilih. Dan biasanya cermat dan dia haus akan ilmu baru dariku. Yo Han, engkau diamlah, aku akan memeriksamu.” Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya dan kedua tangan itu sudah memegang kepala Yo Han. Anak ini berniat hendak menolak, akan tetapi sungguh aneh. Dia tidak mampu bergerak!
Tahulah dia bahwa kakek yang katai ini telah mempergunakan semacam ilmu totok yang amat aneh yang membuat dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, seperti menjadi lumpuh.
Thian-te Tok-ong, kakek tua renta itu, kini memijit-mijit kepala Yo Han dengan jari-jari tangannya, pijat sana, pijat sini, mengelus bagian belakang kepala yang menonjol, mengukur dengan jari dan berulang-ulang dia mengeluarkan suara lidah seperti cecak berbunyi.
“Ck-ck-ck-ck!” Kemudian, kedua tangan itu meraba ke seluruh tubuh Yo Han, dari kepala leher, dada perut, kaki tangan sampai ke ujung jari kaki! Dan suara seperti bunyi cecak itu semakin sering. Lalu kakek itu menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada Yo Han. Anak itu merasa betapa ada hawa panas dari telapak tangan itu memasuki dadanya. Dia hanya pasrah saja, tidak menerima, tidak pula melawan. Dia merasa yakin sepenuhnya bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, orang yang seribu kali lebih sakti dari kakek ini takkan mampu mencelakainya, sebaliknya kalau sampai dia menderita celaka, apa dan siapa pun penyebabnya, hal itu hanya terjadi karena Tuhan menghendakinya. Keyakinan ini membuat hatinya tenteram karena untuk berusaha membela diri pun tidak ada gunanya karena kaki tangannya tidak dapat dia gerakkan.
Yo Han merasa betapa hawa panas dari tangan kakek itu memasuki tubuhnya seperti meraba-raba di bagian dalam tubuhnya, memasuki kepalanya, berputar-putaran, lalu ke dadanya, juga berputar-putar kemudian turun ke arah pusarnya.
Tiba-tiba, ketika hawa panas yang dapat bergerak-gerak itu memasuki rongga bawah pusarnya, hawa panas itu meluncur keluar dan kakek itu pun terlempar sampai ke atas lantai di bawah dipan! Kakek itu meloncat bangun, terbelalak memandang kepada Yo Han yang kini tiba-tiba mampu bergerak lagi, dan kakek itu berseru dengan penuh takjub.
“Wah-wah-wah, apa ini? Apa-apaan ini? Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat yang begini! Hei, Yo Han! Pernahkah engkau belajar ilmu dan menjadi murid orang-orang pandai?”
Yo Han cemberut.
“Locianpwe, aku tahu bahwa Locianpwe adalah seorang tua yang berilmu tinggi. Aku menghormatimu karena kepandaianmu dan karena ketuaanmu. Akan tetapi apa yang kau lakukan terhadap aku yang muda? Biarpun aku pernah menjadi murid orang pandai, akan tetapi kalau Locianpwe mengira bahwa aku pernah mempelajari ilmu silat atau ilmu kekerasan lain lagi, Locianpwe keliru. Aku tidak pernah belajar silat!”
“Tapi.... tapi.... dari pusat tenaga di bawah pusarmu terdapat tenaga yang amat dahsyat!”
“Aku tidak tahu, Locianpwe. Apakah anehnya hal itu? Yang menghidupkan manusia adalah kekuasaan Tuhan, dan siapa dapat mengukur kekuatan dari kekuasaan Tuhan? Kekuatan yang mampu menggerakkan bintang dan bulan, mampu menciptakan segala sesuatu di alam maya pada ini? Apa anehnya kalau hanya kekuatan secuil di dalam tubuhku ini?”
“Wahhh! Luar biasa! Memang engkau anak luar biasa, Engkaulah yang telah lama kutunggu, telah lama kurindukan! Engkaulah yang pantas menjadi muridku, engkau yang pantas menjadi orang yang kelak akan mengangkat nama Thian-li-pang, yang akan membersihkan nama Thian-li-pang dan mengharumkan kembali namanya. Ha-ha-ha-heh-heh!”
“Locianpwe, aku pernah membaca pengalaman orang bijaksana jaman dahulu bahwa yang dirindukan itu akhirnya menjadi yang mengecewakan! Kalau yang dirindukan itu kesenangan, maka yang merindukan adalah nafsu pikiran dan di samping kesenangan tentu muncul kesusahan, di balik kepuasan bersembunyi kekecewaan. Menurut pengalaman para suci, hanya yang dirindukan jiwa sajalah yang berharga dan benar.”
Kakek itu terbelalak, lalu terkekeh.
“Heh-heh-heh, kalau tidak melihat bahwa engkau ini seorang bocah, tentu aku mengira yang bicara ini seorang pendeta! Ha-ha-ha! Yo Han, apa itu yang dirindukan jiwa?”
“Apa yang dirindukan setiap tetes air kalau bukan samudera, kembali ke asalnya dan bersatu dengan samudera? Apa yang dirindukan oleh bunga api kalau bukan kepada api yang menjadi pusatnya? Demikianlah yang kubaca. Hanya persatuan, dengan sumber inilah yang akan membahagiakan hidup, Locianpwe, bukan segala kesenangan memuaskan nafsu. Apakah Locianpwe tidak rindu kepada Tuhan?”
“Kepada Tuhan?” kakek itu memandang heran.
“Tentu saja. Bukankah yang dimaksudkan dengan sumber itu adalah Tuhan Yang Maha Kuasa? Bukankah segala sesuatu datang dari padaNya dan sepatutnya kembali kepadaNya?”
“Wah-wah-wah....! Engkau ini siapa sih? katanya setengah berkelakar.
Akan tetapi Yo Han kini turun dari dipan itu, berdiri tegak dan dengan lantang berkata,
“Aku ini seorang anak manusia seperti juga Locianpwe. Aku ini setetes air seperti Locianpwe, yang selalu merindukan samudera!”
“Hahhh?” Kakek itu kini benar-benar tertegun dan termenung. Dia membayangkan tetes-tetes air yang datang dari samudera melalui hujan. Semua air itu berasal dari samudera, akan tetapi setelah terbawa awan dan diturunkan ke bumi sebagai tetes-tetes air, harus mengalami banyak penderitaan dan kesukaran masing-masing sebelum dapat kembali ke samudera, tempat asalnya atau sumbernya. Lika-liku perjalanan tiap tetes air tidaklah sama. Ada yang dapat lancar kembali ke samudra, ada yang harus melalui pencomberan, lumpur dan kotoran. Akan tetapi, semua tetes air itu kalau akhirnya kembali ke samudra, akan menjadi satu dengan samudra dan tidak ada lagi perbedaan diantara mereka.
“Yo Han, engkau memang bocah ajaib dan aku girang sekali bisa mendapatkan engkau sebagai muridku.”
“Locianpwe ingin menjadi guruku, akan tetapi tidak pernah bertanya apakah aku suka menjadi muridmu.”
“Ehh? Hah? Manusia mana tidak suka manjadi murid Thian-te Tok-ong? Bahkan anak Kaisar pun akan suka sekali menjadi muridku!”
“Akan tetapi aku bukan anak Kaisar dan sebelum aku mengatakan suka atau tidak, aku ingin dulu mengetahui, kalau Locianpwe menjadi guruku, Locianpwe akan mengajarkan apakah kepadaku?”
“Ha-ha-ha, apa saja yang kauingin pelajari!” Kakek ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa seorang anak seperti Yo Han memiliki keteguhan hati dan tidak mengenal takut.
Maka dia harus tahu dulu apa yang diinginkan dan tidak diinginkan anak ini sebelum menjawab agar dia tidak sampai bertumbuk keinginan dengan anak luar biasa ini.
“Segala macam ilmu baik untuk dipelajari dan aku suka mempelajarinya, Locianpwe, kecuali satu, yaitu ilmu silat. Aku tidak suka berlatih ilmu silat”
Kalau tidak cerdik sekali, tentu Thian-te Tok-ong sudah terkejut mendengar ucapan itu.
Dia ingin mengambil anak luar biasa menjadi muridnya untuk mewariskan seluruh ilmu silatnya dan mendidik murid itu menjadi calon pemimpin Thian-li-pang yang pandai dan yang akan mengangkat nama Thian-li-pang, dan sekarang, anak yang dipilih itu terang-terangan mengatakan bahwa dia suka mempelajari ilmu apa saja kecuali ilmu silat!
“Heh-heh-heh, bagus! Engkau jujur sekali! Nah, tidak ada orang membenci sesuatu tanpa alasan tertentu. Kenapa engkau tidak suka berlatih ilmu silat, Yo Han?”
“Aku tidak membenci sesuatu, Locianpwe. Hanya aku tidak mau mempelajari ilmu silat karena aku melihat kenyataan betapa ilmu itu mengandung kekerasan, bersifat merusak dan hanya mendatangkan permusuhan dan pertentangan saja dalam kehidupan ini.”
“Heh-heh-heh, cocok! Cocok dengan aku, Yo Han. Tidak, aku tidak mengajarkan ilmu silat kepadamu, hanya akan mengajarkan ilmu tari dan senam olah raga untuk membuat tubuhmu sehat. Bagaimana?”
Yo Han mengamati wajah yang kecil itu.
“Tidak mengajarkan cara memukul dan menendang orang, bahkan membunuh?”
“Ho-ho-ho, sama sekali tidak! Memang kaupikir aku ingin melihat engkau menjadi algojo? Aku suka kepadamu, maka aku ingin melihat engkau sehat lahir batin, dan pandai menari indah!”
Yo Han tersenyum.
“Baiklah, kalau begitu aku suka menjadi muridmu.” Dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut. “Aku akan belajar dengan rajin, Suhu, dan akan melayani Suhu di sini.”
“Ha-ha-ha, bagus, bagus, muridku. Yo Han, hari ini merupakan hari paling bahagia untukku!”
Mulai hari itu, Yo Han tinggal di dalam guha bersama gurunya. Ternyata untuk mereka telah dikirim makanan dari luar sehingga Yo Han tidak perlu lagi mencarikan makanan untuk gurunya. Dan mulailah Thian-te Tok-ong mengajarkan “tari” dan “senam” kepada Yo Han. Memang kakek ini pandai sekali. Ilmu silat memang mengandung tiga unsur, yaitu pertama tentu saja ilmu bela diri, ke dua ilmu tari dan ke tiga ilmu senam kesehatan, kesehatan lahir batin.
Dia mengajarkan kepada Yo Han gerakan semua binatang yang ada di dunia ini yang dinamakannya Tarian Harimau, Tarian Naga, Tarian Burung, Tarian Monyet dan sebagainya. Padahal, dalam gerak tari ini terkandung ilmu silat yang dahsyat. Yo Han melatih diri dengan “tari-tarian” itu, dan tanpa disadarinya sendiri dia telah menggembleng diri dengan ilmu silat yang tinggi. Dan dalam latihan ini, otomatis ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari secara teoretis tanpa disengaja keluar dan terkandung dalam gerak “tariannya”.
Kurang lebih seminggu setelah dia berada di dalam guha itu, pada suatu malam Yo Han dikejutkan oleh suara yang menyayat jantung, suara mengerikan yang merupakan semacam lolong atau lengking memanjang. Bukan lolong anjing, dan tidak mirip suara manusia, namun dalam lengking itu terkandung semua perasaan duka dan derita yang amat hebat! Seperti tangis bukan tangis, seperti tawa bukan tawa, namun dia yang tidak pernah merasa takut itu sempat terbelalak dan merasa betapa tengkuknya dingin sekali.
Dia segera lari ke kamar Thian-te Tok-ong yang sedang bersamadhi, menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
“Suhu, suara apakah yang terdengar dari arah belakang itu?” tanyanya kepada kakek itu yang sudah membuka matanya ketika dia berlutut,
“Heh-heh, engkau mendengar juga, Yo Han? jangan pedulikan. Suara itu sudah sejak lima tahun ini kadang terdengar, keluar dari dalam sumur bawah tanah di ujung belakang terowongan ini.”
“Tapi.... suara apakah itu, Suhu?”
Thian-te Tok-ong menghela napas panjang.
“Kelak engkau akan dapat mengetahuinya sendiri. Agar engkau tidak menjadi penasaran, baik engkau ketahui saja bahwa sumur itu merupakan tempat hukuman bagi seorang manusia iblis yang amat berbahaya. Dan mulai sekarang, setiap hari dua kali biar engkau mewakili aku menurunkan makanan ke bawah sana. Setiap kita mendapat kiriman makanan dan minuman, tentu ada sebungkus untuk dia dan biasanya kulemparkan saja ke dalam sumur.”
“Tapi, siapa dia, Suhu? Dan siapa pula yang menghukumnya? Dan mengapa pula dia dihukum?”
“Panjang ceritanya dan engkau tidak perlu tahu. Yang penting kauketahui, orang itu seperti iblis atau sepetti gila, dengan kepandaian yang dahsyat dan tak seorang pun mampu menandinginya. Orang lain tidak mungkin dapat menuruni sumur itu, dan andaikata ada yang dapat turun pun tentu akan mati konyol oleh manusia iblis itu. Sudahlah, itu bukan urusanmu, tidak perlu engkau mencampuri. Merupakan urusan rahasia dan pribadi dari Thian-li-pang. Mengerti?”
Yo Han mengangguk dan menunduk. Hatinya penuh perasaan iba kepada orang hukuman yang disebut manusia Iblis itu. Akan tetapi suara itu sudah lenyap lagi dan sejak hari itu, dialah yang setiap hari dua kali mengirim sebungkus makanan ke sumur itu. Sumur itu kecil saja, bergaris tengah satu meter, akan tetapi amat dalam. Ketika dia mencoba untuk menjenguk ke dalam, yang nampak hanya kehitaman belaka, hitam pekat dan gelap sekali. Pernah dia mencoba untuk memanggil-manggil dengan sebutan “locianpwe” beberapa kali, namun selalu tidak ada jawaban. Menurut pesan Thian-te Tok-ong, dia harus melemparkan begitu saja bungkusan makanan ke dalam sumur. Karena merasa kasihan dan tidak ingin makanan itu rusak kalau jatuh ke dasar sumur, pernah Yo Han mengikatnya dengan tali dan mengereknya turun. Akan tetapi belum juga dua meter tali yang ujungnya mengikat buntelan itu turun, tiba-tiba tali itu putus dan makanan itu pun jatuh ke bawah seperti kalau dia lemparkan!
Terdorong oleh rasa iba kepada orang hukuman itu, pernah Yo Han mencoba untuk mengukur dalamnya sumur, menggunakan tali panjang. Akan tetapi seperti juga ketika mencoba mengerek bungkusan makanan ke bawah, tiba-tiba tali itu putus tanpa sebab!
Dia pun dapat menduga bahwa siapa pun orangnya yang berada di bawah, gila atau tidak, manusia atau iblis, tentu memiliki ilmu yang hebat sehingga entah dengan cara apa, tali yang diturunkan tentu akan putus seperti digunting!
Karena tidak mungkin baginya untuk turun ke sumur, juga kini tidak pernah lagi ada suara mengerikan itu, akhirnya Yo Han menganggap hal itu biasa dan setiap hari mengirim makanan dengan melemparkannya ke sumur. Dan dia mulai merasa senang di situ karena Thian-te Tok-ong memegang janjinya, mengajarkan “tari-tarian” yang dianggapnya amat indah. Juga kakek itu mendatangkan banyak kitab dari luar sehingga di waktu senggang, Yo Han dapat memuaskan selera bacanya yang tak kenal bosan. Segala macam kitab dilahapnya dan di dalam kitab ini dia berkenalan dengan para pahlawan dan para pendekar, juga riwayat partai-partai besar di dunia persilatan. Akan tetapi, gurunya tidak perah mengajaknya bicara tentang dunia persilatan, tidak pernah pula bicara tentang ilmu silat.
***
Kita tinggalkan dulu Yo Han yang belajar “tari” dan “senam” kepada Thian-te Tok-ong, tokoh paling lihai dari Thian li-pang dan mari kita melihat keadaan keluarga Tan Sin Hong yang ditinggalkan Yo Han.
Setelah ditinggal pergi Yo Han, setiap hari Sian Li menangis dan selalu menanyakan suhengnya yang amat disayangnya itu. Anak berusia empat tahun itu sejak lahir selalu diasuh oleh Yo Han, selalu bermain-main dengan Yo Han sehingga ia menyayang Yo Han seperti kakaknya sendiri. Oleh karena itu, begitu Yo Han pergi meninggalkannya, siang malam ia rewel saja dan minta kepada ayah ibunya agar mereka menyusul Yo Han.
Bahkan di waktu tidur, seringkali Sian Li bermimpi dan mengigau memanggil-manggil nama Yo Han.
Tentu saja Tan Sin Hong dan Kao Hong Li merasa prihatin sekali. Mereka berdua pun amat sayang kepada Yo Han dan kepergian anak itu sungguh membuat mereka merasa kehilangan sekali. Akan tetapi, demi masa depan Sian Li, mereka terpaksa merelakan Yo Han pergi. Yo Han bukan anak biasa. Hatinya teguh memegang pendiriannya yang tidak suka akan ilmu silat dan kalau hal ini sampai menular kepada Sian Li, sungguh akan membuat mereka berdua kecewa sekali. Bagaimana mungkin sebagai suami isteri pendekar, mereka mempunyai seorang anak yang tidak suka belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah kelak?
Hidup memang diisi oleh dua keadaan yang berlawanan. Ada dua kekuatan yang berlawanan, akan tetapi juga saling mengadakan dan saling mendorong di dalam dunia ini. Justeru adanya dua kekuatan inilah yang membuat kehidupan ada dan dapat membuat segala sesuatu berputar dan hidup. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin, ada senang ada susah. Ada yang satu tentu ada yang ke dua, yang menjadi kebalikannya.
Bagaimana mungkin ada yang disebut terang kalau tidak ada gelap. Setelah merasakan adanya gelap, baru terang dikenal, atau sebaliknya. Setelah orang mengalami senang, baru tahu artinya susah atau sebaliknya setelah mengalami susah baru mengenal arti senang. Dan segala sesuatu memiliki dwi-muka, dua sifat yang bertentangan. Kita sudah terseret ke dalam lingkaran setan dari dua unsur yang berlawanan ini sehingga kehidupan ini diombang-ambingkan antara yang satu dari yang lain. Padahal, semua keadaan itu hanyalah hasil daripada perbandingan dan penilaian, yang selalu berubah-ubah. Hari ini seseorang dapat menerima sesuatu dengan puas, lain hari sesuatu yang sama hanya mendatangan kecewa. Apa yang hari ini mendatangkan kesenangan, besok mungkin menimbulkan kesusahan.
Sebetulnya, susah senang hanyalah akibat daripada penilaian kita sendiri. Hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu daya rendah sehingga pikiran yang licik selalu membuat perhitungan yang menguntungkan kita berarti senang, sebaliknya yang merugikan kita berarti susah! Banyak sekali contohnya. Kalau hujan turun selagi kita membutuhkan air, berarti hujan itu menyenangkan karena menguntungkan kita.
Sebaliknya, kalau hujan turun mengakibatkan banjir atau becek atau menghalangi kesenangan kita, maka hujan itu menyusahkan karena merugikan kita. Demikian pula dengan segala peristiwa yang terjadi di dunia ini. Susah senang, susah senang, perasaan kita dipermainkan antara susah dan senang setiap hari, dipermainkan oleh ulah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah. Kalau kita sedang bersenang-senang, kita lupa bahwa kesenangan itu hanya sementara saja, dan kesusahan sudah siap menggantikannya setiap saat. Demikian sebaliknya, kalau kita sedang bersusah-susah, kita merana dan merasa hidup ini sengsara, lupa bahwa kesusahan itu pun hanya sementara saja sifatnya, akan tertimbun kesenangan dan kesusahan lain yang datang silih berganti.
Orang bijaksana akan menerima segala sesuatu seperti apa adanya. Segala yang terjadi itu wajar karena segala yang terjadi itu adalah kenyataan yang tak dapat dirubah atau dibantah lagi. Orang bijaksana tidak akan menentang arus peristiwa yang datang, melainkan menyesuaikan diri dengan arus itu, mengembalikan, kesemuanya kepada Tuhan, kepada kekuasaan Tuhan karena kekuasaanNya itulah yang mengatur dan menentukan segalanya. Hujan? Banjir? Bencana alam? Sakit dan mati? Kehilangan?
Keuntungan dan keberhasilan. Semua itu dihadapi dengan penuh kesabaran, penuh keikhlasan, berdasarkan kepasrahan, penyerahan kepada Tuhan! Dan orang yang sudah pasrah lahir batin, secara menyeluruh kepada Tuhan, takkan lagi disentuh derita yang berlebihan, tidak akan mabok kesenangan.
Setelah lewat beberapa bulan, Sian Li menjadi kurus dan kurang bersemangat. Melihat keadaan anak mereka ini, Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, mengambil keputusan untuk mengajak puteri mereka pergi pesiar agar terhibur hatinya. Mereka mengajak Sian Li pergi berkunjung ke kota raja Peking yang besar, megah dan indah.
Seminggu lamanya mereka tinggal di kota raja, bermalam di sebuah rumah penginapan dan setiap hari ayah dan ibu itu mengajak puteri mereka untuk berpesiar mengunjungi tempat-tempat yang indah di kota raja.
Tentu saja Sian Li yang baru berusia empat tahun lebih itu menjadi gembira bukan main dan tak lama kemudian ia sudah melupakan sama sekali kesedihannya karena ditinggal pergi Yo Han! Senang atau susah memang hanya permainan sementara waktu dari perasaan. Sang Waktu akan menelan habis semua kesusahan atau kesenangan sehingga tiada bersisa lagi. Atau perasaan lain akan muncul silih berganti sehingga perasaan yang timbul karena peristiwa lama itu akan tertimbun dan tidak nampak lagi, terganti oleh perasaan yang timbul karena peristiwa baru. Sejak kita kanak-kanak kecil sampai dewasa, hati dan akal pikiran kita sudah digelimangi nafsu yang selalu mencari kesenangan dalam hal-hal atau benda-benda yang baru. Kita selalu haus akan yang baru, karena yang baru selalu memiliki daya tarik yang besar, didorong oleh keinginan tahu. Kalau yang didapatkan itu sudah lama, akan membosankan dan perhatian kita akan tertarik oleh hal lain yang baru. Sejak kanakkanak, kita mudah bosan dengan barang mainan lama, dan akan tertarik oleh barang mainan baru. Setelah kita dewasa, kita tetap tidak berubah, tetap saja tertarik oleh barang mainan yang baru, walaupun bentuk barang permainan itu yang berbeda. Permainan kita ketika masih kanak-kanak tentu saja barang-barang mainan, atau permainan dengan kawan-kawan. Sesudah kita dewasa permainan kita bukan boneka atau barang-barang mainan lain, akan tetapi, permainan berupa harta benda, kedudukan, kekuasaan, dan pemuasan nafsu melalui panca-indrya. Biarpun demikian, tetap saja kita pembosan dan selalu haus akan hal yang baru. Itulah sifat nafsu! Selalu ingin yang baru, yang lebih!
Setelah berpesiar di kota raja, Sian Li sudah melupakan Yo Han dan sama sekali tidak pernah menangis lagi. Kegembiraannya semakin besar ketika dari kota raja ayah ibunya mengajaknya berkunjung ke kota Pao-teng di mana tinggal kakek dan neneknya, yaitu orang tua dari ibunya. Kakek-luarnya itu, Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir penghuni Istana Gurun Pasir, sedangkan nenek luarnya yang bernama Suma Hui adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti penghuni Istana Pulau Es!
Suami isteri keturunan keluarga pendekar sakti itu tinggal di Pao-teng, berdagang rempa-rempa. Mereka sudah tua. Kao Cin Liong yang sudah berusia enam puluh tiga tahun sedangkan isterinya Suma Hui, berusia lima puluh tiga tahun. Semenjak puteri mereka yang menjadi anak tunggal, Kao Hong Li, menikah dengan Tan Sin Hong dan ikut suaminya tinggal di kota Ta-tung, suami isteri ini tentu saja merasa kesepian. Mereka hidup berdua saja bersama tiga orang yang membantu toko rempa-rempa dan juga membantu rumah tangga. Namun, suami isteri pendekar itu hidup tenteram karena memang mereka telah lama mengurung diri dan tidak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw. Juga tidak ada golongan sesat yang berani mengganggu mereka. Bukan saja karena suami isteri ini terkenal amat lihai, juga Kao Cin Liong ketika mudanya pernah menjadi seorang panglima perang yang telah banyak jasanya. Kini, suami isteri yang sudah mulai tua dan hidup berdua saja ini memiliki penghasilan yang berlebihan bagi mereka dan mereka merupakan orang-orang dermawan yang suka menolong mereka yang membutuhkan pertolongan. Maka, seluruh penduduk kota Pao-teng merasa hormat dan segan kepada mereka.
Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati kakek Kao Cin Liong dan isterinya, nenek Suma Hui ketika mereka menerima kunjungan puteri mereka bersama suaminya dan anaknya. Kakek dan nenek perkasa ini dahulu pernah merana dan berduka sekali melihat keadaan puteri tunggal mereka, Kao Hong Li. Dahulu, sebelum menjadi isteri pendekar Tan Sin Hong, puteri mereka itu pernah menjadi isteri dari Thio Hui Kong, putera seorang jaksa di Pao-teng yang adil dan jujur. Juga Thio Hui Kong merupakan seorang pria yang tampan dan gagah, pandai ilmu silat dan sastra. Namun sayang, karena pernikahan di antara mereka itu tidak ada cinta, terutama di pihak Kao Hong Li, pernikahan itu gagal. Hong Li tidak pernah mencintai suaminya dan bersikap hambar sehingga Thio Hui Kong yang merasa kecewa lalu menghibur diri dengan pelesir dan judi. Akhirnya rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka bercerai!
Namun, dasar sudah jodohnya. Hong Li bertemu dengan Tan Sin Hong yang sejak dulu dicintanya akan tetapi Sin Hong menikah dengan wanita lain. Dalam pertemuan kembali ini, ternyata Tan Sin Hong juga sudah bercerai dari isterinya yang melakukan penyelewengan! Dan dua hati yang saling mencinta itu pun bertemu kembali dan menikahlah janda kembang dengan duda muda itu. Tentu saja peristiwa itu membuat Kao Cin Liong dan Suma Hui merasa berbahagia sekali, apalagi setelah lahir Tan Sian Li, cucu luar mereka.
“Sian Li, cucuku yang manis....!” Nenek Suma Hui mengangkat tubuh cucunya tinggi-tinggi, lalu mendekap dan menciumi kedua pipinya sambil tertawa gembira. “Aduh, engkau makin manis saja Sian Li. Dan pakaianmu merah! Heh-heh, engkau seperti seekor bangau merah!”
Kao Cin Liong mengelus rambut kepala, Sian Li yang berada di pondongan Suma Hui.
“Bangau Merah? Ha-ha-ha, memang ia puteri Si Bangau Putih Tan Sin Hong. Si Bangau Merah, nama yang indah. Mari, mari ikut kong-kong!” kata kakek itu dan mengambil Sian Li dari pondongan isterinya.
Suma Hui menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya.
“Ehh? Mana murid kalian? Apakah Yo Han tidak ikut?”
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar