Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 2.

Jodoh Rajawali Jilid 2.
Jodoh Rajawali Jilid - 2 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 2 lalu terulang kembali. Sayang, ke¬tika itu muncul Pendekar Siluman Kecil sehingga pertempuran terhenti dan nyawa Perkumpulan Hek-eng-pang selamat.” “Bedebah tua bangka! Siapa takut mati? Mau bunuh lekas bunuh, akan ada teman-teman kami yang membalaskan kematian kami, yang akan melumatkan perkumpulanmu dan meratakan sarang kalian dengan bumi. Hayo, bunuhlah!” Kim-hi Nio-cu menantang. “Tua bangka gila, namaku bukan Liong-li kalau aku takut mampus!” Ke¬pala Pasukan Tanah juga menantang dengan pandang mata menghina. Khiu-pangcu menggaruk-garuk kepala¬nya. “Wah, wah, hebat sekali. Hoa-gu¬ji, kalau anak buah kita tidak setabah mereka ini, sungguh kita harus merasa malu.” “Ji-pangcu (Ketua Ke Dua), boleh jadi mereka tidak takut mati, akan tetapi apakah Pangcu lupa bahwa ada sesuatu yang lebih ditakuti wanita daripada ma¬ut?” Hoa-gu-ji berkata sambil tertawa menyeringai, memperlihatkan gigi yang sudah keropok dan kuning dekil. “Hah? Ohhh.... he-he-hea....kau memang cerdik!” Khiu-pangcu berkata dan sambil tertawa-tawa dia lalu ber¬jongkok mendekati tubuh Kim-hi Nio¬cu, menggunakan kedua tangan meng¬gerayangi tubuh wanita cantik itu sambil mulai melepas-lepaskan pakaiannya. Se¬dangkan Hoa-gu-ji dengan lagak men¬jemukan juga menggerayangi tubuh Liong-li dan melepaskan kancing-kancing baju wanita cantik itu. Kim-hi Nio-cu dan Liong-li menjerit. “Tua bangka! Apa yang kaulakukan ini? Lepaskan aku!” Kim-hi Nio-cu berteriak. “Keparat tak tahu malu, lepaskan aku!” Liong-li juga menjerit-jerit, akan tetapi karena tak dapat bergerak, maka dia hanya terbelalak penuh kengerian. “He-he-he, hendak kulihat, kau lebih suka dicemarkan atau berterus terang!” Khiu-pangcu mengejek dan sudah mulai menanggalkan pakaian luar Kim-hi Nio¬-cu sehingga mulai nampaklah bentuk tubuhnya yang padat membayang di balik pakaian dalamnya yang tipis, dan nampak pula kulitnya yang putih halus dan menggairahkan itu. “Jangan....! Kami.... akan berterus terang....!” Akhirnya Kim-hi Nio-cu ber¬teriak dengan suara lemah, tanda bahwa dia tidak mempunyai semangat untuk melawan lagi. Menghadapi kematian dia masih tabah, akan tetapi kalau harus dihina lebih dulu oleh kakek yang menjijikkan ini, benar-benar hebat dan dia tidak sanggup menghadapinya. “Akan tetapi kau harus berjanji demi keduduk¬anmu bahwa kalau kami mengaku terus terang, kau tidak akan men¬cemarkan kehormatan kami.” Khiu-pangcu bangkit berdiri. “He-he¬-he.... siapa sih yang masih haus akan tubuh perempuan muda? Aku sudah mu¬ak!” “Tapi.... dia.... dia ini....!” Liong-li menjerit. Hoa-gu-ji yang agaknya sudah bangkit berahinya itu mulai meraba celana dalam berwarna hitam yang amat kontras dengan paha yang putih mulus dari Liong-li. “Hoa-gu-ji, kau benar-benar seperti kerbau! Hayo mundur!” Khiu-pangcu membentak dan kakek tinggi kurus itu tersentak kaget, lalu bangkit dan mundur dengan muka merah menarik napas menahan nafsu berahinya yang berkobar dan jelas dia amat kecewa. “Nah, ceritakanlah!” Khiu-pangcu menghardik kepada Kim-hi Nio-cu. “Harap.... bebaskan dulu kami.... bicara begini tidak enak....” “Huhhh, dasar perempuan. Cerewet amat!” Khiu-pangcu mengomel, akan tetapi tetap saja tangannya bergerak dua kali dan dua orang wanita muda cantik itu dapat bergerak, lalu cepat-cepat mereka memakai kembali pakaian luar mereka yang sudah ditanggalkan oleh dua orang kakek itu. Setelah, itu, barulah Kim-hi Nio-cu bercerita dengan suara lirih, karena sesungguhnya dia terpaksa mengalah. “Kami belum mendapatkan harta Jenderal Kao. Kami bertemu dan bentrok dengan pesukan asing yang lihai, bahkan adik kami kepala Pasukan Kayu telah tewas ketika bertanding dengan pemimpin pasukan asing itu. Karena kami belum mendapatkan harta itu, maka kami me¬ngejar Jenderal Kao dan dua orang pu¬teranya yang kautawan itu untuk me¬nanyakan di mana adanya harta benda mereka yang tadinya mereka bawa dalam rombongan mereka dari kota raja.” “Aih, begitukah? Kalau begitu kita semua telah dipermainkan oleh keluarga Kao itu!” Khiu-pangcu berkata marah. “Hoa-gu-ji, seret mereka keluar dari perahu dan bawa ke sini!” Hoa-gu-ji yang masih kecewa itu kini dengan kasar menyeret tubuh Kok Tiong dan Kok Han keluar dari perahu dan me¬lemparkan tubuh mereka yang terbeleng¬gu itu ke atas tanah di depan kaki Khiu¬-pangcu. Dua orang muda itu mengguling¬kan tubuh agar terlentang dan dapat melihat orang-orang yang menawannya. Mereka melihat dua orang wanita cantik itu dan menduga-duga siapa adanya me¬reka. “Hayo katakan yang sebenarnya, di mana kalian menyembunyikan harta Ayah kalian yang tadinya kalian bawa dalam rombongan itu! Kalau tidak, jangan mengatakan Khiu-pangcu berlaku kejam, kalian tentu akan kusiksa di sini!” Khiu¬pangcu membentak marah karena dia merasa dipermainkan. Kok Han memandang dengan mata melotot. “Sudah kukatakan padamu, ter¬serah kamu percaya atau tidak!” Pemuda ini membentak juga. “Mau siksa, mau bunuh, siapa sih yang takut?” Kok Tiong cepat berkata, “Pangcu, kami adalah putera-putera seorang besar dan keluarga kami semenjak puluhan tahun terkenal sebagai keluarga pahlawan yang pantang untuk membohong, apalagi memberatkan harta benda! Sudah kami katakan bahwa kami tidak tahu siapa yang merampas harta kami, siapa pula yang menculik keluarga kami.” “Hemmm, agaknya kalian perlu diberi rasa sedikit. Bocah-bocah keras kepala, biarpun kalian putera-putera bekas Jen¬deral Kao Liang, akan tetapi agaknya kalian belum mengenal siapa aku, ya? Dan kalian belum mendengar tentang senjata rahasiaku Touw-kut-tok-ciam (Jarum Beracun Penembus Tulang)! Apa¬kah kalian mau merasakannya?” “Khiu-pangcu, kami kira mereka ini tidak berbohong. Perlu apa menggunakan jarum beracunmu yang mengerikan itu?” Tiba-tiba Kim-hi Nio-cu mencela kakek itu. “Ha-ha-he-he, agaknya kau sayang melihat ketampanan mereka, ya? Hoh ho, biar kalian juga melihat betapa he¬batnya jarum Touw-kut-tok-ciam dari Khiu-pangcu, agar lain kali kalian bocah-¬bocah tidak berani kurang ajar melawan aku!” Akan tetapi tiba-tiba kakek ini tidak melanjutkan tangannya yartg hendak me¬rogoh saku mengeluarkan jarum beracun¬nya, karena pada saat itu terdengar su¬ara orang bersenandung, Ialu lewatlah seorang pemuda berpakaian abu-abu di tempat itu. Dua orang putera Jenderal Kao yang terlentang melihat pemuda ini dan hampir saja mereka mengira bahwa yang lewat itu adalah Suma-kongcu yang mereka cari-cari, karena suara itu ham¬pir sama dengan suara senandung yang mereka dengar di atas tebing kemarin dulu. Akan tetapi orang ini pakaiannya abu-abu, tidak putih-putih, dan ketika mereka berdua memandang wajah itu, mereka tahu bahwa orang ini bukanlah Suma Kian Lee atau Suma Kian Bu yang pernah mereka lihat dan mereka kenal. Pemuda berpakaian abu-abu itu meng¬hentikan senandungnya dan bahkan ber¬henti melangkah, lalu menghampiri me¬reka dengan wajah heran. “Eh, ada ter¬jadi apakah di sini? Mengapa kalian ber¬dua tiduran di tanah yang kotor? Eh, bukankah kalian ini putera-putera Jenderal Kao Liang?” Pemuda itu laiu me¬noleh dan memandang bergantian kepada dua orang wanita Garuda Hitam dan ke¬pada Khiu-pangcu dan Hoa-gu-ji, kemudi¬an dia mengerutkan alisnya dan menegur. “Heiii, kenapa kalian menawan dua orang putera Jenderal Kao Liang ini? Ehem, tentu kalian mengincar harta benda me¬reka, bukan? Tolol, mereka itu adalah keluarga yang gagah perkasa dan bersih, harta benda mereka bukanlah hasil ko¬rupsi. Sama sekali bukan, melainkan har¬ta yang bersih, hasil dari jerih payah dan keringat mereka sendiri. Ho-ho, kalian memang tolol, karena kalian sudah ter¬lambat semua, harta itu telah berada pada Suma-kongcu.” “Eh, bocah lancang, kau tahu apa?” Khiu-pangcu membentak marah, tangan¬nya melayang. Dalam kemarahannya ka¬rena dia tidak dipandang sebelah mata oleh pemuda ini, yang bahkan memakinya tolol, di dalam tamparan itu Khiu-pangcu mengerahkan sinkangnya sehingga tam¬paran itu mengandung tenaga yang amat kuat, yang bahkan cukup kuat untuk menghancurkan batu karang, apalagi ke¬pala pemuda yang kelihatan lemah itu. “Wuuuuuttt.... plakkkkk.... aughhh....!” Sungguh mengherankan sekali. Pemuda itu agaknya dengan acuh tak acuh, de¬ngan gerakan sembarangan saja, meng¬angkat tangan menyambut tamparan itu sehingga dua tangan itu bertemu, dan akibatnya, Khiu-pangcu terhuyung ke be¬lakang memegangi tangannya dan me¬niup-niupnya karena terasa panas seperti dibakar! “Bangsat cilik keparat!” Kakek itu marah sekali dan memandang dengan mata terbelalak, kemudian dia sudah menerjang dengan kedua tangannya di¬gerakkan, yang kiri menotok ke arah tengah-tengah antara mata dan yang kanan mencengkeram ke arah pusar pe¬muda berpakaian abu-abu itu. Jelas be¬tapa marahnya Khiu-pangcu karena, serangan yang dilakukannya ini adalah se¬rangan maut yang amat hebat, yang sukar dihadapi oleh yang tangguh sekali¬pun, apalagi oleh orang muda tidak ternama yang berpakaian sederhana seperti seorang pemuda gunung biasa itu. “Wuuuttttt, plak-plak, desssss....!” Dan semua orang terbelalak melihat Khiu¬-pangcu roboh terjengkang. “Blukkk!” Pantat yang tipis dari Khiu¬-pangcu terbanting ke atas tanah, debu mengebul dan kakek kecil itu meringis kesakitan, juga keheranan. “Siuuuuuttttt....!” Sebatang dayung panjang meluncur dan menghantam ke arah kepala pemuda berpakaian abu-abu itu. Itu adalah penyerangan yang dilaku¬kan oleh Hoa-gu-ji, yang menjadi marah melihat betapa ketuanya sampai dua kali dibikin malu oleh pemuda itu. Hantaman dayungnya itu amat kuat, mengandung tenaga ratusan kati dan akan menghancur¬kan batu karang kalau mengenainya. Akan tetapi, tanpa menoleh pemuda itu mengangkat tangan kirinya menangkis, gerakan tangannya jelas menunjukkan bahwa sekali ini dia mengerahkan te¬naganya. “Krakkk!” Dayung itu bertemu dengan lengan tangan pemuda itu dan patah! Hoa-gu-ji melongo, akan tetapi dia ter¬kejut sekali karena pemuda itu sudah menyambar sepotong dayung yang patah tadi dan memukulkannya ke arah kepala¬nya. Pukulan sembarangan saja, seperti seorang yang memukul seekor anjing. Hoa-gu-ji cepat mengangkat sisa potong¬an dayung, menangkis sambil mengerah¬kan tenaganya. “Bukkk!” Sungguh aneh, biarpun di¬tangkis, tetap saja potongan dayung itu mengenai punggungnya dan robohlah Hoa¬gu-ji, mulutnya memuntahkan darah se¬gar dan dia sibuk berusaha untuk meng¬elus punggung dengan kedua tangan, me¬lalui atas dan bawah pundak sambil me¬ngerang kesakitan. Kalau saja dia tidak begitu marah, tentu Khiu-pangcu sudah dapat mengerti bahwa pemuda itu bukan orang semba¬rangan, bahkan memiliki kepandaian yang amat hebatnya. Akan tetapi kemarahannya membuat dia seolah-olah menjadi buta. Dengan teriakan nyaring tangannya bergerak dan beberapa sinar putih me¬luncur ke arah pemuda itu dan menye¬rang beberapa bagian tubuh yang ber¬bahaya, di tenggorokan, ulu hati, dan pusar. Itulah tiga batang jarum Touw¬-kut-tok-ciam yang amat berbahaya, yang menyambar dari jarak dekat. Serangan tiba-tiba itu sama sekali tidak dapat dihindarkan lagi oleh pemuda itu, kecuali dua, yaitu yang menyambar ke arah teng¬gorokan dan pusar. Kedua tangannya bergerak menangkap dua batang jarum itu dengan menjepitnya antara jari te¬ngah dan telunjuk, sedangkan jarum yang meluncur ke arah dadanya, dia terima begitu saja. “Cappp!” Jarum itu menancap di baju¬nya dan kedua orang putera Jenderal Kao sudah terbelalak ngeri, apalagi dua orang wanita Garuda Hitam yang sudah mengenal kehebatan jarum beracun itu. Tentu pemuda lihai itu akan celaka kare¬na dadanya telah termakan oleh sebatang jarum yang amat berbahaya itu. Akan tetapi sungguh luar biasa sekali. Pemuda berbaju abu-abu itu seperti tidak merasa¬kan sama sekali, malah sambil tersenyum mengejek dia berkata, “Orang sinting! Kau makanlah sendiri jarum-jarummu!” Dan tangannya yang menjepit jarum-¬jarum itu meluncur ke bawah, ke arah Khiu-pangcu! Kakek itu berusaha me¬loncat dan mengelak, akan tetapi dia roboh kembali karena dua batang jarumnya telah menancap di kedua betis kaki¬nya, menembus tulang! Dia terkejut se¬kali, tergopoh-gopoh dia mengeluarkan sebungkus obat dan cepat-cepat dia menelan empat butir pil hitam, mencabut dua batang jaram itu dan menggosokkan obat pada bekas luka tertusuk jarumnya sendiri. Dia selamat dari bahaya maut, akan tetapi tetap saja dia mengaduh¬-aduh karena rasa yang menusuk-nusuk tulang akibat bekerjanya racun jarum itu. Pemuda itu dengan sikap tidak peduli lalu mencabut jarum yang menancap di baju dadanya, melemparkan jarum itu jauh ke tengah sungai. Kiranya yang tertembus jarum hanya bajunya dan agaknya kulitnya tidak tertembus, bukti¬nya dia tidak merasakan apa-apa. Sung¬guh seorang pemuda yang berkepandaian luar biasa sekali. “Pergilah kalian!” kata pemuda itu kepada dua orang kakek yang telah di¬robohkan itu. “Cepat, kalau tidak ter¬paksa aku akan membunuh kalian!” Tergopoh-gopoh Hoa-gu-ji yang pung¬gungnya masih sakit itu memanggul Khiu¬pangcu yang tidak dapat berdiri, lalu dengan susah payah memasuki perahu dan mendayung perahu ke tengah sungai. Mereka ketakutan dan bahkan tidak be¬rani bertanya siapa adanya pemuda baju abu-abu yang amat lihai itu. Pemuda berpakaian abu-abu itu lalu membungkuk, kedua tangannya bergerak dan dengan amat mudahnya seperti me¬mutus benang-benang saja, dia telah menggunakan jari-jari tangannya untuk mematahkan belenggu kaki tangan dua orang saudara Kao. Mereka itu bangkit berdiri dan menjura untuk menghaturkan terima kasih. Akan tetapi pemuda baju abu-abu itu menggerakkan tangan, agak¬nya tidak senang melihat orang meng¬haturkan terima kasih dan ia berkata, “Sudahlah, kalau kalian ingin mencari kembali harta yang hilang, kalian cari saja Suma-kongcu. Yang lain-lainnya aku tidak tahu.” Dua orang saudara Kao itu meng¬angguk, mereka masih merasa tegang dan kagum, juga terheran-heran memandang pemuda yang luar biasa ini. Akan tetapi pemuda itu tidak lagi mempedulikan mereka, malah menoleh kepada Kim¬hi Nio-cu dan Liong-li sambil berkata, “Kalian pun boleh pergi, jangan meng¬ganggu dua orang pemuda ini. Laporkan kepada ketua kalian bahwa aku ingin menemuinya.” Setelah berkata demikian, pemuda baju abu-abu itu lalu membalik¬kan tubuhnya dan pergi dari situ sambil bersenandung. “Maaf, Taihiap! Bagaimana kami akan melapor ketua tanpa mengetahui nama Taihiap?” Kim-hi Nio-cu berseru dengan sikap hormat. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Wajahnya tampan sekali ketika tersenyum, mengusir kemuraman yang membayangi wajah itu. “Katakan saja kepada ketua¬mu bahwa aku biasa membunuh dengan jari-jari tanganku ini, tentu dia akan mengenalku. Nah, aku pergi!” Baru saja dia berkata demikian, tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap! Dua orang wanita yang lihai itu menjulurkan lidah penuh rasa kagum , dan ngeri, kemudian mereka pun pergi setelah melirik ke arah dua orang putera Jenderal Kao yang masih berdiri terlongong di tepi sungai. “Eh, Nona, harap tunggu dulu!” Tiba-¬tiba Kok Tiong berseru ketika dia me¬lihat dua orang wanita itu pergi mening¬galkan tempat itu tanpa bicara apa-apa. Kim-hi Nio-cu dan Liong-li berhenti, membalikkan tubuh dan tersenyum manis. Dua orang pemuda putera Jenderal Kao itu gagah dan tampan, tentu saja hati mereka tertarik, akan tetapi teringat akan pesan pemuda berbaju abu-abu, mereka berdua merasa ngeri dan tidak berani mengganggu sedikit pun. “Ada apakah, Kongcu?” Kim-hi Nio¬cu berkata sambil tersenyum manis, matanya yang jernih memandang tanpa me¬nyembunyikan rasa kagumnya. “Kami dapat menduga bahwa Nona berdua tentulah anggauta-anggauta per¬kumpulan yang amat terkenal di daerah ini. Akan tetapi kami tidak tahu, Nona berdua dari golongan apakah? Kami men¬dengar bahwa ada dua golongan di dae¬rah ini, dan Nona ini dari Gunung Ce¬mara ataukah dari seberang lembah?” Kim-hi Nio-cu tertawa kecil. “Dua orang tua tadilah yang datang dari lem¬bah,” jawabnya dengan suara merdu. “Mereka itu adalah tokoh-tokoh Huang¬ho Kui-liong-pang (Perkumpulan Naga Setan dari Huang-ho), sedangkan kami adalah kepala-kepala pasukan dari perkumpulan Hek-eng-pang dari Gunung Cemara. “Maafkan kalau kami bersikap kurang hormat, Nona. Kiranya Ji-wi (Anda Ber¬dua) adalah kepala-kepala pasukan dari perkumpulan besar Hek-eng-pang. Akan tetapi, Nona tentu tahu ke mana pergi¬nya para wanita dan anak-anak, yaitu keluarga kami?” Kim-hi Nio-cu memainkan matanya, mengerling tajam penuh daya tarik, ke¬mudian sambil meremas-remas jari ta¬ngannya, sikapnya seperti seorang dara tujuh belas tahun saja, dia berkata, “Sa¬ya tidak bisa bicara banyak. Hoa-gu-¬ji itu bentrok dengan adik kami, kepala Pasukan Kayu di luar hutan malam ke¬marin untuk memperebutkan harta, ke¬luarga kalian. Hoa-gu-ji kalah, lalu pergi. Kalian adalah bagian kami. Akan tetapi muncul pasukan asing di tebing ketika kami hendak turun tangan, terjadi perang dan kami menang, sungguhpun kepala Pasukan Kayu, adik kami itu tewas. Sa¬yangnya, harta itu telah dirampas oleh seorang pemuda tampan yang luar biasa sekali, demikian menurut keterangan keluarga kalian, katanya pemuda yang merampas harta itu adalah seorang pe¬muda berpakaian putih-putih.” Kok Tiong bertukar pandang dengan Kok Han, keduanya menduga bahwa tentu itulah Suma-kongcu seperti yang disebut-¬sebut oleh tukang warung bubur hangat dan oleh pemuda berpakaian abu-abu yang lihai tadi. “Kalau begitu, ke mana¬kah perginya keluarga kami?” tanya Kao Kok Han dengan suara penasaran. Kembali Kim-hi Nio-cu memainkan matanya, mengerling tajam dan tersenyum manis penuh daya tarik. “Hi-hikkk.... Ji-¬wi Kongcu yang baik, asal Ji-wi (Anda Berdua) dapat menemukan harta benda itu, yang katanya dibawa oleh pemuda yang bernama Suma-kongcu, dan menyerahkan harta itu kepada kami, hemm.... selain kami akan berterima kasih sekali, akan menjamu Ji-wi sebagai tamu-tamu kehormatan dan tamu-tamu agung, juga kami akan mengatakannya di mana mereka itu. Bagaimana? Nah, Ji-wi carilah pencuri itu sampai dapat, dan kami menanti di puncak Gunung Cemara. Sampai jumpa, Ji-wi Kongcu yang tampan, kami pergi dulu. Marilah, Adik Liong-li!” Kim-hi Nio-cu meng¬gandeng tangan Liong-li, kemudian sam¬bil tertawa-tawa dan dengan lenggang yang memikat, kedua orang wanita can¬tik yang nyaris diperkosa oleh dua orang kakek tadi, meninggalkan dua orang putera Jenderal Kao yang berdiri bengong dan bingung. Tentu timbul pertanyaan di hati para pembaca budiman. Siapakah pemuda ber¬pakaian abu-abu yang sederhana, tampan dan amat lihai itu? Bagi para pembaca cerita Kisah Sepasang Rajawali, pemuda ini bukanlah seorang asing karena dia merupakan seorang diantara tokoh-tokoh besar cerita itu. Dia bernama Ang Tek Hoat! Pemuda ini adalah putera yang tidak sah dari mendiang Wan Keng In dan Ang Siok Bi. Ibunya itu, Ang Siok Bi, ketika masih gadis telah diperkosa oleh Wan Keng In dan mengandung. Dialah anaknya dan karena dia bukan anak sah dari Wan Keng In, maka ibunya memberi she ibunya dan she itu tetap terus dipakainya. Setelah melalui per¬jalanan hidup yang berliku-liku, yang di¬tuturkan secara menarik dan menegang¬kan dalam cerita Kisah Sepasang Raja¬wali, akhirnya Ang Tek Hoat diaku se¬bagai seorang pahlawan di negara Bhutan dan ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi, seorang puteri yang cantik jelita dan berbudi mulia, yang akhirnya jatuh cinta kepada Ang Tok Hoat, biarpun pe¬muda ini pernah menjadi seorang yang sejahat-jahat dan sekejam-kejamnya. Mengingat bahwa ayah kandung Tek Hoat yang bernama Wan Keng In adalah anak tiri dari Pendekar Super Sakti Ma¬jikan Pulau Es, maka Tek Hoat terhitung keluarga Pulau Es yang terkenal, karena dia masih cucu tiri dari Pendekar Super Sakti. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Ang Tek Hoat telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari dua orang datuk Pulau Neraka, dan kini dia memiliki ilmu ke¬pandaian yang amat hebat dan sukar memperoleh tandingan. Akan tetapi mengapa pemuda perkasa yang telah ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi, yang diaku sebagai pah¬lawan negara Bhutan karena pembelaan¬nya ketika negara itu diserang oleh mu¬suh-musuh, kini berkeliaran di lembah Sungai Huang-ho seorang diri? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita mengikutinya sejenak semenjak empat tahun yang lalu, ketika dia terpaksa meninggalkan negara Bhutan. Seperti telah dituturkan di dalam bagian terakhir dari cerita Kisah Sepa¬sang Rajawali, Ang Tek Hoat telah di¬tunangkan dengan Puteri Syanti Dewi dan tinggal di Bhutan sebagai seorang pah¬lawan yang diangkat menjadi panglima. Dia telah menjadi seorang panglima mu¬da yang terhormat, bahkan terkenal se¬bagai calon mantu raja, tunangan Puteri Syanti Dewi yang dipuja-puja oleh rakyat Bhutan. Hari pernikahan mereka hanya tinggal menanti keputusan raja saja, yang masih menangguhkannya meng¬ingat bahwa Bhutan baru saja mengalami perang dan bahwa baru saja Puteri Syan¬ti Dewi kembali ke istana Bhutan setelah beberapa tahun lenyap (baca cerita Ki¬sah Sepasang Rajawali). Akan tetapi, tidak ada kesenangan yang kekal bagi manusia yang hidup di dunia ini. Di mana terdapat kesenangan, di situ pasti terdapat pula kesusahan. Susah dan senang, puas dan kecewa, suka dan duka, agaknya merupakan pasangan¬-pasangan yang tak dapat dipisahkan yang menghias kehidupan manusia. Kesenangan yang dinikmati oleh Ang Tek Hoat pun ternyata tidak kekal adanya. Terjadi hal yang sama sekali tidak disangka-sangka¬nya. Beberapa bulan sudah Ang Tek Hoat tinggal di Bhutan, di sebuah gedung kecil yang amat megah dan indah, sebuah bangunan istana yang tidak jauh dari istana raja. Hampir setiap hari dia da¬pat bertemu dan bercakap-cakap dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi, dan dalam beberapa bulan saja, tubuh Tek Hoat kelihatan segar, sehat dan agak gemuk. Akan tetapi diam-diam dia mulai tidak kerasan, karena kehidupan yang di¬alaminya sehari-hari terlalu enak, terlalu menganggur dan membuatnya malas. Dia sudah biasa hidup merantau, sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegangkan, yang memerlukan kecerdikan dan ketangkasannya untuk menghadapinya. Kini, dia tinggal di istana indah, tidak ada kerjaan apa-apa kecuali kadang-kadang meng¬hadiri sidang di dalam istana, membica¬rakan urusan kenegaraan yang tidak be¬gitu dimengerti dan dipedulikannya. Jiwa petualangan di dalam dirinya meronta dan membuat dia tidak kerasan. Namun perasaan ini tentu saja ditahan-tahannya, demi cintanya terhadap Syanti Dewi. Hari masih pagi sekali dan baru saja Tek Hoat mandi pagi dan bertukar pakai¬an ketika seorang pengawal menghadap¬nya dan melapor bahwa terjadi keributan di luar pintu gerbang istana karena ada seorang wanita yang memaksa hendak bertemu dengan Panglima Ang! “Siapakah dia?” tanya Tek Hoat de¬ngan alis berkerut, akan tetapi hatinya berdebar girang karena baru sekarang terjadi hal yang menegangkan, berbeda dari biasanya yang lewat dengan aman dan mulus tanpa peristiwa berarti. “Dia tidak mau mengaku namanya, hanya mengatakan bahwa dia harus ber¬temu dengan Panglima Ang. Ketika di cegah, dia malah merobohkan dua orang perajurit pengawal dan karena dia meng¬aku kenal baik dengan Paduka, maka para komandan jaga tidak berani lancang turun tangan dan menyuruh hamba da¬tang melapor. Tek Hoat lalu bergegas meninggalkan gedungnya danpergi ke pintu gerbang di mana para perajurit sedang menghadapi seorang wanita yang marah-marah. Jan¬tungnya berdebar keras ketika mendengar suara wanita itu, cepat dia lari meng¬hampiri dan menguak para perajurit, melangkah ke depan wanita itu. “Tek Hoat !” “Ibu....!” Semua orang melongo ketika melihat betapa panglima baru mereka itu ber¬pelukan dengan wanita galak tadi. Kira¬nya wanita yang pakaiannya kusut dan kotor, yang galak dan angkuh itu adalah ibu dari panglima besar mereka, ibu dari calon mantu raja mereka, ibu dari tunangan Puteri Syanti Dewi mereka! Tan¬pa banyak cakap lagi karena di situ ter¬dapat banyak orang, Tek Hoat lalu meng¬gandeng ibunya, diajak ke istananya. Setelah tiba di istana, kembali wanita itu yang bukan lain adalah Ang Siok Bi, memeluk puteranya sambil menangis sesenggukan. “Terlalu kau.... Tek Hoat, kau sampai bertahun-tahun tiada berita, aku sampai susah payah, sengsara mencari-carimu kiranya engkau men¬jadi seorang besar di negara asing ini hu-hu-huuuh....” “Sudahlah, Ibu. Harap kau suka am¬punkan aku. Aku mengalami banyak liku-¬liku dalam hidup, bahkan sampai terseret arus hidup ke tempat ini, dan baru saja hidupku teratur maka aku belum sempat menengok ibu di puncak Bukit Angsa. Sudahlah, ibu harap jangan menangis.” Setelah rasa penasaran dan keharuan hatinya mereda, Ang Siok Bi lalu men¬dengarkan penuturan puteranya, semenjak Tek Hoat meninggalkan lembah Huang¬ho sampai dia menjadi panglima besar di Bhutan. Tentu saja semua itu dituturkan¬nya secara singkat dan hanya garis-garis besarnya saja. “Dan aku memperoleh kenyataan yang pahit, Ibu, yaitu bahwa musuh kita bu¬kanlah Gak Bun Beng “ “Hemmm, aku juga sudah tahu!” tukas ibunya. “Dan sekarang, setelah engkau enak-enak saja di sini sedangkan musuh ibumu masih enak-enak hidup dan engkau belum membalaskan dendam dan sakit hati ibumu? Anak macam apa eng¬kau ini? Mau enak-enak saja di sini menjadi panglima?” Tek Hoat terkejut. “Ibu! Bukankah Ibu sendiri sudah tahu bahwa Paman Gak Bun Beng bukanlah musuh Ibu? Hampir saja aku berdosa besar dengan memusuhi Pa¬man Gak Bun Beng yang ternyata adalah seorang pendekar budiman yang berbudi mulia, sama sekali bukan musuh kita, dan Ibu tentu sudah tahu pula bahwa musuh kita itu telah tewas.” “Maksudmu ?” “Wan Keng In itu.... Ayah.... kan¬dungku.... Si keparat jahanam yang mem¬perkosa Ibu...., ahhh, mengapa dahulu Ibu menceritakan yang bukan-bukan ke¬padaku? Kiranya Wan Keng In yang mem¬perkosa Ibu, akan tetapi dia menggunakan nama Gak Bun Beng sehingga Ibu mengira Gak Bun Beng yang menjadi Ayah kandungku dan Ibu membohongiku dengan cerita lain agar aku membunuh.... Ayah kandungku. Sekarang, syukur bukan Paman Gak yang berdosa, dan orang yang berdosa, she Wan itu dia telah mati. Habislah sudah riwayat busuk itu, Ibu.” “Siapa bilang habis? Aku, Ibumu, ti¬dak akan merasa puas sebelum dapat membalas dendam yang kutanggung selama hidupmu ini.” “Maksud Ibu?” “Wan Keng In si keparat sudah mati, akan tetapi Ibunya masih ada! lbu kan¬dung keparat itu masih hidup!” “Ihhhhh....!” Tek Hoat berseru kaget dan membelalakkan matanya. “Ibu tahu siapa Ibu Wan Keng In Itu?” Ang Siok Bi mengangguk. “Dia ber¬nama Lulu, dia adalah isteri ke dua dari Majikan Pulau Es. “Dan Majikan Pulau Es adalah Pen¬dekar Super Sakti dan isterinya yang ke dua itu adalah Nenekku! Ibu, betapa mungkin kita harus membalas kepada Nenek yang tidak berdosa apa-apa itu!” “Tidak peduli! Wan Keng ln sudah mampus, maka Ibunya, wanita yang mengandung dan melahirkan manusia iblis itu harus kita bunuh! Dan engkau sebagai anakku harus membantu Ibumu!” “Ibu....!” Tek Hoat menutupi muka dengan kedua tangannya, mukanya men¬jadi pucat sekali. Ang Siok Bi meloncat berdiri, lalu menyergap anaknya, memegang pundak¬nya dan mengguncangnya keras-keras. “Apa? Kau.... kau takut? Kau jerih menghadapi keluarga Pulau Es? Baik, Ibumu akan pergi sendiri!” “Ibu, jangan....! Bukan begitu mak¬sudku. Akan tetapi aku.... aku telah menerima kebaikan Sri Baginda di Bhu¬tan ini, aku....” “Kau sudah mabuk kemewahan? Tugas hidupmu paling utama, membalas dendam Ibumu paling perlu, setelah itu terserah kau mau hidup bagaimana, aku tidak peduli lagi.” “Bukan itu, Ibu, akan tetapi aku.... aku telah bertunangan dengan puteri Raja Bhutan, dengan Puteri Syanti Dewi.” “Huh, lain kemewahan lagi!” “Jangan Ibu berkata demikian,” Tek¬ Hoat berkata dengan nada agak keras karena dia merasa tersinggung. “Ketahui¬lah, Ibu. Biarpun Syanti Dewi itu puteri raja, akan tetapi aku cinta padanya dan dia cinta padaku. Kami sudah saling mencinta dan dia adalah seorang gadis yang berbudi dan amat baik. Aku akan menikah dengan dia karena cinta, bukan karena dia puteri raja.” Ang Siok Bi mengangguk-angguk tak sabar. Baiklah, baiklah, kau cinta pada¬nya, dan dia cinta padamu. Karena itu, kau boleh menikah dengan dia sekarang juga, lalu kaubawa dia pulang ke Bukit Angsa. Dia bukan menjadi halangan bagi kita untuk membalas ibu si keparat Wan Keng In!” “Akan tetapi tidak mungkin itu, Ibu!” Tek Hoat berkeras menolak. “Tidak mungkin katamu? Mengapa?” “Terlalu banyak hal-hal yang mem¬buat aku tidak mungkin melakukan per¬mintaanmu itu.” “Huh! Begitu? Coba katakan, apa hal¬-hal itu?” “Pertama, tidak mungkin Sri Baginda membolehkan puterinya kubawa pergi dari sini karena beliau amat mencinta puteri¬nya. Ke dua, aku telah diangkat menjadi panglima dan tenagaku dibutuhkan di Ke¬rajaan Bhutan ini, dan karena aku telah berhutang budi terpaksa harus kulakukan. Ke tiga tidak mungkin aku memusuhi keluaraga Pulau Es. “Ehhhhh? Kau.... kau takut?” Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Biarpun mereka itu amat sakti, aku tidak takut. Aku hanya segan, karena mereka itu adalah keluarga pendekar yang sakti dan budi¬man, dan aku.... aku bahkan bangga dapat menyebut Pendekar Super Sakti sebagai Kakek tiriku.” “Cih! Pengecut!” “Ibu....!” “Engkau anakku, engkau harus me¬nurut kepada Ibumu!” “Maaf, Ibu. Akan tetaipi tidak mung¬kin, aku malah mohon agar Ibu suka tinggal di sini bersamaku, hidup tenteram dan damai sampai hari akhir. Ibu, meng¬apa Ibu mendendam kepada keluarga Pulau Es, padahal yang berdosa telah meninggal? Ibu, kumohon padamu jangan....” “Cukup!” Ang Siok Bi bangkit berdiri. Pada saat itu, seorang pelayan wanita datang membawa cangkir-cangkir dan poci teh, akan tetapi sekali menggerak¬kan kaki, Ang Siok Bi menendang sehing¬ga baki itu terlempar, cangkir-cangkir dan poci pecah, air teh berhamburan, si pelayan menjerit dan lari masuk. “Aku tidak sudi minum air tehmu! Kau anak durhaka! Kau anak tidak berbakti, kau anak terkutuk! Baik, aku akan pergi dari sini, kembali ke Bukit Angsa dan lebih baik aku mati kelaparan di sana daripada hidup bermewah di sini bersama anak durhaka!” Ang Siok Bi marah sekali dan dia lari keluar. “Ibu....!” Tek Hoat berteriak akan tetapi ibunya tidak mempedulikan¬nya sehingga pemuda yang gagah perkasa ini menjatuhka diri di atas kursi dengan muka pucat sekali. Tak disangkanya akan terjadi peristiwa seperti itu dan dia me¬nyesal, menyesal sekali, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Tek Hoat tidak tahu bahwa semenjak dia diangkat menjadi panglima dan men¬jadi calon mantu Raja Bhutan, di sam¬ping banyak yang menerimanya dengan girang, ada pula yang menerimanya de¬ngan hati penuh iri dan penasaran. Puteri raja yang mereka puja-puja dan agungkan itu hendak dikawinkan dengan seorang asing dari timur? Seorang yang bukan keturunan bangsawan pula, bahkan kabar¬nya seorang petualang! senang ini, terdapat seorang panglima muda bernama Mohinta, putera dari pang¬lima pertama Kerajaan Bhutan, panglima tua Sangita. Panglima muda Mohinta ini sudah lama menaruh harapan akan dapat diambil mantu oleh raja. Dia adalah teman bermain Syanti Dewi di waktu kecil dan diam-diam dia jatuh cinta ke¬pada puteri itu, apalagi ketika puteri itu kembali ke Bhutan dan dia melihat be¬tapa puteri itu kini demikian cantik je¬litanya. Diam-diam dia merasa cemburu dan iri hati, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berbuat apa-apa, hanya me¬nanti saat-saat yang baik untuk memper¬tahankan dan memperjuangkan kepenting¬an dirinya, menanti kesempatan untuk “menjatuhkan” saingannya yang dia tahu amat sakti itu. Dan pada hari itu, tibalah kesempatan yang dinanti-nantinya itu, yang dianggap¬nya sebagai anugerah dewata. Ketika mata-matanya memberi tahu tentang munculnya seorang wanita kasar yang mengaku “ibu” dari Panglima Ang Tek Hoat, Panglima Mohinta segera mendengar tentang perselisihan antara Tek Hoat dan ibunya, dan dia segera men¬cegat ketika mendengar bahwa ibu Tek Hoat pergi dengan marah. Ang Siok Bi masih marah-marah ke¬tika dia dihadang oleh seorang Panglima Bhutan yang muda dan tampan, yang memberi hormat dengan sikap amat menghormat kepadanya, kemudian pang¬lima muda itu berkata, “Harap Toanio suka bersabar dulu. Saya adalah Mohinta, sahabat baik dari putera Toanio dan saya selalu siap untuk menolong, terutama kepada Toanio sebagai Ibu sahabat saya.” “Huh, aku tidak mempunyai urusan dengan sahabat-sahabat anakku yang dur¬haka itu!” Ang Siok Bi hendak melangkah terus, akan tetapi Mohinta kembali men¬jura dan berkata dalam bahasa Han yang fasih. “Toanio, bukankah Toanio menghendaki agar putera Toanio itu dapat kembali ke timur bersama Toanio? Kalau hanya be¬gitu, mengapa repot-repot? Saya dapat menolong Toanio” Ang Siok Bi yang sudah hampir putus asa itu memandang tajam penuh selidik, lalu bertanya ragu, “Benarkah? Aku se¬bagai Ibunya sudah tidak dapat membujuknya, apalagi engkau yang hanya sahabatnya.” “Toanio, ada peribahasa di negeri kami yang menyatakan bahwa apabila kekuatan tak berhasil menolong kita, kita harus menggunakan akal, dan bahwa kita dapat mengatasi kekerasan dengan ke¬lunakan. Saya tahu mengapa Saudara Tek Hoat tidak dapat meninggalkan Bhu¬tan, tidak lain karena adanya Puteri Syanti Dewi. Dan ketahuilah bahwa se¬sungguhnya, Sri Baginda tidak begitu berkenan hatinya mengambil mantu pu¬tera Toanio. Maka, apabila Sri Baginda mendengar sesuatu tentang diri Saudara Tek Hoat, yang tidak berkenan di hati¬nya, besar harapannya pertunangan itu akan dibatalkan dan tentu Saudara Tek Hoat akan suka pergi bersama Toanio kalau tidak ada lagi pengikatannya de¬ngan puteri raja.” “Hemmm, kalau memang Raja Bhutan tidak suka kepada anakku, kenapa akan diambil mantu?” Ang Siok Bi bertanya marah. “Sri Baginda hanya memandang ke¬pada keluarga Suma, Majikan Pulau Es yang kabarnya masih keluarga Kaisar. Karena putera Toanio kabarnya masih keluarga Majikan Pulau Es, dengan sen¬dirinya putera Toanio masih berdarah keluarga Kaisar, maka Sri Baginda mau menerimanya. Kalau halnya tidak demi¬kian, tentu pertunangan itu akan dibatal¬kan.” Wajah wanita itu berseri dan dia cepat berkata, “Kalau begitu, biar aku bertemu dengan raja!” Memang cerdik sekali Panglima Mo¬hinta. Tadi dia mendengar dari mata-¬matanya tentang perselisihan Tek Hoat dengan ibunya, melalui pelayan dalam istana Tek Hoat, dan dia tahu pula ten¬tang percakapan antara ibu dan anak me¬ngenai keluarga Pulau Es. Oleh karena itu, dia sengaja mengemukakan hal ke¬luarga itu kepada Ang Siok Bi. Dan wa¬nita ini memang sama sekali tidak peduli tentang kedudukan puteranya, atau tentang raja dan puterinya. Yang penting baginya adalah dapat mengajak puteranya untuk kembali ke timur dan membantu¬nya membalas dendam kepada Wan Keng In, atau lebih tepat, kepada ibu Wan Keng In, yaitu Nyonya Suma di Pulau Es! Berkat bantuan dan usaha Mohinta, akhirnya Ang Siok Bi berhasil pula di¬hadapkan kepada Raja Bhutan. Raja ini sudah mengerutkan alisnya dan hatinya merasa tidak senang ketika melihat wanita setengah tua yang biarpun can¬tik dan gagah, namun kasar dan tidak hormat itu, yang gerak-geriknya jelas membayangkan kekerasan dan kekasaran, sama sekali tidak patut menjadi besannya! Wanita dusun ini adalah ibu calon mantu¬nya! Akan tetapai sebagai basa-basi, dia mempersilakan nyonya itu untuk duduk, kemudian berkata, “Kami mendengar bahwa Nyonya adalah Ibu kandung dari Panglima Ang Tek Hoat, dan mohon menghadap kami. Benarkah itu dan siapa¬kah nama Nyonya?” “Nama saya Ang Siok Bi, tinggal di Bukit Angsa, di lembah Sungai Huang¬ho,” jawab Ang Siok Bi. “Hemmm, kalau Nyonya she Ang, kenapa putera Nyonya she Ang juga. Siapakah Ayah Panglima Ang Tek Hoat? Bukankah Ayahnya masih keluarga dengan Majikan Pulau Es yang terkenal itu?” Tiba-tiba Ang Siok Bi berkata dengan suara keras, “Persetan dengan keluarga Pulau Es! Anakku tidak mempunyai ayah!” Raja makin terkejut dan makin tidak senang. Apa maksud Nyonya?” “Dengarlah, Sri Baginda! Ada seorang anggauta luar keluarga Pulau Es yang bernama Wan Keng In, dan manusia ja¬hanam itu telah memperkosa saya ketika saya masih gadis, dan saya mengandung lalu melahirkan Tek Hoat itulah. Maka dia adalah anak saya sendiri, tidak mempunyai ayah yang sah. Saya mempunyai dendam sakit hati sebesar gunung, se¬dalam lautan, seluas langit terhadap keluarga Wan Keng In itu, dan saya ti¬dak rela kalau putera saya dikurung di sini, karena saya harus mengajaknya untuk membalas dendam. Maka, saya mohon kepada Sri Baginda untuk membebaskan putera saya itu!” “Cukup....! Pengawal, suruh dia per¬gi....!” Sri Baginda menjadi marah sekali dan dia memerintahkan pengawal untuk mengusir Ang Siok Bi. Wanita ini tidak melawan dan dia hanya memandang de¬ngan mata mendelik kepada Panglima Mohinta, kemudian dia keluar dari istana, bahkan terus digiring oleh pasukan pe¬ngawal, keluar dari daerah Kerajaan Bhutan, kembali ke timur. Pada hari itu juga, Tek Hoat meneri¬ma panggilan dari raja. Ketika pemuda ini keluar dari istananya, dia terheran-¬heran melihat banyaknya pengawal di sekitar istananya, dan di istana raja pun terdapat banyak pasukan, seolah-olah kerajaan menghadapi perang! Tergesa-¬gesa dia memasuki istana dan tiba di ruang persidangan, di mana dia melihat raja sudah duduk dihadap oleh para panglima dan pejabat tinggi dan juga di tem¬pat ini terjaga oleh pasukan-pasukan pengawal dengan ketat. Cepat dia mem¬beri hormat dengan berlutut dan dengan suara kaku Sri Baginda lalu menyuruh dia duduk. “Hamba terkejut sekali mendengar panggilan tiba-tiba ini dan melihat per¬siapan-persiapan. Ada terjadi hal penting apakah, hendaknya Paduka memberi tahu kepada hamba dan hamba yang akan menghalau semua bahaya!” Tek Hoat ber¬kata, akan tetapi hatinya merasa tegang karena dia melihat betapa pandang mata semua panglima dan pejabat ditujukan kepadanya dengan tak senang. “Ang Tek Hoat, kami memanggilmu untuk mendapat keterangan sejelasnya dan sejujurnya darimu,” Sri Baginda ber¬kata. “Maukah engkau menjawab semua pertanyaan kami dengan jujur?” “Hamba siap untuk menjawab semua pertanyaan dengan sejujurnya,” jawab Tek Hoat dengan hati tidak enak. “Pertama, benarkah engkau masih ada sangkutan keluarga dengan keluarga Pu¬lau Es seperti yang dikabarkan orang dan bagaimanakah sangkutan keluarga itu?” Tek Hoat mengerutkan alisnya. Hemm, apakah artinya pertanyaan aneh ini? Apa hubungannya dengan keadaan dirinya? Akan tetapi dengan tenang dia men¬jawab, “Memang benar demikian, Sri Baginda. Isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti adalah Nenek hamba, dan Majikan Pulau Es itu sendiri adalah Ka¬kek tiri hamba.” “Siapakah nama Ayah kandungmu?” Tek Hoat terkejut. Tak disangkanya akan ditanya sampai begini melit tentang keluarganya. “Ayah hamba bernama Wan Keng In, putera dari Nenek hamba itu.” “Kalau Ayahmu she Wan, kenapa eng¬kau she Ang?” Kembali Tek Hoat terkejut dan me¬rasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia sudah berjanji akan menjawab sejujurnya! Dan andaikata yang bertanya ini bukan raja, calon ayah mertuanya, tentu dia sudah marah sekali. “Itu adalah kehendak Ibu hamba yang bernama Ang Siok Bi.” Kini Raja Bhutan memandang tajam, tubuhnya agak mendekat dan suaranya terdengar lantang, “Ang Tek Hoat, pernahkah Ibumu menikah dengan Ayahmu ltu? Siapakah Ayahmu yang sah?” Kalau ada petir menyambar, kiranya Tek Hoat tidak akan terkejut seperti pada saat mendengar dua pertanyaan itu. Dia marah sekali, mukanya menjadi me¬rah dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Semua petugas dan pengawal yang menjaga di situ menjadi gentar dan siap siaga kalau-kalau panglima muda yang ditakuti itu akan mengamuk. Akan tetapi Tek Hoat lalu berkata, suaranya menahan kemarahannya, “Hamba tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Itu adalah urusan hamba pribadi dan siapapun tidak dapat memaksa hamba untuk menjawabnya.” Raja Bhutan menggebrak meja di depannya. “Brakkk! Ang Tek Hoat! Kami tahu bahwa engkau telah berjasa bagi negara ini, kami tahu pula bahwa antara engkau dan puteri kami terdapat perasa¬an cinta kasih. Akan tetapi, apakah itu cukup untuk mengangkatmu sebagai calon mantu kerajaan? Riwayatmu tidak terang dan agaknya tidak bersih, maka engkau pun harus mengerti betapa sulitnya bagi kami untuk mempunyai seorang mantu dan panglima yang tidak jelas riwayat hidup dan keturunannya. Bagaimana kami akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari negara-negara tetangga? Hal itu akan menyeret kami dan keharuman na¬ma keluarga kerajaan kami ke dalam lumpur!” Makin merah wajah Ang Tek Hoat. Kalau dia tidak ingat kepada Syanti De¬wi, tentu dia sudah mengamuk dan mem¬bunuh raja serta semua yang melindungi¬nya. Akan tetapi dia masih ingat dan dapat membayangkan betapa akan ber¬duka dan hancur rasa hati kekasihnya itu kalau dia melakukan hal itu. Pula, semua penderitaan hidupnya selama ini membuat dia makin kuat dan tahan menerima pukulan-pukulan batin yang hebat ini, dan dia dapat merasakan pula kebenaran bagi fihak keluarga raja. Maka perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan berkata tenang. “Sri Baginda, sebagai seorang laki¬-laki hamba sudah biasa menerima segala sesuatu secara terang-terangan. Harap saja Paduka juga berlaku terang-terangan menyatakan niat hati Paduka kepada hamba. Kalau sudah menjadi kenyataan bahwa hamba bukanlah keturunan ningrat, bukan pula keturunan orang terpelajar atau pun kaya, lalu bagaimana kehendak Paduka?” “Ikatan jodoh dengan puteriku harus batal! Kami tidak mungkin mengambil mantu seorang seperti engkau, Ang Tek Hoat. Dan jasamu terhadap negara Bhu¬tan pun tidak dapat dibalas dengan peng¬angkatan sebagai panglima. Engkau bukan bangsa kami dan jasa-jasamu itu akan kami balas dengan anugerah berupa harta benda yang boleh kaubawa pulang ke negerimu!” Rasanya seperti hampir meledak dada Ang Tek Hoat. “Sri Baginda! Ini sudah keterlaluan! Siapa yang menghendaki balas jasa? Siapa yang menghendaki pang¬kat? Siapa pula yang menghendaki ke¬dudukan sebagai mantu raja yang ter¬hormat? Hamba mencinta Puteri Syanti Dewi, hal itu sudah jelas, akan tetapi yang hamba cinta adalah pribadinya sebagai manusia, bukan kedudukannya se¬bagai puteri kerajaan! Hamba pun tidak membutuhkan pangkat ini!” Dengan ge¬mas Tek Hoat merenggut hiasan kepala dan melemparkannya ke atas lantai, lalu mencopot-copoti semua tanda pangkat dan melemparkannya ke atas lantai. “Mu¬lai saat ini hamba bukan lagi Panglima Bhutan, bukan lagi hamba Bhutan dan hamba pun tidak mengharapkan balas jasa sejemput batu sekali pun!” Setelah berkata demikian, dengan muka merah dan dada panas Tek Hoat melangkah keluar persidangan, mengang¬kat dadanya dan siap untuk mengamuk apabila ada yang turun tangan. Akan tetapi untung, di antara para panglima dan pengawal, tidak ada yang mau turun tangan sehingga dengan leluasa, Ang Tek Hoat keluar dari istana itu. Ketika dia hendak mengunjungi Syanti Dewi, dia melihat betapa Istana di mana puteri itu tinggal terkurung rapat oleh pasukan yang jumlahnya ada seribu orang! Tahu¬lah dia bahwa raja tidak menghendaki dia berjumpa dengan kekasihnya itu, dia tahu pula bahwa mengamuk seorang diri menghadapi bala tentara senegara me¬rupakan hal yang bodoh dan tidak mung¬kin. Pula, kalau keluarganya tidak meng¬hendaki, apa perlunya dia memaksa¬-maksa? Dia hanya akan membuat Syanti Dewi menjadi sengsara dan berduka saja. “Syanti Dewi, selamat tinggal....!” Dia berbisik, lalu pergilah Ang Tek Hoat dari istana itu, bahkan terus keluar, dari negara Bhutan pada hari itu juga. Diam-¬diam dia merasa berduka karena terpaksa harus meninggalkan kekasihnya, mening¬galkan Syanti Dewi yang dicintanya se¬penuh jiwa raganya. Dan dia tahu bahwa hal ini terjadi karena gara-gara ibunya. Siapa lagi kalau bukan ibunya yang men¬jadi biang keladi semua peristiwa yang menimpanya ini? Sungguh terlalu! Ibunya sendiri pun agaknya tidak ingin melihat dia hidup bahagia di samping Syanti De¬wi! Dengan hati penasaran Ang Tek Hoat mulai dengan perjalanannya kembali ke timur. Perjalanan yang amat menyedihkan. Makin jauh dia menuju ke timur, makin merana rasa hatinya yang direnggutkan dari kekasihnya yang tercinta. Sering kali, di waktu beristirahat, dia terme¬nung seperti arca, dengan muka pucat dan wajah muram, dengan rambut awut¬-awutan dan pakaian kusut mengenangkan wajah Syanti Dewi dan dia merasa be¬tapa hatinya perih sekali. Kadang-kadang, kalau rasa rindunya terhadap Syanti Dewi sudah tak tertahankan lagi, dia bersenan¬dung, maksudnya untuk melupakannya, akan tetapi yang terdengar hanyalah senandung sedih penuh duka, sebagai pengganti tangis yang diharamkannya. Akhirnya setelah melakukan perjalan¬an yang jauh dan lama, juga merupakan perjalanan paling pahit dan paling me¬nyedihkan bagi Tek Hoat, sampailah pe¬muda itu di puncak Bukit Angsa, di lem¬bah Sungai Huang-ho. Dari jauh dia su¬dah melihat pondok ibunya di puncak itu, pondok yang menjadi kampung halaman¬nya, tempat dia bermain-main di waktu kecil. Ada rasa hati menyentuh perasaan¬nya, akan tetapi kembali dia teringat akan kedukaan hatinya terpisah dari Syanti Dewi yang agaknya disebabkan oleh ibunya, maka lenyaplah perasaan haru itu, terganti rasa penasaran. Dia mempercepat langkahnya. Dia harus ber¬temu ibunya, harus menegur ibunya. Ibu¬nya tidak berhak merusak hidupnya, me¬rusak kebahagiaannya! “Ma (Ibu)....!” Dia memanggil ketika dia tiba di depan pintu pondok yang tertutup. Tidak ada jawaban. “Ibu....!” Dia me¬manggil lagi, kini dia mendorong pintu pondok. Bau yang tidak enak menyambut¬nya, membuatnya terhuyung mundur dan membuatnya waspada. Bau yang seperti racun, atau bau seperti bangkai busuk! Ditendangnya daun pintu terbuka. Gelap di dalam karena memang matahari sudah condong ke barat, dan di dalam pondok itu tidak memperoleh sinar lagi. Dia tidak berani sembarangan masuk dan dengan memutar dia menghampirl jende¬la kamar di sebelah barat rumah kecil itu. Daun jendela juga tertutup. Ditolak¬nya dari luar. Daun jendela terbuka dan Tek Hoat cepat mengelak karena begitu daun jendela terbuka, dari dalam me¬nyambar jarum-jarum beracun berwarna hitam. Dia cepat memandang ke dalam. Kini ada sinar matahari senja menyorot masuk melalui lubang jendela. Jantungnya berdebar tidak karuan karena dari luar tadi dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya seperti berhenti berdenyut, kemudian berdebar-debar. Setelah dia tiba di depan pembaringan kayu itu, jelas tampak olehnya benda yang membuat jantungnya berhenti berdenyut tadi. Rang¬ka manusia! Rangka manusia yang ter¬bungkus pakaian, pakaian ibunya seperti ketika datang mengunjunginya di Bhutan! Rambut ibunya yang berada di dekat tengkorak itu, dengan sanggul yang masih dikenalnya dan ada hiasan rambut berupa kembang teratai emas milik ibunya! Dia bergidik. “Ibuuuuu....! Mula-mula dia berbisik, lalu disambung dengan teriakan panjang. “lbuuuuuu....!” Dia tidak syak lagi. Rangka itu adalah rangka ibunya yang telah tewas. Mati sakit? Ataukah mati ter¬bunuh? Timbul kecurigaan di hati Tek Hoat. Tidak mungkin sakit. Baru saja ibunya bisa melakukan perjalanan ke Bhutan, perjalanan yang demikian sukar dan jauh. Ibunya sehat ketika itu, sehat dan masih kuat. Teringat dia akan jarum¬-jarum ibunya. Dia memeriksa jendela dan melihat alat rahasia yang melontarkan jarum-jarum itu. Agaknya sebelum mati, ibunya memasang alat itu pada daun jendela, untuk menyerang dan menjebak lawan yang membuka jendela. Jelas bah¬wa ibunya telah bersiap-siap menanti kedatangan musuh gelap. Pedang ibunya juga terhunus dan terletak di atas meja dalam kamar. Akan tetapi ibunya telah tewas, menjadi rangka yang tidak rebah lurus di atas pembaringan, melainkan miring dan agak melingkar. Bukan tubuh yang tertidur. Tek Hoat memeriksa lagi dan pandang matanya tertarik oleh coret-coret di kayu pembaringan, huruf-huruf kecil. Tulisan ibunya! Dia kenal betul tulisan ibunya, sungguhpun tulisan ltu dilakukan dengan menggunakan benda runcing, mungkin jarum yang digores-goreskan. Dia cepat memasang lilin yang masih ada di sudut meja, dan mendekatkan lilin bernyala itu pada pinggir Pembaringan, di mana terdapat tulisan itu. “Tiga malam aku tidak tidur, menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di sini, engkau akan mampus....” Agaknya tulisan itu akan menuliskan lanjutannya, mungkin akan menyebutkan nama musuh yang ditunggu-tunggu ibu¬nya, akan tetapi coretan itu hanya me¬rupakan coretan dari atas ke bawah, agaknya pada saat itu musuh datang me¬nyerang ibunya. Dan melihat jendela ma¬sih dipasangi alat rahasia, tentu musuh itu bukan datang dari jendela, melainkan dari pintu depan, atau boleh jadi juga dari atas genteng! Akan tetapi siapa? Tek Hoat berlutut, tak dapat ditahan lagi beberapa tetes air mata membasahi pipinya. Baru sekarang dia dapat me¬nangis, biarpun hanya beberapa tetes air mata. Dia teringat akan ibunya, akan penderitaan ibunya sejak masih gadis, sejak diperkosa orang! Semenjak saat yang laknat itu, ibunya hidup menderita tekanan batin. Pantas saja ibunya me¬nanggung dendam yang tak pernah ter¬balas itu, dan tak pernah dapat melupa¬kan dendamnya, mula-mula kepada Gak Bun Beng karena disangka orang itulah pemerkosanya, kemudian kepada Wan Keng In dan karena Wan Keng In sudah mati, maka dendamnya beralih kepada keluarga Wan Keng In, kepada keluarga Pulau Es dan terutama kepada ibu kandung Wan Keng In. Salahkah sikap ibunya itu? Tidak, tidak! Kehidupan ibunya telah rusak oleh peristiwa pemerkosaan itu dan ibunya hanya dapat bertahan hidup untuk membalas dendam! Dan setelah tahu bah¬wa dendamnya sukar dibalas karena dia berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang sakti, ibunya jauh-jauh datang ke Bhutan, mencarinya untuk minta bantu¬annya. Dan dia telah menolaknya! “Ibu.... ahhh, Ibu, ampunkan anakmu.... ini!” Dia meratap dan merasa menye¬sal sekali. Mengapa justeru kepada ke¬luarga Pulau Es ibunya menaruh dendam? Betapa mungkin dia memusuhi keluarga yang bijaksana itu? Teringat dia akan semua pengalamannya. Mereka semua itu, Gak Bun Beng, Milana, Suma Kian Lee, Suma Kian Bu, Pendekar Super Sakti, mereka semua adalah orang-orang yang bijaksana, budiman dan sakti. Yang ber¬dosa terhadap ibunya hanyalah Wan Keng In, putera tiri Pendekar Super Sakti, sedangkan keluarga itu sama sekali tidak tahu apa-apa! Dan ibunya yang belum berkesempat¬an membalas dendam itu kini telah ter¬bunuh oleh orang lain! Entah siapa yang membunuh ibunya. Inilah musuhnya! Ini¬lah orang yang harus dicarinya, bukan keluarga Pulau Es! Akan tetapi ke mana dia harus mencar!? Kepada siapa dia harus bertanya? Ibunya telah tewas, te¬lah menjadi rangka yang mengerikan. Dengan hati penuh duka Tek Hoat lalu menggali lubang di puncak itu dan mengubur sisa-sisa jenazah ibunya, ber¬ikut semua milik ibunya, kecuali pedang dan hiasan rambut teratai emas itu. Se¬telah dia mengubur sisa jenazah ibunya dan berkabung tiga hari, lamanya, mulailah dia mencari-cari dan berkeliaran di sepanjang lembah Sungai Huang-ho, di sekitar daerah itu untuk mencari jejak ibunya, mencari jejak pembunuh ibunya. Demikianlah riwayat Ang Tek Hoat semenjak dia berpisah dari Syanti Dewi, empat tahun yang lalu! Kini dia hidup seorang diri di lembah Sungai Huang¬ho sampai pada hari itu dia bertemu dengan dua putera Jenderal Kao Liang, yaitu Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han dan dapat menolong dua orang pemuda itu dari bencana. *** Kita mengikuti pengalaman Jenderal Kao Liang, jenderal tua yang terlempar ke tengah sungai dan hanyut terbawa arus sungai yang kuat itu. Sampai lama jenderal itu terseret arus karena kedua kakinya tak dapat dia gerakkan, dan kalau hanya dengan kekuatan kedua tangan saja dia tidak mampu berenang ke tepi. Padahal air sungai itu makin lama makin kuat arusnya dan makin melebar, sampai akhirnya air itu tiba di Sungai Huang-ho yang amat luas. Akan tetapi, betapapun nyawa sudah tergantung di sehelai rambut umpamanya, kalau memang belum tiba saatnya dia mati, orang akan dapat terhindar dari maut. Demikian pula, dengan Jenderal Kao Liang. Dia sudah pasrah karena tidak berdaya, pula ditambah dengan himpitan batin yang amat berat karena dia selain memikirkan keluarganya yang hilang, juga mengkhawatirkan keselamat¬an dua orang puteranya yang harus meng¬hadapi musuh amat lihai itu. Dalam ke¬adaan setengah pingsan itu tiba-tiba ada bintang penolong berupa seorang nelayan yang sedang mendayung perahunya, hen¬dak berangkat mencari ikan. Nelayan ini terkejut ketika melihat orang hanyut, maka cepat-cepat dia me¬nolong Jenderal Kao yang hampir pingsan itu, dinaikkan dengan susah payah ke dalam perahunya. Begitu tubuhnya ter¬guling ke dalam perahu, Jenderal Kao Liang pingsan. Nelayan itu cepat men¬dayung perahunya ke pinggir, kemudian dengan bantuan teman-temannya dia membawa jenderal itu pulang ke rumahnya di dalam sebuah dusun kecil di tepi Sungai Huang-ho. Jenderal Kao jatuh sakit, menderita demam dan sampai dua hari dia tidak ingat apa-apa, dalam keadaan tidak sa¬dar. Nelayan itu bersama isterinya me¬rawatnya dengan teliti dan akhirnya, pada hari ke tiga, jenderal itu dapat bangun, dari pembaringan dan dia meng¬haturkan terima kasih kepada nelayan itu. Tanpa ragu-ragu lagi jenderal ini berlutut dan menghormati nelayan dan isterinya yang setengah tua itu sehingga si nelayan sederhana sibuk membangun¬kan Jenderal Kao Liang yang disangkanya seorang kota yang celaka di sungai itu. Jenderal Kao Liang diam-diam merasa kagum akan perjalanan hidupnya. Dahulu dia adalah seorang jenderal besar, se¬orang panglima perang Kerajaan Ceng yang dihormati orang seluruh negeri. Kini, dia berlutut menghaturkan terima kasih kepada seorang nelayan melarat dan dirawat di dalam gubuknya yang miskin! Bahkan kini dia dijamu dengan makanan yang amat sederhana dan barulah dia tahu betapa miskinnya keadaan hidup seorang nelayan. Hatinya terharu bukan main. Dibandingkan dengan makanan se¬hari-hari yang dia berikan kepada anjing peliharaannya dahulu saja, makanan ne¬layan ini masih lebih sederhana! Betapa orang-orang besar di atas seperti buta, tidak melihat keadaan rakyat jelata yang begini miskin. Orang-orang besar itu, para pembesar, para hartawan, orang¬orang kota, hidup berlebih-lebihan, se¬dangkan mereka itu sama sekali tidak pernah tahu atau tidak mau tahu bahwa ada manusia-manusia sebangsa yang hidup begini miskin dan kekurangan. Dan toh orang-orang itu, pembesar-pembesar, para hartawan-hartawan, dan orang-orang kota itu membanggakan diri sebagai orang¬orang yang beradab, orang-orang yang berkebudayaan, orang-orang yang ber-Tuhan, yang berperikemanusiaan! Betapa palsu dan munafiknya semua itu, ter¬masuk dia dahulu! Setelah sehat benar, pada keesokan harinya Jenderal Kao lalu berpamit, menghaturkan terima kasih dan mening¬galkan dusun itu. Dia kini mengambil keputusan untuk pergi ke utara, untuk mencari putera sulungnya, yaitu Kao Kok Cu yang memiliki kepandaian hebat, menjadi seorang sakti yang menjauhi keduniawian, hidup berbahagia di tempat sunyi bersama isterinya yang tercinta. Putera sulungnya itu terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai Naga Sakti Gu¬run Pasir, murid dari manusia dewa Si Dewa Bongkok Bu Beng Lojin dari Gurun pasir Go-bi! Kiranya hanya puteranya itu saja yang akan sanggup menolong keluar¬ganya dan dia harus pergi ke sana kare¬na untuk menyelidiki seorang diri, jen¬deral tua ini tidak sanggup lagi. Kembali dia terheran-heran betapa kehidupannya telah berubah sama sekali. Sebelum ta¬hun lalu, sebagai seorang panglima be¬sar, dia dapat mengerahkan laksaan pera¬jurit untuk mencari keluarganya! Bahkan, tidak ada hal yang tak dapat dia laku¬kan. Akan tetapi sekarang dia hanyalah seorang tua yang mulai lemah, yang menderita tekanan batin dan merasa tidak berdaya! Akan tetapi baru saja dia keluar dari dusun di tepi Sungai Huang-ho itu, dari jauh dia melihat dua orang laki-laki ber¬jalan mendatangi dan setelah dekat, dia terkejut dan girang bukan main. “Kok Tiong! Kok Han....!” Dia ber¬teriak sambil berlari ke depan. “Ayahhhhh....!” Dua orang muda itu pun sudah mengenal ayah mereka dan mereka pun berlari-lari. Pertemuan itu sungguh menggirangkan hati mereka ber¬tiga dan mereka segera duduk di tepi jalan sambil saling menceritakan penga¬laman mereka. Ketika Jenderal Kao men¬dengar penuturan dua orang puteranya tentang pemuda berpakaian abu-abu yang amat lihai, dan betapa pemuda itu me¬nyatakan kepada dua orang wanita Ga¬ruda Hitam bahwa dia biasa membunuh orang dengan jari tangannya, dia me¬nepuk pahanya. “Aihhh! Dia itu tentu Si Jari Maut! “ “Siapa, Ayah?”.Kok Tiong dan adiknya bertanya. “Siapa lagi kalau bukan dia! Dia tentu Ang Tek Hoat, pemuda yang memang memiliki kepandaian hebat, yang telah membunuh Tambolon dan kaki tangannya. Akan tetapi, bukankah dia diangkat men¬jadi Panglima Bhutan dan menikah de¬ngan Puteri Syanti Dewi di Bhutan? Mengapa dia muncul di sini? Sungguh aneh” “Menurut dia, yang merampas harta benda kita adalah Suma-kongcu, Ayah. Jelaslah sekarang, tepat seperti dugaanku bahwa tentu Suma-kongcu dipergunakan oleh Kaisar untuk mencelakakan kita,” kata Kok Tiong. “Hemm.... si keparat kalau begitu!” Jenderal Kao Liang mulai percaya dan sungguhpun hal ini amat mengherankan hatinya, namun dia menjadi marah juga, tidak mengira bahwa putera Pendekar Super Sakti mampu dan sampai hati me¬lakukan perbuatan yang jahat itu. Kalau hanya merampas harta benda, mengapa harus menculik keluarganya? Kalau me¬mang disuruh merampas, mengapa tidak terang-terangan saja? “Tidak ada jalan lain, anak-anakku. Kita menghadapi keluarga Pulau Es yang amat sakti. Keluarga kita dalam bahaya, kalau tidak sudah terbasmi. Maka satu-¬satunya jalan hanya pergi minta bantuan kakak kalian.” “Cu-twako (Kakak Terbesar Cu)!” kata Kok Tiong dan Kok Han berbareng. “Benar, hanya dia saja yang akan mampu menghadapi keluarga Pulau Es!” Jenderal itu mengepal tinju dan bangkit berdiri. “Hayo kita kembali ke utara, mencari Kok Cu.” Maka berangkatlah ayah dan anak yang prihatin dan gelisah ini, mengambil jalan kembali ke utara, jalan yang me¬reka lalui selama ini karena selain hen¬dak mengunjungi Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir, juga mereka hendak menyelidiki kalau-kalau dapat menemukan jejak keluarga mereka. Mereka lalu me¬nuju ke jalan kecil di bukit, jalan yang diapit-apit tebing tinggi di mana malapetaka itu menimpa mereka. Ketika mereka tiba dekat jalan yang menuju ke mulut tebing itu, mereka merasa ngeri karena mengira bahwa ten¬tu mereka akan melihat mayat-mayat yang membusuk dan berbau. Akan tetapi mereka tidak mau mengambil jalan lain karena mereka hendak menyelidiki kem¬bali. Akhirnya mereka tiba di mulut tebing di mana tadinya terdapat banyak sekali mayat orang. Akan tetapi, betapa heran hati mereka ketika melihat tempat itu sudah bersih, tidak nampak sebuah pun mayat manusia dan sebagai gantinya, di situ terdapat gundukan tanah yang amat besar, yang merupakan sebuah ku¬buran raksasa! Agaknya semua mayat itu dikubur menjadi satu. Siapa yang mengubur? Tempat itu jauh dari dusun dan sunyi sekali. Mereka tidak terlalu mempedulikan hal ini dan melanjutkan perjalanan memasuki lorong yang diapit-apit tebing tinggi, di mana juga terdapat mayat-¬mayat ketika mereka pergi, yaitu mayat-mayat dari para pengawal mereka dan para tukang pikul tandu. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, mereka ter¬kejut melihat seorang pemuda berpakaian putih-putih sedang mengubur mayat-mayat itu ke dalam sebuah lubang besar. Mere¬ka terheran-heran, akan tetapi Jenderal Kao Liang segera mengenal pemuda itu dan dengan marah sekali jenderal ini mencabut sebatang pedang yang diambil¬nya dari pinggir jalan dekat tempat per¬tempuran tadi, kemudian dia menyerang pemuda berpakaian putih itu sambil membentak, “Kiranya kau.... kau keparat, penjahat muda Suma!” Kini dua orang putera Jenderal Kao Liang juga mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Suma Kian Lee, putera Pendekar Super Sakti. Maka mereka pun cepat mencabut pedang dan menyerang¬nya. Suma Kian Lee terkejut dan terheran-¬heran bukan main. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, apalagi mereka menyerangnya dengan penuh kemarahan itu. “Eh.... eh.... Kao-goanswe (Jenderal Kao) ada apakah?” Dia cepat me¬ngelak ke kanan kiri menghindarkan diri dari sambaran tiga batang pedang itu. Gerakannya tenang, akan tetapi cepat seperti terbang. “Tahan dulu, jangan terburu nafsu” Akan tetapi, Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah menjadi marah sekali karena mereka merasa ya¬kin bahwa pemuda inilah yang telah me¬lakukan penculikan keluarga mereka, sudah menyerang lagi, bahkan kini secara ber¬bareng dari tiga jurusan, pedang mereka menusuk ke arah dada pemuda itu. Suma Kian Lee mengenjot tubuhnya dan le¬nyaplah bayangannya dari kurungan tiga orang itu yang menjadl terkejut, dan ketika itu pedang mereka sudah menusuk, seakan-akan saling bertemu di tempat bekas Suma Kian Lee berdiri tadi dan tahu-tahu dari atas tubuh Suma Kian Lee sudah turun dan kini kedua kaki pemuda berpakaian putih itu menginjak tiga batang pedang tadi! Dengan mengerahkan ginkang sehingga tubuhnya ringan, dan menggunakan sinkang disalurkan kepada kedua kakinya sehingga tiga batang pe¬dang yang diinjaknya itu seolah-olah menempel dan melekat di kakinya, Suma Kian Lee telah berdiri di atas tiga ba¬tang pedang itu dan berkata, “Kao¬-goanswe, harap sabar dulu dan mari kita bicara” “Mau bicara apa lagi, keparat keji!” Jenderal Kao membentak dan dia lalu menggunakan tangan kiri untuk menceng¬keram. “Bangsat rendah!” Kok Tiong juga menggunakan tangan kiri mencengkeram karena seperti juga ayahnya dan adiknya, dia tidak mampu menarik kembali pe¬dangnya. “Mampuslah kau, setan jahat!” Kok Han juga membentak sambil memukul dengan tangan kiri ke arah kaki yang menginjak pedang. “Ahhhhh....!” Tubuh Suma Kian Lee mencelat dan ternyata dia sudah meng¬hindarkan serangan-serangan tangan kiri itu dengan lompatan jauh sekali, lalu melarikan diri. Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya cepat mengejar dengan marah, namun sia-sia belaka karena pemuda berpakaian putih itu telah menghilang. Jenderal Kao menarik napas panjang. “Ahhhhh, betapa saktinya dia! Jelas bah¬wa kekuatan kita tidak akan mampu menghadapinya, hanya Kok Cu yang akan sanggup menandinginya. Percuma menge¬jar dia, lebih baik kita melanjutkan per¬jalanan mencari Kok Cu.” Siapakah pemuda lihai berpakaian putih yang memiliki kesaktian hebat, dan yang bernama Suma Kian Lee itu? Para pembaca Kisah Sepasang Rajawali Sakti tentu mengenal baik tokoh ini pula. Su¬ma Kian Lee adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, mukanya agak bundar, bermata lebar jernih dan sinar¬nya tajam namun halus, sikapnya tenang, teliti dan, sabar, namun dia selalu ber¬sikap pendiam dan serius. Inilah putera pertama dari Pendekar Super Sakti yang lahir dari isterinya yang ke dua, yaitu Lulu bekas ketua Pulau Neraka atau adik angkat sendiri dari Pendekar Super Sakti. Sebagai putera bekas ketua Pulau Neraka yang memiliki kepandaian yang mengeri¬kan dan putera Pendekar Siluman yang memiliki kesaktian hebat, tentu saja Suma Kia Lee juga telah mewarisi ilmu¬-ilmu dari Pulau Es. Seperti telah diceritakan di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, Suma Kian Lee mengalami patah hati, meng¬alami kegagalan kasih tak sampai karena dia jatuh cinta kepada seorang dara can¬tik jelita dan gagah perkasa yang ber¬nama Lu Ceng atau Ceng Ceng, yang kemudian ternyata adalah masih kepo¬nakannya sendiri karena Ceng Ceng ada¬lah anak tidak sah dari kakak tirinya seibu, yaitu mendiang Wan Keng In, se¬perti halnya pemuda Ang Tek Hoat. Ten¬tu saja tidak mungkin dia berjodoh de¬ngan keponakannya, yang masih sedarah dengan dia, masih keturunan ibunya. Hal ini tentu saja membikin luka perasaan hatinya yang masih muda. Cinta itu ada¬lah cinta pertama dan dia telah gagal! Akhirnya, seperti telah dituturkan di dalam Kisah Sepasang Rajawali, dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya. Akan tetapi, setelah dia sembuh lahir batin, dia meninggalkan Pulau Es lagi untuk merantau di daerah utara, mem¬perdalam kepandaiannya. Beberapa tahun kemudian, dia merasa rindu kepada adik¬nya, yaitu Suma Kian Bu, yang masih belum pulang dan telah meninggalkan Pu1au Es selama bertahun-tahun. Sudah lima tahun dia berpisah dari adiknya yang dia cinta itu, maka dia lalu pergi ke selatan untuk mencari adiknya. Seper¬ti juga dia sendiri, lima tahun yang lalu adiknya itu telah mengalami patah hati karena cinta kasih yang gagal. Kini usianya telah cukup dewasa, telah dua puluh dua tahun dan kalau dia mengenang masa lalu dia menjadi malu sendiri. Mengapa dia begitu bodoh, begitu mudah patah hati? Diam-diam dia malah girang bahwa dia gagal berjodoh dengan Ceng Ceng yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu, dan diam-diam dia hanya mendoakan agar Ceng Ceng yang kabarnya berjodoh dengan orang yang dikasihinya, yaitu putera Jenderal Kao, putera sulung yang amat sakti itu, hidup bahagia. Dia akan mencari adiknya dan mem¬bayangkan pertemuannya dengan adiknya saja sudah merupakan kegembiraan ter¬sendiri. Kini adiknya itu pun tentu telah dewasa, bukan setengah anak-anak se¬perti dahulu lagi. Betapa nakalnya Kian Bu! Tukang menggoda orang, tukang menggoda wanita yang akhirnya tergoda hatinya oleh seorang wanita cantik jelita, Puteri Syanti Dewi sampai hati adiknya itu menjadi remuk! “Bu-te (Adik Bu), kasihan engkau....!” Gerutunya setiap kali dia teringat kepada adiknya. Ketika dia teringat akan kepatahan hati adiknya, dia lalu menduga bahwa boleh jadi adiknya itu masih berkeliaran di sekitar daerah yang berdekatan dengan tempat tinggal Syanti Dewi, yaitu di Bhutan. Tidak ada petunjuk lain baginya, maka dia lalu menuju ke selatan, hendak ke Bhutan mencari Suma Kian Bu. Ketika dia tiba di dekat Sungai Huang¬ho di celah tebing itu dia melihat ba¬nyak sekali mayat manusia berserakan. Hatinya menjadi terharu sekali. Pemuda ini adalah keturunan langsung dari Pen¬dekar Super Sakti, seorang pendekar yang selain sakti juga bijaksana dan budiman, maka tentu saja melihat begitu banyak mayat manusia berserakan tidak diurus, hatinya menjadi terharu dan kasihan. Maka ia lalu turun tangan menggali lu¬bang besar dan menanam semua mayat itu. Kemudian ketika dia melihat pula mayat-mayat di lorong yang diapit-apit tebing, dia pun cepat menggali lubang dan mengubur mayat-mayat yang hampir membusuk itu. Akan tetapi dapat diba¬yangkan betapa kagetnya ketika secara tiba-tiba dia diserang oleh Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya! Diserang mati-matian dengan maki¬-makian dan agaknya dia dituduh melaku¬kan hal-hal yang amat jahat, Suma Kian Lee menjadi bingung dan karena mereka itu tidak mau diajak bicara, terpaksa dia melarikan diri. Memang ada rasa enggan di hatinya untuk bertemu dengan keluar¬ga Kao ini. Bukankah Ceng Ceng men¬jadi mantu jenderal itu, berjodoh dengan Kao Kok Cu yang terkenal dengan juluk¬an Si Naga Sakti Pasir? Selain enggan bertemu juga dia diserang tanpa diberi kesempatan membela diri, maka lebih baik dia menyingkir. Akan tetapi, sejak kecilnya Kian Lee adalah seorang yang memiliki sifat sabar, tenang dan teliti. Dia selalu berpikiran cermat, maka dia pun tidak menjadi marah melihat sikap Jenderal Kao dan dua orang puteranya yang telah memaki-makinya dan menyerangnya untuk mem¬bunuh, tadi. Di dalam peristiwa ini tentu ada rahasianya, dia merasa yakin. Tentu ada kesalahpahaman besar. Tentu ada sesuatu yang membuat keluarga Kao itu membencinya sehingga melakukan per¬buatan itu. Dan dia harus menyelidiki hal ini! Setelah Kian Lee kembali ke tempat tadi dan mengintai dengan sembunyi, melihat bahwa Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang mengamuk tadi benar-benar telah pergi, dia lalu me¬lanjutkan pekerjaannya yang tadi ter¬tunda, yaitu mengubur mayat-mayat itu di dalam sebuah lubang kemudian me¬nimbuninya dengan tanah sampai merupa¬kan sebuah kuburan raksasa yang terisi puluhan mayat orang. Setelah selesai, Kian Lee hendak melanjutkan perjalanan¬nya, akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba bermunculan pasukan yang jum¬lahnya kurang lebih seratus orang, yang sudah mengurungnya dari depan dan be¬lakang diapit-apit tebing tinggi itu! “Hemmm....!” Geramnya, akan tetapi dia masih belum tahu apa yang sesung¬guhnya terjadi. Apakah Jenderal Kao Liang benar-benar hendak mencelakakan¬nya dan kini mengerahkan pasukannya? Kalau begitu, dia harus berkeras menun¬tut penjelasan mengapa jenderal itu bersikap seperti itu. Dia berdiri di tengah-tengah, sikapnya tenang dan ketika dia melihat seorang Kakek tinggi besar yang berpakaian per¬wira dan agaknya menjadi pemimpin pasukan itu, Kian Lee melangkah maju menghampiri. “Apa artinya ini?” tanyanya dengan sikap tenang, menduga bahwa perwira ini tentulah anak buah Jenderal Kao Liang yang masih belum muncul. Perwira tinggi besar itu usianya sudah enam puluh tahun, akan tetapi kelihatan tubuhnya kokok kekar penuh dengan te¬naga. Mendengar pertanyaan Kian Lee, dia tertawa. “Ha-ha-ha, kau masih me¬nanyakan artinya? Artinya, orang muda, bahwa engkau harus menyerah kami tangkap.” “ Hemmm, mudah saja menangkap orang, Ciangkun. Akan tetapi, setiap menangkap orang harus lebih dulu jelas akan kesalahannya, bukan? Bolehkah aku tahu, apa kesalahanku maka engkau me¬mimpin pasukan hendak menangkap aku?” “Ho-ho, orang muda yang pandai bi¬cara! Sudah jelas engkau membunuh ba¬nyak orang dan hendak menyembunyikan perbuatanmu dengan mengubur mereka, kini engkau masih pura-pura bertanya apa salahmu? Hayo menyerah, jangan sampai aku turun tangan dengan kekerasaan!” Kian Lee mendengar ini dengan pe¬rasaan heran. Dia mengubur mayat-mayat yang berserakan itu karena kasihan, ternyata malah dituduh membunuh mereka itu! Akan tetapi, Jenderal Kao Liang tadi tidak menyatakan tuduhannya itu? Andaikata Jenderal Kao Liang menuduh¬nya demikian, mengapa jenderal itu dan dua orang puteranya serta merta me¬nyerang tanpa bertanya lebih dulu? “Apakah engkau diutus menangkap aku oleh Jenderal Kao?” Perwira itu membelalakkan matanya, agaknya terheran mendengar ucapan da¬lam pertanyaan ini. “Jenderal Kao? Siapa yang kaumaksudkan.” Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa yang di¬maksudkan dalam pertanyaan pemuda itu adalah Panglima Besar Kao yang telah dipensiun, dan mengira bahwa pe¬muda itu maksudkan seorang jenderal lain yang she Kao. “Jangan banyak cakap yang bukan-bukan, orang muda. Aku adalah Perwira Su Kiat yang bertugas men¬jaga daerah utara dari Propinsi Ho-nan ini. Engkau telah melakukan banyak pembunuhan, maka kami harus menangkapmu untuk kami hadapkan kepada Gubernur di Ho-nan untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu.” Diam-diam Kian Lee menjadi makin heran. Jelas bahwa perwira ini tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan Jenderal Kao Liang! Dia hendak ditang¬kap karena semata-mata kelihatan me¬ngubur mayat-mayat itu dan dituduh membunuh mereka. “Su-ciangkun, maafkan aku, akan te¬tapi aku tidak membunuh mereka itu! Ketahuilah, aku adalah seorang perantau yang kebetulan lewat di sini dan melihat adanya banyak mayat manusia berserakan tak terurus, aku menjadi kasihan dan aku lalu mengubur mereka. Jangan kau me nuduh aku membunuh” “Ha-ha-ha!.... Ho-ho! Kalian dengar itu? Betapa lucunya! Mana ada orang begitu gatal tangan mengubur mayat-mayat yang begitu banyak kalau dia tidak berkepentingan langsung? Tentu kau me¬ngubur mereka untuk menutupi perbuatanmu yang kejam. Heh, siapa namamu, orang muda?” “Namaku adalah Suma Kian Lee.” “Hayo kau berlutut, dan menyerah kami tangkap!” Kian Lee mengerutkan alisnya dan mengangkat dadanya. “Su-ciangkun, aku tidak merasa bersalah bagaimana mung¬kin aku harus menyerah?” “Jadi engkau hendak melawan?” Su¬ciangkun membentak marah. “Aku tidak hendak melawan dan ber¬musuhan dengan siapapun,Ciangkun. Akan tetapi aku tidak pernah membunuh orang, maka kalau aku hendak ditangkap dengan tuduhan membunuh orang, tentu saja aku tidak mau menyerah. “Bagus! Engkau memang pembunuh besar dan engkau bernyali besar berani menentang perintah Perwira Su Kiat!” Perwira tinggi besar itu menengok ke kiri di mana terdapat batu menonjol dari dinding tebing. “Lihat, apakah kepalamu lebih keras daripada ini?” Dia mengayun tangan kanannya menampar ke arah batu menonjol itu. “Prakkk!” Batu itu pecah berhambur¬an! Melihat cara perwira itu menampar batu tahulah Kian Lee bahwa perwira itu adalah seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang mengandalkan kerasnya kulit dan kuatnya otot. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk. “Entah berapa tahun lamanya engkau melatih tanganmu sehingga sekuat besi, Su-ciangkun. Akan tetapi apakah latlhan bertahun itu hanya untuk memukul pecah batu dan menakut-nakuti orang? Kalau aku memang bersalah, tanpa kaugertak pun aku akan menyerahkan diri dengan suka rela. Akan tetapi aku tidak berdosa dan tidak takut akan gertakanmu.” “Keparat, kau menantang?” Su-ciang¬kun lalu menerjang ke depan, kedua ta¬ngannya menyerang dari kanan kiri sam¬bil mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar. Kian Lee tidak mau membuang waktu lagi. Melihat sambaran kedua tangan itu, dia memakai dengan tamparan tangannya ke arah pergelangan tangan yang besar itu. “Plak! Plak! Aduhhhhh....!” Perwira Su Kiat mengaduh-aduh karena kedua lengannya terasa panas dan lumpuh seketi¬ka. “Hayo tangkap! Bunuh!” teriaknya sambil mengaduh-aduh. Anak buahnya lalu mengepung dan mulai menyerbu dengan senjata mereka. Melihat ini, Kian Lee merobohkan beberapa orang dengan tamparan dan tendangannya, tanpa me¬lukai berat, kemudian dia meloncat, tu¬buhnya tiba di dinding yang terjal dan di lain saat, semua orang melongo ketika melihat betapa tubuh pemuda berpakaian putih-putih itu seperti seekor cecak me¬rayap di tembok saja. Demikian cepat gerakannya seolah-olah dia berjalan di tanah datar padahal tebing itu terjal sekali! Melihat pemuda itu dengan mudahnya melarikan diri melalui tebing yang ter¬jal sehingga tidak ada kemungkinan lagi bagi dia dan anak buahnya untuk mengejar, Su-ciangkun lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengambil alat tiup dari kantung bajunya karena kedua tangannya masih lumpuh dan untuk mentup alat itu dengan keras. Terdengar suara bersuitan berkali-kali dari lorong celah tebing itu, akan tetapi Kian Lee tidak peduli dan me¬rayap terus sampai dia tiba di atas te¬bing. Akan tetapi baru saja dia melom¬pat beberapa langkah, tiba-tiba di de¬pannya berdiri seorang kakek yang usia¬nya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambutnya yang kemerahan itu awut¬-awutan dan tangannya memegang sebuah guci arak, mulutnya berbau arak dan bibirnya masih basah oleh arak yang me¬netes-netes. Di sebelah kakek aneh ini berdiri dua orang perwira tinggi yang usianya juga sudah enam puluhan. Kakek berambut kemerahan itu memandang Kian Lee dengan sikap acuh tak acuh, akan tetapi dua orang perwira tinggi itu memandang dengan mulut tersenyum, kemudian mereka menjura ke arah Kian Lee dengan sikap hormat. “Tidak kelirukah pendengaran kami tadi bahwa Sicu bernama Suma Kian Lee? Seorang dua perwira tinggi itu bertanya dengan sikap hormat. “Tidak kelirukah pendengaran kami tadi bahwa Sicu bernama Suma Kian Lee?” Seorang di antara dua perwira tinggi itu bertanya sambil menjura. Kian Lee yang melihat sikap hormat itu membalas dengan menjura sambil menjawab, “Benar.” “Ah, kalau begitu harap Taihiap sudi memaafkan akan kelancangan Su-ciangkun terhadap Taihiap. Tentu Suma-taihiap dapat memaklumi kecurigaan Su-ciangkun yang menghadapi pembunuhan besar¬-besaran yang terjadi di daerah ini, dan mengira Taihiap yang melakukan pembunuhan itu. Apakah Taihiap mengerti siapa yang melakukan pembunuhan-pem¬bunuhan itu?” Kian Lee menggeleng kepalanya. “Sa¬ya kebetulan lewat di daerah ini dan melihat tumpukan mayat, maka saya lalu menguburnya.” “Heh-heh, bijaksana bijaksana....” Kakek yang berambut kemerahan itu berkata kepada diri sendiri, kemudian menenggak arak dari gucinya sampai mengeluarkan suara menggelogok. Akan tetapi dua orang perwira tinggi agaknya sudah biasa dengan sikap aneh ini, mnaka mereka tidak memperdulikan, melainkan berkata lagi kepada Kian Lee dengan sikap hormat. “Kebetulan sekali Suma-taihiap lewat di daerah kami dan Paduka Gubernur kami memang memesan kepada kami agar setiap orang pendekar besar yang lewat agar dipersilakan untuk singgah, selain Paduka Gubernur hendak berkenal¬an dengan orang-orang handal, juga un¬tuk menghadari pesta yang akan diadakan untuk menyambut utusan Kaisar dari kota raja. Banyak sekali tamu yang akan hadir, juga dari kalangan kang-ouw, maka kami atas nama gubernur mengundang Taihiap untuk singgah pula.” Kian Lee berpikir cepat. Dia meng¬hadapi rahasia besar, keanehan sikap Jenderal Kao Liang, kematian banyak orang yang tidak diketahui siapa pem¬bunuhnya, dan undangan Gubernur Ho¬nan yang juga aneh. Kalau Gubernur Ho¬-nan yang mengadakan pesta, tentu dan pasti Jenderal Kao Liang akan hadir pula, karena jenderal ini memiliki kedu¬dukan yang sangat tinggi. Mungkin dia akan mendapat keterangan tentang semua rahasia ini di gubernur, dan bukan tidak mungkin pula dia akan dapat men¬dengar sesuatu tentang adiknya, karena dia akan bertemu dengan banyak tokoh kang-ouw di rumah Gubernur Ho-nan itu. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar