Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih JIlid 32.

Kisah si Bangau Putih Jilid 32

“Hyaaaaattt....!” Dia mengeluarkan seruan sambil meloncat ke belakang dan memutar pedangnya sebagai perisai. Menghadapi gulungan sinar pedang yang menyeramkan dan mengeluarkan suara mengaung seperti binatang buas itu, Siangkoan Lohan tentu saja tidak berani melanjutkan serangan kedua tangannya. Dia menarik kembali kedua lengannya dan ketika tangan kirinya bergerak ke arah pinggang, nampak sinar emas berkelebat dan tahu-tahu ketua Tiat-liong-pang itu telah mencabut sebatang hun-cwe (pipa tembakau) emas yang panjangnya ada tiga kaki! Emas itu hanya menghias di luarnya saja, dan di sebelah dalam, hun-cwe itu terbuat dari baja pilihan. Benda ini biasanya dia pakai untuk menghisap tembakau yang dibakar di ujung hun-cwe, akan tetapi juga merupakan senjata yang amat ampuh, dan berbahaya dari ketua Tiat-liong-pang itu. Dengan sikap tenang Siangkoan Lohan lalu menudingkan hun-cwenya kepada Kun Tek.
“Orang muda, apakah hubunganmu dengan keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman?” bentaknya.
Kun Tek maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi dia tidak tahu bahwa kakek ini adalah ketua Tiat-liong-pang yang diselidikinya. Akan tetapi, melihat bahwa kakek itu berada di situ, maka tentu saja dia menganggapnya sebagai musuh.
“Namaku Cu Kun Tek, keturunan langsung dari Lembah Naga Siluman....”
“Bagus!” Siangkoan Lohan memotong. “Benar dugaanku, pedang itu tentulah Koai-liong Po-kiam. Orang muda, serahkan pedang itu kepadaku dan engkau akan kami terima sebagai seorang sahabat baik!”
“Simpan bujukanmu!” bentak Kun Tek. “Dan hentikan penyerangan terhadap kawan baikku Gu Hong Beng dan para wanita ini!”
“Bocah sombong, engkau memilih mampus agaknya!” Siangkoan Lohan sudah menyerang dengan hun-cwenya dan nampak sinar emas berkelebat di depan mata Kun Tek yang cepat memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Mereka sudah saling serang dan dalam belasan jurus saja tahulah Kun Tek bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan tangguh.
Terutama sekali tendangan-tendangan yang dilakukan kedua kaki kakek itu sungguh amat berbahaya karena tendangan itu selain kuat, juga cepat dan tidak terduga datangnya.
Agaknya kakek ini adalah seorang ahli tendangan yang hebat. Juga tangan kiri kakek itu membuat gerakan cengkeraman dan tangkapan yang cukup berbahaya. Untung bagi Kun Tek bahwa dia dilindungi oleh Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka yang agaknya membuat kakek itu agak jerih, bahkan tak pernah berani mengadu hun-cwenya dengan pedang. Tentu kakek itu sudah tahu akan keampuhan Koai-liong Po-kiam dan takut kalau hun-cwenya, akan patah sehingga dia akan terancam bahaya.
Sementara itu, para anak buah Tiat-liong-pang, dipimpin oleh Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dari Siangkoan Lohan, telah mengurung tempat itu dengan ketat. Melihat ini, diam-diam Kun Tek dan Hong Beng merasa khawatir. Tak mereka sangka bahwa pihak lawan memiliki demikian banyak orang pandai, dan tempat itu telah dikepung ketat. Agaknya sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri. Mereka tidak tahu bahwa kekuatan yang dihimpun Tiat-liong-pang memang besar dan kuat. Kalau saja sebagian besar pembantu Siangkoan Lohan tidak sedang pergi melaksanakan tugas membujuk para tokoh kang-ouw membantu gerakan mereka, berkumpul lebih banyak lagi orang pandai seperti para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.
Agaknya Ouwyang Sianseng yang menjadi tamu kehormatan merasa tidak sabar melihat betapa pihak tuan rumah masih belum mampu menundukkan dua orang pemuda dan tiga orang wanita muda itu. Hal ini mengecewakan hatinya. Baru ada lima orang muda saja yang datang mengacau, agaknya sukar untuk menundukkan mereka, apalagi kalau musuh-musuh yang lebih berat. Dia pun melihat keraguan pada diri muridnya, yang agaknya tidak ingin membunuh atau melukai dua orang gadis cantik yang mengeroyoknya. Siangkoan Lohan sendiri nampaknya jerih menghadapi pedang Koai-liong Po-kiam yang memang hebat itu, dan tingkat kepandaian Toat-beng Kiam-ong hanya mampu membuat dia mendesak Bi-kwi, tanpa dapat merobohkan wanita yang sudah luka-luka itu.
“Hemmm, sungguh membosankan, biar kuselesaikan keributan ini....!” katanya, seperti kepada diri sendiri dan dia mengembangkan kipasnya, lalu dengan langkah lebar dia memasuki medan pertempuran. Gerakannya gesit dan ringan sekali dan mula-mula dia menghampiri muridnya yang dikeroyok oleh dua orang gadis karena perkelahian ini yang terdekat dengannya. Dua kali tangan yang memegang kipas itu mengebut. Li Sian dan Ci Hwa yang sedang sibuk mengeroyok Siangkoan Liong dengan penuh dendam kebencian itu, gelagapan ketika ada serangkum angin menyambar ke muka mereka, dan tiba-tiba saja, kipas itu menutup dan dua kali digerakkan menotok tengkuk dua orang gadis itu.
Mereka hanya mengeluarkan suara rintihan lirih dan tubuh mereka sudah terkulai dan roboh dengan lemas!
Dengan langkah-langkah aneh dan ringan sekali, kini Ouwyang Sianseng menghampiri Sin-kiam Mo-li yang masih berkelahi dengan amat sengitnya melawan Gu Hong Beng.
Kini kipas itu ditutup dan serangkaian totokan menyerang ke arah sembilan jalan darah terpenting di tubuh Hong Beng. Pemuda perkasa ini terkejut bukan main. Menghadapi Sin-kiam Mo-li saja sudah merupakan lawan berat baginya, dan kini, muncul kakek yang luar biasa lihainya. Serangkaian serangan itu demikian cepat, tanpa mengeluarkan bunyi dan tahu-tahu dirinya telah diancam totokan-totokan aneh. Dia berusaha mengelak dan menangkis dengan sebelah pedangnya, sedangkan yang sebelah lagi masih dia pergunakan untuk menghadapi dua senjata Sin-kiam Mo-li. Karena sebagian perhatiannya harus dikerahkan untuk menghadapi serangan Sin-kiam Mo-li, maka akhirnya dia tidak mampu menghindarkan diri dari totokan gagang kipas yang mengenai pundaknya. Dia mengeluh dan terhuyung, lalu sebuah totokan susulan membuat dia roboh terkulai, lemas tak berdaya sehingga kedua pedangnya pun terlepas dari tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai.
“Biar kurampaskan pedangnya untukmu, Lohan,” kata Ouwyang Sianseng yang kini sudah meluncur ke arah perkelahian antara ketua Tiat-liong-pang yang masih dilawan dengan gigihnya oleh Cu Kun Tek. Melihat berkelebatnya kakek yang memegang kipas itu di samping kirinya, Kun Tek yang sudah repot menghadapi desakan hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan, cepat mengelebatkan pedangnya ke kanan. Akan tetapi, Ouwyang Sianseng bukan mengelak, bahkan menyambut serangan pedang itu dengan totokan gagang kipasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan kanan yang memegang pedang. Dalam sedetik saja, pedang itu telah berpindah ke tangan Ouwyang Sianseng dan kini hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan menyambar dan menotok jalan darah di kedua pundak Kun Tek. Tak dapat dicegah lagi tubuh pemuda yang tinggi besar dan kokoh kuat itu terkulai dan roboh!
Pada saat itu Bi-kwi sudah melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang, maka tiba-tiba ia meninggalkan Toat-beng Kiam-ong dan tepat pada saat Ouwyang Sianseng merampas pedang Kun Tek, wanita perkasa ini menyerangnya dari belakang dengan pukulan Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot) ke arah tengkuk kakek itu. Ia melakukannya dengan sepenuh tenaganya untuk membalas kawan-kawannya yang dirobohkan oleh kakek lihai itu.
“Desss....!” Pukulan kedua tangan Bi-kwi itu tepat mengenai punggung dan tengkuk, akan tetapi akibatnya, tubuh Bi-kwi sendiri yang terhuyung ke belakang dengan menggigil! Ia tadi merasa seperti menyerang sebuah pilar baja yang amat dingin!
Maklum bahwa ia tidak akan mampu melawan lagi, dan kalau sampai tertawan tentu musuh-musuhnya takkan mengampuninya, Bi-kwi lalu meloncat ke dekat jenazah suaminya.
“Suamiku, tunggu.... aku menyusulmu....” katanya dan pada saat Sin-kiam Mo-li meloncat mendekatinya untuk mencegah, Bi-kwi telah mencengkeram kearah kepalanya sendiri. Ia mengerahkan Ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kelima jari tangan kanannya menusuk dan menancap ke dalam kepalanya sampai ke otak. Ia pun terkulai dan roboh menelungkup dan merangkul jenazah Yo Jin, tewas seketika!
Biarpun hatinya girang karena memperoleh pedang Koai-liong Po-kiam yang diterimanya dari Ouwyang Sianseng, namun hati girang itu terganggu oleh kekesalan melihat betapa kekacauan terjadi di situ.
“Tangkap mereka semua, jebloskan ke dalam tahanan dan jaga yang ketat. Awas, jangan sampai ada yang dapat lolos! Perkuat penjagaan dan jangan biarkan siapa juga masuk tanpa ijin!” bentaknya kepada muridnya, Tiat-liong Kiam-eng yang segera mengerahkan anak buah Tiat-liong-pang untuk menyeret tubuh Kun Tek, Hong Beng, Li Sian dan Ci Hwa dan memasukkan mereka ke dalam tahanan, ke dalam kamar sel yang terpisah-pisah, juga untuk menyingkirkan dua sosok mayat dan membersihkan ruangan itu.
Siangkoan Lohan lalu mengajak Ouwyang Sianseng dan puteranya, bersama para pembantu yang ada di situ, untuk memasuki ruangan dalam dan berunding. Menurut perhitungan Ouwyang Sianseng, kini sudah tiba saatnya untuk segera melakukan gerakan. Penyerbuan orang-orang muda itu menunjukkan bahwa gerakan mereka mulai diketahui orang luar dan hal itu berbahaya. Lebih baik mendahului sebelum pemerintah mencium akan gerakan itu. Maka, Siangkoan Lohan segera mengirim utusan menghubungi para sekutunya, terutama sekali Agakai kepala suku Mongol, dan tentu saja Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan yang berada di perbatasan, pasukan Mancu yang sudah siap membantu pemberontakan itu. Juga para pembantu yang bertugas keluar, dipanggil agar segera pulang.
***
Empat orang muda yang tadinya lemas tertotok, kini sudah dapat menggerakkan tubuh mereka. Akan tetapi, Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian mendapatkan diri mereka terbelenggu. Sehelai rantai baja panjang mengikat kaki mereka pada tonjolan besi di dinding, dan kedua pergelangan tangan mereka juga dibelenggu, disambung dengan rantai sehingga biarpun mereka mampu menggerakkan kaki tangan, namun mereka tidak dapat bebas. Hanya Ci Hwa seorang yang tidak terbelenggu dan hal ini adalah karena Tiat-liong Kiam-eng menganggap Ci Hwa tidak berbahaya. Dia menganggap bahwa ilmu kepandaian gadis itu tidak berapa tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan mampu memberontak. Dan dia sendiri yang memimpin penjagaan atas diri empat orang tawanan itu. Sejumlah lima puluh orang ditugaskan berjaga secara bergilir dan dia sendiri seringkali meronda untuk meneliti keadaan empat orang tawanan itu agar jangan sampai ada kesempatan atau kemungkinan lolos.
Ketika Ci Hwa dapat lagi menggerakkan tubuhnya, ia segera bangkit dalam kamar tahanan yang luasnya hanya tiga meter persegi itu dan memeriksa keadaan kamar tahanan. Sebuah kamar yang kuat, dengan tembok tebal dan di bagian depannya terdapat sebuah pintu besi yang bagian atasnya terdapat terali baja. Ia segera melangkah ke pintu dan memandang keluar. Tempat itu merupakan bangunan yang agaknya memang khusus dibangun menjadi sebuah penjara atau tempat tawanan karena mempunyai banyak sekali kamar-kamar seperti yang ditempatinya itu. Sebuah kamar yang kosong sama sekali sehingga orang harus tidur dan duduk di lantai yang dingin dan keras! Ketika ia didorong ke dalam kamar ini secara kasar oleh anggauta Tiat-liong-pang, ia sempat melihat betapa hal yang sama diperlakukan oleh para anggauta Tiat-liong-pang kepada Gu Hong Beng dan juga kepada gadis cantik dan pemuda tinggi besar yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang sama-sama melawan Tiat-liong-pang dan sekutunya.
“Kasihan Beng-ko....” Ci Hwa mengenang nasib Hong Beng. “Karena menolongku, dia sampai ikut tertawan. Ah, bagaimana aku harus menolongnya? Biar berkorban nyawa sekalipun, aku bersedia untuk menyelamatkannya.” Ia termenung dan menyadari sepenuhnya bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda tampan dan halus yang pernah merenggutnya dari tangan maut ketika ia nekat hendak membunuh diri di hutan itu. Ia tahu bahwa tiga orang tawanan lain berada di dalam kamar-kamar sebelah karena ia dilemparkan dalam kamar terakhir, dan dia pun melihat betapa tiga orang itu lebih dahulu dibelenggu sebelum ditinggalkan dalam kamar tahanan. Akan tetapi ia tidak dapat berhubungan dengan mereka karena kamar mereka bersebelahan.
Biarpun malam itu di luar amat gelapnya, namun di bangunan besar yang menjadi tempat tawanan ini cukup terang oleh lampu-lampu gantung. Agaknya memang tempat itu sengaja diterangi agar gerak-gerik para tawanan dapat dilihat jelas oleh para penjaga. Ci Hwa melihat dua orang penjaga membawa lentera mengiringkan seorang laki-laki tinggi kurus menuju ke tempat para tawanan. Agaknya masih ada tawanan lain di tempat itu selain mereka berempat, dan kini laki-laki tinggi kurus itu melakukan perondaan, menjenguk ke dalam setiap kamar yang berisi tawanan melalui ruji besi di bagian atas pintu. Dari jauh, Ci Hwa melihat dari sinar lentera itu dan kembali ia tertegun. Tadi, ketika ia dan tiga orang lainnya diseret ke tempat tawanan ini, ia pun sudah tertegun dan terheran melihat laki-laki tinggi kurus itu, yang ternyata menjadi pimpinan para anak buah Tiat-liong-pang yang melakukan penjagaan di tempat itu. Ia merasa sudah mengenal laki-laki itu akan tetapi di mana. Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, dengan sepasang mata tajam dan muka agak pucat.
Pedangnya tergantung di punggung dan pandang mata yang tajam itu membayangkan kecerdikan dan juga kekejaman. Kini, melihat sinar lentera menyoroti muka orang itu, melihat lirikan mata itu, tibatiba Ci Hwa teringat. Ciu-piauwsu! Ya, sudah beberapa kali ia bertemu dengan rekan ayahnya itu. Dia seorang piauwsu (pengawal barang kiriman) di Ban-goan, di kota tempat tinggalnya, Sebagai seorang piauwsu, rekan dari ayahnya, tentu saja ia mengenalnya, seperti ia mengenal semua piauwsu di kota Ban-goan. Bahkan akhir-akhir ini, Ciu-piauwsu yang bernama Ciu Hok Kwi itu menarik perhatian keluarganya ketika Ciu-piauwsu mendatangi Ban-goan Piauwkiok dan menantang ayahnya! Ayah Kwee Tay Seng atau Kwee-piauwsu menyambut tantangan Ciu-piauwsu sehingga terjadi perkelahian, di mana Ciu-piauwsu tidak mampu menandingi ayahnya, mengaku kalah dan pergi sambil mengancam. Itulah Ciu-piauwsu! Dan kini, tahu-tahu dia muncul di tempat ini, sebagai kepala para anggauta Tiat-liong-pang! Mengingat ini, tiba-tiba saja Ci Hwa melihat kesempatan baik untuk menyelamatkan Hong Beng dan dua orang lainnya. Kalau saja ia dapat mendekati Ciu-piauwsu! Bagaimanapun juga, mereka adalah sekota, bahkan orang itu juga seorang piauwsu, seperti ayahnya.
Dan ia pun teringat bahwa Ciu Piauwsu adalah seorang piauwsu di perusahaan piauwkiok milik ayah Tan Sin Hong! Ciu Piauwsu adalah pembantu dari mendiang Tan Piauwsu. Apakah ini hanya suatu kebetulan saja? Otak gadis ini bekerja dan semakin mantap hatinya untuk mendekati Ciu Piauwsu, dengan cara apa pun, bukan sekadar untuk berusaha menyelamatkan Hong Beng dan dua orang tawanan lain, juga untuk menyelidiki tentang kehadiran seorang piauwsu di Ban-goan di antara orang-orang Tiat-liong-pang!
Seorang yang telah mengalami peristiwa hebat seperti yang diderita oleh Ci Hwa, memang dapat berubah segala-galanya. Rasa sakit hati, putus asa, duka dan kekhawatiran yang melanda hatinya semenjak ia diperkosa dan dihina oleh Siangkoan Liong, membuat ia menjadi seorang yang nekat. Ia tidak lagi menghargai dirinya sendiri, yang ada hanyalah satu tekad, ialah membalas dendam, melampiaskan kebencian atau rasa cinta tanpa mengenal batas lagi, tanpa mempedulikan keselamatan diri atau harga diri lagi.
Kini, Ciu Hok Kwi dan dua orang anak buahnya yang memeriksa setiap orang penghuni kamar-kamar tahanan itu, sedang menuju ke kamar tahanan di mana Ci Hwa berdiri memegangi terali besi dan memandang keluar.
“Ciu Piauwsu....!” Ci Hwa memanggil dengan suara lembut.
Ciu Hok Kwi memandang tajam dan sejenak dia menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. Ketika Ci Hwa berada di perkampungan itu dan menjadi korban Siangkoan Liong, Ciu Hok Kwi tidak berada di sana sehingga dia tidak tahu akan semua peristiwa yang menimpa diri gadis itu. Kini, ketika dia melakukan perondaan, tiba-tiba saja seorang di antara para tawanan itu, seorang gadis manis sekali dengan mulut yang penuh gairah, memanggilnya dengan sebutan Ciu Piauwsu, sebutan yang luar biasa sekali di situ karena tiada seorang pun menyebutnya seperti itu! Dia memandang tajam dan heran lalu melangkah dekat. Dia hanya tahu bahwa di antara empat orang tawanan yang tadi mengamuk dan ditangkap, gadis ini adalah yang paling lemah dan tidak berbahaya, demikian menurut keterangan Siangkoan Kongcu.
Oleh karena itu, dia pun tidak merasa perlu untuk membelenggu gadis ini.
Ci Hwa melihat sikap orang itu, maklum bahwa orang she Ciu itu agaknya lupa dan tidak mengenalnya. Memang ketika berada di Ban-goan, di antara mereka tidak ada hubungan sesuatu dan jarang berjumpa. Gemblengan batin yang mengalami guncangan dan tekanan hebat itu telah membuat gadis yang hijau itu kini menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan! Ia tersenyum, senyum manis dan ia tahu bahwa senyumnya dengan tarikan pada dagunya itu akan menciptakan lesung pipit yang manis pada lekukan pipinya yang kiri, yang sengaja ia miringkan agar tersorot sinar lentera yang dibawa oleh kedua orang anak buah Tiat-liong-pang itu.
“Aih, Ciu Piauwsu, apakah engkau sudah lupa kepadaku? Kita sama-sama dari Ban-goan, karena itu, harap kau suka mengingat akan kawan sekota dan suka menolong aku....!” dalam suaranya, Ci Hwa menggetarkan permohonan yang amat sangat, demikian pula sinar matanya memandang penuh harapan. Ciu Hok Kwi tertarik. Dia bukan seorang pelahap wanita seperti Toat-beng Kiam-ong atau Siangkoan Liong, akan tetapi dia bukanlah kanak-kanak. Dia seorang laki-laki dewasa yang sudah berpengalaman, maka tentu saja dia dapat menangkap gairah dalam pandang mata gadis manis ini, di mana terkandung penawaran dan janji manis sekali.
“Hemmm, jangan ngawur! Aku bukan piauwsu....!” Dia masih mencoba karena dia belum mengenal gadis itu, matanya tak dapat dihindarkan lagi mengamati lekukan dan tonjolan bukit dada yang menjadi amat jelas karena Ci Hwa menekan dadanya pada jeruji besi kuat-kuat.
“Aih, Ciu Piauwsu, harap jangan salah sangka. Aku.... aku mengenalmu sebagai seorang piauwsu yang gagah. Namaku Kwee Ci Hwa.... dari Ban-goan Piauwkiok! Nah, engkau tentu masih ingat, bukan?”
Ciu Hok Kwi terbelalak, lalu mengelus dagunya yang halus karena jenggotnya dia cukup bersih, matanya yang tajam itu mengamati wajah gadis cantik itu penuh perhatian.
“Ah, engkau she Kwee.... dari Ban-goan Piauw-kiok?”
“Benar, Ciu Piauwsu, aku puteri majikan Ban-goan Piauw-kiok!”
Ciu Hok Kwi mengangguk-angguk dan tersenyum simpul, lalu mendekat, untuk dapat mengamati wajah cantik itu lebih jelas lagi.
“Ah, kiranya puteri Kwee Piauwsu! Dan mengapa pula engkau sampai tertawan di sini?”
Ci Hwa, gadis yang sebetulnya masih hijau itu, kini telah menjadi matang oleh musibah yang menimpa dirinya, membuatnya menjadi amat cerdik dan pandai sekali bersandiwara. Mudah saja baginya kini untuk menekan batinnya sehingga air mata mengalir turun dari kedua matanya ketika ia mendengar pertanyaan Ciu Hok Kwi itu.
“Aih, Ciu Piauwsu, harap engkau suka menaruh kasihan kepadaku dan suka menolongku, mengingat bahwa kita sama-sama datang dari Ban-goan. Nasibku sungguh malang.... dan di tempat asing ini, siapa lagi yang dapat kumintai tolong kecuali engkau seorang? Tolonglah aku, selamatkan aku dan.... aku akan berterima kasih sekali, aku berhutang budi dan aku akan membayarmu dengan apa saja, Ciu Piauwsu....“
Kembali Ciu Hok Kwi melihat sikap yang menantang dan penuh janji manis itu, dari sepasang mata yang basah air mata, dari mulut yang setengah terbuka, dari tonjolan dada yang ditekan pada jeruji besi.
“Bagaimana aku dapat menolongmu? Aku tidak berani membebaskanmu, nona Kwee, karena para pemimpin sendiri yang menawanmu.”
“Tidak usah membebaskan aku, asal aku.... jangan sampai terbunuh.... katakan kepada mereka bahwa aku ini calon isterimu atau apa saja, asal aku dapat terhindar dari bahaya maut....“
Berdebar rasa jantung Ciu Hok Kwi. Dia memang belum menikah, dan sukar ditemukan seorang gadis yang demikian manis seperti Ci Hwa menawarkan diri seperti ini!
“Akan tetapi ceritakan dulu bagaimana engkau sampai tertawan? Apakah engkau memusuhi Tiat-liong-pang?”
“Mana aku berani? Aku akan bercerita terus terang saja kepadamu, Ciu-toako dan hal ini baru kepadamu saja kuceritakan.” Ci Hwa berbisik-bisik dan Ciu Hok Kwi semakin tertarik karena gadis itu menyebutnya toako, bukan Piauwsu lagi, sebutan yang lebih akrab. “Aku meninggalkan rumah orang tuaku, engkau tentu mengerti, sebagai seorang gadis yang ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan. Ketika tiba di dekat tempat ini, aku diganggu lima orang pemburu, aku dikeroyok dan kalah, dan hampir aku diperkosa oleh mereka berlima. Aku sudah ditelanjangi, empat orang memegang kaki tanganku dan orang ke lima sudah siap untuk memperkosa aku yang masih perawan....“ Entah dari mana Ci Hwa memperoleh kemampuan bercerita seperti itu, sengaja menggambarkan keadaan yang dapat merangsang pendengarnya.
Usahanya berhasil karena mendengar cerita itu, sepasang mata Ciu Hok Kwi seakan-akan menelanjanginya, meraba-raba tubuhnya karena piauwsu muda itu menggambarkan keadaan Ci Hwa seperti yang diceritakannya itu. Dan Ci Hwa sengaja berhenti untuk memancing reaksi dari pendengarnya.
“Lalu bagaimana.... lanjutkan ceritamu....!” kata Ciu Hok Kwi agak terengah-engah dan mukanya yang biasanya pucat itu kini menjadi agak kemerahan, matanya tetap menggerayangi lekuk lekung tubuh Ci Hwa dengan lahap.
“Aku sudah putus asa, hendak menjerit mulutku dibungkam, aku hanya dapat meronta-ronta sekuatku, namun sia-sia karena empat orang itu memegangi kaki tanganku. Dan pada saat terakhir, muncullah Siangkoan Kongcu! Dengan gagahnya dia menghajar lima orang pemburu itu sampai mereka tetbunuh semua dan mayat mereka dilempar ke dalam jurang. Lalu Siangkoan Kongcu menghampiri aku yang masih belum sempat berpakaian....” Kembali ia berhenti dan melihat dengan kegembiraan yang disembunyikan betapa laki-laki itu berkeringat dan menjilati bibirnya sendiri seperti seekor anjing kelaparan melihat daging segar yang membangkitkan selera den menambah rasa lapar.
“Kemudian.... bagaimana....?” Suara Ciu Hok Kwi lirih dan parau.
“Aku adalah seorang yang mengenal budi. Kalau sudah ditolong orang, maka aku mau membalas budi itu dengan apa saja. Dan Siangkoan Liong seorang laki-laki muda yang tampan, seperti.... engkau, Ciu-toako, dan aku dalam keadaan telanjang. Kami saling tertarik dan aku menyerahkan diri bulat-bulat, menyerahkan segala dengan suka rela, segala yang tadinya hendak diminta secara paksa oleh lima orang pemburu itu, kuberikan kepada Siangkoan Kongcu dengan senang hati, apalagi karena dia berjanji hendak mengawini aku yang selamanya belum pernah berdekatan dengan pria.”
“Lalu.... lalu bagaimana....?”
Kembali Ci Hwa menangis dan suaranya tersendat-sendat ketika ia melanjutkan.
“Akan tetapi dia.... dia mengingkari janji.... aku lalu pergi, hendak membunuh diri.... aku yang masih perawan telah menyerahkan kehormatanku, dan dia ingkar janji....! Ketika membunuh diri, aku dicegah oleh seorang pendekar yang bernama Gu Hong Beng itu. Dia mencegah aku bunuh diri dan menasihati aku kemudian dia hendak membelaku, hendak menuntut pertanggungan jawab Siangkoan Kongcu. Akan tetapi kami kalah dan tertawan....“
“Hemmm, salahmu sendiri, sungguh tidak tahu diri. Bagaimana berani hendak menuntut Siangkoan Kongcu?”
“Begini, Ciu-toako. Kalau tadinya dia tidak berjanji akan mengawiniku, tentu aku tidak menuntut. Tapi aku tahu bahwa itu tidak tahu diri, karena itu, aku mohon kepadamu, Ciu-toako yang baik, tolonglah aku, selamatkanlah aku dan aku akan berhutang budi kepadamu....“ Kembali pandang mata Ci Hwa menantang.
Ciu Hok Kwi yang sudah terangsang oleh cerita gadis itu tadi, kini tersenyum dan kembali mengelus dagunya,
“Dan dengan apa engkau hendak membalas budiku itu?”
Pertanyaannya ini, disertai kerling tajam, mengandung kegenitan yang jelas.
“Ciu-toako, sudah kukatakan bahwa aku adalah seorang gadis yang suka membalas budi. Aku akan mau melakukan apa saja yang kaukehendaki dariku!” Jawabannya demikian meyakinkan dan melenyapkan keraguan hati Ciu Hok Kwi.
“Engkau mau kalau malam ini engkau menemani aku tidur di kamarku?” tanya murid pertama Siangkoan Lohan itu dengan tegas, tanpa malu-malu lagi. Mau tidak mau, wajah Ci Hwa menjagi merah dan ia merasa betapa mukanya panas sekali, akan tetapi gadis ini memaksa diri tersenyum malu-malu.
“Tentu saja aku mau, Ciu-toako. Apa lagi engkau nampak jauh lebih jujur daripada Siangkoan Kongcu.”
“Tapi aku tidak berjanji bahwa kelak aku akan mengawinimu!”
Ci Hwa tersenyum semakin cerah.
“Baik, memang benar bahwa engkau jauh lebih jujur daripada Siangkoan Kongcu. Kalau engkau tidak menjanjikannya, aku pun kelak tidak akan menuntut, Toako.”
Sepasang mata Ciu Hok Kwi, yang tajam seperti mata kucing itu bersinar-sinar. Namun, dia bukan orang bodoh. Dia tidak akan mau percaya demikian saja sebelum ada buktinya.
Rasanya terlampau mudah, aneh dan tidak masuk di akal kalau seorang gadis baik-baik seperti Kwee Ci Hwa ini, puteri Kwee Piauwsu yang gagah perkasa di Ban-goan itu, begitu saja menyodorkan dirinya kepadanya!
“Kalau begitu, mari ikut denganku,” katanya sambil mengeluarkan seuntai kunci-kunci dari saku bajunya, lalu membuka daun pintu kamar sel itu. Melihat banyak kunci itu, diam-diam Ci Hwa girang sekali. Tidak keliru dugaannya, Ciu Hok Kwi ini menjadi kepala jaga di sini dan dialah yang memegang semua kunci pintu kamar-kamar tahanan!
Ia pun keluar dari kamar tahanan itu dan membiarkan dirinya dirangkul dan dipandang oleh Ciu Hok Kwi, bahkan ia pun dengan sikap malu-malu, melingkarkan lengannya pada pinggang laki-laki tinggi kurus itu.
“Jaga di sini baik-baik, aku mau bicara penting dengan Nona ini!” katanya kepada para anak buahnya yang berkedip-kedip sambil tersenyum simpul melihat atasan mereka menggandeng seorang tahanan wanita yang manis, hal yang tidak asing lagi bagi mereka.
Sudah menjadi hak Ciu Hok Kwi agaknya, untuk melakukan apa saja terhadap para tahanan, membawa tahanan wanita cantik ke kamarnya, menyiksa, bahkan membunuh tahanan!
Setelah tiba di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi yang masih sangsi dan belum dapat percaya benar kepada Ci Hwa, segera minta bukti dari gadis itu untuk melayaninya!
Barulah dia percaya benar setelah gadis itu menyerahkan diri dengan pasrah, bahkan dengan sikap gembira dan manis seolah-olah gadis itu menyukai dan menikmati pula apa yang terjadi antara ia dan Ciu Hok Kwi. Orang she Ciu ini sama sekali tidak tahu betapa di dalam batinnya, gadis itu menangis dan menjerit, betapa tersiksa dan sakit rasanya badan dan batinnya ketika ia harus pasrah saja digeluti oleh orang yang dibencinya itu!
Ya, ia membenci Ciu Hok Kwi, pertama-tama karena pernah Ciu Hok Kwi menantang ayahnya dan akhirnya orang ini dikalahkan oleh ayahnya. Kedua, karena melihat piauwsu ini ternyata kaki tangan pemberontak, dan kini bahkan terpaksa ia menyerahkan diri kepadanya. Akan tetapi biarlah! Ia sudah tidak memiliki harapan untuk dapat hidup terus, setelah apa yang dialaminya, setelah ia terhina, direnggut kehormatannya oleh Siangkoan Liong. Ia harus mati untuk menebus aib, akan tetapi sebelum mati, ia harus dapat menyelamatkan Gu Hong Beng. Pemuda itu telah menolongnya, bahkan telah memberi penerangan batin kepadanya dan sekarang, pemuda itu, karena hendak membelanya, telah terjatuh ke tangan musuh! Ia harus menyelamatkannya, dengan jalan apa pun juga. Dan kini telah ia laksanakan cara yang paling menyakitkan, baik badannya maupun batinnya.
Ia telah melayani Ciu Hok Kwi, melayani dengan sikap manis pula!
Setelah memperoleh bukti berulangkali dari pelayanan manis Kwee Ci Hwa, akhirnya Ciu Hok Kwi mulai percaya. Ketika mereka mengaso dan rebah bersanding di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi tanpa ragu-ragu lagi menceritakan kepada Ci Hwa yang kini telah dianggap sebagai kekasihnya. Menceritakan bahwa dia sesungguhnya adalah Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dan terpandai dari Siangkoan Lohan, juga merupakan pembantu utama!
“Akan tetapi, Ciu-toako yang baik....” Ci Hwa bertanya sambil memeluk dengan sikap merayu, “bagaimana engkau yang menjadi murid utama Siangkoan Lohan, bekerja sebagai seorang piauwsu di Ban-goan....?”
Ciu Hok Kwi tertawa dan mencium gadis itu,
“Itu adalah siasatku. Kami membutuhkan penghubung yang baik untuk keluar masuk perbatasan Tembok Besar tanpa dicurigai, agar lebih mudah bagi kami berhubungan dengan orang-orang Mongol yang akan membantu gerakan kami. Karena itulah, di Ban-goan tempatnya untuk mengatur semua itu dengan kedok perusahaan piauw-kiok.”
“Tapi.. bukankah engkau menjadi piauwsu pembantu dari Tan-piauwsu yang kabarnya terbunuh di utara itu?”
“Ha-ha-ha, benar, memang benar. Dan itulah siasatku yang amat cerdik. Tanpa disangka orang, aku kini menguasai piauwkiok itu, sehingga terbukalah jalan bagi gerakan kami untuk berhubungan dengan kawan-kawan di luar Tembok Besar....”
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar