Rabu, 15 Januari 2014

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 32.

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 32:
Suling Emas & Naga Siluman Jilid - 32 32 “Ketika aku tiba di sini sudah tidak ada Pangeran di situ, Sumoi.” “Ah, celaka. Tentu ada yang telah melarikannya! Begitu banyak orang sakti memperebutkan Sang Pangeran. Kita harus mengejar si penculik!” Ci Sian berloncatan ke atas tebing dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja tidak nampak bayangan Pangeran atau penculiknya. “Sumoi, orang yang sudah mampu melarikan Pangeran dari depanmu dan depan para datuk Im-kan Ngo-ok tanpa kauketahui dan juga tanpa mereka ketahui, tentulah bukan orang sembarangan dan sukar untuk dikejar begitu saja tanpa kita ketahui ke mana larinya. Sekarang lebih baik kauceritakan semuanya, Sumoi. Nanti kita akan mencarinnya bersama.” Ci Sian yang masih terlalu gembira oleh pertemuan ini, segea melupakan Sang Pangeran dan mereka lalu duduk di atas rumput yang tebal di bawah pohon yang rindang. Dan mulailah Ci Sian menceritakan semua pengalamannya semenjak Kam Hong meninggalkannya. Tidak ada yang dilewatinya dan memang pengalamannya aneh-aneh dan amat menarik sehingga Kam Hong mendengarkan dengan kagum dan tertarik sekali. Tentang pertemuannya dengan Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu dan isterinya dan pengalaman mereka bersama yang aneh-aneh ketika berlumba kuda dan ketika menghadapi ular hijau raksasa. Mendengar penuturan tentang Suma Kian Bu, Kam Hong menarik napas panjang. “Semenjak dahulu, aku kagum sekali kepada Suma-taihiap dan beruntung engkau dapat bertemu dengannya, bahkan kemudian menerima latihan sin-kang dari Pulau Es. Engkau sungguh beruntung, Sumoi. Pantas saja tadi kulihat engkau demikian hebat dan memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu Kiam-sut, terutama sekali penggunaan sin-kangnya. Tidak tahunya engkau telah mewarisi ilmu sin-kang dari Pulau Es. Hebat, he-bat.... dan aku kagum sekali” Ci Sian rnelanjutkan ceritanya. Tentang pengalamannya di Kun-lun-pai, tentang jago muda Kun-lun-pai Cia Han Beng yang berjiwa patriot. Kemudian betapa ia bertemu dan melindungi Pangeran Kian Liong sampai di tempat itu, tentang pembakaran kuil Siauw-lim-pai dan lain-lain. Kam Hong menarik napas panjang. “Aku girang sekali mendengar betapa engkau telah memperoleh banyak pengalaman berharga, Sumoi. Aku pun sudah mendengar tentang pembakaran Kuil Siaw-lim-pai itu, sungguh hal yang amat patut disesalkan.” “Memang tindakan kaisar itu amat sewenang-wenang, akan tetapi Pangeran Mahkota lain lagi dengan Kaisar, Suheng. Dia benar-benar seorang pangeran yang amat bijaksana.” Lalu Ci Sian menceritakan tentang tindakan Pangeran yang menentang Kaisar, bahkan telah membebaskan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkurung dan terancam maut. Mendengar suara ini, Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang kepada sumoinya dengan sinar mata penuh kagum. Sumoinya itu kini bukan seperti sebelum mereka berpisah. Dia teringat betapa sumoinya ditinggalkannya sebagai seorang dara yang lebih pantas disebut seorang anak-anak, masih amat kekanak-kanakan. Akan tetapi sekarang, yang duduk di depannya adalah seorang wanita dewasa, sudah matang, dan dari sepasang mata yang jeli dan indah itu mengandung sinar yang cerdas dan tabah, membuatnya terpesona dan memandang penuh kagum. Melihat keadaan suhengnya ini, hati Ci Sian berdebar dan mukanya berubah merah, naluri kewanitaannya merasa betapa pandang mata suhengnya itu penuh dengan kekaguman. “Aih, Suheng, apa sih yang kaupandang?” tanyanya manja, ingin mengembalikan sifat kekanak-kanakannya yang selalu manja kepada Kam Hong untuk menutupi rasa malunya. Dan Kam Hong pun tersadarlah. Dia menunduk, mukanya sama merahnya dengan wajah Ci Sian, dan dia menarik napas berulang kali, lalu mengangkat mukanya memandang dengan jujur dia berkata, “Aku sungguh terpesona olehmu, Sumoi. Sungguh kagum, betapa dalam waktu tidak terlalu lama saja engkau kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, yang bersemangat dan berani membela kebenaran, dan yang telah dewasa, telah masak sebagai seorang wanita yang.... eh, luar biasa cantiknya!” Dapat dibayangkan betapa jantung Ci Sian terasa seperti melompat-lompat saking gembiranya, akan tetapi juga ia tenggelam dalam perasaan jengah, malu. Senyumnya dikulum dan pandang matanya hanya melalui kerling. “Ihh, Suheng.... jangan memperolokku....!” “Tidak, Sumoi, sungguh aku kagum kepadamu dan aku girang sekali. Tidak percuma engkau juga ikut mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.” “Sudahlah, Suheng, jangan terlalu memuji. Semua pengalamanku telah kuceritakan, sekarang aku ingin mendengar ceritamu semenjak kita saling berpisah. Kemana saja engkau pergi, Suheng dan kenapa engkau meninggalkan aku sendirian?” “Aku merantau dan menjaga guruku, Sai-cu Kai-ong yang sakit sampai beliau meninggal di puncak Bukit Nelayan.” Lalu dia bercerita betapa ketika dia mengunjungi kakek yang hidup sendirian itu, Sai-cu Kai-ong menderita sakit. Tentu saja penyakitnya disebabkan oleh kekecewaannya melihat cucunya, Yu Hwi telah menikah dengan orang lain, bukan dengan keturunan Kam. Kekecewaannya membuat kakek ini bosan hidup dan ketika dia sakit, dia tidak mau minum obat. Padahal, dia adalah seorang ahli pengobatan yang lihai. Maka, ketika Kam Hong menjaganya sampai berbulan-bulan, kakek itu lalu menyerahkan kitab ilmu pengobatan peninggalan mendiang Yok-Sian-jin (Manusia Dewa Obat) kepada pendekar ini. Sampai tiba saat dia meninggal dunia. Kam Hong tidak pernah meninggalkannya dan dengan bantuan penduduk dusun di pegunungan itu, Kam Hong lalu mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya yang pertama kali itu. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa Yu Hwi, cucu tunggal kakek ini, tidak pernah datang sehingga tidak tahu akan sakit dan matinya kakek itu. “Setelah guruku meninggal, baru aku turun gunung dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Yu Hwi dan suaminya.” Lalu dia menceritakan tentang peristiwa lucu itu, di mana dia mendengar bahwa Pangeran dijadikan perebutan dan dia ingin menyelamatkan Pangeran, tanpa mengetahui bahwa Pangeran yang diselamatkannya itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Betapa kemudian Yu Hwi marah-marah, dan suaminya malah sempat digoda cemburu, akan tetapi akhirnya mereka berdua itu insyaf dan minta maaf. Ci Sian tertawa geli mendengar penuturan itu. “Dan engkau ceritakan tentang kematian kakeknya, Suheng?” Kam Hong menggeleng kepala. “Tidak, aku tidak menceritakan hal itu. Aku tidak ingin menegurnya dan biarlah kelak ia akan mengerti dan menyesali kelalaiannya sendiri. Apalagi ketika itu aku mendengar bahwa Sang Pangeran telah lenyap lagi, maka aku meninggalkan mereka untuk mencari Pangeran. Dan hari ini, tanpa kusangka-sangka, aku bertemu dengan engkau di sini. Kalau tidak mendengar suara sulingmu, belum tentu kita dapat saling bertemu, Sumoi.” “Aku girang sekali kita dapat bertemu di sini, Suheng. Aku sangat rindu padamu.” “Aku pun girang dapat bertemu denganmu, Sumoi.” “Juga rindu....?” “Juga rindu....“ Girang sekali rasa hati Ci Sian, dan kembali jantungnya berdebar aneh, mukanya terasa panas. “Akan tetapi, Suheng.... kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi.” “Pertanyaan yang mana?” “Dulu itu.... setelah kita berhasil membasmi Hek-i-mo...., kenapa Suheng lalu tiba-tiba saja meninggalkan aku sendiri?” Sepasang mata yang jeli itu memandang tajam penuh selidik, juga penuh dengan teguran dan penyesalan. Mendengar pertanyaan ini, berubah wajah Kam Hong dan dia merasa jantungnya terguncang. Dia bangkit berdiri, lalu berjalan perlahan agak menjauh, berdiri termangu-mangu membelakangi batu di mana Ci Sian duduk memandangnya. Dara ini mengerutkan alisnya, penuh kekhawatiran, lalu ia pun turun dari atas batu, menghampiri suhengnya itu dan bertanya dengan suara lirih, akan tetapi dengan hati penuh ingin tahu, “Suheng, mengapakah?” Ketika Kam Hong membalik dan memandang sumoinya, wajahnya berubah agak pucat sehingga mengejutkan hati Ci Sian. Kam Hong lalu memegang kedua tangan sumoinya itu dan sejenak mereka berdiri berhadapan, dengan kedua tangan saling pegang, kedua mata saling pandang, tanpa berkata-kata. Akhirnya Kam Hong berkata, suaranya mengandung getaran aneh. “Sumoi, lihat baik-baik, pria macam apakah suhengmu ini?” Dan Ci Sian memandang. Seorang pria yang gagah perkasa dan ganteng menurut penglihatannya, tenang dan berwibawa, dengan sepasang mata yang mencorong tajam namun mengandung kelembutan. “Suhengku seorang pendekar yang gagah perkasa! Kenapa?” “Ingatkah engkau bahwa dulu, sebelum engkau menjadi sumoiku, engkau menyebutku paman?” “Habis, mengapa?” “Tahukah engkau berasa usiamu sekarang, Sumoi?” “Usiaku?” Ci Sian tersenyum, merasa bahwa suhengnya ini menanyakan hal yang aneh-aneh saja. “Kalau tidak salah, tahun ini usiaku hampir sembilan belas tahun. Mengapa?” “Dan aku hampir tiga puluh dua tahun!” kata Kam Hong, suaranya mengandung kesedihan. “Habis mengapa?” “Usia kita selisih tiga belas tahun!” “Lalu, mengapa?” Kam Hong meremas-remas jari tangan itu, tanpa disadarinya karena hatinya terguncang, “Sumoi, Sumoi.... tidak sadarkah engkau bahwa aku adalah seorang pria yang sudah tua?” Dan Ci Sian tertawa, tertawa geli sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya masih dipegang suhengnya. “Wah, dengar ini kakek tua renta mengeluh tentang usianya! Aduh kasihan....!” “Harap jangan memperolokku, Sumoi.” “Siapa mengolokmu? Engkau sendiri yang aneh-aneh, Suheng. Siapa bilang engkau sudah tua? Aku sama sekali tidak melihat engkau sebagai seorang pria yang tua.” “Dan engkau baru sembilan belas tahun, masih anak-anak!” “Suheng!” Ci Sian kini menarik semua tangannya dan memandang dengan alis berkerut. “Sekarang engkau yang memperolokku! Aku seorang kanak-kanak? Siapa bilang aku masih kanak-kanak? Aku berani melindungi Pangeran dari bahaya, aku berani menghadapi Im-kan Ngo-ok dengan taruhan nyawa, dan engkau mengatakan aku masih kanak-kanak? Suheng, apakah engkau hendak menghinaku?” “Maaf, Sumoi....!” Kam Hong berkata sambil menundukkan mukanya. “Bukan begitu maksudku, akan tetapi aku hendak mengatakan bahwa melihat perbedaan usia antara kita, aku.... terlalu tua untukmu, dan karena itulah.... tempo hari itu.... melihat bahwa engkau lebih tepat kalau berdekatan dengan Sim Hong Bu, dia sebaya denganmu, maka aku tidak mau menjadi batu penghalang, aku lalu menjauhkan diri....“ Ci Sian memandang bengong. “Tapi.... tapi.... ah, sungguh aku tidak mengerti, Suheng.... Mengapa demikian? Mengapa engkau meninggalkan aku dan apa artinya engkau mengatakan bahwa aku lebih tepat berdekatan dengan Hong Bu? Memang dia mencintaku, dia menyatakan bahwa dia jatuh cinta padaku, akan tetapi apakah hal itu mengharuskan aku mendekatkan diri dengannya? Aku tidak mencintanya Suheng. Aku.... lebih senang berada di sampingmu daripada di samping siapapun juga di dunia ini! Karena itu, jangan engkau bertega hati, jangan engkau menyiksaku, jangan lagi tinggalkan aku seorang diri.” “Ci Sian, tidak ada pertemuan yang tidak berakhir dengan perpisahan.” “Aku tidak ingin berpisah darimu, Suheng. Untuk selamanya!” “Tidak mungkin, pada suatu waktu engkau harus menikah dan kita harus saling berpisah.” “Aku tidak akan menikah dengan siapapun juga! Dan engkau jangan menikah, Suheng, kita takkan pernah berpisah lagi....“ Kam Hong memegang kedua tangan itu lag! dan sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, dengan hati yang tergetar aneh. Kam Hong lalu menggandeng tangan itu dan berkata, “Mari kita cari Sang Pangeran jangan sampai beliau tertimpa malapetaka....” “Tapi kau berjanji dulu tidak akan meninggalkan aku, Suheng.” “Aku berjanji.” “Sumpah?” “Sumpah!” Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan menunggang dua ekor kuda yang tadi dttunggangi Ci Sian dan Pangeran Mahkota. Suara derap kaki kuda mereka memecahkan kesunyian lereng bukit itu. “Suheng!” Ci Sian kini menarik semua tangannya dan memandang dengan alis berkerut. “Sekarang engkau yang memperolokku! Aku seorang kanak-kanak? Siapa bilang aku masih kanak-kanak? Aku berani melindungi Pangeran dari bahaya, aku berani menghadapi Im-kan Ngo-ok dengan taruhan nyawa, dan engkau mengatakan aku masih kanak-kanak? Suheng, apakah engkau hendak menghinaku?” “Maaf, Sumoi....!” Kam Hong berkata sambil menundukkan mukanya. “Bukan begitu maksudku, akan tetapi aku hendak mengatakan bahwa melihat perbedaan usia antara kita, aku.... terlalu tua untukmu, dan karena itulah.... tempo hari itu.... melihat bahwa engkau lebih tepat kalau berdekatan dengan Sim Hong Bu, dia sebaya denganmu, maka aku tidak mau menjadi batu penghalang, aku lalu menjauhkan diri....“ Ci Sian memandang bengong. “Tapi.... tapi.... ah, sungguh aku tidak mengerti, Suheng.... Mengapa demikian? Mengapa engkau meninggalkan aku dan apa artinya engkau mengatakan bahwa aku lebih tepat berdekatan dengan Hong Bu? Memang dia mencintaku, dia menyatakan bahwa dia jatuh cinta padaku, akan tetapi apakah hal itu mengharuskan aku mendekatkan diri dengannya? Aku tidak mencintanya Suheng. Aku.... lebih senang berada di sampingmu daripada di samping siapapun juga di dunia ini! Karena itu, jangan engkau bertega hati, jangan engkau menyiksaku, jangan lagi tinggalkan aku seorang diri.” “Ci Sian, tidak ada pertemuan yang tidak berakhir dengan perpisahan.” “Aku tidak ingin berpisah darimu, Suheng. Untuk selamanya!” “Tidak mungkin, pada suatu waktu engkau harus menikah dan kita harus saling berpisah.” “Aku tidak akan menikah dengan siapapun juga! Dan engkau jangan menikah, Suheng, kita takkan pernah berpisah lagi....“ Kam Hong memegang kedua tangan itu lag! dan sampai lama keduanya hanya berdirik saling pandang, dengan hati yang tergetar aneh. Kam Hong lalu menggandeng tangan itu dan berkata, “Mari kita cari Sang Pangeran jangan sampai beliau tertimpa malapetaka....” “Tapi kau berjanji dulu tidak akan meninggalkan aku, Suheng.” “Aku berjanji.” “Sumpah?” “Sumpah!” Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan menunggang dua ekor kuda yang tadi dttunggangi Ci Sian dan Pangeran Mahkota. Suara derap kaki kuda mereka memecahkan kesunyian lereng bukit itu. mereka ini. Dan dia pun perlu melakukan pendekatan, agar selain mengetahui keadaan mereka lahir batin, juga dia akan dapat bicara dengan mereka, terutama sekali para pemimpinnya. Jadi Cin-an, di Propinsi Shantung itu sarang mereka? Perjalanan ke Cin-an itu bukan dekat, akan tetapi di sepanjang perjalanan, tiga orang pendekar Siauw-lim-pai itu bersikap sopan dan baik. Diam-diam Sang Pangeran memperhatikan dan dia memperoleh kenyataan bahwa gerakan mereka yang menamakan dirinya para patriot Han itu belumlah meluas, yaitu belum memperoleh banyak dukungan rakyat. Buktinya, di sepanjang perjalanan mereka itu merahasiakan perjalanan itu dan tidak pernah mereka menghubungi rakyat yang membantu mereka. Namun, harus diketahui bahwa mereka itu bersikap hati-hati sekali dan agaknya banyaknya teman-teman mereka yang diam-diam menjadi penyelidik dan pelindung sehingga perjalanan kereta itu tidak pernah mendapat gangguan. Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, akhirnya kereta memasuki kota Cin-an di Propinsi Shantung, langsung memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup besar dan kuno. Kereta itu terus bergerak masuk ke belakang melalui jalan samping sehingga tidak nampak lagi dari depan. Sang Pangeran dipersilakan turun, lalu diiringkan memasuki rumah besar melalui pintu belakang. Ruangan di dalam rumah besar kuno itu luas sekali. Ketika Pangeran Kian Liong memasuki ruangan itu, dia memandang ke kanan kiri dengan penuh perhatian. Ruangan itu nampak sunyi karena tidak ada suara, akan tetapi ternyata di situ duduk banyak orang. Laki-laki dan wanita-wanita yang kelihatan penuh semangat dan gagah perkasa. Lima orang pendekar Siauw-lim-pai yang lain hadir pula di situ, jadi lengkap delapan orang dengan yang membawanya ke situ. Nampak pula beberapa orang hwesio, bahkan ada pula yang berpakaian seperti tosu. Akan tetapi yang terbanyak adalah pria-pria berpakaian seperti pendekar. Mereka duduk di atas bangku-bangku tidak teratur, akan tetapi semua menghadap kepada seorang laki-laki setengah tua yang usianya kira-kira lima puluh tahun namun masih nampak tampan dan gagah. Ada beberapa orang duduk di dekat pria ini, termasuk tiga orang wanita cantik setengah tua. Pangeran Kian Liong segera mengenal pria gagah ini, dan dia pun dipersilakan untuk duduk berhadapan dengan pria gagah yang agaknya menjadi pimpinan para patriot di tempat itu. Di antara orang-orang yang duduk di dekat pria gagah itu, nampak pula seorang pemuda yang kelihatan lebih gagah lagi, bersama seorang dara yang menggunakan pakaian pria sehingga nampaknya sebagai seorang pemuda yang amat tampan. Akan tetapi sekali pandang saja tahulah Sang Pangeran bahwa pemuda yang amat tampan itu adalah seorang gadis. “Ah, selamat datang, Pangeran!” kata pria tua yang gagah itu sambil bangkit berdiri memberi hormat, suaranya halus dan ramah, juga sikapnya menghormat. “Maafkan kalau kami membuat Paduka banyak kaget dan lelah, akan tetapi kami girang bahwa Paduka tiba di sini dalam keadaan sehat dan selamat.” Pangeran Kian Liong tersenyum, seperti biasa sikapnya tenang sekali dan yang mengagumkan para patriot adalah bahwa Pangeran ini biarpun masih amat muda, namun sikapnya seperti seorang dewasa yang menghadapi sekelompok anak nakal saja. “Silakan duduk, Pangeran,” kata pula pria tua gagah itu. “Terima kasih, Bu-taihiap,” jawab Sang Pangeran sambil duduk dan memandang ke sekeliling. Sedikitnya ada dua puluh lima orang di dalam ruangan yang luas itu, kesemuanya adalah orang-orang yang bersikap gagah. Diam-diam dia merasa amat sayang bahwa orang-orang gagah seperti ini sekarang berdiri berhadapan dengan dia sebagai orang-orang yang memusuhinya, atau setidaknya memusuhi kerajaan ayahnya. “Kalau boleh aku bertanya, mengapa dalam waktu singkat saja terjadi perubahan besar dan sikap Bu-taihiap menjadi berlawanan? Ketika aku hendak ditangkap Im-kan Ngo-ok, Bu-taihiap melindungiku, dan sekarang Bu-taihiap menawanku sebagai musuh. Apa artinya semua ini?” Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, tersenyum lebar dan kelihatan semakin ganteng biarpun usianya sudah setengah abad. “Tidak perlu diherankan, Pangeran, karena semua itu hanya menjadi akibat dari keadaan Pangeran dan Kaisar yang juga berlawanan. Kalau tempo hari kami menyelamatkan Paduka, hanyalah karena kami hendak menolong seorang pangeran yang bijaksana dari ancaman penjahat-penjahat macam Im-kan Ngo-ok. Dan kalau sekarang kami terpaksa menawan Paduka adalah karena kami adalah patriot-patriot dan Paduka adalah putera mahkota.” Pangeran muda itu mengangguk-angguk. “Aku dapat mengerti, Bu-taihiap. Lalu, setelah aku ditawan dan dibawa sini, apakah yang hendak kalian lakukan terhadap diriku?” “Tentu Paduka tidak mau menerima kalau kami mengatakan bahwa ayah Paduka, Sri Baginda Kaisar Yung Ceng, telah melakukan banyak sekali kejahatan dan kelaliman, bertindak sewenang-wenang terhadap para orang gagah?” “Aku maklum apa yang kaumaksudkan, akan tetapi bagaimanapun juga, pada waktu ini, aku hanya seorang Pangeran Mahkota dan seluruh kekuasaan mutlak berada di tangan Kaisar.” “Kaisar telah melakukan tindakan sewenang-wenang, bahkan baru-baru ini telah membasmi dan membakar biara Siauw-lim-si. Tentu Paduka mengetahuinya, bahkan juga Paduka menyaksikannya dan Paduka pula yang menyelamatkan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai.” “Aku sudah tahu akan semua itu. Lalu apa kehendakmu?” “Kaisar bukan seorang penguasa yang baik, dan menambah dendam dan sakit hati para pendekar yang sejak dahulu tidak rela membiarkan tanah air dan bangsa dicengkeram penjajah Mancu. Harap Paduka maafkan kalau kami bicara sejujurnya, karena Paduka adalah seorang yang juga memiliki kegagahan dan kebijaksanaan.” Pangeran Kian Liong kembali tersenyum, bukan tersenyum pahit, sama sekali tidak membayangkan perasaan sakit mendengar ucapan itu, melainkan tersenyum maklum akan “kenakalan” anak-anak di sekelilingnya. “Nanti dulu, Bu-taihiap. Yang dinamakan penjajah itu adalah kalau satu negara menjajah negara lain, satu bangsa menjajah bangsa lain. Akan tetapi kurasa bangsa Mancu tidak mempunyai negara lain kecuali di sini, dan bangsa Mancu sekarang pun sudah tidak ada dan menjadi satu dengan bangsa Han! Aku sendiri, sebagai Pangeran, sama sekali tidak merasa sebagai bangsa Mancu, tanah airku di sini dan negaraku juga di sini. Memang pada mulanya, bangsa Mancu yang merupakan bangsa Nomad itu menyerbu ke selatan dan karena kelemahan dan kesalahan bangsa Han sendirilah, yang tidak ada persatuan, sering berkelahi sendiri, dan Kaisar amat lemah, para pembesarnya tidak ada yang jujur dan setia, semua tukang korup, maka akhirnya bangsa Mancu menjatuhkan Kaisar yang berkuasa dan selanjutnya sampai sekarang memimpin bangsa Han untuk membangun negara. Akan tetapi aku bukan membela kerajaan Ayahku, sama sekali tidak, hanya bicara menurut kenyataan saja. Memang, Ayahku telah menyeleweng, menyerbu Siauw-lim-si dan semua itu dilakukan hanya karena urusan-urusan pribadi. Ayah telah menjadi lemah pula dan hal ini amat kusesalkan. Kalau aku menjadi kaisar, semua hal yang bengkok pasti akan kubikin lurus, dan niatku hanya ingin memajukan bangsa, membangun negara dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat jelata.” Semua patriot mendengarkan dengan alis berkerut. Mereka semua tahu bahwa Pangeran ini memang amat bijaksana dan andaikata Pangeran ini yang menjadi kaisar, agaknya keadaan pun akan berubah. Akan tetapi kenyataannya sekarang, Kaisar Yung Ceng telah menimbulkan dendam di hati para pendekar dan patriot. “Kami dapat percaya apa yang Paduka katakan, akan tetapi kenyataan sekarang ini amat pahit bagi kami, dan Paduka masih belum menjadi kaisar. Oleh karena itu, kami harus bertindak, dan tidak mungkin kami diam saja membiarkan Kaisar melakukan kelaliman sambil menanti Paduka menggantikannya.” “Hemm, Bu-taihiap, katakan saja. Apa yang hendak kalian lakukan kepadaku? Membunuhku? Aku tidak takut mati. Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku memberontak terhadap Ayah dan pemerintahku sendiri.” Bu Seng Kin tertawa. “Kami pun tidak begitu bodoh, Pangeran. Mana mungkin kami mengharapkan Paduka, seorang Pangeran Mancu, memberontak terhadap Kerajaan Mancu sendiri? Tidak, kami cukup menghargai sikap Paduka yang baik dan kami percaya bahwa Paduka akan menjadi kalsar yang paling bijaksana di antara semua Kaisar Mancu yang pernah ada.” “Lalu apa kehendak kalian sekarang?” “Kami tidak akan mengganggu Paduka, hanya untuk sementara ini terpaksa Paduka kami tahan dulu sebagai sandera. Dengan Paduka sebagai sandera, kami hendak mengajukan tuntutan kepada Sri Baginda Kaisar, dan sebelum tuntutan kami dipenuhi, Paduka tidak akan kami bebaskan.” Pangeran itu tetap saja bersikap tenang. “Apakah adanya tuntutan-tuntutan kalian, kalau boleh aku tahu?” “Tuntutan pertama, agar biara Siauw-lim-si yang telah dibakar itu dibangun kembali. Ke dua, agar semua pendekar Siauw-lim-pai dan para pendekar lain, patriot-patriot bangsa, tidak dikejar-kejar dan dibebaskan dari tuduhan memberontak. Ke tiga, agar bangsa Han diperlakukan sama rata dengan orang-orang Mancu dan ke empat, agar para pendekar diberi kebebasan untuk membawa senjata guna bekal dan perlindungan diri di waktu mengadakan perjalanan jauh.” Pangeran Kian Liong mengangguk-angguk. “Tuntutan yang cukup patut, hanya yang nomor dua itu harus ada pelaksanaan timbal-balik. Kalau para patriot tidak ingin dikejar dan dianggap memberontak tentu saja mereka jangan melakukan gerakan memberontak. Aku akan ikut membujuk Kaisar untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan kalian itu.” Semua patriot yang berkumpul di situ merasa lega dan girang. Kalau tuntutan-tuntutan mereka dipenuhi, tentu saja tidak ada alasan bagi mereka untuk memberontak. Pemberontakan bukanlah soal yang mudah. Untuk memberontak terhadap kerajaan yang demikian kuatnya, harus mempunyai ratusan ribu orang pasukan dan perlengkapan yang besar. Kalau hanya sekelompok pendekar saja, mana mungkin dapat melakukan pemberontakan? Demikianlah, mulai hari itu, Sang Pangeran diperlakukan sebagai seorang agung walaupun dia tidak mempunyai kebebasan dan menjadi tawanan. Siang malam dikawal dan dijaga, dan Bu-taihiap lalu mengirim utusan dan surat kepada Kaisar untuk menyampaikan tuntutannya. Tentu saja tempat di mana Pangeran ditahan itu amat dirahasiakan. Pemuda gagah perkasa dan gadis berpakaian pria yang duduk di dekat Bu-taihiap ketika Pangeran Mahkota dihadapkan itu adalah Sim Hong Bu dan Cu Pek In! Bagaimanakah kedua orang dari Lembah Suling Emas yang kini berubah nama menjadi Lembah Naga Siluman itu dapat tiba di tempat itu dan bergabung dengan para patriot? Untuk mengetahui hal ini, mari kita ikuti perjalanan pemuda Sim Hong Bu, pewaris dari ilmu mujijat keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Pemuda inilah satu-satunya orang yang mewarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang hebat, bahkan pedang pusaka itu pun kini berada di tangannya, lalu disembunyikan di balik bajunya yang panjang Seperti telah kita ketahui, Sim Hong Bu secara kebetulan bertemu dengan Ci Sian ketika dia muncul membantu dara itu menghadapi Hek-i Mo-ong yang amat lihai itu. Kemudian, karena diam-diam Kam Hong pergi, maka Ci Sian melakukan perjalanan bersama Sim Hong Bu. Akan tetapi, sebentar saja terjadi percekcokan ketika Ci Sian mendengar bahwa Sim Hong Bu yang mewakili Lembah Naga Siluman dan keluarga Cu, kalau bertemu dengan Kam Hong hendak menantang Kam Hong mengadu ilmu, yaitu mengadu Ilmu Padang Kim-siauw Kiam-sut melawan ilmunya, Koai-liong Kiam-sut, Mendengar ini, Ci Sian marah-marah dan menantang Hong Bu, bahkan lalu menyerangnya sehinga terjadi pertandingan seru di mana Hong Bu mengalah. Ci Sian meninggalkannya dan pemuda ini berduka sekali. Dia telah jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak perjumpaannya dahulu, beberapa tahun yang lalu ketika Ci Sian masih seorang dara kecil di pegunungan yang tertutup salju. Semenjak itu dia tidak pernah dapat melupakan Ci Sian, dan pertemuan terakhir ini menimbulkan kekaguman hebat melihat betapa dara itu telah menjadi seorang pendekar wanita. yang amat lihai. Kekaguman yang mempertebal cintanya dan yang membuatnya tanpa ragu-ragu lagi menyatakan cintanya kepada dara itu. Akan tetapi, dara itu agaknya membencinya! Karena dia adalah pewaris Koai-liong Po-kiam dan dia dianggap musuh besar dari Kam Hong, suheng dara itu, Hong Bu merasa sedih sekali. Perasaan duka delam hati seorang pemuda yang merasa ditolak cintanya memang amat menyiksa. Segala sesuatu tampak hampa dan hidup rasanya hambar. Kegembiraan lenyap dan yang ada hanya perasaan iba duka yang semakin besar. Dalam keadaan seperti ini, Hong Bu melanjutkan perjalanannya. Dia merasa seperti sebuah boneka hidup yang hidupnya hanya untuk melaksanakan tugas belaka. Tugasnya adalah pertama-tama, menyelamatkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam agar jangan sampai terampas oleh utusan Kaisar yang mencari dan mengejarnya sebagai buronan. Ke dua, dia harus mencari Kam Hong untuk mempertahankan nama keluarga Cu dan untuk menyatakan bahwa Ilmu Koai-liong Kiam-sut tidak kalah oleh Ilmu Kim-siauw Kiam-sut. Dan juga, dia harus menebus kekalahan para gurunya itu dari tangan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Pada suatu hari yang amat panas, lewat tengah hari, Hong Bu duduk beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Keteduhan di bawah sebatang pohon terasa nikmat sekali setelah dia tadi terpanggang di dalam terik matahari, membuatnya mengantuk. Akan tetapi dia tidak tidur, melainkan melamun. Terbayanglah di pelupuk matanya tentang perubahan dirinya dan keadaannya. Dahulu, ketika dia masih menjadi seorang pemburu biasa, tanpa ilmu yang tinggi, hanya seorang pemburu kasar biasa, kehidupannya selalu penuh dengan kegembiraan. Menyusuri jejak binatang saja sudah mendatangkan kegembiraan tersendiri. Lalu dalam keadaan berburu sudah mendatangkan ketegangan dan kegembiraan yang penuh harapan. Apalagi kalau dia berhasil merobohkan binatang buruannya, girangnya bukan main. Dilanjutkan dengan penjualan hasil buruan, juga mendatangkan kegembiraan tertentu. Dan sekarang? Sekarang jauh berbeda daripada dahulu. Dia kini bukan seorang pemburu kasar biasa lagi. Dia seorang ahli waris ilmu silat tinggi yang tiada keduanya di dunia. Dia telah menjadi seorang berilmu, seorang pendekar! Katakanlah dia telah maju! Akan tetapi bagaimana jadinya? Lenyaplah kegembiraan hidup seperti yang dirasakannya ketika dia masih menjadi seorang pemburu kasar dan bodoh. Kini dia menjadi seorang yang mempunyai banyak musuh! Lenyaplah semua kebahagiaan, Lenyaplah semua ketenteraman. Dia dikejar-kejar dan dibebani tugas berat. Dan lebih dari itu malah, dia berjumpa dengan Ci Sian hanya untuk patah hati! Sedih hatinya, dan orang yang berduka biasanya memang selalu mudah mengantuk. Dalam kedukaan, orang membuang dan menghamburkan banyak sekali kekuatan batin, maka mudah membuatnya mengantuk. Tanpa disadarinya, sambil bersandar batang pohon, Hong Bu pun tertidur. Kebanyakan dari kita saling berlumba untuk mengejar yang kita namakan KEMAJUAN. Semenjak masih kecil sekali, sejak duduk di kelas nol, kita didorong dan dibentuk oleh orang-orang tua kita dan oleh guru-guru kita untuk mencari kemajuan. Angka-angka di buku laporan sekolah menunjukkan apakah kita maju ataukah tidak, dan kemajuan selalu dianggap sebagai sesuatu yang amat baik, menjadi tujuan kita sejak kecil sehingga setelah kita dewasa, tak mungkin lagi kita terlepas dari kehausan akan apa yang kita namakan kemajuan itu. Apakah yang sesungguhnya yang kita namakan kemajuan? Dalam buku laporan sekolah, angka-angka kita menunjukkan bahwa kemajuan adalah apabila angka-angka kita lebih baik daripada yang sudah. Jadi kemajuan tampak setelah ada perbandingan. Sekarang kelas satu, lain tahun kelas dua, itu namanya maju. Sekarang berpenghasilan sepuluh rlbu rupiah sebulan, lain waktu dua puluh lima ribu rupiah, itu namanya kemajuan! Si A lebih maju daripada si B dan si C lebih maju lagi. Semua orang berlari, berlumba untuk mencapai apa yang kita namakan kemajuan. Jadi kemajuan adalah suatu keadaan yang kita anggap lebih baik daripada keadaan lain yang sudah ada. Bukankah demikian? Lebih dari itu. Kemajuan kita anggap sebagai sesuatu yang jauh lebih baik, lebih menyenang-kan, lebih enak, pendeknya lebih mendatangkan kesenangan dalam hati kita. Oleh karena itulah maka kita berlumba untuk mengejar kemajuan. Akan tetapi, benarkah demikian keadaannya? Benarkah kemajuan akan mendatangkan kesenangan dan kepuasan? Memang, tujuan yang tercapai mendatangkan kepuasan dan kesenangan, akan tetapi hanya sejenak saja. Penyakit yang sudah mendarah daging pada diri kita, yaitu mencari kemajuan, akan timbul pada saat kita telah mencapai sesuatu yang kita kejar-kejar itu, yaitu mencari kemajuan lain yang lebih menyenangkan daripada apa yang kita capai. Diberi sejengkal ingin sehasta, ingin sedepa, ingin yang lebih panjang lagi. Dan kita terseret ke dalam saluran keinginan untuk maju ini sampai kita masuk lubang kubur. Ini pun tidak menjadi soal kalau saja kita tidak melihat bahwa dalam pelaksanaan pengejaran suatu cita-cita, pengejaran ambisi, pengejaran sesuatu atau suatu keadaan yang kita inginkan, menimbulkan tindakan-tindakan yang kadang-kadang merupakan penyelewengan. Untuk dapat maju, kadang-kadang kita tidak segan untuk mendorong orang lain, untuk melangkahi orang lain, mendahului orang lain. Bahkan tidak jarang, untuk mencapai apa yang kita cita-citakan, apa yang menjadi tujuan kita, maka kita mempergunakan segala daya upaya, tidak peduli lagi apakah daya upaya itu benar ataukah tidak. Maka, dapatlah kita lihat keadaan di sekeliling kita. Mengejar “kemajuan dalam harta” menimbulkan korupsi, penyelundupan, perdagangan morphin dan sejenisnya, perdagangan gelap, pencopetan dan banyak lagi pekerjaan kotor lain. Pengejaran “kemajuan dalam kedudukan” menimbulkan perebutan kekuasaan yang menyeret orang banyak ke dalam permusuhan, jegal-menjegal, bahkan dapat memuncak sampai berbunuh-bunuhan. Mengapa kita harus mengejar kemajuan? Sampai di manakah batas kemajuan itu? Kalau kita mempelajari sesuatu, kalau kita mengerjakan sesuatu, mengapa harus ada dorongan untuk memperoleh kemajuan? Apakah untuk memperoleh hasil baik dalam sesuatu yang kita kerjakan itu harus didasari hasrat untuk maju? Ke manakah minat dan rasa cinta kita kepada apa yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan? Dengan minat dan rasa cinta, maka pikiran untuk memperoleh kemajuan tidak dipedulikan lagi! Si A dan si B berdagang kuih yang mereka buat sendiri. Usaha mereka serupa, dengan modal yang sama. Si A membuat kuih dengan penuh minat dan penuh rasa cinta kepada pekerjaannya. Si B membuat kuih dengan penuh keinginan untuk memperoleh “kemajuan” yang dalam hal ini tentu saja agar banyak laku dan banyak untung, terutama sekali banyak untung dan lekas memperoleh hasil besar. Siapakah di antara mereka yang akan menghasilkan kuih yang baik? Si A tentu saja. Minatnya dan rasa cintanya terhadap pekerjaannya akan membuat dia melakukan pekerjaannya, membuat kuih dengan tekun, sebaik mungkin, selezat mungkin atau dalam istilah dagangannya, menjaga mutu yang utama, sedangkan soal keuntungan tidak membuat dia buta. Sebaliknya si B yang ingin lekas mendapatkan hasil banyak, mungkin saja mengurangi gulanya, mengurangi mutu bahannya, agar kalkulasi lebih rendah, agar untung lebih banyak, dan tentu saja dia akan membuat secepat dan sebanyak mungkin. Nah, jelas nampak perbedaan antara perbuatannya yang didorong oleh keinginan maju dan pekerjaan atau perbuatan yang didorong oleh minat dan cinta terhadap apa yang dilakukannya. Mengapa kita tidak menanamkan cinta ini kepada anak-anak, agar mereka itu mencintai apapun yang mereka lakukan atau kerjakan? Mengapa selalu mengiming-imingi mereka dengan pujian, kemajuan, lebih pintar daripada anak lain, lebih menang daripada anak lain? Mengapa menanamkan benih persaingan dan, ingin selalu paling tinggi dalam batin mereka yang masih bersih dan murni itu? Hong Bu yang tertidur pulas di bawah pohon menjadi terkejut, seolah-olah ada yang menggugahnya. Dia terkejut oleh kenyataan bahwa dia tertidur tanpa disadarinya itu, suatu hal yang amat tidak baik bagi seorang ahli silat, apalagi kalau di mana-mana terdapat musuh dan bahaya. Dia pun meloncat dan memandang ke kanan kiri. Tiba-tiba telinganya mendengar suara beradunya senjata. Ada orang-orang sedang berkelahi, pikirnya. Cepat dia pun menyambar bungkusan pakaiannya dan larilah dia ke arah suara itu, suara orang-orang berkelahi, di dalam hutan. Ketika dia tiba di tempat itu, dia semakin terkejut mengenal seorang pemuda yang amat tampan sedang dikeroyok oleh belasan orang yang dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang daun telinga sebelah kirinya buntung. Tentu saja dia mengenal pemuda tampan itu yang bukan lain adalah Cu Pek In! Dia terheran mengapa Cu Pek In dapat berada di tempat itu, padahal jaraknya dari lembah di mana dara itu tinggal terpisah ribuan lie jauhnya. Cu Pek In menggunakan sebatang pedang untuk melawan. Semenjak lembah itu meninggalkan nama Lembah Suling Emas dan berganti nama menjadi Lembah Naga Siluman, Cu Pek In juga tidak lagi mau mempergunakan suling emas untuk senjata. Ia sudah mengganti suling emasnya dengan sebatang pedang yang baik karena memang di lembah itu banyak terdapat senjata yang baik, dan ia tidak kaku memainkan pedang karena selain sejak kecil Pek In menerima gemblengan ayahnya sendiri dengan berbagai macam ilmu silat dengan senjata apapun, juga gerakan sulingnya sesungguhnya merupakan gerakan pedang pula. Akan tetapi, belasan laki-laki yang mengeroyok Pek In itu adalah orang-orang kasar yang semua memiliki kepandaian lumayan dan tenaga besar. Terutama sekali pemimpin mereka yang buntung daun telinga kirinya itu, sungguh merupakan lawan yang tangguh. Dara yang berpakaian pria itu mulai terdesak dan terkurung rapat. dan karena Si Telinga Buntung itu memainkan sepasang goloknya dengan hebat, maka Pek In tidak diberi kesempatan lagi untuk merobohkan anak buahnya, melainkan terpaksa memutar pedang hanya untuk melindungi tubuh dari hujan serangan senjata para pengeroyoknya itu. Melihat sumoinya terdesak dan terancam bahaya, apalagi melihat Si Telinga Buntung itu lihai sekali, Hong Bu menjadi marah. Cepat dia mencabut Koai-liong-kiam yang tersembunyi di balik jubahnya dan sekali dia meloncat dan menggerakkan senjata pusakanya, nampak sinar biru yang menyilaukan mata dan biarpun, kepala perampok telinga buntung itu berusaha memapakinya dengan sepasang goloknya, seketika goloknya itu terbabat putus dan sinar biru yang menyambar itu menembus lehernya. Sinar itu terus menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat saja, robohnya kepala rampok yang lehernya tertembus sinar pedang itu disusul oleh enam orang anak buahnya. Melihat ini, sisa para perampok menjatuhkan diri berlutut dan minta-minta ampun. Akan tetapi Pek In mengamuk dan merobohkan mereka semua. Hong Bu cepat mencegahnya, akan tetapi dalam amukannya, dara itu telah membunuh lima orang, dan hanya ada empat orang lagi saja yang sempat diselamatkan Hong Bu dan mereka hanya mengalami luka-luka oleh pedang Pek In! Setelah semua perampok roboh, barulah Pek In membalik dan menghadapi Hong Bu. Mereka berdiri saling berpandangan, dan kemudian terdengar Pek In terisak menangis. “Suheng, kau.... kau kejam sekali.... uhu-hu-huuuuh....“ Hong Bu memandang heran. Baru saja dia hendak menegur dan mengatakan betapa kejamnya sumoinya hendak membunuh lawan yang sudah mengaku kalah dan minta ampun, malah didahului oleh dara itu yang menangis dan mengatakannya kejam sekali! “Sumoi, apa maksudmu mengatakan aku kejam?” Mendengar pertanyaan ini, Pek In menangis semakin terisak-isak. Hong Bu yang melihat betapa empat orang anggauta perampok yang belum tewas, hanya terluka itu, mengerang kesakitan akan tetapi juga dapat mendengar percakapan mereka, lalu menggandeng tangan Pek In dan dara itu ditariknya pergi dari situ. “Mari kita bicara di tempat lain, Sumoi....” katanya. Pek In masih menangis dan membiarkan dirinya digandeng dan dibawa ke tempat lain, agak jauh dari tempat para perampok menggeletak itu. “Nah, katakanlah mengapa aku kejam?” “Suheng.... kau.... pergi begitu saja meninggalkan aku.... hu-huuuuh, aku telah mencari-carimu setengah mati, berbulan-bulan lamanya.... sampai aku hampir putus harapan.... hu-hu-hu.... kenapa engkau begitu kejam meninggalkan aku....?” Melihat dara yang biasanya amat tabah dan belum pernah dilihatnya menangis itu kini sesenggukan, Hong Bu merasa kasihan juga. Dara ini ditinggal ayahnya yang mengasingkan diri sebagai pertapa, dan dia tahu bahwa dara ini amat dekat dengan dia, maka setelah dia pergi, memang seolah-olah Pek In hidup sendirian saja di lembah yang sunyi itu. Karena merasa kasihan, maka dia lalu merangkul gadis itu dan mengelus rambutnya. Merasa betapa pemuda itu merangkul dan mengelus rambutnya, Pek In menangis makin keras dan ia pun balas merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada pemuda itu. “Suheng.... aku cinta padamu, Suheng.... aku tidak mau terpisah darimu lagi.... lebih baik aku mati saja daripada harus berjauhan darimu....“ Bukan main kagetnya hati Hong Bu mendengar ini. Memang dia tahu bahwa gadis ini mencintanya, akan tetapi kalau gadis ini akan terus bersamanya, tidak mungkin pula, dia mencinta Ci Sian, bukan gadis ini. Akan tetapi dengan halus dia melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya perlahan dan sambil memegang kedua pundak itu dengan lengan diluruskan, dia memandang wajah yang manis dan basah air mata itu. Gadis ini masih terisak, sesenggukan. “Sumoi, dengarlah baik-baik. Bukan aku tidak suka kalau engkau ikut denganku, akan tetapi engkau tentu tahu bahwa aku mempunyai tugas yang luar biasa beratnya dan berbahayanya. Pertama, aku menjadi orang buruan dan dikejar-kejar oleh utusan Kaisar yang amat sakti. Engkau sendiri tahu betapa ayahmu dan Susiok Cu Seng Bu yang demikian saktinya, tidak mampu menandingi Pendekar Sakti Gurun Pasir. Dan aku dicari oleh pendekar itu dan isterinya dan puteranya, jenderal muda yang juga amat lihai. Ke dua, aku harus menebus kekalahan para guru dari Naga Sakti Gurun Pasir, tugas yang amat berat dan berbahaya. Ke tiga, aku harus menebus kekalahan Suhu dari Suling Emas Kam Hong. Nah, bagaimana engkau dapat ikut denganku? Membela diri sendiri saja sudah amat berat bagiku, apalagi harus melindungi engkau?” “Aku tidak akan mengganggumu, Suheng. Engkau tidak perlu melindungi aku, karena aku dapat membela diri sendiri. Kalau perlu, jangan kaucari mereka, pendeknya, terserah apa saja yang hendak kaulakukan, tapi aku tidak mau kautinggal lagi, tidak mau aku berpisah darimu.” “Tapi, Sumoi, Suhu akan marah kepadaku. Engkau harus kembali ke lembah Sumoi. Aku berjanji, kalau sudah selesai semua urusan dan tugasku, aku pasti akan kembali ke sana....” “Tidak, aku tidak mau kembali ke tempat yang sunyi itu. Aku bisa mati kesepian di sana, tanpa engkau. Aku ingin mati hidup bersamamu, Suheng.” “Ahh....!” Hong Bu menjadi bingung sekali. Dia tahu bahwa Pek In adalah seorang gadis yang keras hati dan yang sejak kecil terlalu dimanja oleh ayahnya sehingga apapun yang diinginkannya, harus terlaksana! Kalau dia menolak, tentu Pek In akan marah dan sukar dibayangkan apa yang akan dilakukan oleh gadis yang keras hati ini. Dia lalu berjalan pergi dari situ dengan muka tunduk, maklum bahwa gadis itu mengikutinya dari belakang. Sampai lama mereka berjalan tanpa berkata-kata. Akhirnya Pek In mempercepat langkahnya berjalan di samping suhengnya dan menyentuh lengan suhengnya itu. “Suheng, apakah engkau marah kepadaku?” tanyanya sambil memandeng wajah yang tampan itu. “Hemm....? Tidak marah, aku hanya bingung, Sumoi.” “Suheng, kaumaafkanlah diriku kalau aku menyusahkan dan membingungkan hatimu. Akan tetapi sungguh mati, aku tidak dapat berpisah darimu, Suheng. Aku.... aku cinta padamu dan lebih baik aku mati saja daripada harus kautinggalkan....” Hong Bu menarik napas panjang. Sejenak ia menatap wajah itu. Wajah yang manis. Seorang gadis yang baik dan gagah perkasa keturunan pendekar. Alangkah mudahnya baginya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti ini, kalau saja dia tidak lebih dulu tergila-gila kepada Ci Sian. Bagi seorang pemburu sederhana seperti dia, Pek In merupakan dara yang sudah terlampau baik. Akan tetapi, apa hendak dikata, dia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Ci Sian, dan tidak mungkin agaknya untuk melupakan Ci Sian dan menengok kepada gadis lain, walaupun dia masih merasa perih hatinya melihat Ci Sian tidak membalas cintanya, bahkan memusuhinya! “Ahhh, betapa penuh derita hidup ini,” pikirnya, “Dara yang dicintanya malah memusuhinya, dan dara yang mencintanya tak mungkin dibalasnya.” Demikianlah, dengan terpaksa sekali Hong Bu melakukan perjalanan bersama Pek In. Dia masih bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian dia teringat bahwa mereka berada dekat dengan kota Cin-an di mana menurut berita yang didengarnya terdapat sarang pendekar patriot. Memang sejak lama Hong Bu telah merasa setia kawan dengan para pendekar patriot, terutama sekali setelah terjadi pembakaran biara Siauw-lim-si. Memang tadinya dia sudah mempunyai keinginan untuk singgah di Cin-an dan mengunjungi pusat perkumpulannya para pendekar patriot itu. Kini setelah Pek In ikut bersamanya, timbul pikirannya bahwa sebaiknya kalau dia mengajak gadis itu ke pusat para pendekar. Siapa tahu Pek In yang berwatak pendekar itu akan tertarik hatinya dan kalau saja dia bisa menitipkan Pek In untuk sementara di tempat itu, bersama dengan para pendekar patriot, maka selain dia sendiri tidak dibebani berat untuk melindunginya, juga mungkin gadis itu mau ditinggalkannya. Orang seperti Pek In harus diberi kesibukan yang mengasyikkan dan menyenangkan hatinya. Demikianlah, Hong Bu lalu mengajak sumoinya melanjutkan perjalanan menuju ke Cin-an. Akan tetapi karena mereka memasuki kota Cin-an setelah lewat senja, maka Hong Bu merasa tidak enak untuk langsung mencari dan mengunjungi para pendekar. Maka dia lalu mencari penginapan dan menyewa dua buah kamar yang berdampingan untuk melewatkan malam itu. “Suheng, engkau sengaja menuju ke kota ini, hendak mencari siapakah?” Pek In bertanya setelah mereka makan malam dan duduk di ruangan dalam, tak jauh dari kamar mereka. Melihat di kanan kiri tidak ada orang Hong Bu lalu menjawab sambil berbisik, “Sumoi, selama engkau meninggalkan lembah, di dalam perantauanmu, apakah engkau mendengar tentang para pendekar patriot yang mulai bergerak karena penekanan Kaisar?” Pek In mengangguk. “Aku pernah mendengar tentang dibakarnya biara Siauw-lim-si, Suheng. Mereka itukah yang kaumaksudkan?” Hong Bu mengangguk. “Mereka dan banyak orang lagi yang merasa tidak suka melihat kelaliman Kaisar dan tidak suka melihat penjajahan bangsa Mancu atas bangsa kita. Apakah engkau tidak tertarik?” Pek In mengangguk “Memang mereka itu hebat dan gagah sekali, Suheng. Akan tetapi apa hubungannya dengan kita?” “Memang tidak ada hubungannya secara langsung, Sumoi. Akan tetapi apakah kita juga harus diam saja menyaksikan kelaliman Kaisar itu? Bayangkan saja. Para pendeta di Siauw-lim-si, para pendekar Siauw-lim-pai yang terkenal gagah perkasa itu, yang selalu membela kaum lemah tertindas dan menentang mereka yang jahat sewenang-wenang, dibasmi dan biaranya dibakar. Entah berapa banyaknya pendekar gagah perkasa yang tidak berdosa dibunuh, dibantai oleh pasukan besar. Bukankah kita ini juga merasa sebagai pendekar, Sumoi?” “Lalu apa yang hendak kaulakukan, Suheng?” “Aku ingin menemui mereka, ingin berkenalan dengan orang-orang gagah itu.” “Baik sekali! Di mana? Di sini?” Hong Bu mengangguk. “Ya, aku mendengar bahwa mereka berkumpul di Cin-an ini, dan aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Kabarnya, aku mendengar dari seorang pendekar yang hidup sebagai nelayan sungai yang kulalui, mereka itu berkumpul di sebuah rumah kuno yang disebut Gedung Mawar Kuning. Kiraku tidak sukar mencari rumah dengan nama seperti itu.” “Baik, aku ikut, Suheng. Aku pun senang sekali kalau dapat berkenalan dengan mereka, dan....“ Tiba-tiba Hong Bu mengeluarkan bunyi “Ssttt....!” dan memberi tanda agar Sumoinya tidak bicara lagi. Seorang pelayan rumah penginapan membawa lentera mengantar masuk tiga orang tamu baru yang agaknya baru tiba di malam itu. Karena mereka diberi kamar agak ke belakang, maka mereka itu melewati kamar-kamar Hong Bu dan Pek In ketika diantar oleh pelayan ke kamar mereka di belakang. Diam-diam Hong Bu memperhatikan mereka, juga Pek In dan wajah Pek In berubah pucat sekali, lalu gadis ini menundukkan mukanya, atau lebih tepat menyembunyikan mukanya dan memutar tubuh membelakangi tamu-tamu itu. Hong Bu memandang dengan penuh perhatian dan jantungnya berdebar tegang. Dia tidak mengenal mereka itu, akan tetapi mereka segera dapat menduga siapa adanya pria setengah tua gagah perkasa yang buntung sebelah lengannya itu! Ciri khas dari Pendekar Sakti Gurun Pasir! Kalau saja orang ini tidak datang bersama seorang wanita setengah tua yang cantik jelita dan gagah dan seorang pemuda yang ganteng sekali, juga amat gagah, tentu dia dapat menduga bahwa mungkin saja orang itu bukan Si Pendekar Buntung Lengan. Akan tetapi, melihat dua orang teman Si Buntung itu, hatinya tidak ragu-ragu lagi. Siapa lagi kalau bukan Naga Sakti Gurun Pasir dan anak isterinya yang lihai itu? Akan tetapi tiga orang itu agaknya tidak mempedulikan dia, juga tidak melihat kepada Pek In yang sudah membuang muka. Setelah mereka itu lewat dan memasuki tikungan, barulah Pek In memegang lengan Hong Bu dan berbisik, “itu mereka....” Hong Bu mengangguk dan memberi isyarat kepada sumoinya untuk memasuki kamar sumoinya. Setibanya di dalam kamar, Hong Bu berkata, “Aku mengenal mereka. Tentu inilah Naga Sakti Gurun Pasir dan anak isterinya, bukan?” “Benar! Apakah mereka melihatku, Suheng? Mereka tentu mengenalku.” “Agaknya mereka tidak menoleh kepadamu, akan tetapi siapa tahu? Mereka adalah orang-orang sakti, dan kedatangannya di rumah penginapan ini sungguh suatu hal yang terlalu kebetulan. Mereka mencari-cariku, kenapa kebetulan mereka datang ke rumah penginapan di mana aku berada? Sumoi, kita harus pergi sekarang jugal” “Tidak, aku tidak takut!” Pek In berseru dan mengepal tinju. “Aku tidak sudi melarikan diri!” “Bukan melarikan diri karena takut, Sumoi melainkan....” “Apa....?” “Sudahlah,” Hong Bu tidak mau mengatakan bahwa dia terpaksa melarikan diri karena dia berada bersama Pek In. Betapapun lihainya Pek In, gadis ini sama sekali bukan tandingan para pendekar sakti itu dan kalau harus melindungi gadis itu, tentu dia tidak akan dapat bergerak leluasa. “Sumoi, bukankah engkau ingin ikut denganku?” “Benar....” dan wajah yang manis itu kembali nampak khawatir. “Jangan.... tinggalkan aku, Suheng!” “Nah, aku mau pergi sekarang. Engkau ikut ataukah tidak?” Setelah berkata demikian, Hong Bu meninggalkan gadis itu, memasuki kamarnya dan mengambil buntalan pakaiannya. Pek In tidak menjawab, akan tetapi tahu-tahu ia telah mengikuti pemuda itu dan sudah membawa pula buntalan pakaiannya. Wajahnya cemberut, akan tetapi masih manis. Setelah mereka meninggalkan rumah penginapan itu melalui jalan jendela dan melakukan perjalanan cepat, Pek In mengomel, “Sungguh memalukan sekali kalau kita harus melarikan diri dari mereka.” “Sumoi, seorang pendekar bukan saja harus berani dan gagah perkasa, akan tetapi juga harus cerdik. Aku bukan takut kepada mereka, akan tetapi kita harus cerdik. Mereka bertiga itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi sekali. Sebaiknya kalau kita lebih dulu menemui para pendekar patriot yang tentu tidak bersahabat dengan mereka, mengingat mereka itu adalah kaki tangan Kaisar.” “Huh, jadi engkau hendak mencari teman?” “Bukan, hanya hendak mengimbangi mereka kalau-kalau mereka maju mengeroyok.” Pek In memandang dengan tajam. “Aih, bagaimana engkau dapat menduga serendah itu kepada Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir? Dia dan anak isterinya mendatangi lembah bertiga saja, sama sekali tidak takut akan dikeroyok, karena mereka percaya bahwa seorang pendekar tidak nanti akan berlaku curang! Dan aku pun percaya bahwa Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bukanlah orang yang curang!” Hong Bu hanya tersenyum. Tetap saja dia tidak mau mengatakan bahwa tindakannya itu bukan sekali-kali karena takut, melainkan karena dia harus menyelamatkan pedang, jangan sampai terampas utusan Kaisar. Pula, dia pun harus melindungi Pek In. Bagaimana mungkin dia sekaligus melindungi pedang dan Pek In? Kecuali kalau Pek In sudah berada di tempat aman, misalnya di antara para pendekar patriot itu barulah dia akan merasa lega dan mungkin saja dia malah akan menantang siapa yang berhak memiliki pedang pusaka juga menebus kekalahan gurunya. Tidak sukar bagi mereka untuk mencari Gedung Mawar Kuning itu. Setiap orang tahu di mana adanya gedung tua itu yang kini menjadi sebuah perkumpulan silat yang bernama perguruan silat Kim-jiauw-eng (Garuda Kuku Emas). Memang gedung ini pernah menjadi pusat perguruan silat yang masih merupakan cabang dari Siauw-lim-pai itu. Gurunya adalah seorang she Ciong yang pernah menjadi murid Siauw-lim-pai dan memang Ilmu Silat Kim-jiauw-eng yang diajarkannya itu masih bersumber pada ilmu silat Siauw-lim-pai. Karena itulah, maka ketika ada pergerakan para pendekar patriot, gedung tua yang besar ini dipilih menjadi pusat tempat pertemuan mereka. Gedung itu dikurung pagar tembok yang tingginya hampir tiga meter. Akan tetapi bukan merupakan penghalang yang sulit bagi Hong Bu dan Pek In. Mereka meloncat ke atas pagar tembok itu dan melayang ke sebelah dalam. Akan tetapi begitu kedua kaki mereka turun ke atas tanah, terlihat berkelebatnya bayangan banyak orang dan tahu-tahu mereka telah dikepung oleh belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi! Kiranya gerak-gerik mereka sejak mendekati gedung sampai ketika mereka berdua melompat ke atas pagar tembok telah diketahui oleh para penjaga dan hal ini saja menunjukkan betapa kuatnya penjagaan para pendekar di ternpat itu! “Kami bukan musuh!” Hong Bu cepat berkata sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Kami adalah sahabat-sahabat yang ingin bertemu dengan pimpinan para Enghiong di sini!” Tentu saja ucapan itu tidak bisa diterima begitu saja. Dua orang ini masuk secara gelap bukan melalui pintu sebagai tamu, mana bisa mereka mempercayai keterangan itu? Pula, keadaan para pendekar patriot di situ merupakan rahasia, tidak ada yang tahu bahwa tempat itu menjadi sarang mereka. Maka, orang yang datang dan tahu akan hal itu, sungguh merupakan orang yang patut dicurigai. “Siapa engkau?” bentak seorang di antara mereka. “Namaku Sim Hong Bu, dan ini adalah Cu Pek In....” “Aihh, kiranya benar Pek In....!” Tiba-tiba terdengar seruan suara wanita dan seorang wanita berkelebat datang dan berdiri di depan Pek In. Tempat itu mendapat penerangan dari obor yang dibawa datang seorang pendekar sehingga mereka dapat saling memandang. Kini Hong Bu dan Pek In segera mengenal wajah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu. Melihat bibinya, Pek In cepat memberi hormat, diturut pula oleh Hong Bu. “Dan ini Hong Bu malah! Ah, masuklah. Kawan-kawan, mereka ini adalah keponakan-keponakanku sendiri!” Hong Bu dan Pek In merasa terheran-heran melihat bahwa bibi mereka berada di tempat itu, akan tetapi keheranan mereka lenyap ketika mereka dihadapkan dengan pimpinan para pendekar itu yang ternyata adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap! Biarpun di dalam hatinya ada rasa tidak senang, namun Pek In dapat mengerti mengapa bibinya berada di situ. Kiranya bibinya ini telah menyusul bekas kekasihnya, si pendekar perayu wanita itu yang sekarang telah menjadi pimpinan para pendekar patriot! Bu-taihiap girang bukan main menerima Hong Bu dan Pek In. Dia sudah mendengar dari isterinya, yaitu Tang Cun Ciu tentang diri pemuda ini yang katanya merupakan pewaris pedang Koai-liong Po-kiam berikut Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang tiada tandingannya di dunia ini! Maka pemuda itu merupakan tenaga yang amat boleh diandalkan, dan juga dia sudah mendengar tentang Cu Pek In, puteri tunggal dari penghuni Lembah Suling Emas yang kini menjadi Lembah Naga Siluman itu. “Selamat datang, Sim Hong Bu! Aku sudah banyak mendengar tentang kelihaianmu dari bibi gurumu. Dan engkau, Cu Pek In. Ayahmu adalah seorang sahabatku yang amat baik!” Cu Pek In dan Sim Hong Bu memberi hormat, biarpun di dalam hatinya Cu Pek In memaki laki-laki ganteng ini, karena laki-laki inilah yang merayu hati Tang Cun Ciu, isteri dari toapeknya sehingga toapeknya itu meninggal dunia karena duka! Dan kini, dengan tak tahu malu sekali isteri toapeknya itu malah menyusul kekasihnya! Biarpun mereka itu kini menjadi pimpinan pendekar patriot, tetap saja baginya mereka mempunyai perbuatan-perbuatan yang serba busuk!itulah sebabnya mengapa Pangeran Kian Liong yang menjadi tawanan itu melihat adanya pemuda perkasa dan gadis berpakaian pria yang bukan lain adalah Sim Hong Bu dan Cu Pek In di antara para pendekar patriot, duduk di dekat Bu-taihiap dan tiga orang isterinya yang merupakan puncak pimpinan para patriot itu. Tentu saja Cu Pek In tidak salah mengenal orang, dan juga dugaan Sim Hong Bu adalah benar bahwa tiga orang yang memasuki rumah penginapan itu adalah keluarga Kao. Pria gagah perkasa yang lengannya buntung itu memang adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu bersama isterinya, Jenderal Muda Kao Cin Liong. Seperti telah kita ketahui, Jenderal Muda Kao Cin Liong diperintah oleh Kaisar sendiri untuk mencari dan merampas kembali sampai berhasil pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang lenyap dari istana. Untuk nenghadapi tugas yang amat sukar dan berat ini, Kao Kok Cu dan isterinya yang kebetulan sedang mengunjungi putera mereka, segera turun tangan dan membantu putera mereka. Bertiga, keluarga sakti ini telah mendatangi Lembah Suling Emas atau yang telah berganti nama baru Lembah Naga Siluman. Dengan gagah perkasa tiga orang ini menyerbu lembah itu, mengalahkan keluarga Cu yang sakti sehingga mengakibatkan dua orang sakti, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, terpaksa mengundurkan diri. Akan tetapi, kemenangan atas diri kedua orang tokoh keluarga Cu yang sakti ini, bukan berarti pedang pusaka itu dapat mereka rebut kembali. Pedang itu menurut keterangan pihak keluarga Cu yang kalah itu, berada di tangan murid mereka yang merupakan ahli waris pedang dan ilmu itu, adalah Sim Hong Bu. Demikianlah, keluarga Kao yang gagah perkasa itu melanjutkan usaha atau tugas mereka, yaitu mencari pedang pusaka yang dibawa pergi pemuda yang bernama Sim Hong Bu. Kemudian, dalam perjalanan mereka, keluarga Kao ini mendengar tentang geger yang dihebohkan oleh tindakan Kaisar terhadap Siauw-lim-lim-si, yaitu pembakaran biara atau Kuil Siauw-lim-si dan menewaskan banyak sekali murid-murid Siauw-lim-pai. Tentu saja, seperti para pendekar di dunia kang-ouw, berita ini amat mengejutkan hati mereka dan menimbulkan perasaan tidak senang dan tidak puas. Semenjak dahulu, keluarga ini memandang tinggi nama Siauw-lim-pai dan tahu bahwa partai persilatan ini adalah partai yang bersih dan terhormat, yang mempunyai banyak pendekar sakti yang gagah perkasa. Dan kini Kaisar telah bertindak dengan kejam, menggunakan pasukan besar untuk membunuh banyak murid Siauw-lim-pai, berusaha membasmi partai ini bahkan telah membakar habis biara Siauw-lim-si. Kao Cin Liong sendiri marah-marah mendengar berita itu. “Sungguh terlalu!” katanya ketika mereka mendengar berita itu. “Kalau sikap Sri Baginda Kaisar seperti ini dan kelaliman ini dilanjutkan, alangkah rendahnya kalau aku menghambakan diri kepada seorang lalim! Lebih baik aku meletakkan jabatanku dan bersahabat dengan para pendekar Siauw-lim-pai yang tertimpa malapetaka!” “Memang amat menggemaskan! Apalagi kalau diingat bahwa Sri Baginda Kaisar sendiri pernah menjadi murid Siauw-lim-pai! Perbuatan seorang murid yang sungguh keji dan murtad!” kata pula ibunya yang memang sejak muda memiliki watak keras akan tetapi jujur dan adil. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir menarik napas panjang. Dia adalah seorang pendekar yang sudah matang, tidak mudah dipengaruhi oleh segala macam keadaan, dan tidak lagi membiarkan diri diseret nafsu perasaan. “Apapun juga alasannya, perbuatan Kaisar memang tidak patut, dan juga bukan merupakan perbuatan yang baik dan menguntungkan pemerintah. Akan tetapi, Cin Liong, harus selalu kauingat bahwa engkau adalah seorang pendekar, kau harus selalu dapat menjaga nama dan memenuhi tugasmu dengan baik. Tugasmu saat ini adalah mencari dan merebut kembali pedang pusaka kerajaan, dan bukan watak seorang pendekar untuk meninggalkan tugas yang belum dilaksanakan sampai berhasil.” Cin Liong mengangguk-angguk. “Saya mengerti, Ayah. Saya akan terus mencari Sim Hong Bu dan adapun hasilnya, saya harus dapat mencari dia, setelah bertemu dan bicara dengan dia tentang pedang itu, baru saya akan kembali dan melapor kepada Sri Baginda Kaisar tentang pelaksanaan tugas ini. Setelah itu, baru saya akan mengundurkan diri meletakkan jabatan. Pangeran Mahkota Kian Liong adalah seorang yang amat bijaksana. Menurut berita yang kita dengar, beliau malah membebaskan dan menyelamatkan sisa murid-murid Siauw-lim-pai sebanyak delapan orang, Pangeran ini tahu mana yang benar dan mana yang salah. Oleh karena itu, biarlah saya menanti sampai kelak Pangeran Kian Liong yang menjadi kaisar, baru saya akan menawarkan tenaga saya untuk mengabdikan diri.” Ayah dan ibunya menyatakan persetujuan mereka dan ketiga orang gagah ini pun melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi, mereka terkejut bukan main ketika mendengar lagi berita angin dari para pendekar di kang-ouw bahwa Sang Pangeran Mahkota telah lenyap dan sedang dicari oleh orang-orang gagah berbagai golongan. Tentu saja mereka, terutama sekali Cin Liong yang masih bertugas sebagai seorang jenderal, apalagi yang menjadi sahabat baik Pangeran Kian Liong, merasa gelisah bukan main. “Ah, biarpun ini merupakan tugas yang tidak langsung menjadi perintah Kaisar akan tetapi mencari dan menyelamatkan Sang Pangeran tidak kalah pentingnya daripada mencari dan merebut kembali pedang itu,” kata Cin Liong. “Memang, kita harus ikut mencari Sang Pangeran. Jangan sampai beliau dikuasai oleh orang-orang jahat,” kata ayahnya. “Sungguh Pangeran Mahkota merupakan seorang pemuda yang luar biasa,” kata Wan Ceng setengah mengomel. “Beliau adalah seorang pemuda yang lemah, akan tetapi mengapa selalu suka melakukan perjalanan merantau sendirian saja tanpa pengawal? Padahal, sebagai seorang pangeran mahkota tentu saja bahaya selalu mengancam beliau.” “Beliau akan menjadi kaisar yang baik,” suaminya mengangguk-angguk. “Seorang yang sejak muda telah melenyapkan rasa takut dengan rasa kasih sayang terhadap rakyatnya. Beliau ingin melihat sendiri dan mendengar sendiri keadaan kehidupan rakyat dan keluh-kesah mereka. Hanya seorang kaisar yang memerintah rakyatnya dengan kasih sayang sajalah, seperti seorang ayah yang benar-benar mencinta anak-anaknya, maka sebuah negara akan benar-benar menjadi makmur dan kuat.” Keluarga yang gagah perkasa ini melanjutkan perjalanannya sambil menyelidiki dan mendengar-dengarkan dan akhirnya, pada suatu siang ketika melewati sebuah hutan tak jauh dari kota Cin-an, mereka melihat belasan orang laki-laki rebah malang-melintang, sebagian besar telah tewas, akan tetapi ada bebekapa orang yang masih hidup, walaupun luka-luka mereka amat parah dan mereka ini pun sukar untuk dapat diselamatkan lagi. Agaknya, baru beberapa jam mereka itu telah dirobohkan oleh musuh yang amat kuat. Tiga orang muda ini cepat menghampiri mereka yang masih hidup, memeriksa, akan tetapi mereka memperoleh kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu menolong lagi. “Siapakah yang melakukan ini dan mengapa?” Kao Cin Liong bertanya kepada seorang di antara mereka yang agaknya masih lebih kuat daripada yang lain. Ayah bundanya hanya ikut mendengarkan saja, membiarkan putera mereka menangani urusan ini. Setelah diberi beberapa teguk minuman arak, orang itu dapat juga bicara lemah, “Kami.... menghadang seorang pemuda yang bersenjata suling emas.... kami hampir berhasil.... lalu muncul pemuda yang berpedang.... pedang sinar biru.... aahhh....” Dan orang itu pun tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kepalanya sudah terkulai. Yang lain-lainnya terlampau parah luka-luka mereka sehingga sama sekali tidak mampu bicara lagi. Bahkan sebelum tiga orang pendekar itu dapat berbuat sesuatu, mereka yang terluka parah itu pun tewas pula. Setelah memeriksa semua perampok itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka telah benar-benar tewas, Cin Liong bersama ayah ibunya lalu menggali lubang besar dan mengubur semua jenazah itu dengan sederhana. Mereka, keluarga gagah perkasa yang berjiwa pendekar ini tidak mungkin dapat membiarkan saja jenazah belasan orang itu tanpa dikubur, walaupun mereka dapat menduga bahwa mereka itu semua adalah anggauta perarnpok. “Hemm, pedang bersinar biru? Dan pemuda bersenjata suling emas?” Cin Liong berkata ketika mereka melanjutkan perjalanan. Ayahnya memandang kepadanya. “Engkau dapat menduga siapa mereka?” Puteranya mengangguk, juga ibunya berkata, “Aku pun sudah tahu siapa mereka itu.” “Bagus, kalau begitu mari kita cepat-cepat melanjutkan perjalanan. Daerah ini termasuk daerah kota Cin-an, ke mana lagi mereka kalau tidak ke kota itu? Dan kabarnya, di kota Cin-an itu pula berkumpulnya para pendekar patriot,” kata Si Naga Sakti Gurun Pasir. Tanpa menyebut nama, tiga orang pendekar yang cerdas ini sudah dapat menduga bahwa pemuda bersenjata suling emas itu tentulah Cu Pek In dan pedang bersinar biru itu apa lagi kalau bukan Koai-liong Po-kiam? Demikianlah, keluarga sakti ini akhirnya dapat mengikuti jejak Cu Pek In dan Sim Hong Bu, dan seperti telah diceritakan pada bagian depan, Cu Pek In dan Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika melihat tiga orang ini. Dan biarpun Pek In cepat membuang muka, dan tiga orang sakti itu seolah-olah tidak melihat adanya dua orang muda itu, namun sesungguhnya Cin Liong dan ayah bundanya sudah melihat mereka dan mereka yakin kini bahwa dugaan mereka adalah benar. Biarpun mereka tidak melihat adanya senjata pedang pusaka yang mereka cari-cari itu pada diri pemuda yang nampak sederhana itu, mereka dapat menduga bahwa pedang itu tentu disembunyikan dan hal ini bahkan lebih meyakinkan hati mereka. Kalau bukan Koai-liong Po-kiam yang dibawa pemuda ini, perlu apa disembunyikan? Dan kalau pedang itu, tentu saja disembunyikan, karena pedang itu adalah pedang pusaka yang hilang dari istana. Dan ketika pada malam hari itu Hong Bu dan Pek In melarikan diri dari losmen, hal ini pun sama sekali tidak terlewat dari pengamatan keluarga itu. Diam-diam mereka bertiga cepat membayangi dari jauh. Mereka melihat betapa bayangan dua orang muda itu melompati pagar tembok sebuah rumah tua dan mereka tidak berani ceroboh memasuki rumah orang. “Kau berjagalah di sini bersama Ibumu, aku akan menyelidiki rumah siapa ini,” kata Kao Kok Cu. Cin Liong dan ibunya mengangguk dan bersembunyi sambil mengintai untuk melihat kalau-kalau dua orang yang mereka bayangi tadi keluar dari situ lagi. Si Naga Sakti Gurun Pasir tidak lama pergi. Dia sudah muncul kembali dan berbisik kepada puteranya dan isterinya, “Wah, kiranya rumah inilah yang menjadi sarang patriot! Mereka berkumpul di sini!” Berita ini benar-benar amat mengejutkan hati Cin Liong dan ibunya. Baiknya mereka tadi tidak ceroboh memasuki sarang yang amat berbahaya, yang penuh dengan orang-orang sakti itu. Kedua orang yang mereka bayangi telah masuk ke situ, berarti bahwa itu pun tentu mempunyai hubungan yang erat dengan penghuni rumah itu! “Bagaimana baiknya sekarang?” tanya Kao Kok Cu untuk mencoba puteranya. Betapapun juga yang mempunyai tugas itu adalah puteranya, dan pendekar ini sudah percaya penuh kepada kecerdasan dan kewaspadaan puteranya sehingga dia menyerahkan keputusan kepada puteranya itu. “Ayah, tidak baik kalau kita menyerbu sekarang. Mereka adalah pendekar-pendekar, bukan penjahat-penjahat. Sebaiknya kita besok pagi datang sebagai tamu dan dengan terus terang akan saya sampaikan kepada pimpinan para patriot agar menyerahkan Sim Hong Bu kepada saya dengan alasan urusan pribadi. Kita harus menjaga agar jangan sampai terjadi bentrokan antara kita dengan para patriot.” Ayahnya mengangguk lalu berkata, “Memang bijaksana dengan cara demikian. Akan tetapi aku meragukan apakah patriot-patriot itu akan menerimamu dengan sikap bersahabat karena mereka tahu bahwa engkau adalah seorang perwira tinggi istana.” “Terserah kepada mereka. Yang jelas, kedatangan kita bukanlah untuk urusan antara Kaisar dan mereka, melainkan urusan pedang.” Mereka lalu kembali ke rumah penginapan. Mereka merasa yakin bahwa kedua orang muda yang mereka bayangi tadi tidak tahu bahwa mereka tadi membayangi mereka, dan juga mereka dapat menduga bahwa tentu Sim Hong Bu berbesar hati setelah berada di markas para pendekar patriot itu dan tidak akan pergi untuk sementara waktu. Dengan adanya pengejaran dari keluarga Kao, tentu pemuda itu menganggap bahwa markas itu merupakan tempat persembunyian yang paling aman. Dan memanglah, semua pendapat ini tepat sekali. Akan tetapi, Jenderal Kao Cin Liong dan ayah bundanya sama sekali tidak tahu bahwa pada malam hari itu juga, pangeran mahkota tiba pula di Cin-an dan ditahan di dalam rumah yang menjadi markas para patriot, itu! Andaikata mereka terus mengamati di tempat itu, tentu mereka akan melihat hal ini dan mungkin akan terjadi bentrokan yang sukar dapat dicegah lagi. Hati Cia Han Beng merasa bingung dan gelisah sekali. Dia merasa menyesal bahwa dara yang membuatnya jatuh cinta, ternyata tidak sepaham dengan dia mengenai perjuangan para patriot. Bahkan dara itu dengan kekerasan telah membawa pergi Sang Pangeran, dan dia sama sekali tidak ada keberanian hati, atau lebih tepat lagi tidak tega, untuk menentang dengan kekerasan. Dia merasa betapa tiba-tiba dia menjadi seorang yang lemah sekali, dan dia tahu bahwa selama Ci Sian melindungi Sang Pangeran, dia tidak akan tega untuk merebut Pangeran itu. Dia pun tahu bahwa Ci Sian hanya bertindak sebagai seorang pendekar, sama sekali tidak memihak pemerintah dan menentang para patriot, melainkan hanya ingin melindungi yang lemah dari ancaman bahaya seperti selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar. Hal inilah yang membuatnya bingung dan putus asa. Andaikata Ci Sian itu seorang penjilat pemerintah penjajah tentu cintanya akan dapat dilawannya sendiri dan dia tentu akan mau menentang dara itu. Akan tetapi, dara itu adalah seorang pendekar yang mengagumkan hatinya. Tak mungkin aku berhasil sebagai seorang patriot kahau begini, keluhnya dengan hati kesal sekali setelah dia berpisah dari Ci Sian. Tidak, dia akan mengembil cara lain. Dia tahu bahwa Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang hebat dan bijaksana, maka dia pun tidak terlalu menyesal akan sikap Ci Sian. Dia sendiri, andaikata dia tidak mempunyai jiwa pemberontak terhadap kekuasaan penjajah, tentu dia pun tidak akan segan untuk mmpertaruhkan nyawanya guna membela seorang pangeran mahkota yang bijaksana seperti Pangeran Kian Liong. Yang jahat, yang menjadi biang keladi semua peluapan kemarahan hati para patriot adalah kelaliman Kaisar! Kaisarlah yang harus dibasmi! Peristiwa pembakaran biara Siauw-lim-si, perlakuan sewenang-wenang terhadap orang-orang Han, semua itu adalah perbuatan Kaisar yang membenci orang Han. Dan kalau dia telah gagal menangkap Pangeran, masih ada jalan lain baginya yang lebih langsung dan tepat, yaitu menyerbu ke istana dan mencoba untuk membunuh Kaisar. Dia tahu bahwa perbuatan ini amat berbahaya, karena istana merupakan tempat yang amat kuat dengan penjagaan ketat, di mana berkumpul perwira-perwira berkepandaian tinggi dan pengawal-pengawal yang gemblengan. Akan tetapi, dia mempunyai harapan. Bukankah ibu kandungnya berada di sana sebagai selir Kaisar? Demikianlah, dengan hati yang telah mengambil keputusan tetap, Cia Han Beng pergi ke kota raja. Biarpun para pengawal dan pembesar yang mengurus dalam istana, para thaikam (orang kebiri) menyambutnya dengan pandang mata penuh kecurigaan, namun mereka itu melapor juga kepada ibu pemuda itu yang menjadi selir Kaisar bahwa ada seorang pemuda bernama Cia Han Beng dan mengaku keluarga dekat mohon menghadap. Tentu saja ibu pemuda itu terkejut sekali mendengar disebutnya nama ini dan cepat-cepat mempersilakan thaikam untuk mempersilakan pemuda itu menghadapnya di dalam taman. Selir Kaisar ini memilih taman sebagai tempat pertemuannya dengan puteranya agar mereka dapat bicara dengan leluasa di tempat terbuka sehingga tidak akan ada yang dapat mencuri dengar percakapan antara mereka. Dengan pengawal dua orang pengawal dalam yang juga terdiri dari laki-laki yang sudah dikebiri, Han Beng dipersi1akan memasuki taman. Ketika tiba di pondok indah dekat kolam ikan, Han Beng melihat seorang wanita cantik dengan pakaian yang mewah berdiri menantinya dengan kedua mata basah dengan ait mata. Melihat ibunya, Han Beng tak dapat menahan keharuan hatinya dan dia pun cepat maju berlutut di depan kaki ibu kandungnya sambil menundukkan mukanya. Selir itu memejamkan mata dan menggunakan saputangan menyusuti air matanya, kemudian memberi isyarat kepada dua orang pengawal kebiri itu untuk meninggalkannya bersama puteranya. Setelah dua orang pengawal itu mengundurkan, wanita itu lalu membungkuk dan merangkul puteranya, disuruhnya Han Beng berdiri dan sejenak mereka berdua saling berpandangan dengan hati yang tidak keruan rasanya. “Han Beng....!” Akhirnya wanita itu berbisik yang merupakan jerit yang keluar langsung dari dalam hatinya. “Ibu....!” Han Beng menahan agar air matanya tidak jatuh bertitik, sungguhpun dia sudah merasa betapa hatinya tergetar dan kedua matanya terasa panas. Kalau ibunya merasa berduka dan terharu sekali melihat puteranya, sebaliknya pemuda ini selain terharu, juga merasa panas hatinya melihat ibunya hidup sebagai seorang selir kaisar yang berpakaian begini indah dan mewah, sedangkan ayahnya telah terbunuh oleh Kaisar yang kini menjadi suami ibunya! “Han Beng, mari kita duduk di bangku itu.... kita bicara di luar saja agar jangan ada orang lain mendengarkan dengan sembunyi,” Ibunya berbisik dan menggandeng tangan puteranya, diajaknya puteranya itu duduk di bangku panjang di tengah taman, jauh dari pondok. Wanita setengah tua itu, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, masih nampak cantik sekali, apalagi karena ia mengenakan pakaian yang demikian indah dan rambutnya disanggul secara istimewa seperti biasa dandanan para selir Kaisar. Kini, melihat puteranya, seketika hancur berantakan segala kemuliaan yang dirasakannya setiap hari dan terbayanglah di pelupuk matanya segala peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu! Dia hidup bersama suaminya yang merupakan seorang pendekar gagah perkasa dan hidup saling mencinta, dengan seorang putera mereka, yaitu Han Beng. Kemudian, datanglah malapetaka itu! Suaminya adalah seorang pendekar yang pernah menjadi sahabat Ai Sing Kiauw murid Siauw-lim-pai yang suka bersahabat dengan para pendekar itu, yang kini telah menjadi Kaisar Yung Ceng! Dan ketika mereka mengadakan perjalanan sampai ke kota raja, suaminya teringat akan sahabat itu dan biarpun telah dicegahnya, suaminya tetap nekad berkunjung dan menghadap bekas sahabat yang kini menjadi kaisar itu. Dan memang, Kaisar menyambutnya dengan ramah dan manis budi. Akan tetapi terjadilah malapetaka ketika Kaisar memandang kepadanya! Memandang kepadanya dengan sinar mata yang demikian mesra dan penuh nafsu berahi! Maka terjadilah kesemuanya itu, peristiwa yang mengubah hidupnya! Suaminya telah terbunuh, dan ia pun diambil selir oleh Kaisar! Dan ia.... ia tidak melawan.... ia seorang wanita yang lemah melihat kemuliaan membayang di depan mata! Ia pun menyerahkan diri, bukan dengan terlalu terpaksa, bahkan dengan harapan baru. Kalau dulunya ia hidup sebagai seorang isteri pendekar yang bertualang, yang kadang-kadang menderita lapar dan tidur di kuil-kuil tua atau di hutan-hutan, kini ia menjadi seorang yang dihormati dan dimuliakan! Dan Kaisar pun sayang kepadanya. Bahkan Pangeran Mahkota sendiri memandangnya sebagai seorang ibu! Mau apa lagi? Puteranya, lari entah ke mana. Dan kini, puteranya itu muncul di depannya! Terjadilah perang dalam hati wanita ini, perang antara kemewahan dan kemuliaan di istana, melawan kasih sayang seorang ibu kandung terhadap anaknya. Dan kemuliaan itu pun kini menipis. Segala macam kesenangan di dunia ini, apapun juga adanya, tidak akan abadi. Kesenangan selalu disusul oleh kebosanan, atau juga oleh keinginan memperoleh yang lebih besar lagi. sehingga kesenangan yang ada itu tidak begitu berarti lagi. Demikian pula dengan wanita ini. Kemuliaan dan kemewahan itu memang pada mulanya dirasakan dan dinikmatinya betul, dalam waktu beberapa bulan, beberapa tahun. Akan tetapi, kemewahan dan kemuliaan yang dilimpahkan kepadanya setiap hari itu mulai menimbulkan kebosanan dan kemuakan. Apalagi dengan munculnya puteranya ini, yang mendatangkan lagi kenang-kenangan lama, membuat ibu ini merasa terguncang batinnya. “Han Beng.... Anakku.... Puteraku sayang.... akhirnya engkau mau juga menjenguk ibumu....” Ia berkata sambil mengusap air matanya yang terus bercucuran. Han Beng memandang wajah ibunya. Ada juga rasa iba, rasa haru dan rasa mesra yang timbul dari kasih sayangnya terhadap wanita yang menjadi ibunya ini. Akan tetapi yang lebih lagi adalah rasa marah. Ibunya sampai hati benar berenang di dalam kemewahan di samping laki-laki yang telah membunuh suaminya! “Ibu....” katanya, suaranya agak gemetar. “Aku datang ini bukan untuk menjenguk Ibu, melainkan untuk....” dia berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri yang sunyi. Dua orang tadi berdiri di luar taman, biarpun memandang ke arahnya akan tetapi tidak dapat mendengar percakapan itu. LANJUT ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar