Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 31.

Kisah si Bangau Putih Jilid 31

“Lalu.... kalau menurut pendapatmu bagaimana, Enci?” tanyanya, suaranya gemetar karena ia mendapat perasaan yang amat tidak enak.
“Aku pernah melihat perwira yang menjadi lawan kakakmu itu, nona Pouw. Kalau tidak keliru, dia seorang kepercayaan Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan perbatasan yang agaknya bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Dan melihat tanda pangkat yang dipakainya, dia memiliki pangkat yang lebih tinggi dari kakakmu. Dan itu dibuktikan dengan adanya tiga luka bacokan golok pada tubuh kakakmu, sedangkan pada tubuh perwira itu, hanya ada satu luka tusukan pedang, dari punggung yang menembus ke dada. Jadi menurut perhitunganku, kakakmu memang berkelahi melawan perwira itu, akan tetapi kakakmu terdesak dan menderita tiga luka itu. Kemudian, kalau tidak keliru dugaanku, muncul seorang lain yang membunuh perwira itu dari belakang dengan tusukan pedang. Orang itu tentu lihai sekali sehingga sekali tusuk dia mampu merobohkan perwira itu. Kemudian, dengan mudah dia membunuh pula kakakmu yang sudah luka-luka itu dengan tusukan pedang dari depan “
“Akan tetapi, pedang kakakku yang berada di situ juga berlumuran darah!”
Bi-kwi tersenyum. “Apa sukarnya itu, pembunuh itu dapat saja mengambil pedang kakakmu dan melumurinya dengan darah perwira itu yang masih bercucuran.”
“Akan tetapi siapakah orang yang sekeji itu membunuh kakakku, dan mengapa pula dia mengatur muslihat agar kelihatannya kakakku tewas dalam perkelahian melawan perwira itu? Apa alasannya?” Li Sian bertanya, penasaran walaupun ia melihat bahwa pendapat wanita ini memang sangat mungkin terjadi.
“Sukar untuk menduga siapa pelaku pembunuhan itu. Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa dia tentulah seorang pembantu Siangkoan Lohan, di antara tokoh-tokoh yang lihai itu. Dan siasat itu sengaja dilakukan orang untuk mengelabuhimu, nona Pouw.”
“Apa? Untuk mengelabuhi aku? Mengapa?”
“Ini hanya dugaanku belaka. Engkau seorang gadis muda yang menurut pendengaranku memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan ilmu-ilmu dari Pulau Es pun kaukuasai, tentu Siangkoan Lohan ingin mengikatmu. Dan agaknya, kakakmu itu adalah seorang perwira yang setia kepada kerajaan sehingga dia mungkin akan membuka rahasia pemberontakan Tiat-liong-pang ini kepadamu. Nah, karena itu, mereka harus membunuh kakakmu dan yang menerima tugas adalah rekannya yang lebih lihai, yaitu perwira yang tewas pula tu. Dan agaknya perwira itu memang dikorbankan, dibunuh agar nampaknya kakakmu tewas dalam perkelahian melawan rekannya sendiri. Tentu hal ini selain untuk mengelabuhimu agar engkau tidak menyangka buruk terhadap Tiat-liong-pang, juga untuk menanamkan kebencian dalam hatimu terhadap pasukan kerajaan.”
“Ahhh....!” Sepasang mata Li Sian terbelalak, karena ia teringat akan sikap dan kata-kata kakak kandungnya sebelum mereka dipisahkan oleh kemunculan Siangkoan Liong. Dan kakanya berjanji akan mengunjunginya dan bicara panjang lebar seminggu kemudian, akan tetapi tahu-tahu dia tewas. “Memang kakakku pernah memperingatkan aku dalam pertemuan pertama itu, memperingatkan aku tentang Tiat-llong-pang....”
“Ah, kalau begitu sudah pasti tepat dugaanku tadi, Nona. Kakakmu itu telah mengetahui akan rahasia busuk dari Tiat-liong-pang dan hendak memperingatkanmu, maka mereka telah mendahuluinya, membunuhnya dengan siasat agar engkau tidak menduga buruk terhadap mereka.”
“Akan tetapi Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah! Sejak kecil dahulu mendiang ayahku telah bersahabat dengan Siangkoan Lohan, dan kalau sekarang mereka hendak melakukan pemberontakan, hal itu adalah wajar, bukan? Setiap orang gagah tentu tidak rela melihat tanah airnya dijajah oleh bangsa Mancu dan sedapat mungkin hendak membebaskan rakyat dari penjajahan!” Li Sian membela. “Menurut, perkiraanku, kakakku itu mulai menyadari akan kebaikan gerakan perjuangan Tiat-liong-pang, maka dia hendak membalik dan hendak membantu Tiat-liong-pang. Hal ini agaknya diketahui oleh pihak tentara kerajaan maka kakakku dibunuh.”
“Itulah cerita yang sengaja mereka buat untuk mengelabuhimu, nona Pouw. Akan tetapi kalau benar demikian halnya, lalu dari mana datangnya luka tusukan pedang yang menewaskan kakakmu? Harap jangan lengah dan bodoh, nona Pouw, dan waspadalah terhadap bujuk-rayu Siangkoan Liong itu. Dia seorang pemuda yang bukan hanya lihai sekali ilmu silatnya, akan tetapi juga amat cerdik dan pandai membawa diri, sehingga gadis-gadis yang berhati polos dan jujur sepertimu ini akan mudah sekali terjatuh dan....”
“Diam! Itu bukan urusanmu!” Li Sian membentak dengan muka berubah merah, lalu ia pergi meninggalkan Bi-kwi. Wanita ini hanya menghela napas panjang, dan ia mengambil keputusan bahwa kalau tidak dapat menggandeng Li Sian sebagai kawan untuk menentang persekutuan itu, ia akan maju sendiri. Bagaimanapun juga, ia sudah bersumpah di dalam hatinya untuk meninggalkan jalan kejahatan, bahkan akan menentang kejahatan. Pemberontakan yang akan dilakukan Tiat-liong-pang ini sama sekali bukanlah menentang penjajah, melainkan pemberontakan yang jahat, persekutuan dengan kaum sesat dan ia pun sudah mendengar betapa Siangkoan Liong dicalonkan menjadi kaisar kalau pemberontakan itu berhasil! Ia pun cepat menuju ke kamarnya untuk menemui suaminya dan membicarakan urusan itu.
Sementara itu, dengan muka masih merah dan jantungnya berdebar, dada terasa panas, Li Sian lari meninggalkan Bi-kwi dan segera pergi mencari Siangkoan Liong.
Pada saat itu, Siangkoan Liong sedang bercakap-cakap dengan ayahnya, yaitu Siangkoan Lohan, di ruangan sebelah dalam. Karena hatinya terguncang dan ia menjadi amat penasaran dan tidak sabaran Li Sian tidak peduli dan langsung saja memasuki rumah induk untuk mencari Siangkoan Liong. Hatinya seperti ditusuk-tusuk. Kalau benar semua dugaan Bi-kwi itu, lalu bagaimana? Bagaimana kalau memang benar Siangkoan Liong menjalankan siasat busuk itu dan bahkan pemuda itu telah berhasil membujuk rayu sehingga, ia terjatuh! Seperti yang dikhawatirkan Bi-kwi tadi, ia telah jatuh! Ia telah menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada Siangkoan Liong, karena memang ia tertarik dan katakanlah tergila-gila kepada pemuda itu, merasa bahwa ia memang mencinta pemuda itu! Bagaimana kalau benar Siangkoan Liong membunuh atau menyuruh bunuh kakaknya dan menguasai tubuhnya hanya sebagai siasat busuk belaka untuk menguasainya, bukan karena cinta kasih? Hampir Li Sian menjerit membayangkan semua kemungkinan itu! Ia akan dapat menjadi gila kalau semua itu ternyata benar demikian!
Ketika dengan tergesa-gesa ia memasuki rumah induk yang luas itu, ia mendengar suara Siangkoan Liong di sebuah ruangan samping yang daun pintunya tertutup. Ia cepat mengerahkan tenaganya agar tidak sampai ada suara pada langkah kakinya dan ia pun mendekati daun pintu itu. Dengan cukup jelas ia mendengar percakapan antara Siangkoan Liong dan suara wanita yang dikenalnya adalah suara Sin-kiam Mo-li!
"Sudahlah, Mo-li. Jangan kauganggu aku sekarang ini! Aku sedang sibuk dan aku tidak ada nafsu untuk...." suara Siangkoan Liong ini seperti orang yang jengkel dan terganggu.
"Kongcu, engkau sungguh tidak adil!" Terdengar suara Sin-kiam Mo-li memotong, suaranya direndahkan agar lirih sehingga terdengar mendesis. "Engkau tahu betapa aku mengagumimu, tergila-gila kepadamu dan mendambakan kasih sayangmu. Aku sudah pantas menerima kasih sayangmu sebagai balas jasa atas semua bantuanku, bukan? Tidak setiap hari, hanya kadang-kadang kalau aku sudah amat rindu, Kongcu. Marilah, kasihanilah aku, karena aku seperti seorang yang kehausan membutuhkan air cintamu...."
"Mo-li, jangan ganggu aku. Nanti saja, besok atau lusa kalau aku sudah tidak sibuk lagi...."
"Sibuk apa? Bukankah sudah banyak pembantu yang melatih pasukan? Ingatlah, bukankah aku pula yang telah membantu sehingga gadis mulus itu terjatuh ke dalam pelukanmu? Betapa dengan susah payah aku menggunakan akal membiarkan ia minum anggur rahasiaku yang mengandung rangsangan-rangsangan kuat, dan ditambah pula dengan kekuatan sihirku pada malam itu, bahkan dibantu pula oleh Thian Kek Sengjin yang dapat kubujuk. Dan engkau sudah melupakan semua jasaku itu?"
"Ssttt.... jangan lancang mulut, Mo-li. Dinding pun mungkin mempunyai telinga. Sudahlah biar kuberjanji, malam nanti aku akan menantimu dalam kamarku!"
"Hi-hi-hik, begitu baru pujaanku yang tampan dan gagah! Sampai malam nanti, Kongcu." kata wanita itu dan Sin-kiam Mo-li keluar ruangan itu, diikuti oleh Siangkoan Liong.
Melihat mereka Li Sian tidak mampu menahan kemarahan dan rasa penasaran di dalam hatinya lagi. Jelaslah bahwa antara Siangkoan Liong dan Sin-kiam Mo-li nenek yang masih cantik jelita itu, terdapat hubungan gelap! Maka ia pun segera meloncat keluar dari balik pilar itu, mengejutkan mereka berdua. Tanpa mempedulikan Sin-kiam Mo-li, Li Sian lalu menghampiri Siangkoan Liong yang juga memandang dengan mata terbelalak dan hati tidak enak melihat betapa wajah gadis itu marah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi!
“Sian-moi, kau....“ Dia maju dan mengembangkan kedua lengan seolah-olah hendak memeluk Li Sian. Akan tetapi gadis itu menahan langkahnya, berhenti kurang lebih dua meter dari pemuda itu, matanya memandang tajam penuh selidik.
“Siangkoan Liong!” bentaknya dan sebutan ini saja sudah amat mengejutkan hati pemuda itu. “Aku menuntut penjelasan darimu!”
“Sian-moi ada apakah? Apakah yang telah terjadi dan penjelasan apa yang kau inginkan?” Siangkoan Liong yang memang merupakan seorang pemuda luar biasa itu sudah dapat menguasai dirinya dan bersikap tenang, sementara itu Sin-kiam Mo-li memandang dengan mulut tersenyum penuh kemenangan. Bagaimanapun juga, gadis itu telah ternoda, berarti telah dapat ditundukkan. Ia tidak percaya bahwa gadis yang telah terjatuh ke dalam pelukan Siangkoan Liong itu akan berani atau mau memberontak.
“Moli, sebaiknya engkau keluar dulu dan biarkan aku bicara empat mata dengan Sian-moi.”
“Tidak perlu! Boleh saja ia menghadiri karena ia pun agaknya merupakan anggauta komplotanmu yang jahat!” kata pula Li Sian dan kedua orang itu saling pandang, jelas nampak ada kekagetan dalam pandang mata mereka.
“Sian-moi, aku tidak mengerti....“
“Katakan terus terang, siapakah yang telah membunuh kakakku Pouw Ciang Hin?” bentak Li Sian sambil menatap tajam.
Siangkoan Liong yang sudah menduga buruk, telah siap siaga. Wajahnya tidak berubah mendengar pertanyaan ini dan dia bahkan bersikap seperti orang terheran-heran lalu tersenyum.
“Ah, Sian-moi, apakah engkau sudah lupa? Ataukah kedukaanmu membuat engkau menjadi bingung? Sudah jelas, kaulihat sendiri betapa kakakmu itu tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan, mati sampyuh (keduanya tewas)....“
“Bohong! Kakakku mati oleh tusukan pedang sedangkan lawannya itu bersenjatakan golok! Hayo katakan saja, siapa yang membunuh kakakku, dan mengapa kalian semua melakukan tipu muslihat itu untuk mengelabuhi aku tentang kematian kakakku? Hayo jawab sejujurnya!”
Tentu saja, betapa kuat pun batinnya, Siangkoan Liong terkejut bukan main mendengar pengungkapan rahasia itu dari mulut Li Sian.
“Ah, itu fitnah belaka! Dari siapa engkau mendengar fitnah itu, Sian-moi?”
“Tidak peduli dari siapa! Pokoknya katakanlah siapa pembunuh kakakku dan mengapa ada siasat buruk itu untuk mengelabuhi aku?”
Tiba-tiba muncul Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek dan dia segera berkata dengan suara lantang, “Siangkoan-kongcu, tadi aku melihat ia bicara bisik-bisik dengan Bi-kwi!”
“Ah, kalau begitu siluman betina itu yang telah menyebar fitnah jahat!” Siangkoan Liong berseru marah. “Aku harus menegur wanita itu!” Dan dia pun segera meloncat pergi untuk mencari Bi-kwi di kamarnya, diikuti oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Melihat ini, Li Sian juga cepat mengikuti karena ia ingin kepastian, siapa yang benar antara mereka.
Sementara itu, Bi-kwi telah berada di dalam kamarnya,
“Telah kuceritakan kepada Pouw Li Sian itu tentang pembunuhan atas diri kakaknya, dan kurasa badai akan segera datang menyerang.”
“Hemmm, biarkan saja, aku tidak takut,” kata Yo Jin dengan gagah. “Bagaimanapun juga, anak kita telah selamat, dan kita tidak boleh membantu perbuatan jahat.”
Bi-kwi merasa terharu sekali melihat kegagahan suaminya. Ia maju merangkul suaminya, merasa bahwa sekali ini mereka terancam bahaya maut yang amat berbahaya dan ia tidak berdaya menyelamatkan suaminya.
“Engkau memang benar, dan aku merasa berbahagia sekali berada di sampingmu karena sikapmu yang gagah membangkitkan semangatku. Memang kita telah tertipu. Mereka itu sama sekali bukan perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang penjajah dan membebaskan nusa bangsa dari penjajahan, melainkan sekelompok orang orang jahat yang bersekutu untuk memberontak, demi diri sendiri. Siangkoan Lohan telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam di sini, dan aku mendengar bahwa usaha pemberontakan ini hanyalah untuk cita-cita agar kelak puteranya dapat diangkat menjadi kaisar kalau pemberontakan itu berhasil. Ibu Siangkoan Liong adalah seorang puteri istana, karena itu Siangkoan Lohan merasa bahwa puteranya itu adalah seorang pangeran dan karenanya patut untuk menjadi kaisar. Itulah yang mendorong adanya pemberontakan mereka, bukan karena kesadaran politik untuk membebaskan nusa bangsa dari belenggu penjajahan.”
Yo Jin bangkit berdiri dan mengepal tinju.
“Dan engkau hendak mereka paksa menjadi kaki tangan mereka, membantu usaha mereka yang jahat itu? Tidak, isteriku, tidak boleh sama sekali!”
“Jangan khawatir suamiku, jangan khawatir. Aku pun setuju denganmu, aku tidak sudi membantu mereka. Akan tetapi, hal ini akan mengakibatkan bahaya besar mengancam keselamatan kita.”
“Tidak mengapa! Aku tidak takut. Mati hidup berada di tangan Tuhan dan jauh lebh baik mati sebagai seorang terhormat dan bersih daripada hidup sebagai kaki tangan orang-orang jahat!”
Bi-kwi semakin kagum dan terharu. Ia merangkul dan mencium suaminya dengan kedua mata basah air mata. Dalam keadaan berangkulan itulah pintu depan jebol ditendang orang dan muncullah Siangkoan Liong, Sin-kiam Mo-li, dan Toat-beng Kiam-ong dengan sikap garang! Dan di belakang mereka, muncul pula Pouw Li Sian yang mukanya nampak pucat!
Bi-kwi cepat menyembunyikan suaminya di belakang tubuhnya, menghadapi mereka dengan sikap tenang namun waspada, maklum bahwa badai yang sudah disangkanya akan muncul itu kini telah tiba.
“Bi-kwi, engkau berani menyebar fitnah, meracuni hati Sian-moi dengan berita bohong!” bentak Siangkoan Liong dengan sikap marah walaupun suaranya masih terdengar halus seperti biasa. “Hayo cepat engkau tarik kembali fitnah itu dan mengaku salah agar aku masih dapat mempertimbangkan apakah engkau dapat dimaafkan atau tidak.”
Bi-kwi tetap tenang dan ia malah tersenyum manis.
“Mengapa aku harus menarik kembali tuduhan yang memang berdasar? Aku tahu bahwa kakak dari nona Pouw terbunuh oleh kaki tangan kalian sendiri, karena dia tidak mau ikut bersekutu dengan rencana pemberontakan kalian. Aku tahu bahwa pemberontakan ini sama sekali bukan perjuangan membebaskan nusa bangsa dari belenggu penjajahan, melainkan hanya untuk merebut pemerintahan agar Siangkoan Liong kelak menjadi kaisarnya!
“Ihhh....!” Li Sian mengeluarkan teriakan marah.
Akan tetapi Siangkoan Liong kini tertawa.
“Heh-heh-heh, engkau sudah tahu itu? Bagus sekali! Nah, apa salahnya dengan itu? Aku adalah seorang pangeran, dalam darahku mengalir darah keluarga istana. Ibuku seorang puteri, maka sudah sepantasnya kalau kelak aku menjadi kaisar! Dan siapa yang menjadi penghalang, akan mati di tanganku. Bi-kwi, sekali lagi, berlututlah mengaku salah dan nyawamu, juga nyawa suamimu, mungkin takkan kucabut.”
“Keparat!” Tiba-tiba Yo Jin melompat keluar dari belakang punggung isterinya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Siangkoan Liong. “Siapa takut mati? Nyawaku berada di tangan Tuhan bukan di tangan seorang manusia rendah semacam engkau!”
Siangkoan Liong marah sekali, tiba-tiba saja tangannya menghantam ke arah kepala Yo Jin.
“Wuuuttttt.... klukkk!” Hantaman itu ditangkis oleh Bi-kwi, dan akibatnya tubuh Bi-kwi terhuyung, akan tetapi suaminya selamat dari hantaman itu. Pada saat itu, Toat-beng Kiam-ong sudah menyerang Bi-kwi dengan sebatang pedangnya sehingga wanita ini terpaksa cepat mengelak ke kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya yang dapat dielakkan pula oleh lawan. Si Raja Pedang yang jahat ini memutar pedang dan mendesak Bi-kwi. Wanita ini memperlihatkan kegesitannya, mengelak ke sana-sini. Ia dapat menghindarkan diri, namun ia merasa prihatin sekali karena suaminya tidak ada lagi yang melindunginya.
Siangkoan Liong yang masih marah, kini menerjang ke depan, tangannya kembali menampar. Hanya nalurinya saja yang membuat Yo Jin mengangkat tangan menangkis.
“Desss....!” Tangan itu terpental dan juga kepalanya kena ditampar tangan Siangkoan Liong. Yo Jin terjungkal dan tewas seketika karena kepalanya retak terkena hantaman tangan pemuda yang lihai itu.
Bi-kwi menjerit nyaring dan bagaikan seekor singa betina melihat anaknya diganggu, ia mengamuk. Sebuah tendangannya nyaris membuat pedang di tangan Toat-beng Kiam-ong terlepas. Biarpun Si Raja Pedang in masih sempat melompat ke belakang menyelamatkan pedangnya, namun tetap saja pahanya terserempet sepatu kaki Bikwi sehingga dia mengeluh dan hampir roboh karena paha itu terasa nyeri sekli. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li sudah meloncat ke depan dan menyerang Bi-kwi dengan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.
“Kau.... kau.... keparat jahanam!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Pouw Li Sian sudah meloncat ke depan dan menyerang Siangkoan Liong dengan pedangnya. Pemuda ini sudah mencabut pedangnya pula dan menangkis.
“Sian-moi, tenanglah, sabarlah....”
“Manusia iblis....!” Li Sian menyerang terus dan kembali Siangkoan Liong menangkis sehingga terdengar suara nyaring dan nampak api berpijar dari kedua pedang itu.
“Sian-moi, ingat, engkau adalah kekasihku, engkau tunanganku.... bahkan engkau....sudah menjadi isteriku....” Siangkoan Liong mencoba untuk memperingatkan gadis itu agar mereda kemarahannya. Akan tetapi sebaliknya daripada reda, kemarahan gadis itu makin berkobar, seolah-olah ucapan dari pemuda itu makin merupakan minyak yang disiramkan kepada api yang bernyala. Ucapan itu mengingatkan Li Sian betapa dirinya telah menjadi korban siasat licik, betapa ia telah menyerahkan kehormatannya begitu saja karena terjatuh oleh rayuan pemuda itu, yang dibantu pula oleh arak perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan juga kekuatan sihir yang membuat ia malam itu menjadi jinak!
“Kalian.... kalian.... iblis-iblis busuk....!” Li Sian menjerit dan pedangnya diputar garang sekali ketika ia kembali menyerang kepada pemuda itu.
Melihat, ini, Siangkoan Liong tidak berani main-main lagi. Dia tahu betapa lihai dan berbahayanya Li Sian yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, dan memiliki kekuatan sakti yang menggiriskan. Apalagi gadis ini agaknya demikian marah dan nekat, maka akan berbahaya sekali kalau dia mengalah. Maka, Siangkoan Liong lalu memutar pula pedangnya, mengimbangi kecepatan dan kekuatan gadis itu sehingga mereka berdua lenyap ditelan gulungan sinar pedang mereka dalam suatu perkelahian yang mati-matian dan seru sekali. Karena memang tingkat kepandaian Siangkoan Liong menjadi tinggi dan hebat setelah dia digembleng oleh gurunya yang bernama Ouwyang Sianseng atau Nam San Sian-jin dan tingkatnya lebih tinggi dibandingkan Pouw Li Sian, maka begitu dia membalas dan mengerahkan tenaga, mengeluarkan kepandaiannya, perlahan-lahan Li Sian mulai terdesak. Namun gadis yang merasa sakit hati ini tidak menjadi jerih dan melawan terus dengan nekat. Ia tidak takut mati dan beberapa kali hendak mengadu nyawa sehingga hal ini membuat Siangkoan Liong terpaksa harus berlaku hati-hati sekali.
Beberapa kali, ketika pedangnya menyambar ke arah Li Sian, gadis itu tidak menangkis atau mengelak, melainkan mencurahkan segala daya serangnya untuk membarengi menyerangnya sehingga kalau dia melanjutkan serangan itu, tentu dirinya sendiri akan menjadi korban pedang gadis itu! Tentu saja Siangkoan Liong tidak mau mati sampyuh, dan dia terpaksa menarik kembali serangannya untuk menyelamatkan diri pula.
Bi-kwi sendiri dikeroyok dua orang lawan yang tangguh. Menghadapi Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek seorang saja, kepandaiannya sudah setingkat, dan ia malah dapat terdesak hebat karena ia tidak bersenjata sedangkan lawan itu merupakan seorang ahli pedang yang lihai. Apalagi kini Sin-kiam Mo-li maju mengeroyoknya. Tingkat kepandaian Sin-kiam Mo-li lebih tinggi tingkatnya dan wanita iblis itu memegang sepasang senjata yang amat berbahaya. Namun Bikwi juga sudah nekat. Ia melihat suaminya tewas di depan matanya. Suaminya yang tercinta, satu-satunya manusia di bumi ini, selain puteranya, yang dicintanya dan melihat suaminya mati, ia pun tidak ingin hidup lebih lama lagi! Ia merasa jerih menghadapi kehidupan yang serba kejam ini tanpa bimbingan suaminya yang selalu demikian tenang dan gagah perkasa! Maka, kedukaan karena kematian suaminya membuat Bi-kwi menjadi nekat dan ia mengamuk seperti seekor naga betina. Walaupun ia tidak bersenjata lagi, namun serangan-serangannya cukup berbahaya sehingga untuk beberapa lamanya dua orang lawan yang lebih kuat karena memegang senjata itu belum juga mampu menundukkannya.
Sin-kiam Mo-li maklum bahwa Bi-kwi tidak mungkin dapat dibujuk untuk membantu mereka lagi setelah kini suaminya tewas di tangan Siangkoan Liong. Maka ia pun berseru kepada Toat-beng Kiam-ong.
“Kiam-ong, kita bunuh saja perempuan ini agar di kemudian hari tidak membikin repot!”
Siangkoan Liong mendengar ucapan ini dan biarpun dia sedang sibuk menghadapi pengamukan Li Sian, dia segera berseru,
“Benar! Bunuh perempuan itu!”
Setelah mendapat perintah ini, Toat-beng Kiam-ong dan Sin-kiam Mo-li tidak ragu-ragu lagi. Mereka mendesak dan menekan Bi-kwi. Namun, wanita ini memang hebat. Ia adalah bekas tokoh sesat yang amat lihai, yang dijuluki Setan Cantik, bukan saja karena sepak terjangnya yang menggiriskan, akan tetapi juga karena kelihaiannya. Ia adalah murid pertama dari Sam Kwi (Tiga Setan) yang mencintanya dan mereka bertiga telah menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada murid tercinta ini. Biarpun kedua tangan Bi-kwi tidak memegang senjata, namun kedua tangan itu mempergunakan ilmu yang disebut Kiam-ciang (Tangan Pedang) sehingga kedua tangan itu kalau membacok, atau menusuk, tajam dan runcingnya seperti pedang saja. Juga kedua lengan wanita ini dapat mulur sampai hampir dua meter kalau ia mempergunakan Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Lutung Hitam). Selain tendangan-tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), ia memiliki kekebalan Kulit Baja. Dan masih menguasai banyak macam ilmu silat tinggi yang aneh-aneh. Maka, kedua orang lawannya yang memiliki tingkat lebih tinggi itu pun tidak mudah mengalahkannya dan hanya dapat mendesak terus. Baru setelah lewat hampir seratus jurus, mulailah Bi-kwi yang kelelahan karena selama bertahun-tahun ini ia tidak pernah berlatih silat, menerima beberapa tusukan dan lecutan cambuk yang mengakibatkan bajunya robek-robek dan kulitnya terluka.
“Siangkoan Liong manusia busuk!” Tiba-tiba terdengar makian suara seorang wanita dan muncullah Kwee Ci Hwa yang ditemani oleh Gu Hong Beng. Seperti telah kita ketahui, setelah mengalami penghinaan dan penderitaan, diperkosa oleh Siangkoan Liong setelah Ci Hwa berhasil dijatuhkan dengan rayuan, Ci Hwa merasa sakit hati dan putus harapan.
Ia maklum bahwa dengan kepandaiannya yang tidak berapa tinggi, mustahil baginya untuk membalas dendam kepada Siangkoan Liong atas semua penghinaan yang dideritanya. Akan tetapi, ketika ia mencoba membunuh diri dengan menggantung di dalam hutan, ia diselamatkan oleh pendekar Gu Hong Beng yang dapat menyadarkannya dengan nasihat-nasihat. Keduanya lalu bersahabat dan mereka bersama pergi melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang karena Hong Beng juga mendengar berita akan gerakan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-liong-pang. Dan akhirnya, pada sore hari itu, setelah cuaca mulai gelap, keduanya, atas petunjuk Ci Hwa yang sudah mengenal lapangan, berhasil menyelundup masuk ke dalam perkampungan Tiat-liong-pang dan masuk ke dalam rumah induk yang besar.
Sebetulnya, Hong Beng hendak bersikap hati-hati, namun Ci Hwa yang merasa sakit hati, ingin sekali menemukan Siangkoan Liong dan hendak membalas dendam kepada pemuda itu. Kini ada Hong Beng di sampingnya maka ia tidak takut dan mengharapkan akan dapat membunuh musuh itu dengan bantuan Hong Beng. Ketika mereka berdua melihat perkelahian di ruangan tengah, dan ketika Ci Hwa melihat Siangkoan Liong sedang berkelahi melawan seorang gadis yang lihai pula, ia lalu berteriak dan segera menerjang ke depan, membantu Li Sian mengeroyok Siangkoan Liong. Gadis ini menggunakan senjata sebatang sabuk rantai yang memang sejak kecil, senjata inilah yang merupakan senjata andalan keluarganya. Dengan sabuk rantai baja ini, ia menerjang maju menyerang Siangkoan Liong dengan penuh kebencian. Karena sakit hati, maka biarpun tingkat kepandaian Ci Hwa jauh di bawah tingkat lawannya, namun seperti juga Li Sian, gadis ini siap mengadu nyawa dan melakukan serangan secara nekat sekali!
Sementara itu, Hong Beng segera mengenal Bi-kwi yang dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Juga Bi-kwi mengenal Hong Beng, maka hatinya menjadi agak besar karena ia boleh mengharapkan bantuan pendekar itu. Hong Beng melihat betapa gadis yang dibantu Ci Hwa memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka dia pun tanpa ragu lagi cepat mencabut sepasang pedang yang tergantung di punggungnya. Dalam usahanya melakukan penyelidikan itu, dia sudah mempersiapkan diri dengan sepasang pedang, yang merupakan senjata yang dikuasainya karena dia memiliki Ilmu Siangmo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), apalagi setelah mendengar dari Ci Hwa betapa di perkampungan Tiat-liong-pang terdapat banyak tokoh pandai. Kini, dengan sepasang pedang di tangan dia pun menyerbu dan membantu Bi-kwi yang sudah mulai payah dan terdesak hebat.
Gu Hong Beng adalah murid Suma Ciang Bun. Ilmu kepandaiannya murni dengan ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es. Namun harus diakui bahwa gurunya, Suma Ciang Bun, bukan merupakan keturunan keluarga Pulau Es yang terlalu kuat, tidak menonjol bakatnya. Oleh karena itu, biarpun Hong Beng menerima gemblengan seorang pendekar keluarga Pulau Es, tingkat kepandaiannya tidak menonjol sekali dan dibandingkan dengan tingkat Bi-kwi, hanya seimbang. Namun, masuknya Hong Beng yang membantu Bi-kwi, membuat Bi-kwi seperti tumbuh sayap atau tambah semangat. Hong Beng yang juga mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li yang lihai segera mengerahkan tenaga dan memutar sepasang pedangnya dengan ganas.
Sin-kiam Mo-li terkejut melihat munculnya Hong Beng yang pernah membuat ia tergila-gila (baca kisahSULING NAGA ), dan pernah pula ia dan beberapa orang sekutunya mengeroyok Hong Beng dan Bi-Kwi yang bekerja sama ketika kedua orang ini berusaha untuk merampas kembali Kao Hong Li yang diculiknya. Maka, marahlah Sin-kiam Mo-li dan ia berteriak,
“Bagus! Kiranya engkau kembali datang mencampuri urusan kami. Sekali ini aku tidak akan mengampunimu, Gu Hong Beng” Dan wanita ini lalu menyambut Hong Beng dengan serangan dahsyat. Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang musuh lama ini.
Kini pertempuran terjadi lebih seru lagi. Bi-kwi yang sudah luka-luka itu kini dengan mati-matian melawan Toat-beng Kiam-ong yang semakin ganas memainkan pedangnya.
Gu Hong Beng bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong dikeroyok oleh Li Sian dan Ci Hwa. Diam-diam Siangkoan Liong merasa khawatir melihat sepak terjang dua orang gadis itu. Biarpun kedua orang gadis itu tidak tahu bahwa keduanya mempunyai sebab yang sama yang membuat mereka mati-matian hendak mengadu nyawa dengan Siangkoan Liong, namun pemuda ini tentu saja tahu dan inilah yang membuat dia merasa tidak enak. Tingkat kepandaiannya lebih tinggi dan biarpun kini Ci Hwa mengeroyoknya dia sama sekali tidak merasa takut karena dia tahu bahwa kepandaian gadis ini masih jauh untuk dapat menandinginya. Namun, kenekatan kedua orang gadis yang hendak mengadu nyawa itulah yang membuat dia khawatir. Kalau dia mau, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh mereka. Akan tetapi, diam-diam pemuda ini masih merasa sayang sekali membunuh mereka. Apalagi Li Sian. Dia ingin menangkap mereka hidup-hidup, kalau tidak mau diajak bersekutu juga mereka masih berguna untuk dijadikan hiburan hatinya, walaupun dengan paksaan!
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring.
“Gu Hong Beng, jangan takut aku datang membantumu membasmi gerombolan jahat ini!” Dan muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa. Usianya kurang lebih dua puluh tujuh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka kehitaman, gagah perkasa seperti tokoh Thio Hwi dalam cerita Sam Kok.
Begitu pemuda ini meloncat ke depan dan mencabut sebatang pedang, terdengar suara mengaung yang menyeramkan seolah-olah pedang itu dapat menggereng dan nampak sinar berkilauan menyilaukan mata.
“Kakak Cu Kun Tek....!” Hong Beng berseru gembira setelah mengenal orang itu. “Bagus sekali engkau datang! Mari kita basmi iblis-iblis ini!”
Akan tetapi sebelum Cu Kun Tek sempat membantu Hong Beng, tiba-tiba dari dalam muncul dua orang kakek yang bukan lain adalah Siangkoan Lohan dan seorang kakek tinggi kurus berpakaian siucai yang sikapnya halus dan memegang sebatang kipas yang dikebut-kebutkan tubuhnya. Dia bukan lain adalah Ouwyang Sianseng, guru Siangkoan Liong!
Tentu saja kemunculan Cu Kun Tek di tempat itu bukan merupakan suatu kebetulan.
Seperti telah kita ketahui, Kun Tek bersahabat dengan Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang. Ketika dia singgah di tempat kediaman Cin-sa-pangcu ini, dia mendengar akan usaha pemberontakan yang dilakukan oleh Tiat-liong-pang yang bergabung dengan tokoh-tokoh sesat. Andaikata pemberontakan itu murni, melawan pemerintah penjajah, tentu ketua Cin-sa-pang itu akan membantu dengan sekuat tenaga. Namun melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu dengan pemberontak-pemberontak kotor seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li, tentu saja dia tidak sudi bekerja sama.
Hampir saja ketua ini tewas di tangan Sin-kiam Mo-li kalau tidak tertolong oleh Sin Hong. Dalam percakapan itu, Kun Tek mendengar akan gerakan ini dan tentu saja hatinya tergerak untuk menentang. Maka, dia pun berangkat ke utara untuk melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu dia keluar menyelundup masuk ke perkampungan Tiat-liong-pang dan melihat perkelahian itu.
Ketika itu, Siangkoan Lohan sedang bercakap-cakap dengan tamunya, yaitu Ouwyang Sianseng, melanjutkan percakapan, mereka dengan Siangkoan Liong tadi. Setelah pemuda itu meninggalkan ruangan dalam kedua orang tua itu masih bercakap-cakap, mengatur siasat yang mulai digambarkan oleh Ouwyang Sianseng sebagai dalang pemberontakan. Selagi bercakap-cakap itulah mereka mendengar keributan dan akhirnya mereka pun keluar, tepat pada saat Kun Tek muncul dan mencabut pedangnya.
Melihat pedang itu, Siangkoan Lohan terkejut sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang ternama dan sudah banyak pengalaman, dia tentu saja pernah mendengar akan pedang pusaka di tangan pemuda itu.
“Ah, bukankah itu Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman)?” tanyanya sambil menggerakkan kedua kakinya. Tubuhnya melayang ke depan Cu Kun Tek dan tangannya mendadak menyambar untuk merampas gagang pedang. Caranya merampas ini hebat sekali. Tangan kiri, dengan jari telunjuk dan jari tengah, meluncur menusuk ke arah kedua mata pemuda itu, sedangkan tangan kanannya cepat berusaha merampas pedang ini!
Cu Kun Tek adalah seorang pemuda gagah perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari ayah dan ibunya. Ayahnya, Cu Kang Bu, berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang amat kuat seperti gajah, sedangkan ibunya adalah Yu Hwi, seorang pendekar wanita yang juga amat lihai. Maka, Cu Kun Tek yang telah mewarisi ilmu-ilmu mereka, tentu saja lihai sekali, apalagi karena di tangannya terdapat Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka keluarganya yang amat ampuh.
Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya. Dari cara kakek itu menyerangnya, Kun Tek mengenal orang pandai, maka dia pun tidak berani memandang ringan.
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar