Rabu, 15 Januari 2014

Jodoh Rajawali Jilid 15.

Jodoh Rajawali Jilid 15.
Jodoh Rajawali Jilid - 15 Bu Kek Sian Su (10) Jodoh Rajawali Jilid - 15 Melihat wajah kakaknya menjadi agak muram, Kian Bu segera teringat dan maklum, maka cepat-cepat dia menyam¬bung, “Bukan dia maksudku, Lee-ko, akan tetapi dara cantik jelita yang menjadi pacarmu dalam cinta pertamamu. Hayo, masa kau lupa lagi siapa yang menerima cinta pertamamu?” Kian Lee masih mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa adiknya ini bengal dan suka menggoda orang, terutama meng¬goda wanita-wanita muda. Dia sendiri jarang bergaul dengan wanita, dan se¬lama hidupnya, baru satu kali dia jatuh cinta, jatuh cinta benar-benar dan ter¬nyata yang dicintanya itu, Ceng Ceng, keponakan tirinya sendiri! Ceng Ceng adalah puteri gelap dari mendiang Wan Keng In, sedangkan Wan Keng In itu adalah anak kandung dari ibunya sendiri, jadi satu ibu lain ayah dengan dia! Tentu saja tidak mungkin dia berjodoh dengan Ceng Ceng dan kenyataan itu sebenarnya banyak menolongnya, karena kalau tidak, tetap saja dia akan patah hati, malah lebih parah lagi karena ternyata Ceng Ceng mencinta seorang laki-laki lain, yaitu Kao Kok Cu! “Aku tidak mengerti siapa yang kau¬ maksudkan itu, Bu-te,” katanya meng¬geleng ,kepala. Kian Bu tertawa. “Dia sendiri tidak mau memperkenalkan namanya. Akan tetapi dia adalah seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali Koko, galak dan lincah, menunggang seekor garuda, pakaiannya serba hitam dan ilmu kepandaiannya hebat.” Kian Lee tetap tidak dapat menduga siapa adanya gadis itu. “Siapakah dia, Bu-te? Katakanlah, siapa dia dan meng¬apa kau tadi mengatakan bahwa dia ada¬lah pacarku.” “Dia tidak bilang begitu, Koko, maaf¬kan aku. Akan tetapi dia hanya mengatakan bahwa dia dahulu pernah menolong¬mu dan mengobati pahamu yang terluka parah lima enam tahun yang lalu....” “Aihhh....! Dia....?” Tentu saja Kian Lee teringat baik akan peristiwa itu. Lima tahun lebih yang lalu dia terluka oleh ledakan senjata rahasia Mauw Siauw Mo-li, dan dia tentu akan tertawan mu¬suh dan tidak berdaya dalam keadaan luka itu kalau tidak ditolong oleh seorang gadis cilik yang manis dan mungil, murid keponakan Mauw Siauw Mo-li sen¬diri, gadis yang muncul bersama banyak kucing, Kim Hwee Li atau puteri tunggal dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Nera¬ka! Terbayanglah dia wajah anak yang cantik itu. “Benar dia, tentu kauingat sekarang bukan, Koko?” tanya Kian Bu sambil ter¬senyum dan menyelidiki wajah kakaknya. Dia tahu bahwa kakaknya telah patah hati karena kasih tak sampai dan dia akan senang kalau kakaknya ini men¬dapatkan seorang pacar baru, dan gadis pakaian hitam itu memang hebat! “Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-¬mo dari Pulau Neraka?” Kian Lee me¬negaskan. “Benar, dialah orangnya yaang memungkinkan aku secepat ini memperoleh jamur itu untukmu, Koko.” Kian Bu lalu menceritakan semua pengalamannya keti¬ka dia mencari jamur dan bertemu de¬ngan Hwee Li yang memboncengkannya turun ke bawah tebing itu. Tentu saja dia tidak berani menceritakan tentang peristiwa memalukan dan lucu ketika dia terserang oleh nafsu berahi yang bangkit ketika dia dibonceng di belakang tubuh Hwee Li dan betapa Hwee Li menjadi marah-marah dan menyerangnya sehingga dia terjatuh ke bawah. “Dia.... dia cinta padamu, Koko.” “Hushhhhh....!” Kian Lee membentak dengan muka berubah merah. “Jangan menyalahtafsirkan kebaikan orang, Bu¬te. Apakah karena dia dahulu pernah mengobati pahaku, kemudian sekarang membantumu mencari jamur panca war¬na, lalu kauanggap kebaikan hatinya itu sebagai tanda jatuh cinta? Kau sungguh terlalu merendahkan kebaikan orang, Bu¬te.” “Bukan begitu, Lee-ko. Aku tentu saja tidak akan sembarangan bicara kalau tidak ada bukti-bukti nyata. Buktinya menyatakan bahwa dia cinta kepadamu.” “Hemmm, kau masih bengal seperti dulu, Kian Bu. Hayo apa buktinya?” Kian Lee mendesak. “Ketika dia mengobati pahamu dahulu tentu saja aku tidak dapat membuktikannya, apalagi ketika itu dia tentu masih kecil, belum dewasa, maka tidak patut bicara tentang cinta. Akan tetapi se¬karang, hemmm.... dia telah menjadi seorang dara dewasa yang cantik jelita dan manis sekali, Koko....“ “Hal itu belum menjadi bukti bahwa dia cinta padaku, agaknya padamulah dia jatuh hati, Bu-te, karena engkau selalu pandai merayu wanita!” “Tidak, Lee-ko, dengarlah dulu cerita¬ku. Kukatakan tadi bahwa dia menolong¬ku membonceng garudanya turun ke da¬sar tebing. Nah, dalam penerbangan itu dia bertanya mengapa kau terluka, dan dia tadinya sudah menunjukkan pula bah¬wa hanya karena mendengar Suma Kian Lee terluka saja maka dia mau mem¬bantuku. Ketika aku berterus terang mengatakan bahwa kau terluka oleh pu¬kulanku, sebelum aku sempat menceritakan bahwa hal itu kulakukan tanpa se¬ngaja dia sudah menjadi begitu marah dan dia menyerangku sampai aku terjung¬kal dari atas punggung garudanya!” “Ahhh....!” Kian Lee terkejut sekali “Untung burung itu telah terbang ren¬dah dan hampir sampai di dasar tebing sehingga aku selamat. Akan tetapi bu¬kankah hal itu jelas membuktikan bahwa dia cinta padamu sehingga ketika dia mendengar engkau luka terpukul olehku dia lalu marah dan hendak membunuh¬ku?” “Hemmm, dia ganas....!” Kian Lee berkata lirih. Tentu saja dia tidak me¬mikirkan gadis itu, melainkan memikirkan bahaya yang mengancam adiknya. “Akan tetapi dia sudah kuceritakan bahwa perkelahian antara kita adalah karena tidak tahu, maka dia berbaik kembali dan mau mengantarku naik de¬ngan garudanya setelah aku berhasil me¬nemukan jamur itu.” “Karena petunjuk wanita gila itu se¬perti yang kauceritakan tadi? Ah, sung¬guh hebat pengalamanmu, adikku. Siapa kira di tempat itu kau bertemu dengan pelayan Ibu Tek Hoat yang menceritakan peristiwa hebat yang menimpa diri Ang Siok Bi itu. Entah Tek Hoat sudah men¬dengar atau belum bahwa ibunya dibunuh oleh Mohinta dan teman-temannya dari Bhutan.” Percakapan mereka terhenti karena munculnya Sai-cu Kai-ong yang datang bersama Siauw Hong dan Gu Sin-kai. Siauw Hong membawa periuk obat yang terisi godokan obat yang berwarna hijau. “Ah, Suma-taihiap,” kata Sai-cu Kai¬-ong kepada Kian Bu. “Kakakmu tidak boleh diajak bicara terlalu banyak. Dia harus banyak istirahat karena luka yang dideritanya amat hebat. Jamur panca warna ini akan menyelamatkannya, na¬mun dia harus banyak beristirahat.” Ka¬kek ini lalu mengambil periuk dari ta¬ngan Siauw Hong dan memberi minurn ramuan jamu panca warna yang telah digodok dengan obat-obat lain itu kepada Kian Lee. Rasanya pahit dan baunya tidak sedap, agak amis dan wengur, akan tetapi ada hawa yang hangat menjalar dari perut setelah Kian Lee menghabis¬kan obat semangkok itu. “Sekarang, beristirahatlah, Taihiap,” kata Sai-cu Kai-ong kepada Kian Lee. “Setiap hari Taihiap harus minum obat, ramuan ini tiga mangkok, pagi siang dan sore.” Maka mulailah Kian Lee minum obat campur jamur mujijat itu, dilayani oleh Siauw Hong yang menggodokkan obatnya dan Kian Bu yang menjaganya siang malam. Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali atas perkenan Sai-cu Kai-ong, Kian Bu memondong tubuh Kian Lee yang belum boleh banyak bergerak itu keluar dari kamar, menuruni puncak dan menuju ke tepi sungai. Kian Bu menurunkan tubuh kakaknya di atas rumput hijau. Hawa amat nyaman di pagi hari itu, apalagi setelah matahari pagi yang murni dan jernih itu mulai melimpahkan cahayanya yang keemasan. “Sekarang tiba saatnya engkau menceritakan semua pengalamanmu, Bu-te. Mengapa selama lima tahun ini engkau tidak pernah pulang ke Pulau Es dan ke mana saja engkau pergi? Mengapa pula rambutmu menjadi putih semua seperti itu? Apakah memang karena engkau me¬warisi warna rambut Ayah, ataukah ada terjadi hal lain?” Mendengar pertanyaan kakaknya itu, tiba-tiba saja wajah Siluman Kecil itu menjadi muram kembali. Kalau tadinya semenjak dia mencari obat jamur dan bertemu dengan Hwee Li, hampir pulih kembali kegembiraannya dan hampir nam¬pak kembali sifat-sifat Kian Bu yang lincah gembira, kini dia kembali muram seperti wajah Siluman Kecil selama ini! Dia menarik napas panjang dan berkata lirih dan lambat, “Aku telah tenggelam di dalam kedukaan hebat, Koko. Semen¬jak aku melihat pencurahan kasih sayang dari Puteri Syanti Dewi kepada Ang Tek Hoat di dalam hutan, semenjak aku me¬lihat kenyataan bahwa puteri yang ku¬cinta dengan sepenuh jiwa raga itu ter¬nyata mencinta orang lain, aku tidak dapat menahan guncangan batin karena kecewa dan duka, dan aku tenggelam di dalam kesedihan seperti hampir gila dan tidak ingat apa-apa lagi....“ Kian Lee menarik napas panjang dan memegang tangan adiknya penuh kasih sayang dan belas kasihan. “Aku tahu, adikku. Aku telah mengenal pula perasa¬an itu. Lanjutkanlah ceritamu.” “Aku seolah-olah menjadi bosan hidup. Alam di sekelilingku berubah seperti neraka dan aku tidak ingin kembali ke Pulae Es, tidak ingin bertemu siapapun juga kecuali bertemu dengan malaikat maut yang boleh mtncabut nyawaku. Aku pergi merantau ke manapun kakiku mem¬bawaku, tanpa tujan, tanpa kemauan dan yang ada hanya perasaan merana dan sengsara.” “Ah, kasihan sekali kau, Bu-te. Ttdak kusangka seorang yang segagah dan se¬lincah engkau, yang selalu gembira dan nakal, ternyata begitu lemah setelah tertimpa kekecewaan cinta....” Kian Lee memandang dengan sinar mata terharu sekali. “Aku sendiri pun merasa heran, Koko. Tadinya kuanggap bahwa cinta terhadap wanita hanya merupakan permainan belaka. Akan tetapi cintaku terhadap Shanti Dewi sungguh lain sama sekali. Puteri itu telah menguasai seluruh jiwa ragaku, setiap bulu di tubuhku seperti telah mencintainya dan tidak mau berpisah lagi dari sisinya, maka begitu terjadi per¬pisahan dan kenyataan bahwa aku tidak dapat mendekatinya, aku jatuh dan han¬cur lebur. Akan tetapi biarlah kulanjut¬kan ceritaku agar tidak membosankan engkau yang mendengar aku merengek-¬rengek tentang cintaku yang gagal, Koko. Dengarlah.” Kian Bu lalu bercerita. Dengan hati patah dan hancur dia lalu merana, naik turun gunung, menyeberangi sungai dan telaga, masuk keluar hutan-hutan besar dan lebat, sama sekali tidak mempeduli¬kan lagi dirinya sehingga pakaiannya compang-camping, tubuhnya kurus dan wajahnya pucat, rambutnya terurai riap-¬riapan tanpa pernah dibereskan. Karena membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sedemikian rupa, dan mungkin ka¬rena ditambah dengan keturunan, dalam waktu beberapa bulan saja sudah tumbuh rambut putih di kepalanya. Pada suatu hari, tanpa disadarinya dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-pei se¬belah selatan dan mendaki sebuah bukit. Karena dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, maka dia tidak peduli pula akan cegahan orang-orang ketika dia tiba di bawah bukit. Orang-orang itu mempe¬ringatkannya agar tidak naik ke bukit itu, karena menurut mereka, bukit itu berada di bawah kekuasaan kakek dewa yang menghuni di gedung tua di puncak bukit itu dan kakek dewa itu amat ga¬lak, tidak memperkenankan sembarangan orang mendekati gedungnya. Akan tetapi Kian Bu tidak mempe¬dulikan itu semua, bahkan dia seperti sengaja hendak menempuh bahaya karena baginya pada waktu itu, kalau kemati¬an datang, hal itu dianggapnya baik se¬kali! Dia seperti orang nekat dan dengan sembarangan saja dia lalu mendaki bukit yang sunyi itu pada waktu matahari mu¬lai tenggelam. Senjakala mendatangkan sinar layung yang kemerahan di permuka¬an bukit, membuat segala sesuatu seperti menyala kekuningan, terang sekali dan sesungguhnya amatlah indahnya. Namun bagi seorang yang sedang dilanda keduka¬an hati dan pikirannya sendiri, tidak ada apa-apa yang indah, adanya hanya mengesalkan dan menjemukan hati belaka. Jelaslah bahwa indah dan buruk hanyalah penilaian yang sesuai dengan keadaan hati seseorang belaka. Kenyataannya tidaklah baik atau buruk, melainkan ya sudah begitu, apa adanya, tidak baik tidak buruk, tidak indah tidak jelek. Hanya pikiran dan hati sendirilah yang memberi penilaian, sesuai dengan suka dan tidak suka, menyenangkan dan tidak menyenangkan, menguntungkan dan me¬rugikan. Ketika malam mulai datang, gelap menyelimuti cahaya terakhir dari mata¬hari, Kian Bu menghentikan langkahnya dan duduklah dia di atas batu di tepi jurang, melamun, kadang-kadang merenung ke dalam kegelapan, kadang-kadang pula dia berdongak memandang langit yang terhias bintang-bintang muda yang ber¬kedap-kedip lemah di langit yang masih muda warnanya. Pikirannya kosong, me¬layang-layang tanpa arah tujuan tertentu, suasana menjadi lengang dan kesepian menyelimutinya, menimbulkan ketrenyuh¬an hati yang makin merana. Dia tidak tahu di mana dia berada. Sebenarnya pada saat itu dia telah ber¬ada di Pegunungan Tai-hang-san, di se¬buah di antara puncak bukit-bukit di sekitar pegunungan itu. Tiba-tiba ter¬dengar suara suling melengking, memecah kesunyian malam, menyelinap di antara suara belalang dan jengkerik serta bina¬tang-binatang kecil yang biasa meramai¬kan suasana keheningan malam. Kian Bu tertarik oleh suara suling itu. Sungguh nyaring sekali suara suling itu, peniupnya tentu seorang yang pandai. Seperti ada daya tarik luar biasa pada suara suling itu. Kian Bu lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke arah su¬ara itu. Sementara itu, bintang-bintang di langit mulai nampak lebih terang karena langit makin tua warnanya, dan bintang-bintang itu kelihatan seperti permata-permata indah tergantung pada beludru hitam yang bersih. Tidak begitu gelap keadaan di tempat itu sehingga Kian Bu dapat melihat seorang kakek yang duduk bersandarkan batang pohon dan meniup suling. Suara suling itu terhenti seketika dan kakek itu meloncat, di tangan kanannya nampak sebatang tongkat dan sebatang suling yeng putih berkilau telah diselipkan di ikat pinggangnya. Kakek itu ting¬gi kurus dan usianya tentu sudah enam puluh lima tahun lebih. Sikapnya agung dan gagah ketika dia berdiri dengan kaki terpentang lebar, tongkatnya melintang dan matanya memandang Kian Bu penuh perhatian dan kecurigaan. “Siapa kau? Mau apa naik ke bukit ini yang berada di bawah kekuasaan ka¬mi? Hayo cepat kau pergi dari sini se¬karang juga!” bentak kakek itu. Kian Bu mengerutkan alisnya. “Apa¬kah engkau ini yang dinamakan orang di bawah sana sebagai kakek dewa?” tanya¬nya. Kakek itu mendengus dan menggerak¬kan tongkatnya yang panjahg. “Kalau benar mau apa?” “Hemmm, kalau benar begitu, namamu saja kakek dewa, akan tetapi sikapnya lebih menyerupai kakek iblis.” “Bocah keparat! Berani engkau memaki Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak)? Hayo pergi, aku masih sabar dan dapat mengampunimu. Aku tidak mau ribut dengan seorang bocah masih ingusan.” Kian Bu yang memang sedang murung itu, menjadi marah. “Kakek sombong, kalau aku tidak dapat mengalahkan eng¬kau lebih baik aku mati saja!” Ucapan yang sebenarnya keluar dari hati yang kesal itu tentu saja membuat Gin-siauw Lo-jin menjadi marah bukan main. “Bocah tak tahu diri! Pergi!” ben¬taknya, dan tangan kirinya menampar. Dia mengira bahwa Kian Bu adalah se¬orang pemuda ugal-ugalan dari bawah gunung, maka dia bermaksud untuk me¬napar pundaknya agar pemuda itu takut dan 1ari. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat pemuda itu tidak mengelak atau menangkis. “Plakkk!” Tubuh kakek itu terhuyung dah hampir roboh! Maklumlah kakek itu bahwa dia berhadapan dengan seorang pandai yang agaknya memang datang untuk mengacau, maka sambil berseru keras dia sudah menggerakkan tongkat panjangnya menyerang. “Wuuuuuttttt....! Wirrrrr....” Kian Bu juga kaget. Bukan main li¬hainya tongkat itu, gerakannya cepat dan mengandung angin pukulan yang dahsyat. Ternyata bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang benar-benar amat lihai, maka dia pun tidak mau mengalah begitu saja. Cepat dia mengelak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang seru dan kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan kaget ketika melihat betapa tongkatnya membalik dan telapak tangannya panas ketika bertemu dengan lengan pemuda itu. “Keparat!” bentaknya dan dengan sepenuh tenaganya karena penasaran, dia mengarahkan hantaman tongkatnya pada kepala Kian Bu. Sekali ini dia menyerang untuk membunuh! Kian Bu menanti sam¬pai tongkat itu menyambar dekat, lalu dia menggerakkan kedua lengannya memapaki dari kanan kiri dengan gerakan menggunting. “Krekkk-krekkkkk!” Tongkat panjang itu patah-patah menjadi tiga potong dan bagian tengahnya terlempar jauh. “Ehhhhh....!” Kakek yang mengaku berjuluk Gin-siauw Lo-jin itu berseru keras saking kagetnya dan marahnya. Dia adalah murid pertama dari Sin-siauw Seng-jin (Kakek Dewa Seruling Sakti) yang menjadi ahli waris dari pendekar sakti Suling Emas, dan tongkatnya itu adalah sebuah benda pusaka yang selama puluhan tahun berada di dalam tangannya dan belum pernah terkalahkan. Akan tetapi kini patah menjadi tiga bertemu dengan lengan pemuda ini! Tentu saja dia menjadi penasaran, malu dan hal ini membuat ia marah bukan main. Kema¬rahan sudah pasti timbul karena penon¬jolan kepentingan pribadi tersinggung, dan penonjolan kepentingan pribadi selalu mengejar kesenangan baik lahir batin. Satu di antara kesenangan batin adalah bayangan betapa pandainya diri sendiri. Membayangkan bahwa diri sendiri pandai, gagah perkas, berkuasa dan sebagainya adalah menyenangkan dan kalau bayangan ini dirusak oleh kenyataan, maka akan menjadi marahlah batin. Demikian pula halnya kakek Gin-siauw Lo-jin itu. Se¬lama ini dia merasa dirinya amat hebat, tongkatnya amat hebat, akan tetapi ke¬nyataan bahwa tongkatnya patah-patah bertemu dengan lengan pemuda itu mem¬buatnya marah bukan main. “Bocah setan, kau datang mengantar nyawa!” serunya dan nampak sinar putih berkelebat ketika dia mencabut suling perak dari ikat pinggangnya. Ketika dia dan Suma Kian Lee, kakaknya, meninggalkan Pulau Es untuk pergi ke kota raja mencari encinya, ya¬itu Puteri Milana, oleh ayah ibu mereka di Pulau Es, mereka dilarang membawa senjata. Dan memang dua orang pemuda Pulau Es itu tidak lagi membutuhkan senjata. Seorang yang sudah memiliki ilmu kepandaian setingkat mereka me¬mang sebenarnya tidak memerlukan lagi senjata. Selain kedua lengan dan kedua kaki mereka merupakan senjata yang ampuh, bahkan setiap buah jari tangan mereka merupakan senjata ampuh, juga setiap benda yang mereka temukan dapat saja mereka pergunakan sebagai senjata. Kini, melihat kakek itu mencabut suling perak yang tadi ditiupnya, Kian Bu ber¬sikap waspada. Dia adalah seorang yang sedang tenggelam ke dalam kekecewaan dan kedukaan, tentu saja melihat orang yang dianggapnya keterlaluan itu dia menjadi marah. “Sing-sing-singgggg....!” Sinar perak berkelebatan seperti kilat menyambar-¬nyambar dahsyat, disertai bunyi berde¬singan yang nyaring. “Bagus!” Kian Bu berseru kagum ka¬rena memang hebat gerakan suling itu. Cepat dia mengelak ke sana-sini dan ke¬mudian terkejutlah dia ketika dia me¬lihat cara suling itu digerakkan. Dia mengenal gerakan itu. Cepat dia menghindarkan diri dan karena penasaran dia tidak balas menyerang melainkan meng¬elak ke sana-sini untuk mempelajari gerakan lawan lebih lanjut. Tidak salah lagi, itulah gerakan dari jurus-jurus Pat-¬sian Kiam-hoat! Dan ilmu ini adalah sebuah di antara ilmu-ilmu keistimewaan kakaknya, Suma Kian Lee, yang mewarisi¬nya dari ibunya, yaitu Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka, bahkan yang mewarisi kitab-kitab ilmu silat peninggalan pendekar sakti Suling Emas! Dia sendiri mengenal dan dapat memain¬kan Ilmu Pat-sian Kiam-hoat karena se¬lain dia menerima petunjuk dari ibu tirinya itu, juga ibunya sendiri, Puteri Ni¬rahai adalah seorang wanita yang serba bisa dan telah mempelajari semua Ilmu, termasuk ilmu dari Suling Emas ini! Setelah kakek itu menyerangnya sam¬pai sepuluh jurus dan dia yakin bahwa ilmu yang dimainkan itu adalah Pat-sian Kiam-hoat, dia meloncat ke belakang sambil berseru, “Bukankah yang kaumain¬kan itu Pat-sian Kiam-hoat?” Kakek itu tertegun dan memandang kepadanya dengan heran, kemudian ter¬senyum mengejek karena mengira bahwa pemuda yang lihai itu merasa takut. “Hemmm, kau sudah mengenal ilmu si¬latku yang hebat? Bagus, kalau begitu lekas kau berlutut minta ampun dan mengenalkan dirimu agar engkau tidak akan menjadi setan penasaran tanpa na¬ma, tewas di ujung suling mautku,” kata kakek itu yang merasa mendapatkan kembali harga dirinya. “Hemmm, maling hina! Dari mana kau mencuri Ilmu Pat-sian Kiam-hoat?” Kian Bu membentak marah. Kakek itu terkejut dan tentu saja dia menjadi marah sekali. Dikiranya pemuda itu menjadi gentar mengenai ilmunya, tidak tahu malah menghinanya dan mengatakannya maling! Terngiang bunyi di dalam telinganya, merah pandang mata¬nya karena darahnya sudah naik ke kepa¬la saking marahnya. “Bocah lancang bermulut busuk, mam¬puslah!” bentaknya dan dia sudah meng¬gerakkan lagi suling peraknya, kini de¬ngan gerakan yang lebih dahsyat lagi sampai suling itu mengeluarkan suara melengking nyaring seperti ditiup mulut! Kian Bu cepat mengelak akan tetapi kini dia mengelak lalu membalas serang¬an lawan dengan pukulan Swat-im Sin¬-ciang. “Wusssss....” Kakek itu pun mengelak karena kaget sekali betapa hawa yang menyambarnya membawa rasa dingin yang menyusup tulang, lalu suling¬nya kembali menghujankan serangan. Pertandingan itu cukup hebat karena memang suling kakek itu amat lihai. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia ber¬temu dengan pemuda Pulau Es, putera Pendekar Super Sakti yang sudah me¬miliki tingkat kepandaian tinggi sekali, maka lewat tiga puluh jurus lebih, hawa sakti dari Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu menyambar dadanya dan Gin-siauw Lo-jin berteriak keras dan roboh ter¬guling dalam keadaan pingsan dan dengan suling masih tergenggam tangan. Kian Bu memandang tubuh yang rebah pingsan itu, diam-diam merasa heran bagaimana kakek ini dapat menguasai ilmu simpanan dari ibu tirinya yang me¬warisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, ke¬mudian dia menghapus peluhnya dan per¬gi meninggalkan tempat itu. Dia sudah tidak mempedulikan lagl kakek itu ka¬rena sudah mulai tenggelam lagi dalam kedukaannya. Akan tetapi ketika dia berjalan di lereng bukit itu, di bawah sinar bintang-¬bintang di langit, peristiwa pertemuannya dengan kakek yang pandai ilmu peninggalan Suling Emas itu membuat dia ingat kepada Suma Kian Lee, kepada ibu tirinya, kepada ayah bundanya sendiri dan kepada Pulau Es dan bangkitlah rasa rindu di dalam hatinya. Teringat kepada mereka semua yang tercinta membuat hatinya makin merasa prihatin, merasa betapa sunyi hidupnya, betapa sengsara hatinya dan pemuda ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, terasa lemah seluruh tubuh dan dia duduk bersamadhi sampai pagi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah disadarkan oleh kicau burung yangriang gembira menyambut datangnya pagi yang cerah dan indah. Akan tetapi tidak terasa keindahan itu di hati Kian Bu yang sedang gundah-gulana. Dia teringat akan kakek yang dirobohkannya semalam dan hatinya segera merasa menyesal. Tidak ada persoalan hebat antara dia dan kakek itu, namun dia telah merobohkannya dan meninggalkannya rebah pingsan. Jangan-jangan kakek yang sudah tua itu akan tewas karenanya. Dia menyesal sekali. Bukan wataknya untuk membunuh orang begitu saja, padahal tidak ada persoalan penting di antara mereka. Teringat akan ini Kian Bu cepat bangkit dan pergi mendaki bukit itu lagi menuju ke tempat di mana dia berketahi dengan kakek itu semalam. Akan tetapi ketika dia tiba di tempat itu, di situ sunyi saja dan kakek itu sudah tidak ada lagi di tempat dia rebah semalam. Yang ada hanya burung-burung beterbangan sambil berkicau riuh-rendah. Padahal dia tahu betul bahwa di situ tempatnya, bahkan tongkat panjang yang patah-patah milik Gin-siauw Lo-jin pun masih berada di situ. Sudah siuman agak¬nya kakek itu lalu pergi dari situ. Kian Bu menarik napas lega. Baik kalau kakek itu tidak mati! Akan tetapi belum puas hatinya kalau belum dapat bertemu untuk menyatakan penyesalannya dan minta maaf. Lebih baik dia berkenalan dengan kakek itu dan bertanya secara baik-baik tentang Ilmu Silat Pat-sian Kiam-hoat itu. Siapa tahu masih ada hubungan atau pertalian perguruan antara kakek itu dengan ibu tirinya! Kalau benar demi¬kian, bukankah berarti bahwa dia telah merobohkan kerabat atau kawan sendiri? Dia merasa makin menyesal dan mulai¬lah dia mencari-cari di sekitar tempat itu. Akan tetapi sunyi saja di sekeliling situ, sunyi yang amat indah karena pagi itu memang cerah sekali. Tiba-tiba dia mendengar suara orang bersenandung, lapat-lapat terdengar o1eh¬nya. Cepat Suma Kian Bu melangkah menuju ke arah suara itu yang makin lama makin nyata. Kiranya itu adalah suara wanita yang amat merdu dan kiranya bukan nyanyian yang disenandungkan itu, melainkan doa yang dinyanyikan dengan suara yang amat merdu dan ha¬lus. Tak lama kemudian nampaklah orang¬nya yang berdoa itu dan kiranya dia adalah seorang nikouw (pendeta Buddha wa¬nita) yang sedang memetik daun obat. Nikouw itu sudah tua, tentu sudah ham¬pir enam puluh tahun usianya. Tubuhnya masih ramping, wajahnya masih berkulit halus dan putih, masih nampak nyata bekas kecantikan seorang wanita, dan kini wajah itu nampak agung dan suci, di bawah kerudung yang berwarna kuning. Seorang nikouw tua yang berwajah lem¬but, yang memetik daun obat sambil berdoa, begitu bahagia nampaknya. Tiada bedanya antara dia dan burung yang sedang berkicau di atas dahan pohon, asyik dengan keriangan menyambut pagi yang indah! Ah, nikouw itu agaknya tidak asing dengan tempat ini. Tentu dia tahu di mana dia dapat bertemu dengan Gin¬-siauw Lo-jin! Berpikir demikian, Kian Bu lalu membalikkan tubuh hendak meng¬hampiri, akan tetapi pada saat itu, ni¬kouw tadi pun agaknya sudah selesai memetik daun obat dan melangkah pergi. Dan terkejutlah pemuda Pulau Es itu. Sekali berkelebat, nikouw tua itu seperti terbang saja cepatnya meninggalkan tem¬pat itu! Bukan main cepat dan ringannya gerakan kedua kaki nikouw itu yang se¬olah-olah dapat terbang di atas rumput, pergi sambil terus bersenandung! Tentu saja Kian Bu menjadi kagum bukan main. Mengapa bermunculan begitu banyak orang pandai di tempat ini, pikir¬nya. Gin-siauw Lo-jin itu sudah hebat, bahkan pandai memainkan ilmu silat tinggi Pat-sian Kiam-hoat. Dan nikouw ini pun bukan main ilmu ginkangnya, se¬olah-olah pandai terbang saja. Dia menjadi penasaran dan mengerahkan ginkang¬nya untuk lari mengejar. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ke¬tika dia mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu menandingi kecepatan ge¬rakan nikouw itu! Nikouw itu seperti ter¬bang di atas rumput-rumput, mendaki bukit dan dia terus mengejar, mengerah¬kan seluruh kepandaiannya karena Kian Bu merasa penasaran sekali. Dia telah dilatih ginkang oleh ayah dan ibunya sendiri, padahal ayahnya adalah seorang ahli dalam Ilmu Soan-hong-lui-kun, yaitu gerakan kijang yang kecepatannya tiada ke duanya di dunia ini! Biarpun dia sendiri tidak mungkin dapat mewarisi Ilmu Soan¬-hong-lui-kun yang hanya dapat dimainkan oleh seorang yang berkaki tunggal seperti ayahnya, namun dia telah memiliki gin¬kang yang hebat, tidak kalah oleh ke¬cepatan ibunya, Puteri Nirahai yang ter¬kenal itu. Namun, kini dia tidak mampu menyusul nikouw tua itu! Kian Bu merasa malu dan heran se¬kali dan mengerahkan seluruh tenaganya, namun maklumlah dia bahwa dia benar¬-benar jauh kalah cepat. Akan tetapi nikouw itu berhenti di dekat puncak bukit dan mulai memetik daun-daun obat yang lain lagi, tetap sambil bersenandung seolah-olah larinya yang amat cepat tadi sama sekali tidak membuatnya lelah, padahal Kian Bu sendiri agak terengah karena mengerahkan seluruh tenaga. Ter¬ingatlah pemuda ini akan niatnya ber¬tanya kepada nikouw itu tentang Gin¬-siaw Lo-jin. Kini lebih mantap lagi hatinya bahwa dia harus minta maaf kepada kakek itu karena ternyata bahwa bukit ini benar-benar dihuni oleh orang¬-orang pandai sekali. “Maafkan saya, Suthai....“ Nikouw itu menoleh dan tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat dan keranjang terisi daun obat itu terlepas dari tangan¬nya dan jatuh ke atas tanah, menggelin¬ding sampai ke dekat kaki Kian Bu! Se¬jenak nikouw itu hanya berdiri bengong memandang wajah Kian Bu, lalu dia ber¬kata lirih, “Omitohud....!” Seruan ini agaknya menyadarkannya dari kekagetan atau keharuan itu dan dia tersipu-sipu memandang ke arah keranjang yang isinya tumpah semua itu. “Maaf, Suthai, saya telah mengagetkan Suthai....“ kata Kian Bu yang cepat-¬cepat mengambil keranjang itu dan me¬ngumpulkan dauh-daun yang berserakan, memasukkannya kembali ke dalam keran¬jang, lalu menyerahkannya kepada nikouw itu penuh hormat. Nikouw itu meman¬dang dengan mata tetap membayangkan keheranan dan penuh rasa tertarik, me¬mandang Kian Bu sejak tadi dari atas ke bawah, lalu menarik napas panjang dan bibirnya berkemak-kemik membaca doa yang tidak terdengar. “Ah, tidak.... sama sekali tidak. Sicu siapakah?” Suara itu halus sekali dan si¬nar mata itu penuh kelembutan sehingga Kian Bu seketika merasa suka dan hor¬mat sekali kepada nikouw tua ini. Akan tetapi dia yang sudah melakukan kelan¬cangan merobohkan orang di tempat yang dihuni orang-orang pandai ini segera menjura tanpa berani memperkenalkan namanya, melainkan bertanya. “Kalau saya boleh mengganggu kesibukan Suthai, saya ingin bertanya apakah Suthai tahu di mana saya dapat bertemu dengan Gin¬-siauw Lo-jin?” “Gin-siauw Lo-jin? Ah, di puncak itulah tempat tinggalnya “ jawab ni¬kouw itu sambil menuding ke arah pun¬cak bukit akan tetapi matanya tetap saja tidak pernah meninggalkan wajah Kian Bu yang rambutnya panjang terurai dan dibiarkan awut-awutan itu. Kian Bu menjadi girang sekali dan kembali dia menjura, “Banyak terima kasih atas petunjuk Suthai dan sekali lagi maaf atas kelancangan saya mengganggu kesibukan Suthai.” Setelah berkata demi¬kian, pemuda itu membalikkan tubuh dan berjalan mendaki puncak. “Nanti dulu.... Sicu.... siapakah Sicu?” terdengar nikouw itu bertanya. Kian Bu menoleh dan merasa tidak enak. Dia telah berbuat salah di tempat itu, bagaimana harus memperkenalkan nama? Akan tetapi, nikouw itu demikian ramah dan halus budi, tidak mungkin pula tidak menjawab. “Suthai, saya she Suma...., maaf!” Dia lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat naik ke atas puncak. Sama sekali dia tidak tahu be¬tapa jawaban itu membuat nikouw ini kembali menjadi pucat sekali wajahnya, matanya terbelalak dan tangan kirinya otomatis menyentuh dada kiri. “Omitohud.... omitohud.... omitohud....“ berulang-ulang dan memuji dan tidak mempedulikan lagi keranjangnya yang jatuh untuk kedua kalinya dan kini dia telah melangkah perlahan-lahan naik ke puncak, sepasang matanya memandang ke arah bayangan Kian Bu dan mulutnya masih terus menyerukan pujian untuk Sang Buddha. Sementara itu, Kian Bu sudah men¬daki puncak dengan cepat dan tibalah dia di depan sebuah rumah yang besar dan kuno. Rumah itu kelihatan sunyi saja seperti tidak ada penghuninya, akan tetapi ketika dia menghampiri pintu depan, terdengarlah suara dari dalam, suara yang berwibawa dan mengandung tenaga khikang amat kuat, “Inikah pemuda yang kauceritakan itu?” “Benar, Suhu.” Kian Bu terkejut. Suara yang me¬nyebut “suhu” itu adalah suara Gin-siauw Lo-jin! Dan kini keluarlah dua orang dari dalam rumah kuno itu yang bukan lain adalah Gin-siauw Lo-jin bersama seorang kakek yang lebih tua lagi, yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh lima tahun, namun masih bersikap agung dan gagah. Kian Bu merasa tidak enak sekali me¬lihat dua orang kakek itu memandang kepadanya dengan muka membayangkan kemarahan, maka cepat-cepat dia men¬jura dengan sikap hormat. “Locianpwe, saya Suma Kian Bu datang untuk minta maaf atas semua ke¬jadian malam tadi,” katanya dan ucapan ini ditujukan kepada Gin-siauw Lo-jin. Akan tetapi yang menjawabnya ada¬lah kakek yang lebih tua itu, yang ber¬kata dengan suara keren, “Orang muda, engkau semalam telah mengalahkan mu¬ridku yang pertama, berarti bahwa eng¬kau sungguh sangat lihai. Dan sekarang engkau muncul pula di sini, sungguh eng¬kau bernyali besar. Apakah engkau hen¬dak menyatakan bahwa engkau berani pula bertanding ilmu melawan kami yang mewarisi ilmu dari pendekar maha sakti Suling Emas?” Kian Bu mengerutkan alisnya. Dia sudah merendahkan diri, sudah mengalah dan datang untuk minta maaf, akan te¬tapi ucapan dari kakek tua ini sungguh di luar dugaannya. Tersembunyi kesom¬bongan besar dalam ucapan itu! Dan juga dia merasa penasaran dan curiga. Bukankah pewaris ilmu-ilmu dari Suling Emas adalah orang tuanya di Pulau Es? Bukankah kitab-kitab ilmu dari pendekar Suling Emas terjatuh ke tangan ibu Lulu, ibu tirinya dan bahkan pusaka suling emas menurut ibunya pernah dipakai se¬bagai senjata oleh ibunya sendiri? Meng¬apa kakek ini sekarang mengaku sebagai pewaris pusaka Suling Emas? Namun, sebagai seorang pemuda yang terdidik baik, dia masih mampu menahan diri. “Maaf, Locianpwe, saya datang bukan untuk mengajak bertanding ilmu dengan siapapun juga,” jawabnya dengan suara agak kaku. “Hemmm, kalau begitu kau takut?” Sepasang mata Kian Bu bersinar dan mengandung kemarahan ketika dia me¬mandang kepada kakek tua itu. Benar-¬benar besar kepala dan sombong si tua bangka ini, pikirnya gemas. “Tidak ada soal takut atau berani, Locianpwe. Saya datang untuk menya¬takan penyesalan saya atas peristiwa yang terjadi semalam dan saya mau min¬ta maaf.” “Hayo lekas kau berlutut dan minta ampun dengan pai-kwi (menyembah de¬ngan berlutut) sebagai delapan kali, baru kami pikir-pikir apakah dapat mengam¬punimu!” Kakek itu membentak lagi. Berkobar kemarahan di dalam hati Kian Bu. Dia mengangkat dada dan ber¬diri dengan sikap menantang. “Saya Suma Kian Bu selama hidup tidak pernah ber¬sikap pengecut! Saya selalu berani me¬nanggung semua perbuatan saya. Jangan harap Locianpwei akan dapat melihat saya merendahkan diri seperti itu!” “Ha, kau menantang?” “Terserah penilaian Locianpwe kepada saya.” “Orang muda, engkau memang ber¬nyali besar. Hemmm, engkau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah Sin-siauw Seng-jin, dan dia ini adalah muridku yang pertama. Aku adalah pe¬waris dari pendekar maha sakti Suling Emas dan biasanya, sekali aku turun tangan tentu lawanku akan mati. Aku masih menaruh kasihan kepadamu....“ “Cukup, Locianpwe. Aku tidak takut akan segala ancaman, tidak takut mati. Akan tetapi tentang mewarisi pusaka pendekar Suling Emas, hal itu kiranya masih harus diselidiki lebih dulu! Kalau memang benar pusaka itu ada pada tangan Locianpwe, maaf kalau saya be¬rani mengatakan bahwa Locianpwe tentu telah mencurinya!” “Keparat!” Gin-siauw Lo-jin marah sekali dan sudah menerjang maju dengan pukulan tangan kanan. “Desssss....!” Tubuh Gin-siauw Lo¬-jin terpental dan tentu dia sudah ter¬banting ke atas tanah kalau saja tangan kiri Sin-siauw Seng-jin tidak diulur dan dengan cekatan sekali kakek ini menang¬kap leher baju muridnya dan mencegah muridnya terbanting. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengagumkan Kian Bu, sebaliknya Sin-siauw Seng-jin juga terbelalak melihat betapa tangkisan orang muda itu membuat muridnya terpental! “Orang muda, engkau benar-benar berani sekali. Terpaksa aku tidak me¬mandang lagi usia, dan bersiaplah untuk menandingi pewaris ilmu-ilmu Suling Emas!” Orang ini terlalu menonjol-nonjolkan diri sebagai pewaris Suling Emas, pikir Kian Bu dengan hati mendongkol. Jelas bahwa dia telah mengaku-aku saja, atau kalau melihat betapa muridnya dapat mainkan Pat-sian Kiam-hoat, agaknya kakek ini telah mencuri kitab-kitab itu dari Pulau Es! “Baiklah, ingin aku me¬lihat sampai di mana kehebatan ilmu¬-ilmu yang palsu itu.” Sin-siauw Seng-jin sudah marah se¬kali dan karena dia maklum betapa lihai¬nya pemuda itu, maka dia sudah mencabut suling emas yang terselip di pinggangnya dan menerjang maju. “Swinggggg.... singgggg....!” Kian Bu terkejut. Sinar emas ber¬kilauan itu memang hebat bukan main dan dia terbelalak memandang ke arah suling emas di tangan kakek itu yang tadi hampir saja mengenai kepalanya kalau dia tidak cepat-cepat mengelak. Dari mana kakek ini mendapatkan sen¬jata pusaka ampuh itu? Apakah benar itu suling emas, senjata dari pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lalu, seperti yang diceritakan olah ibunya? Akan tetapi dia tidak diberi kesem¬patan untuk berheran-heran lebih lama lagi karena sinar emas itu bergulung¬-gulung dan sudah menerjangnya dari se¬gala jurusan dengan amat dahsyat! Kian Bu cepat mengelak dan membalas dengan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Namun ternyata kakek itu gesit sekali, juga ketika dengan lengan kiri menangkis, dari lengannya menyambar hawa sinkang yang amat kuat, bahkan tidak kalah kuatnya dari tenaga sinkang yang dikuasai oleh Kian Bu sendiri sehingga keduanya terhuyung ke belakang! Kakek itu makin terkejut, akan tetapi juga Kian Bu me¬rasa kaget dan berhati-hati. Makin lama, makin terheran-heranlah Kian Bu melihat betapa kakek itu de¬ngan suling emasnya memainkan ilmu-¬ilmu yang dikenalnya sebagai Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai Kun-hoat, dan yang terakhir suling itu mengeluarkan suara melengking dan mendengung-dengung seperti ditiup orang ketika kakek itu membuat gerakan corat-coret aneh se¬kali. Kian Bu mengenal gerakan ini se¬bagai ilmu mujijat Hong-in Bun-hoat, ilmu yang amat ampuh dari pendekar Suling Emas, yang amat sukar dipelajari, bahkan ibu tirinya, Lulu, sendiri pun belum dapat menguasainya secara sem¬purna! Ilmu ini didasari kepandaian sas¬tra, kepandaian menulis huruf indah dan dari gerakan corat-coret huruf inilah ma¬ka diciptakan ilmu silat yang amat mu¬jljat ini. “Kau kau pencuri....!” teriaknya kaget dan terpaksa dia harus mengerah¬kan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena kakek itu ternyata amat lihai. Setiap huruf yang digerakkan oleh suling¬nya mengandung tenaga dahsyat dan mengeluarkan bunyi lengkingan aneh se¬kali. Beberapa kali Kian Bu sampai ter¬huyung karena terdorong oleh hawa yang amat tajam dan aneh. Dia sudah ber¬usaha untuk membalas dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-¬ciang secara berselang-seling, namun kakek yang lihai itu dapat pula meng¬hindarkan diri. Bukan main hebatnya pertandingan itu. Mati-matian dan seru, sama kuat dan seratus jurus lewat dengan cepatnya. Kian Bu menjadi penasaran dan juga ter¬heran-heran. Tidak banyak dia menemui lawan berat selama perantauannya, dan ternyata kakek ini hebat sekali, sung¬guhpun dia masih tidak percaya bahwa ilmu-ilmu Suling Emas yang dimainkannya itu adalah ilmu-ilmu aseli, karena pada dasarnya terdapat beberapa perbedaan dengan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai ilmu-ilmu peninggalan Suling Emas. Me¬nurut ibunya, kemujijatan Ilmu Hong¬-in Bun-hoat terletak pada bunyi suling yang ketika dimainkan seperti ditiup orang dan mengeluarkan lagu yang amat indah dan hal ini amat mempengaruhi lawan. Akan tetapi, walaupun suling emas di tangan kakek ini juga mengeluarkan suara melengking-lengking dan seperti berlagu, namun sama sekali tidak dapat disebut indah karena bagi telinganya terdengar sumbang! Betapapun juga, ha¬rus diakuinya bahwa sukar baginya untuk dapat mengimbangi kecepatan kakek itu dan dia mulai terdesak hebat. Maklum bahwa kalau dilanjutkan, tentu dia yang akan celaka akibat kalah cepat oleh gerakan suling, maka Kian Bu lalu mengambil keputusan untuk menggunakan pukulannya yang paling ampuh dan paling hebat. Kalau dia tidak dapat merobohkan lawan, tentu dia yang akan roboh. Gulungan sinar emas itu terlalu cepat baginya! Maka tiba-tiba pemuda ini lalu mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking nyaring, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan dengan inti tenaga sinkang yang bertentangan, yaitu yang kanan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas sedangkan sedetik kemudian yang kiri mendorong dengan pukulan Swat-im Sin-ciang. Bukan main hebatnya dua pukulan ini yang sedemikian hebatnya sehingga pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu mampu untuk memukul hangus lawan, sedangkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dingin dapat membikin beku darah dalam tubuh lawan. “Ihhhhh....!” Kakek itu berseru keras, dia pun mendorongkan kedua lengannya untuk menahan serangan hawa pukulan mujijat itu, dan sulingnya dia sambitkan ke depan pada saat dia mendorongkan kedua tangannya. Suling Emas itu me¬luncur melalui bawah lengan kiri Kian Bu seperti kilat menyambar. “Desssss.... tukkkkk....!” Tubuh kakek itu terlempar ke bela¬kang dan dia menggigil, sedangkan Kian Bu sendiri terpelanting dan roboh ter¬guling karena suling itu dengan kuatnya telah menotok ketiak kirinya sehingga dia roboh dan merasa betapa separuh tubuhnya yang kiri menjadi lumpuh sama sekali! “Ughhh.... ughhh....!” Sin-siauw Seng-jin terbatuk dan dia muntahkan darah segar, akan tetapi dia segera memejam¬kan mata dan mengatur pernapasan se¬hingga sebentar saja pulih kembali ke¬kuatannya. Dia membuka mata dan meng¬hampiri Kian Bu yang masih rebah mi¬ring dengan sinar mata penuh keheranan dan penasaran. Suling Emasnya yang menggeletak di atas tanah lalu dipungut¬nya kembali dan diamat-amatinya. “Saya.... saya.... mengaku kalah, akan tetapi.... tunggu lima tahun lagi.... saya pasti akan mencari Locianpwe dan membuat perhitungan.... ahhhhh....“ Kian Bu mengeluh karena totokan itu hebat bukan main dan agaknya bukan hanya menghentikan jalan darahnya, melainkan merusak banyak jalan darah di tubuhnya yang sebelah kiri. Mendengar ucapan Kian Bu itu, Sin¬-siauw Seng-jin mendengus, lalu berkata, “Orang muda ini terlalu berbahaya....” seperti berkata kepada muridnya atau kepada dirinya sendiri, lalu nampak sinar emas berkelebat dan sulingnya sudah menyambar ke arah tubuh Kian Bu yang sudah tidak berdaya itu. Kian Bu berusaha menangkis dengan tangan kanannya yang masih dapat digerakkan, namun suling yang mengarah kepala itu tertangkis meleset dan masih mengenai tengkuknya. “Desss....!” Kian Bu mengeluh dan roboh pingsan! “Omitohud....!” Sesosok bayangan berkelebat dan demikian cepat gerakan bayangan ini sehingga tahu-tahu nikouw itu telah berada di situ, berlutut dan memeluk tubuh Kian Bu yang sudah tidak bergerak lagi, dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah! Kakek itu dan muridnya terkejut, akan tetapi mengenal siapa adanya orang yang demikian cepat gerakannya itu, Sin¬-siauw Seng-jin lalu berkata, “Kiranya Kim Sim Nikouw dari Kwan-im-bio. Hemmm, mengapa kau mencampuri urus¬an kami?” “Siancai, siancai, siancai....!” Kim Sim Nikouw berkata halus. “Seorang yang gagah perkasa seperti Locianpwe, meng¬apa bisa berlaku rendah, menyerang orang yang sudah tidak berdaya lagi? Mengapa di hari tua tidak mencari jalan terang, melainkan menambah kegelapan yang kelak hanya akan menggelapkan perjalanan sendiri. Omitohud.... semoga semua manusia sadar akan dosa-dosanya.... Omitohud....!” Wajah kakek itu menjadi pucat, lalu merah dan tanpa berkata apa-apa dia memasuki rumah gedungnya, diikuti oleh muridnya. Terdengar daun pintu dibanting keras dan nikouw itu lalu memondong tubuh Kian Bu dan dibawa pergi. Agak berat juga baginya memondong tubuh pemuda itu, maka lalu dipanggulnya dengan gerakan kaki yang cepatnya luat biasa, nikouw itu lalu berlari seperti terbang menuju ke lereng sebelah barat dari Gunung Tai-hang-san, tidak begitu jauh dari puncak bukit itu. Perlahan-lahan Kian Bu membuka matanya akan tetapi lalu ditutupnya kembali karena pandang matanya berkunang dan dia melihat cahaya merah kuning biru menari-nari menyilaukan matanya. Sentuhan jari tangan halus di dahinya dirasakan hangat dan menenangkan, lalu dibukanya kembali kedua matanya. Tu¬buhnya lemah sekali dan dia segera ter¬ingat akan keadaan dirinya. Dia teringat bahwa dia telah roboh oleh Sin-siauw Sengjin. Tubuhnya mati sebelah! Kini pandang matanya berusaha menembus kesuraman itu dan nampaklah segores wajah yang lembut, sepasang mata yang memandang¬nya penuh kasih sayang. Mata ibunya? Siapa lagi orangnya yang memiliki mata se¬bening dan seindah itu, semesra itu me¬mandangnya kalau bukan mata ibunya? Si¬apa lagi yang dapat mengangkatnya dari jurang maut kalau bukan tangan ibunya? Jari tangan siapa yang menyentuh demi¬kian halus dan lembutnya di dahinya tadi, yang mengusir semua kepeningan kalau bukan jari tangan ibunya? “Ibuuu....” Dia memanggil dengan suara bisikan panjang. Mulut itu tersenyum dan dua buah mata yang bening itu menjadi basah! Ibunya menangis? Belum pernah dia me¬lihat mata ibunya menjadi basah. Ibunya bukan orang cengeng, melainkan seorang wanita perkasa yang belum pernah di¬lihatnya menangis! Kian Bu membuka lebar matanya dan kini dia dapat melihat lebih terang. Kiranya bukan ibunya yang duduk di tepi pembaringannya, melainkan seorang nikouw yang berkerudung kain kuning. Seorang nikouw yang pernah di¬jumpainya di lereng bukit, nikouw pe¬metik daun obat yang memiliki ginkang amat luar biasa itu, yang seolah-olah pandai terbang! “Suthai....” Kian Bu memanggil lirih. “Omitohud.... terima kasih kepada kemurahan Sang Buddha....! Engkau su¬dah siuman, Suma-sicu? Aihhh, betapa khawatir hati pinni (aku) melihat engkau menggeletak begitu lama seperti.... seperti.... sudah tak bernyawa lagi....” Nikouw itu menghapus dua titik air mata dari bawah matanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar. Ketika Kian Bu hendak bangkit duduk dia me¬ngeluh karena tubuhnya yang separuh tidak dapat digerakkan, nikouw itu lalu cepat mencegah dengan menggerakkan tangan dan memegang pundaknya, me¬rapatkan duduknya. “Jangan bergerak dulu.... lukamu amat parah dan hebat....” “Ouhhhhh....!” Kian Bu mengeluh lagi. Kini pandang matanya sudah terang dan pulih kembali dan dia teringat akan se¬muanya. “Sudah berapa lama saya berada di sini, Suthai?” “Sudah tiga hari tiga malam engkau rebah tak bergerak, seperti mati. Syukur pagi hari ini kau siuman, itu pertanda baik sekali.” “Jadi.... Suthai yang menolong sa¬ya....?” Nikouw itu menaruh telunjuk ke de¬pan mulut. “Ssst.... jangan banyak bicara dulu, anakku. Kau harus beristirahat dan memulihkan kembali kesehatanmu. Jangan khawatir, selama berpuluh tahun ini tidak percuma pinni mempelajari ilmu peng¬obatan. Pukulan keji Sin-siauw Sengjin tidak akan membunuhmu. Pinni yang membawamu ke sini, anakku, dan se¬karang beristirahatlah.” Nikouw itu cepat mengambil sebuah mangkok dari meja dan membantu Kian Bu untuk bangkit duduk dengan merang¬kul pundak pemuda itu dan memberinya minum tajin dari mangkok itu sampai habis. “Nah, kau tidurlah sekarang, aku akan mengumpulkan dan memasak obat untuk¬mu,” kata nikouw itu setelah merebahkan kembali Kian Bu dan menyelimutinya. Kian Bu memaksa senyum dan memejam¬kan matanya, sebentar kemudian dia pun sudah tidur pulas. Beberapa hari kemudian, Kian Bu sudah sadar benar, namun tubuhnya ma¬sih setengah lumpuh biarpun dia sudah dapat bangkit duduk namun dia belum dapat turun dan belum dapat menggerak¬kan kaki dan tangan kirinya. Ketika pagi hari itu dia melihat nikouw itu datang dan seperti biasa melayaninya untuk makan bubur, buang air dan sebagainya, Kian Bu tak dapat menahan rasa keharu¬an dan terima kasihnya. Ingin dia men¬jatuhkan diri berlutut di depan nikouw itu, namun kaki kirinya tidak mengijin¬kannya. Melihat setiap hari nikouw itu merawatnya, membuangkan air kencing dan kotorannya, membersihkan tubuhnya, menyuapkan makanan, memberi obat, sungguh tiada ubahnya seperti seorang ibu sendiri! Dan nikouw itu selalu me¬nyebutnya “anakku”! “Nah, sekarang bahaya telah lewat!” pada pagi hari itu nikouw tua itu ber¬kata dengan wajah berseri. “Engkau su¬dah tidak terancam maut lagi dan ting¬gal memulihkan tenaga.” “Akan tetapi kaki tangan kiri saya belum dapat bergerak....” “Jangan khawatir. Memang pukulan-¬pukulan itu hebat sekali, dapat meng¬hancurkan seluruh rangkaian urat-uratmu. Untung Swat-im Sin-kang di tubuhmu melindungimu, anakku. Pinni yakin eng¬kau akan sembuh kembali sama sekali.” “Betapa, besar budi Suthai kepada saya....” Kian Bu berkata dan matanya terasa panas karena dia merasa terharu sekali. Nikouw tua itu kini duduk di tepi pembaringan dan memegang lengannya. “Sekarang engkau sudah tidak terancam bahaya. Boleh kita bicara. Suma Kian Bu, katakanlah sejujurnya, siapa nama ayahmu?” “Ayah? Ayah bernama Suma Han....” “Han Han....ah, sudah kuduga.... wajahmu, sikapmu.... dan Swat-im Sin¬-ciang itu....! Dugaanku tidak salah.... ah, Han Han....” Dan nikouw itu menghapus air matanya, mulutnya tersenyum ketika dia memandang pemuda itu me¬lalui air matanya. “Engkau puteranya! Hemmm, sudah pinni duga dan engkau anakku, Suma Kian Bu, engkau anakku....” “Apa maksudnya ini, Suthai?” Kian Bu bertanya penuh keheranan. Dia adalah anak Suma Han dan Puteri Nirahai, meng¬apa nikouw ini mengaku dia sebagai anaknya? Nikouw itu kembali menghapus air matanya dan melihat betapa mulutnya tersenyum di antara tangisnya, mengerti¬lah Kian Bu bahwa tangis wanita itu bukan karena berduka, melainkan karena terharu dan gembira! “Jangan salah mengerti anakku. Tentu saja engkau anak dari Suma Han dan .... eh, siapa ibumu?” “Ibu adalah Puteri Nirahai.” “Hemmm, pantas.... pantas....! Ku¬ulangi lagi, jangan kau salah mengerti. Tentu saja engkau anak ayah bundamu itu, dan aku.... aku hanyalah bekas sa¬habat baik ayahmu, bahkan dahulu.... dahulu sekali puluhan.... tahun yang lalu, ketika namaku masih Kim Cu, antara ayahmu dan aku masih ada pertalian saudara seperguruan. Karena itu aku mengenal pukulan Swat-im Sin-ciang yang kaugunakan tadi. Dan dahulu.... dahulu.... sekali.... aku dan ayahmu senasib sependeritaan, dan aku.... aku mencintanya. Namun nasib memisahkan kami, dan kini nasib pula yang mempertemukan aku de¬ngan engkau, puteranya! Karena engkau adalah puteranya, maka engkau seakan-¬akan anakku sendiri, Kian Bu.” Kian Bu mendengarkan penuh keharu¬an. Nikouw ini di waktu mudanya tentu cantik jelita. Dan mencinta ayahnya! Akan tetapi mereka dipisahkan oleh nasib! “Bagaimana keadaan ayahmu, Kian Bu?” tanya nikouw itu sambil mengusap air matanya untuk ke sekian kalinya. “Baik, Suthai. Baik sekali. Ayah dan ibu dan semua keluarga berada di Pulau Es, dan saya.... telah beberapa lama meninggalkan Pulau Es. “Jadi ayahmu hidup bahagia?” Kian Bu mengangguk. “Terima kasih kepada Sang Buddha yang maha kasih! Nikouw itu berseru. “Betapa bahagianya mendengarkan dia dalam keadaan sehat dan bahagia!” Kian Bu memandang wanilta itu dan ada sesuatu yang membuatnya terharu sekali, dan yang memaksanya bertanya, “Di wakktu muda dahulu, Suthai.... men¬cinta ayahku?” Nikouw itu memandangnya, meng¬angguk dan menarik napas panjang. “Sam¬pai detik ini tak pernah aku berhenti mencintanya.” “Dan ayah.... apakah ayah juga mem¬balas cinta kasih Suthai?” Nikouw itu tersenyum dan menggeleng¬kan kepalanya. “Dia suka dan kasihan kepadaku, akan tetapi cinta? Mungkin sekali, ya aku yakin bahwa dia tidak mencintaku seperti aku mencintanya....” “Dan Suthai tidak menderita seng¬sara? Tidak berduka, bahkan bergembira mendengar berita tentang ayah?” Kian Bu makin terheran. “Puluhan tahun aku menderita, akan tetapi sudah lama pinni sadar bahwa semua penderitaan itu bukan akibat cinta, melainkan akibat dari iba diri. Seorang yang mencinta, barulah benar-benar di katakan bahwa cintanya itu murni, apa¬bila dia merasa bergembira kalau melihat orang yang dicintanya itu bahagia, baik orang itu menjadi jodohnya ataupun tidak. Pinni gembira mendengar dia ba¬hagia, Han Han seorang yang amat baik....” dia berhenti sebentar. “Entah berapa puluh tahun setiap hari pinni ber¬sembahyang mohon belas kasihan dari Kwan Im Pouwsat agar kehidupan Han Han diberkahi dan dia dapat hidup ber¬bahagia. Ternyata doa pinni terkabul, dia hidup berbahagia dan mempunyai putera yang seperti engkau. Tentu saja pinni merasa gembira sekali....” “Ah, betapa mulia hatimu, Suthai. Cintamu terhadap ayah demikian suci murni....dan sekarang Suthai telah menyelamatkan nyawa saya....ah, bagai¬mana saya akan dapat membalas semua budi Suthai ini, budi Suthai yang telah dilimpahkan dalam cinta kasih yang de¬mikian suci murni terhadap ayah dan dalam pertolongan kepada saya?” “Budi? Membalas budi? Omitohud.... manusia selalu mengikat dan melibatkan diri dalam budi dan dendam, itulah biang segala pertentangan! Akan tetapi, karena hal itu telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai tingkat kemanusiaan, maka agar hatimu jangan merasa penasaran dan jangan merasa berhutang budi, baiklah kaubalas dengan cara.... mau kuanggap sebagai anakku. Ketahuilah Kian Bu, ketika engkau baru siuman tempo hari dan menyebut ibu kepadaku, aku seperti lupa diri, lupa bahwa aku adalah seorang nikouw, dan aku merasa seolah-olah eng¬kau adalah anakku sendiri.” Kian Bu menggigit bibirnya. Bukan main wanita tua ini! Demikian halus perasaannya, demikian mulia hatinya dan siapakah yang tidak akan merasa bangga kalau mempunyai seorang ibu seperti wanita tua ini? Tanpa ragu-ragu dia lalu menggerakkan tangan kanannya menyentuh dada sambil berkata, “Ibu....” Kim Sim Nikouw merangkulnya dan menangis! Sampai lama nikouw itu menangis sambil memeluk Kian Bu, kemudian dia dapat menekan perasaannya, duduk dan dengan muka basah air mata namun bi¬birnya tersenyum dan sinar matanya ber¬cahaya, dia mengelus dahi pemuda itu. “Terima kasih, anakku, terima kasih. Percayalah, aku akan menyembuhkanmu, engkau akan dapat bergerak lagi seperti sediakala.” “Terima kasih, Ibu. Akan tetapi sung¬guh aneh, aku belum mengetahui nama Ibu.” Kian Bu tertawa, Kim Sim Nikouw juga tertawa dan suasana menjadi gem¬bira. “Dahulu aku bernama Kim Cu, anak¬ku, akan tetapi sekarang aku adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio ini dengan beberapa orang nikouw pembantu yang menjadi murid-muridku dalam hal keagamaan dan melayani orang-orang yang datang bersembahyang ke kuil ini” “Aku ingin sekali cepat sembuh, Ibu.” “Jangan khawatir, akan tetapi kita harus bersabar, anakku. Kiranya tidak percuma aku mempelajari pengobatan selama puluhan tahun ini.” “Aku harus cepat sembuh agar dapat mencari Sin-siauw Sengjin” kata Kian Bu sambil mengepal tinju kanannya. Kim Sim Nikouw mengerutkan alisnya dan memandang wajah anak angkatnya itu. “Kau mendendam karena kekalahan itu dan hendak membalasnya?” Kian Bu juga memandang dan ketika bertemu pandang mata yang sinarnya lembut dan penuh teguran itu, dia cepat menggeleng kepalanya, “Tidak, Ibu. Bukan karena kekalahan itu, melainkan karena aku harus merampas kembali kitab-kitab peninggalan pendekar sakti Suling Emas yang telah dicurinya.” Kim Sim Nikouw membelalakkan ma¬tanya. “Apa maksudmu?” “Jelas bahwa Sin-siauw Sengjin itu seorang penipu atau seorang pencuri. Dia dapat memainkan ilmu-ilmu dari Suling Emas, padahal sepanjang pengetahuanku, ilmu-ilmu itu terjatuh ke tangan ibu tiriku yang berada di Pulau Es. Tentu dia telah mencurinya, atau mungkin juga memalsukan ilmu-ilmu itu. Maka, setelah sembuh aku harus menghadapinya lagi dan membongkar rahasia ini.” Nikouw itu mengerutkan alisnya. “Ah, dia amat lihai. Bahkan Hwi-yang Sin¬-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang kau¬pergunakan pun tidak mampu mengalah¬kannya.” “Betapapun, setelah sembuh, akan kucoba lagi menandinginya, Ibu.” “Kau dapat belajar, anakku! Dan ja¬ngan kira bahwa ibumu ini selama ditinggalkan oleh ayahmu, selama puluhan tahun ini, hanya menganggur saja! Tidak, aku telah mempelajari teori ilmu-ilmu baru, anakku.” “Aku telah melihat bahwa ginkang ibu amat luar biasa.” “Itu satu di antaranya. Aku telah mempelajari ilmu meringankan tubuh itu dan telah menciptakan Ilmu Jouw-sang-¬hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), akan tetapi itu belum dapat diandalkan untuk menandingi kakek itu. Dahulu aku bersama ayahmu pernah mempelajari Ilmu Swat-im Sin-ciang dari Ma-bin Lo-¬mo, dan aku tahu bahwa ayahmu telah pula mempelajari Ilmu Hwi-yang Sin¬-ciang yang menjadi lawannya. Biarpun aku bukan ahli Hwi-yang Sin-ciang, na¬mun aku tahu akan sifat-sifatnya dan aku telah mencoba untuk menggabungkan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sendiri tidak berhasil melatihnya, akan tetapi menurut perhitunganku, maka baik Hwi-yang Sin-ciang maupun Swat-im Sin-¬ciang tidak akan mampu menandinginya.” “Ah, kalau begitu Ibu harus meng¬ajarkannya kepadaku!” Kian Bu berseru dengan girang sekali, akan tetapi alisnya lalu berkerut karena ketika dalam kegirangannya itu dia mencoba bergerak, ternyata kaki tangan kirinya maslh lum¬puh. “Ah, mana mungkin aku dapat be¬lajar dalam keadaan begini?” “Kau harus bersabar, anakku. Keada¬anmu memang parah dan kurasa dalam waktu setahun barulah boleh diharapkan engkau akan sembuh. Dan mempelajari Jouw-sang-hui-teng bukanlah hal yang mudah, memerlukan waktu lama, latihan dan ketekunan. Apalagi melatih penggabungan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sudah mencoba sampai belasan tahun belum juga berhasil.” “Ah, kalau begitu akan sukar sekali! Dan aku ingin secepatnya menemui Sin-siauw Sengjin!” “Hemmm, lupakah kau bahwa engkau herjanji akan menemuinya lagi setelahlewat lima tahun?” “Apa? Apakah maksudmu, Ibu?” Kian Bu berseru kaget. Nikouw itu tersenyum. “Agaknya pukulan kakek itu hebat sekali sehingga engkau sampai tidak ingat lagi apa yang kauucapkan. Engkau telah berjanji ke¬padanya bahwa engkau mengaku kalah dan dalam waktu lima tahun lagi engkau akan membuat perhitungan.” “Ah, kenapa begitu lama?” “Sebaiknya begitu malah, anakku. Engkau dapat menunggu sampai sembuh sama sekali, lalu engkau masih banyak waktu untuk berlatih dan meningkatkan kepandaianmu agar kelak kalau engkau menghadapinya, engkau tidak akan kalah lagi. Pula, janji seorang pendekar pasti tidak akan diingkari sendiri, bukan?” Kian Bu menarik napas panjang dan terpaksa dia membenarkan kata-kata ibu angkatnya itu dan semenjak hari itu, dia dirawat dan diobati oleh Kim Sim Nikouw yang amat tekun itu. “Demikiahlah, Lee-ko, riwayatku se¬menjak kita saling berpisah dan itu pula sebabnya mengapa aku tidak pernah pu¬lang ke Pulau Es.” Kia Bu mengakhiri ceritanya. “Selama kurang lebih tiga tahun aku memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan ibu angkatku itu, Kim Sim Nikouw dan selain aku dapat sembuh sama sekali, aku juga dapat mengua¬sai Jouw-sang-hui-teng. Dari ilmu gin¬kang yang diajarkan oleh ibu angkatku ini, aku lalu menciptakan Ilmu Sin-ho-¬coan-in (Bangau Sakti Menerjang Mega), yaitu ginkang istimewa itu kugabungkan dengan dasar-dasar gerakan dari ilmu ayah Soan-hong-lui-kun.” Semenjak tadi, Kian Lee mendengar¬kan penuh perhatian, dengan hati terharu dan kagum. “Dan pukulanmu yang membuat tubuh seperti disiram air panas itu....?” tanya¬nya kagum. “Itulah hasil dari melatih diri meng¬gabungkan dua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, yang teorinya diberikan oleh ibu angkatku. Memang amat sukar dan berbahaya sekali melatih penggabungan itu sehingga engkau dapat melihat sendiri rambutku.” “Hemmm, rambutmu lalu menjadi putih semua?” Kian Lee memandang kepala adiknya itu. “Itu disebabkan melatih sinkang mujijat itu?” “Sebagian dari sebab itu, sebagian pula mungkin karena akibat pukulan Sin-siauw Sengjin, dan sebagian pula karena kedukaan yang menyiksaku selama itu. Setelah selesai berlatih selama tiga ta¬hun dan berhasil, aku masih harus me¬nanti dua tahun lagi untuk memenuhi janjiku terhadap Sin-siaw Sengjin. Maka dalam waktu dua tahun itu aku berusaha untuk menentang kejahatan di sekitar daerah Ho-nan sehingga banyak orang kang-ouw mulai mengenalku dan memberi julukan Siluman Kecil kepadaku.” Kian Lee mengangguk-angguk. “Sudah lama aku mendengar dan mengenal nama¬mu itu, Bu-te. Semenjak aku mendengar nama itu memang aku sudah ingin sekali bertemu dengan orangnya, sungguhpun aku sama sekali tidak menyangka bahwa kaulah orangnya. pertama-tama, aku ingin bertemu karena ketika aku ter¬ancam bahaya, orang-orang yang tunduk kepadamulah yang menolongku, dipimpin oleh Nona Phang Cui Lan. Dan kedua kalinya aku ingin sekali bertemu dengan Siluman Kecil untuk menegurnya.” Kian Bu memandang kepada kakaknya dengan heran. “Menegurnya?” “Benar, dan sekarang aku akan lang¬sung menegurmu, Bu-te. Aku mengenalmu sebagai seorang yang suka menggoda orang, terutama sekali kepada wanita. Akan tetapi apa yang kaulakukan ter¬hadap Nona Cui Lan sungguh keterlalu¬an!” “Eh, ada apa dengan dia?” Kian Bu bertanya dengan mata terbelalak. “Dia seorang gadis yang begitu baik, lemah lembut, halus budi pekertinya, hatinya penuh dengan cinta kasih yang murni terhadap dirimu, akan tetapi eng¬kau melupakan dia begitu saja dan mem¬biarkan dia merana. Bagaimana engkau dapat bersikap demikian kejam terhadap seorang gadis yang sebaik dia, Bu-te?” Kian Lee lalu menceritakan tentang per¬temuannya dengan Cui Lan di istana Gu¬bernur Ho-nan, kemudian tentang ke¬beranian gadis itu ketika menolong Gu¬bernur Ho-pei dan ketika mengerahkan teman-teman untuk menyelamatkannya, tentang pengakuan gadis itu kepadanya, akan cinta kasihnya terhadap Siluman Kecil yang dinyatakan dalam nyanyiannya yang penuh kerinduan. Mendengar semua penuturan Kian Lee yang disertai teguran keras itu, Kian Bu menundukkan mukanya dan berulang kali dia menarik napas panjang. Setelah Kian Lee berhenti bercerita dan menegurnya, dia berkata, “Justeru karena aku tahu bahwa dia mencintaku maka aku sengaja menjauhkan diriku, Koko. Aku sudah tahu dari semula ketika aku menolongnya bahwa gadis itu jatuh cinta kepadaku, maka aku segaja menjauhkan diri bahkan bersikap tidak manis kepadanya dengan maksud agar dia membenciku karena hanya itulah yang kukira dapat mengobati cintanya yang hanya sepihak. Koko yang baik, salahkah aku kalau Cui Lan jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak dapat membalas cintanya? Salahkah aku kalau sampai saat ini pun aku masih mencinta Syanti Dewi dan tidak mungkin jatuh cinta kepada orang lain? Koko, apakah hanya untuk tidak merusak hati Cui Lan aku harus pura-pura membalas cintanya dan bersikap palsu?” Kian Lee menjadi terharu dan me¬megang tangan adiknya yang menjadi agak pucat wajahnya. Dia menghela na¬pas. “Tentu saja tidak, adikku. Asal eng¬kau tidak mempermainkannya, dan men¬dengar ceritamu, agaknya memang eng¬kau tidak pernah menggodanya dan bukan salahmu kalau dia mencintamu tanpa dapat kaubalas karena engkau mencinta orang lain. Aihhh, mengapa kita berdua menjadi korban cinta dan mengalami banyak kesengsaraan karena cinta? Sung¬guh kasihan sekali Nona Phang Cui Lan, dan kasihan pula engkau, adikku....” “Lee-ko, tidak perlu engkau menga¬sihani dia atau aku. Dan setelah aku bertemu dengan ibu angkatku, Kim Sim Nikouw, baru terbuka mataku bahwa me¬mang selama ini kita berdua amat lemah, bahkan sampai saat ini pun aku masih melihat kelemahanku sendiri dalam per¬soalan cinta. Kita sebenarnya bukanlah mencinta orang lain melainkan mencinta diri sendiri, Koko. Karena itulah maka kita menderita ketika orang yang kita cinta tidak membalas cinta kita, dan kita berduka karena kita kehilangan orang yang kita cinta. Cinta kasih seperti yang terdapat dalam hati ibu angkatku, itulah baru cinta kasih yang suci murni nama¬nya, dan sungguh ayah kita berbahagia sekali dicinta oleh seorang seperti ibu angkatku itu” “Memang luar biasa sekali Kim Sim Nikouw seperti yang kauceritakan itu, adikku. Dan agaknya seperti dia pulalah Nona Phang Cui Lan, dan mudah-mudah¬an dapat pula mengatasi tekanan batin¬nya karena cinta tidak terbalas seperti nikouw itu. Dan aku girang mendengar bahwa engkau tidak menggodanya, Bu¬te” “Ah, aku bukan lagi adikmu yang suka menggoda orang seperti lima tahun yang lalu, Lee-ko. Aku sudah cukup banyak menderita karena wanita, dan agaknya akan sukar bagiku untuk jatuh cinta lagi kepada wanita lain.” Biarpun mulutnya berkata demikian, namun tanpa disadari¬nya sendiri, tahu-tahu wajah Hwee Li yang amat cantik itu terbayang di de¬pan matanya! Dia cepat melawan ini dengan kata-kata, “Dan aku akan men¬contoh ibu angkatku, aku akan berbahagia sekali kalau mendengar bahwa Syanti Dewi hidup berbahagia di samping orang yang dicintanya, yaitu Ang Tek Hoat. Kasihan dia, mungkin dia belum tahu bahwa ibunya telah tewas oleh orang-¬orang Bhutan.” Dia lalu menceritakan lagi tentang wanita gila, bekas pelayan dari Ang Siok Bi, ibu Ang Tek Hoat itu. Mendengar penuturan ini, Kian Lee menarik napas panjang. “Sungguh aku kha¬watir sekali bahwa kenyataannya tidak seperti yang kauharapkan itu, adikku.” “Apa maksudmu, Lee-ko?” “Tentang kebahagiaan Syanti Dewi di samping Tek Hoat itu. Belum lama ini aku bertemu dengan Ang Tek Hoat, dan agaknya dia telah tersesat lagi. Dia membantu orang-orang jahat, bahkan dia tidak segan-segan untuk mengeroyok aku di tempat kediaman penjahat-penjahat.” Kian Lee lalu menceritakan semua pe¬ngalamannya, tentang perjalanannya men¬cari adiknya itu, kemudian pertemuannya dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang menyerangnya dan me¬nuduhnya mencuri harta pusaka Jenderal Kao dan menculik keluarganya. Kemudian tentang pengalamannya ketika dia berada di istana Gubernur Ho-nan, dan selanjut¬nya ketika dia mengawal Phang Cui Lan dan Gubernur Ho-pei sampai pertemuan¬nya dengan Tek Hoat dan dia dikeroyok dan dirobohkan. Mendengar cerita kakaknya itu ber¬macam perasaan mengaduk di hati Kian Bu. Dia terharu sekali mendengar akan sepak terjang Phang Cui Lan yang patut dipuji, dan dia marah dan khawatir men¬dengar betapa Ang Tek Hoat membantu Hek-eng-pangcu, dan betapa Tek Hoat telah menjatuhkan fitnah kepada dirinya yang dikatakan merampas harta benda keluarga Kao Liang. Akan tetapi kekhawatirannya lebih besar daripada kemarah¬annya terhadap Tek Hoat, yaitu khawatir tentang diri Syanti Dewi. “Apakah yang telah terjadi dengan Syanti Dewi?” katanya dengan alis ber¬kerut. “Andaikata Syanti Dewi berada di sisi Tek Hoat, tidak mungkin orang itu melakukan penyelewengan! Kalau Tek Hoat sudah kumat lagi gilanya, hal itu tentu berarti bahwa Syanti Dewi tidak lagi berada di dekatnya. Tentu telah ter¬jadi sesuatu!” Dia mengepal tinju dan kelihatan gelisah. “Dan aku sendiri yang akan menghajar Tek Hoat kalau dia menghancurkan kehidupan Syanti Dewi!” “Tenanglah, Bu-te. Dalam keadaan seperti kita sekarang yang belum tahu semua persoalannya, tidak baik untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan dan dugaan-dugaan, apalagi mengandung ke¬marahan di dalam hati terhadap sese¬orang. Bahkan aku sendiri yang sudah dia jatuhkan dalam pengeroyokan, aku masih ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu, karena aku yakin bahwa tentu ada sesuatu yang mendorongnya berbuat de¬mikian.” “Hemmm, aku sudah tahu bahwa dia jahat, Koko. Akan tetapi....” Kian Bu tidak melanjutkan kata-katanya karena dia maklum bahwa Tek Hoat adalah ke¬ponakan kakaknya ini, keponakan lang¬sung dari ibunya, karena Tek Hoat ada¬lah cucu kandung dari ibu Kian Lee. Karena teringat akan hal ini maka dia diam saja. Mereka lalu saling menceritakan pe¬ngalaman masing-masing selanjutnya. Kian Bu bercerita tentang pembalasannya yang berhasil terhadap Sin-siauw Sengjin, dan tentang pusaka-pusaka Suling Emas yang agaknya sebagian telah dicuri oleh Ang-siocia dan menurut tantangan gadis itu, dia akan menanti di pantai Po¬-hai di teluk sebelah utara. “Hemmm, banyak persoalan kita ha¬dapi, adikku. Urusan Jenderal Kao Liang maslh belum beres, muncul pula urusan warisan Suling Emas yang juga harus kita jernihkan.” “Akan tetapi engkau belum sehat benar, Lee-ko. Biarlah kita menanti sam¬pai engkau sudah sehat benar, nanti kita bersama menyelidiki persoalan-persoalan itu sampai beres. Nah, itu dia tabibmu sudah menyusul!” Benar saja, munculiah Sai-cu Kai¬-ong. “Wah, jangan lama-lama membiarkan dari ditiup angin sejuk, Kian Lee taihiap!” Kakek itu menegur. “Mari kita pulang dan sudah waktunya Taihiap minum obat!” Kemudian dia berkata kepada Kian Bu, “Dan aku membutuhkan beberapa macam ramuan obat yang telah habis dan obat-¬obat itu hanya bisa dibeli di kota besar. Maka, kuharap engkau suka menemani Siauw Hong untuk mencari dan membeli¬kan ramuan obat untuk kakakmu itu, Kian Bu taihiap.” “Tentu saja saya akan suka sekali pergi, Locianpwe. Akan tetapi, Locian¬pwe, kami kakak beradik yang menerima banyak budi Locianpwe, menganggap Locianpwe sebagai paman sendiri, maka harap buang saja sebutan taihiap kepada kami,” kata Kian Bu. “Benar apa yang dikatakan adikku, Locianpwe,” sambung Kian Lee. “Ha, kalau begitu kalian harus mem¬buang sebutan locianpwe dan sebut saja paman kepadaku.” Mereka bertiga ter¬tawa dan Kian Lee lalu dipondong lagi oleh adiknya, kembali ke tempat tinggal kakek itu yang seperti istana kuno di¬kelilingi tembok tebal seperti benteng. Ketika tiba di pintu gerbang dan melihat dua orang kakak beradik itu memandang kagum, Sai-cu Kai-ong berkata, “Biarlah kelak kalau Kian Lee telah sembuh, kali¬an akan kubawa berkeliling dan melihat¬-lihat rumah peninggalan nenek moyangku ini.” Mereka memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang anak buah Sai-cu Kai-ong yang berpakaian pengemis dan setelah merebahkan kakaknya di atas pembaringan dalam kamar, Kian Bu lalu berangkat bersama Siauw Hong mencari¬kan obat-obat yang dibutuhkan oleh ka¬kek itu. *** Sudah terlalu lama kita meninggalkan Puteri Syanti Dewi yang bernasib malang itu. Kita melihat dia yang terakhir ber¬ada di dalam gedung dari Hwa-i-kongcu Tang Hun, majikan Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang¬-san dekat belokan Sungai Huang-ho. Se¬perti telah diceritakan di bagian depan, Tang Hun sastrawan yang juga ahli silat dan sihir murid Durganini ini tergila-¬gila kepada Syanti Dewi dan memaksa puteri itu untuk menikah dengan dia. Akan tetapi di tengah-tengah keramaian pesta pernikahan itu, secara aneh sekali Syanti Dewi telah hilang tanpa diketahui jejaknya! Bahkan Siang In, dara jelita yang gagah perkasa dan pandai ilmu sihir yang berusaha menolong dan membebaskan Syanti Dewi, juga tidak tahu ke mana perginya puteri itu. Bukan dia saja, malah Ang Tek Hoat, yang dengan bantuan anak buah Hek-eng-pang berusaha membebaskan Syanti Dewi, juga hanya dapat membebaskan Syanti Dewi palsu, sedangkan dia pun tidak tahu ke mana lenyapnya Syanti Dewi yang aseli! Ke manakan perginya Syanti Dewi? Dan bagaimana caranya dia dapat lenyap dari penjagaan yang amat ketat itu, bahkan lenyap dari pengejaran seorang dara perkasa seperti Siang In, dan dari pencarian seorang sakti seperti Ang Tek Hoat yang masih dibantu oleh banyak anak buah Hek-eng-pang? Mari kita ikuti pengalaman Syanti Dewi semenjak dia berada di dalam kamar sebagai calon pengantin itu. Seperti kita ketahui, Syanti Dewi merasa gembira dan lega ketika bertemu dengan Siang In yang mengunjunginya di dalam kamarnya. Kalau dalam beberapa hari itu dia selalu termenung berduka, tidak mau mandi, tidak mau makan, tidak mau berganti pakaian, setelah Siang In mengunjunginya dan tahu bahwa gadis yang luar biasa itu akan menolong dan membebaskannya, kegembiraan membuat dia seketika merasa lapar sekali dan dia segera memesan makan minum kepada pelayan-pelayannya sehingga para pelayan itu menjadi heran dan juga girang sekali. Dari dapur yang khusus didatangkan hidangan-hidangan, diantar oleh seorang koki tua agak gemuk yang berwajah riang dan dibantu oleh para pelayan yang menghidangkan masakan-masakan istimewa di atas meja dalam kamar sang puteri atau calon pengantin wanita itu. Syanti Dewi yang memang sudah lapar itu cepat makan dan minum, akan tetapi terkejutlah dia ketika tiba-tiba dia mendengar suara berbisik di telinganya, “Perut kosong jangan terlalu cepat diisi, dan jangan terlalu banyak.” Dia menoleh ke kanan kiri. Di situ hanya ada lima enam orang pelayan wanita, dan koki itu ternyata masih berdiri di sudut tanpa dipedulikan oleh para pelayan. Ketika dia bertemu pandang dengan kakek yang berpakaian koki itu, tiba-tiba kakek itu mengedipkan sebelah matanya. Syanti Dewi terkejut dan dia seperti sudah mengenal wajah koki itu. Tahulah dia bahwa suara bisikan yang di¬dengarnya tadi, tentu adalah suara koki itu yang entah bagaimana dapat menjadi bisikan di dekat telinganya tanpa di¬dengar oleh para pelayan agaknya. Akan tetapi sebagai seorang yang sudah banyak bergaul dengan orang-orang yang me¬miliki kesaktian hebat, seperti pendekar sakti Gak Bun Beng, bekas tunangannya Ang Tek Hoat, puteri sakti Milana, dan banyak lagi orang dari golongan hitam yang berilmu tinggi, Syanti Dewi tidak lagi merasa heran dan tahulah dia bahwa koki itu adalah seorang yang berilmu tinggi! “Harap kausuruh mereka itu keluar, kecuali pelayan yang berbaju biru itu,” kembali terdengar bisikan tadi. Syanti Dewi tentu saja tidak memper¬cayai suara itu begitu saja biarpun dia seperti pernah mengenal wajah koki itu, akan tetapi anehnya, ada pengaruh muji¬jat yang membuat dia tidak dapat me¬nolak lagi! Seperti di luar kehendaknya sendiri, dia lalu berkata, “Kalian semua keluarlah, kecuali engkau yang baju biru. Aku tidak suka makan ditunggu banyak orang.” Para pelayan itu tersenyum dan me¬reka pun pergi meninggalkan kamar itu, tanpa mempedulikan koki tua yang masih berdiri seperti arca di sudut kamar.” “Kaututupkan daun pintunya, kunci dari dalam.” Kembali Syanti Dewi ber¬kata kepada pelayan baju biru seperti bukan atas kehendaknya sendiri. Pelayan baju biru yang cantik itu mengangguk, lalu menutupkan daun pintu dan mengun¬cinya, kemudian dia kembali duduk di dekat sang puteri untuk melayaninya. Kini kakek yang berpakaian koki itu melangkah maju mendekati meja, dipan¬dang penuh perhatian dan dengan hati mulai curiga oleh Syanti Dewi. Agaknya baru sekarang pelayan baju biru itu me¬lihat kakek ini. Dia terkejut dan heran. “Ihhh, kau masih di sini? Tidak boleh, hayo cepat keluar....” Akan tetapi tiba-tiba tangan kakek itu bergerak ketika melihat kenyataan pelayan itu lari ke pintu, dan tahu-tahu dia telah menjambak rambut pelayan itu, diseretnya mendekati meja di mana Syan¬ti Dewi masih bengong, lalu terdengar kakek itu berkata lirih namun dengan nada penuh ancaman, “Jangan berteriak, jangan banyak ribut, kalau tidak akan kuhancurkan kepalamu! Kau diam dan menurut saja kalau ingin selamat!” Tiba-tiba sebuah totokan di tengkuk pelayan tua membuatnya lemas dan tidak dapat bergerak lagi, hanya matanya saja yang terbelalak memandang dengan penuh rasa takut. Dicobanya untuk mengeluar¬kan suara, akan tetapi sekali tekan pada leher wanita itu oleh jari tangan kakek aneh tadi, si pelayan tidak dapat mengeluarkan suaranya sama sekali seperti orang gagu! “Hemmm, apa artinya ini? Siapa eng¬kau?” Syanti Dewi bangkit berdiri dan memandang tajam. “Heh-heh, kau lupa lagi kepadaku, Puteri?” Kakek itu melepaskan penutup kepalanya seperti yang biasa dipakai oleh koki untuk mencegah rambut kepalanya rontok dan masuk ke dalam masakan. Kini kelihatan kepalanya yang botak dan sedikit rambutnya yang putih. Biarpun sudah lima tahun tidak berjumpa lagi dengan kakek ini dan biarpun kakek ini sekarang agak gendut perutnya, namun melihat wajah yang tersenyum-senyum itu teringatlah Syanti Dewi. “Ah, bukankah Locianpwe ini guru Siang In? Locianpwe See-thian Hoat¬su....?” tanyanya dengan heran. “Ha-ha-ha, ternyata ingatanmu kuat sekali, Puteri! Benar, Siang In adalah muridku.” Hati Syanti Dewi girang sekali. Be¬berapa tahun yang lalu ketika dia di¬kejar-kejar oleh Raja Tambolon dan anak buahnya, dia pernah ditolong dan disela¬matkan oleh kakek yang pandai ilmu sihir ini dan dari percakapannya dengan Siang In dia tahu bahwa kakek ini adalah guru Siang In (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Maka tentu saja dia menjadi girang dan menaruh kepercayaan kepada kakek ini.” “Locianpwe, baru saja Siang In juga datang dan berjanji hendak membawaku keluar dari sini....” “Itulah sebabnya aku datang sendiri, Puteri Syanti Dewa. Keadaan di sini amat berbahaya dan terlalu banyak orang pan¬dai menghendaki dirimu. Rencana Siang In tentu akan gagal kalau aku tidak cepat turun tangan. Sekarang kau diamlah saja dan menurut segala petunjukku.” Syanti Dewi tidak terkejut mendengar itu karena dia maklum bahwa dia berada di tempat berbahaya, maka dia lalu mengangguk. “Cepat kautanggalkan pakaian luar¬mu,” bisik kakek itu dan ketika, Syanti Dewi melihat kakek itu mulai menang¬galkan pakaian luar pelayan yang ditotok¬nya itu, mengertilah dia maksudnya dan tanpa ragu-ragu lagi dia membalikkan tubuhnya dan menanggalkan pakaian luar¬nya. Dia tidak perlu merasa malu dalam keadaan seperti itu, apalagi yang melihat dia dalam pakaian dalam yang tipis itu hanya seorang kakek sakti yang sudah amat dipercaya. “Aih, sukarnya....!” Kakek itu me¬ngomel ketika dia mencoba untuk me¬ngenakan pakaian luar Syanti Dewi pada pelayan itu sehingga Syanti Dewi yang cepat sudah mengenakan pakaian luar pelayan itu segera membantunya. Kakek itu memang cerdik. Yang dipilihnya ada¬lah seorang pelayan yang selain cantik juga memiliki bentuk tubuh yang hampir sama dengan bentuk tubuh Syanti Dewi sehingga ketika pakaian mereka saling ditukar, dapat pas sekali. NEXT--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar