Rabu, 15 Januari 2014

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 18.

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 18:
Suling Emas & Naga Siluman Jilid - 18 Suling Emas & Naga Siluman Jilid 18 Melihat kenyataan bahwa di dalam pulau itu, tentu di antara para tamu, terdapat orang-orang jahat dan pandai yang hendak mencelakakan Pangeran, entah dengan tujuan apa, Ouw Yan Hui menjadi gelisah sekali dan dia mengerahkan semua pembantunya untuk berjaga-jaga. Bahkan Souw Kee An sendiri dengan berkeras menjaga sendiri di depan pintu kamar Sang Pangeran! Akan tetapi Pangeran itu sendiri hanya tenang-tenang saja. “Aku tidak khawatir.” katanya kepada Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. “Biarpun ada yang mengancam, ada yang berniat buruk kepadaku, akan tetapi ada pula yang berniat baik dan selalu melindungi. Buktinya, usaha mereka malam ini pun gagal, bukan?” Dan sambil tersenyum tenang dia memasuki kamarnya untuk beristirahat. Diam-diam Syanti Dewi semakin kagum kepada pangeran itu. Sudah jelas ada orang yang jahat hendak mencelakainya, dan pangeran itu sendiri hanyalah seorang ahli sastra yang lemah, namun ternyata memiliki nyali yang demikian besarnya! Malam itu keadaan menjadi tegang bagi para penghuni Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi para tamu nampak tenang saja dan sampai jauh malam masih terdengar mereka bersendau-gurau di pondok-pondok penginapan mereka. Memang tidak ada di antara mereka yang tahu akan apa yang terjadi di taman tadi, karena Ouw Yan Hui memberi peringatan keras kepada semua penjaga agar tidak mengabarkan hal itu keluar sehingga tidak akan menimbulkan panik di antara para tamu yang banyak itu. Ketegangan itu terasa oleh Ouw Yan Hui, Syanti Dewi, Souw Kee An dan para penjaga dan pengawal, dan mereka melakukan penjagaan yang ketat malam itu. Bahkan Syanti Dewi sendiri yang mengkhawatirkan keselamatan Pangeran, apalagi setelah dia mendengar bahwa selama dalam perjalanannya ke pulau itu Sang Pangeran telah mengalami beberapa kali serangan, bahkan telah pernah diculik, dia pun menjadi tegang dan dia sendiri ikut melakukan perondaan! *** Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang luar biasa sekali. Semenjak kecil dia sudah mempunyai kepribadian yang menonjol, maka tidaklah mengherankan kalau kelak dia dikenal dalam sejarah sebagai seorang kaisar yang cakap dan pandai serta bijaksana. Dalam usia dua puluh tahun itu saja dia telah memiliki kepribadian luar biasa, ketabahannya mengagumkan hati para pendekar dan ketenangannya menghadapi segala membuat dia selalu waspada dan dapat mengambil keputusan yang tepat karena tidak pernah dilanda kegugupan. Malam itu, hanya Sang Pangeranlah, orang yang justeru menjadi sasaran penyerangan gelap itu, yang tenang-tenang saja. Dia membaca kitab yang dipinjamnya dari Syanti Dewi, yaitu kitab tentang keagamaan Lama di Tibet. Tidak sembarangan orang dapat membaca kitab ini karena mempergunakan bahasa kuno, campuran antara bahasa daerah dan bahasa Sansekerta. Akan tetapi, Pangeran itu mampu membacanya! Satu-satunya orang yang dapat membaca kitab itu di Kim-coa-to hanya Syanti Dewi, dan hal ini tidak aneh karena sejak kecil di istana ayahnya, Syanti Dewi mendapatkan pendidikan membaca kitab-kitab kuno dan dia pun paham sekali bahasa itu. Baru setelah jauh malam, menjelang tengah malam, Sang Pangeran merasa lelah dan mengantuk. Diletakkannya kitab itu di atas meja dan dia pun merebahkan diri di atas pembaringan yang berkasur lunak tebal dan berbau harum itu. Belum lama Sang Pangeran rebah dan baru saja dia mau tidur, tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat. Sang Pangeran membuka kedua matanya dan ternyata di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki! Sang Pangeran terkejut, akan tetapi dia tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Begitu memperhatikan, hatinya lega kembali karena dia mengenal pria itu yang bukan lain adalah jembel muda yang pernah menolongnya ketika dia diserbu penjahat di dalam hutan! Makin yakinlah hatinya bahwa orang yang tadi dikeroyok di dalam taman tentu jembel itu pula, dan dia pun dapat menduga bahwa tentu jembel ini pula yang menyambit jatuh cawan araknya yang terisi minuman anggur mengandung obat beracun! Dan tentu jembel ini melawan enam atau lima orang yang mengeroyok itu dalam usahanya menyelamatkan dia pula! Maka dengan tenang dia pun bangkit duduk. Betapapun juga, Sang Pangeran merasa kagum dan juga terheran-heran bagaimana orang ini dapat memasuki kamarnya begitu saja, seperti setan. Bukankah kamarnya dijaga ketat, bahkan Souw-ciangkun sendiri berjaga di depan pintu kamar! Orang ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian seperti setan, pikirnya.Memang benar, orang yang berpakaian tambal-tambalan dan mukanya penuh kumis, jenggot dan cambang lebat itu bukan lain adalah Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Seperti kita ketahui, pendekar yang rusak hatinya karena asmara ini melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan ditengah hutan itu, ketika melihat Sang Pangeran terancam bahaya, dia cepat memberi pertolongan. Akan tetapi dia enggan untuk memperkenalkan diri, maka begitu dia berhasil menyelamatkan Pangeran itu, dia pun pergi berlayar ke Pulau Kim-coa-to menggunakan sebuah perahu nelayan yang ditumpanginya. Dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia tiba di pulau ini. Di pulau inilah kekasihnya berada! Dengan cara bersembunyi dia memasuki pulau itu dan pada saat itu dia melihat Syanti Dewi ketika puteri ini menyambut Sang Pangeran dan para tamu lainnya, hampir saja Tek Hoat jatuh pingsan! Syanti Dewi tidak berobah sama sekali! Masih seperti dulu saja, bahkan makin cantik! Dia telah bersembunyi sehari semalam di batu-batu karang yang terpencil di ujung pulau dan baru sekarang dia berani mendekat, yaitu setelah para tamu mulai berdatangan. Dia melihat betapa Sang Pangeran disambut dengan manis oleh Syanti Dewi dan dia melihat pula betapa pantas Syanti Dewi berdamping dengan Pangeran itu. Kedua matanya menjadi basah. Memang, sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berdampingan dengan seorang pangeran mahkota, menjadi calon permaisuri! Sudah pantas sekali. Dia menunduk dan melihat pakaiannya, dan Tek Hoat menarik napas. Dia tidak merasa cemburu, tidak merasa iri, bahkan merasa heran mengapa seorang wanita seperti Syanti Dewi pernah mencinta seorang laki-laki macam dia! Melihat wajah yang cantik itu berseri dan tersenyum-senyum ramah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar ketika menyambut Sang Pangeran, diam-diam Tek Hoat merasa ikut bergembira dan bersyukur. Biarlah dia berbahagia, pikirnya. Dia telah mendengar bahwa pesta ulang tahun Syanti Dewi akan diikuti dengan pemilihan calon jodoh. Dan kini melihat sikap Syanti Dewi terhadap Sang Pangeran, dia merasa lega dan bersyukur. Dia mau melihat kenyataan dan dia mau menerimanya kalau bekas tunangannya itu menjadi calon isteri pangeran mahkota yang telah banyak didengarnya sebagai seorang pangeran yang amat bijaksana itu. Dan karena agaknya di situ akan terjadi banyak saingan bagi Pangeran, dia akan menjaga agar Sang Pangeran dapat menang. Kemudian dia mendengar bahwa setelah terlepas dari bahaya dalam hutan berkat pertolongannya, kembali pangeran diserbu, bahkan diculik para penjahat. Hal ini didengarnya dari percakapan di antara para tamu yang dapat ditangkapnya di tempat persembunyiannya. Kalau demikian, keadaan Sang Pangeran itu belum tentu aman. Di tempat ini pun perlu dijaga keselamatannya. Apalagi kini Sang Pangeran itu berobah keadaannya dalam pandang mata Tek Hoat. Sebagai calon suami Syanti Dewi, dia harus selalu melindungi Sang Pangeran dari ancaman bahaya! Inilah sebabnya mengapa Tek Hoat dapat mencegah ketika Pangeran berada di dalam taman bersama Syanti Dewi kemudian terjadi penyerbuan itu. Dia hanya merasa terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa orang-orang yang mengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Dia maklum bahwa belum tentu dia akan dapat lolos dari maut dalam pengeroyokan itu kalau saja para pengeroyok itu tidak cepat meninggalkan dia karena khawatir penyerbuan pengawal setelah melihat Pangeran dapat lolos dari pondok di taman. Diam-diam dia lalu membayangi mereka dan ternyata orang-orang itu menyelinap ke dalam pondok-pondok para tamu. Jelaslah bahwa para penyerang itu adalah orang-orang yang datang menyelinap di antara para tamu, sehingga sukar untuk diketahui siapa mereka, apalagi mereka semua mempergunakan kedok. Hati Tek Hoat merasa tidak enak sekali. Jelas bahwa ada orang ingin mencelakai pangeran, entah dengan cara bagaimana. Mungkin tidak ingin membunuh Pangeran, karena kalau hal itu dikehendaki mereka, agaknya sukarlah menyelamatkan nyawa Pangeran. Bukankah Pangeran itu pernah diculik dan tidak dibunuh? Entah apa permainan mereka, akan tetapi yang jelas, Pangeran terancam keselamatannya dan dia harus melindungi Pangeran itu. Semata-mata demi Syanti Dewi! Tek Hoat melihat betapa penjagaan keamanan Pangeran diperketat. Akan tetapi apa artinya para penjaga dan pengawal itu menghadapi orang-orang yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu? Cara satu-satunya yang terbaik baginya, adalah melindungi Pangeran itu secara langsung! Maka dia pun bersembunyi di wuwungan karena dia tahu bahwa penjahat-penjahat lihai itu kalau benar malam ini datang menyerang, tentu mengambil jalan dari atas wuwungan. Dugaannya ternyata tepat. Menjelang tengah malam, dia melihat berkelebatan bayangan di wuwungan depan. Cepat sekali gerakan itu dan dalam sekejap mata saja sudah lenyap lagi ditelan kegelapan malam. Tek Hoat merasa tegang dan khawatir. Bagaimana sebaiknya untuk melindungi Pangeran, pikirnya. Lalu dia mengambil keputusan, dengan gerakan ringan dan cepat, dia membuka genteng dan tanpa mengeluarkan suara, dia memasuki kamar Pangeran itu. Dia tadinya mengira bahwa Pangeran telah pulas, maka terkejutlah dia melihat Pangeran itu bangkit duduk. Tek Hoat menaruh telunjuk di depan bibir dan dia pun menghampiri Pangeran yang sudah menyingkap kelambu. “Sssttt...., Pangeran, harap cepat meninggalkan kamar ini, ada orang jahat hendak datang.... biar hamba yang menyamar menggantikan Pangeran....” bisik Tek Hoat. Pangeran Kian Long yang bijaksana dan cerdik itu segera dapat mengerti keadaan, dan dia berbisik kembali sambil turun dari atas pembaringan, “Baik, cepat kaugantikan aku dan aku....” Dia lalu cepat menyusup ke bawah kolong pembaringan itu! “Ah, kenapa Paduka....?” “Ssasttt...., aku mau nonton!” bisik Pangeran itu yang sudah bersembunyi di kolong pembaringan! Tek Hoat membelalakkan mata, lalu mengangkat pundak dan menggeleng kepala. Pangeran ini memang luar biasa, pikirnya. Menghadapi ancaman maut bukannya cepat menyingkirkan diri, malah ingin menjadi penonton, dan bersembunyi di kolong pembaringan! Bukan main! Akan tetapi tidak ada waktu lagi baginya untuk berbantahan, maka cepat dia pun sudah memasuki pembaringan di bawah kelambu, dan menyusup di bawah selimut bulu yang hangat itu. Dengan jantung berdebar dia menanti. Juga Sang Pangeran yang bersembunyi di kolong pembaringan itu menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan, juga kegembiraan karena Pangeran itu biarpun bukan seorang ahli silat tinggi namun satu di antara kegemarannya adalah menyaksikan orang-orang kalangan atas mengadu ilmu silat dan dia tahu bahwa tentu akan terjadi pertarungan yang seru di dalam kamar itu kalau ada penjahat berani masuk!Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bagaikan daun kering yang besar, dari atas melayang turun tubuh seorang yang langsing kecil. Orang ini pun memakai kedok, bahkan kedoknya menyelubungi seluruh kepala, hanya nampak dua lubang dari mana ada sepasang mata mencorong dan memandang ke sekeliling! Kedua kaki orang itu yang kecil, sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika tubuhnya melayang ke dalam kamar. Dari balik kelambu, Tek Hoat yang memejamkan mata itu memandang dari balik bulu matanya, dan dia terkejut karena menduga bahwa tentu orang yang datang ini seorang wanita! Akan tetapi dia pun maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian yang tinggi, maka dia, sudah siap siaga. Sedangkan Sang Pangeran yang berada di kolong pembaringan, hanya melihat kaki sampai ke paha yang tertutup celana hitam, kaki yang kecil. Dari tempat dia sembunyi, Pangeran itu dengan hati geli membayangkan apa akan jadinya kalau dia mengulur tangan menangkap kaki itu dan menariknya! Tentu orang itu akan terkejut sekali, dia membayangkan. Tiba-tiba orang berkedok itu menggerakkan tubuhnya, melesat ke arah pembaringan dan tangan kanannya bergerak menghantam ke arah kedua kaki Tek Hoat. Terdengar suara mencicit ketika jari-jari tangan yang lentik kecil itu menyambar. Tek Hoat terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat berbahaya! Maka dia pun cepat meloncat dan menarik kakinya, kemudian menendangkan kaki kirinya ke arah pusar lawan sedangkan tangannya dengan gerakan cepat sekali, dengan jari-jari terbuka, menusuk ke arah leher lawan. itulah pukulan, jari telanjang yang membuat nama Si Jari Maut terkenal di seluruh dunia kang-ouw. “Wuuuttt.... cettt....!” Tek Hoat meloncat ke samping, tusukannya kena ditangkis dan ketika dia meloncat tadi, pukulan Si Wanita Berkedok mengenai kasur dan kasur itu pun robek tanpa tersentuh jari-jarinya! itulah pukulan Kiam-ci atau Jari Pedang, ilmu pukulan yang amat dahsyat mengerikan dari Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Telunjuk tangannya seperti mengeluarkan kilat kalau dia menggunakan pukulan ini dan dari telunjuk itu menyambar hawa yang luar biasa lihainya, yang berhawa dingin dan dapat membunuh lawan seketika! Akan tetapi, bukan Tek Hoat saja yang terkejut, bahkan Ji-ok juga kaget setengah mati! Dia tadinya mengira bahwa tugasnya akan dapat dilaksanakan dengan mudah, yaitu merusak kaki Sang Pangeran! Setelah semua daya upaya Im-kan Ngo-ok gagal, maka kini Ji-ok yang menerima tugas langsung dari Toa-ok yang memimpin gerakan atas perintah Sam-thai-houw itu untuk memasuki kamar Pangeran dan merusak kedua kaki Pangeran. Ji-ok mengira bahwa dengan sekali gerakan Kiam-ci saja tentu dia akan mampu membuat kedua kaki Pangeran itu lumpuh untuk selamanya. Apa artinya Pangeran Mahkota yang lumpuh kedua kakinya? Tak mungkin bisa diangkat menjadi kaisar! Itulah rencana keji mereka. Maka ketika tiba-tiba “Pangeran” itu mampu mengelak, meloncat bahkan melakukan serangan sehebat itu, tentu saja Ji-ok terkejut. Lebih lagi melihat betapa serangan tusukan jari tangan orang itu ternyata ampuh bukan main, terbukti dari anginnya yang menyambar dahsyat. Tahulah dia bahwa dia terjebak dan hal ini dibuktikan ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya itu sama sekali bukan Pangeran Mahkota, melainkan seorang pria berpakaian jembel! “Huh!” Ji-ok dalam kecewa dan penasarannya menerjang Tek Hoat, dan sebaliknya Tek Hoat yang juga marah sekali melihat kekejaman wanita ini, sudah menyerangnya dengan menggunakan pukulan-pukulan jari terbuka yang sama ampuhnya. Pertempuran sengit terjadi di dalam kamar itu, ditonton oleh Sang Pangeran yang menjadi gembira sekali sampai berseri-seri wajahnya. Tek Hoat menjadi semakin heran dan kaget karena dia memperoleh kenyataan bahwa lawannya benar-benar hebat! Betapa pun dia berusaha menangkap atau merobohkannya, namun usaha ini sama sekali tak berhasil, bahkan dia sendiri terdesak oleh serangan-serangan telunjuk tangan yang amat berbahaya itu. Akan tetapi, keributan itu memancing perhatian para penjaga. Pintu kamar digedor oleh Souw Kee An sampai terbuka, akan tetapi ketika komandan ini dan para pengawal menyerbu, dua orang yang sedang bertanding itu meloncat ke atas dan lenyap! Souw Kee An menjadi bingung karena tidak melihat Pangeran di atas pembaringan. “Kejar mereka! Cari Sang Pangeran!” teriak Souw Ke An dengan wajah pucat karena dia mengira bahwa Pangeran telah terculik lagi. Tiba-tiba sebuah kepala nongol dari bawah tempat tidur dan Souw Kee An sampai meloncat ke belakang saking kagetnya, akan tetapi dia pun membelalakkan kedua matanya dan berseru girang ketika mengenal kepala itu. “Paduka Pangeran....” Pangeran Kian Liong merangkak keluar dari kolong tempat tidur sambil tersenyum. “Tenanglah, Souw-ciangkun, aku tidak apa-apa.” Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi juga berkelebat masuk dan ternyata dua orang wanita itu membawa sebatang pedang, wajah mereka agak pucat dan memegang tangan Sang Pangeran. “Paduka selamat, Pangeran? Aihh, terima kasih kepada Thian bahwa Paduka selamat. Tadi saya melihat dua bayangan berkelebat demikian cepatnya di atas wuwungan sehingga ketika saya dan Enci Hui mengejar, dua bayangan itu telah lenyap. Apa yang telah terjadi dalam kamar ini, Pangeran?” Pangeran itu berkata kepada Souw Kee An, “Souw-ciangkun, suruh anak buahmu keluar semua dan berjaga dengan tenang saja, jangan membikin ribut.” Kemudian setelah Souw Kee An memberi perintah dan mengatur semua anak buahnya dan kembali ke dalam kamar itu, Sang Pangeran bercerita kepada Souw Ke An, Ouw Yan Hui, Syanti Dewi. “Kalau tidak ada penolong lama itu, entah apa jadinya dengan diriku. Pengemis sakti itu muncul tiba-tiba dan mengatakan bahwa ada penjahat hendak menyerang, maka dia menggantikan aku di tempat tidur, dan minta agar aku menyingkir dari kamar. Akan tetapi aku lebih suka nonton, dan aku bersembunyi di kolong tempat tidur. Kemudian muncul seorang wanita berkedok, lihai bukan main dia, menyerang ke arah pembaringan dan terjadilah perkelahian yang hebat dalam kamar. Tapi para pengawal datang dan mereka lalu pergi. Ouw Yan Hui mengepal tinju tangannya. Kurang ajar sekali, ada penjahat berani menyerang pangeran di tempat ini, sedikit pun tidak memandang kepada penghuni Pulau Kim-coa-to. “Kalau hamba dapat menemukan penjahat itu, Pangeran, tentu akan hamba jadikan dia makanan ular-ular Kim-coa!” “Pangeran, sebaiknya kalau Enci Hui dan saya malam ini menjaga di sini, agar Paduka benar-benar terlindung.” kata Syanti Dewi. “Ahh, apa akan kata orang nanti, Enci Syanti? Tidak, tidak baik kalau kalian menjaga dalam kamar ini.” “Biarkan hamba saja yang menjaga dalam kamar Pangeran.” kata Souw Kee An. Akhirnya usul ini diterima dan dua orang wanita itu kembali ke kamar masing-masing, akan tetapi jelas bahwa malam itu mereka tidak mampu tidur, selalu siap untuk meloncat keluar apabila terdengar suara mencurigakan. Souw Kee An duduk di atas kursi dalam kamar Pangeran yang sebentar saja sudah tidur pulas seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dan tidak ada apa-apa yang mengancam keselamatannya. Akan tetapi para pengawal ini kini menjaga ketat, bukan hanya di sekeliling kamar itu, bahkan di atas wuwungan atap kini penuh dengan penjaga. Jangankan manusia. Biar seekor tikus pun agaknya tidak akan mampu masuk kamar itu tanpa diketahui pengawal! *** Menurut hasil penyelidikan para mata-mata yang disebar oleh Ouw Yan Hui, wanita ini mendapat kepastian bahwa yang patut dijadikan calon jodoh Syanti Dewi hanya ada lima orang saja di antara begitu banyak tamu, yaitu yang menurut syarat-syarat yang ditentukannya, di samping keistimewaan masing-masing. Orang pertama, menurut penyelidikan para mata-mata itu, tentu saja adalah Pangeran Kian Liong! Oran ke dua bernama Thio Seng Ki, seorang muda hartawan besar dari Cin-an di Propinsi Shan-tung. Orang ke tiga bernama Yu Cian, seorang pemuda sastrawan terkenal dari Pao-teng yang pernah menggondol juara pertama ketika diadakan ujian siucai tahun lalu di kota raja, juara yang diraihnya karena kepintarannya dalam hal kesusastraan, sama sekali tidak mempergunakan harta untuk menyogok para pembesar yang berwenang dalam ujian negara itu. Orang ke empat bernama Lie Siang Sun, usianya lebih tua daripada para calon lainnya, karena dia sudah berusia tiga puluh tahun lebih, terkenal sebagai seorang pendekar muda yang gagah perkasa di selatan dan selain terkenal alim dan belum menikah, juga di kalangan kang-ouw dia dikenal dengan julukan Pendekar Budiman, karena sepak terjangnya yang berbudi. Kemudian calon ke lima adalah seorang seniman terkemuka pula, seorang ahli lukis dan ahli musik yang pernah mengadakan pertunjukan di istana Kaisar. Kelima orang calon yang terpilih ini rata-rata memiliki wajah yang tampan, bahkan kalau dibuat perbandingan, yang empat orang itu lebih tampan dan gagah daripada Pangeran Kian Liong! Maka diam-diam Ouw Yan Hui lalu memberitahukan kepada Syanti Dewi tentang pilihan itu, dan minta kepada Syanti Dewi untuk menentukan pilihannya. “Adikku, kalau Sang Pangeran tidak mungkin dimasukkan sebagai calon, maka pilihan kita hanya ada empat orang yang patut menjadi calon jodohmu. Aku sudah melihat sendiri mereka itu dan di antara tamu, dan memang hasil penyelidikan orang-orang kita itu cukup tepat. Mereka adalah pria-pria pilihan, Adikku.” Syanti Dewi tersenyum pahit. “Tentu saja Pangeran Kian Liong boleh juga disebut calon, mengapa tidak?” Jawaban ini tentu saja berani dikemukakan setelah dia bercakap-cakap dengan Sang Pangeran malam tadi di taman, sebelum terjadi penyerbuan. Biarpun dia belum melihat empat orang yang dicalonkan itu, namun hatinya sudah merasa yakin bahwa tidak mungkin dia dapat memilih seorang di antara mereka, maka dia sudah mengambil keputusan untuk “memilih” Pangeran Kian Liong saja, agar dia dapat keluar dari pulau ini tanpa menyakitkan hati Ouw Yan Hui. Mendengar ini, Ouw Yan Hui memandang dengan wajah berseri. “Yakin benarkah engkau bahwa beliau boleh dimasukkan sebagai calon?” “Mengapa tidak, Enci? Dia juga seorang pria dan dia suka kepadaku bukan?” Tentu saja hati Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui girang sekali. Memang itulah yang diharapkan. Kalau saja Syanti Dewi dapat menjadi isteri Pangeran Mahkota, menjadi calon permaisuri! Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya menembus celah-celah daun di pohon-pohon, para tamu dipersilakan datang ke ruangan luas di depan, di mana telah dipersiapkan ruangan pesta dan diatur meja-meja yang dikelilingi bangku-bangku untuk tempat makan minum. Berbondong-bondong para tamu mendatangi ruangan itu dan suasana meriah sekali karena selain tempat itu dihias dengan kertas-kertas berwarna dan bunga-bunga, juga diramaikan dengan musik yang dimainkan oleh wanita-wanita muda. Setelah semua tamu duduk, jumlah mereka tidak kurang dari seratus lima puluh orang dari bermacam golongan, segera dihidangkan teh wangi berikut kwaci dan beberapa macam kuih kering. Kemudian, seorang wanita muda cantik yang memiliki suara bening dan terang juga lantang, yang bertugas sebagai pengatur acara, memberitahukan bahwa sebelum pesta dilanjutkan dengan hidangan, akan dilakukan pembukaan barang-barang hadiah di depan para tamu. Suasana menjadi gembira ketika beberapa orang wanita pembantu mulai membuka barang-barang hadiah yang bertumpuk di atas meja besar itu. Setiap bungkusan yang dibuka, diteriakkan nama penyumbangnya oleh seorang wanita dan benda sumbangan itu diangkat ke atas dengan kedua tangan oleh seorang wanita lain yang berdiri di tempat tinggi sehingga dapat kelihatan oleh semua tamu benda yang disebutkan nama penyumbangnya itu. Para tamu kadang-kadang mengeluarkan seruan kagum apabila ada bungkusan yang terisi barang sumbangan yang amat indah dan yang luar biasa mahalnya, merupakan benda yang sukar ditemukan. Agaknya para penyumbang itu hendak berlumba untuk memikat hati sang juita melalui barang-barang sumbangan itu. Akan tetapi bungkusan terakhir dari barang-barang hadiah itu membuat semua tamu menahan napas dan memang hal ini disengaja oleh Ouw Yan Hui, yaitu membuka benda hadiah sumbangan dari pemuda hartawan Thio Seng Ki yang ternyata merupakan seuntai kalung bermata berlian sebesar biji-biji lengkeng, berlian yang berkeredepan mengeluarkan cahaya berkilauan dan ruangan itu seolah-olah memperoleh tambahan sinar yang terang. Setelah menahan napas, kini terdengar seruan-seruan kagum dan jelas bahwa seruan-seruan ini melebihi kekaguman mereka terhadap benda-benda berharga yang telah diperlihatkan tadi. “Sumbangan ini datang dari Tuan Muda Thio Seng Ki dari kota Cin-an!” demikian terdengar suara wanita yang membuat laporan. Terdengar tepuk tangan dan suara ini disusul oleh tepuk tangan para tamu-tamu lain tanda bahwa mereka semua mengenal barang indah dan mahal. Tanpa dinyatakan sekalipun semua tamu dapat merasakan bahwa dalam hal hebatnya sumbangan, orang muda she Thio itu jelas menduduki tingkat paling atas dan hal ini saja sudah menguntungkan dia dalam penilaian Puteri Syanti Dewi. Semua mata kini melirik ke arah puteri itu dan memang sejak mereka semua berkumpul di tempat itu, Syanti Dewi merupakan sesuatu yang memiliki daya tarik seperti besi semberani, membuat para tamu sukar untuk tidak melirik ke arahnya. Syanti Dewi mengenakan pakaian Puteri Bhutan, dengan sutera hijau tipis membalut tubuhnya dari kepala, ke leher terus ke bawah, seolah-olah hanya dibelitkan saja akan tetapi dengan cara yang demikian luwes dan menarik. Di balik sutera hijau yang tipis menerawang ini nampaklah lapisan pakaian dalam, dari pinggang ke bawah berwarna merah muda dan dari pinggang ke atas berwarna kuning. Ikat pinggangnya berwarna biru, sepatunya berwarna coklat. Rambutnya yang hitam itu nampak membayang di balik kerudung sutera hijau itu, dan nampak hiasan rambut dari emas bertaburan intan dan mutu manikam. Betapa pun indahnya semua pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuh puteri ini, semua itu nampaknya menyuram apabila dibandingkan dengan wajah itu sendiri. Tanpa wajah yang gemilang dan berseri, cantik jelita dan mengandung kemanisan yang kadang-kadang menyejukan hati kadang-kadang menggairahkan berahi itu, kiranya semua pakaian dan perhiasan itu tidak akan ada artinya. Setiap gerak-geriknya begitu luwes dan pantas, membuat para pria yang memang sejak lama tergila-gila kepadanya kini menelan ludah dengan pandang mata yang sukar dialihkan. Di samping kiri Sang Puteri itu duduk Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang juga nampak cantik dan anggun, sungguhpun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Syanti Dewi. Dan di sebelah kanan Sang Puteri itu duduklah dengan amat tenangnya Pangeran Kian Liong. Pangeran ini adalah seorang yang bijaksana dan pandai, maka biarpun dia hanya memandang dari jauh, dia dapat mengetahui dengan pasti bahwa benda yang diperlihatkan tadi, seuntai kalung tadi, berharga jauh lebih mahal daripada semua barang sumbangan tadi dijadikan satu! Seuntai kalung itu saja sudah dapat dijadikan modal membuka sebuah toko yang besar! Sungguh merupakan benda yang amat langka dan amat mahal, maka diam-diam dia kagum kepada pemberinya. Hanya orang yang sungguh-sungguh serius sajalah yang mau menyumbangkan benda semahal itu. Kalau Syanti Dewi menjadi isteri penyumbang ini, jelas bahwa dia akan menjadi isteri seorang yang kaya-raya. Apalagi penyumbang itu sendiri, yang bernama Tuan Muda Thio Seng Ki, ternyata adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang cukup ganteng, seperti yang dapat dilihatnya dari tempat duduknya ketika benda itu diumumkan dan Syanti Dewi kelihatan mengangguk ke arah pemuda penyumbang itu! Itulah calon pertama, pikir Sang Pangeran. Kemudian hadiah-hadiah berupa lukisan, tulisan-tulisan lian, yaitu sajak-sajak berpasangan, dan sajak-sajak serta tulisan-tulisan indah juga dipamerkan satu demi satu, dan diumumkan nama para penyumbangnya. Ketika nama pemuda Yu Cian disebut dengan sumbangannya berupa sajak, semua orang segera menaruh perhatian, terutama sekali di kalangan mereka yang memperhatikan tentang sastra. Bahkan Sang Pangeran sendiri tertarik, karena dia pun sudah mendengar akan nama pemuda yang menggondol juara pertama ini, yang kabarnya amat menonjol keahliannya membuat sajak dan tulisan. Memang tulisan itu amat indah gayanya, akan tetapi tidak mungkin dapat terbaca oleh para tamu yang duduk agak jauh, maka terdengarlah Sang Pangeran berkata, “Harap sajak-sajak dari Yu Cian Siucai itu dibacakan!” Mendengar anjuran Pangeran ini, beberapa orang berteriak mendukung dan akhirnya sebagian besar dari para tamu mendukungnya. Syanti Dewi mendengar Sang Pangeran berkata kepadanya di antara suara bising itu, “Enci, sudah sepatutnya kalau engkau minta penulis sajak untuk membacanya sendiri.” Syanti Dewi tidak tahu mengapa Sang Pangeran berkata demikian, akan tetapi karena dia pun mengenal baik Yu Cian yang merupakan seorang kenalan yang selalu bersikap sopan terhadap dia, maka dia pun tanpa ragu-ragu lagi lalu bangkit berdiri. Begitu wanita ini bangkit berdiri, semua suara pun sirep dan keadaan menjadi hening, maka terdengarlah dengan jelas suara Syanti Dewi yang bening dan halus, “Memenuhi permintaan para saudara, maka kami mohon sukalah Yu Cian Siucai membacakan sendiri sajak yang ditulisnya!” Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai yang riuh rendah dan dengan muka yang berobah merah sekali terpaksa Yu Cian bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan dengan langkah-langkah tenang dia menuju ke tempat para pembantu wanita yang membuka barang-barang hadiah sumbangan itu. Setelah menerima gulungan kain tulisannya, dia lalu menjura dengan hormat ke arah Pangeran, Syanti Dewi dan Ouw Yan Hui, dan semua tamu memandang kepada pemuda ini dengan kagum. Seorang pemuda yang tampan dan memang patutlah kalau dia menjadi siucai tauladan yang lulus sebagai juara di kota raja. Suasana menjadi hening sekali sehingga kini, suara pemuda itu membacakan sajaknya terdengar satu-satu dengan jelas. “Cantik Indah bagai bunga anggrek harum semerbak bagaikan bunga mawar merdu merayu bagaikan sumber air,Gilang gemilang seperti fajar menyingsingredup syahdu seperti sang senjakala duhai Bunga Pulau Ular Emas! Tiada sesuatu mampu kupersembahkan kecuali seuntai sajak bisikan kalbu disertai hati yang subur basah tempat Sang Bunga mekar berseri.” Cara pemuda pelajar itu membaca sajaknya sungguh amat mengesankan. Suaranya halus bening dan mengandung getaran karena pembacaan itu dilakukan sepenuhnya perasaannya sehingga seolah-olah dia sedang memuji-muji kecantikan Syanti Dewi secara terbuka, demikian terasa oleh semua orang sehingga suasana menjadi mengharukan. Bahkan setelah pemuda itu selesai membaca sajak, suasana masih menjadi hening sekali. Baru setelah pemuda itu menyerahkan kembali gulungan sajak, kemudian memberi hormat kepada Syanti Dewi dan Pangeran, meledaklah tepuk tangan dan sorak-sorai memuji. Pangeran Kian Liong sendiri bertepuk tangan memuji dan memang dia merasa kagum sekali kepada pemuda itu. Sajak itu sepenuhnya mengandung pujian hati seorang pria yang sedang dilanda asmara! Syanti Dewi diumpamakan bunga anggrek, ratu segala bunga yang seolah-olah tidak pernah layu dibandingkan dengan semua di dunia ini, kemudian harum seperti bunga mawar bunga yang keharumannya tidak pernah lenyap biarpun bunganya sendiri telah lama layu! Dan suara apakah yang melebihi kemerduan suara gemericik air sumber yang tidak pernah berhenti, mengandung dendang asmara yang kekal? Kemudian dalam pemujaannya, Syanti Dewi dinyatakan gilang-gemilang seperti fajar menyingsing dan redup syahdu seperti sang senjakala. Memang tiada keindahan yang begitu menggetarkan hati yang peka melebihi keindahan fajar menyingsing di kala matahari mulai timbul sebagai bola besar kemerahan yang berseri-seri, dan keredupan senjakala di waktu matahari tenggelam yang menciptakan warna- warna dan bentuk-bentuk awan yang luar biasa indahnya di langit barat. Kemudian, yang amat mengharukan, pemuda itu tidak mampu mempersembahkan apa-apa kecuali sajak yang disertai sebuah hati yang akan selalu menghidupkan sang Bunga dengan luapan cinta kasih yang diumpamakan keadaan hati yang subur dan basah selalu! Pemberian seperti inilah yang dinantikan oleh setiap orang wanita, yaitu kasih sayang pria dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, bukan segala macam benda berharga kalau diberikan dengan hati yang kering dan tandus! Dengan muka kemerahan, pemuda sastrawan itu kembali ke tempat duduknya semula. Kini Sang Pangeran menjadi bimbang. Dua orang itu, Thio Seng Ki yang tampan dan kaya raya, dan Yu Cian yang tampan dan ahli sastra, merupakan dua orang calon yang kuat sekali. Menjadi isteri Thio Seng Ki, Syanti Dewi akan berenang dalam lautan harta, sebaliknya menjadi isteri Yu Cian, dara itu akan berenang dalam lautan kemesraan! Diam-diam Ouw Yan Hui merasa girang betapa dia telah berhasil “memperkenalkan” dua di antara calon-calon itu secara tidak langsung kepada semua orang. Kini hidangan mulai dikeluarkan dan pelapor acara memberitahu bahwa akan dimainkan tari-tarian untuk menghibur para tamu. Mulailah pesta yang meriah itu. Para tamu makan minum hidangan-hidangan yang istimewa, musik dibunyikan keras-keras dan nampaklah penari-penari yang muda-muda dan cantik-cantik menari dengan lemah-gemulai di panggung yang agak tinggi itu. Para tamu makan minum sambil menikmati tontonan yang amat menarik itu. Karena ada hidangan dan tontonan tarian, maka baru sekaranglah para tamu agak “melupakan” Syanti Dewi sehinga hanya beberapa orang saja yang dapat melihat ketika wanita itu meninggalkan tempat duduknya menuju ke dalam. Setelah beberapa macam tarian disajikan, tiba-tiba Ouw Yan Hui bangkit berdiri dan dengan suaranya yang nyaring dia mengumumkan, “Mohon perhatian Cu-wi yang mulia! Dengan penuh rasa terima kasih atas perhatian Cu-wi yang budiman, maka sekarang adik kami, Syanti Dewi, akan menghibur Cu-wi dengan sebuah tarian istimewa dari Bhutan!” Musik berbunyi lagi, dan kini terdengar lagu yang asing, yaitu lagu Bhutan dan dari dalam muncullah Syanti Dewi. Semua orang menahan napas penuh kagum melihat betapa puteri itu dengan pakaian yang serba mewah meriah, memakai selendang kuning muda yang panjang, berlari-lari seperti terbang saja, seperti bidadari terbang dalam dongeng, dari dalam dan menuju ke panggung. Meledaklah suara tepuk sorak menyabut-nya. Demikian gemuruh sorak-sorai ini sehingga menenggelamkan suara musik. Baru setelah sorak-sorai itu berhenti, Syanti Dewi yang kini sudah berjongkok dengan sikap manis sambil menyembah, mulai bangkit dan diikuti irama tetabuhan yang merdu mulailah dia menari! Memang indah sekali tarian itu. Syanti Dewi bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga memiliki keluwesan dan dia memang merupakan seorang ahli dalam tari-tarian Bhutan yang dipelajarinya ketika dia masih kecil. Maka ketika dia menari semua orang terpesona dan sesaat mereka bengong sehingga suasana di antara penonton menjadi hening. Tari- tarian asing yang belum pernah ditonton memang selalu mempesonakan orang. Kalau orang sudah terbiasa, pesona itu semakin berkurang. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa gerakan menari dari Syanti Dewi amat indah, sehingga Pangeran Kian Liong sendiri yang sudah sering menyaksikan tari-tarian halus, merasa amat kagum. Kalau para tamu itu terpesona dan penuh kagum, dapat dibayangkan bagaimana hebatnya pengaruh tarian itu pada hati Wan Tek Hoat! Pendekar ini juga ikut menonton dari tempat sembunyiannya, dan dia tidak pernah berkedip mengikuti gerak-gerik Syanti Dewi dengan pandang matanya. Melihat kekasihnya secantik itu, menari seindah itu, terkenanglah dia akan segala keadaannya bersama kekasihnya itu, dan tak dapat ditahannya lagi matanya menjadi basah dan air mata perlahan-lahan menitik turun di atas pipinya yang tertutup cambang. “Syanti.... Syanti.... kekasihku....” demikian hatinya merintih-rintih penuh kerinduan dan rasa nyeri, karena kini semakin nampaklah olehnya betapa wanita itu sungguh tidak pantas menjadi kekasihnya, apalagi kalau dia mengingat betapa dia telah berkali-kali melakukan hal yang amat menyakitkan hati puteri itu. Dan kini, melihat keadaan Sang Puteri yang begitu dipuja ratusan orang pria-pria pilihan, bahkan telah menjadi akrab dengan Sang Putera Mahkota, Pangeran yang amat tinggi kedudukannya dari kota raja, kemudian menengok kepada keadaan dirinya sendiri, seorang jembel miskin yang tidak punya apa-apa, bahkan namanya pun telah dilupakan orang, dia melihat perbedaan yang amat mencolok dan semakin terasalah dia betapa dia adalah seorang yang kurang terima, orang yang tidak menengok keadaan diri sendiri dan telah bersikap keterlaluan kepada puteri itu! Dan Syanti Dewi begitu setia, begitu suci murni, sehingga sampai sekarang pun belum melayani pria lain! Dan puteri sesuci itu pernah dia fitnah, dia tuduh telah berjina dengan orang lain, telah menjadi pemberontak dan mengkhianati Raja Bhutan, ayahnya sendiri (baca ceritaJodoh Rajawali)! Mengingat akan hal ini, kembali dua titik air mata menetes turun. Sorak-sorai dan tepuk tangan meledak ketika Syanti Dewi mengakhiri tariannya. Dengan langkah-langkah yang seolah-olah tidak menyentuh lantai Sang Puteri kembali ke dalam gedung itu, diikuti sorak-sorai memuji-mujinya dari segenap tamu, termasuk juga Sang Pangeran. Ouw Yan Hui telah memberi isyarat kepada wanita pengatur acara, dan wanita ini lalu bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan, minta kepada semua tamu agar tenang kembali. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring, “Atas permintaan dari Ouwyang-toanio sebagai nyonya rumah, kami mohon kepada Tuan Muda Kui Lun Eng untuk tampil ke depan dan membantu pesta agar meriah dengan permainan musiknya!” Mendengar disebutnya nama ini, banyak di antara tamu yang mengenalnya menyambut dengan tepuk tangan. Nama Kui Lun Eng ini amat terkenal, bahkan Pangeran Mahkoka juga mengenal nama ini sebagai seorang ahli musik dan pelukis yang memiliki kepandaian luar biasa. Dari rombongan tamu bangkitlah seorang pemuda jangkung yang kemudian melangkah dengan tenang ke arah panggung, memberi hormat kepada Pangeran dan Ouw Yan Hui, kemudian berkata, “Saya akan menanti sampai kembalinya Nona Syanti Dewi.” Kemudian, diiringi suara ketawa para tamu yang maklum akan maksud kata-kata itu, yakni bahwa ahli musik itu hanya ingin main musik kalau didengarkan oleh Syanti Dewi, pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun melangkah ke arah rombongan pemain musik, yaitu para wanita muda yang duduk di sudut. Dengan enak, karena agaknya sudah biasa dengan alat-alat musik, dia mencoba-coba suara beberapa buah yang-kim, dipilihnya sebuah dan diletakkan di depannya sedangkan dia duduk bersila di panggung pemain musik itu. Kemudian, dia mengeluarkan sebatang suling bambu dari saku bajunya yang sebelah dalam. Tiba-tiba terdengar tepuk tangan riuh rendah ketika Syanti Dewi muncul kembali, kini dengan pakaian serba hijau dan duduk di tempat semula setelah mengangguk sebagai pernyataan terima kasih atas sambutan para tamu. Melihat munculnya nona itu, Kui Lun Eng lalu mulai dengan permainan yang-kimnya. Mula-mula hanya terdengar beberapa nada berkentringan saling kejar, lambat-lambat dan lirih-lirih saja, akan tetapi makin lama kejar-kejaran nada itu semakin cepat dan semakin keras dan mulailah terdengar lagu yang dinyanyikan yang-kim itu dengan amat indahnya. Makin keraslah suara yang-kim itu dan kini semua orang yang mengenal lagu itu tahu bahwa itu adalah lagu perang, sedangkan yang tidak mengenal lagu itu pun dapat menduga bahwa itu tentulah lagu perang karena mereka seperti mendengar derap kaki ribuan kuda di dalamnya, lalu pekik-pekik kemenangan, rintihan-rintihan orang terluka, suaranya senjata berdencing dan saling beradu, semua itu tercakup ke dalam suara nada-nada yang naik turun itu. Bukan makn! Sang Pangeran sendiri sampai terpesona. Belum pernah dia mendengar orang bermain yang-kim seindah itu. Begitu hidup suara itu, bukan sekedar nada-nada kosong belaka, melainkan setiap rangkaian nada seperti menceritakan sesuatu sehingga terbayanglah cerita dari nada-nada itu. Bahkan dia seperti melihat darah mengalir dan debu mengepul tinggi! Ketika suara yang-kim itu mencapai puncaknya dalam kecepatan lalu diakhiri dengan suara seperti sorak kemenangan, suara itu berhenti tiba-tiba dan para pendengar yang tadinya seperti terpukau, seolah-olah mereka merasakan terseret dalam suasana perang yang mengerikan, tiba-tiba seperti baru sadar dan kembali ke dalam nyata. Maka meledaklah sorak-sorai dan tepuk tangan mereka. Dengan tenang Kui Lun Eng mengangguk ke arah mereka dan kini dia mulai meniup sulingnya, bukan dengan dua tangan, melainkan hanya dengan tangan kanan saja dan tangan kirinya mulai menggerayangi yang-kim kembali. Dan kini terdengarlah paduan suara yang-kim dan suling dimainkan oleh dua tangan itu dan kembali semua orang tenggelam ke dalam pesona suara yang amat luar biasa. Paduan suara itu demikian serasinya, mengalunkan lagu percintaan yang syahdu, menghayutkan perasaan ke suasana yang amat mesra, kadang-kadang menjadi halus merdu dan mengandung duka dan patah hati. Memang hebat sekali permainan musik orang ini. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh suara musik itu pada wajah para pendengarnya. Wajah-wajah itu, biarpun di antaranya terdapat banyak wajah yang biasa dengan kekerasan, kadang-kadang tak dapat menguasai lagi keharuan hati sehingga menjadi layu, bahkan ada yang menitikkan air mata! Syanti Dewi sendiri tak dapat bertahan ketika lagu itu tiba di bagian yang sedih, seperti hati yang meratap-ratap dan menjerit-jerit. Puteri ini teringat akan keadaan dirinya sendiri yang menjadi korban cinta, maka dia pun tidak kuasa menahan air matanya dan beberapa kali menyapu air mata dari pipi dengan saputangannya. Semua ini dapat dilihat oleh Tek Hoat dan pendekar ini pun ikut menangis dengan diam-diam! Dia merasa jantungnya perih. Bukan air mata lagi yang mengalir dari matanya, akan tetapi seolah-olah jantungnya mengalir air mata darah. Ketika akhirnya suara musik itu terhenti, Sang Pangeran sendiri bangkit bertepuk tangan memuji, diikuti semua tamu yang benar-benar merasa kagum. Kui Lun Eng bangkit berdiri dan menjura ke arah Syanti Dewi dan Pangeran, wajahnya agak pucat karena permainan tadi dilakukan dengan sepenuh perasaannya sehingga selain makan banyak tenaga batin, juga menyeretnya ke dalam keharuan. Kemudian dengan masih diiringi tepuk sorak, dia kembali ke tempat duduknya semula. Diam-diam Sang Pangeran melihat adanya calon yang baik pada diri pemuda ahli musik ini. Patut pula menjadi calon suami Syanti Dewi, pikirnya. Sudah ada tiga orang muda yang pantas menjadi calon, yaitu Thio Seng Ki Si Hartawan, Yu Cian Si Sastrawan, dan Kui Lun Eng Si Seniman. Akan tetapi sayang, ketiganya adalah orang-orang yang lemah, tidak memiliki kepandaian silat, pikir Sang Pangeran. Padahal, dia tahu betul bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita yang lihai ilmu silatnya. Bahkan dia sudah melihat sendiri betapa wanita itu memiliki gin-kang yang amat luar biasa, membuat dia dapat berlari seperti terbang dan bergerak dengan amat cepatnya! Mungkinkah seorang wanita gagah dan lihai ini berjodoh dengan seorang pria yang tidak mengenal ilmu silat? Kini Ouw Yan Hui bangkit berdiri lagi. Hatinya senang karena tanpa terlalu kentara, dia telah menonjolkan tiga orang calon jodoh Syanti Dewi. Kini tinggal memperkenalkan calon keempat dan untuk itu pun dia tidak kekurangan akal. Dari para penyelidiknya dia sudah mendengar bahwa Si Pendekar Budiman Lie Siang Sun adalah orang yang tepat pula menjadi calon, dibandingkan dengan ahli-ahli silat, juga Lie Siang Sun ini terkenal sebagai pendekar yang budiman, tak pernah tercela namanya dan masih belum menikah pula. Dengan suara lantang Ouw Yan Hui lalu berkata, “Adik kami yang ulang tahunnya dirayakan adalah orang yang suka sekali melihat pertunjukan ilmu silat. Oleh karena itu, pesta ini tidak akan lengkap kalau tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Kami tahu bahwa di antara para tamu terdapat banyak sekali ahli silat. Dan setelah memeriksa daftar nama para tamu, kami minta dengan hormat kepada Pendekar Budiman Lie Siang Sun, sudilah kiranya memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan ilmu silatnya.” Kembali banyak di antara para tamu yang bertepuk tangan karena selain nama Pendekar Budiman sudah terkenal dan banyak orang menaruh kagum kepadanya, juga mereka yang merasa memiliki kepandaian silat merasa lega ada orang lain yang disuruh maju lebih dulu. Tentu saja untuk maju sebagai orang pertama mendatangkan perasaan sungkan dan malu-malu. Seorang pria yang usianya tiga puluh tiga tahun, bangkit berdiri dan nampak betapa tubuhnya itu tinggi tegap dan gagah perkasa, sikapnya sederhana seperti juga pakaiannya. Di punggungnya nampak tergantung sebatang pedang dan dengan langkah yang lebar tegap namun tenang, orang ini berjalan menuju panggung. Dengan sopan dia memberi hormat ke arah Syanti Dewi, Ouw Yan Hui dan Pangeran Kian Liong, sambil berkata, “Sebutan Pendekar Budiman dan ahli silat bagi saya sungguh terlalu dilebihkan, akan tetapi karena saya hanya bisa menyumbangkan sedikit ilmu silat yang pernah saya pelajari untuk memeriahkan pesta ini, maka harap Pangeran, Nona dan Toanio, juga Cu-wi yang hadir di sini suka memaafkan jika pertunjukan ini kurang berharga.” Setelah mengangguk ke empat penjuru, mulailah Pendekar Budiman Lie Siang Sun menggerakkan kaki tangannya. Mula-mula ia bersilat dengan lambat, akan tetapi semakin lama semakin cepat dan gerakan-gerakannya gesit pukulan-pukulannya mantap dan kadang-kadang kedua kakinya yang berloncatan itu tidak menimbulkan suara sedikit pun seperti langkah-langkah seekor kucing, akan tetapi adakalanya geseran-geseran kedua kakinya mendatangkan getaran dan membuat panggung berderak-derak! Memang harus diakui bahwa ilmu silat tangan kosong yang dimainkan oleh pendekqr ini cukup hebat dan juga indah dan bersih, ciri khas dari cabang ilmu persilatan para pendekar yang mengutamakan keindahan dan ketangguhan, bersih dari cara-cara yang curang. Tek Hoat juga menonton secara sepintas lalu saja karena sebagaian besar perhatiannya selalu tertuju kepada Syanti Dewi, mengerti bahwa pemuda ini memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai dan juga Bu-tong-pai, dan memiliki tingkat yang cukup tinggi, maka patutlah kalau dia disebut pendekar. Setelah mainkan ilmu silat tangan kosong sebanyak tiga puluh enam jurus, tiba-tiba Lie Siang Sun mengeluarkan bentakan nyaring dan nampaklah sinar berkelebat yang segera bergulung-gulung dan ternyata dia telah mencabut dan mainkan pedangnya. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga kebanyakan dari para tamu tidak melihat kapan pedang itu dicabutnya dan kini pun pedang itu tidak nampak karena telah berobah menjadi gulungan sinar saking cepatnya dimainkan! Tepuk sorak menyambut permainan pedang ini dan memang Bu-tong Kiam-sut terkenal dengan keindahan gerakannya. Banyak para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw mengangguk-anggukkan kepala, dan memuji ketangkasan pendekar itu. Pangeran Kian Liong tidak mempelajari praktek ilmu silat secara mendalam, namun pengetahuannya tentang ilmu silat cukup banyak sehingga dia pun mengenal keindahan dan ketangguhan ilmu pedang ini, maka dia merasa kagum sekali. Dia pun diam-diam merasa setuju kalau pendekar muda ini dijadikan calon pula karena memang cukup pantaslah pemuda ini menjadi pelindung atau suami Syanti Dewi. Setelah Lie Siang Sun selesai bersilat pedang dan sudah menyimpan kembali pedangnya lalu memberi hormat ke arah deretan Pangeran, para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan memuji. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yang Hui yang tadi telah memperoleh bisikan dari Pangeran Kian Liong yang cerdik itu. “Cu-wi, seperti yang mungkin Cu-wi telah dengar dari kabar-kabar angin, pada kesempatan merayakan ulang tahun adik kami Syanti Dewi ini, kami telah memilih calon-calon untuk dipilih sebagai jodoh adik kami Syanti Dewi.” Para tamu menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai dan Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berobah pucat. Biarpun dia sudah tahu akan hal ini, akan tetapi begitu tiba saatnya diumumkan, dia merasa jantungnya seperti ditusuk! Dia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, di tempat persembunyiannya, Tek Hoat juga memejamkan matanya karena merasa hatinya seperti diremas-remas mendengar betapa di situ telah dipilih calon-calon jodoh untuk Syanti Dewi. Setelah sorak-sorai berhenti, Ouw Yan Hui melanjutkan kata-katanya, “Pertama-tama kami mengumumkan pemilihan kami, yaitu Thio Seng Ki. Ke dua adalah Yu Cian, ke tiga Kui Lun Eng, dan ke empat adalah Lie Siang Sun! Cu-wi telah menyaksikan sendiri kecakapan mereka dalam ilmu kepandaian masing-masing, sedangkan Thio-kongcu telah memberi sumbangan yang sedemikian besar nilainya.” Kembali terdengar sorakan menyambut, akan tetapi tidak sehebat tadi karena kini banyak yang merasa kecewa karena nama mereka tidak disebut. Banyak yang mulai digoda rasa iri hati terhadap empat orang yang dipilih sebagai calon itu! Tiba-tiba terdengar suara nyaring di antara penonton, “Bagaimana menentukan pemenang di antara calon-calon yang kepandaiannya berbeda-beda itu? Kalau berdasarkan kekayaan, tentu orang she Thio yang menang, kalau berdasarkan ilmu silat, tentu orang she Lie yang menang!” Orang-orang tidak memperhatikan lagi siapa yang bicara, akan tetapi semua tamu merasa setuju dengan ini dan keadaan menjadi bising. Ouw Yan Hui mengangkat kedua tangan ke atas dan baru dia mengakui bahwa akal yang dibisikkan oleh Pangeran kepadanya tadi memang baik sekali, karena kalau tidak, dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan orang itu. “Harap Cu-wi mendengarkan dengan tenang!” kata Ouw Yan Hui dan karena dia mengeluarkan kata-kata ini disertai khi-kang, maka suaranya mengatasi semua kegaduhan dan para tamu lalu diam. “Cu-wi yang mulia! Biarpun ada terdapat calon-calon yang telah kami pilih, akan tetapi penentuannya siapa yang akan terpilih tentu saja sepenuhnya berada di tangan adik kami. Oleh karena itu, mereka berempat itu akan diuji. Siapa di antara mereka yang dapat menangkap Adik Syanti Dewi selama terbakarnya setengah bagian dupa, maka dialah yang dianggap memenuhi syarat dan menang, dan berhak untuk membicarakan tentang jodoh dengan adik kami!” Kembal para tamu menjadi, berisik ketika mendengar pengumuman ini dan semua orang merasa bahwa aturan ini berat sebelah. Tentu saja yang akan menang adalah Si Pendekar Budiman, karena tiga orang calon-calonnya lainnya hanya orang-orang yang lemah, mana mungkin dapat menangkap Syanti Dewi yang terkenal lihai itu? Akan tetapi, empat orang calon itu adalah orang-orang yang cerdas, maka mereka pun mengerti maksudnya pengumuman ini. Itu adalah suatu cara halus untuk memberi kesempatan kepada Sang Puteri untuk menentukan pilihan tanpa mengeluarkan kata-kata, hanya dengan membiarkan dirinya tertangkap oleh calon yang dipilihnya. Dan memang benarlah pendapat mereka ini karena tadi Sang Pangeran berbisik kepada Ouw Yang Hui, bertanya apakah Si Pendekar Budiman itu akan mampu menangkap Syanti Dewi selama setengah batang hio terbakar habis, dan dijawab dengan pasti oleh Ouw Yan Hui bahwa hal itu tidak mungkin dapat terjadi kalau Syanti Dewi tidak menghendakinya, karena gin-kang yang dikuasai oleh Syanti Dewi sudah setingkat dengan dia sendiri. Jawaban inilah yang meyakinkan hati Sang Pangeran untuk mempergunakan akal untuk membiarkan Syanti Dewi memilih dan disetujui pula oleh Ouw Yan Hui. Sementara itu, wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali mendengar pengumuman itu dan dia menoleh dan memandang ke arah Sang Pangeran karena dia dapat menduga bahwa tentu Ouw Yan Hui mengeluarkan pengumuman itu setelah berdamai dengan Sang Pangeran Kian Liong juga memandang kepadanya, tersenyum mengangguk sambil berbisik lirih, “Nah, pemilihannya sepenuhnya berada kepadamu, Enci Syanti!” Maka mengertilah Syanti Dewi bahwa memang hal itu sengaja diumumkan agar dia dapat menentukan pilihannya di antara empat orang calon itu. Wan Tek Hoat yang sejak tadi mengintai dengan hati yang perih, mengerti pula akan maksud dari ujian menangkap Syanti Dewi itu dan diam-diam dia pun setuju karena hal itu berarti memberi kesempatan kepada Syanti Dewi sendiri untuk menentukan pilihannya. Diam-diam dia pun ikut membanding-bandingkan antara empat orang itu dan dia melihat bahwa mereka itu memang merupakan orang-orang yang pilihan dan pantas menjadi jodoh Syanti Dewi, jauh lebih pantas dibandingkan dengan dia. Akan tetapi dia ikut mengharapkan agar Syanti Dewi tidak memilih Pendekar Budiman, karena mempunyai suami seorang pendekar berarti menjadi isteri orang yang banyak dimusuhi orang lain. Sementara itu, melihat betapa Syanti Dewi hanya duduk dengan kepala ditundukkan dan muka merah, Ouw Yan Hui lalu berbisik, “Hayo, majulah Adikku, tentukan pilihanmu!” Syanti Dewi mengangkat mukanya, lalu bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan riuh dia lalu melangkah ke tengah panggung, berdiri menghadap ke arah tamu sambil tersenyum dengan muka merah. “Dipersilakan calon pertama, Thio Seng Ki untuk maju!” Ouw Yan Hui berseru dan kembali orang-orang bersorak ketika melihat pemuda hartawan itu bangkit dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi dengan muka merah dan sikap malu-malu pula. Seorang pembantu lalu menyalakan hio yang sudah dipotong setengahnya, lalu menancapkan hio sepotong itu di atas meja yang sudah dipersiapkan. Pembantu ini segera mundur dan Syanti Dewi yang sudah mengenal pemuda she Thio itu lalu menjura dan berkata, “Silakan mulai, Thio-kongcu.” “Maafkan saya....” Thio Seng Ki lalu mulai bergerak hendak menangkap atau memegang lengan tangan Syanti Dewi, akan tetapi wanita ini melangkah mundur dan mengelak. Thio Seng Ki melangkah maju dan terus mengejar, akan tetapi dia seperti mengejar bayangan saja. Tangan yang kecil halus itu kelihatan begitu dekat, akan tetapi begitu sukar ditangkap bahkan untuk menjamahnya sedikit pun amatlah sukarnya. Hanya keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian puteri itu saja yang dapat ditangkap oleh hidungnya. Makin lama, makin penasaran dan khawatirlah hati pemuda hartawan itu. Dengan hartanya yang bertumpuk-tumpuk, dengan kemudaan dan ketampanannya, juga nama baiknya, dia mengira bahwa dia akan pasti dapat memperoleh dara manapun juga yang dikehendaki atau diinginkannya. Akan tetapi mengapa Syanti Dewi selalu mengelak. Karena penasaran, juga karena dia ingln sekali menang dalam pemilihan jodoh ini, dia mengejar terus dan biarpun dia tidak pandai ilmu silat, dia mengejar dengan secepatnya sampai kadang-kadang terhuyung-huyung apabila tangkapannya dielakkan tiba-tiba oleh Syanti Dewi. Pertunjukan ini amat menegangkan, lucu dan menarik sehingga mulailah terdengar suara ketawa dan teriakan-teriakan mengejek apabila tubrukan atau tangkapan dari pemuda hartawan itu luput. Akhirnya hio yang setengahnya itu habis terbakar. “Waktunya habis, calon pertama telah gagal!” Demikian pengumuman pembantu wanita dan terpaksa Thio Seng Ki menghentikan usahanya. Wajah dan lehernya basah oleh keringat dan Syanti Dewi lalu menjura dan memberi hormat. “Harap Kongcu suka memaafkan saya.” Thio Seng Ki menarik napas panjang, kecewa sekali, akan tetapi dia membalas penghormatan itu sambil berkata, “Sudahlah, saya yang tidak mampu dan tidak beruntung, Nona.” Dia pun mengundurkan diri, duduk di kursinya kembali, disambut sorakan para tamu, terutama mereka yang tadi merasa iri karena tidak memperoleh kesempatan. “Dipersilakan calon ke dua, Yu Cian untuk maju!” kembali Ouw Yan Hui berseru. Sastrawan muda itu tersenyum, bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi. Juga sastrawan ini disambut oleh suara ketawa karena semua orang maklum bahwa kalau wanita itu tidak menghendaki, biar sampai selama hidup pun sastrawan lemah ini tak mungkin akan dapat menyentuh Syanti Dewi. Akan tetapi Yu Cian kelihatan tenang menanti sampai sebatang hio yang sudah dipatahkan menjadi dua itu terbakar. “Silakan, Yu-siucai.” kata Syanti Dewi yang menyebut siucai kepada sastrawan yang telah lama dikenalnya ini. Yu Cian mengangguk dan dia lalu melangkah maju, tangannya digerakkan dengan sikap sopan untuk menyentuh tangan Syanti Dewi. Wanita itu menarik tangannya. Yu Cian melangkah lagi, diulanginya hendak menyentuh tangan Syanti Dewi yang kembali menarik tangannya sehingga tidak dapat disentuh. Setelah mengulangi sampai lima kali, Yu Cian lalu menjura ke arah Syanti Dewi, mukanya berobah agak pucat, suaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan, “Saya menyerah karena merasa tidak mampu. Maafkanlah atas kelancangan saya selama ini.” Dan sastrawan itu pun lalu mundur. Semua tamu yang melihat ini menjadi diam, dan sastrawan itu tidak diejek ketika kembali ke bangkunya dengan sikap masih tenang, bibir tersenyum dan muka agak pucat. Syanti Dewi merasa kasihan sekali dan dia hanya dapat menjura ke arah pemuda itu. “Harap maafkan saya....” katanya perlahan. Ketika Kui Lun Eng maju dan berhadapan dengan Syanti Dewi, seniman ini tersenyum lebar berkata, “Nona, kita adalah kenalan lama, tidak perlu saling sungkan lagi. Saya tahu bahwa sampai matipun saya tidak mungkin akan dapat menangkap Nona yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka, biarlah saya menerima keputusan melalui jawaban Nona saja, dan untuk memudahkan, biar Nona menjawab dengan gelengan atau anggukan. Kalau Nona berkenan memilih saya, Nona mengangguk dan kalau tidak, Nona menggeleng. Nah, apa jawaban Nona?” Semua tamu mendengarkan dengan hati tertarik dan tegang. Seniman ini ternyata bersikap jujur dan terus terang, sungguhpun dengan kejujurannya itu dia membuat Syanti Dewi merasa terdesak. Akhirnya, dengan halus Syanti Dewi menggeleng kepala lirih. “Harap maafkan saya....” Kui Lun Eng tertawa dan menengadah. “Aih, sudah kudapatkan lagi suatu segi kebaikan pada diri Nona di samping semua keindahan itu, yaitu kebijaksanaan dan kejujuran. Terima kasih, Nona, biarlah kita tinggal menjadi kenalan yang baik saja.” Dan dia pun mengundurkan diri, kembali ke tempat duduknya dan menuangkan arak, ke dalam mulutnya! Kini tinggal seorang lagi dan semua tamu hampir dapat memastikan bahwa tentu Pendekar Budiman inilah yang menang, sebagai calon terakhir dan di samping itu juga sebagai seorang pendekar berilmu tinggi yang agaknya dapat menangkap wanita cantik jelita itu. Ketika dia dipersilakan maju, Lie Siang Sun melangkah dengan tegap tanpa ragu-ragu menghadapi Syanti Dewi dan menjura dengan hormat. “Ingin saya mencontoh perbuatan Saudara Kui Lun Eng, akan tetapi karena pihak nyonya rumah sudah mengadakan peraturan, saya tidak berani melanggar.” Ketika hio sudah dinyalakan, Lie Siang Sun lalu mulai bergerak begitu Syanti Dewi mempersilakan. Dan terjadilah kejar-kejaran yang amat menarik hati. Kini, Lie Siang Sun berusaha menangkap lengan atau ujung baju nona itu, dengan gerakan silat yang amat indah, dengan geseran-geseran kaki yang tegap dan cepat sekali, namun Syanti Dewi juga bergerak, sedemikian cepatnya sehingga tubuh yang ramping itu mula-mula nampak seperti menjadi banyak, dan kemudian, ketika Pendekar Budiman mengejar semakin cepat, tubuh Syanti Dewi lenyap dan yang nampak hanya bayangannya saja yang berkelebatan ke sana kemari. Memang menarik sekali pertunjukan ini sehingga semua orang memandang dengan ternganga dan kadang-kadang terdengar seruan-seruan kagum kalau kedua orang itu mempergunakan gerakan yang indah, seperti meloncat dan berjungkir balik ke atas dan sebagainya. Namun, dalam pandang mata Tek Hoat, juga beberapa orang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, maklumlah mereka ini bahwa Sang Pendekar Budiman itu ternyata tidak benar-benar hendak menangkap Syanti Dewi, bahkan selalu menjaga agar jangan sampai mereka bersentuhan, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa Syanti Dewi akan dapat tertangkap kalau dia menghendaki. Tidak, wanita itu memiliki gin-kang yang jauh lebih tinggi daripada Pendekar Budiman, sehingga andaikata Lie Siang Sun mengejar dengan sungguh-sungguh sekalipun, dia tetap saja tidak akan mampu berhasil. Betapapun juga, melihat betapa Lie Siang Sun tidak benar-benar berusaha untuk menangkap Syanti Dewi, mereka yang dapat mengikuti gerakan mereka itu, juga Wan Tek Hoat, merasa kagum. Akan tetapi Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan hatinya terasa kesal bukan main. Tahulah dia bahwa Syanti Dewi jelas menolak semua calon itu! “Ah, dia akan gagal pula...., Pangeran sungguh hamba tidak mengerti sikap Adik Syanti....” keluhnya. Sang Pangeran mengerti dan dia tersenyum. Dia tahu bahwa Syanti Dewi memang tidak suka dijodohkan dengan siapa pun. Wanita itu terlalu setia kepada pria yang masih dicintanya sampai saat itu. Karena melihat kenyataan bahwa benar-benar Syanti Dewi tidak mau memilih seorang pun di antara empat calon yang baik itu, terpaksa dia harus turun tangan seperti yang telah dijanjikan kepada Syanti Dewi. “Kalau begitu, biarlah aku menjadi calon ke lima, Ouw-toanio.” Seketika wajah itu berseri dan Sang Pangeran melihat betapa masih cantik jelitanya wanita ini dan dia merasa kagum. Ouw Yan Hui memandang Sang Pangeran dengan wajah berseri-seri! Kalau Pangeran itu mau menjadi calon, tentu Syanti Dewi tidak akan berani menolak! Wajahnya menjadi berseri-seri dan dia memandang dengan senyum di bibirnya, hal yang jarang terjadi, ke arah Syanti Dewi yang masih bergerak cepat dikejar oleh Lie Siang Sun.Setelah pembantu mengumumkan bahwa dupa yang menyala itu telah habis, Lie Siang Sun menghentikan gerakannya, menjura kepada Syanti Dewi dan berkata, “Ginkang dari Nona sungguh amat mengagumkan sekali. Aku Lie Siang Sun mengaku kalah dan maaf.” “Harap maafkan aku, Lie Siang Sun Enghiong!” kata Syanti Dewi dengan suara mengandung penyesalan karena betapa pun juga, dia mengerti bahwa pendekar ini tadi tidak berusaha sungguh-sungguh untuk menyentuhnya. Kalau saja hatinya mau mendekati pria lain, agaknya pendekar inilah yang patut untuk menjadi jodohnya. Tiba-tiba terdengar suara Ouw Yan Hui yang sudah bangkit berdiri dan suara itu kini terdengar amat nyaring dan mengandung kegembiraan, tidak seperti tadi, “Pengumuman penting! Harap Cu-wi Yang Mulia ketahui bahwa calon jodoh untuk adik kami Syanti Dewi ditambah dengan seorang lagi, yaitu bukan lain adalah Yang Mulia Pangeran Kian Liong sendiri!” Para tamu tadinya sudah merasa gembira sekali melihat betapa empat orang calon itu gagal dan tidak ada yang terpilih. Hal itu berarti membuka kesempatan baru bagi mereka, karena tentu akan diadakan pemilihan calon baru lagi. Akan tetapi, mendengar bahwa kini Sang Pangeran Mahkota maju sebagai calon, tentu saja semangat mereka mengempis dan mengendur, tubuh menjadi lemas karena mana mungkin mereka dapat bersaing dengan putera mahkota, Pangeran yang merupakan orang yang amat besar kedudukan dan kekuasaannya? “Dan sekarang dipersilakan kepada Yang Mulia Pangeran untuk maju dan mencoba untuk menangkap Syanti Dewi” demikian Ouw Yan Hui mengumumkan pula. Pembantu wanita sudah pula menyalakan dupa, akan tetapi sesungguhnya hal ini sama sekali tidak perlu. Syanti Dewi memandang kepada Pangeran itu yang telah bangkit dan melangkah tenang menghampirinya, dengan pandang mata berterima kasih karena dia tahu bahwa perbuatan pangeran ini hanya untuk menolongnya, sesuai dengan percakapan mereka malam tadi. “Sudah siapkah engkau?” Sang Pangeran bertanya. Syanti Dewi mengangguk. “Silakan, Pangeran.” Pangeran Kian Liong tersenyum dan melangkah maju menangkap lengan Syanti Dewi. Wanita itu mengelak dengan langkah mundur sambil tersenyum pula. Sang Pangeran terus mengejar dan setelah berusaha menangkap sampal lima kali, barulah dia berhasil memegang pergelangan tangan Syanti Dewi. Melihat ini, Ouw Yan Hui girang bukan main. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa Syanti Dewi akan membiarkan dirinya tertangkap oleh Pangeran itu. Saking girangnya, wanita pemilik Pulau Kim-coa-to ini sampai bangkit berdiri. Dan terdengarlah sorak-sorai para tamu melihat betapa Sang Pangeran berhasil menangkap pergelangan tangan Syanti Dewi dengan demikian mudahnya. Jelaslah bagi semua orang bahwa memang Sang Puteri itu sengaja membiarkan lengannya ditangkap, kalau tidak demikian, kiranya tidak mungkin Sang Pangeran akan mampu menangkapnya. Sang Pangeran berdiri sambil menggandeng tangan Syanti Dewi, wajahnya berseri, sedangkan wajah Syanti Dewi menjadi kemerahan, mukanya menunduk. Wan Tek Hoat juga mengikuti semua peristiwa ini dan melihat gerak-gerik Syanti Dewi, dia pun tahulah bahwa kekasihnya itu, sengaja membiarkan lengannya ditangkap Pangeran, atau lebih jelas lagi, Syanti Dewi telah memilih Sang Pangeran untuk menjadi calon jodohnya! Pilihan yang tepat, pikirnya dengan hati perih. Pemuda manakah yang lebih hebat daripada seorang Pangeran Mahkota, apalagi Pangeran Kian Liong yang terkenal akan kebijaksanaannya itu? Hanya sedikit saja hal yang membuat hatinya tidak enak dengan pilihan itu, ialah melihat kenyataan bahwa Pangeran itu masih muda sekali, tentu kurang lebih baru dua puluh tahun usianya. Padahal, dia tahu benar bahwa usia Syanti Dewi tentu antara tiga puluh enam tahun, sungguhpun wanita itu tidak nampak lebih tua daripada Sang Pangeran. Sudah, habislah riwayatnya dengan Syanti Dewi, pikirnya dengan lesu. Dia harus pergi cepat-cepat dari tempat itu, jangan sampai mengganggu kebahagiaan Syanti Dewi. Baru sekarang dia tahu bahwa pada dasar hatinya, dia ingin melihat Syanti Dewi berbahagia dan kini melihat betapa Syanti Dewi bergandeng tangan dengan wajah kemerahan dengan Sang Pangeran, dia tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka dan ingin pergi secepatnya tanpa ada yang melihatnya. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan, juga semua tamu melihat ini dan tahu-tahu di atas panggung di tengah ruangan itu telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh keriput dan pucat sekali, kepalanya botak dan sikapnya garang. “Sungguh tidak adil sekali!” Laki-laki yang usianya tentu sudah sedikitnya enam puluh lima tahun itu berseru, suaranya lantang dan penuh wibawa, kakinya yang bersepatu baja itu dibanting keras dan lantai panggung itu pun melesak sampai beberapa senti meter dalamnya! Melihat ada orang yang berani mengacau, Ouw Yan Hui yang masih berdiri itu berseru, “Siapa berani lantang menentang keputusan? Apanya yang tidak adil?” Kakek itu tertawa, suara ketawanya, bergema di seluruh ruangan. “Ha-ha-ha, mana bisa dibilang adil kalau kemenangan ini disengaja dan dibuat?” “Adik kami Syanti Dewi berhak memilih siapapun juga menjadi jodohnya!” Kembali Ouw Yan Hui berseru sambil memandang wajah pucat itu dengan penuh perhatian karena dia tidak mengenal siapa adanya kakek ini. “Ha-ha-ha! Kalau memang hendak memilih Pangeran, mengapa pakai mengadakan sayembara segala macam? Sayembara menangkap Nona ini berarti menguji ketangkasan dan ilmu kepandaian, akan tetapi ternyata Nona ini sengaja menyerahkan diri kepada Pangeran. Bukankah itu berarti menghina orang-orang yang menghargai ilmu silat? Urusan mengadu kepandaian adalah urusan dunia kang-ouw, mengapa sekarang Pangeran yang berkedudukan tinggi, seorang Pangeran Mahkota malah hendak mencampuri dan memperlihatkan kekuasaan menangkan seorang dara? Bukankah hal itu berarti Pangeran tidak memandang mata dan menghina para orang kang-ouw pada umumya? Apakah orang-orang kang-ouw hendak dijadikan semacam pelawak-pelawak belaka? Hayo, hendak kucoba sampai di mana kesigapan Puteri Syanti Dewi ini, boleh nyalakan dupa dan aku akan menangkapnya!” Semua orang kang-ouw terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang berani bersikap begini kasar terhadap Pangeran Mahkota? Mereka sudah melihat betapa para pasukan pengawal sudah maju mengepung tempat itu untuk melindungi Sang Pangeran. Syanti Dewi maklum bahwa ada orang yang hendak mengacau, maka dia pun lalu menarik Sang Pangeran untuk mundur dan mengajak Sang Pangeran duduk kembali di tempatnya agar lebih mudah dilindungi oleh para pasukan pengawal apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dia sendiri sudah memandang kepada kakek tinggi besar itu dengan pandang mata marah. Demikian pula Ouw Yan Hui sudah marah sekali. Akan tetapi sebelum kedua orang wanita ini sempat mengeluarkan kata-kata atau melakukan sesuatu, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan Pendekar Budiman telah berada di atas panggung berhadapan dengan kakek raksasa itu. Pendekar Budiman menjura dengan hormat, diam-diam merasa heran mengapa dia tidak mengenal kakek ini, padahal jarang ada tokoh kang-ouw yang tidak dikenalnya. “Sobat, harap engkau sudi memandang mukaku dan tidak menimbulkan keributan di tempat ini. Puteri Syanti Dewi telah memilih Pangeran Yang Mulia sebagai jodohnya, bukankah hal itu harus disambut dengan gembira oleh kita semua?” “Ha-ha-ha, engkau percuma saja berjuluk Pendekar Budiman, sebaiknya diganti saja dengan julukan Pendekar Pengecut! Engkau memasuki sayembara sebagai calon, akan tetapi engkau tidak sungguh-sungguh ketika mengejar Sang Puteri tadi.” Pendekar Budiman Lie Siang Kun diam-diam terkejut. Orang ini dapat mengetahui hal itu menandakan bahwa kepandaiannya tinggi dan matanya, awas benar. “Sobat hal itu merupakan urusan pribadiku sendiri yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Sudahlah, harap engkau suka memandang kepadaku, dan mengingat bahwa tidak baik bagimu untuk membikin kacau di tempat ini, di mana hadir pula Paduka Yang Mulia Pangeran Mahkota.” “Tidak, bagaimanapun juga, Syanti Dewi harus maju dan akan coba kutangkap selama setengah dupa bernyala-nyala. Ini adalah pertemuan orang-orang gagah, bukan pertemuan badut-badut!” “Orang tua, ini adalah tempatku dan aku tidak pernah mengundangmu datang! Apakah engkau sengaja hendak mengajak berkelahi?” Tiba-tiba Ouw Yan Hui berseru dari tempat duduknya. “Ha-ha-ha, orang-orang kang-ouw kalau sudah berkumpul, tentu mengadakan pertandingan ilmu silat. Ini baru menggembirakan dan gagah, bukan membiarkan kita menjadi badut-badut yang dipermainkan oleh Sang Pangeran hanya untuk menjilat. Pangeran tidak menghargai kita, bahkan memandang rendah dan menghina, hal ini tidak boleh dibiarkan saja. Kita orang-orang kang-ouw mempunyai harga diri. Hayo, kalau Sang Puteri tidak mau memenuhi syarat yang diajukan tadi, mari kita mengadakan pertandingan silat, siapa pun boleh maju melawanku!” “Sobat engkau sungguh terlalu!” Pendekar Budiman berseru. “Sikapmu sama sekali tidak patut menjadi pendekar kang-ouw, melainkan lebih tepat sebagai seorang pengacau jahat. Nah, kalau engkau ingin berkelahi, akulah lawanmu.” “Bagus! Aku sudah lama mendengar nama Pendekar Budiman, majulah!” tantang kakek itu dengan sikap memandang rendah sekali. “Lihat seranganku!” Pendekar Budiman sudah menerjang dengan sungguh-sungguh karena dia tahu bahwa kakek ini sengaja hendak mengacau dan menentang Pangeran. Dia sudah mendengar akan usaha-usaha jahat mereka yang telah menculik Pangeran sebelum Pangeran itu tiba di Pulau Kim-coa-to, maka dia merasa berkewajiban untuk melindungi Pangeran, juga untuk membela Syanti Dewi yang terancam oleh kekerasan dan pengacauan orang tua tak terkenal ini. Akan tetapi ketika Pendekar Budiman sudah menerjang maju, dia terkejut bukan main. Kakek itu sama sekali tidak mengelak, dan baru setelah tamparan pendekar itu datang dekat, kakek ini menggerakkan tangan menangkis dan akibatnya tubuh pendekar itu terpelanting! Bukan main kuatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam tangkisan lengan itu. Lie Siang Sun sudah meloncat bangun dan dia memandang tajam. Orang ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti, akan tetapi mengapa menentang Pangeran Mahkota? Dia mengingat-ingat para tokoh kaum sesat, akan tetapi tetap saja tidak mengenal wajah yang pucat itu. Karena dia harus melindungi Pangeran dan juga harus membela Syanti Dewi, maka dia lalu menerjang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Akan tetapi segera dia mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat kakek yang luar biasa ini sehingga belum sampai tiga puluh jurus dia sudah kena ditendang terpelanting sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di situ dan merasa penasaran, sudah maju berturut-turut, namun empat lima orang yang maju itu satu demi satu dirobohkan dengan mudah oleh kakek pucat itu. Sambil tertawa-tawa kakek itu memenantang. “Ha-ha-ha, siapa lagi yang hendak mencoba kepandaian?” Semua orang menjadi gentar dan melihat betapa kakek itu dengan mudah menjatuhkan para lawan itu, tanpa membunuhnya, tidak ada yang lebih dari dua puluh jurus, tahulah mereka bahwa kakek ini sungguh merupakan seorang yang lihai sekali. Melihat ini Ouw Yan Hui sebagai nyonya rumah merasa malu dan terhina sekali. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan sekali berkelebat, tahu-tahu tubuhnya telah berada di depan kakek itu. “Ha-ha-ha, tidak bohonglah berita yang mengatakan bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, penghuni Pulau Kim-coa-to, memiliki gin-kang yang amat hebat. Nah, ini namanya baru lawan yang boleh ditandingi. Majulah, Bu-eng-kwi, hendak kulihat sampai di mana kehebatanmu!” “Pengacau jahat, menggelindinglah!” bentak Ouw Yan Hui dan wanita ini sudah menerjang dengan amat cepatnya. Gerakannya memang luar biasa cepatnya dan tahu-tahu jari tangan kirinya sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan yang botak itu, sedangkan dua jari tangan kanan sudah menusuk ke arah kedua mata lawan! Hebat sekali serangan ini, dan kakek itu pun mengeluarkan suara kaget dan cepat melempar tubuh ke belakang. “Hebat, gin-kang yang hebat!” kakek itu memuji, akan tetapi Ouw Yan Hui sudah menyerang lagi dengan lebih cepat dan lebih ganas karena dia merasa penasaran. Namun kakek itu dapat menangkis dan balas menyerang. Terjadilah serang-menyerang, pertandingan yang amat seru, jauh lebih seru dibandingkan dengan yang sudah-sudah tadi. Wanita itu memang memiliki gin-kang yang hebat, sukar dicari bandingnya di dunia kang-ouw. Tubuhnya seperti seekor burung saja yang beterbangan dan berkelebatan ketika mengelak atau balas menyerang. Akan tetapi, ternyata lawannya itu memiliki ilmu silat yang amat hebat, dan lebih lagi, dalam hal tenaga sin-kang, Ouw Yan Hui kalah jauh maka biarpun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, tetap saja setelah lewat tiga puluh jurus, dia kena ditampar pundaknya sampai terlempar dan terguling-gullng. Melihat ini, Syanti Dewi marah sekali dan sambil mengeluarkan lengking panjang dia telah meloncat dari tempat duduknya seperti terbang saja dan tahu-tahu dari atas dia sudah menyambar dengan pukulan tangan terbuka ke arah kepala kakek itu. “Plakk!” Pukulan itu kena ditangkis dan tubuh Syanti Dewi terlempar! Untung dia dapat berjungkir balik dengan cepat sehingga tidak jatuh terbanting. Pangeran sudah memberi isyarat kepada para pengawal untuk maju membantu Syanti Dewi, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring, “Sam-ok, engkau sungguh keterlaluan!” Nampaklah kini seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan dan bermuka penuh cambang dan kumis meloncat ke tengah panggung berhadapan dengan kakek tinggi besar. Semua orang memandang, juga Syanti Dewi. Akan tetapi begitu Syanti Dewi memandang wajah tertutup brewok itu, seketika wajahnya menjadi pucat sekali, kedua matanya terbelalak, dan tiba-tiba dia mengulurkan kedua tangan ke arah pengemis itu, mulutnya mengeluarkan jerit melengking dan tubuhnya roboh terguling! Ketika Ouw Yan Hui cepat merangkulnya, ternyata Sang Puteri itu telah jatuh pingsan! Sejenak Tek Hoat memandang ke arah Syanti Dewi, dan ketika melihat betapa Syanti Dewi dipondong masuk oleh Ouw Yan Hui, dia pun lalu menghadapi lagi kakek raksasa itu. “Sam-ok, tidak perlu engkau menyembunyikan lagi mukamu di belakang kedok, karena aku telah mengenalmu! Para tamu sekalian, ketahuilah bahwa kakek yang menutupi mukanya dengan kedok kulit tipis ini bukan lain adalah, Sam-ok, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, atau juga Ban Hwa Sengjin, bekas koksu dari Negara Nepal! Dia mempunyai niat tidak baik terhadap Sang Pangeran, bahkan inilah orangnya yang mengatur segala pencegatan dan penculikan terhadap Pangeran!” Setelah berkata demikian, dengan cepat Tek Hoat sudah menyerang dengan pukulan maut ke arah leher Sam-ok. Kakek itu yang merasa bahwa tidak perlu menyembunyikan dirinya lagi, tertawa dan sekali renggut saja kedok kulit tipis yang menutupi mukanya terbuka dan nampaklah wajah aselinya. Dia masih sempat tertawa-tawa, akan tetapi segera dia harus mencurahkan perhatiannya karena sekali ini dia menghadapi Si Jari Maut, seorang yang amat lihai, sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan lawan-lawannya yang tadi. Maka dia pun mengelak, menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya. Sementara itu, ketika para tamu mendengar bahwa kakek itu adalah Sam-ok atau bekas Koksu Nepal yang hendak mencelakai Pangeran Mahkota, mereka menjadi marah. “Tangkap musuh negara!” “Bunuh penjahat itu!” Bukan hanya orang-orang kang-ouw, juga kini Souw Kee An telah menggerakkan pasukannya untuk mengepung dan mulai bergerak, sedangkan para anak buah Kim-coa-to juga digerakkan oleh Ouw Yan Hui yang merasa terkejut bukan main mendengar bahwa kakek itu adalah orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok! Dan pada saat itu muncullah berturut-turut empat orang yang amat mengejutkan semua orang. Mereka itu bukan lain adalah Toa-ok Su Lo Ti, kakek bermuka gorila, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, nenek yang berkedok tengkorak, Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio cebol dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tosu yang tingginya dua setengah meter itu. Kini lengkaplah sudah Im-kan Ngo-ok muncul di situ setelah Tek Hoat membuka kedok Sam-ok tadi! Melihat ini, para tamu tentu saja mereka yang mempunyai kepandaian, sudah menerjang ke depan, membantu para pasukan pengawal dan para anak buah Kim-coa-to, mengeroyok lima orang datuk kaum sesat itu. Akan tetapi, lima datuk itu bukanlah orang-orang sembarangan sehingga dalam waktu singkat saja sudah banyak perajurit pengawal, anak buah Kim-coa-to dan orang-orang kang-ouw yang roboh terjungkal. Hanya Wan Tek Hoat dan Souw Kee An, dibantu oleh para perajurit pengawal, yang masih terus melawan. Tek Hoat masih bertanding dengan amat hebatnya melawan Sam-ok, keduanya tidak mau mengalah dan mengeluarkan seluruh kepandaian mereka sehingga bayangan mereka seolah-olah telah menjadi satu. Akan tetapi setelah Ji-ok membiarkan tiga orang saudaranya menghadapi pengeroyokan para pengawal dan dia sendiri membantu Sam-ok, Tek Hoat menjadi terdesak hebat. LANJUT ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar