Rabu, 15 Januari 2014

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 17.

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 17:
Suling Emas & Naga Siluman Jilid - 17 Suling Emas & Naga Siluman Jilid 17 Tujuh orang wanita muda itu saling pandang dan mereka agaknya terkejut karena betapapun juga, selain mereka sudah tahu dengan siapa mereka berhadapan, juga pandang mata dan suara pangeran itu amat berwibawa. Mereka masih mencoba untuk merayu, mencumbu dan merangkul pangeran itu dengan tubuh lemah gemulai dan berbau minyak harum. Akan tetapi Sang Pangeran menjadi marah dan membentak, “Kalau tidak lekas enyah dari sini, aku yang akan pergi dari sini!” Akhirnya tujuh orang wanita muda yang cantik-cantik itu mengundurkan diri, meninggalkan bau harum semerbak di dalam kamar itu. Tak lama kemudian, Si Mata Juling yang memimpin pelarian semalam, masuk dan menjura di depan pangeran itu. “Hei, Mata Juling!” Pangeran Kian Liong menegur, “Apa artinya menyuruh perempuan-perempuan itu menggodaku?” bentakan ini membuat Si Mata Juling sejenak tak mampu bicara, akan tetapi lalu menjura dengan hormat. “Harap Paduka maafkan. Maksud kami hanya ingin menghibur Paduka, tidak tahunya Paduka tidak mau menerima kebaikan dari kami.” “Hemm, jadi menyuguhkan wanita-wanita itu kauanggap kebaikan? Begitukah kiranya kebaikan yang biasa diberikan kepada para pembesar? Hei, Mata Juling! Katakan, apa maksud kalian dengan susah-payah menculikku dan membawaku ke sini? Apakah benar seperti yang dikatakan para perampok teman-temanmu di hutan itu bahwa kalian hendak minta uang tebusan?” “Maaf.... kami.... kami hanya melaksanakan tugas. Harap Paduka tenang dan sabar saja menanti di kamar ini.... kami tidak akan menggunakan kekerasan kalau tidak terpaksa sekali, harap Paduka tenang. Si Mata Juling itu mundur dan tidak lama kemudian kembali dihidangkan makanan dan minuman. Jengkel juga hati Pangeran Kian Liong. Dia memang ingin melihat apa yang hendak mereka lakukan terhadap dirinya. Akan tetapi kalau dia hanya dikurung di dalam kamar ini, dan dicoba untuk digoda oleh wanita-wanita cantik, sungguh dia merasa penasaran sekali. Mengapa mereka itu masih menyembunyikan kehendak mereka yang sesungguh-nya? Dia tidak khawatir, karena dia percaya bahwa Souw Kee An pasti dapat menemukan dia, tidak akan tinggal diam saja. Apalagi kalau diingat betapa sudah seringkali dia diselamatkan oleh orang-orang pandai. Diam-diam dia teringat kepada pengemis sakti itu dan diam-diam mengharapkan pula agar pengemis itu yang akan menyelamatkannya, karena dia ingin bertemu dan berkenalan dengan pengemis yang dia tahu adalah seorang manusia yang sedang menderita tekanan batin amat hebat itu. Karena kejengkelannya itu, maka ketika datang makanan dan minuman, dia lalu banyak-banyak minum arak. Dia sama sekali tidak tahu bahwa arak itu telah dicampuri obat sehingga dia yang biasa minum arak itu kini menjadi mabok dan pusing, sehingga dia setengah tertidur di atas meja makan! “Nah, inilah satu-satunya cara!” kata Su-ok sambil tertawa-tawa ketika dia memasuki kamar itu bersama Ngo-ok dan Si Mata Juling. “Biarkan dia mabok lalu lepaskan dia di rumah pelacuran, suruh pelacur-pelacur itu melayaninya, menelanjanginya dan kita bawa orang-orang ke tempat itu untuk menyaksikan pangeran mereka mabok-mabok dan main-main dengan para pelacur! Tentu hebat!” Suok tertawa-tawa dan berkata kepada Ngo-ok, “Ngo-te, kaubawa dia. Akan tetapi biarkan dia berjalan seperti orang mabok dan kita sama-sama pergi ke tempat pelacuran. Apakah di sana sudah siap?” tanyanya kepada Si Mata Juling. “Sudah, tujuh orang pelacur yang tadi telah disiapkan di sana.” jawab Si Mata Juling. Su-ok tertawa. Tadinya dia kecewa karena setelah payah-payah membawa tujuh orang pelacur kota yang termahal ke tempat itu, pangeran itu ternyata tidak dapat tergoda. Maka setelah berunding dengan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li, dia memperoleh akal untuk membuat pangeran itu setengah tidak sadar karena mabok, dan membiarkan para pelacur itu menelanjanginya dan melayaninya untuk kemudian membiarkan orang-orang penting melihat pangeran itu. “menangkap basah” sebagai seorang pemabok dan pemuda hidung belang yang suka bermain-main dengan para pelacur! Sungguh merupakan siasat yang amat keji, yang sudah diatur oleh Im-kan Ngo-ok. Demikianlah, dalam keadaan setengah mabok dan setengah sadar itu Pangeran Kian Liong digandeng, setengah diseret oleh Si Mata Juling dan teman-temannya, diikuti oleh Su-ok dan Ngo-ok menuju ke daerah pelacuran yang terkenal di dusun itu. Daerah pelacuran ini bahkan menjadi tempat pelesir kaum hidung belang dari kota-kota sekitarnya! Akan tetapi tiba-tiba terdengar, bentakan-bentakan nyaring, “Manusia-manusia jahat, lepaskan Pangeran!” Si Mata Juling dan teman-temannya terkejut melihat munculnya tiga orang yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dua orang saudara Ciong yang pernah menolong pangeran dari perampokan di dalam hutan! Seperti kita ketahui, setelah pangeran berhasil diselamatkan di waktu dirampok di dalam hutan, tiga orang pendekar ini lalu menyingkirkan diri dan membayangi dari jauh. Mereka mengintai ketika Pangeran naik perahu jemputan dari Pulau Kim-coa-to itu dan merasa lega. Ketika mereka sedang mencari-cari perahu nelayan untuk menyeberang pula ke pulau itu, mereka melihat Pangeran telah ditawan orang dan dilarikan dengan kuda. Mereka mencoba mengejar, akan tetapi karena yang dikejar menunggang kuda semalam suntuk, mereka tertinggal jauh dan baru pada keesokan harinya mereka menemukan jejak mereka memasuki dusun itu. Ketika mereka melihat Pangeran digandeng oleh banyak orang di tengah jalan raya di dusun itu, pakaiannya sudah berganti pakaian biasa, mereka menjadi marah dan segera menyerang tanpa mempedulikan bahaya bagi diri sendiri. Si Mata Juling dan empat orang temannya mengeroyok tiga orang pendekar itu, akan tetapi mereka berlima bukanlah tandingan tiga orang pendekar itu. Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dengan kakinya yang panjang dia sudah maju hendak menandingi mereka. Akan tetapi pada saat itu, empat orang Su-bi Mo-li yang juga muncul segera berkata, “Ngo-ok dan Su-suhu, lebih baik bawa dia pergi, biar kami berempat yang menghajar tikus-tikus ini!” “Hayolah, Ngo-sute, jangan mencampuri!” kata Su-ok dan dia pun lalu menggandeng tangan Pangeran dan menariknya pergi. “Eh, eh.... hemmm, biarkan aku menonton pertandingan ini....” Sang Pangeran yang setengah mabok itu berkata dan berusaha untuk berhenti, akan tetapi Su-ok terus menariknya berjalan maju. Sementara itu, begitu Su-bi Mo-li maju, Liong Bouw terkejut dan dia pun segera mengenal gerakan pedang dari wanita ini yang bukan lain adalah seorang di antara wanita-wanita perampok yang amat lihai itu. “Ah, kiranya kalian yang menjadi perampok!” bentaknya dan dia pun memutar goloknya menyerang wanita baju kuning yang tadi bicara, akan tetapi hatinya penuh penasaran gelisah melihat Pangeran dibawa pergi, padahal kini dia dapat menduga siapa adanya hwesio pendek dan tosu jangkung itu. Biarpun dia belum pernah bertemu dengan Im-kan Ngo-ok, namun nama besar datuk-datuk kaum sesat itu pernah didengarnya dan melihat keadaan tubuh mereka, dan cara wanita cantik ini menyebut Ngo-suhu dan Su-suhu, dia menduga bahwa itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau benar demikian, sungguh berbahayalah keselamatan Pangeran, terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat! Akan tetapi, kini dua orang di antara Su-bi Mo-li, yaitu A-hui yang berbaju kuning dan A-kiauw yang berbaju merah, telah mengeroyoknya dan sebentar saja Si Ma-ta Satu ini sudah terdesak dengan hebat. Sementara itu, dua orang murid Siauw-lim-pai itu pun terdesak oleh dua orang wanita lain, yaitu A-bwee yang berbaju biru dan A-ciu yang berbaju hijau. Empat orang wanita ini adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok, maka tentu saja ilmu kepandaian mereka sudah tinggi dan dua orang murid Siauw-lim-pai pertengahan itu tidak mampu menandinginya! Juga Liong Bouw terdesak hebat dan lewat dua puluh jurus kemudian, kedua orang saudara Ciong itu roboh dan dia sendiri pun terkena tusukan pada pundak kanannya sehingga berdarah. Tahu bahwa dia tidak akan menang, Liong Bouw memutar goloknya dengan nekat, lalu membentak keras dan serangannya itu membuat dua orang wanita itu berhati-hati dan melangkah mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Bouw untuk meloncat dan lari mengejar ke arah Pangeran yang digandeng oleh dua orang kakek itu. Bagaimanapun juga, dia harus melindungi Pangeran, tidak peduli betapa pandai pun orang yang menawan Pangeran itu. Dia berlari cepat, dikejar oleh empat orang wanita itu. Untung baginya, yang dikejar, yaitu pangeran itu, hanya berjalan digandeng oleh Su-ok dan Ngo-ok, berjalan terhuyung-huyung seperti orang mabok dan Su-ok sengaja tertawa-tawa untuk memberi kesan bahwa pemuda yang digandeng memang benar-benar mabok keras! Mereka berdua seolah-olah tidak peduli kepada Liong Bouw yang mengejar dari belakang dengan golok di tangan dan pundak kanan bercucuran darah. “Heii, berhenti! Lepaskan dia!” bentak Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dia menubruk dari belakang. Akan tetapi Ngo-ok tanpa menoleh menendangkan kakinya yang amat panjang itu ke belakang dan memang Si Jangkung ini lihai sekali kakinya, maka tanpa dapat dicegah lagi, kakinya yang menyepak seperti kaki kuda itu tepat mengenai dada Liong Bouw. “Dess....!” Liong Bouw terjengkang akan tetapi dia sudah meloncat bangun lagi, tidak peduli akan pundaknya yang berdarah dan dadanya yang terasa nyeri. Dia menangkis dua batang pedang dari dua orang wanita yang mengejarnya, lalu dia lari mengejar lagi ke depan. Pada saat itu, Liong Bouw melihat segerombolan orang berjalan dari depan. Melihat rombongan yang terdiri dari seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan gagah perkasa dan tampan bersama beberapa orang wanita yang cantik-cantik, dia dapat menduga bahwa mereka itu pasti bukan penghuni dusun, dan tentu datang dari kota. Maka timbul harapannya, setidaknya agar diketahui orang kota bahwa pemuda di depan itu adalah pangeran, maka dia lalu berteriak nyaring, “Tolooooonggg....! Tolong Pangeran Mahkota yang ditangkap penjahat itu!” Pada saat itu, tusukan pedang dari belakang menyambar. Liong Bouw memutar tubuh dan mengelak sambil menangkis, akan tetapi pedang ke dua membacok dari samping dan biarpun dia sudah mengelak, tetap saja pahanya kena disambar dan dia pun roboh dengan paha terluka. Dengan gemas sekali A-hui Si Baju Kuning menggerakkan pedangnya untuk memberi tusukan terakhir ke dada Liong Bouw, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan pedang itu telah ditangkis oleh seuntai tasbeh. “Cringgg....!” Dan pedang di tangan A-hui itu terpental dan hampir terlepas dari pegangannya. A-hui dan tiga orang adiknya cepat memandang dan ternyata yang menangkis itu. adalah seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima tahun, berpakaian seperti nikouw akan tetapi kepalanya berambut hitam digelung, dan tangannya memegang tasbeh yang terbuat dari gading. “Omitohud, di tengahari ada orang mau bunuh orang lain begitu saja, betapa kejinya!” Su-bi Mo-li cepat memandang ke depan. Rombongan itu terdiri dari seorang pria setengah tua, tiga orang wanita cantik dan seorang gadis yang manis. Kini dua orang wanita yang lain dan gadis itu datang menghampiri, sedangkan laki-laki setengah tua itu hanya tersenyum-senyum saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang aneh. A-hui marah sekali. “Nikouw dari mana berani datang mencampuri urusan orang? Pergi kau dari sini atau mampus di ujung pedangku!” Nikouw itu tersenyum sehingga nampak giginya yang rata dan putih. “Omitohud, kalau engkau dapat membunuhku, itu baik sekali! Pinni ingin merasakan bagaimana mati di ujung pedang!” A-hui berteriak nyaring dan menyerang, nikouw itu bergerak lincah mengelak sambil tersenyum dan terdengar pria setengah tua itu berkata, “Hati-hati, sebagai nikouw engkau tidak boleh membunuh orang!” Ucapan ini seperti kelakar saja dan nikouw itu pun hanya tersenyum mendengarnya. A-kiauw yang berbaju merah maju hendak membantu saudaranya, akan tetapi wanita cantik ke dua yang kelihatannya seperti berdarah asing karena matanya lebar dan kulitnya putih kemerahan agak gelap sudah menghadang dengan pedang terhunus. “Main keroyokan adalah perbuatan pengecut. Kalau berani, kaulawanlah aku, Iblis betina!” wanita itu memaki sembarangan saja, akan tetapi hal ini amat menusuk perasaan A-kiauw karena memang mereka berempat dijuluki Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik). “Mampuslah!” dia membentak dan menyerang, ditangkis dengan mudahnya oleh wanita itu. Melihat betapa dua orang wanita cantik itu ternyata amat lihai, A-bwee dan A-ciu segera melompat ke depan, akan tetapi wanita ke tiga yang cantik jelita sudah menghadang sambil tersenyum mengejek, sambil mengerling ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang masih memegangi pangeran sambil menonton perkelahian itu dengan alis berkerut, dia berkata, “Kiranya Su-ok dan Ngo-ok yang main gila di sini!” Su-ok dan Ngo-ok memandang kepada wanita cantik itu dan sampai beberapa lamanya mereka tidak mengenal wanita itu. “Hemm, lupakah kalian ketika berjumpa denganku di Lembah Suling Emas?” Wajah Su-ok dan Ngo-ok berobah ketika mereka mengenal kembali wanita itu. Kini mereka teringat. Itulah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, toa-so dari keluarga Lembah Suling Emas yang sakti itu! Tapi mereka tidak mengenal yang lain-lain, tidak mengenal laki-laki yang berdiri sambil tersenyum itu, agak lega karena tidak nampak keluarga Cu yang sakti di situ. Adapun A-bwee dan A-ciu sudah menerjang sambil menusukkan pedang mereka ke arah wanita cantik yang berani menghina guru-guru mereka itu. Su-ok dan Ngo-ok hendak memperingatkan dua orang murid itu, akan tetapi terlambat. Tang Cun Ciu sudah menggerakkan kaki tangannya dan nampak dua batang pedang terlempar disusul terlemparnya dua tubuh wanita cantik itu yang terkena tamparan pada pundak mereka. Baru saja A-bwee dan A-ciu merangkak bangun, terdengar suara mengaduh dan tubuh A-hui bersama A-kiauw juga terpelanting dan pedang mereka terlempar jauh. Mereka juga roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan dua orang wanita cantik tadi. Hal ini tidak mengherankan karena wanita yang seperti nikouw itu bukan lain adalah Gu Cui Bi, sedangkan wanita yang berdarah asing itu, adalah Nandini, bekas panglima perang Nepal! Dan memang di antara mereka bertiga yang menjadi isteri-isteri dari Bu Seng Kin, Tang Cun Ciu yang paling lihai maka wanita ini dengan mudah dapat merobohkan A-bwee dan A-ciu terlebih dahulu! Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah di situ, disambut oleh gadis cantik yang bukan lain adalah Bu Siok Lan. Akan tetapi melihat betapa Su-bi Mo-li roboh dengan demiKian mudahnya, Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah membalikkan tubuh dan mengambil langkah seribu! Kini tinggal Su-ok dan Ngo-ok yang memandang dengan mata terbelalak melihat empat orang murid mereka itu roboh semua. Karena di situ tidak nampak adanya keluarga Cu, maka tentu saja dua orang datuk ini sama sekali tidak takut menghadapi Tang Cun Ciu. Akan tetapi sikap pria di depan mereka yang tersenyum itu amat mencurigakan dan membuat mereka memandang dengan hati kecut. “Siapakah engkau? Ngo-ok bertanya tanpa melepaskan pergelangan tangan kiri pangeran, sedangkan Su-ok memegang pergelangan tangan kanan pangeran itu. Pria itu tentu saja Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, dan biarpun dia pernah menjadi seorang pendekar yang namanya menjulang tinggi di dunia barat, akan tetapi karena belum pernah bertemu atau bentrok dengan Im-kan Ngo-ok, maka dua orang kakek itu tidak mengenalnya. “Siapa adanya aku tidak penting, yang penting kalian cepat lepaskan pemuda yang kalian pegang itu.” kata Bu-taihiap dengan suara tenang. Su-ok tertawa. Dia lebih tenang daripada saudaranya. “Eh, Sobat, tahukah engkau siapa dia ini?” Bu-taihiap menggeleng kepala. “Siapa pun adanya dia, jelas bahwa dia kalian tangkap, oleh karena itu, harap kalian sudi melepaskan dia.” Tok-gan Sin-ciang masih berdiri tak jauh dari situ menahan sakit. Dia terlalu kagum dan heran melihat betapa rombongan itu ternyata merupakan rombongan orang yang memiliki kepandaian hebat sekali, demikian hebatnya sehingga empat orang wanita cantik yang amat lihai itu pun roboh dalam beberapa gebrakan saja oleh wanita-wanita itu! Dan dia kini memandang penuh ketegangan melihat kepala rombongan, seorang pria sederhana, berhadapan dengan dua orang yang ternyata benar-benar adalah Su-ok dan Ngo-ok seperti yang dikatakan oleh seorang di antara wanita-wanita itu. Dan dia pun belum pernah mendengar tentang Lembah Suling Emas, maka kini dia tidak berani sembarangan bicara, hanya mendengarkan dengan penuh harapan bahwa pangeran akan dapat lolos dari bencana itu. Dia tidak berani lancang karena pangeran masih berada di tangan dua orang kakek iblis itu! Su-ok adalah seorang yang cerdik sekali. Di situ tidak terdapat saudara-saudaranya yang lain, karena untuk tugas ini Toa-ok mempercayakan kepada dia dan Ngo-ok dan memang sebetulnya mereka berdua pun sudah cukup kalau hanya untuk menawan Pangeran saja. Akan tetapi tidak mereka kira bahwa di sini akan muncul Cui-beng Sian-li dan rombongannya yang lihai-lihai ini. Tiga orang wanita itu jelas lihai dan pria di depannya ini belum dia ketahui sampai di mana kelihaiannya, akan tetapi agaknya pun bukan merupakan lawan yang boleh dipandang ringan. Kalau di situ ada Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok, tentu saja dia sama sekali tidak takut. Sekarang pun dia tidak takut hanya dia harus bersikap cerdik agar tidak sampai gagal. Dia telah mempunyai pangeran di tangannya dan ini merupakan modal yang baik sekali! “He, sobat, engkau tidak mau memperkenalkan namamu pun tidak mengapa. Akan tetapi sebaiknya engkau mengenal siapa pemuda ini. Dia adalah Pangeran Mahkota Kian Liong!” Tentu saja Bu-taihiap terkejut bukan main, akan tetapi sedikit pun tidak nampak perobahan pada wajahnya yang tampan itu. Bahkan dia tersenyum. “Sudah kukatakan, siapa pun adanya dia ini, aku tetap minta agar kalian suka melepaskan dia.” “Kalau kami tidak mau melepaskan dia?” tanya Su-ok juga tersenyum. Bu-taihiap tertawa. “Terpaksa aku tidak membolehkan kalian lewat.” “Ha, sobat, bagaimana kalau kami bunuh Pangeran ini? Ya, kalau engkau dan rombonganmu ini hendak menghalangi kami, terpaksa kami akan membunuh Pangeran Mahkota Kian Liong!” Su-ok kini menggunakan gertakan. Sementara itu, Pangeran Kian Liong memang dilolohi arak yang mengandung obat pemabok dan dia hanya setengah sadar, akan tetapi dia masih dapat mengikuti percakapan itu dan kini dia tertawa sambil berkata. “Hidup atau mati, hanya itu soalnya dan sungguh soal yang biasa saja. Apa artinya hidup dan apa bedanya dengan mati? Hidup pun akhirnya akan mati juga! He, kau hwesio cebol dan tosu jangkung, apa kaukira hidup lebih enak daripada mati? Kalau kalian membunuhku, maka sudah beres dan habislah bagiku, tidak ada apa-apa lagi. Akan tetapi kalian yang masih hidup akan dikejar-kejar orang gagah sedunia, belum lagi pasukan yang takkan berhenti sebelum kalian ditangkap, kemudian dihukum siksa. Ha-ha-ha, aku lebih enak dibandingkan dengan kalian!” Bu-taihiap tiba-tiba merasa heran dan juga kagum. Mengapa putera mahkota yang kelak akan menggantikan kaisar menjadi pemabok seperti itu? Akan tetapi sikap yang berani dan kata-kata yang begitu mengandung kebenaran yang pedas masih dapat di ucapkan di waktu mabok, maka di waktu sadar tentu pangeran ini memiliki kebijaksanaan yang luar blasa. “Ha-ha-ha, kalian sudah mendengar sendiri! Nah, lepaskan dia, ataukah kita menggunakan dia sebagai taruhan?” kata Bu-taihiap. “Taruhan?” Kini Ngo-ok yang berkata, matanya yang sipit makin terkatup ketika dari “atas” dia memandang Bu-taihiap. Bu-taihiap harus berdongak untuk menatap wajah Si Jangkung itu. “Ya, mari kita bertanding dan karena yang menangkap dia ini adalah kalian berdua dan yang minta agar dilepaskan hanya aku seorang, maka biarlah aku melawan kalian berdua. Kalau aku kalah, tentu saja kalian boleh membawa dia. Akan tetapi kalau kalian kalah, dia harus kalian tinggalkan. Bagaimana. Beranikah kalian?” Ucapan itu, terutama kata terakhir, memanaskan perut Su-ok dan Ngo-ok. Orang itu agaknya miring otaknya, pikir mereka. Menantang dikeroyok dua? Siapa sih orang ini yang berani menantang mereka padahal tadi Cui-beng Sian-li sudah mengatakan bahwa mereka adalah Su-ok dan Ngo-ok? Bu-taihiap tertawa dan wajahnya yang tampan itu nampak berseri dan muda ketika dia tertawa itu. “Ha-ha-ha, yang nama julukannya Su-ok ini selain pendek kurang ukuran juga ternyata tidaklah sejahat namanya. Bagaimana dengan Ngo-ok yang jangkung kelebihan ukuran itu? Apakah benar kalian hendak mengetahui nama orang yang akan menjatuhkan kalian? Aih, sudah bertahun-tahun untuk tidak mempergunakan namaku, sampai lupa. Hanya sheku saja yang masih kuingat. Aku she Bu.” Nama ini saja sudah cukup. She Bu dan logat bicaranya jelas menunjukkan, dari barat, maka siapa lagikah orang ini kalau bukan pendekar yang pernah menggegerkan dunia barat dan hanya terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu? “Jadi engkau ini orang she Bu itu yang sudah puluhan tahun tidak pernah muncul itu? Ha-ha, kami kira tadinya yang disebut Bu-taihiap itu sudah mampus di Secuan dicakar garuda!” Bu-taihiap merasa disindir. Agaknya permusuhannya dengan Eng-jiauw-pang yang membuatnya terluka itu telah tersiar di dunia kang-ouw, akan tetapi karena sesungguhnya dia tidak kalah, hanya dikeroyok terlalu banyak orang pandai saja maka terpaksa dia melarikan diri, dia tidak merasa malu disindir demikian. “Bagus, kau sudah tahu namaku dan tidak lekas-lekas menggelinding pergi?” bentaknya dan sikapnya kini penuh wibawa, tidak senyum-senyum seperti tadi. Dua orang lawannya itu tidak menjawab, melainkan segera menyerang dengan dahsyat. Karena maklum bahwa yang namanya Bu-taihiap itu adalah seorang lawan tangguh, maka begitu menyerang, Su-ok sudah menggunakan ilmunya yang diandalkan, yaitu Pukulan Katak Buduk yang dilakukan dengan tubuh setengah berjongkok rendah, dan kedua tangannya mendorong dari bawah. Hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar diikuti sepasang lengan pendek itu dan dari telapak tangannya menyambar pukulan yang mengandung hawa beracun. Jahat sekali pukulan ini dan lawan yang kurang kuat akan mati seketika kalau terkena pukulan ini, baru terkena hawa pukulannya saja sudah cukup membuat orang yang terkena menjadi lumpuh, apalagi kalau sampai terkena hantaman telapak tangan itu! Biarpun Bu-taihiap baru mendengar namanya saja tentang Im-kan Ngo-ok dan belum mengenal keistimewaan mereka, dia sudah dapat menduga bahwa pukulan yang mendatangkan angin dahsyat ini merupakan pukulan yang berbahaya, maka dia pun bersikap waspada dan hanya mengelak dari pukulan itu. Akan tetapi Ngo-ok juga telah berjungkir balik, langsung mempergunakan ilmunya yang aneh dan kini dari lain jurusan dia menyambut Bu-taihiap yang mengelak itu dengan tendangan kakinya dari atas! Kembali Bu-taihiap mengelak dengan sigapnya sambil tertawa. Melihat betapa dua orang lawan ini memiliki ilmu yang aneh-aneh, dia tak dapat menahan ketawanya. Memang pada dasarnya pendekar ini memiliki watak gembira, dan mungkin watak inilah yang membuat dia mudah meruntuhkan hati kaum wanita. “Ha-ha-ha, kalian ini ahli-ahli silat ataukah badut-badut sirkus? Yang pendek menjadi semakin pendek mau merobah diri menjadi katak, yang jangkung berjungkir balik seolah-olah masih kurang jangkung.... heeiiitt.... bahaya, tapi luput!” Dia mengelak lagi ketika Su-ok mengirim pukulan ke arah pusarnya dari bawah. Dia mengelak sambil kini melayangkan tangannya, menampar ke arah ubun-ubun kepala Su-ok yang berjongkok itu. Tamparan biasa saja, akan tetapi didahului angin menyambar dahsyat. Su-ok terkejut. Kiranya pendekar ini benar-benar amat lihai karena kalau pukulan tadi mengenai ubun-ubun kepalanya, kiranya sukar dia untuk menyelamatkan nyawanya. Dia sudah menggelundung dan sambil bergulingan begini dia mengejar lawan, terus bangkit berjongkok dan menghantamkan lagi pukulan Ilmu Katak Buduknya yang lihai. Sementara itu, dari atas, kedua batang kaki panjang dari Ngo-ok juga mengirim serangan bertubi-tubi, dibantu oleh kedua lengannya yang panjang! Bu-taihiap cepat bersilat dengan gaya ilmu silat dari Go-bi-pai, akan tetapi sudah berbeda dari aselinya, mirip pula ilmu silat Kun-lun-pai, akan tetapi juga tidak sama. Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaannya sendiri yang tentu saja dipengaruhi oleh ilmu-ilmu silat dari Go-bi-pai dan Kun-lun-pai yang merupakan dua partai persilatan terbesar di dunia barat. Akan tetapi, dalam ilmu silatnya ini juga terdapat dasar-dasar dari gerakan ilmu silat India dan Nepal. Namun harus diakui bahwa ilmu silat itu aneh dan juga tangguh sekali, karena dengan gerakan-gerakan itu dia selalu dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang baik. Dan selain ilmu silatnya yang tangguh, juga Bu-taihiap memiliki sin-kang yang amat kuat namun bersifat halus sehingga dia berani menangkis pukulan Katak Buduk dengan telapak tangannya tanpa terluka, bahkan hawa pukulan lawan itu seperti batu dilempar ke dalam air saja, tenggelam dan lenyap. Selama dua puluh jurus, Bu-taihiap hanya mengelak dan menangkis sampai dia tahu benar akan sifat-stfat ilmu silat dua orang lawannya. Setelah dia mengenal betul, Bu-taihiap tiba-tiba berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan berkata sambil tertawa, “Apakah kalian hendak terus melawak di sini?” Melihat lawannya berhenti bergerak itu, Su-ok dan Ngo-ok terheran, akan tetapi juga girang. Su-ok cepat meloncat ke depan dan memukul dengan ilmunya dari jarak dekat. Dua buah lengannya yang pendek itu bergerak mendorong ke arah dada lawan, sambil mengerahkan tenaganya. Akan tetapi, lawannya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyambut pukulan dorongan kedua tangan itu dengan sambaran lengan dari kanan dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram tengkuk Su-ok! Su-ok merasa girang karena kedua pukulannya tidak dielakkan dan dua tangannya yang terbuka itu dengan cepatnya meluncur ke depan. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan suara “kekk!”” dan tengkuknya sudah dicekik kuat. Karena tenaga ilmu katak buduk itu digerakkan oleh tulang punggung dan kini tengkuknya dicekik, maka seketika tenaganya banyak berkurang dan biarpun kedua tangannya masih mengenai dada lawan, namun tenaganya tinggal seperempatnya dan agaknya pendekar itu tidak merasakan apa-apa dan sebaliknya Su-ok merasa kedua tangannya seperti menghantam karet saja dan tengkuknya terasa nyeri bukan main seolah-olah tulang lehernya akan patah! Pada saat itu Ngo-ok sudah menerjang dengan kedua kakinya, yang sebelah kiri menotok ke arah jalan darah di pundak dan yang kanan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Bu-taihiap. Akan tetapi pendekar ini meloncat ke belakang dan sekali melontarkan tangannya, tubuh pendek bulat dari Su-ok itu seperti peluru meluncur ke arah kepala dan dada Ngo-ok yang masih berjungkir balik. “Heii, hati-hati....!” Su-ok berteriak, tanpa dapat menahan lajunya tubuhnya. “Apa ini....?” Ngo-ok juga terkejut dan cepat dia sudah menggunakan kepala untuk menahan tubuh di atas tanah sedangkan kedua lengannya yang panjang sudah bergerak menyambut tubuh kawannya. “Plakk!” Kedua tangannya, seperti kiper menangkap bola, berhasil menangkap tubuh Su-ok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya sendiri melayang bersama-sama tubuh Su-ok yang dipeluknya. “Brukkk....!” Ngo-ok dan Su-ok terbanting kepada sebatang pohon dan keduanya roboh tunggang langgang dan tumpang tindih. Kiranya ketika Ngo-ok menerima tubuh Su-ok tadi, dalam keadaan lengah, kedua kakinya sudah ditangkap oleh Bu-taihiap yang mempergunakan ilmu gulat Nepal, kemudian dia melemparkan tubuh yang tinggi itu tanpa dapat dicegah oleh Ngo-ok yang tidak berdaya karena dia “berdiri” di atas kepala saja. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terlempar dan terbanting pada pohon dan jatuh tumpang tinding seperti itu. Ketika mereka bangkit dengan kepala pening dan tubuh babak belur, mereka melihat Bu-taihiap berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa. “Wah, kalian masih belum patut bermain di sirkus, baru main begitu saja sudah jatuh tunggang-langgang, akan tetapi kalau untuk menjadi pelawak sudah lumayan karena memang cukup lucu!” “Bedebah!” bentak Su-ok. “Keparat sombong!” Ngo-ok juga berseru dan keduanya lalu menyerang lagi dengan lebih ganas daripada tadi. Bu-taihiap sudah meloncat ke sana-sini dan melayani mereka. Akan tetapi, serangan-serangan kedua kaki Ngo-ok yang tinggi itu membuat dia merasa payah juga, maka tiba-tiba Bu-taihiap lalu duduk bersila di atas tanah! Tentu saja kedua orang lawannya menjadi bingung. Bagaimana pula ini? Lawan mereka duduk bersila. Mana ada orang berkelahi duduk bersila seperti arca? Akan tetapi mereka tidak peduli dan menganggap bahwa perbuatan Bu-taihiap ini seperti orang bunuh diri dan mereka memperoleh kesempatan baik untuk membunuhnya. Dan tentu saja Ngo-ok tidak lagi dapat menggunakan ilmunya berjungkir balik, bahkan sukar pula bagi Su-ok untuk menggunakan ilmunya Katak Buduk, karena ilmu ini dipergunakan untuk memukul dengan tubuh merendah, dipukulkan ke arah atas, barulah terdapat tenaga mujijat dari bawah itu. Kalau lawan duduk bersila, tentu saja tidak dapat dipukulnya karena terlalu rendah. Demikian pula bagi Ngo-ok yang mengandalkan kedua kaki kalau dia mainkan ilmunya berjungkir-balik, menghadapi orang bersila tentu saja kedua kakinya itu mati kutu dan tidak mampu menyerang. Maka dia pun lalu berloncatan membalik dan berdiri di atas kedua kaki seperti biasa. Tanpa berkata apa-apa, keduanya menubruk ke depan, Ngo-ok dari kanan dan Su-ok dari kiri. Mereka merasa yakin bahwa biarpun tidak mempergunakan ilmu-ilmu mereka yang istimewa, sekali ini mereka akan mampu membunuh lawan yang duduk bersila itu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Bu-taihiap memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh, dan di antaranya adalah ilmu yang dinamakannya Ngo-lian-hud (Buddha Lima Teratai) ini! Ilmu ini menurut dongeng berasal dari seorang pertapa yang selama puluhan tahun bertapa sambil memuja Buddha dengan duduk dalam bentuk Teratai, yaitu bersila dengan kedua kaki bersilang di atas paha. Kabarnya, pertapa yang puluhan tahun bertapa dalam keadaan bersila seperti itu, kedua kakinya sampai tidak dapat dilepaskan lagi, seperti sudah mati! Akan tetapi dia memperoleh tenaga yang dahsyat bukan main, dan dengan duduk bersila seperti itu tanpa pindah dari tempatnya, dengan kedua lengannya dia mampu menolak lawan yang bagaimana tangguh pun, bahkan kalau diserang oleh binatang buas, dia dapat menundukkan binatang buas itu dengan kedua lengannya tanpa bergerak pindah dari tempatnya. Bu-taihiap juga mempelajari ilmu ini dan tadi ketika melihat keistimewaan ilmu pukulan Su-ok yang mendapatkan tenaga memukul dari bawah ke atas, sedangkan Ngo-ok amat lihai menyerang dengan kedua kakinya dari atas ke bawah, maka dia mendapatkan akal untuk menghadapi mereka dengan ilmu Ngo-lian-hud ini. Ketika dua orang lawan itu menubruk dan menyerang dengan dahsyat, mengirim pukulan-pukulan maut ke arah kepalanya, tiba-tiba saja Bu-taihiap menggerakkan kedua lengannya yang tadinya ditaruh di atas pangkuan. Dia mengerahkan tenaga dari pusar yang ketika duduk seperti itu terkumpul menjadi kekuatan dahsyat, dari perutnya keluar bunyi dan melalui muulutnya dia mengeluarkan suara melengking, “Hiiaaaattt....!” Dan kedua lengan itu berkembang ke atas, ke kanan kiri menyambut dua orang lawannya. “Dessss! Dessss!” Akibatnya hebat bukan main. Ngo-ok dan Su-ok mengeluarkan teriakan panjang. Mereka merasa seperti disambar geledek saja yang tiba-tiba keluar dari tubuh Bu-taihiap dan biarpun mereka telah menggerakkan tangan menangkis, tetap saja tenaga dahsyat itu menyambar mereka dan membuat mereka terjengkang dan terlempar sampai lima meter! Mereka terbanting roboh dan ketika mereka bangkit, dari ujung mulut mereka mengalir darah! Itu menandakan bahwa mereka telah terluka di sebelah dalam tubuh mereka! Kini tahulah Su-ok dan Ngo-ok bahwa mereka tidak akan menang. Maka, setelah memandang kepada Bu-taihiap dengan sinar mata penuh kebencian, Su-ok berkata, “Lain kali kita bertemu lagi, orang she Bu!” Dan dia bersama Ngo-ok lalu ngeloyor pergi tanpa banyak kata lagi. Melihat ini, Su-bi Mo-li juga diam-diam telah melarikan diri dengan hati gentar dan menganggap hari itu sebagai hari sialan karena mereka bertemu dengan rombongan Bu-taihiap yang demikian lihainya! “Ha-ha, bagus! Lanjutkan.... lanjutkan pibu....!” Pangeran Kian Liong bertepuk tangan dan tubuhnya bergoyang-goyang tanda bahwa dia masih mabok dan hanya setengah sadar. Melihat ini, Bu-taihiap cepat menghampiri dan setelah mengurut tengkuk dan dada, memijit kepala bagian belakang, lalu memberi dua butir pel merah kepada pangeran itu untuk ditelan, Sang Pangeran memejamkan mata seperti orang pening dan memegangi kepalanya, terhuyung-huyung. Bu-taihiap merangkulnya dan membantunya duduk di atas tanah. Setelah duduk sambil memejamkan mata sampai kurang lebih sepuluh menit lamanya, pangeran itu mengeluh lalu muntah-muntah. Bu-taihiap membantunya dan setelah memuntahkan sebagian besar minuman bercampur obat yang diminumnya tadi, Sang Pangeran menjadi sembuh. Dia bangkit dan memandang heran melihat seorang pria setengah tua membersihkan bibir dan dagunya dengan saputangan. “Paduka sudah pulih kembali sekarang, Pangeran.” Pangeran Kian Liong memandang penuh perhatian, lalu menoleh ke kanan kiri, melihat empat orang wanita itu dan mengerutkan alisnya. “Ah, apa yang terjadi? Bukankah tadi terjadi pibu di sini? Mana mereka yang telah menculikku tadi?” “Mereka telah kami usir pergi, Pangeran. Paduka telah selamat.” Sang Pangeran teringat dan mengangguk-angguk. “Benar, kulihat tadi engkau mengalahkan dua orang tinggi dan pendek itu. Aih, engkau hebat sekali, dan mereka ini.... wanita-wanita yang perkasa. Siapakah Paman yang perkasa ini?” Bu-taihiap menjura dengan dalam, dan tiga orang isterinya ikut pula menjura, termasuk pula Siok Lan. “Kami sekeluarga menghaturkan selamat bahwa Paduka telah lolos dari bencana, Pangeran. Hamba adalah Bu Seng Kin dan mereka ini adalah keluarga hamba....“ Bu-taihiap merasa sungkan sekali, akan tetapi melanjutkan juga, “mereka ini adalah isteri-isteri hamba dan ini adalah puteri hamba.” Dia lalu memperkenalkan nama isteri-isterinya dan juga nama puterinya. Bu Siok Lan dan tiga orang wanita itu memberi hormat. “Hebat, sebuah keluarga yang hebat, ayah ibu-ibu dan anak memiliki kepandaian silat yang tangguh....“ Sang Pangeran memuji. Pada saat itu, datanglah rombongan pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw Kee An sendiri. Melihat Sang Pangeran berada dalam keadaan selamat, komandan pengawal itu tentu saja merasa girang sekali dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut. “Hamba mohon maaf telah gagal dan terlambat menyelamatkan Paduka, akan tetapi terima kasih kepada Thian bahwa Paduka dalam keadaan selamat.” Pangeran Kian Liong tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat kepada komandan itu untuk bangun. “Souw-ciangkun, kalau kita perlu mengucapkan terima kasih, maka kita harus berterima kasih kepada keluarga Paman Bu Seng Kin ini, karena mereka inilah yang telah menyelamatkan aku dari tangan para penculik itu!” Souw Kee An terkejut dan memandang kepada pendekar itu dan keluarganya, kemudian dia bangkit menjura kepada Bu Seng Kin. “Bu-taihiap, terimalah hormat dan terima kasih kami atas budi pertolongan Bu-taihiap yang telah menyelamatkan Pangeran.” Souw Kee An mengucapkan pernyataan terima kasih itu dengan setulusnya, karena pertolongan itu sama artinya dengan menyelamatkan dirinya sendiri, karena kalau pangeran mahkota yang sedang dikawalnya itu sampai celaka, sama saja dengan dia sendiri yang celaka. Sebagai komandan pengawal, maka dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Pangeran. Akan tetapi Bu-taihiap hanya tersenyum dan balas menjura kepada komandan itu, kemudian Bu-taihiap berkata kepada Pangeran Kian Liong, “Pangeran, hamba kira ucapan Souw-ciangkun ini tepat, yaitu bahwa kita harus berterima kasih kepada Thian saja. Betapapun juga, tanpa adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, tak mungkin hamba dapat menyelamatkan Paduka. Sang Pangeran tersenyum dan tidak menjawab kata-kata ini, hanya mempersilakan Bu-taihiap dan keluarganya untuk ikut bersama dia ke tempat pemberhentian di pantai, di mana Souw-ciangkun telah menyediakan tempat bagi Pangeran untuk beristirahat sebelum melanjutkan pelayaran, setelah terjadi peristiwa yang mengkhawatirkan itu. Kini, tanpa pengawalan ketat tentu saja dia tidak berani membiarkan Sang Pangeran berlayar ke Kim-coa-to. Bu-taihiap tidak dapat menolak dan bersama keluarganya mereka pun ikut dengan rombongan itu, kembali ke pantai laut tempat penyeberangan ke Kim-coa-to. Ucapan dari Bu Seng Kin dan juga Souw Kee An itu seolah-olah menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang rendah hati dan selalu ingat akan Tuhan, maka dalam segala hal mereka berterima kasih dan mengucap syukur atas kemurahan Tuhan. Hal ini amat menarik sekali karena hampir setiap manusia di dunia ini menyebut-nyebut nama Tuhan dalam bahasa masing-masing, ditujukan kepada Sesuatu yang Maha Kuasa. Manusia agaknya merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki otak yang mampu dipergunakan untuk memikirkan hal-hal yang jauh lebih mendalam daripada apa yang dapat ditangkap oleh panca indera, memiliki akal budi dan daya ingatan yang luar biasa. Dengan kemampuan ini agaknya, manusia menyadari bahwa ada terdapat kemujizatan, keajaiban, kekuasaan yang teramat tinggi dan luas, yang tidak dapat terjangkau oleh alam pikirannya, kekuasaan yang menggerakkan matahari dan bulan, dunia dan bintang-bintang, yang memberi kehidupan kepada segala benda, baik yang bergerak maupun yang tidak. Manusia dengan akal budi dan pikirannya menyadari bahwa memang sungguh ADA SESUATU yang lebih berkuasa daripada diri-nya, yang berkuasa atas mati hidup-nya, atas segala benda. Inilah agaknya yang mengawali pemujaan terhadap sesuatu itu, dengan segala macam sebutan menurut bahasa dan jalan pikiran masing-masing, yang kemudian menjadi kepercayaan turun-temurun, menjadi agama. Yang Sesuatu itu masih tetap ada dan menjadi pusat kepercayaan, disebut dengan berbagai nama, Tuhan, Thian dan sebagainya menurut bahasa dan adat istiadat atau tradisi atau agama masing-masing. Sebutan Tuhan inilah yang membuat manusia merasa bahwa dia ber-Tuhan! Akan tetapi, apakah artinya ber-Tuhan itu? Apakah kalau kita sudah mempersiapkan di bibir selalu sebutan Tuhan itu, apakah kalau kita sudah MENGAKU bahwa kita percaya, lalu kita sudah boleh ber-Tuhan? Nama dan sebutan itu hanyalah permainan bibir belaka. Nama dan sebutan itu jelas BUKAN yang dinamakan atau disebutkan itu. Namun pada kenyataannya, kita lebih mementingkan nama dan sebutan ini! Kita lebih mementingkan gerak bibir yang menyebut atau menamakan itu! Oleh karena itulah maka kita mengukur seseorang itu ber-Tuhan atau tidak hanya dari pengakuan bibirnya. Kita mengagungkan sebutannya belaka sehingga untuk mempertahankan itu, kalau perlu kita saling serang, saling bunuh! Sebutannya itu telah menjadi terlalu muluk dan terlalu berharga, karena sebutan itu menjadi milik si-Aku. Tuhan-Ku! Sama saja seperti keluarga-Ku harta-Ku, bangsa-Ku, dan sebagainya. Di situ unsur AKU yang penting, yang lainnya itu hanya sebutan yang melekat kepada si-Aku, mengikat si-Aku, maka dipentingkan. Jangan merendahkan Tuhan-Ku. Tuhan orang lain sih terserah. Jangan mengganggu keluarga-Ku, keluarga orang lain masa bodoh. Jangan menghina bangsa-Ku. Bangsa orang lain sesukamulah! Dan demikian selanjutnya. Mengapa kita terkecoh dan terbuai oleh sebutan? Apakah bukti iman itu terletak pada bibir dan lidah? Sedemikian mudahnya mulut kita menyebut-nyebut Tuhan sehingga semudah itu pula kita melupakan Sesuatu Yang Maha Kuasa yang kita sebut Tuhan itu! Melupakan intinya. Akibatnya, kita hanya ingat kepada sebutan itu saja, yakni sewaktu kita membutuhkannya, dalam marabahaya, dalam sengsara, dan sebagainya. Sebaliknya, dalam mengejar kesenangan kita melakukan segala hal tanpa mengingat sebutan itu sama sekali. Baru setelah terjadi akibat daripada mengejar kesenangan itu yang menyusahkan kita, kita menyesal dan kembali teringat kepada sebutan itu. Mengapa demikian? Mengapa begitu mudahnya kita mengaku bahwa kita ini ber-Tuhan? Dengan dada penuh terisi kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan, pementingan diri sendiri, mungkinkah kita menjadi manusia ber-Tuhan? Tanpa adanya cinta kasih di dalam batin setelah semua kekotoran itu lenyap, mungkinkah kita menjadi manusia yang sungguh-sungguh ber-Tuhan dalam arti kata yang seluas-luasnya? Tanpa adanya cinta kasih yang bukan merupakan perluapan nafsu, bukan merupakan pementingan diri pribadi, mungkinkah kita menjadi seorang manusia dalam arti kata sebenarnya, yaitu manusia yang berperikemanusiaan? Manusia ber-Tuhan, berperikemanusiaan, tidak terpisahkan dari cinta kasih! Seorang manusia yang ber-Tuhan sudah pasti berperikemanusiaan, dalam arti kata, hidupnya penuh dengan cinta kasih. Dan hal ini baru mungkin terjadi kalau batinnya sudah tidak dikotori oleh kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan dan sebagainya itu, yang semua timbul karena dasar yang satu, yaitu si-Aku yang ingin senang. Jadi dengan masih adanya si-Aku yang ingin senang, tidak mungkinkah bagi kita untuk ber-Tuhan dan berperikemanusiaan, dalam arti kata yang sesungguh-sungguhnya. Kalaupun mulut mengaku ber-Tuhan dan berperikemanusiaan, maka itu hanyalah ucapan si-Aku, dan tentu dasarnya pun pengakuan itu hanya untuk kepentingan, keuntungan atau kesenangan si-Aku itu pula. Beranikah kita membuka melihat semua kenyataan ini semua yang terjadi dalam batin kita masing-masing? Beranikah kita membuka melihat dalam cermin dan mengamati kekotoran dan kepalsuan diri kita masing-masing? Hanya dengan keberanian inilah maka kita akan terhindar dari kemunafikan. Apa artinya kalau hanya mulut mengaku ber-Tuhan akan tetapi berani melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat tanpa mengenal takut kepada Tuhan yang kita akui Maha Tahu dan Maha Adil? Apa artinya kalau hanya mulut mengaku berperikemanusiaan akan tetapi di dalam batin mengandung kebencian terhadap manusia atau manusia-manusia lain? Semua ini perlu dibongkar! Dan kita sendirilah yang harus membongkarnya dengan berani! “Harap Paduka suka hati-hati, karena dua orang yang menculik Paduka itu sungguh tidak boleh dipandang ringan sama sekali. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, dan berbahaya sekali. Oleh karena itu, sebaliknya kalau Paduka memperoleh pengawalan yang kuat.” Bu-taihiap memberi nasihat. Pangeran itu tertawa. “Ah, betapa tidak enaknya bepergian harus dikawal, apalagi kalau pengawalan itu terlampau ketat. Sudah biasa aku melakukan perjalanan sendirian saja, dengan menyamar dan tiada seorang pun mengenalku sebagai pangeran mahkota. Sekarang, terpaksa aku dikawal sebagai tamu resmi dari Pulau Kim-coa-to.” “Hemm, melihat pasukan yang tidak berapa kuat ini, biarlah hamba menawarkan diri untuk mengawal Paduka.” “Terima kasih, Bu-taihiap, engkau baik sekali. Akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku merasa tidak leluasa kalau dikawal. Bagaimana kalau engkau ikut sebagai undangan di Kim-coa-to? Akan ramai di sana.” “Di manakah Kim-coa-to itu dan ada apakah di sana, Pangeran?” Mendengar pertanyaan ini, Sang Pangeran terheran, lalu tersenyurn. “Pertanyaan itu saja jelas menandakan bahwa agaknya sudah lama Taihiap tidak turun ke dunia ramai, sehingga tidak mendengar akan nama Kim-coa-to dan penghuninya, yaitu Syanti Dewi, puteri yang cantiknya seperti bidadari itu!” Pangeran lalu dengan singkat menceritakan tentang pulau itu dan tentang puteri cantik. Tidak mengherankan apabila Bu-taihiap mendengarkan dengan mata bersinar-sinar, wajah berseri dan nampak tertarik sekali. Dia adalah seorang pria yang tak pernah melewatkan wanita cantik begitu saja, dan biarpun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun semangatnya dalam soal wanita tak pernah padam, bahkan semakin berkobar-kobar! Memang nafsu, apapun juga macamnya, bagaikan api membakar, semakin diberi makanan semakin kelaparan dan semakin berkobar membesar, tak pernah mengenal puas. itulah nafsu! Karena itu, sekali menjadi hamba nafsu, selamanya akan terus diperbudak, semakin lama semakin dalam. “Aihhh.... kalau begitu, perlu hamba berkunjung....” Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh. Benar saja, dia melihat tiga pasang mata yang melotot, pandang mata berapi-api penuh kemarahan dari tiga orang isterinya! “Ehh.... ohh berkunjung ke sana megawal Paduka....” sambungnya cepat. “Hemm mengawal ataukah melihat puteri cantik?” Tang Cun Ciu menghardik dengan suara mendongkol. “Huh, tak ada puasnya!” sambung Gu Cui Bi. “Dasar mata keranjang!” Nandini juga mengomel. Bu-taihiap menyeringai dan memandang kepada Sang Pangeran dengan muka berobah kemerahan. Melihat adegan ini, Sang Pangeran yang masih muda itu, akan tetapi yang amat bijaksana dan mudah menangkap segala hal yang terjadi, tertawa lebar dan berkata, “Sudahlah, Bu-taihiap. Tidak perlu aku dikawal. Lihat, pengawalku sudah banyak dan kurasa mereka tidak berani lagi muncul mengganggu setelah menerima hajaran keluargamu tadi.” Betapapun juga, Bu-taihiap dan keluarganya tetap mengawal Sang Pangeran sampai ke pantai tempat penyeberangan, dan di dalam perjalanan ini Bu-taihiap mempergunakan kesempatan baik itu untuk minta bantuan Sang Pangeran mengenai niatnya menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong. “Jenderal Kao Cin Liong? Ahh, dia adalah seorang sahabatku!” Sang Pangeran itu tanpa disangka-sangka berkata kepadanya, membuat pendekar itu dan tiga orang isterinya memandang girang. “Jangan khawatir, kalau memang sudah ada kontak hati antara dia dan puterimu, aku pasti suka untuk menjadi perantara. Dia itu sahabatku yang baik dan amat kukagumi.” Tentu saja keluarga itu menjadi girang bukan main mendengar kata-kata pangeran ini, terutama sekali Bu Siok Lan yang selama percakapan itu hanya menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. “Banyak terima kasih hamba haturkan atas kebaikan budi Paduka, Pangeran.” kata Bu-taihiap. “Biarlah hamba sekeluarga menanti di kota raja sampai Paduka kembali ke sana.” Demikianlah, setelah mengawal pangeran sampai ke tepi pantai, di mana kini telah dipersiapkan perahu-perahu besar milik pemerintah daerah dengan pengawalan ketat pula, mereka berpisah. Bu-taihiap sekeluarganya melanjutkan perjalanan ke kota raja, sedangkan Pangeran Kian Liong melakukan penyeberangan ke Kim-coa-to dengan pengawalan ketat, yaitu pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw dan ditambah pula oleh pasukan keamanan dari daerah Tung-king. Biarpun berita tentang diculiknya Pangeran Kian Liong telah sampai pula ke Pulau Kim-coa-to, dibawa oleh mereka yang menyaksikan peristiwa penyerbuan perahu yang ditumpangi pangeran dan juga menurut laporan anak buah perahu itu sendiri, namun keadaan pulau itu tetap saja ramai dan meriah. Hanya diam-diam Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi merasa khawatir akan keselamatan Sang Pangeran, terutama sekali Syanti Dewi karena puteri ini merasa amat suka dan sayang kepada pangeran yang amat bijaksana, pandai dan yang menjadi sahabatnya yang paling baik, bahkan antara mereka ada hubungan seperti kakak dan adik saja! Ingin sekali dia pergi sendiri untuk ikut menyelidiki, kalau perlu menolong pangeran itu. Akan tetapi karena pulau itu sedang bersiap hendak merayakan ulang tahunnya, maka tentu saja dia tidak dapat meninggalkannya. Para tamu sudah berdatangan, ditampung di pondok-pondok darurat yang dibangun di pulau itu untuk keperluan ini. Para tamu itu bersikap hormat dan tertib karena mereka semua tahu betapa bahayanya kalau sampai mereka tidak mentaati peraturan dan sampai menimbulkan kemarahan pemilik pulau yang kabarnya memiliki kepandaian amat tinggi dan juga pulau itu sendiri dikabarkan sebagai pulau yang mempunyai banyak sekali ular-ular beracun. Ketika perahu yang merupakan iring-iringan besar tiba dan semua orang melihat munculnya Sang Pangeran, tercenganglah mereka. Akan tetapi Syanti Dewi menyambut dengan girang dan lega bukan main, dan sebagai tamu kehormatan, tentu saja Sang Pangeran diberi tempat menginap di dalam gedung induk, di mana tinggal Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. Dan yang menyambut kedatangan pangeran itu adalah dua orang wanita cantik ini. Munculnya Sang Pangeran ini mendatangkan berbagai perasaan di hati para tamu yang sudah mulai berkumpul. Ada yang merasa lega dan girang karena betapapun juga, pangeran mahkota itu mempunyai nama baik di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang bijaksana, pandai dan menjunjung tinggi kegagahan. Akan tetapi di samping perasaan ini, juga timbul rasa khawatir karena menurut mereka, hadirnya Sang Pangeran ini tentu saja banyak mengurangi kemungkinan mereka akan terpilih sebagai jodoh Sang Dewi, sebagaimana didesas-desuskan orang. Kalau Sang Dewi berkenan memilih jodoh pada kesempatan itu, siapa orangnya mampu bersaing dalam segala hal dengan pangeran mahkota? Suatu persaingan yang tidak adil! Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sendiri merasa girang bukan main. Dia memang mengharapkan agar Syanti Dewi berjodoh dengan pangeran mahkota, kalau mungkin menjadi isteri pertama, kalau tidak mungkin menjadi selir terkasih sehingga kelak dapat menjadi selir pertama, kedua atau sukur-sukur kalau dapat menjadi permaisuri, apabila Sang Pangeran sudah naik tahta menjadi kaisar! Dan dia sendiri, sebagai guru dan juga seperti kakak sendiri dari Syanti Dewi, tentu akan terangkat pula derajatnya. Maka, tidak mengherankan apabila nyonya rumah ini menyambut Sang Pangeran dengan segala kehormatan dan kemuliaan, amat meriah. Ouw Yan Hui sudah mengambil keputusan untuk mencarikan calon jodoh bagi Syanti Dewi. Oleh karena itu, sejak para tamu belum berlayar menyeberang ke pulau, dia sudah menyebar banyak sekali mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka semua, memilih-milih orang-orang yang kiranya patut menjadi calon jodoh murid atau sahabatnya yang baginya seperti anaknya sendiri itu. Dia memerintahkan kepada para mata-matanya itu untuk menyelidiki para tamu tentang kekayaan mereka, kedudukan dalam hal ilmu silat atau sastra dan segala macam segi kebaikan yang menonjol lagi. Semua tamu yang dipersilakan menempati pondok-pondok yang dibangun khusus itu diberitahu bahwa perayaan yang diadakan besok pagi akan diramaikan dengan pesta, tari-tarian, ilmu silat, dan sebagainya. Sementara itu, setiap tamu menyerahkan sumbangan yang diterima oleh serombongan panitia khusus yang mencatat semua sumbangan itu dan menyusun sumbangan di atas meja besar, bertumpuk-tumpuk, dan berada di ruangan pesta yang baru akan diadakan pada keesokan harinya. Malam itu, Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi menjamu Pangeran Kian Liong di dalam pondok kecil mungil yang terdapat di tengah-tengah taman yang luas dan indah di sebelah kiri gedung. Pondok mungil ini telah dihias dengan meriah, digantungi lampu-lampu dengan warna bermacam-macam, dan di tengah-tengah pondok terdapat meja bundar di mana tiga orang itu duduk menikmati hidangan, minuman sambil bercakap-cakap. Sayup-sayup terdengar suara alunan musik yang kim dan suling yang dimainkan oleh beberapa orang wanita muda di sudut ruangan. Memang mereka ini diperintahkan untuk memainkan alat-alat musik itu dengan perlahan-lahan, agar tidak mengganggu percakapan mereka bertiga, namun cukup mendatangkan suasana yang indah. Setelah beberapa kali menuangkan arak dalam cawan Sang Pangeran, Ouw Yan Hui lalu berkata dengan penuh hormat, “Pangeran, mungkin Paduka telah mendengar bahwa untuk merayakan ulang tahun ke tiga puluh dari Syanti Dewi, kami telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan jodoh untuk Adik Syanti....” “Ah, itu bukan persepakatan kami, Pangeran, melainkan kehendak Enci Hui saja....” Syanti Dewi memotong sambil tersenyum. Pangeran Kian Liong tertawa dan minum araknya. “Kehendak siapapun juga, kurasa hal itu sudah sepantasnya, bukan? Seorang wanita secantik engkau, Enci Syanti Dewi, sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang pemuja, yaitu seorang suami.” Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berobah merah. “Nah, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangeran Yang Mulia! Engkau dengar sendiri, Adikku.” Kemudian Ouw Yan Hui memandang lagi kepada Sang Pangeran dan mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan melengkung hitam itu. “Akan tetapi hamba merasa sangsi dan bingung, Pangeran. Biarpun besok akan berkumpul banyak pria sebagai tamu, siapakah gerangan di antara mereka itu yang cukup pantas untuk menjadi jodoh seorang wanita seperti Puteri Syanti Dewi ini?” Jelaslah bahwa ucapan Ouw Yan Hui ini “memancing” pendapat Pangeran tentang hal itu. Pangeran itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Memang sukar.... memang sukar mencari jodoh yang tepat untuk seorang wanita seperti Enci Syanti Dewi ini....” Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yan Hui untuk cepat berkata, “Tidak ada yang tepat memang, kecuali Paduka sendiri, Pangeran! Kalau saja Paduka sudi melimpahkan kehormatan itu....” “Enci Hui....!” Syanti Dewi berseru dengan suara mengandung teguran. Pangeran Kian Liong tertawa dan mengangkat kedua tangan, menggoyang-goyangkan kedua tangannya itu. “Aihh, ouw-toanio, mana mungkin itu? Enci Syanti Dewi bagiku seperti kakakku sendiri, setidaknya seperti seorang sahabat yang amat baik. Selain itu, aku sendiri pun sama sekali belum pernah memikirkan tentang jodoh.... usulmu itu sungguh tidak mungkin, Toanio.” Syanti Dewi bertemu pandang dengan pangeran itu dan wanita ini tersenyum. Akan tetapi sebaliknya, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan dia merasa kecewa bukan main. Perjamuan dilanjutkan dengan sunyi sampai selesai. Setelah semua mangkok piring dibersihkan dari meja dan diganti dengan makanan kering dan minuman, Ouw Yan Hui lalu berkata kepada pangeran itu, suaranya penuh permohonan. “Betapapun kecewa rasanya hati hamba, namun hamba dapat mengerti alasan yang Paduka kemukakan tadi, Pangeran. Akan tetapi hamba mohon, sudilah kiranya Paduka menjadi pelindung dan penasihat dari adik hamba ini dalam menentukan pemilihan jodoh agar jangan sampai salah pilih.” Pangeran itu tersenyum lebar. “Ah, tentu saja, Toanio. Tanpa diminta pun aku selalu akan melindungi Enci Syanti, sungguhpun dalam hal perjodohan ini, orang semuda aku yang tidak ada pengalaman ini mana mampu memberi nasihat? Aku yakin bahwa seorang bijaksana seperti Enci Syanti Dewi tidak akan dapat salah pilih.” Sedikit terhibur juga hati Ouw Yan Hui mendengar jawaban ini. Akan tetapi percakapan selanjutnya tidak lagi menarik hatinya. Apalagi antara adiknya itu dan Sang Pangeran memang nampak terdapat keakraban dan mereka itu bicara seperti dua orang sahabat atau saudara. Maka dia pun merasa sebagai pengganggu atau merasa menjadi orang luar, maka dengan hormat dan alasan pening kepala dia pun mengundurkan diri meningggalkan dua orang itu melanjutkan percakapan di dalam pondok mungil itu, sedangkan para penabuh musik masih terus memainkan musik dengan lirih sebagai latar belakang percakapan, tanpa mereka itu mampu menangkap apa yang dibicarakan oleh pangeran dan puteri itu. Malam itu indah sekali. Dari tempat mereka duduk, mereka dapat memandang keluar jendela, ke atas langit yang bersih seperti beludu hitam baru saja disikat, tanpa ada debu atau awan sedikit pun yang menutupi bintang-bintang yang berkilauan gembira. Angin malam bersilir lembut, membawa keharuman bunga dan daun yang tumbuh di luar pondok. Dari sudut kiri nampak dari situ sebatang pohon besar yang berdiri seperti menyendiri dan silir angin lembut tidak mengganggu pohon itu dari tidurnya. Namun di antara celah-celah cabang dan daun, dapat nampak bintang-bintang di langit belakangnya, sehingga dipandang sepintas lalu seolah-olah pohon itu berubah benda-benda berkilauan. Agaknya kedua orang bangsawan yang duduk di dalam pondok dan kebetulan keduanya memandang keluar jendela itu, terpesona oleh keindahan malam gelap tertabur bintang itu, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Akan tetapi keheningan yang meliputi seluruh tempat itu seolah-olah membuat mereka segan untuk mengganggu dengan kata-kata. Suara yangkim dan suling yang lirih itu pun termasuk ke dalam keheningan maha luas itu, seperti juga suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang dengan suara berirama. Seekor nyamuk yang menggigit punggung tangan Pangeran Kian Liong seolah-olah menarik kembali kesadaran pangeran itu ke dalam dunia lama. Dia menepuk punggung tangan kiri dan menggaruknya, kemudian terdengar dia menarik napas. Gerakan dan suaranya ini membuat Syanti Dewi sadar pula, seolah-olah baru dia ingat bahwa dia duduk di situ menemani Sang Pangeran. Dan keheningan itu pun lenyap, tidak terasa lagi. “Ouw-toanio agaknya mengharapkan sekali agar kita dapat saling berjodoh, Enci Syanti. Betapa lucunya.” “Ah, maafkanlah dia, Pangeran. Mana dia tahu akan perasaan kita berdua yang seperti dua orang kakak dan adik. Memang begitulah dia, mungkin karena kepatahan hatinya, dia selalu menilai hubungan antara pria dan wanita selalu hanya merupakan hubungan yang mengandung kasih asmara. Rupa-rupanya sukar baginya untuk membayangkan hubungan antara pria dan wanita yang bukan keluarga sebagai dua orang sahabat atau saudara dalam batin. Maafkan dia.” “Ah, tidak apa, Enci. Akan tetapi kalau engkau memang tidak setuju dengan diadakannya pemilihan calon jodoh, mengapa engkau tidak menolak saja?” “Pangeran.... Paduka tidak tahu...., saya telah berhutang banyak budi kepada Enci Yan Hui.... kalau tidak ada dia, entah saya sekarang telah menjadi apa, bahkan apakah saya masih hidup. Ah saya hanya menurut saja, untuk sekedar membalas budinya, bahkan ulang tahun ini sebenarnya saya tidak setuju. Coba saja Paduka bayangkan, usia saya tahun ini sudah tiga puluh enam tahun! Dan dia mengatakannya sebagai ulang tahun ke tiga puluh!” “Ah, aku tidak percaya!” pangeran itu berseru heran. “Tidak percaya yang mana, Pangeran?” “Bahwa usiamu sudah tiga puluh enam tahun! Bahkan kalau engkau mengatakan bahwa usiamu baru paling banyak dua puluh tahun, aku percaya itu!” Syanti Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan muram. “Kecantikan dan awet muda ini bahkan makin lama menjadi semacam kutukan bagi saya, Pangeran. Coba saya tidak mempelajari ilmu itu, tentu saya sudah nampak tua dan tidak banyak orang datang mengganggu saya....” “Wah, jangan masukkan aku sebagai seorang di antara mereka, Enci!” Syanti Dewi lalu menjura dan berkata, “Jangan khawatir Pangeran, Paduka merupakan seorang istimewa, seorang yang bukan datang karena kecantikan saya, melainkan datang dengan hati bersih dan bijaksana, karena itulah saya amat tunduk kepada Paduka.” “Sudahlah, jangan sebut-sebut hal itu. Tapi, mana mungkin aku dapat percaya kalau engkau sudah berusia tiga puluh enam tahun?” “Dan Enci Hui sudah berusia hampir lima puluh tahun!” “Ah, masa....? Dia nampaknya tidak lebih dari tiga puluh tahun!” “Itulah, Pangeran. Kami berdua telah menerima ilmu membuat diri kami awet muda, ilmu yang kami pelajari dari Bibi Maya Dewi dari India.” Pangeran itu mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kagum bukan main. Dia sendiri belum mempunyai niat untuk mencari jodoh, akan tetapi andaikata pada suatu waktu dia ingin mempunyai seorang kekasih, tantu dia akan membayangkan Syanti Dewi ini sebagai perbandingan. “Enci, kalau benar usiamu sudah tiga puluh enam tahun, mengapa engkau masih juga enggan untuk memilih jodoh? Bukankah sudah cukup waktunya bagi seorang wanita seusiamu itu untuk mempunyai seorang suami?” Syanti Dewi memandang wajah pangeran itu, kemudian tiba-tiba dia menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis terisak-isak! Pangeran Kian Liong terkejut dan terheran, akan tetapi dia diam saja, membiarkan puteri itu menangis untuk menguras tekanan batin yang dideritanya pada saat itu. Akhirnya, setelah banyak air mata terkuras, dan mengalir keluar melalui celah-celah, jari tangannya, Syanti Dewi menurunkan kedua tangannya dan menggunakan saputangan untuk menyusuti air matanya dari pipi. “Ampunkan saya, Pangeran.... saya.... telah lupa diri membiarkan kedukaan menyeret hati....” Kemudian Syanti Dewi memberi isarat dengan tangan untuk menyuruh para pelayan yang berada di situ, juga yang mainkan alat musik, untuk keluar meninggalkan ruangan itu dan menanti di luar. Setelah mereka semua pergi, puteri itu lalu berkata dengan suara halus. “Sebaiknya saya ceritakan semua rahasia hati saya kepada Paduka, karena hanya Paduka seoranglah yang saya percaya dan yang juga memaklumi keadaan hati saya. Dengan perlahan dan hati-hati Syanti Dewi mulai menceritakan semua pengalamannya secara singkat dengan Wan Tek Hoat, betapa sampai dia meninggalkan kota raja Bhutan, lari dari istananya karena hendak mencari Tek Hoat dan akhirnya bertemu dan ditolong oleh Ouw Yan Hui. Pangeran Kian Liong yang masih muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa terharu sekali mendengar kisah seorang puteri raja yang karena kasih asmara sampai meninggalkan istana ayahnya, hidup terlunta-lunta dan sampai sekarang tetap tidak mau menikah. “Tapi.... agaknya pria yang kaucinta itu bukan seorang laki-laki yang baik, Enci! Kalau benar dia seorang pria yang baik dan mencintamu, mengapa sampai sekarang dia belum juga datang mencarimu?” Syanti Dewi menggeleng kepalanya, “Saya tidak tahu, Pangeran. Akan tetapi dia.... dia dahulu adalah seorang pendekar yang mulia.... setidaknya, bagiku....” “Dan apakah sampai saat ini engkau masih juga mencintanya, Enci?” Sampai lama Syanti Dewi tidak mampu menjawab, kemudian dia menarik napas panjang dan lebih mendekati keluhan daripada jawaban, “Entahlah.... bagaimana, ya? Kalau ingat betapa sampai kini dia tidak muncul, rasa-rasanya sudah kubikin putus pertalian batin itu.... akan tetapi, betapapun juga, rasanya tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain, atau lebih tepat lagi, rasanya hati saya tidak mungkin dapat jatuh cinta kepada lain pria, Pangeran. Akan tetapi.... ah, saya tidak tega untuk menolak permintaan Enci Hui, tidak tega untuk membuatnya berduka, maka saya terima saja permintaannya ini. Hanya saya ragu-ragu.... apakah penyerahan saya ini bukan merupakan jembatan menuju kepada kesengsaraan batin yang lebih besar lagi....” Sang Pangeran menggeleng-geleng kepala. Sudah banyak dia mendengar tentang cinta antara pria dan wanita yang berakibat pahit sekali. Kini, wanita yang amat disayangnya seperti sahabat baik atau seperti kakak sendiri ini malah menjadi korban cinta pula! “Kalau memang engkau sudah mengambil keputusan, nah, besok kaulakukanlah pemilihanmu itu, Enci Syanti. Kemudian, bersama pilihanmu itu engkau dapat pulang ke Bhutan. Aku akan memberimu surat pengantar kepada Ayahmu dan sepasukan pengawal kalau perlu.... engkau tidak boleh menyiksa diri seperti ini. Lupakan saja masa lalu dan anggap saja bahwa engkau tidak berjodoh dengan pria itu, dan jodohmu adalah hasil pilihanmu besok itu. Atau kalau engkau lebih menghendaki tinggal di kota raja, biarlah aku akan membantumu, dan suamimu dapat pula bekerja di kota raja, sesuai dengan kepandaian dan kemampuannya. Aku akan membantumu sedapatku, Enci.” Mendengar ini, Syanti Dewi kembali menangis dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran itu. “Ah, Paduka adalah satu-satunya orang yang kujunjung tinggi karena kemuliaan hati Paduka. Biarpun Paduka masih muda, namun Paduka penuh dengan prikemanusiaan dan kebijaksanaan. Pangeran, berilah jalan kepada hamba, bagaimana hamba harus berbuat? Rasanya.... tidak mungkiniah hamba dapat menyerahkan diri kepada pria lain....” Pangeran Kian Liong memegang kedua pundak Syanti Dewi dan mengangkatnya bangun, lalu menyuruhnya duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan dia. Kemudian dia mengepal tangan kanannya. “Hemm, begini hebat cintamu terhadap pria itu. Dan dia.... dia membiarkanmu menderita. Mau rasanya aku memukul muka pria itu kalau aku berhadapan dengan dia! Engkau wanita yang memiliki cinta kasih yang begini murni, dan dia membiarkanmu menderita. Keparat!” “Pangeran, harap ampunkan dia....” “Sudahlah, hati wanita memang sukar dimengerti. Sekarang begini saja, Enci Syanti Dewi. Biarkan aku muncul pula sebagai calon! Jangan kaget, maksudku aku muncul sebagai calon hanya untuk membuat semua calon mundur, dan juga untuk menyenangkan hati Ouw-toanio sehingga engkau tidak akan merasa tidak enak hati terhadapnya. Akan tetapi, bukan maksudku untuk memaksamu menjadi isteri atau selirku, sama sekali tidak! Engkau hanya akan kubebaskan dari sini tanpa merasa mengecewakan hati Ouw-toanio, dan setelah engkau ikut bersamaku ke kota raja, engkau boleh pilih, mau pulang ke Bhutan atau mau tetap tinggal di kota raja, terserah. Bagaimana pendapatmu?” Syanti Dewi terkejut dan juga merasa terharu, sekali. Pangeran itu adalah seorang sahabat yang amat baik, yang bersikap manis kepadanya bukan karena tertarik akan kecantikannya belaka, melainkan karena terdapat kecocokan di antara mereka. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pangeran ini mau berbuat seperti itu, pura-pura menjadi calon jodohnya, bukan karena ingin memperisteri dia seperti yang dicita-citakan oleh Ouw Yan Hui, melainkan semata-mata untuk mencegah agar dia tidak usah terpaksa memilih seorang pria yang tidak dicintanya untuk menjadi jodohnya, karena sungkan menolak kehendak Ouw Yan Hui! “Tapi.... tapi, Pangeran.... dengan demikian.... umum sudah mengetahui bahwa Paduka memilih saya dan....” “Ah, apa sih anehnya bagi seorang pangeran untuk mengambil seorang wanita seperti selir atau isterinya? Tidak akan ada yang memperhatikan atau mempedulikan, biar andaikata aku mengambil sepuluh orang wanita sekalipun.” “Ah, kalau begitu saya hanya dapat menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan Paduka, Pangeran.” “Sudahlah, di antara kita yang sudah menjadi sahabat baik, perlukah bicara tentang budi lagi?” Pada saat itu nampak dua orang pelayan berjalan masuk perlahan-lahan sambil membawa buah-buahan segar dan guci minuman anggur. Melihat ini, Syanti Dewi cepat menyuruh mereka mendekat karena dia ingin melayani Pangeran dengan buah-buahan dan anggur yang merupakan minuman halus itu. Dengan sikap manis Syanti Dewi menuangkan anggur merah ke dalam cawan emas, lalu menghaturkan minuman itu kepada Sang Pangeran. “Untuk tanda terima kasih saya, Pangeran.” kata Syanti Dewi sambil menyerahkan cawan terisi anggur merah itu. Pangeran Kian Liong tersenyum dan menerima cawan itu. Akan tetapi baru saja dia menempelkan bibir cawan ke mulutnya, tiba-tiba ada sinar hitam kecil menyambar. Syanti Dewi melihat ini, akan tetapi dia tidak keburu menangkis. “Tringgg....!” Cawan itu terpukul runtuh dan terlepas dari tangan Sang Pangeran, anggurnya tumpah dan membasahi sedikit celana pangeran itu, cawannya terjatuh ke atas lantai mengeluarkan bunyi nyaring. “Ihh! Siapa berani melakukan perbuatan ini?” Syanti Dewi sudah meloncat ke depan Pangeran dan bersikap melindungi, matanya memandang ke arah melayangnya sinar hitam kecil yang ternyata adalah sebutir batu itu, yaitu ke arah jendela. Dan pada saat itu terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar pondok, suara gedebak-gedebuk orang-orang berkelahi di dalam taman. “Pasti telah terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita tinggalkan tempat ini, kembali ke dalam gedung, Pangeran. Biarlah saya melindungi Paduka.” Syanti Dewi lalu mengambil sebatang pedang yang berada dalam pondok itu, kemudian dengan pedang terhunus dia menggandeng tangan Sang Pangeran, diajaknya keluar dari pondok melalui pintu belakang. Sedangkan dua orang pelayan wanita tadi sudah saling rangkul dengan tubuh gemetar, berlutut di sudut ruangan itu. Biarpun Sang Pangeran yang tabah itu sama sekali tidak merasa takut dan sikapnya tenang saja, namun dia tidak menolak ketika digandeng oleh Syanti Dewi dan diajak keluar dari pondok. Ketika pintu belakang dibuka, ternyata sunyi saja, tidak nampak pengawal di situ. Syanti Dewi menengok dan melihat di dalam penerangan bintang-bintang yang suram-muram, ada sedikitnya enam orang sedang mengeroyok pria yang bertangan kosong, akan tetapi pria itu lihai sekali sehingga para pengeroyoknya mengepungnya dengan ketat. Dia tidak dapat melihat jelas siapakah yang dikeroyok dan siapa pula yang mengeroyok. Paling perlu adalah lebih dulu menyelamatkan Sang Pangeran dan membawanya pergi dari tempat berbahaya itu. “Mari, Pangeran!” Dia berbisik dan menarik tangan pangeran itu, mengajaknya pergi sambil melindunginya. Pangeran Kian Liong melihat betapa wanita cantik itu sengaja menempatkan diri di antara dia dan tempat berkelahi itu dan diam-diam Pangeran ini merasa kagum dan berterima kasih sekali. Seorang wanita yang cantik sekali dan juga gagah perkasa, mempunyai kesetiaan yang mengagumkan, baik sebagai kekasih maupun sebagai seorang sahabat! Dia memandang ke arah orang-orang bertempur itu dan melihat orang yang dikeroyok itu, walaupun yang nampak hanya bayang-bayangan berkelebat, namun dia dapat menduga bahwa bayangan itu seperti pengemis gagah yang pernah menyelamatkannya ketika dia diserbu perampok di dalam hutan. Akan tetapi dia tidak dapat melihat jelas, apalagi Syanti Dewi mengajaknya bercepat-cepat meninggalkan taman. “Ahhh....!” Syanti Dewi menahan seruannya ketika dia tiba di tempat di mana tadinya para pengawal menjaga. Kiranya para pengawal telah roboh malang-melintang, entah pingsan entah tewas! Pantas saja taman itu tidak nampak ada pengawalnya. Syanti Dewi tidak mau menyelidiki karena dia harus cepat-cepat menyelamatkan Sang Pangeran. Dia kini menarik tangan Sang Pangeran dan mengajaknya berlari menuju ke gedung. Baru lega hatinya ketika dia telah berada di dalam gedung dan setelah mengantar Pangeran ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuk tamu agung itu, dan memesan kepada para penjaga yang berada di situ untuk menjaga keselamatan Pangeran dengan baik, dia lalu menemui Ouw Yan Hui.Ternyata peristiwa yang terjadi di taman itu tidak diketahui oleh seorang pun di dalam gedung. Hal ini membuktikan betapa lihainya para penyerbu itu, yang telah melumpuhkan semua penjaga yang berada di taman tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Setelah mendengar penuturan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui lalu memanggil penjaga, dan bersama Syanti Dewi dia lari ke taman, membawa sebatang pedang. Akan tetapi, ketika dua orang wanita ini bersama sekelompok penjaga tiba di taman, di situ sunyi saja, tidak ada lagi orang yang bertempur. Baik yang dikeroyok maupun para pengeroyok tadi sudah tidak nampak lagi, dan ketika diperiksa, semua pengawal ternyata tidak tewas, hanya roboh tertotok dalam keadaan lumpuh atau pingsan! Dan dua orang pelayan yang membawa minuman dan buah-buahan tadi pun masih berlutut dan menggigil ketakutan di sudut pondok. Sedangkan para pelayan lain juga seperti para pengawal keadaannya, yaitu pingsan tertotok! Ada pula yang pingsan atau pulas, menjadi korban obat bius. Sibuklah Ouw Yan Hui, Syanti Dewi dan para penjaga untuk menyadarkan semua orang itu. Souw Kee An yang juga telah roboh tertotok segera bercerita di depan dua orang wanita itu dan juga kepada Sang Pangeran, dengan muka pucat dan khawatir sekali. “Penyerbu-penyerbu itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi.” komandan ini bercerita dengan suara mengandung kekhawatiran besar. “Hamba sedang melakukan pemeriksaan di sekeliling taman untuk menjaga keselamatan Paduka Pangeran, dan tiba-tiba saja hamba diserang oleh seorang pria berkedok yang melompat keluar dari balik semak-semak. Hamba melawan dan sungguh luar biasa sekali orang itu. Dengan beberapa kali gerakan saja hamba telah roboh tanpa dapat mengeluarkan seruan. untuk memperingatkan teman-teman, dan harus hamba akui bahwa selamanya hamba belum pernah bertemu dengan lawan selihai itu....” Komandan itu menggeleng kepalanya. “Sungguh berbahaya sekali, yang kita hadapi adalah ahli-ahli silat tinggi. Hamba mengaku salah dan lemah, hanya mohon pengampunan dari Paduka Pangeran.” Pangeran Kian Liong menggerakkan tangannya. “Ah, tak perlu merendahkan diri seperti itu, Souw-ciangkun. Kami tahu bahwa engkau adalah seorang komandan pengawal yang baik, setia dan juga berkepandaian tinggi. Akan tetapi, menghadapi tokoh-tokoh dan datuk-datuk kang-ouw yang memiliki kesaktian luar biasa itu, tentu saja engkau tidak berdaya. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus mengerahkan pasukanmu dengan lebih hati-hati lagi.” Para pengawal dan pelayan bermacam-macam ceritanya, ada yang selagi berjaga diserang dan sedikit pun mereka tidak sempat berteriak dan tahu-tahu telah roboh tak mampu bergerak dan ada yang mencium asap harum lalu tak ingat apa-apa lagi. Dua orang yang membawa buah-buahan dan minuman mengatakan bahwa mereka membawa minuman dan buah-buahan dari dapur dan tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata minuman anggur itu mengandung obat perangsang dan obat yang memabokkan! Jelaslah bahwa diam-diam ada yang memasukkan obat itu ke dalam guci minuman tanpa diketahui oleh para pelayan. LANJUT ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar