Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 16.

Jodoh Rajawali Jilid 16.
Jodoh Rajawali Jilid - 16 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 16 Setelah selesai, kakek itu lalu ber¬bisik, “Cepat kauatur rambutnya seperti sanggul rambutmu dan tambah bedak di mukanya biar wajahnya seputih wajahmu.” Syanti Dewi cepat melakukan semua perintah itu, kemudian See-thian Hoat-¬su sendiri menggunakan alat penghias yang terdapat di dalam kamar itu untuk mengubah bentuk bibir dan alis serta mata Syanti Dewi dengan menggunakan pemerah bibir dan penghitam. Sebentar saja, ketika dia selesai dan Syanti Dewi melihat bayangannya sendiri dalam cer¬min, puteri ini hampir tertawa geli me¬lihat betapa dia sudah berubah menjadi seorang wanita yang bermata sipit, alis¬nya tebal dan mulutnya lebar, mukanya ada beberapa totol hitam yang melenyap¬kan semua kemanisannya. “Mari cepat....” kata kakek itu dan dia segera menarik pelayan yang sudah mengenakan pakaian Syanti Dewi, mendudukkannya di atas kursi, lalu dia memandangnya dengan sinar mata penuh pengaruh yang amat kuat sambil berkata, “Kau tidak akan dapat bicara semalam ini dan akan menurut saja apa yang di¬lakukan orang-orang kepada dirimu!” Se¬telah menanamkan kata-kata ini melalui sihir ke dalam benak pelayan itu, See¬thian Hoat-su lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan di bawa menyelinap ke luar melalui jendela, tidak lupa untuk leblh dulu meniup padam lilin yang ber¬nyala di atas meja. Akan tetapi baru saja mereka me¬loncat ke luar dan menutupkan daun jen¬dela, Syanti Dewi menahan seruan kaget dan memegang lengan kakek itu. Dua orang pengawal berjalan dengan langkah tegap ke arah mereka! Akan tetapi, ka¬kek itu sudah menggerakkan kedua ta¬ngannya ke arah dua orang pengawal itu. Mereka memandang, terkejut dan berdiri seperti patung dengan mata terbelalak, sama sekali tidak dapat bergerak sampai kakek itu menggandeng tangan Syanti Dewi dan menariknya pergi dari situ. Setelah kakek dan puteri itu lenyap, barulah keduanya sadar, saling pandang dan merasa terheran-heran. “Eh, kenapa kita berdiri bengong di sini?” tanya yang seorang. “Heran, aku merasa seperti baru saja terjadi sesuatu, akan tetapi ternyata tidak ada apa-apa. Seperti mimpi saja,” kata yang ke dua. “Hemmm, agaknya kita tadi terlalu banyak minum arak.” Dan mereka me¬lanjutkan perondaan mereka. Sementara itu, See-thian Hoat-su mengajak Syanti Dewi bersembunyi di tempat gelap, di ruangan dekat dapur yang penuh dengan pot-pot bunga dan pohon katai. Hwa-i-kongcu Tang Hun me¬mang mempunyai kegemaran mengumpul¬kan bunga-bunga dan pohon-pohon katai yang aneh dan indah dalam pot-pot kuno dan dikumpulkan di ruangan itu. Bukan ruangan tertutup, akan tetapi cukup ge¬lap dan Syanti Dewi merasa heran se¬kali mengapa penolongnya itu mengajak¬nya bersembunyi, dan di tempat terbuka seperti itu. “Kenapa kita tidak lari....?” bisiknya. “Sssttttt.... kita tunggu sampai ter¬jadi keributan,” jawab See-thian Hoat-¬su. Syanti Dewi hendak bertanya meng¬apa mereka bersembunyi di tempat ter¬buka seperti itu, akan tetapi dia meng¬urungkan niatnya bicara karena pada saat itu muncul tiga orang yang berjalan ke arah tempat itu. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap, dan ternyata mereka adalah dua orang tamu yang agaknya melihat-lihat, diantar oleh seorang pe¬ngawal. “Ini adalah kumpulan-kumpulan bunga¬-bunga aneh dan pohon-pohon katai yang disayang sekali oleh Kongcu,” si penga¬wal menerangkan. Mereka melihat-lihat bunga itu, bahkan seorang dari mereka mendekati Syanti Dewi dan mencium-¬cium, mendengus-dengus. “Hemmm, wangi....!” katanya. “Sa¬yang agak gelap tempat ini sehingga kita tidak dapat mengagumi bunga-bunga ini dengan jelas.” “Besok saja kita melihat-lihat lagi ke sini,” kata tamu ke dua dan mereka berjalan pergi. Syanti Dewi sudah gemetar saking tegang dan gelisahnya. Rambutnya tadi dicium-cium oleh orang itu dan dia di¬sangka bunga! Dia terheran-heran akan tetapi ketika dia menoleh kepada kakek itu yang terkekeh geli, mengertilah dia bahwa peristiwa aneh itu adalah akibat permainan sihir kakek ini. Tentu tiga orang yang tadi datang telah melihat mereka berdua seperti bunga dalam pct, maka rambutnya dicium oleh seorang di antara mereka. Teringatlah dia akan per¬mainan sihir dari Siang In yang mem¬buat dara itu kelihatan seperti sebuah kursi bagi orang lain! “Kenapa kita harus menunggu sampai terjadi keributan, Locianpwe?” Dia ber¬bisik. Kakek itu menarik napas panjang. “Siang In terlalu sembrono. Dia tidak melihat bahwa di sini hadir orang dari Nepal yang memiliki kekuatan sihir lebih hebat daripada dia. Kalau kita lari se¬karang dan ketahuan, banyak bahayanya akan gagal karena di depan orang itu tentu saja tidak mungkin mengandalkan kekuatan sihir.” Saat yang dinanti-nanti oleh kakek See-thian Hoat-su itu ternyata tidak lama. Tiba-tiba terdengarlah canang di¬pukul bertalu-talu tanda bahaya dan di¬susul teriakan-teriakan nyaring. Dari tempat sembunyi itu, mereka melihat berkelebatnya banyak wanita-wanita pelayan dan melihat pula seorang pelayan wanita tua yang cantik memondong Syan¬ti Dewi palsu tadi dengan gerakan ringan sekali. Lalu terdengar keributan di ruangan pesta, disusul padamnya lampu¬-lampu dan ributnya suara orang bertem¬pur! “Sekarang....!” Kakek itu berbisik dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya melarikan diri melalui jalan belakang. “Heiii, siapa....?” Akan tetapi dua orang itu sudah jatuh terjungkal oleh kakek See-thian Hoat-su sebelum dua orang pengawal itu dapat melihat jelas. Dengan cepat See-thian Hoat-su lalu memondong tubuh Syanti Dewi dan di¬bawanya melompati pagar tembok di taman belakang. Tanpa banyak halangan karena semua orang sedang sibuk ber¬kelahi dan mengejar-ngejar penculik Syan¬ti Dewi palsu, See-thian Hoat-su dapat membawa pergi puteri itu dari puncak Bukit Naga Api. Setelah pergi jauh, Syanti Dewi ber¬kata, “Locianpwe, bagaimana dengan Siang In? Kenapa kita tidak menanti dia?” Kakek itu menurunkan tubuh Puteri Bhutan dan menyeka peluhnya, lalu me¬mandang ke angkasa yang indah penuh bintang. “Ahhh, dia bukan anak kecil lagi, tentu dapat menjaga diri sendiri.” “Akan tetapi.... tentu dia akan men¬cari-cari Locianpwe dan saya....” “Dia tidak tahu bahwa aku berada di sini, dan biarlah dia mencarimu untuk meluaskan pengalamannya, ha-ha!” Kakek yang aneh itu tertawa dan Syanti Dewi tidak membantah lagi. Kakek ini mem¬punyai watak yang luar biasa anehnya dan dia tahu bahwa memang orang-orang sakti di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang kadang-kadang mendekati watak orang gila! “Lalu.... laiu kita akan pergi ke ma¬na, Locianpwe?” tanyanya penuh keragu¬an. “Ke tempatku di pantai Po-hai. Akhir¬nya Siang In tentu akan ke sana pula kalau dia tidak berhasil mencarimu. Dan kulihat engkau diperebutkan banyak orang, Puteri, maka untuk sementara waktu ini, kiranya akan lebih aman kalau kau ber¬ada di sana bersamaku. Syanti Dewi tidak membantah lagi. Dia meninggalkan Bhutan bersama Siang In, dan biarpun dia berniat mencari Tek Hoat, namun mencari seorang diri saja mana mungkin berhasil? Di bagian dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat yang amat lihai, dan tanpa seorang teman seperjalanan yang sakti seperti Siang In, dia merasa ngeri dan tidak sanggup untuk mencari Tek Hoat sendiri¬an saja. Pula, kini dia ikut bersama gu¬ru dari Siang In, berarti dia berada di tangan yang aman dan tentu banyak harapan akan berjumpa kembali dengan gadis ahli sihir itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, peristiwa penculikan atas diri Syanti Dewi dari gedung Hwa-i-kongcu Tang Hun itu menimbulkan kegegeran hebat. Rombongan Hek-eng-pang yang di¬pimpin oleh Yang-liu Nio-nio sendiri berhasil menculik Syanti Dewi tanpa mereka sadari bahwa yang mereka culik adalah yang palsu. Mereka telah mengor¬bankan banyak anak buah dan Syanti Dewi telah diserahkan kepada Ang Tek Hoat yang melarikannya, akan tetapi kemudian ternyata Syanti Dewi itu ha¬nyalah seorang pelayan! Seperti kita ketahui, saking marahnya Yang-liu Nio¬-nio membunuh pelayan itu dan kemudian mayatnya dilemparkan kepada Siang In oleh Tek Hoat yang merasa gemas dan berkhawatir akan diri kekasihnya. Siang In sendiri juga terkejut ketika melihat mayat yang disangkanya Puteri Bhutan itu ternyata hanya seorang pela¬yan. Tahulah, dia bahwa Syanti Dewi telah lenyap tanpa dia ketahui siapa penculiknya. Jelas bukan Tek Hoat, bu¬kan pula rombongan Hek-eng-pang, akan tetapi jelas telah lenyap dari rumah Hwa-i-kongcu. Habis, siapa yang telah menculiknya? Dia merasa penasaran se¬kali dan mulai melakukan pengejaran dan penyelidikan. Sementara itu, seperti telah dicerita¬kan pula di bagian depan, di dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu itu terdapat pula seorang tamu yang amat lihai, bah¬kan tamu itu telah membuyarkan ke¬kuatan sihir dari Siang In ketika gadis yang menyamar sebagai penari dan pe¬main sulap ini memperlihatkan kepandai¬annya. Orang itu adalah Gitananda, ka¬kek tokoh Nepal yang tinggi besar, ber¬sorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut itu. Seperti kita ketahui, Gitananda juga mencoba untuk menahan diri Yang¬-liu Nio-nio yang dianggapnya telah men¬culik pengantin perempuan, akan te¬tapi Yang-liu Nio-nio yang dibantu banyak anak buahnya itu dapat meloloskan diri dan Gitananda tidak berani me¬lakukan pengejaran dalam gelap karena dia tahu bahwa hal itu amat berbahaya, mengingat bahwa rombongan penculik itu terdiri dari orang-orang pandai. Gitananda adalah seorang di antara pembantu-pembantu Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang mengemban tugas untuk menghubungi pembesar-pembesar yang condong untuk menentang kekuasaan kaisar. Koksu Nepal yang cerdik itu maklum bahwa untuk memperkuat kedu¬dukannya, dia harus menghubungi tokoh-¬tokoh kang-ouw di dunia timur ini, dan sedapat mungkin berbaik dengan tokoh-¬tokoh dari golongan hitam. Oleh karena itulah, maka dia menyebar para pem¬bantunya, dan ketika mendengar akan pernikahan di puncak Naga Api, yaitu pernikahan dari Hwa-i-kongcu Tang Hun yang didengarnya sebagai ketua Liong¬-sim-pang, seorang pemuda yang selain kaya raya, juga amat lihai bahkan akhir¬-akhir ini kabarnya menjadi murid Durga¬nini, tentu saja dia tidak mau melewat¬kan kesempatan baik itu dan mengutus Gitananda mewakilinya dan menghadiri pesta itu. Durganini adalah seorang ne¬nek ahli sihir dari India dan Ban Hwa Sengjin sudah mengenalnya. Sebetulnya, ketika Gitananda men¬dengar bahwa yang menjadi pengantin puteri adalah Syanti Dewi dari Bhutan, dia terkejut sekali. Betapa akan senang¬nya koksu kalau sampai dia bisa men¬dapatkan puteri itu. Puteri itu dapat dipergunakan untuk memaksa Pemerintah Bhutan tunduk kepada Nepal! Akan tetapi tentu saja dia tidak boleh membikin marah Hwa-i-kongcu, lebih-lebih Durga¬nini, maka Gitananda juga tidak mau mengganggu pengantin puteri. Akan te¬tapi ketika terjadi penculikan atas diri pengantin puteri, tentu saja Gitananda melihat kesempatan yang amat baik! Puteri itu diculik orang, kalau saja dia bisa merampasnya kembali dari tangan penculik. Bukan untuk diserahkan kem¬bali kepada Hwa-i-kongcu, sungguhpun hal itu akan berarti melepaskan Liong¬-sim-pang sebagai sahabat. Kiranya akan lebih penting lagi diri Puteri Bhutan itu bagi Nepal, daripada persahabatan Liong¬-sim-pang. Pula, kalau dia bisa mendapat¬kan puteri itu di luar tahu Liong-sim¬-pang, bukankah tetap akan menjadi sa¬habat untuk dapat bekerja sama sewaktu-¬waktu jika keadaan membutuhkan karena Hwa-i-kongcu sudah melihat sendiri be¬tapa dia telah membantu untuk melawan para penculik, biarpun tidak berhasil. Dia harus dapat mengejar penculik dan merampas kembali Puteri Bhutan tanpa diketahui oleh Hwa-i-kongcu! Maka setelah para penculik itu kabur, Gita¬nanda melakukan pengejaran seenaknya karena dia perlu untuk diam-diam kem¬bali ke kamarnya, lalu pergi lagi turun dari puncak ke tempat yang sunyi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gitananda melepaskan seekor bu¬rung berwarna hijau yang paruhnya me¬rah, burung kecil yang menjadi burung peliharaannya, amat terlatih dan merupa¬kan burung yang amat cerdik. Dengan dalih memeriksa kamar pengantin wanita yang terculik malam tadi dia berhasil memasuki kamar pengantin dan berhasil pula memperoleh sehelai saputangan yang tadinya dipakai oleh Syanti Dewi, dari seorang pelayan yang disogoknya dengan sepotong emas! Kini, dia melepaskan burung itu yang membawa robekan sapu¬tangan di antara paruhnya yang merah dan kuat. “Carilah sampai dapat!” teriak Gita¬nanda sambil melepaskan burung itu. Bu¬rung hijau itu terbang seperti kilat ce¬patnya ke atas, tinggi sekali lalu mulai terbang tinggi berputar membentuk ling¬karan-lingkaran yang makin lama makin luas. Binatang yang cerdik itu mulai mencari-cari, menggunakan nalurinya mengandalkan benda yang berada di pa¬ruhnya. Sepasang matanya yang kecil melirak-lirik ke bawah, tajam sekali. Gitananda menanti sampai hampir menjelang tengah hari. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya di atas rumput ketika dia melihat sinar hijau melayang telah kembali! Benar saja, terbang sampai tiba di atas melepaskan robekan sapu¬tangan dan mengeluarkan suara mencicit. “Burung yang baik, kau telah menemukan dia?”¬ Burung itu mencicit dan terbang ke atas lagi. Gitananda lalu mengikutinya dan burung itu sengaja terbang tidak terlalu cepat sehingga Gitananda yang memiliki ilmu berlari cepat itu dapat mengikutinya dari bawah! Dan burung itu terbang menuju ke timur! Jenggotnya yang panjang berkibar-kibar, ujung sor¬bannya juga berkibar sehingga kakek ini nampak gagah dan juga aneh, seperti seorang dewa dalam dongeng. Sementara itu, See-thian Hoat-su yang sedang berjalan seenaknya bersama Syanti Dewi, ketika keluar dari sebuah hutan kecil, tiba-tiba melihat seekor burung hijau terbang berputaran di atas mereka. Mula-mula Syanti Dewi yang melihat burung itu. Dara bangsawan ini sedang memandang ke atas, seolah-olah hendak mencari berita dari awan-awan di angkasa di mana adanya Ang Tek Hoat pada saat itu. “Eh, burung apakah itu demikian aneh?” katanya sambil menuding ke atas. See-thian Hoat-su juga memandang ke atas dan dia mengerutkan alisnya. Biar¬pun usianya jauh lebih tua, akan tetapi kakek ini memiliki sepasang mata yang terlatih baik sekali dan dia dapat me¬ngerahkan kekuatan pandang matanya untuk melihat jauh sehingga burung itu nampak jelas olehnya. “Puteri, katakan, apakah engkau mempunyai sehelai saputangan kuning?” tiba-tiba dia bertanya sambil memandang ke arah burung hijau yang terbang ber¬putaran itu. “Saputangan kuning....?” Tentu saja Syanti Dewi merasa kaget dan heran mendengar pertanyaan tiba-tiba yang janggal itu. “Ya.... ya, saputangan sutera kuning. Apakah engkau memakai benda itu ketika berada di puncak Naga Api, di tempat tinggal Hwa-i-kongcu?” “Benar.... akan tetapi kutinggalkan di kamar....” Ah, celaka....! Benar, dia tentu bu¬rung mata-mata!” teriak See-thian Hoat-¬su dengan kaget, apalagi ketika dia me¬lihat burung itu tiba-tiba saja meluncur cepat sekali ke barat, tentu akan melapor kepada majikannya bahwa dia telah me¬nemukan orang yang dicarinya! “Kita harus cepat pergi dari sini!” Berkata demikian, kakek itu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya berlari cepat sekali sehingga Syanti Dewi memejamkan matanya karena merasa ngeri. Saking khawatirnya kalau-kalau dia akan ter¬susul oleh para pengejarnya yang dia tahu tentu terdiri dari orang-orang pan¬dai sehingga membahayakan keadaan Syanti Dewi, maka See-thian Hoat-su tidak mempedulikan pandangan para peng¬huni dusun-dusun yang dilewatinya. Tentu saja orang-orang dusun itu terkejut dan terheran-heran melihat seorang dara cantik jelita dipondong dan dibawa lari oleh seorang kakek botak yang larinya seperti setan! Lebih-lebih lagi keheranan mereka ketika bebecapa lama kemudian, muncul pula. seorang kakek berkulit hitam, ting¬gi besar, kepalanya memakai sorban, jenggotnya panjang sampai ke perut dan dengan suara kaku dan asing kakek ini bertanya kepada mereka apakah mereka melihat seorang dara yang cantik jelita, yang kulitnya putih kemerahan, matanya lebar seperti sepasang bintang, sikapnya lemah lembut, halus budi dan agung, lewat di dusun itu. “Ah, kami melihat seorang dara can¬tik jelita, akan tetapi dia dipondong dan dibawa lari seorang kakek botak....” “Yaaa! Itulah dia! Ke mana mereka pergi?” Gitananda bertanya dengan girang karena dia tidak merasa ragu lagi bahwa itulah dara yang dicarinya dan benar saja, agaknya Sang Puteri Bhutan itu di¬larikan seorang penculik! Kini para penghuni dusun merasa ragu-ragu karena mereka kurang percaya kepada orang asing bersorban yang bi¬caranya kaku ini, akan tetapi Gitananda cepat berkata, “Agaknya kalian belum tahu. Kakek botak itu adalah seorang penjahat besar, seorang penculik! Dan dara yang diculik itu adalah seorang puteri! Puteri Raja Bhutan dan aku ada¬lah seorang petugas yang akan menolong sang puteri. Harap kalian cepat memberi tahu, ke mana mereka itu pergi?” Tentu saja para penghuni dusun me¬rasa kasihan sekali kepada sang puteri dan berfihak kepada orang asing ini yang hendak menolong sang puteri yang terculik penjahat, maka berebutlah mereka memberi tahu ke mana arah larinya ka¬kek botak yang memondong dan menculik sang puteri. Setelah mendengar bahwa kakek botak itu melarikan sang puteri menuju ke timur. Gitananda cepat me¬lakukan pengejaran bersama burung hijaunya. Maka ramailah para penghuni dusun itu membicarakan peristiwa yang aneh itu sehingga cerita tentang kakek botak yang seperti iblis menculik Puteri Bhutan lalu dikejar oleh kakek seperti dewa hitam tersiar luas di dusun itu dan bahkan keluar sampai ke dusun-dusun lain. Sementara itu. See-thian Hoat-su yang memondong tubuh Syanti Dewi, melakukan perjalanan cepat sekali me¬nuju ke timur dan akhirnya, beberapa hari kemudian setelah melakukan per¬jalanan yang hampir tidak pernah ditunda¬nya kecuali kalau malam gelap sekali dan untuk makan, tibalah kakek ini ber¬sama Syanti Dewi di Gua Tengkorak. tempat pertapaan See-thian Hoat-su se¬lama bertahun-tahun ini! Syanti Dewi merasa lega ketika kakek itu mengatakan bahwa mereka telah tiba di tempat pertapaan yang tersembunyi. dan dia lalu memeriksa tempat itu. Tem¬pat yang amat indah akan tetapi juga menyeramkan. Gua besar itu dalamnya seperti sebuah rumah saja, amat lebar dan dibagi-bagi menjadi beberapa buah kamar, bahkan ada tempat dapurnya yang terisi perabot dapur lengkap. Gua itu terletak di antara batu-batu karang yang besar-besar sehingga tersembunyi, dan menghadap ke luar Teluk Po-hai. Suara ombak memecah di batu-batu karang terdengar setiap saat siang malam, me¬rupakan dendang yang tidak hentinya dan menciptakan suasana yang aneh dan ber¬beda sekali dari suasana di darat dan pegunungan. Angin bersilir terus jarang berhenti, dan di atas gua itu adalah sebuah bukit batu karang yang di bagian atasnya ditumbuhi bermacam pohon yang tahan hidup di tepi pantai. Di sebelah kiri gua terdapat air tawar yang ber¬cucuran dari celah-celah batu yang pecah oleh akar-akar pohon, air yang merupa¬kan berkah bagi penghuni gua karena memudahkan pengambilan air tawar yang amat dibutuhkan. Gua itu sendiri kalau dilihat dari jauh memang berbentuk se¬perti tengkorak manusia. “Jangan terlalu jauh meninggalkan gua,” kata See-thian Hoat-su yang me¬manggil kembali Syanti Dewi yang ber¬jalan-jalan di sekitar tempat itu sampai ke pantai Po-hai. “Sekarang belum aman benar. Siapa tahu orang yang mempunyai burung hijau dapat mengejar sampai ke sini. Siapapun mereka, jangan harap akan dapat merampasmu dari sampingku, Pu¬teri. Akan tetapi kalau kau berkeliaran terlalu jauh, dan mereka menculikmu, tentu saja aku tidak tahu dan tidak ber¬daya untuk mencegah mereka.” Mendengar itu, Syanti Dewi tidak lagi berani pergi jauh dan mulailah puteri ini membersihkan gua, kemudian memasak air dan menanak nasi yang semua bahan¬nya terdapat di tempat itu. Biarpun dia seorang puteri raja, namun pengalaman beberapa tahun yang lalu ketika dia me¬ninggalkan Kota Raja Bhutan (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali) membuat dia tidak canggung untuk melakukan pekerja¬an rumah, bahkan untuk hidup secara sederhana sekali. Melihat kecekatan pu¬teri ini, diam-diam See-thian Hoat-su merasa kagum sekali. Seorang puteri raja namun demikian gapah memainkan sapu dan pengebut bulu ayam, dan demikian cekatan untuk bergaya di dalam dapur! Malam itu Syanti Dewi menyalakan lilin sebagai penerangan di dalam gua. Heran dia mengapa di sebelah dalam gua itu tidak ada angin, padahal kalau dia berdiri di depan gua, angin bersilir tiada hentinya. Namun di dalam gua, api lilin tidak bergoyang sedikit pun, tanda bahwa di situ tidak dimasuki angin sama sekali! Tentu saja dara ini tidak tahu bahwa hawa bersifat seperti air, hanya akan mengalir masuk tempat yang berlubang dan ada tembusannya. Gua itu merupakan lubang yang rapat di bagian belakangnya sehingga telah penuh dengan hawa dan tidak memungkinkan lagi hawa dari luar mengalir masuk. Setelah mereka makan dengan seder¬hana, yaitu hanya nasi dengan lauk pang¬gang ikan yang ditangkap oleh See-thian Hoat-su dari teluk, makan malam seder¬hana yang amat lezat karena hati tenang dan perut lapar ditambah tubuh lelah, mereka lalu mengaso. Saking lelahnya setelah berlari sambil memondong Syanti Dewi beberapa hari lamanya, sebentar saja See-thian Hoat-su sudah tidur men¬dengkur. Akan tetapi, Syanti Dewi tidak dapat tidur. Hatinya gelisah memikirkan nasib¬nya. Memang benar bahwa dia telah selamat dan aman di tangan guru Siang In, akan tetapi kapankah dia dapat ber¬jumpa dengan Siang In? Dan terutama sekali, kapankah dia akan dapat bertemu dengan Tek Hoat dan bagaimana sikap Tek Hoat kalau berhadapan dengan dia? Teringat akan semua pengalamannya, Syanti Dewi menarik napas panjang. Apakah yang akan dialaminya selanjutnya.? Baru beberapa bulan yang lalu dia masih menjadi seorang puteri di istana ayahnya, hidup bahagia sekali dan menghadapi masa depan gilang gemilang, dengan Ang Tek Hoat sebagai tunangannya yang ga¬gah perkasa dan amat dicintanya, dan pernikahan antara mereka hanya tinggal menanti saatnya saja. Akan tetapi tiba-¬tiba saja terjadi malapetaka yang amat hebat, yaitu datangnya ibu kandung Tek Hoat yang membikin marah ayahnya dengan pengakuannya yang menggempar¬kan, yaitu bahwa Ang Tek Hoat adalah seorang anak haram. Ayahnya marah dan memutuskan pertunangan itu sehingga Tek Hoat merasa malu dan lolos dari Bhutan! Dia menarik napas panjang. Dia mencinta Tek Hoat, mencinta pribadinya. Apa artinya riwayat hidup keluarga pe¬muda itu baginya? Dia dulu pun sudah tahu bahwa Tek Hoat pernah menjadi seorang tersesat, bahkan membantu pem¬berontak. Akan tetapi, bukankah pemuda itu sudah sadar dan kembali ke jalan benar? Betapapun juga, dia mencinta Tek Hoat, dan dia tidak peduli apa pun yang menjadi latar belakang riwayat hidup ayah dan ibu pemuda itu. “Syanti Dewi....!” Tiba-tiba dia men¬dengar suara halus datang dari luar Gua Tengkorak. Suara seorang wanita yang halus memanggilnya! Mimpikah dia? Syan¬ti Dewi bangkit duduk dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika dia me¬lirik ke arah kamar di sebelah kamarnya, dia masih mendengar suara dengkur See¬-thian Hoat-su. Dia harus berhati-hati. Bukankah kakek itu mengatakan bahwa boleh jadi orang-orang jahat yang hendak merampasnya kembali datang ke tempat itu?“Enci Syanti Dewi....!” Kembali ter¬dengar bisikan yang terdengar olehnya seperti desis seekor ular. Siapakah dia? Siang In? Hanya Siang In yang menyebut¬nya enci Syanti Dewi! Akan tetapi mung¬kinkah Siang In? Dia curiga. Kalau benar Siang In, mengapa harus memanggilnya dengan suara lirih dari luar gua? Bukan¬kah gua ini tempat tinggal See-thian Hoat-su, kakek yang menjadi gurunya sendiri? Mengapa gadis itu tidak langsung masuk saja menemuinya dan memanggil dari luar secara mencurigakan? Syanti Dewi sudah banyak mengalami hal-hal hebat dan tahulah dia bahwa orang-orang jahat di dunia kang-ouw amat licik dan curang, maka dia tetap saja diam saja mendengarkan, tidak mau tergesa-gesa keluar. Kembali sunyi keadaannya, sunyi yang menegangkan hati Puteri Bhutan itu. Tak lama kemudian, terdengarlah lagi suara itu, kini agak keras biarpun masih dengan suara mendesis agar tidak terlalu nyaring dan terdengar oleh kakek yang sedang tidur. “Kalau benar bahwa yang berada di dalam itu Puteri Syanti Dewi, harap ke luar, adikmu Candra Dewi ber¬ada di sini!” Syanti Dewi terkejut, jantungnya ber¬debar keras. Candra Dewi! Ceng Ceng! Dia tidak ragu-ragu lagi karena dia me¬ngenal suara itu. Turunlah dia dari atas pembaringan dan dengan berindap-indap dia keluar dari kamarnya, terus berjalan keluar gua yang gelap karena penerangan hanya ada di dalam kamarnya dan di kamar See-thian Hoat-su saja. Di luar gua juga gelap, remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit. Dia melihat sesosok tubuh seorang wa¬nita berdiri di luar gua itu. Syanti Dewi tidak berani segera ke luar, mengintai dulu dan jantungnya berdebar penuh ke¬girangan ketika dia mengenal bahwa orang itu memang Candra Dewi atau Ceng Ceng adanya! Wanita itu memang benar Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau nyonya Kao Kok Cu si Naga Sakti dari Gurun Pasir! Da¬hulu, ketika dia masih tinggal di Bhutan, Ceng Ceng diakui adik oleh Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi (baca Ki¬sah Sepasang Rajawali). Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita per¬kasa ini bersama suaminya, si Naga Sakti dari Gurun Pasir Kao Kok Cu, terpaksa meninggalkan tempat mereka yang ter¬asing dari dunia ramai, jauh di utara di gurun pasir, memasuki dunia ramai di selatan untuk mencari putera mereka yang hilang! Mereka mencium jejak pu¬tera mereka itu dibawa orang ke sela¬tan, namun sampai sekian lamanya belum juga mereka berhasil menemukan kembali Kao Cin Liong, putera mereka yang ber¬usia lima tahun itu. Kini Ceng Ceng kembali melakukan penyelidikan dengan terpisah dari suaminya, karena dengan melakukan penyelidikan terpisah, lebih banyak harapan untuk mendapatkan kembali jejak yang hilang itu. Di dalam perjalanannya melakukan penyelidikan dan mencari puteranya itu¬lah Ceng Ceng mendengar desas-desus di dalam dusun-dusun yang dilaluinya ten¬tang seorang puteri yang terculik oleh seorang penjahat dan dikejar-kejar oleh seorang kakek seperti dewa. Ketika dia mendengar bahwa ada “Puteri Bhutan” dilarikan iblis dan dikejar dewa, dia ma¬sih belum menduga bahwa itu adalah Syanti Dewi. Akan tetapi ketika dia ter¬ingat bahwa beberapa hari yang lalu dia melihat Mohinta, putera panglima tua di Bhutan yang pernah dikenalnya, berke¬liaran dengan beberapa orang pembantu¬nya, mulailah dia curiga. Jangan-jangan Syanti Dewi yang lagi-Iagi menimbulkan geger di tempat ini! Karena hatinya merasa penasaran, dia lalu melakukan pengejaran pula dan akhirnya dia tiba di depan Gua Tengkorak pada malam hari itu. Dia tidak berani lancang menyerbu ke dalam, maka dia lalu menggunakan tenaga khikangnya untuk memanggil, karena wanita sakti ini yakin bahwa kalau mendengar suaranya, tentu Syanti Dewi akan keluar, kalau memang benar Syanti Dewi puteri yang terculik itu. “Adik Ceng....!” Syanti Dewi yang kini tidak ragu-ragu lagi itu berseru sambil lari keluar. “Enci Syanti....!” Dua orang wanita ini saling rangkul. “Aih, kiranya benar engkau, Enci Syanti!” “Adik Candra.... betapa girangnya hatiku bertemu denganmu....“ Pada saat itu, dari balik batu besar meloncat sesosok bayangan yang tinggi besar dan bayangan ini langsung mener¬kam ke arah Ceng Ceng. Wanita perkasa ini cepat mendorong tubuh Syanti Dewi, “Enci, menjauhlah!” katanya dan dia ce¬pat membalik, menggerakkan lengannya untuk menangkis karena mengelak sudah tidak sempat lagi. Serangan bayangan hitam itu cepat bukan main. “Desss....!” Tangkisan Ceng Ceng yang dilakukan dengan cepat itu mengan¬dung tenaga sinkang mujijat. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali ditutur¬kan betapa nyonya ini di waktu belum menikah dahulu, bersama Topeng Setan yang ternyata adalah Kao Kok Cu yang kini menjadi suaminya, telah berhasil memperoleh anak naga yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw di Telaga Sungari, biarpun untuk itu Kao Kok Cu telah mengorbankan sebelah lengannya yang dicaplok oleh naga di telaga itu. Setelah Ceng Ceng minum darah anak naga un¬tuk mengobati luka dan penyakit yang dideritanya, tidak saja dia sembuh dari lukanya di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga dia memperoleh tenaga mujijat dari khasiat darah anak naga itu. Tentu saja setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, dia telah dilatih oleh suaminya yang sakti itu dan kini dia telah dapat menguasai tenaga mujijat itu dengan baiknya, di samping ilmunya yang sudah memperoleh kemajuen pesat sekali. Tubuh Gitananda, kakek tinggi besar yang menyerangnya itu, sampai terlempar jauh ketika lengan mereka saling ber¬temu dengan kerasnya. Kakek itu terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa wanita yang diserangnya memiliki sinkang sedemikian dahsyatnya. Tadi, kakek ini hanya mengintai dan me¬nanti kesempatan baik untuk merampas Syanti Dewi. Dia tidak berani sembrono menyerbu ke dalam gua dan hanya me¬nanti saat baik selagi puteri itu keluar sendiri. Munculnya seorang wanita yang memanggil-manggil dari luar gua mem¬buat dia terheran-heran, akan tetapi giranglah hatinya melihat Syanti Dewi benar-benar keluar dari dalam gua dan cepat dia lalu menerjang wanita itu dengan maksud merobohkannya kemudian melarikan Syanti Dewi. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya kc¬tika wanita itu menangkis dengan te¬naga yang demikian hebatnya sehingga tubuhnya terlempar ke belakang sampai jauh! Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan Ceng Ceng harus cepat mengelak karena dari dalam gua sudah muncul seorang kakek yang menyerangnya kalang-kabut dengan pukulan-pukulan ¬yang mendatangkan angin berputaraan. Tahulah dia bahwa lawannya adalah se¬orang yang lihai, maka Ceng Ceng lalu membalas dengan tamparan-tamparan kedua tangannya yang ampuh. Terjadilah pertempuran yang amat seru dan dahsyat di depan gua, di dalam cuaca yang re¬mang-remang itu dan mereka berdua lebih mengandalkan ketajaman pendengar¬an mereka untuk mengikuti gerakan la¬wan daripada ketajaman pandangan mata yang tentu saja amat berkurang di dalam cuaca remang-remang itu. Syanti Dewi tadi merasa terkejut sekali ketika dia didorong ke pinggir oleh Ceng Ceng, dan dia melihat betapa Ceng Ceng tadi diserang oleh kakek tinggi besar. Kemudian, melihat Ceng Ceng diserang kakek botak dari dalam gua, dia terkejut. Kakek itu adalah See-thian Hoat-su! Dia segera melangkah maju dan bibirnya telah bergerak untuk berseru agar mereka berhent berkelahi karena mereka bukanlah musuh, akan tetapi tiba-¬tiba ada bayangan hitam menyambar. Syanti Dewi berusaha untuk mengelak, akan tetapi tingkat kepandaian silatnya jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Gitananda dan sekali kakek itu menepuk tengkuknya, tubuh Syanti Dewi menjadi lemas dan pingsanlah puteri itu. Gita¬nanda cepat memondongnya dan menye¬linap pergi di dalam kegelapan malam. Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su yang sedang bertanding dengan hebat itu sama sekali tidak melihat bahwa Syanti Dewi dirobohkan dan dibawa pergi orang lain. Mereka masih saling serang dengan hebat dan sungguh-sungguh karena me¬reka mendapatkan kenyataan bahwa la¬wan masing-masing amat lihai. “Plak-plakkk!” Untuk ke sekian kali¬nya kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan tubuh Ceng Ceng terdorong mundur, akan tetapi See-thian Hoat-su juga merasa betapa tubuhnya tergetar hebat! Dia terkejut sekali, maklum bah¬wa wanita yang dilawannya memiliki sinkang yang amat mujijat dan kalau pertandingan itu dilanjutkan beberapa kali mengadu tenaga seperti itu, amatlah berbahaya bagi jantungnya yang dapat tergetar dan rusak! Maka dia lalu mulai berkemak-kemik, hendak menggunakan ilmu sihir untuk mengalahkan lawannya. Kalau saja cuaca tidak segelap itu, de¬ngan pengaruh pandang matanya agaknya dengan mudah, dia akan dapat menguasai lawan ini. Akan tetapi cuaca amat gelap dan dia kini hendak menggunakan sihir, akan tetapi justeru pada saat itu lawan¬nya mendesaknya dengan pukulan-pukulan ampuh sehingga belum beranilah kakek ini membagi tenaganya untuk mengguna¬kan sihir karena sekali saja terkena pu¬kulan wanita itu tanpa dilawan dengan sinkang sepenuhnya, amatlah berbahaya baginya. Sementara itu, Ceng Ceng juga makin terkejut dan heran. Disangkanya bahwa yang menculik Puteri Bhutan itu seorang penjahat biasa saja. Kiranya puteri itu benar Syanti Dewi dan penculiknya ter¬nyata adalah seorang yang berkepandaian tinggi! Hal ini membuat dia menjadi ma¬rah bukan main dan dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan, hijau kehitaman. Itulah pe¬dang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Ra¬cun) yang bukan main ampuhnya. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa Ceng Ceng me¬nerima pedang itu dari seorang iblis betina berjuluk Ban-tok Mo-li dan betapa pedangnya itu pernah terampas oleh Tambolon dan kawan-kawannya tewas dalam perang oleh Tek Hoat dan para orang gagah, Ceng Ceng akhirnya berhasil memperoleh pedangnya kembali dan semenjak dia menikah, pedang itu selalu disimpannya saja dan tidak pernah dipergunakannya. Hanya ketika puteranya lenyap, dan dia bersama suaminya meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk mencarinya, dia mem¬bawa Ban-tok-kiam, hanya untuk berjaga¬-jaga saja karena dengan ilmu kepandaian¬nya yang tinggi, sebenarnya dia tidak usah memerlukan bantuan pedangnya. Akan tetapi, melihat ada orang menculik Syanti Dewi dan orang itu sedemikian lihainya, Ceng Ceng menjadi marah dan mencabut Ban-tok-kiam yang mengerikan itu. “Ihhhhh....!” See-thian Hoat-su adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, juga seorang ahli sihir yang amat pandai, akan tetapi dia bergidik juga ketika melihat berkelebatnya cahaya hijau kehitam¬an yang mendirikan bulu roma itu. “Penculik hina dina!” Ceng Ceng me¬maki. “Engkau telah berani menculik kakakku, Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, maka engkau akan tewas di tanganku!” Berkata demikian, wanita perkasa itu sudah menerjang dan terdengar suara bercicit nyaring ketika Ban-tok-kiam meluncur ke depan mencari korban de¬ngan ganasnya! “Heiii.... nanti dulu....!” See-thian Hoat-su mencelat ke belakang, berjungkir balik sampai empat kali dan ketika dia turun, dia mengangkat kedua lengan ke atas sambil berseru, “Nanti dulu, nanti dulu!” “Kau mau bicara apa lagi?” Ceng Ceng membentak, matanya memandang tajam dan mengeluarkan sinar seperti mata seekor naga berapi sehingga kem¬bali See-thian Hoat-su terkejut dan me¬rasa ragu-ragu apakah dia akan mampu menguasai lawan yang memiliki mata seperti itu dengan sihirnya. “Engkau mengaku kakak kepada Syanti Dewi? Dan menuduh aku menculiknya? Sungguh aneh sekali. Heiii, Sang Puteri, ke sinilah dan coba jelaskan keanehan ini! Benarkah aku penculik? Dan benar¬kah dia ini adikmu?” Akan tetapi, tentu saja tidak ada jawaban terhadap teriakan See-thian Hoat-su itu karena Syanti Dewi sudah tidak berada di tempat itu lagi. Men¬dengar kata-kata kakek itu, Ceng Ceng juga terkejut, lalu dia menoleh dan men¬cari Syanti Dewi. “Enci Syanti Dewi....! Enci Syanti, di mana kau? Keluarlah!” teriaknya pula. Akan tetapi sia-sia belaka. Mereka berdua berteriak memanggil-manggil dan mencari-cari, namun Puteri Bhutan itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. “Celaka....!” See-thian Hoat-su mem¬banting-banting kakinya. “Selagi kita ber¬dua saling hantam, ada orang ke tiga yang datang dan membawanya lari!” Ceng Ceng terkejut dan membenarkan dugaan itu. “Dia tentu belum lari jauh. Mari kita berpencar dan mengejar!” Tan¬pa menanti jawaban, tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. See-thian Hoat-su juga meloncat dan mencari-cari. Sia-sia saja mereka berdua mengejar dan mencari sampai malam terganti pagi. Akhirnya mereka kembali ke depan gua dan saling berjumpa di depan gua dengan alis berkerut. Kini mereka dapat saling memandang dengan jelas dan Ceng Ceng merasa seperti pernah melihat wajah kakek botak berambut putih itu. “Siapakah Locianpwe? Dan bagaimana¬kah Locianpwe dapat membawa Enci Syanti ke sini?” tanyanya sambil memandang tajam. See-thian Hoat-su bersungut-sungut. “Kalau kau benar adiknya, mengapa da¬tang malam-malam seperti pencuri? Ka¬lau datangmu biasa saja di waktu siang hari, tentu aku tidak menyerangmu dan Sang Puteri tidak akan lenyap. Akan tetapi sudahlah! Aku adalah See-thian Hoat-su, dan siapakah Nona yang masih muda akan tetapi memiliki kepandaian hebat sekali dan memiliki pedang yang demikian mengerikan?” Ceng Ceng membelalakkan matanya. “Aihhh! Kiranya Locianpwe See-thian Hoat-su!” Tentu saja dia pernah men¬dengar nama ini, bahkan pernah pula melihat orangnya ketika terjadi perang melawan Tambolon dan pasukannya, ka¬rena kakek inilah yang merobohkan nenek Durganini dan membawanya pergi. “Saya adalah adik angkat dari Enci Syanti De¬wi, yaitu dahulu ketika saya masih ting¬gal di Bhutan. Sekarang, saya telah men¬jadi isteri dari suami saya yang dikenal sebagai si Naga Sakti dari Gurun Pasir.” “Aaahhhhh....!” Kiranya begitukah? Pantas saja kepandaianmu hebat sekali, Toanio! Dan maafkan kalau aku menye¬rangmu tadi karena kusangka engkau adalah penculik yang membayangi kami sampai di sini.” “Sayalah yang harus minta maaf, Lo¬cianpwe, dan saya menyesal sekali ka¬rena saya tahu sekarang, bahwa saya salah duga dan saya yang menyebabkan lenyapnya Enci Syanti Dewi. Tidak salah lagi, tentu ini perbuatan dewa hitam itu!” “Dewa hitam? Apa maksudmu, Toa¬nio?” See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi melihat wajah nyonya muda itu nampak lesu dan muram, juga kelihatan lelah sekali, dia cepat berkata, “Mari kita bicara di dalam, Toanio. Agaknya banyak hal yang perlu saling kita tutur¬kan.” Memang Ceng Ceng merasa lesu dan muram wajahnya, hal ini karena dia selama ini berada dalam kecemasan me¬mikirkan nasib puteranya yang lanyap dan belum juga dapat dia temukan. Kini di¬tambah lagi menghadapi urusan Syanti Dewi lenyap diculik orang, tentu saja dia merasa makin gelisah dan berduka. Maka ketika kakek itu mempersilakan dia ma¬suk ke dalam gua besar, dia Mengangguk dan mereka lalu memasuki tempat itu. Setelah duduk berhadapan, Ceng Ceng lalu menceritakan betapa dia mendengar tentang Syanti Dewi dari orang-orang dusun di sepanjang jalan yang mencerita¬kan bahwa mereka melihat seorang dara cantik dipondong dan dilarikan oleh se¬orang kakek, dan betapa kemudian mun¬cul seorang kakek hitam bersorban yang memberi tahu mereka bahwa puteri itu adalah Puteri Bhutan yang diculik oleh seorang jahat. Penghuni dusun lalu me¬nyebarluaskan berita itu dengan cerita bahwa Puteri Bhutan diculik setan dan dikejar oleh seorang dewa hitam yang hendak menolong sang puteri. “Mendengar puteri itu disebut Puteri Bhutan, saya sudah merasa tertarik se¬kali, menduga Enci Syanti Dewi yang dimaksudkan, maka saya pun lalu me¬lakukan pengejaran. Ketika saya memang¬gil Enci Syanti Dewi keluar, kami ber¬temu dan berangkulan. Pada saat itulah saya diserang orang dari belakang. Saya mendorong Enci Syanti Dewi ke pinggir dan menangkis serangan orang itu se¬hingga dia terlempar ke belakang. Akan tetapi lalu Locianpwe muncul menyerang saya. Karena mengira bahwa tentu Lo¬cianpwe adalah sekutu penyerang per¬tama itu, maka saya tidak mempedulikan dia lagi dan melayani Locianpwe yang ternyata lebih lihai. Siapa kira, agaknya orang itulah yang disebut dewa hitam dan yang mempergunakan kesempatan selagi kita bertempur, lalu dia melarikan Enci Syanti.” See-thian Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih. “Orang hitam bersorban? Siapa gerangan dia? Apakah dia datang dari pesta itu dan terus membayangiku?” “Pesta apa yang Locianpwe maksud¬kan?” Ceng Ceng bertanya. Kakek itu menarik napas panjang. “Sebaiknya kuceritakan dari permulaan¬nya,” katanya. “Ketika itu aku sedang bertapa dan mengundurkan diri di gua ini setelah muridku yang bernama Siang In kuperbolehkan untuk merantau dan me¬luaskan pengalaman. Akan tetapi tiba-¬tiba datanglah nenek gila yang pernah menjadi isteriku itu....“ dia berhenti dan menghela napas panjang. “Nenek Durganini....?” Ceng Ceng bertanya menegaskan, karena sesungguh¬nya dia sudah tahu bahwa yang dimak¬sudkan tentulah nenek itu. “Siapa lagi kalau bukan dia?” Nenek gila itu mengganggu aku yang sedang siulian, datang-datang mengamuk dan hampir saja membunuhku kalau aku tidak segera sa¬dar dari siulian. Dia datang dan marah¬-marah, katanya dia mendengar dari mu¬ridku bahwa aku hendak menghajarnya, maka dia datang dan menantang-nantang! Aku maklum bahwa tentulah muridku yang bengal itu yang menjadi gara-gara, akan tetapi aku pun mengerti bahwa tentu ada sebabnya yang amat memaksa maka Siang In sampai menggunakan akal itu untuk memancing Durganini datang ke sini. Maka aku berhasil menyabarkan hatinya dan si nenek gila itu mulai ber¬cerita tentang Syanti Dewi.” “Ahhh....? Sungguh heran mengapa Enci Syanti yang sudah pulang ke negeri¬nya itu tiba-tiba dapat berada di sini lagi.” “Aku pun baru mendengar tentang itu dari Puteri Syanti Dewi ketika aku mem¬bawanya lari ke sini. Akan tetapi biar¬lah kulanjutkan ceritaku. Durganini menceritakan bahwa dia telah mempunyai seorang murid baru, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang yang tinggal di puncak Bukit Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san. Secara ke¬betulan saja Tang Hun ini bertemu de¬ngan muridku, Siang In, yang melakukan perjalanan bersama Puteri Syanti Dewi. Tang Hun jatuh cinta dan menangkap Syanti Dewi dan hendak dijadikan isteri¬nya. Siang In tidak mampu melindunginya karena di situ terdapat isteriku si nenek gila itu, maka Siang In lalu menggunakan akal, membohongi nenek itu dan mengatakan aku berada di sini dan hendak menghajarnya.” Kakek itu menarik napas panjang dan tersenyum geli teringat akan kenakalan muridnya. “Nenek gila itu paling benci men¬dengar aku mengancamnya, maka dia lalu lari ke sini dan mengamuk. Dia menceri¬takan bahwa Syanti Dewi hendak diper¬isteri oleh Tang Hun dan mendengar ini, aku mengkhawatirkan keadaan muridku dan juga puteri itu. Aku lalu maninggal¬kan nenek gila itu dan pergi ke puncak Naga Api menyelidik. Ternyata cerita itu benar dan aku melihat betapa banyak orang bersiap-siap hendak menculik Syan¬ti Dewi, di antaranya adalah muridku yang berusaha menolongnya. Akan tetapi karena aku melihat banyak orang lihai di situ, maka aku sendiri turun tangan dan membawa Sang Puteri lari sampai ke sini. Aku hendak menanti datangnya Siang In di sini, akan tetapi ternyata engkau datang lebih dulu dan Syanti Dewi terculik lagi.” Ceng Ceng mengerutkan alisnya. “Dan bagaimana Enci Syanti Dewi meninggal¬kan negaranya dan berada di tempat ini?” “Dia menceritakan kepadaku ketika dalam perjalanan menuju ke sini. Kata¬nya terjadi keributan di negerinya, Raja Bhutan, yaitu ayahnya memutuskan tali pertunangan ltu sehingga tunangannya, Ang Tek Hoat pergi dari Bhutan. Puteri Syanti Dewi ingin sekali menyusul, kebetulan Siang In datang mengunjunginya dan muridku itulah yang membantunya lolos dari istana Bhutan dan hendak men¬cari Tek Hoat, akan tetapi sebelum da¬pat bertemu telah ditangkap oleh ketua Liong-sim-pang.” “Hemmm, sungguh kasihan Enci Syan¬ti. Siapa kiranya yang kini menculik¬nya malam tadi?” Kakek itu mengepal tinjunya. “Salah¬ku! Aku kurang hati-hati, Akan kuselidiki sampai dapat. Akan tetapi, Toanio, eng¬kau yang tinggal di lstana Gurun Pasir, tempat rahasia yang seperti hanya ter¬dapat dalam dongeng, mengapa pula kau berada di sini, kalau aku boleh bertanya?” Ceng Ceng menarik napas panjang, teringat akan puteranya yang lenyap. “Sudah berbulan-bulan saya dan suami saya meninggalkan Istana Gurun Pasir dan menjelajahi Tiong-goan, Locianpwe. Kami suami isteri juga sedang tertimpa malapetaka. Putera kami telah hilang.” “Hilang?” “Ya, hilang tanpa meninggalkan jejak. Tentu diculik orang pula, seperti halnya Enci Syanti Dewi. Kami telah mencari dan kadang-kadang menemukan jejaknya, akan tetapi lalu hilang lagi sehingga sampai kini kami belum berhasil.” “Aihhh, manusia mana yang berani main gila menculik puteri si Naga Sakti dari Gurun Pasir? Iblis pun akan berpikir panjang untuk melakukan hal itu,” kata See-thian Hoat-su dengan heran. Nama besar si Naga Sakti ditakuti oleh seluruh dunia kang-ouw seperti juga nama besar lainnya, misalnya Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Juga Naga Sakti tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw, bagaimana ada orang berani menculik puteranya? “Buktinya ada yang menculiknya!” kata Ceng Ceng gemas. “Kalau saja aku dapat menangkap penculik hina itu!” Dan dia mengepal tinjunya. See-thian Hoat-¬su sendiri bergidik mendengar ancaman yang terkandung dalam suara itu. Dia tadi sudah merasakan kelihaian nyonya muda ini, apalagi pedangnya yang me¬ngerikan itu. Baru nyonyanya sudah de¬mikian hebat, entah bagaimana si Naga Sakti sendiri! Benar-benar si penculik itu mencari penyakit! “Aku akan mencari Puteri Syanti Dewi, akan tetapi juga akan membuka mata dan telinga untuk membantumu mencari puteramu, Toanio. Berapakah usianya dan bagaimana ciri-cirinya?” “Banyak terima kasih atas kebaikan hati Locianpwe,” kata Ceng Ceng yang sebagai seorang ibu, hatinya gelisah se¬kali dan tentu akan terasa bersyukur kalau ada orang membantunya menemukan puteranya. “Nama putera kami ada¬lah Kao Cin Liong, usianya sekitar lima tahun, mukanya bundar putih dan mata¬nya lebar, di bawah telinga kirinya ter¬dapat sebuah tahi lalat kecil. Hanya itu ciri-cirinya.” “Baik, aku akan membuka mata dan telinga. Sekarang pun aku berangkat hendak mencari jejak Syanti Dewi sambil mendengarkan tentang puteramu.” “Terima kasih, Locianpwe.” Mereka keluar dari dalam gua dan keduanya lalu pergi mengambil jalan ter¬pisah. Di sepanjang jalan See-thian Hoat-¬su mengeluh panjang pendek. Dia sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya, sudah bosan dengan urusan dunia yang hanya menimbulkan banyak persengketaan dan permusuhan. Tadinya, setelah muridnya, Siang In, meninggalkan¬nya dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai, bahwa dia boleh menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan tenang dan tenteram di dalam tempat pertapaannya, di Gua Tengkorak dan hidup penuh damai dengan diri sendiri dan dengan alam di tempat sunyi itu sampai dia mati. Siapa kira, belum ada setahun saja dia sudah terseret lagi da¬lam urusan dunia! Dan setelah kini me¬lihat Syanti Dewi diculik orang dari ta¬ngannya, tentu saja dia akan selalu me¬rasa salah dan menyesal sebelum dia dapat menyelamatkan Puteri Bhutan itu kembali. “Uuuuuhhh, sialan kau, tua-tua tidak dapat menikmati hidup damai....“ gerutu¬nya, namun tetap saja dia melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Puteri Bhutan itu. Dari jejak-jejak kaki di dekat guanya, dia melihat jejak kaki itu menuju ke utara, maka dia pun tidak membuang waktu dan mengejar ke utara. *** Warung nasi itu penuh dengan orang yang makan siang. Warung itu terkenal menjual nasi tim dan masakan-masakan yang cukup lezat dan terutama sekali murah harganya dibandingkan dengan harga makanan di restoran-restoran lain, maka selalu penuh dengan tamu, apalagi di waktu siang dan malam, waktunya orang-orang makan siang dan makan malam. Siang itu hawanya panas bukan main, apalagi di dalam restoran kecil atau warung nasi itu, seolah-olah merupakan pertanda bahwa di situ akan terjadi hal¬-hal yang hebat. Selagi banyak orang makan minum sambil bercakap-cakap, masuklah seorang wanita dan seorang pemuda. Wanita yang usianya mendekati empat puluh tahun namun masih kelihat¬an muda, cantik jelita dengan lirikan mata dan gerak bibir tersenyum genit, pakaiannya serba indah dan pesolek, bi¬birnya yang memang baik bentuknya itu kemerahan oleh gincu, juga kedua pipi¬nya ditambahi bedak dan pemerah pipi, di punggungnya tergantung pedang. Wanita ini memasuki restoran dengan lenggang yang lemah gemulai, kedua bukit ping¬gulnya yang terbungkus ketat oleh celana biru dari sutera itu menari-nari ketika dia melenggang, membuat beberapa orang yang sedang makan mi terpaksa harus menjulur-julurkan lehernya karena mi panjang yang ditelannya itu nyasar, mata mereka melotot dan melekat kepada buah pinggul yang menari-nari. Pemuda di sebelah wanita itu masih muda, dua puluh tiga tahun kurang lebih, tampan dengan muka yang membayangkan ke¬kerasan, agak muram dengan mata tajam dingin, mulutnya tertarik seperti orang mengejek, dan sikapnya tidak mempeduli¬kan siapa pun. Wanita itu adalah Lauw Hong Kui, tokoh sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li atau Siluman Kucing, dan yang berjalan di sebelahnya adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan dari kisah ini, mereka meninggal¬kan sarang perkumpulan Hek-eng-pang untuk mencari jejak Syanti Dewi. Seperti kita ketahui, Ang Tek Hoat yang dibantu oleh Yang-liu Nio-nio, ketua Hek-eng-¬pang, telah menyerbu puncak Naga Api dan berusaha merampas Puteri Syanti Dewi dari tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Akan tetapi, ternyata yang mere¬ka rampas dan mereka kira Syanti Dewi itu sebenarnya hanyalah seorang pela¬yan! Mereka sama sekali tidak tahu bah¬wa mereka menjadi korban kenakalan kakek See-thian Hoat-su yang telah mem¬bawa lari Syanti Dewi. Dan ketika Tek Hoat hendak pergi meninggalkan Yang-¬liu Nio-nio, Mauw Siauw Mo-li mengata¬kan bahwa dia melihat ada seorang gadis mencari-cari Puteri Syanti Dewi dan menawarkan bantuannya kepada Tek Hoat untuk membantu pemuda itu mencari kekasihnya. Demikianlah, hari itu mereka tiba di kota di mana Mauw Siauw Mo-li berjumpa gadis yang mencari-cari Syanti Dewi, dan memasuki restoran di ma¬na dia beberapa hari yang lalu melihat gadis itu. Dan Mauw Siauw Mo-li me¬mang tidak berbohong. Di restoran ini, beberapa hari yang lalu ketika dia pergi mengunjungi muridnya, Yang-liu Nio-nio, dia memang melihat seorang gadis cantik yang mencari-cari Syanti Dewi dan gadis ini bukan lain adalah Siang In yang masih terus menyelidiki dan mencari sahabatnya itu. Tentu saja Mauw Siauw Mo-li bukanlah seorang yang demikian baik hatinya untuk membantu orang lain tanpa ada pamrih lain di da¬lam hatinya. Begitu dia bertemu kem¬bali dengan Ang Tek Hoat, pemuda yang pernah membangkitkan gairah berahinya lima tahun yang lalu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali), maka timbuliah has¬ratnya untuk mendekati pemuda tampan dan gagah ini. Maka dia menawarkan bantuannya yang hendak dipergunakan menjadi jalan agar dia dapat mendekati Si Jari Maut, pendekar muda yang per¬nah menggemparkan dunia persilatan itu. Akan tetapi selama tiga hari tiga malam ini, dia sama sekali belum ber¬hasil “mendekati” Ang Tek Hoat yang bersikap dingin dan tak acuh kepadanya! Bahkan pagi hari tadi, ketika mereka melewatkan malam di hutan dan pagi tadi dia sengaja mandi di sumber air dengan bertelanjang bulat dan berusaha menarik perhatian Tek Hoat, pemuda itu malah marah-marah dan berdiri membelakanginya, sedikit pun tidak pernah mau melirik, apalagi mengagumi keindah¬an bentuk tubuhnya! Diam-diam Mauw Siauw Mo-li menjadi gemas dan marah sekali, hatinya terasa sakit sekali. Tidak mengindahkan dan tidak menyatakan kagum terhadap keindahan tubuhnya merupakan penghinaan! Dan kalau saja bu¬kan Tek Hoat, tentu dia sudah akan membunuh pria yang berani menghinanya seperti itu. Akan tetapi terhadap Tek Hoat dia tidak berani main-main karena dia maklum betapa lihainya pemuda ini dan betapa berbahayanya untuk memusuhi Si Jari Maut di tempat sunyi itu tanpa pembantu. Maka dia menahan kesabaran¬nya dan mengambil keputusan untuk ber¬hati-hati dan bersikap cerdik menghadapi pemuda ini, akan perlahan-lahan me¬masang jaringnya untuk menjebak Tek Hoat ke dalam pelukannya. Semua mata para tamu yang terdiri dari kaum prla itu tidak ada yang tidak memandang kepada Mauw Siauw Mo-li, atau setidaknya tentu mengerling kagum. Seorang wanita yang cantik manis dan sudah matang! Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mempedulikan mereka, me¬lainkan tersenyum bangga dan sadar akan kekaguman yang membanjiri dirinya dan matanya memandang ke arah seorang pelayan gendut lalu dia menggapai ke arah pelayan itu. Pelayan itu sedang membawa baki melayani beberapa orang tamu, ketika melihat Mauw Siauw Mo-¬li menggapai kepadanya, dia cepat-cepat menyerahkan baki berisi masakan kepada seorang rekannya dan dia sendiri tergesa-¬gesa menghampiri wanita cantik itu dan terbongkok-bongkok dan tersenyum-¬senyum dengan sikap penuh hormat dan penjilatan. “Ahhh.... apakah Toanio dan Kongcu yang terhormat ingin makan? Mari, saya pilihkan tempat yang kosong dan enak bagi Ji-wi (Anda berdua).” Mauw Siauw Mo-li mengangguk dan pelayan itu dengan terbongkok-bongkok lalu mengantar mereka ke sudut di mana terdapat meja kosong yang cepat di¬bersihkannya dengan kain yang selalu tergantung di pundaknya. “Toanio hendak pesan apa? Dan Kong¬cu?” tanyanya ramah. “Keluarkan mi, daging dan sayur ter¬baik untuk dua orang, kemudian harus engkau sendiri yang melayani kami kare¬na kami ingin bicara denganmu.” Pelayan itu membelalakkan matanya yang kecil sipit, akan tetapi lalu ter¬senyum-senyum dan mengangguk-angguk seperti seekor ayam sedang makan beras. “Baik, Toanio, baik....“ dan dia lalu mengundurkan diri untuk memenuhi pesanan Mauw Siauw Mo-li itu. “Dialah yang ketika itu ditanyai oleh gadis yang kumaksudkan, maka aku minta dia yang melayani klta,” bisik wanita cantik itu kepada Tek Hoat yang hanya mengangguk. Pelayan itu datang membawa masakan dan arak yang dipesan, kemudian setelah mengatur semua itu di atas meja, dia berdiri tak jauh dari situ sambil ter¬senyum-senyum dan siap untuk melayani dua orang ini kalau-kalau membutuhkan sesuatu. Mauw Siauw Mo-li mengajak Tek Hoat makan minum tanpa berkata-kata. Baru setelah dia merasa kenyang dan menyusut bibirnya yang merah dan ber¬minyak itu dengan saputangan, dia mem¬beri isyarat kepada pelayan itu untuk mendekat. Si pelayan mendekat dan membongkokkan tubuhnya agar kepalanya lebih dekat dengan wanita itu untuk mendengarkan apa yang hendak dikata¬kan wanita itu. “Aku ingin bertanya kepadamu ten¬tang sesuatu dan kau harus menjawab sejujurnya dan sebenarnya. Kalau kau memberi keterangan yang menyenangkan, jangan khawatir, aku akan memberi ha¬diah kepadamu. Akan tetapi kalau kau membohong atau menyembunyikan se¬suatu, pedangku tidak akan segan-segan untuk menyembelih lehermu.” “Uhhhhh....! Ti.... tidak.... mana saya berani....“ Pelayan gendut itu ber¬kata dan tubuhnya menggigil. Mauw Siauw Mo-li terkekeh sehingga empat orang pria yang duduk di meja yang tidak jauh dari situ menoleh semua. Melihat wanita cantik itu terkekeh genit dan matanya mengerling penuh daya tarik kepada mereka, empat orang laki-¬laki yang melihat pakaiannya tentu ter¬diri dari kongcu yang beruang itu juga tersenyum-senyum. Bahkan seorang di antara mereka yang termuda, usianya paling banyak tiga puluh tahun, pakaian¬nya rapi dan indah, mengedipkan mata kepada Mauw Siauw Mo-li. Sambil ter¬kekeh genit wanita ini membalas dengan kedipan mata kanan sehingga laki-laki itu kelihatan girang bukan main lalu minum araknya lalu mereka berempat tertawa¬-tawa dan berbisik-bisik. Tek Hoat melihat ini semua dengan hati muak, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan diam saja, hanya memandang kepada pelayan gendut itu. Setelah sedikit gangguan main mata dengan empat orang pria itu, Mauw Siauw Mo-li kembali menghadapi pelayan dan mulailah dia bertanya, “Beberapa hari yang lalu aku juga makan di sini....“ “Ah, saya ingat, Toanio. Saya ingat, maka ketika Toanio datang tadi, saya cepat menyambut karena saya merasa pernah melihat Toanio....“ pelayan itu cepat berkata. “Dan pada waktu itu, engkau me¬layani seorang gadis cantik berbaju su¬tera merah indah dan membawa payung. Dia bertanya kepadamu tentang seorang gadis cantik yang dibawa dengan paksa oleh seorang kakek.” Mauw Siauw Mo-li membiarkan pelayan itu mengerutkan alis mengingat-ingat. Ketika dia mem¬bayangi gadis yang dijumpainya di tepi jalan di dusun Khun-kwa tak jauh dari kota ini, dia terus mengikuti gadis itu sampai gadis itu memasuki rumah makan di kota ini. Akan tetapi karena pada waktu itu terdapat banyak sekali tamu dan suasana amat berisik, maka dia tidak dapat mendengarkan percakapan antara gadis itu dan pelayan gendut ini dengan jelas, hanya melihat si gendut ini meng¬gerak-gerakkan tangan. Pada waktu itu dia tidak begitu memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan urusan itu, akan tetapi setelah dia berniat membantu Tek Hoat, barulah dia teringat bahwa yang dimaksudkan oleh gadis itu tentulah Pu¬teri Syanti Dewi. “Ah, sekarang saya ingat, Toanio. Benar...., gadis membawa payung....“ “Nah, dengarlah. Aku juga ingin men¬cari gadis yang dibawa oleh kakek itu. Ke manakah mereka?” Lalu dia menam¬bahkan, “Awas, jangan berbohong kau!” “Aihhh, mana saya berani berbohong? Saya akan menceritakan kepada Toanio seperti yang saya ceritakan kepada nona itu, seperti yang saya ketahui. Memang ada kakek dan gadis seperti yang dimak¬sudkan itu makan di sini, akan tetapi tentu saja saya tidak tahu ke mana me¬reka pergi. Hanya di waktu makan, saya mendengar kakek itu menyebut-nyebut pantai Laut Po-hai. Hanya itulah yang saya ketahui dan demikian pula saya ceritakan kepada gadis itu, Toanio.” “Pantai Lautan Po-hai?” Tek Hoat mengulang dan alisnya berkerut. “Kalau begitu, aku akan menyusul ke sana!” katanya dan alisnya berkerut makin da¬lam ketika dia melihat Mauw Siauw Mo-¬li sudah tersenyum-senyum dan bermain mata lagi dengan laki-laki berbaju ku¬ning di meja lain itu. Ternyata Siluman Kucing ini sama sekali tidak mendengar¬kan atau mempedulikan keterangan si pelayan, melainkan asyik bermain mata dengan laki-laki itu! Tiba-tiba laki-laki itu yawg agaknya sudah setengah mabuk dan tidak kuat menyaksikan permainan mata dan bibir Mauw Siauw Mo-li, berdiri dan dengan langkah agak terhuyung dia menghampiri meja wanita itu, berpegang pada ujung meja dan dengan berdiri tidak lurus, agak tergoyang-tergoyang, dia tersenyum lebar kepada Mauw Siauw Mo-li. “He-he-he, engkau.... he-he, cantik seperti bidadari.... marilah kita makan minum bersama.... he-he-he, tentu kita berdua akan senang sekali....” “Prattt....!” Laki-laki itu menjerit dan menutupi mukanya yang disiram kuah panas oleh Mauw Siauw Mo-li. Bukan hanya karena kuah itu panas yang mem¬buat laki-laki itu kini berggulingan dl atas lantai sambil menjerit-jerit, akan tetapi karena kuah itu dilemparkan dengan pe¬ngerahan tenaga sakti oleh Mauw Siauw Mo-li yang kini tertawa terkekeh-kekeh dan suara ketawa ini mengandung suara seekor kucing! Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi duduk saja dengan tenang. Tentu saja tiga orang laki-laki lain yang duduk di meja sebelah menjadi terkejut dan marah sekali melihat teman mereka bergulingan seperti itu. Mereka menyangka bahwa teman mereka itu dipukul atau terkena senjata lain karena kalau hanya kuah, tidak mungkin teman mereka sampai menderita seperti itu. Serentak mereka bangkit dan lari meng¬hampiri meja Mauw Siauw Mo-li. “Kauapakan teman kami?” bentak mereka. “Hi-hik, dia terlalu mabuk dan kalian juga!” Kini berhamburanlah mangkok¬-mangkdk dan sumpit-sumpit dari atas meja di depan wanita itu dan terdengar suara berteriak-teriak kesakitan dan tiga orang laki-laki ini pun terpelanting dan roboh bergulingan seperti teman mereka yang pertama. Muka mereka luka-luka, ada yang tertusuk sumpit matanya, ada yang pecah pelipisnya terkena sambaran mangkok yang menghantam kepala sam¬pai pecah mangkok itu dan pecahannya melukai muka. Tentu saja restoran itu menjadi geger dan para tamu banyak yang lari keluar. Melihat ini, hati Tek Hoat terasa muak dan dia lalu bangkit berdiri, terus keluar dari tempat itu tanpa mempeduli¬kan Mauw Siauw Mo-li lagi. Wanita ini Cepat memburu. “Eh, nanti dulu, Ang¬sicu....!” Dia mengejar, akan tetapi Tek Hoat tidak menengok lagi, bahkan tidak peduli ketika Mauw Siauw Mo-li melang¬kah di sampingnya dan mereka keluar dari kota itu. Setelah mereka jauh meninggalkan pintu gerbang kota, dan melihat Tek Hoat sama sekali tidak mempedulikannya, Mauw Siauw Mo-li berkata, “Ang-sicu, apakah kau marah kepadaku?” Tek Hoat tidak menjawab dan ketika untuk kedua kalinya Mauw Siauw Mo-li bertanya sambil memegang tangannya, Tek Hoat mengibaskan tangan itu ter¬lepas dan membalik, matanya memancar¬kan sinar berkilat. “Pergilah dan jangan membikin aku merah!” hardiknya, Dia sudah siap untuk menyerang! “Eh, eh, Ang Tek Hoat!” Mauw Siauw Mo-li berkata dengan alis berkerut. “Ber¬hari-hari aku selalu bersikap hormat dan baik kepadamu, akan tetapi mengapa engkau sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadaku? Lupakah engkau bahwa aku berada di sampingmu karena hendak membantumu mencari Syanti Dewi?” Tek Hoat menghela napas. Benar juga, betapapun wanita ini telah berusaha membantunya menemukan kembali jejak Syanti Dewi. Kembali dia menarik napas panjang dan kemarahannya mereda.”Se¬pak terjangmu membuat aku kesal dan marah.” Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Mulut yang bibirnya merah basah itu terbuka sehingga nampak deretan gigi yang rapi dan putIh, rongga mulut yang merah seperti dagIng mentah yang masih segar. Melihat pemuda itu reda kemarahannya, hati wanita ini menjadi gembira kembali. “Sepak terjangku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu?” tanyanya halus, sikapnya merendah. Tek Hoat merasa tidak enak hatinya. Mengapa dia mempedulikan benar apa yang dilakukan oleh wanita ini? “Per¬buatanmu terhadap empat orang di res¬toran itu memuakkan hatiku!” akhirnya dia berkata dengan terus terang menya¬takan isi hatinya. “Ehhh?? Hi-hik, Ang-sicu yang baik. Mereka adalah laki-laki tak berharga yang sudah sepantasnya dihajar! Perlukah orang-orang macam mereka itu diperla¬kukan dengan baik dan dihormati?” Mereka saling pandang sejenak dan Tek Hoat mendengus lalu membuang muka. “Aku tidak membela mereka atau siapapun juga. Akan tetapi, engkau telah bermain mata dengan mereka, lalu me¬nyiksa mereka. Siapa tidak menjadi sebal melihatnya?” Senyum itu melebar, mata yang masih indah itu terbelalak dan dari kerongkong¬annya terdengar suara lembut seperti suara seekor kucing kalau dibelai. “Jadi engkau.... engkau memperhatikan semua itu? Dan hatimu tidak senang melihat aku bermain mata dengan mereka?” Pan¬dang mata itu kini penuh selidik. Wajah Tek Hoat menjadi merah. “Sudahlah! Aku tidak peduli apa yang akan kaulakukan, akan tetapi di depanku selama kita melakukan perjalanan ber¬sama, kau tidak boleh bertindak seperti itu yang hanya menimbulkan kekesalan hatiku.” “Aihhh.... Sicu. Sungguh aneh sekali mendengar ini dari mulutmu. Bukankah aku berhadapan dengan Si Jari Maut? Bukankah dalam hal kekerasan, aku sen¬diri masih boleh berguru kepada Si Jari Maut? Kita berdua adalah orang-orang dari golongan hitam, tindakan kekerasan merupakan kesenangan kita, kepandaian dan kekerasan merupakan hukum kita. Ataukah terjadi hal mujijat di mana Si Jari Maut telah berubah menjadi lemah dan lunak, si harimau ganas yang gagah perkasa telah berubah menjadi seekor domba yang jinak?” “Sudahlah! Jangan sebut-sebut tentang Si Jari Maut.... Aku benci kepadanya! Aku benci....! Tek Hoat lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya ke timur. Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan mengikutinya terus tanpa berani bicara apa-apa lagi sampai mereka berdua ber¬henti dl dalam hutan karena malam telah tiba dan malam itu gelap sekali tiada bulan, hanya ada sedikit bintang yang tidak cukup terang untuk memungkinkan mereka melakukan perjalanan melewati hutan lebat itu. Seperti biasa, Tek Hoat tidak pernah mau repot-repot dan setelah bersamadhi beberapa lama lalu tidur sambil bersan¬dar pada batang pohon, dan kembali Mauw Siauw Mo-li yang bekerja mengum¬pulkan kayu dan daun kering, membuat api unggun dan duduk melamun. Sampai lama wanita ini memandang ke arah Tek Hoat yang sudah tidur pulas karena ke¬hangatan api unggun mendatangkan kantuk pada matanya yang dibayangi ke¬dukaan dan kekhawatiran dan pada tu¬buhnya yang lelah. Berkali-kali Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, me¬ngamati wajah yang ditimpa api unggun itu, wajah seorang pemuda yang kelihat¬an masih remaja kalau sedang tidur me¬mejamkan mata seperti itu. Lenyaplah garis-garis kekerasan di wajah Tek Hoat. Di waktu tidak tidur, maka tarikan dagu yang mengeras, pandang matanya yang memancarkan ketajaman yang menusuk, bayangan muram pada wajah yang ke¬lihatannya tidak acuh, semua itu mem¬buat wajah Si Jari Maut menjadi matang dan menyeramkan. Akan tetapi di waktu tidur seperti itu, lenyaplah sifat-sifat Si Jari Maut dan wajah itu membayangkan seorang pemuda yang patut dikasihan! Teringat betapa selama berhari-hari dia tidak berhasil “mendekati” pemuda ini, Mauw Siauw Mo-li menarik napas pan¬jang penuh penyesalan, kekecewaan dan juga penasaran. Jarang ada pria yang sanggup bertahan terhadap rayuan maut¬nya. Baru kerling dan senyumnya saja tadi telah membuat empat orang laki¬laki di restoran itu tergila-gila. Dan rayuan-rayuannya dahulu pernah menun¬dukkan putera dari Pendekar Siluman! Kalau dia mengenang kembali peris¬tiwa itu, terdapat rasa kebanggaan yang luar biasa di dalam lubuk hatinya. Entah sudah berapa ratus, berapa ribu orang pria yang jatuh bertekuk lutut di depan kaki¬nya, yang mabuk kepayang dalam peluk¬an dan belaiannya, namun kalau dia ter¬kenang kepada Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, jantungnya berdebar penuh kebanggaan! Betapa bangganya mengenangkan betapa pemuda Pulau Es itu, yang tampan se¬kali dan gagah perkasa, pernah mabuk kepayang di dalam pelukan dan belaian¬nya, pernah menjadi kekasihnya. Dialah yang memperoleh perjakanya pemuda sakti itu! Kembali dia memandang wajah Tek Hoat. Pemuda ini tidak banyak selisihnya dengan Suma Kian Bu. Sama muda, sama tampan, dan sama gagah perkasa. Ada perbedaannya, yaitu kalau Suma Kian Bu adalah seorang tokoh dari golongan putih yang selalu menentang kejahatan, adalah Tek Hoat sebaliknya seorang tokoh hitam yang mengerikan, yang berjuluk Si Jari Maut! Jadi lebih cocok dengan dia! “Aihhh.... mengapa engkau begitu angkuh....?” keluhnya, membayangkan betapa akan nikmatnya kalau malam itu dia dapat terbuai dalam pelukan pemuda itu. Sudah berhari-hari dia tidak pernah berdekatan dengan pria, padahal Tek Hoat si pemuda ganteng ini setiap hari berada di sampingnya. Sungguh keadaan¬nya seperti seekor kucing kelaparan yang dekat dengan daging segar akan tetapi tidak dapat menerkam daging yang menggairahkan itu! Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li men¬dengar suara yang tidak wajar. Dia lalu bangkit dan melirik ke arah Tek Hoat. Masih tidur nyenyak pemuda itu. Dengan gerakan ringan dan tanpa mengeluarkan suara, Mauw Siauw Mo-li meninggalkan api unggun, menyelinap di antara pohon pohon yang gelap. Tak lama kemudian dia melihat lima orang laki-laki dan di antara mereka terdapat dua yang di¬kenalnya, karena dua orang ini adalah dua orang di antara empat orang yang tadi dihajarnya di restoran. Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Dia sedang “haus” dan kini datang lima orang laki-laki. Setidak¬nya ada dua orang di antara mereka yang masih cukup muda dan tidak buruk. Lumayan untuk memuaskan kehausannya yang menyiksa karena selalu dekat de¬ngan Tek Hoat yang tidak mempedulikan¬nya. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan senyumnya melebar. Mengapa tidak? Mungkin ini merupakan jalan dan siasat yang amat baik, pikir¬nya. Cepat dia membuka kancing baju¬nya luar dalam sehingga dadanya kelihat¬an terbuka dan sebagian dari bukit-bukit dadanya nampak. Lalu dia berjalan me¬mapaki lima orang itu. “Ohhh....!” Dia menahan seruannya ketika sudah berhadapan dengan mereka. Lima orang laki-laki itu terkejut, akan tetapi seorang dari mereka yang mengenal Mauw Siauw Mo-li berseru, “Ini dia siluman itu!” Dan mereka berlima lalu menyerbu Mauw Siauw Mo-li? Wanita ini mengelak ke sana-sini dan menangkis, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan mengenal pun¬daknya dan dia terhuyung. Lima orang itu menerkam dan Mauw Siauw Mo-li mempertahankan diri mati-matian se¬hingga pakaiannya koyak-koyak. “Toloooooonggggg....! Tolooonggggg.... Ang-sicu....!” Terdengar dia menjerit-¬jerit. Tek Hoat terbangun dan terkejut mendengar jeritan itu. Otomatis dia me¬loncat dalam keadaan sadar sepenuhnya dan di lain saat dia telah berlari cepat menuju ke arah datangnya suara itu. Dan ketika dia tiba di tempat itu, apa yang dilihatnya membuat Tek Hoat mengerut¬kan alis saking marahnya. Dia melihat Mauw Siauw Mo-li rebah terlentang di atas tanah, pakaiannya tidak karuan dan di sana-sini terbuka, sedangkan lima orang laki-laki sedang memegangi tubuh yang meronta-ronta itu! Dia tidak tahu betapa di dalam gelap itu, Mauw Siauw Mo-li masih sempat melirik ke arah Tek Hoat. “Uhhh.... uhhhhh.... keparat kalian.... iiihhhhh, tolooonggggg....!” “Jahanam....!” Tubuh Tek Hoat men¬celat ke tempat itu, kemudian kaki ta¬ngannya bergerak-gerak, jari tangannya seperti senjata ampuh menyambar-nyam¬bar lima kali dan lima orang laki-laki itu terlempar ke sana-sini dan roboh tak dapat bangkit kembali, di dahi dan muka yang tercium jari-jari tangan itu kini terdapat bekas tapak tangan menghitam dan tubuh mereka tidak bernyawa lagi! “Uuuhhhhh.... hu-huuuk, Sicu....!” Mauw Siauw Mo-li mengeluh, bangkit berdiri lalu lari menubruk Tek Hoat sam¬bil menangis. Kedua lengannya merangkul leher pemuda itu dan mukanya menangis di atas dada Tek Hoat. Pemuda ini tertegun dan bengong memandang ke arah lima orang laki-laki yang telah menjadi mayat itu. Dia me¬nuduk, memandang ke arah muka yang tersembunyi di dadanya sambil bertanya, “Kenapa.... apa yang terjadi....?” Akan tetapi tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li meng¬angkat mukanya dan menyambut muka pemuda yang menunduk itu dengan cium¬an pada mulutnya! Sejenak saking kagetnya Tek Hoat tak dapat berbuat apa-apa dan sepenuhnya merasakan ciuman yang berapi-api itu. Bibir Mauw Siauw Mo-li terasa basah dan panas sekali. Akan tetapi ketika Tek Hoat merasakan lidah wanita, itu men¬jilat-jilat, dia cepat melepaskan rangkulan wanita itu dan melangkah mundur, memandang kepada wajah yang merah itu, mata yang meredup seperti mengan¬tuk, cuping hidung yang kembang-kempis, pernapasannya yang memburu, terengah-¬engah dan mulut yang agak terbuka itu. “Apa yang kaulakukan ini?” dia mem¬bentak. “Tek Hoat.... ahhh, Tek Hoat....” Mauw Siauw Mo-li mengembangkan kedua lengannya, akan memeluk lagi, akan te¬tapi Tek Hoat memandangnya dengan bengis dan melangkah mundur lagi. “Mo-li, apa yang kaulakukan ini?” kembali dia membentak. “Tek Hoat.... ahhh, betapa besar rasa bahagia dan terima kasihku.... engkau telah menyelamatkan aku daripada peng¬hinaan.... lihatlah pakaianku.... dan mereka.... mereka.... jahanam-jahanam itu....“ Mauw Siauw Mo-li meraba dada¬nya yang hampir telanjang sama sekali, menggerakkan jari-jarinya seperti mem¬belai dadanya sendiri. Tek Hoat membuang muka. “Huh, kau.... kau telah menipuku, Mo-li!” Tek Hoat berseru marah dan kini dia meman¬dangi lima orang yang telah menjadi mayat itu. “Kau pura-pura kalah oleh mereka, memancingku agar aku turun tangan” “Tidak.... tidak.... aku.... aku ham¬pir....“ “Cukup! Tak perlu bersandiwara lagi! Mereka itu hanyalah laki-laki lemah, sekali serang mereka roboh dan tewas. Engkau yang berkepandaian tinggi, jangankan baru dikeroyok lima orang se¬perti ini, biar ada lima puluh orang engkau tidak akan kalah. Akan tetapi eng¬kau sengaja mengalah dan aku.... si tolol.... aku terlebak! Engkau wanita iblis! Siluman betina kejam!” Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li terkekeh genit. “Hi-hik, dan engkau Si Jari Maut telah memperlihatkan kehebatanmu! Lihat tapak jarimu di dahi dan pipi mereka, Tek Hoat. Bukankah engkau masih Si Jari Maut dan aku adalah Mauw Siauw Mo-li? Kita berdua memang cocok sekali bukan? Kita satu golongan dan pantas menjadi kawan akrab, bukan? Mana aku cocok dengan laki-laki macam mereka, yang lemah? Kita seperti sajak dengan nyanyian, apakah tidak terasa olehmu betapa tubuh kita saling membutuhkan, betapa nikmat ciuman tadi, Tek Hoat?” “Wuuuuuttttt....!” Jari tangan Tek Hoat menyambar namun dengan gesit Mauw Siauw Mo-li dapat mengelak dari sambaran jari tangan maut itu. “Perempuan tak tahu malu!” Tek Hoat memaki karena marah sekali, marah yang ditimbulkan oleh penyesalan mengapa dia tadi menyambut ciuman itu dengan se¬penuh hatinya, mengapa tadi bibirnya menyambut dengan kecupan penuh rangsangan nafsu berahi! Tadi, ketika mulut¬nya bertemu dengan mulut Mauw Siauw Mo-li, seluruh kerinduannya terhadap Syanti Dewi tertumpahkan dan tersalur¬kan dalam ciuman itu dan tentu saja hal itu terasa oleh Mauw Siauw Mo-li. “Hi-hik, Tek Hoat. Tak perlu engkau mengingkari suara hatimu sendiri, ke¬butuhan jasmanimu sendiri. Marilah, Tek Hoat, marilah ke dalam pelukanku. Sudah lama aku tergila-gila dan rindu kepada¬mu!” “Wuuuttttt.... brakkkkk!” Sebatang pohon roboh oleh hantaman tangan Tek Hoat, kemudian pemuda ini membalikkan tubuhnya dan dengan muka panas dia meninggalkan hutan itu. Mauw Siauw Mo-li mengejarnya, namun Tek Hoat tidak mau berhenti dan terus melangkah maju, meraba-raba dalam gelap, melawan ham¬batan duri-duri dan cabang-cabang pohon yang menjuntai ke bawah, tersaruk-saruk dalam kegelapan malam. Pada keesokan harinya, dia berhasil keluar dari hutan itu. “Tek Hoat tunggu....!” Terdengar teriakan dari belakang. “Keparat....!” Tek Hoat berhenti dan membalikkan tubuh, matanya bernyala dan dia mengambil keputusan untuk mem¬bunuh wanita itu. Mauw Siauw Mo-li menghampiri dan ketika dia melihat sikap Tek Hoat, me¬lihat sinar maut dalam mata pemuda itu, dia berhati-hati dan tidak mau terlalu mendekat. Tangannya sudah siap di ping¬gangnya di mana tersimpan senjata raha¬sianya yang amat hebat, yaitu bahan peledak. “Tunggu, Tek Hoat. Aku tidak akah main-main lagi, aku bicara dengan sung¬guh-sungguh. Dengarlah, engkau tidak akan berhasil menemukan Syanti Dewi tanpa bantuanku. Kaukira di mana eng¬kau akan dapat menyusul Syanti Dewi?” Bicara tentang Syanti Dewi, tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sungguh¬pun dia masih marah. “Di pantai Po¬-hai, di mana lagi? Dan aku tidak butuh bantuanmu.” “Hemmm, jangan sombong kau, Tek Hoat. Pantai Po-hai merupakan pantai yang amat luas, apakah kau hendak men¬jelajahi seluruh pantai di sepanjang teluk itu? Sampai berapa tahun kau akan ber¬hasil? Sebaliknya, kalau kau mau meneri¬ma bantuanku, aku tahu dan mengenal seorang kakek yang tinggal di pantai Po¬hai, seorang kakek yang lihai dan aku berani bertaruh bahwa agaknya kakek itulah yang dimaksudkan orang, kakek yang singgah di restoran itu bersama Syanti Dewi.” Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali, akan tetapi dia masih curiga dan tidak mau percaya begitu saja. “Mo-li, kalau engkau mempermainkan aku sekali ini, demi Tuhan, aku tentu akan mem¬bunuhmu!” “Hi-hik, kaukira aku wanita macam apa mudah saja kaubunuh? Pula, perlu apa aku main-main denganmu kalau aku benar-benar cin.... eh, suka kepadamu?” “Kalau begitu, katakan siapa kakek itu dan di mana tempat tinggalnya!” “Hemmm, nanti dulu, jangan mau enaknya saja. Sudah kukatakan bahwa aku suka sekali kepadamu, Tek Hoat. Engkaulah satu-satunya pria yang cocok berada di sampingku, sebagai.... apa pun, pendeknya, sebagai sahabat. Karena itu, tidak mungkin aku memberi tahu kepada¬mu lalu engkau pergi meninggalkan aku begitu saja. Kalau kau mau berbaik de¬nganku, mau melakukan apa yang ku¬minta, aku akan mengantarmu ke tempat kakek itu dan aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan kembali Puteri Syanti Dewi. Bagaimana?” Tek Hoat mengerutkan alisnya, ber¬pikir-pikir. Dia tidak mungkin dapat me¬maksa wanita ini untuk mengaku. Andai¬kata dia dapat mengalahkan Mauw Slauw Mo-li sekalipun, agaknya wanita seperti dia itu tidak akan mau mengaku biar dibunuh sekalipun. Lebih menguntungkan berbaik dengan orang seperti ini daripada memusuhinya, apalagi dia memang amat membutuhkan petunjuknya agar dapat menemukan kembali Syanti Dewi yang hilang. “Baiklah, Mo-li, akan tetapi engkau pun tahu bahwa orang macam aku tidak akan menuruti permintaanmu begitu saja kalau permintaan itu tidak cocok dengan rasa hatiku. Seperti juga engkau, aku pun tidak takut mati. Kita bersahabat, cukup sekian saja, jangan mengharapkan yang bukan-bukan.” Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita yang sudah banyak mengenal pria, sudah memiliki banyak sekali pengalaman, maka jawaban ini tidak mengecilkan hatinya. Dia maklum bahwa dalam hu¬bungan antara pria dan wanita, yang ter¬penting adalah keakraban lebih dulu, karena dari keakraban ini mudah sekali berubah menjadi cinta! Pendekatan an¬tara minyak dengan api memang tidak begitu saja menimbulkan kebakaran, akan tetapi setidaknya membuka kesempatan besar sekali untuk terjadinya kebakaran itu, dan dengan pengalamannya, dengan kecantikannya dan tubuhnya yang masih padat dan nampak muda, dia akan de¬ngan mudah menimbulkan kebakaran itu! “Baiklah, Tek Hoat. Dan langkah per¬tama setelah kita menjadi sahabat adalah agar engkau jangan menyebutku Mo-li (lblis Betina) lagi. Betapa tidak enaknya mendengar sebutan itu dari mulut seorang.... sahabat. Namaku adalah Lauw Hong Kui. Nama yang indah sekali, bu¬kan? Memang mendiang orang tuaku pandai memilih nama untuk anaknya. Nah, mulai sekarang kausebut saja nama¬ku seperti aku menyebut namamu.” Tentu saja hal semacam itu tidak terlalu dipedulikan benar oleh Tek Hoat. “Baiklah, Hong Kui. Dan mari kita me¬lanjutkan perjalanan.” Mauw Siauw Mo-li tersenyum manis, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan mendengar namanya disebut oleh Tek Hoat. “Mari, Tek. Hoat, mari kita datangi kakek itu!” Kedua orang itu melanjutkan per¬jalanan, jalan berendeng dan kalau dilihat dari jauh memang mereka itu serasi sekali. Yang pria tampan gagah, yang wanita cantik manis. Hanya kalau dilihat dari dekat dengan penuh perhatian baru dapat diketahui bahwa yang wanita jauh lebih tua dan memang banyak berbeda usia mereka. Tek Hoat berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, sedang Lauw Hong Kui, Siluman Kucing itu, sedikitnya berusia tiga puluh lima tahun. Mereka melakukan perjalanan menuju ke timur, menuju ke pantai Teluk Po-hai. *** Setelah berhasil memperoleh ramuan obat seperti yang dipesan oleh Sai-cu Kai-ong untuk mengobati kakaknya, Kian Bu dan Siauw Hong dengan cepat meninggalkan kota kecil di perbatasan Ho-¬pei sebelah barat itu untuk kembali ke puncak Nelayan di pegunungan Tai-hang-¬san, yaitu tempat tinggal Sai-cu Kai-¬ong. Obat yang dicarinya itu agak sukar sehingga mereka berdua telah melewati beberapa buah kota, barulah dapat membeli di toko obat dalam kota di perbatas¬an itu, setelah melakukan perjalanan dua hari! Maka kini, khawatir kalau ditunggu-¬tunggu oleh Sai-cu Kai-ong, dua orang muda ltu bergegas pulang. Dalam per¬jalanan ini, Kian Bu mencoba ilmu kepandaian berlari cepat dari pengemis muda yang kini telah berpakaian biasa itu, dan dengan kagum dia mendapatkan kenyataan bahwa Siauw Hong benar-benar merupakan seorang pemuda remaja yang memiliki dasar ilmu kepandaian tinggi yang hanya perlu dimatangkan saja. Ketika mereka melewati jalan sunyi dan berbatu-batu di luar sebuah dusun, ditimpa terik matahari lewat tengahari yang masih bersinar sepenuh kekuatan¬nya, tiba-tiba pada suatu tikungan jalan Siauw Hong berseru, “Eh, ada orang ber¬kelahi....!” Kian Bu juga sudah melihatnya. Agak jauh di depan, dia melihat dua orang se¬dang berkelahi dan dari jauh sudah dapat dilihat bahwa dua orang yang sedang berkelahi itu keduanya menggunakan ilmu silat yang cukup hebat. Dan di tepi jalan nampak rebah seorang laki-laki yang ber¬gerak-gerak lemah. “Siauw Hong, jangan sembarangan mencampuri urusan mereka sebelum kita mengetahui duduk persoalan, bisik Kian Bu dan Siauw Hong mengangguk. Setelah mereka tiba di tempat itu, Siauw Hong melihat bahwa yang rebah itu adalah seorang laki-laki tua yang gagah kelihatannya, dan agaknya dia itu telah terluka. Dia menggigit bibir dan menahan rasa nyeri, akan tetapi tidak pernah terdengar keluhan dari mulutnya. Ketika dia melihat mereka yang berkelahi, Siauw Hong terkejut karena dia mengenal bekas teman seperjalanannya, yaitu Kang Swi, si pemuda royal yang menjadi pengawal dari Guber¬nur Ho-nan! Adapun yang menjadi lawan Kang Swi adalah seorang gadis cantik berbaju hijau yang hidungnya mancung. Siauw Hong tertarik sekali. Dia maklum betapa lihainya Kang Swi karena dia per¬nah bertanding dengan pemuda kaya raya itu di atas panggung lui-tai ketika di¬adakan sayembara pemilihan pengawal oleh Gubernur Ho-nan dan dia harus mengakui keunggulan Kang Swi. Akan tetapi kini, Kang Swi seperti terdesak oleh wanita baju hijau yang amat lihai itu! NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar