Rabu, 15 Januari 2014

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 28.

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 28:
Suling Emas & Naga Siluman Jilid - 28 28 “Desss....!” Tangkisan itu hebat sekali dan karena Ci Sian sendiri belum dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga sin-kang yang baru saja dilatihnya itu, ia telah mengerahkan tenaga lebih dari setengah bagian dan akibatnya, tosu bermata lebar itu terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya dan jatuh terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Dari mulutnya mengalir darah segar! Tentu saja temannya menjadi kaget bukan main. Tosu berhidung bengkok ini tidak seceroboh sutenya. Dia tahu dari tangkisan tadi bahwa nona itu memiliki kepandaian yang hebat, dan kini melihat sutenya sekali tangkis saja roboh pingsan, dia pun tahu bahwa dia bukan tsndingan nona itu. “Siancai...., sungguh ganas dan kejam....!” katanya dan dia pun lalu memondong tubuh sutenya, dipanggulnya dan larilah tosu itu dari tempat itu. Ci Sian sendiri juga terkejut menyaksikan akibat daripada tangkisannya tadi dan diam-diam ia pun merasa menyesal. Betapapun juga, tosu-tosu itu hanya mengeluarkan kata-kata pujian karena terkejut dan heran mendapatkan seorang nona muda seperti dirinya di dalam hutan itu, maka tidak semestinya kalau hanya untuk kesalahan seperti itu ia menurunkan tangan ganas. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan karena ingin tahu siapa adanya mereka dan dari mana mereka datang, Ci Sian lalu membayangi tosu, berhidung bengkok yang memanggul tubuh sutenya yang pingsan itu. Tosu berhidung bengkok itu dapat lari cepat sekali dan hal ini saja menunjukkan bahwa dia bukan orang sembarangan. Untung bagi Ci Sian bahwa dara ini pun sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga dengan mudah ia dapat terus membayangi ke mana perginya tosu itu. Sesungguhnya, dua orang tosu itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah murid-murid tingkat pertengahan dari perkumpulan atau partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu! Di dalam dunia persilatan, di samping Siauw-lim-pai dan beberapa buah partai lain, maka Kun-lun-pai juga termasuk partai yang terbesar dan mernpunyai banyak murid-murid yang pandai dan menonjol di dunia kang-ouw. Kun-lun-pai berpusat di Pegunungan Kun-lun-san dan pusat itu letaknya di balik puncak, tidak begitu jauh dari dusun yang kini bernama dusun Naga Hijau itu. Tentu saja orang-orang Kun-lun-pai tahu akan adanya ular hijau yang amat berbahaya itu, dan karena ular itu pun tidak pernah mengganggu manusia dan berada di tempat yang jauh dari tempat kediaman manusia, maka para tosu Kun-lun-pai yang menganggap ular itu bukan binatang sembarangan saja, tidak mau mengganggunya. Para pimpinan Kun-lun-pai sebagian besar adalah pertapa-pertapa yang menganut Agama To dan dalam agama ini memang terdapat kepercayaan akan keajaiban-keajaiban alam dan hal-hal gaib yang tidak dapat diukur oleh pikiran manusia. Maka, para pimpinan Kun-lun-pai sendiri yang melarang murid-muridnya untuk mengganggu ular hijau itu. Bagi para tosu yang suka berfilsafat itu, binatang di hutan jauh lebih bersih daripada manusia di kota. Binatang hutan memang ada yang menerkam dan makan lain binatang, akan tetapi hal itu dilakukannya tanpa ada kebencian, melainkan karena dorongan perut lapar. Bahkan jarang ada binatang akan menyerang manusia kalau tidak diganggu terlebih dahulu. Berbeda dengan manusia yang saling benci, saling bunuh dan saling tipu hanya disebabkan karena ingin hidup sendiri, ingin senang sendiri. Sebagai sebuah partai persilatan yang besar, Kun-lun-pai juga menjaga nama dan tidak sembarangan mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, bahkan tidak pernah mau mencampuri urusan dunia kang-ouw. Sebagian besar di antara para pendekarnya berjiwa pahlawan dan walaupun jarang di antara mereka yang menjadi perajurit atau panglima, namun mereka tidak pernah memberontak dan selalu berpihak kepada pemerintah dan selain menentang para penjahat, mereka pun menentang pemberontakan. Berita tentang terbunuhnya ular hijau itu sampai juga ke Kun-lun-pai. Para tosu yang menjadi pimpinan Kun-lun-pai, mendengar hal ini dan ada perasaan tidak senang di dalam hati mereka mendengar ada orang luar yang datang membunuh ular hijau itu. Akan tetapi, mereka tidak menganggapnya sebagai urusan besar, maka mereka mengutus dua orang murid pertengahan itu untuk melakukan penyelidikan dan menanyakan siapa gerangan pendekar yang mampu membunuh ular hijau yang amat berbahaya dan tangguh itu. Dua orang tosu itu adalah Lim-cu dan San-cu, yaitu Si Hidung Bengkok dan Si Mata Lebar. Mereka mendatangi dusun Naga Hijau dan ketika mereka mendengar bahwa yang membunuh ular hijau adalah seorang pendekar bersama dua orang wanita, mereka tertarik sekali. Apalagi mendengar bahwa tiga orang pendekar itu masih tinggal di tempat di mana mereka membunuh ular, dengan mendirikan pondok-pondok sederhana dan seperti melakukan tapa, dua orang tosu itu segera pergi menyelidiki dan mereka bertemu dengan Ci Sian. Malang bagi mereka, kekaguman mereka itu diterima dengan salah oleh Ci Sian sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan San-cu terluka cukup parah. Pada waktu itu, yang menjadi Ketua Kun-lun-pai adalah Thian Heng Tosu, seorang kakek berusia enam puluh tahun yang jarang keluar dari tempat pertapaannya. Urusan perkumpulan dipegang oleh seorang wakilnya, yang menjadi sutenya sendiri, yaitu Thian Kong Tosu, seorang tosu yang usianya juga sudah enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bersikap lembut karena selain ahli ilmu silat tinggi, juga Thian Kong Tosu ini seorang sastrawan yang pandai. Memang para anggauta Kun-lun-pai tidak pernah ada yang menjadi pemberontak dan tidak ada pula yang menjadi pembesar atau perajurit pemerintah, akan tetapi dari ketuanya sampai para muridnya, mereka adalah patriot-patriot sejati yang mencinta tanah air dan bangsa. Oleh karena itu, tentu saja dengan adanya penjajahan bangsa Mancu terhadap Tiongkok, diam-diam mereka semua merasa sedih sekali dan hal ini pula yang membuat Thian Heng Tosu seperti enggan berurusan dengan dunia. Ketika bangsa Mancu mulai menyerbu Tiongkok, para pendekar Kun-lun-pai ikut pula berjuang menghalau musuh, namun kekuatan Mancu tidak dapat dibendung dan akhirnya bangsa Mancu berhasil menguasai Tiongkok. Semua adalah karena kelemahan Kaisar sendiri. Dan bangsa Mancu yang pandai itu makin memperkuat diri sehingga cengkeraman mereka di bumi Tiongkok amat kokoh kuatnya dan semua usaha para patriot untuk memberontak dan menentang penjajah ini gagal belaka. Hal inilah yang membuat hati Thian Heng Tosu menjadi tertekan dan dia selalu menyembunyikan diri dalam pertapaan dan memesan kepada semua murid agar jangan lancang dan ceroboh menentang pemerintah yang amat kuatnya itu. Biarpun dia selalu menyembunyikan diri, bukan berarti bahwa Thian Heng Tosu tidak memperhatikan keadaan perkumpulannya. Dia setiap sepekan sekali menerima laporan dari sutenya, yaitu Thian Kong Tosu tentang keadaan di luar, dan mendengar betapa kaisar yang sekarang ini sewenang-wenang, bahkan membakar Kuil Siauw-lim-si dan sebagai seorang bekas murid Siauw-lim-pai telah murtad terhadap perguruan itu, Thian Heng Tosu menjadi semakin prihatin. Dan selain dia tetap memperhatikan perkumpulannya, juga siang malam tiada hentinya dia menurunkan ilmu-ilmunya dan menggembleng seorang murid yang paling disayangnya, yaitu seorang pemuda yang bernama Cia Han Beng. Walaupun pemuda itu baru berusia dua puluh satu tahun, namun dia hampir dapat menguasai semua ilmu yang dimiliki gurunya, yaitu Ketua Kun-lun-pai yang sakti itu. Demikianlah keadaan Kun-lun-pai secara singkat dan kita ikuti kembali Ci Sian yang membayangi dua orang tosu Kun-lun-pai itu. Setelah melewati puncak yang tertutup salju, akhirnya Ci Sian melihat tosu berhidung bengkok itu membawa sutenya yang dipanggul ke dalam sebuah kumpulan bangunan dikelilingi pagar tembok. Dari atas puncak, nampak oleh Ci Sian bahwa bangunan itu sudah kuno dan amat sederhana namun kuat, dan di tengah-tengah kelompok bangunan itu terdapat bangunan seperti kuil. Wuwungan atap kuil itu dihias dengan ukiran sepasang naga berebut mustika. Ia tidak berani sembarangan memasuki tempat yang tampak sunyi itu, karena melihat betapa tosu berhidung bengkok itu mampu memanggul sutenya dan berlari tanpa berhenti sampai demikian jauhnya, ia tahu bahwa tosu itu lihai dan tentu di tempat itu terdapat banyak orang pandai. Ci Sian berindap-indap menghampiri sebelah depan pagar tembok dari jauh saja sudah nampak olehnya huruf-huruf yang ditulis dengan gaya yang amat gagah, tertulis di atas papan depan pintu gerbang. Yang nampak paling besar dan mengejutkan hatinya adalah tulisan tiga huruf yang berbunyi : KUN LUN PAI. Jantungnya berdebar tegang. inikah pusat perkumpulan Kun-lun-pai yang kabarnya merupakan partai persilatan besar yang memiliki banyak pendekar yang pandai itu? Tentu saja ia sudah sering mendengar tentang Kun-lun-pai yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Alisnya berkerut. Ia mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang melahirkan pendekar-pendekar sakti. Akan tetapi mengapa dua orang tosu itu demikian kurang ajar dan biarpun mereka memiliki kepandaian yang lumayan, namun tidak cukup tinggi seperti yang pernah didengarnya tentang Kun-lun-pai? Nama perkumpulan ini membuat ia bersikap hati-hati dan membuat ia mengenang kembali apa yang terjadi tadi. Setelah menggunakan pikiran yang dingin, tidak terbakar oleh perasaan marah, diam-diam dara ini harus mengakui bahwa dua orang tosu itu sesungguhnya belum dapat dikatakan kurang ajar. Wajarlah kalau dua orang tosu itu terkejut melihatnya, dan wajar pula kalau seorang di antara mereka memuji kecantikannya. Ia sendiri yang terburu nafsu dan marahmarah, malah memaki dua orang tosu itu. Betapapun juga, setelah membayangi sampai di sini, ia harus memasuki tempat itu dan melihat apakah benar bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Kun-lun-pai. Kalau memang benar, masih belum terlambat baginya untuk minta maaf. Melihat keadaan yang sunyi, timbul keberanian hati Ci Sian dan dengan gerakan ringan sekali ia sudah meloncat ke atas pagar tembok itu dan sejenak diamatinya sebelah dalam. Juga sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia, maka ia menjadi penasaran dan meloncatlah ia ke dalam. Kemudian, karena ia merasa bahwa mengintai dari atas genteng merupakan keadaan yang paling aman karena dari situ ia dapat melihat ke sekelilingnya, dara ini lalu meloncat lagi ke atas genteng yang paling rendah, tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Dari sini ia berloncatan ke atas genteng dari bangunan yang paling besar yang terletak di belakang kuil. Dari atas genteng, ia mengintai dengan menggeser dua buah genteng. Ia melihat sebuah ruangan yang cukup luas di bawah bangunan itu dan sungguh mengherankan sekali, kalau tadi tempat amat sunyi seolah-olah tidak ada penghuninya, ternyata di dalam ruangan itu terdapat banyak orang. Mereka semua terdiri dari tosu-tosu yang kebanyakan sudah berusia lima puluh tahun lebih, duduk bersila membuat lingkaran lebar di atas lantai yang beralaskan tikar. Dan di antara belasan orang tosu ini, nampak seorang tosu yang usianya sudah enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, sikapnya tenang dan wajahnya lembut dan ramah. Di depan tosu ini nampak tosu hidung betet berlutut dan tosu mata lebar yang terpukul pingsan tadi rebah telentang di depan tosu tua. Biarpun mereka itu belasan orang jumlahnya, namun semua diam dan tidak mengeluarkan suara, bahkan tidak bergerak, duduk bersila seperti orang dalam samadhi. Hanya tosu tua itulah yang menggerakkan jari tangannya menotok beberapa kali setelah memeriksa tubuh tosu bermata lebar yang sudah siuman akan tetapi masih nampak menyeringai kesakitan itu. “Nah, engkau sudah sembuh, boleh bangkit sekarang,” kata tosu tua itu dengan halus. Dan tosu mata lebar lalu bangkit dan benar saja, dia tidak lagi merasa nyeri dan cepat dia berlutut menghaturkan terima kasih. “Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi,” katanya kemudian. Tosu berhidung bengkok yang menjadi suheng dari tosu yang pingsan tadi segera menceritakan pengalamannya bersama sutenya ketika mereka berdua melakukan penyelidikan ke dusun Naga Hijau tentang berita dibunuhnya naga hijau itu. “Teecu berdua menyelidiki ke dalam dusun itu dan dari para penduduk teecu mendengar bahwa yang membunuh ular itu adalah seorang pria gagah perkasa bersama isterinya dan seorang dara muda. Menurut cerita mereka, tiga orang itu memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Karena teecu mendengar bahwa tiga orang itu masih berada di dalam hutan, bahkan membuat dua pondok dan tinggal di situ melakukan samadhi, teecu berdua lalu melakukan penyelidikan ke sana.” Semua tosu mendengarkan penuturan itu dengan hati tertarik, bahkan Ci Sian sendiri juga ikut mendengarkan dan ia ingin tahu apa yang akan diceritakan oleh dua orang ini tentang dirinya. “Teecu berdua melakukan penyelidikan ke dalam hutan dan kami terkejut bukan main ketika bertemu dengan seorang dara muda yang cantik seorang diri di hutan itu,” Kemudian Lim-cu, tosu hidung bengkok itu menceritakan pengalamannya bersama sutenya ketika menegur dara itu sehingga timbul percekcokan yang disusul dengan perkelahian. Segala yang terjadi diceritakannya tanpa ada yang ditutupi. Mereka menceritakan betapa dara itu menjadi marah ketika mereka mengucapkan kata-kata kagum, dan betapa dara itu menyerang lebih dulu kemudian memaki-maki mereka dengan kata-kata menghina sehingga timbul perkelahian. Betapa dara itu amat lihainya sehingga sutenya roboh pingsan. Mendengar cerita tosu itu yang demikian jelas tanpa ditutup-tutupi, tanpa menyembunyikan kesalahan diri sendiri atau membela diri sendiri, wajah Ci Sian berubah merah. Mendengar penuturan yang jelas itu, ia melihat kembali segala yang terjadi dan merasa betapa ia sudah bersikap keterlaluan karena salah sangka. Ia mengira bahwa tosu-tosu itu mata keranjang dan kurang ajar, dan tanpa penyelidikan lebih dulu ia sudah marah-marah. Kini nampaklah ia betapa tanpa adanya Kam Hong di sampingnya, ia memang merupakan seorang muda yang pemarah dan ceroboh sekali. Akan tetapi ia mendengarkan terus, ingin tahu tanggapan para tosu di situ, terutama tosu tua yang halus dan berwibawa itu. “Siancai.... tidak ada akibat tanpa sebab, dan sebab itu selalu berada di dalam diri sendiri. Lim-cu dan San-cu, kalau kalian mau mengamati diri sendiri, akan nampak jelaslah bahwa walaupun kalian tidak mempunyai niat buruk, namun kalian telah bersikap sembrono dan mengeluarkan kata-kata tanpa diteliti dan sembarangan saja sehingga kalian menimbulkan kemarahan nona itu. Dan nona itu pun agaknya terlalu mengandalkan kepandaiannya sehingga ia menjadi ringan tangan, mudah saja memukul orang. Biarlah hal ini menjadi pelajaran bagi kalian agar lain kali bersikap tenang, jangan sampai menimbulkan perkiraan orang bahwa kalian adalah tosu-tosu yang kurang ajar,” Kakek itu menarik napas panjang. “ini adalah akibat keadaan, ah, betapa banyaknya orang-orang yang berpakaian pendeta, yang bersikap seperti orang suci, ternyata masih menyimpan kecabulan di dalam hatinya....“ Kemudian tosu itu mengangkat mukanya ke atas, ke arah tempat Ci Sian mengintai, dan dara itu terkejut bukan main melihat sepasang mata yang seolah-olah mencorong dan sinarnya seperti menembus genteng! “Nona, sejak tadi Nona sudah mengintai dan mendengarkan segalanya. Kami tidak menyimpan rahasia, maka kalau ingin bicara, silakan turun!” Ci Sian terkejut sekali dan merasa malu. Ia ingin lari dari situ, akan tetapi ketika ia bangkit berdiri dan menengok, ternyata tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh dengan tosu yang berbaris rapi, menjaga dan mengurung tempat itu seperti pagar manusia yang berdiri diam seperti patung! Bangunan di mana ia mengintai di atas itu terkurung oleh belasan tosu, dan di atas pagar tembok juga nampak beberapa orang tosu berdiri, dan pintu gerbang juga dijaga ketat. Tahulah ia sekarang bahwa tempat itu sama sekali bukan sunyi, dan juga sama sekali Kun-lun-pai bukan perkumpulan yang lengah, melainkan ia sengaja dibiarkan masuk dan setelah ia masuk, barulah jalan keluarnya tertutup! Ci Sian menjadi marah dan ada dorongan hatinya untuk keluar dan mengamuk, akan tetapi ia teringat bahwa ia bukanlah seorang pencuri, bahwa kedatangannya hanya ingin tahu lebih banyak tentang dua orang tosu tadi. Sudah kepalang basah, pikirnya. Lebih baik menyelam sekali! Dan ia pun lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan yang amat ringan sehingga ketika kedua kakinya menyentuh lantai ruangan itu, tidak terdengar sedikit pun suara. Begitu Ci Sian turun, para tosu itu menggeser diri dan mundur, namun masih duduk bersila seperti tadi dan wajah mereka nampak tenang saja. Thian Kong Tosu bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya, memandang dengan wajah berseri dan sepasang mata kagum. “Sungguh, tak dapat pinto menyalahkan murid-murid Kun-lun-pai yang mengeluarkan kata-kata pujian kepada Nona. Memang Nona adalah seorang nona muda yang selain cantik, juga memiliki kegagahan luar biasa, dan mengingat betapa Nona masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh membuat orang merasa kagum sekali.” Wajah Ci Sian berobah merah. Kini baru ia merasa betapa bodohnya ketika ia marah-marah mendengar pujian dua orang tosuitu. Iatidak dapat membedakan antara pujian setulusnya dan pujian yang bersifat menjilat atau pujian orang yang mata keranjang. Pujian yang dikeluarkan dari mulut dua orang tosu tadi tidak ada bedanya dengan pujian tosu tua ini. Akan tetapi, Ci Sian memang memiliki watak keras dan pantang mundur. Ia memang merasa salah, akan tetapi ia merasa malu kalau hanya minta maaf begitu saja. Kalau ia salah, biarlah ia dihukum dan hukumannya sesuai dengan kesalahannya tadi! Maka ia pun cepat menjura kepada tosu tua itu dan berkata, suaranya lantang sekali dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut, “Totiang, telah lama sekali saya mendengar tentang Kun-lun-pai, bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar yang para anggautanya terdiri dari pendekar-pendekar yang lihai! Saya telah salah paham mengira dua orang tosu Kun-lun-pai sebagai orang-orang kurang ajar dan saya sudah kesalahan turun tangan. Oleh karena itu, setelah saya berada di sini, maka saya ingin sekali memperoleh pelajaran dari Ketua Kun-lun-pai sendiri. Apakah Totiang ini Ketua Kun-lun-pai?” Bukan main ucapan itu, merupakan tantangan halus terhadap Ketua Kun-lun-pai. Semua tosu yang hadir di situ adalah tosu-tosu kaum atasan dari Kun-lun-pai, dari tingkat tiga ke atas. Mendengar ucapan ini, semua mata ditujukan kepada Ci Sian dan semua alis dikerutkan. Jarang sekali, bahkan belum pernah, ada orang berani menantang Ketua Kun-lun-pai, walaupun tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata minta pelajaran. “Siancai....! Sungguh seorang dara yang bersemangat baja! Mengagumkan sekali. Nona yang merasa salah ingin menembus kesalahannya dengan membiarkan diri dihajar oleh Ketua Kun-lun-pai! Sungguh membayangkan ketabahan yang luar biasa sekali!” Ucapan itu baru menyadarkan semua tosu dan kini mereka memandang kagum. Ci Sian sendiri terkejut karena rahasia hatinya ternyata dapat dilihat sedemikian mudahnya oleh tosu tua ini. “Apakah Totiang yang terhormat Ketua Kun-lun-pai?” tanyanya, memandang tajam. Ingin ia mencoba kepandaian tosu tua yang bermata tajam mencorong ini. Thian Kong Tosu menggeleng kepala sambil tersenyum. “Bukan, Nona, pinto bukan Ketua Kun-lun-pai....” “Totiang, nama saya Ci Sian. Harap Totiang suka memberi tahu siapa ketua di sini dan suka menyampaikan permintaan saya untuk menerima pelajaran darinya!” Ucapan inipun membayangkan keterbukaan dara itu yang memperkenalkan namanya lebih dulu dan menyampaikan keinginannya tanpa banyak bunga kata-kata lagi. Thian Kong Tosu tertawa dan mengelus jenggotnya, “Siancai...., sungguh membuat hati tua ini menjadi kagum. Nona, pinto adalah Thian Kong Tosu yang mewakili suheng Thian Heng Tosu mengurus perkumpulan ini. Ketua kami adalah Thian Heng Tosu, akan tetapi sejak lama beliau tidak pernah keluar dari tempat samadhinya. Untuk urusan apapun beliau tidak pernah mau keluar, apalagi untuk melayani Nona yang ingin menguji kepandaiannya. Harap Nona maklum dan tidak mendesak kami.” Ci Sian mengerutkan alisnya. Penolakan tantangan pi-bu secara halus ini hanya dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, yang ditantang takut menghadapinya, dan ke dua, yang ditantang memandang rendah kepadanya sehingga merasa tidak perlu melayaninya. Dan tidaklah mungkin kalau Ketua Kun-lun-pai takut kepadanya, maka ia pun mengambil kesimpulan bahwa pihak Kun-lun-pai memandang rendah kepadanya sehingga mempergunakan alasan itu karena memandang tidak perlu melayani tantangan seorang muda seperti dirinya! “Totiang, kalau Ketua Kun-lun-pai merasa terlalu tinggi untuk melayani saya, biarlah beliau mewakilkan kepada jagoan Kun-lun-pai yang terpandai untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada saya, sebagai tanggung jawab saya yang tadi telah melukai seorang murid Kun-lun-pai!” Thian Kong Tosu tersenyum maklum. “Tidak ada yang mendendam atas peristiwa tadi, Nona, tidak ada yang menganggap ringan kepadamu....” “Totiang! Saya tidak akan merasa puas sebelum menerima petunjuk dari Kun-lun-pai!” “Nona, sudah lama Kun-lun-pai tidak pernah bentrok dengan pihak manapun juga. Kalau Nona memaksa, sungguh kami merasa tidak enak sekali kepada perguruan Nona. Tidak patutlah kalau kami pihak yang lebih tua menghina Nona yang begini muda...., kami tentu tidak ada muka untuk berhadapan dengan perguruanmu, Nona.” “Jangan khawatir, Totiang. Tidak akan ada orang dari perguruan saya yang menuntut. Ketahuilah, saya tidak mempunyai guru, hanya seorang suheng. Kami berdua adalah keturunan yang mewarisi ilmu dari Suling Emas! Nah, inilah sulingku dan saya mohon petunjuk dari tokoh Kun-lun-pai!” Sambil berkata demikan, dara itu sudah mencabut suling emasnya. Melihat cara dara itu mengeluarkan suling dan begitu suling dicabut terdengar suara melengking nyaring dari lubang suling, dan mendengar bahwa dara ini mengaku sebagai ahli waris Suling Emas, tentu saja Thian Kong Tosu menjadi terkejut bukan main. Sebagai seorang tokoh tua di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Emas yang hidup di jaman beberapa ratus tahun yang lalu. Akan tetapi nama itu kemudian menjadi seperti dalam dongeng saja karena tidak pernah nama itu muncul lagi di dunia kang-ouw, walaupun para tokoh kang-ouw masih sering mencoba untuk mencari peninggalan pendekar sakti itu. Dan kini, tiba-tiba saja muncul gadis ini, seorang dara muda jelita yang mengaku sebagai ahli waris Pendekar Suling Emas! Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun demikian jelasnya terdengar oleh semua orang di dalam ruangan itu, “Siancai...., kesempatan yang hanya timbul sekali dalam seratus tahun! Sute, persilakan ahli waris Pendekar Suling Emas untuk memasuki lian-buthia, kami akan menanti di sana.” Mendengar suara ini, semua tosu yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut, dan Thian Kong Tosu sendiri cepat menjura dan menjawab, “Baik, Suheng,” Wajah tosu ini berseri. Baru sekarang suhengnya, Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai, berkenan keluar dari tempat pertapaannya, karena tertarik pula oleh sebutan Pendekar Suling Emas itu. Siapa orangnya yang takkan tertarik? “Nona Ci Sian, engkau sungguh beruntung sekali, berhasil menarik hati ketua kami untuk keluar dan menemuimu. Silakan, Nona, kita pergi menghadap suheng Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai yang Nona cari-cari tadi, ke lian-bu-thia!” “Baik dan terima kasih, Totiang,” jawab Ci Sian yang merasa jantungnya berdebar juga. Suara lirih yang amat jelas tadi saja sudah menunjukkan betapa saktinya orang yangmengeluarkannya. Iapun mengikuti Thian Kong Tosu dan para tosu lainnya menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di bagian belakang dari bangunan itu. Semua tosu menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek yang duduk bersila itu, kecuali Thian Kong Tosu yang menjura lalu juga duduk beadaa tak jauh dari situ. Ci Sian memandang dengan mata tajam menyelidik. Kakek itu juga seorang tosu, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak menyeramkan seperti tubuhnya, karena wajah itu membayangkan kehalusan budi dan keramahan. Biarpun usianya sebaya dengan sutenya, namun tosu ini kelihatan lebih tua, seolah-olah ada kedukaan membayang pada wajahnya yang halus itu. Juga rambutnya sudah hampir putih semua padahal sutenya baru separuh rambutnya yang putih. Ketika Ci Sian menjura kepadanya, tosu yang memandangnya itu mengangguk dan tersenyum ramah. Ci Sian melihat bahwa yang berada di ruangan lian-bu-thia yang luas itu bukan hanya Ketua Kun-lun-pai ini, melainkan juga seorang pemuda dan ia tertarik sekali. Pemuda ini berbeda dengan semua yang hadir di situ, tidak memakai pakaian tosu walaupun rambutnya yang hitam lebat itu pun digelung seperti model gelung rambut tosu, ke atas. Seorang pemuda yang berperawakan sedang, berwajah tampan dan terutama sekali sepasang alisnya itu menimbulkan kagum di hati Ci Sian. Sepasang alis itu nampak hitam sekali seperti dilukis dan membuat wajahnya nampak lebih bersih dan putih, dan bentuk alis itu seperti sepasang golok telentang. Pemuda itu menundukkan muka, kedua matanya sedikit pun tidak bergerak, seolah-olah dia berada dalam samadhi yang hening. Ci Sian merasa agak mendongkol juga. Semua orang kagum kepadanya, akan tetapi pemuda ini, melirikpun tidak. Sombong! Ia pun membuang muka tidak mau lagi memandang kepada pemuda itu. “Nona, siapakah she (nama keturunan) Nona?” terdengar tosu tinggi besar itu bertanya, suaranya halus dan pertanyaannya singkat. Semenjak bertemu dengan ayah kandungnya dan melihat keadaan ayah kendungnya yang dianggap sebagai seorang pria mata keranjang, Ci Sian merasa malu untuk mengaku sebagai puteri Bu Seng Kin yang lebih terkenal dengan julukan Bu-taihiap. Akan tetapi, berhadapan dengan para tokoh Kun-lun-pai, orang-orang tua yang begini penuh wibawa, Ci Sian merasa tidak enak hati kalau membohong, maka ia pun menjawab dengan sikap horrnat, “Locianpwe, she saya adalah Bu.” “She Bu? Adakah hubungannya dengan Bu-taihiap?” Terkejutlah Ci Sian mendengar pertanyaan ini, pertanyaan yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan sangkalan yang keras, “Tidak! Dia tidak ada hubungannya denganku!” “Siancai...., mungkin Bu-taihiap telah melukai hati banyak wanita, akan tetapi tak dapat disangkal lagi bahwa dia seorang pendekar besar. Baiklah, Nona Bu. Pinto tadi mendengar bahwa Nona datang ke Kun-lun-pai untuk menantang pi-bu kepada Ketua Kun-lun-pai?” Ditodong langsung dengan pertanyaan ini, Ci Sian menjadi gugup juga. “Aku...., aku hanya mohon petunjuk dari Locianpwe, karena aku merasa telah bersalah terhadap Kun-lun-pai....” “Ha-ha, bagaimana pendapatmu, Sute? Nona ini sungguh bersemangat sekali,” kata Ketua Kun-lun-pai itu kepada sutenya dan Thian Kong Tosu juga tersenyum. “Nona tadi berkata bahwa Nona adalah ahli-waris dari Pendekar Suling Emas? Apakah buktinya?” Ketua Kun-lun-pai itu kembali bertanya. Ci Sian mencabut keluar sulingnya yang tadi sudah disimpannya kembali. Sekali lagi terdengar bunyi suling melengking ketika dicabutnya dan baru sekaranglah pemuda yang duduk bersila di sebelah kiri Thian Heng Tosu itu mengangkat muka memandang. Bukan memandang kepada Ci Sian melainkan kepada suling emas kecil yang berada di tangan dara itu. “Itukah suling peninggalan Pendekar Suling Emas? Coba pinto pinjam sebentar!” Berkata demikian tiba-tiba Thian Heng Tosu menggerakkan tangan kanannya ke arah Ci Sian. Dara ini terkejut bukan main karena mendadak sulingnya seperti hidup dan terbang terlepas dari pegangan tangannya, melayang ke arah kakek itu. Maklumlah ia bahwa kakek itu telah mempergunakan sin-kang yang kuat sekali untuk mengambil sulingnya dari jarak jauh tanpa menyentuhnya. Ia menjadi marah, cepat ia mengerahkan sinkang yang baru saja dilatihnya dari Pendekar Siluman Kecil, dan ia pun menggerakkan tubuh dan tangannya di dorongkan ke depan, mulutnya melengking nyaring, “Heiiittt....!” Dan.... suling yang tadinya sudah meluncur kembali ke tangannya! “Maaf, Locianpwe. Suling ini menjadi kawan penghibur dan pelindungku, siapapun juga tidak boleh merampasnya, kecuali kalau aku sudah roboh tanpa nyawa!” kata Ci Sian sambiltersenyum. Kakek itu terbelalak, lalu mengangguk-angguk. “Bagus sekali, memang bukan omong kosong belaka! Akan tetapi, bukankah suling itu terlalu kecil untuk menjadi pusaka peninggalan Pendekar Suling Emas, Nona Bu?” “Memang pusaka itu berada di tangan suhengku, akan tetapi kami berdua telah mewarisi ilmunya,” jawabnya singkat. “Siancai....! Jadi engkau masih ingin untuk menguji kepandaian tua bangka seperti pinto ini, Nona?” “Aku.... aku mohon petunjuk Locianpwe.” “Aah, pinto akan ditertawai orang sedunia kalau turun tangan menghadapi seorang dara yang pantasnya menjadi cucuku. Biarlah, pinto wakilkan kepada murid pinto ini. Maukah Nona menghadapinya untuk sekedar belajar kenal dengan ilmu masing-masing?” Kakek itu menuding ke arah pemuda yang masih bersila di sebelah kirinya. Ci Sian memandang. Hemm, pemuda yang sombong itu, katanya dalam hati sambil memandang rendah. “Kalau Locianpwe menganggap dia sudah patut melawanku, boleh saja,” jawabnya dan sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya memandang rendah ini. “Han Beng, kau memperoleh kesempatan yang baik sekali hari ini. Selama ini engkau hanya tekun berlatih, nah, hari ini engkau memperoleh kesempatan untuk membuktikan sampai di mana kemajuanmu dalam latihan. Kaulayanilah Nona ini. Ingat, engkau mewakili gurumu dan juga mewakili Kun-lun-pai!” Mendengar ucapan suhunya itu, pemuda yang sejak tadi diam saja, bergerak melepaskan kakinya dan duduk bersila, lalu berlutut di depan kakek itu sambil berkata, “Teecu mentaati perintah Suhu.” “Untuk menikmati kepandaian ahli waris Pendekar Suling Emas harus melihat permainan sulingnya sebagai senjata. Han Beng, engkau pergunakanlah pedang kayu untuk latihan itu. Pertandingan ini hanya merupakan perkenalan saja, maka pedang kayu cukuplah,” kata lagi kakek itu, dan sikapnya gembira bukan main. Kakek yang menjadi Ketua Kun-lun-pai ini memang mengharapkan pemuda ini yang dapat mewarisi ilmu-ilmunya, maka kini memperoleh kesempatan mencoba tingkat kepandaian muridnya, tentu saja dia merasa gembira. Apalagi dia tadi sudah menguji kepandaian dara itu ketika dia meminjam sulingnya dan dia merasa kagum kepada dara yang memiliki kepandaian tinggi, yang lincah bersemangat dan cantik jelita itu. Diam-diam dia membandingkan muridnya dengan dara itu. Nampaknya serasi benar. Pemuda itu bernama Cia Han Beng, seorang pemuda yatim piatu yang hidupnya ditekan dan dikuasai oleh rasa dendam yang mendalam. Ayahnya seorang pendekar Kun-lun-pai pula, menjadi seorang di antara korban-korban kekejaman Kaisar Yung Ceng. Ayahnya terbunuh oleh Kaisar itu, dan ibunya, seorang wanita cantik, kini menjadi selir Kaisar! Dalam keadaan menderita batin, karena dendam, pemuda ini akhirnya diangkat sebagai murid oleh Ketua Kun-lun-pai dan bukan hanya menerima warisan ilmuilmu yang tinggi dari gurunya, melainkan juga menerima petunjuk-petunjuk sehingga cengkeraman nafsu dendam telah lama meninggalkan batinnya. Memang di lubuk hatinya terdapat perasaan menentang pemerintah, seperti juga gurunya dan semua murid Kun-lun-pai, akan tetapi bukan disebabkan oleh dendam pribadi, melainkan disebabkan oleh keadaan tanah air yang dijajah oleh bangsa Mancu itu. Seperti yang terdapat dalam batin aetiap orang pendekar yang gagah di Tiongkok pada waktu itu, Cia Han Beng diam-diam juga menanti kesempatan untuk menyumbangkan tenaganya demi kebebasan tanah air dan bangsanya daripada penjajahan bangsa Mancu. Mungkin disebabkan latar belakang kehidupan keluarga ayahnya yang tertimpa malapetaka itu dan yang membuatnya hidup sebatang kara, biarpun api dendam pribadi di dalam batinnya telah padam, membuat pemuda yang gagah itu bersikap pendiam dan selalu seperti berada dalam awan gelap, seolah-olah tidak ada kegairahan dan kegembiraan lagi dalam hidupnya. Mendengar ucapan suhunya, Han Beng kembali memberi hormat, lalu dia menghampiri rak senjata di mana terdapat segala macam senjata untuk permainan silat dan dia mengambil sebatang pedang kayu yang biasa dipakai untuk latihan. Setelah itu, dengan sikap senang sekali dia menghadapi Ci Sian, menjura seperti sikap seorang pemain silat memberi penghormatan kepada calon lawannya dan berkata, “Nona, silakan....!” Dan dia pun lalu mundur ke tengah ruangan lian-bu-thia itu. Diam-diam Ci Sian merasa mendongkol sekali. Tadinya ia yang memandang rendah kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, dan ia hendak mengejeknya, akan tetapi kini terjadi kebalikannya. Pemuda itu malah disuruh mempergunakan sebatang pedang kayu oleh gurunya. Suling emasnya yang merupakan senjata pusaka yang ampuh sekali itu kini akan dihadapi hanya dengan sebatang pedang kayu! Tentu saja hal ini merupakan ejekan baginya dan membuat mukanya menjadi merah sekali. Akan tetapi, karena Ketua Kun-lun-pai tadi mengatakan bahwa untuk membuktikan bahwa ia benar ahli waris Suling Emas ia harus memainkan suling itu, maka ia mengambil keputusan untuk mengalahkan pemuda itu secepat mungkin! Maka tanpa banyak cakap lagi ia pun meloncat ke depan pemuda itu. Kini mereka berhadapan. Pemuda itu memasang kuda-kuda, gerakannya lambat dan gagah ketika ia mengangkat kaki kirinya ke atas, menempel di lutut kanan, tangan kiri miring di depan dada dan pedang kayu itu ditudingkan ke atas, gagangnya menempel dahi. Melihat pasangan kuda-kuda yang memang indah dan gagah ini, Ci Sian menyebirkan bibirnya. Huh, aksinya, ia mengejek dalam hati dan tiba-tiba ia berseru,. “Lihat serangan!” Dan tanpa banyak lagak lagi ia pun sudah menyerang dan menggerakkan sulingnya, menusuk ke tenggorokan lawan dan suling yang digerakkannya itu mengeluarkan bunyi seperti ditiup. Han Beng merobah kedudukan tubuhnya, tangannya bergerak dan pedang kayunya menangkis. Dari gerakan suling yang berkelebat dan membentuk sinar menyilaukan mata itu dan dari suara melengking yang keluar dari suling itu, dia tahu bahwa dara itu mempergunakan tenaga khi-kang yang amat kuat, maka ketika menangkis, dia pun telah mengerahkan sin-kang pada pedang kayunya, dan memang keduanya sengaja hendak mengukur tenaga masing-masing dalam benturan senjata yang pertama itu. “Tringggg....!” Suara emas terpukul kayu dengan kerasnya menimbulkan suara berdencing nyaring dan keduanya terkejut sekali ketika betapa seluruh lengan mereka tergetar hebat, membuat keduanya cepat melangkah ke belakang untuk mengatur kedudukan tubuh masing-masing. Mereka sejenak berdiri saling pandang, seperti dua ekor ayam jago yang sedang berlagak, seperti hendak mengukur kekuatan masing-masing melalui pandang mata. Keduanya memandang kagum. Han Beng tak pernah menyangka bahwa seorang dara muda seperti itu dapat memiliki tenaga yang demikian kuatnya, juga sebaliknya Ci Sian tidak mengira bahwa pemuda pendiam yang dianggapnya sombong ini ternyata bertenaga dahsyat pula. Sementara itu, dua orang tokoh besar Kun-lun-pai yang melihat pertemuan dua tenaga dahsyat itu memandang dengan wajah berseri. Memang setanding, pikir mereka. Akan tetapi Ci Sian yang berwatak panas itu, merasa penasaran sekali. Ia segera mengeluarkan seruan nyaring dan sulingnya sudah digerakkan, lenyap bentuknya berubah menjadi segulungan sinar yang melengking-lengking dengan nada suara naik turun seperti ditiup dengan mulut saja! Juga gulungan sinar kuning emas itu menyilaukan mata, mendatangkan angin menyambar dahsyat sekali. Han Beng terkejut dan pemuda itu pun cepat memutar pedang kayunya dengan pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya. Nampaklah sinar kehijauan dan juga pedang kayu itu mendatangkan angin yang kuat. Ci Sian mulai menyerang, gerakannya aneh dan amat cepat, juga dahsyat sekali, sukar diduga ke mana suling itu akan menyerang. Han Beng berusaha mengimbangi, namun pemuda yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi-tinggi dari Kun-lun-pai ini diam-diam terkejut karena sekali ini dia benar-benar menjadi sibuk sekali menghadapi serangan-serangan yang demikian aneh dan cepatnya. Bukan hanya pemuda ini, bahkan Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu juga memandang dengan mata terbelalak dan mulut mereka mengeluarkan seruan-seruan kagum dan heran. Belum pernah selama hidup mereka yang telah menjelajahi dunia kang-ouw ini mereka menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling sehebat ini! Bukan hanya tusukan-tusukan suling itu yang merupakan totokan-totokan indah dan berbahaya sekali, juga bacokan gerakan pedang yang dirobah menjadi pukulan-pukulan suling itu, amat kuatnya, ditambah lagi suara melengking-lengking yang membikin bingung lawan karena suara ini menyembunyikan desir senjata yang biasanya dapat dikenal dan ditangkap telinga sehingga mudah diikuti gerakannya. Han Beng cepat mainkan Kun-lun Kiam-sut (ilmu Pedang Kun-lun) yang menjadi andalan para pendekar Kun-lun-pai, dan pemuda yang cerdik ini pun mengerahkan seluruh gerakannya kepada daya tahan untuk melindungi dirinya. Dengan demikian, barulah dia terhindar dari sambaran sinar kuning emas itu, walaupun tetap saja dia terdesak hebat karena sukar baginya untuk balas menyerang. Sekali dia berani balas menyerang, berarti daya tahannya berkurang dan hal ini amat berbahaya karena desakan suling itu benar-benar amat hebat! Thian Heng Tosu menarik napas panjang beberapa kali. “Ah, kita ini seperti katak dalam tempurung saja!” katanya kepada sutenya. “Lihat, beberapa tahun saja kita tidak keluar, di dunia telah muncul ilmu pedang yang dimainkan suling sedemikian hebatnya.” “Akan tetapi, Suheng, saya mendengar bahwa ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pendekar Suling Emas biarpun hebat, akan tetapi rasanya menurut berita yang kudengar, tidak ada yang seperti ini.... kabarnya yang paling hebat adalah Hong-in Bun-hoat, akan tetapi ini....” “Hemm, kalau Han Beng lebih unggul dalam hal sin-kang, agaknya dia akan dapat mengatasi kedahsyatan ilmu suling itu. Akan tetapi tenaga mereka agak seimbang. Kita sendiri pun, tanpa mengandalkan sin-kang, kiranya akan sukar mengalahkan ilmu suling itu....“ kata pula Ketua Kun-lun-pai. “Nampaknya ilmu yang kuno sekali, akan tetapi mengandung kemujijatan....” “Dan lihat, bukankah ilmu sin-kang dara itu pun luar biasa hebatnya? Melihat kerepotan Han Beng ketika mengadu tenaga, agaknya Nona itu memiliki sin-kang yang sama anehnya dengan ilmu sulingnya.” Dan memang benar apa yang dikatakan oleh Thian Kong Tosu. Ketika ia sudah mendesak lawannya dengan mati-matian namun pemuda itu dengan pertahanannya yang kokoh kuat seperti benteng baja dapat menutup diri sehingga semua serangannya gagal, Ci Sian menjadi semakin penasaran. Ia tidak mau mempergunakan khi-kang dan mengalahkan lawan dengan tiupan suling, karena ilmu itu merupakan ilmu simpanan dan menurut pesan suhengnya, ia tidak boleh sembarangan mengeluarkannya kalau tidak terpaksa benar. Maka, ia lalu mengerahkan tenaga sin-kang yang baru saja dilatihnya dari Suma Kian Bu, dan kini serangan-serangannya itu mengandung penggabungan dua tenaga yang berlawanan, sebentar panas sebentar dingin sekali. Dan Han Beng yang merasakan hawa panas dan dingin silih berganti ini meialui pedang kayu yang dipakai untuk menangkisnya, menjadi terkejut, bingung dan terdesak semakin hebat. Akhirnya, karena kacau pertahanannya oleh tenaga yang silih berganti itu, ada lubang dalam pertahanannya dan cepat dimasuki oleh sinar suling. “Tukk....!” Pundaknya terkena totokan dan biarpun dia sudah miringkan tubuh sehingga totokan itu tidak tepat mengenai sasaran, namun hawa dingin itu telah menyerang masuk dan membuat Han Beng menggigil, lalu pemuda ini menjatuhkan dirinya bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan lanjutan. Ci Sian yang masih merasa penasaran itu mengejar. “Tahan....!” Tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali, seperti petir menyambar dan tahu-tahu sebatang tongkat menahan suling di tangan Ci Sian. Ci Sian marah dan hendak menggerakkan suling menyerang orang ini, akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang menghalangnya adalah Suma Kian Bu sendiri, mukanya berobah merah dan ia pun bersungut-sungut. “Kenapa engkau malah membantu lawan?” tegurnya sambil menyimpan kembali sulingnya. “Ci Sian, Kun-lun-pai adalah partai besar yang selamanya menjadi sahabat, jangan engkau membikin kacau di sini,” kata Suma Kian Bu dan segera muncul Siang In yang segera memegang lengan Ci Sian. “Wah, kami mencari-carimu setengah mati, kiranya engkau membikin ribut di rumah orang.” Siang In merangkulnya dan lenyaplah kemarahan Ci Sian. Sementara itu, semua tosu terkejut melihat masuknya pria berambut putih riap-riapan bersama seorang wanita cantik ini. Tak seorang pun di antara mereka mengenal pria ini, akan tetapi Suma Kian Bu sudah memberi hormat dengan sikap sopan sekali kepada dua orang tosu tua pemimpin Kun-lun-pai itu. “Mohon Locianpwe sudi memberi maaf kepada kami. Kalau saya tidak salah, Ji-wi Locianpwe adalah Thian Heng Tosu dan Thian Kong Tosu, dua orang pimpinan Kun-lun-pai, benarkah?” Thian Heng Tosu hanya mengangguk, dan sekarang, seperti biasa, Thian Kong Tosu yang mewakili suhengnya menyambut tamu. “Penglihatan Sicu memang tepat sekali. Kalau boleh pinto mengetahui, siapakah Sicu dan apakah maksud kunjungan Sicu tiba-tiba ini dan apa hubungan sicu dengan Bu-siocia?” “Nama saya Suma Kian Bu....“ “Siancai....! She Suma? Apa hubungannya dengan Suma-taihiap, Suma Han Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es yang namanya terkenal di seluruh kolong jagat itu?” kata Thian Kong Tosu, sedangkan suhengnya juga memandang tajam penuh selidik kepada Kian Bu. “Beliau adalah ayah kandung saya.” “Ah, sungguh hebat peristiwa yang terjadi hari ini!” Tiba-tiba Thian Heng Tosu berkata, “Agaknya memang sudah digariskan bahwa kita akan memperoleh bantuan Suma-taihiap, mari kita duduk di dalam dan bicra. Nona Bu, kami mengaku bahwa muridku telah kalah olehmu. Setelah ternyata bahwa kita adalah orang-orang sendiri, biarlah pinto yang mintakan maaf atas kesalahan murid-murid kami kepadamu.” Tidak enak juga rasa hati Ci Sian melihat betapa Ketua Kun-lun-pai sendiri sampai minta maaf kepadanya. “Ahh, Locianpwe, sesungguhnya sayalah yang terburu nafsu, saya yang minta nnaaf kepadamu,” jawabnya. Kini pemuda murid Ketua Kun-lun-pai itu menjura ke arah Ci Sian dan pandang mata serta suaranya penuh kejujuran dan kekaguman ketika dia berkata, “Bu-siocia, saya mengaku kalah padamu.” “Ah, dengan mempergunakan pedang kayu, berarti engkau telah mengalah,” jawab Ci Sian, merasa tidak enak terhadap Suma Kian Bu dan Siang In yang melihat betapa ia yang datang mengacau Kun-lun-pai, malah dipuji-puji orang. Ketua Kun-lun-pai yang nampak berseri wajahnya itu, bersama sutenya, mengajak tiga orang tamunya menuju ke ruangan dalam, diikuti pula oleh Han Beng. Hanya enam orang itulah yang memasuki ruangan ini, sedangkan muridmurid lain tidak ada yang diajak masuk. Setelah mengambil tempat duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang besar, Thian Kong Tosu berkata sambil mengangkat kedua tangan di depan dada. “Ah, kiranya yang membunuh ular itu adalah pendekar dari Pulau Es! Pantaslah kalau demikian dan kami tidak merasa penasaran lagi.” “Kami melakukan perjalanan dan mendengar bahwa ada ular hijau yang sudah banyak menjatuhkan korban. Ketika kami melihat dusun yang setiap tahun menyerahkan korban manusia hidup-hidup kepada ular yang mereka dewa-dewakan, kami mengambil keputusan untuk membasminya. Ular itu sungguh berbahaya sekali dan hanya karena nasib sajalah kami berhasil membunuhnya,” kata Kian Bu, lalu disambungnya, “Dan sekiranya Nona Ci Sian ini yang menjadi sahabat seperjalanan kami melakukan sesuatu pelanggaran terhadap Kun-lun-pai, biarlah Locianpwe memandang muka kami untuk memaafkannya.” “Ah, sama sekali tidak! Hanya terjadi kesalahpahaman saja!” kata wakil ketua itu. “Dua orang murid Kun-lun-pai kami utus untuk menyelidiki tentang berita dibunuhnya ular. Mereka bertemu dengan Nona Bu dan terjadi kesalahpahaman sehingga Nona Bu memberi hajaran kepada mereka, bahkan lalu mengejar sampai ke Kun-lun-pai. Mata kami yang tua terbuka menyaksikan ilmu yang luar biasa dari Nona Bu!” “Ah, Locianpwe harap jangan terlalu memuji, membuat saya merasa malu saja,” Ci Sian berkata dan memang wajahnya menjadi merah karena malu terhadap Pendekar Siluman Kecil. Kian Bu tersenyum. “Sudahlah, baik sekali engkau bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai yang bijaksana, kalau dengan golongan lain tentu berakibat tidak enak.” “Suma-taihiap, setelah Tai-hiap datang, harap kami diperkenalkan dengan Li-hiap ini...., menurut berita, Tai-hiap datang bersama isteri Tai-hiap....“ kata pula Thian Kong Tosu. “Benar, ia adalah isteri saya, Locianpwe,” kata pendekar itu dan Siang In lalu memberi hormat sambil tersenyum manis. Ci Sian melihat betapa wajah isteri pendekar itu kini semakin cantik saja, seperti ada sinar yang segar berseri dan wajahnya yang manis. “Sungguh satu kehormatan besar menerima Sam-wi yang gagah perkasa sebagai tamu,” tiba-tiba Ketua Kun-lunpai berkata. “Dan sungguh kebetulan sekali karena kami sedang menghadapi suatu urusan yang amat penting dan besar, yang tentu akan menarik juga perhatian Sam-wi.” “Urusan apakah itu, Locianpwe?” tanya Kian Bu. “Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat baik kami dari kota Pao-ci di Shen-si datang dan membawa berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa Pangeran Mahkota Kian Liong telah lenyap!” Tentu saja Kian Bu terkejut sekali mendengar ini. “Lenyap? Bagaimana bisa Lenyap!” “Seperti biasa, Pangeran Kian Liong melakukan perjalanan merantau sendirian dan seperti biasa pula, diam-diam banyak pendekar yang membayanginya dan melindunginya secara diam-diam karena kalau dilihat atau diketahui oleh Sang Pangeran, beliau tentu akan merasa tidak senang. Dan pada suatu hari, setelah Sang Pangeran memasuki sebuah kuil, beliau Lenyap tanpa meninggalkan jejak!” “Hemm, lalu bagaimana, Locianpwe?” tanya Kian Bu, tertarik, akan tetapi merasa bahwa hal itu tidak ada sangkutannya dengan dia. “Tentu saja menjadi geger, walaupun tidak ada yang berani menceritakan hal ini secara terang-terangan. Hanya menjadi desas-desus dan berita angin di dunia kang-ouw saja bahwa para pendekar kini seperti berlumba mencari pangeran. Timbul kekhawatiran besar bahwa para pendukung dan bekas anak buah mendiang Sam-thaihouw yang melakukan penculikan dan dikhawatirkan keselamatan Sang Pangeran.” “Ah, sudah lama sekali saya tidak pernah mendengar tentang keluarga istana...., apakah yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw, Locianpwe?” Tentu saja Kian Bu mengenal siapa adanya nenek yang berpengaruh itu, karena sesungguhnya, menurut kakak kandungnya, yaitu Puteri Milana, nenek yang amat berpengaruh terhadap Kaisar itu membencinya, bahkan membenci seluruh keluarga Pulau Es! Ketua Kun-lun-pai itu memandang tajam, akan tetapi sutenya yang mengajukan pertanyaan kepada Kian Bu, “Harap Suma-taihiap suka memaafkan pertanyaan pinto. Akan tetapi.... bukankah Taihiap masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Kaisar? Kalau tidak salah, ibukandungTai-hiap adalah Puteri Nirahai yang amat terkenal....” Kian Bu menggerakkan tangannya dengan tidak sabar. “Ah, itu sih dahulu, harap Locianpwe jangan sebut-sebut lagi. Kami sekarang adalah keluarga Pulau Es, bukan lagi keluarga istana. Apa yang telah terjadi dengan Sam-thaihouw?” “Tai-hiap belum mendengar berita yang menggemparkan itu? Semua orang telah mendengarnya!” Lalu Thian Kong Tosu menceritakan tentang kematian Sam-thaihouw yang menurut desas-desus adalah karena rahasianya diketahui Kaisar bahwa sesungguhnya Sam-thaihouw merupakan seorang berbahaya yang selain mempengaruhi Kaisar dan seluruh Istana, juga mengumpulkan tokoh-tokoh dunia sesat. Mendengar berita ini, diam-diam Kian Bu merasa bersyukur dalam hati. Terbebaslah kini Kaisar dari pengaruh yang amat jahat. “Akan tetapi, para pengikut dan kaki tangan Sam-thaihouw masih berkeliaran!” Tosu itu menyambung. “Terutama sekali Im-kan Ngo-ok yang tadinya menjadi kaki tangannya, juga dapat melarikan diri. Oleh karena itu, lenyapnya Pangeran ini tentu saja dihubungkan dengan kaki tangan Sam-thaihouw, siapa tahu mereka itu ingin membalas dendam karena kejatuhan Sam-thaihouw adalah karena Sang Pangeran yang membongkar rahasianya.” Kian Bu mengangguk-angguk. Cerita itu memang menarik, akan tetapi tidak cukup membangkitkan semangatnya untuk mencampuri. Ayahnya, Pendekar Super Sakti, selalu menasihatkan putera-puteranya agar jangan mencampuri urusan istana. “Urusan istana, urusan perebutan kekuasaan, urusan pemberontakan, sesungguhnya hanyalah perebutan kedudukan dan kekuasaan, dan untuk kepentingan itu mereka menggerakkan rakyat. Rakyatlah yang disuruh maju sebagai pendobrak, sebagai senjata dan perisai, dengan dalih perjuangan demi tanah air, bangsa, dan lain-lain yang serba muluk-muluk sehingga rakyat menjadi buta, tidak tahu bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh beberapa gelintir orang yang memperebutkan kedudukan, kalau pendobrakan dan perebutan itu berhasil, beberapa gelintir orang itulah yang akan menempati kedudukan mulia dan bukan hanya mereka itu melupakan rakyat, bahkan mereka menjadi penindas-penindas yang baru terhadap rakyat. Tentu saja dalam perebutan itu, rakyat yang maju itulah yang menjadi korban, sedangkan beberapa gelintir orang itu hanya bersembunyi di dalam gedung-gedung dilindungi pasukan pengawal, siap untuk meraih hasil kemenangan kalau menang dan siap untuk melarikan diri mengungsi kalau kalah. Karena itu, jangan bodoh. Bertindaklah kalau melihat rakyat tertindas atau melihat kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa atau kuat terhadap si lemah, akan tetapi jangan melibatkan diri ke dalam perebutan kekuasaan di istana.” Nasihat ayahnya itu selalu menjadi pegangan Kian Bu, maka kini mendengar akan urusan yang diceritakan oleh ketua dan wakil Ketua Kun-lun-pai, dia tidak bergerak untuk ikut-ikut, walaupun dia merasa tertarik. Dia pun tahu bahwa Pangeran Kian Lioarg adalah seorang pangeran muda yang bijaksana dan menghargai orang-orang gagah, bahkan yang dicinta oleh banyak pendekar karena mereka mengharapkan kelak Pangeran ini akan menjadi seorang kaisar yang bijaksana. “Locianpwe membicarakan urusan Pangeran dengan maksud bagaimanakah?” Akhirnya Kian Bu bertanya secara langsung sambil memandang tajam. Kini Ketua Kun-lun-pai yang agak pendiam itu yang berkata, “Mendengar akan bahaya yang mengancam diri Sang Pangeran, kami tak dapat tinggal diam saja, Suma-taihiap. Yang dapat kami andalkan hanyalah murid pinto Cia Han Beng ini. Betapapun juga, pinto masih sangsi apakah dia akan cukup mampu melaksanakan tugas seberat itu, mengingat bahwa pihak lawan terdapat orang-orang sakti seperti Ngo-ok dan lain-lain. Maka, melihat kemunculan Sam-wi yang mempunyai kepandaian hebat, maka pinto akan merasa gembira mendengar kalau saja Sam-wi tertarik dan dapat bekerja sama dengan Han Beng untuk menyelamatkan Pangeran.” Mendengar ucapan ini, Suma Kian Bu menarik napas panjang, “Harap Ji-wi Locianpwe suka memaafkan kami dan tidak menjadi kecewa. Hendaknya diketahui bahwa kami mempunyai urusan pribadi yang penting, yang mengharuskan kami kembali ke Pulau Es, maka kami tidak akan dapat mencampuri urusan kehilangan Sang Pangeran itu.” Melihat kekecewaan membayang di wajah Ketua Kun-lun-pai itu, Ci Sian ikut bicara, “Akan tetapi harap, Locianpwe tidak terlalu merendahkan diri sendiri. Kulihat bahwa dia telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!” Dia menuding ke arah Cia Han Beng yang cepat menundukkan mukanya yang berobah merah. “Kami tidak ingin terlibat dalam urusan golongan atas!” kata pula Siang In. “Siancai...., Sam-wi tentu memiliki alasan kuat sendiri maka berpendirian demikian. Maafkanlah kami yang telah berani membujuk Sam-wi.” Percakapan dilanjutkan dalam suasana yang kurang enak karena penolakan ini dan tak lama kemudian Kian Bu berpamit dan meninggalkan Kun-lun-pai bersama isterinya dan Ci Sian. Setelah mereka tiba jauh dari tembok perkampungan Kun-lun-pai itu, Ci Sian yang sejak tadi merasa penasaran bertanya, “Mengapa kalian menolak? Bukankah kalian adalah pendekar-pendekar yang sudah sepatutnya melindungi Sang Pangeran yang terancam bahaya?” Kian Bu dan isterinya tersenyum. “Ci Sian, engkau tidak tahu. Memang harus kami akui bahwa Pangeran Kian Liong adalah seorang pangeran yang bijaksana dan dicinta oleh para pendekar. Akan tetapi kita belum tahu siapakah yang menentangnya. Kalau yang menentangnya itu orang-orang dari golongan hitam seperti Ngo-ok dan kawan-kawannya, memang sudah sepatutnyaa kalau kita turun tangan melindungi beliau. Akan tetapi, engkau pun tahu bahwa Pangeran itu adalah seorang Pangeran Mancu, dari istana Kaisar penjajah. Bagaimana kalau yang menentang itu kaum patriot yang menghendaki terbebasnya rakyat dari cengkeraman penjajah?” Ci Sian memandang dengan mata terbelalak heran. Ia sudah amat akrab dengan Kian Bu dan isterinya, maka tidak ada lagi perasaan sungkan di dalam hatinya dan langsung saja ia berkata, “Tapi.... tapi..... Tai-hiap, bukankah ibumu sendiri seorang puteri istana dan bukankah itu berarti bahwa engkau sendiri masih terhitung keluarga Kaisar?” Kian Bu menghela napas panjang. “Tidak salah. Ibuku seorang puteri Mancu. Akan tetapi ayahku seorang pendekar. Betapapun juga, lebih banyak darah Han mengalir di dalam tubuhku, dan betapapun juga, sebagai seorang pendekar aku tidak setuju dengan penjajahan. Maka terus terang saja, agaknya tidak mungkinlah kalau aku harus menentang para patriot.” “Tapi.... tapi...., bukankah keluarga Pulau Es terkenal sekali dalam membasmi para pemberontak? Nama-nama seperti Puteri Nirahai, dan Puteri Milana amat terkenal....“ “Engkau harus dapat membedakan antara pemberontak yang bergerak demi merebut kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri, dan pemberontakan rakyat yang tertindas dan yang ingin menghalau penjajah. Kukatakan tadi, andaikata yang menentang Kaisar itu golongan hitam, tentu aku akan turun tangan membela Pangeran. Sudahlah, Ci Sian, sesungguhnya bukan itu yang mendorong kami untuk menolak tawaran Ketua Kun-lun-pai dan yang memaksa kami harus cepat pulang ke Pulau Es.” “Apakah itu....?” Ci Sian bertanya dan tiba-tiba Siang In merangkulnya. Nyonya ini tertawa dan mukanya menjadi merah sekali, akan tetapi sepasang matanya berseri-seri. Dirangkulnya dara itu dan dibisikinya. Mendengar bisikan ini, Ci Sian terlonjak kegirangan dan ia pun merangkul leher Siang In dan mencium pipinya. “Benarkah, Enci? Ah, kionghi...., kionghi....! Sungguh aku merasa ikut gembira sekali, Enci Siang In!” “Terima kasih, Adikku, dan terima kasih pula atas bantuanmu ketika kami menundukkan ular naga hijau itu.... karena tanpa bantuanmu....” “Ah, mudah-mudahan kelak puteramu gagah perkasa seperti naga, Enci!” “Hushh....! Bagaimana kau tahu dia bakal laki-laki?” Siang In mencela dan mereka pun tertawa gembira. Akan tetapi, kegembiraan hati Ci Sian hanya sebentar karena segera wajahnya yang cantik menjadi muram ketika Kian Bu dan Siang ln memberi tahu kepadanya bahwa hari itu juga suami isteri ini akan meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Pulau Es. Karena Siang In sudah mengandung, hampir dua bulan kandungannya, maka tidak baik kalau mereka terus merantau, dan Siang In harus tenang tinggal di rumah. “Kita berpisah di sini, Ci Sian. Yang baik-baik engkau menjaga diri. Kepandaianmu sudah cukup tinggi dan kiranya engkau sudah dapat menjaga diri sendiri dengan cukup kuat, akan tetapi hanya satu hal yang harus kauingat benar, yaitu kurangilah watak kerasmu itu,” demikian Kian Bu meninggalkan pesan setelah mereka tiba di dalam pondok dan suami isteri itu sudah mempersiapkan diri untuk berangkat. Saking terharunya, Ci Sian hanya mengangguk, kemudian ketika Siang In hendak berpamit kepadanya, Ci Sian merangkul dan keduanya saling peluk sambil menangis! Aneh memang melihat dua orang wanita yang sama-sama memiliki kepandaian amat tinggi dan kegagahan luar biasa itu kini saling rangkul sambil menangis. Betapapun juga, mereka itu adalah wanita-wanita yang tentu saja lebih halus perasaannya dibandingkan pria. Akhirnya, suami isteri itu pergi meninggalkan Ci Sian. Mereka singgah di dusun Naga Hijau untuk pamit kepada para penghuni dusun. Setelah ditinggalkan oleh dua orang itu, Ci Sian juga tidak tahan tinggal lebih lama lagi di pondok dalam hutan itu. Ia mengemas barang-barangnya dan ia pun segera pergi dari situ tanpa pamit lagi kepada para penghuni dusun. Sebentar saja sudah pergi jauh meninggalkan dusun itu, menuju ke timur dan setelah senja mendatang, barulah ia menghentikan perjalanannya, beristirahat di bawah pohon besar di sebuah lereng gunung. Ketika ia duduk di bawah pohon besar itu, memandang ke kanan kiri yang amat sunyi, merasa benar betapa ia hidup seorang diri saja di dunia ini, tiba-tiba saja rasa kesepian menyelinap di dalam hatinya dan tak dapat ditahannya lagi, air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya. Ci Sian menangis karena sedih, karena merasa kesepian. Ia merasa ngeri, merasa asing, merasa kehilangan dan ditinggalkan. Rasa kesepian, merasa sendiri saja tanpa teman, merasa terasing dan tidak ada yang mempedulikan, perasaan ini amat ditakuti oleh semua orang. Perasaan ini mendatangkan iba diri dan kesedihan. Karena takut akan rasa kesepian inilah maka semua orang mudah sekali terikat, bahkan suka mengikatkan diri dengan sesuatu. Kita merasa ngeri kalau harus menderita kesepian, maka kita mengikatkan diri dengan isteri, keluarga, sahabat, bangsa, suku kelompok, atau kita mengikatkan diri dengan gagasan-gagasan sehingga kita merasa aman dan merasa “tidak sendirian”. Rasa ngeri membayangkan harus bersendirian inilah agaknya yang membuat kita merasa ngeri akan kematian. Bagaimana kalau kita mati? Kita akan sendirian, akan kehilangan segala-galanya! Inilah yang men- datangkan kengerian, dan karena ini pula maka kita mengikatkan diri dengan segala macam agama atau kepercayaan, sebagai penghibur diri di waktu masih hidup bahwa kalau kita mati kelak, kita akan terbebas daripada “sendirian” itu. Akan tetapi, benarkah bahwa kesunyian, keheningan, di mana kita berada seorang diri, baik jasmani maupun rohaniah, sendiri tanpa siapapun juga, mendatangkan kengerian? Siapakah itu yang merasa ngeri? Bukankah yang takut itu adalah pikiran yang membayangkan segala keadaan, mengharapkan yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan? Pernahkah kita menghadapi kesunyian ini, kesepian ini, rasa bersendirian ini, menghadapinya, mengamatinya tanpa penilaian, tanpa pendapat dan gagasan tentang kesepian itu? Maukah kita mencoba untuk menyelami kesepian ini, memandangnya tanpa ide-ide tentang kesepian sehingga antara kesepian dan kita tidak ada jarak pemisah lagi? Sehingga kita merupakan sebagian daripada keheningan itu? Proses badaniah yang menjadi tua, lapuk lalu mati, merupakan hal yang wajar. Kita tidak merasa takut atau ngeri akan hal itu. Yang kita takutkan adalah bagaimana nanti jadinya dengan “kita”! Bagaimana nanti dengan keluarga kita, orang-orang yang kita cinta, dengan harta benda kita, dengan nama kita, kedudukan kita dan sebagainya lagi. Semua ikatan-ikatan itulah yang membuat kita merasa ngeri untuk mati, ngeri untuk berpisah dari semua itu. Kita merasa ngeri karena dengan kehilangan semua itu, kita ini BUKAN APA-APA lagi. Kita membayangkan, apakah jadinya dengan kita kalau kita tidak punya keluarga lagi, tiada teman, tiada harta benda, tiada segala yang kesemuanya mendatangkan kesenangan itu? Itulah sebabnya mengapa kita takut akan kematian, takut akan kesepian. Pikiran yang membentuk si aku yang selalu ingin senang dan menjauhi ketidaksenangan, pikiran ini yang merasa ngeri karena membayangkan bahwa semua kesenangan itu akan berpisah dari kita. Akan tetapi, kita dapat merasakan keadaan mati ini selagi kita masih hidup. Jasmani kita masih hidup, akan tetapi kalau batin kita dapat terbebas dari segala ikatan, maka rasa takut akan kehilangan ikatan-ikatan itu tidak ada. Dan tanpa adanya rasa takut ini, maka keheningan atau kesunyian akan merupakan sesuatu yang lain sama sekali! Bukankah berarti bahwa kita lalu menjadi seperti patung hidup! Sama sekali tidak. Kita masih hidup di dalam dunia ramai dengan segala aneka ragam, namun batin kita bebas daripada ikatan, sehingga kalau sewaktu-waktu kita harus berpisah, kita tidak akan merasa takut atau ngeri, kita tidak akan merasa berduka. Ikatan selalu menimbulkan rasa takut akan kehilangan dan rasa duka kalau kehilangan. Makin kuat ikatan itu, makin besar rasa takut dan makin besar kedukaan. Sebuah benda saja dapat nenimbulkan ikatan yang demikian kuat sehingga kalau kita kehilangan benda itu, akan timbul rasa duka yang amat sangat. Dapatkah kita terbebas dari ikatan dengan kesemuanya itu? Ada yang bertanya bahwa kalau kita bebas daripada ikatan dengan keluarga, bukankah itu berarti bahwa kita tidak mencinta keluarga kita lagi? Sama sekali bukan demikian. Cinta kasih sama sekali bukanlah ikatan! Kalau kita mencinta anak kita, benar-benar mencintanya, hal itu bukan berarti bahwa kita harus terikat dengan anak kita itu. Yang ada hanya bahwa kita ingin melihat anak kita berbahagia hidupnya! Sebaliknya, ikatan menimbulkan keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, karena memang ikatan diciptakan oleh si aku yang ingin senang tadi. Cinta yang mengandung ikatan bukanlah cinta kasih namanya, melainkan keinginan untuk memuaskan dan menyenangkan diri sendiri. Cinta yang mengikat kepada anak menimbulkan keinginan untuk menguasai anak itu, untuk memperoleh kesenangan batin melalui si anak, dan terasa berat kalau berpisah, karena si aku merasa dipisahkan dengan sumber yang menyenangkan diri. Tidakkah demikian? Demikian pula dengan isteri atau suami atau keluarga atau benda, atau juga gagasan. Semua itu hanya merupakan alat untuk menyenangkan diri sendiri dan karenanya menimbulkan ikatan. Cinta kasih baru ada kalau tidak terdapat keinginan untuk menyenangkan diri sendiri. Dan tanpa adanya cinta kasih, tidak mungkin ada kebaikan atau kebajikan, karena tanpa adanya cinta kasih, segala yang nampak baik itu adalah semu, berpamrih, dan segala macam pamrih itu sumbernya adalah pada si aku yang ingin senang. Setelah menumpahkan rasa dukanya melalui runtuhnya air mata, akhirnya timbul semacam kelegaan di dalam hati Ci Sian Sian. Ia termenung dan dalam renungannya ini ia lupa segala, lupa akan kedukaannya, lupa akan keadaannya yangkesepian. Iamemandang ke depan dan melihat angkasa sedemikian indah dan agungnya, penuh dengan tatawarna yang tak dapat dilukiskan indahnya. Ada warna merah yang beraneka macam, dari merah yang jingga sampai yang jambon dan kekuning-kuningan, ada warna biru yang belum pernah dapat dibandingkannya dengan warna biru di bumi. Dan awan-awan kelabu membentuk mahluk-mahluk yang aneh, raksasa yang perkasa, binatang buas yang luar biasa. Senjakala menciptakan keindahan yang demikian agung dan besarnya, yang sekaligus mengusir atau membuat lupa segala kedukaannya yang tadi menyelimuti hati Ci Sian. Hal ini adalah karena segala pikiran, batin dan segala indera dara itu dicurahkan kepada keindahan di angkasa itu. Dan kalau sudah begini, maka segala sesuatu nampak indah. Bahkan pohon yang berdiri terpencil di depan itu, pohon yang sebagian batangnya rusak oleh ketuaan, yang beberapa cabangnya gundul dan kering, nampak menonjol dan hidup, merupakan sebagian yang tak terpisahkan dari segala yang indah. Juga dirinya terlebur menjadi satu kesatuan daripada keindahan dan keheningan itu, tidak terpisah-pisah. Pada saat itulah Ci Sian mengalami apa yang dinamakan kematian. Akan tetapi, gerengan seekor binatang buas membuyarkan kesatuan itu dan begitu pikiran Ci Sian bekerja, ia pun sudah kembali lagi kepada dirinya sendiri, dirinya yang kesepian, dirinya yang penuh dengan iba diri. Dan Ci Sian melewatkan malam yang menggelisahkan. *** Apakah yang telah terjadi dengan diri Pangeran Kiang Liong? Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, Pangeran yang bijaksana ini telah bertentangan dengan Sam-thaihouw, dan dengan bantuan keluarga pendekar Kao Kok Cu, isterinya Wan Ceng dan puteranya, Jenderal Muda Kao Cin Liong, akhirnya Pangeran membuka rahasia Sam-thaihouw, membuat nenek tua ini terserang penyakit jantung dan tewas. Setelah Sam-thaihouw dan kini kaki tangannya dibasmi dari istana, hati Pangeran itu merasa lega dan gembira bukan main. Akan tetapi, Pangeran yang semenjak muda sekali sudah suka sekali berkelana ini, tidak dapat tinggal diam terlalu lama di istana. Pada suatu hari, dia sudah lolos lagi dari istana dan mengembara ke barat, menyamar sebagai seorang pemuda biasa saja. Kesukaannya mengembara ini selain didorong oleh keinginannya untuk mengenal rakyat lebih dekat, juga karena dia ingin mempelajari dan mendengar suara rakyat agar kelak kalau dia menggantikan ayahnya memerintah, dia akan dapat mengambil sikap dan keputusan yang sesuai dengan selera rakyat terbanyak. Di samping ini, pemuda bangsawan ini pun suka bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar dan hanya dengan menyamar sebagai seorang biasa sajalah maka pergaulannya itu dapat berjalan dengan perasaan bebas, tidak seperti kalau mereka itu menghadapnya sebagai seorang pangeran di mana harus dilakukan banyak peraturan dan peradatan. Seperti biasa, biarpun Pangeran ini tidak memperkenankan pasukan pengawal untuk mengawal perjalanannya, namun ada pengawal-pengawal istana rahasia yang diam-diam membayanginya, di samping beberapa orang pendekar yang mendengar akan perjalanan ini lalu membayanginya untuk melindunginya secara diam-diam. Pangeran Kian Liong juga maklum akan hal ini. Sebenarnya dia pun tidak merasa senang dilindungi secara diam-diam seperti ini, akan tetapi karena yang melindunginya tidak menampakkan dirinya, tentu saja dia pun tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah mereka. Para hwesio yang menerima kedatangan Pangeran itu, menyambutnya sebagai seorang pemuda yang dermawan. Pemuda ini memberi sumbangan yang cukup besar dan ketika pemuda itu menyatakan bahwa dia ingin memperoleh kamar dan bermalam di kuil itu, para hwesio segera menyambutnya dan menyediakan sebuah kamar yang sederhana di sebelah belakang bangunan kuil. Karena dia merasa amat tertarik oleh bangunan kuno kuil itu dan ingin menenangkan hatinya di dalam kuil maka Pangeran Kian Liong ingin bermalam di situ dan tidak bermalam di rumah penginapan seperti biasa. Hal ini menyulitkan para pelindungnya. Kalau Pangeran itu bermalam di rumah penginapan, para pelindung itu dapat pula menyewa kamar di rumah penginapan itu untuk mengamat-amati Sang Pangeran. Akan tetapi sekali ini Sang Pangeran bermalam di kuil, tentu saja tidak mungkin bagi mereka untuk bermalam di kuil itu juga. Maka mereka berpencaran dan ada juga yang bermalam di tempat terbuka di belakang kuil, atau di rumah penduduk di sekitar kuil itu. Pada hari kedatangan Sang Pangeran di Kuil Hok-te-kong itu, seperti biasa banyak pula orang datang bersembahyang. Memang kuil itu amat terkenal “manjur”, yaitu banyak permintaan para pemujanya tercapai setelah bersembahyang di kuil itu! Dan setelah tercapai apa yang diminta mereka lalu membayar “kaul” yaitu semacam janji untuk membalas jasa atau untuk menyatakan terima kasih apabila permintaan mereka terkabul. Kaul ini berupa sembahyang besar-besarnya, membakar segala macam harta kekayaan berupa tiruan dari kertas yang dimaksudkan agar “di sananya” dapat menjadi barang berharga sungguh-sungguh untuk memberi sumbangan kepada yang telah mengabulkan permintaan mereka!Bahkan sampai jaman sekarang pun masih ada kepercayaan semacam itu! Tentu saja dengan bermacam cara, sesuai dengan tradisi dan agama masing-masing. Dan semua ini jelas memperlihatkan betapa lemahnya kita manusia ini. Melihat betapa diri sendiri ini kosong dan lemah, tidak ada apa-apanya, melihat pula akan kehidupan yang menimbulkan rasa takut, didorong pula oleh keinginan-keinginan untuk mengejar kesenangan-kesenangan baik kesenangan jasmani maupun rohani, maka kita yang merasa tidak berdaya ini lalu mencari pegangan! Kita lalu membayangkan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi itulah yang kita jadikan sasaran untuk membantu dan menolong kita, baik dalam mencapai kesenangan lahiriah maupun batiniah. Pikiran lalu mereka-reka menurut kepercayaan masing-masing, menurut tradisi ribuan tahun lamanya. Dibuatlah arca-arca, patung-patung, benda-benda keramat dan dipujanya sebagai tempat yang dihuni oleh sesuatu yang kita anggap lebih tinggi daripada kita itu. Timbul sebutan dewa-dewa, malaikat-malaikat, roh-roh suci, dan sebagainya lagi. Kita bukan hanya memujanya karena rasa takut, karena ingin selamat, ingin terlindung dan sebagainya, akan tetapi juga kita memuja untuk meminta sesuatu, minta bantuan agar sukses dalam usaha perdagangan, agar dapat jodoh, agar dapat anak, agar menang perkara, agar manjur kutuk kita terhadap musuh, dan sebagainya lagi. Dan kalau “kebetulan” apa yang kita minta itu terkabul, kepercayaan kita menjadi semakin tebal dan kita lalu membalas budi dengan cara masing-masing. Demikianlah keadaannya. Kalau kita mengamati itu semua, bukankah kita ini sungguh lemah dan bodoh sekali? Kalau kita melihat dengan sungguh-sungguh bahwa semua itu adalah palsu dan timbul dari rasa takut kita, dari keinginan kita memperoleh segala macam kesenangan, beranikah kita untuk menanggalkan itu semua? Kalau tidak berani, berarti kita belum melihat kenyataan akan kepalsuan itu. Di antara para tamu yang datang bersembahyang, terdapat seorang laki-laki setengah tua. Usianya sudah mendekati lima puluh tahun, akan tetapi dia masih nampak gagah dan tampan. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi, wajahnya yang tampan gagah itu selalu berseri dan mulutnya selalu membayangkan senyuman sehingga orang-orang suka melihatnya. Tamu ini tidak ikut sembahyang, hanya mengamati tempat itu dan orang-orang yang bersembahyang dengan sinar mata tajam. Seorang hwesio tua menyambut pria gagah ini dan pria itu menjura sambil bertanya, “Apakah Ciong suhu ada di dalam?” “Dia telah sejak tadi menantimu, Tai-hiap. Silakan masuk ke ruangan tamu di sebelah kanan.” Pria itu mengangguk dan berjalan masuk. Ketika dia memasuki ruangan tamu sebelah kanan, seorang hwesio tua yang bertahi lalat di dahinya, yaitu Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu, cepat menyambutnya dan segera mereka bercakap-cakap dengan suara lirih. “Baik sekali engkau cepat datang, Bu-taihiap,” kata Ciong-hwesio dengan wajah berseri. “Pinceng sudah khawatir sekali karena menurut beberapa orang penyelidik, Ngo-ok sudah nampak berada di kota ini pula.” Pria gagah itu memang bukan lain adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, pendekar terkenal itu. Kita sudah mengenal pendekar ini sebagai ayah kandung Ci Sian, dan juga sebagai seorang pendekar yang mempunyai banyak isteri. Seperti telah diceritakan dalam bagian depan, Bu Seng Kin dan keluarganya merasa terpukul batinnya dan merasa malu ketika pinangan mereka untuk menjodohkan puteri Bu Seng Kin dan Nandini, yaitu Bu Siok Lan, dengan Kao Cin Liong, ditolak mentah-mentah dan secara yang kasar oleh keluarga Kao. Penolakan ini tentu saja mendatangkan perasaan marah dan dendam di pihak keluarga Bu, akan tetapi pada saat terjadi penolakan, tentu saja Bu Seng Kin tidak berani untuk memperlihatkan kemarahannya. Penolakan ini pula yang menambah perasaan anti di dalam hati keluarga Bu terhadap istana. Memang sejak dahulu mereka itu tidak suka kepada kerajaan penjajah, apalagi kini mereka merasa dihina oleh seorang jenderal muda dan keluarganya, maka sikap mereka yang tidak suka terhadap Kerajaan Mancu makin menebal. Apalagi di situ terdapat Nandini, Puteri Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal dan dikalahkan oleh pasukan-pasukan kerajaan. Puteri ini membujuk-bujuk kepada suaminya untuk tidak tinggal diam dan membangkitkan jiwa patriot Bu Seng Kin untuk menentang pemerintah penjajah. Inilah sebabnya maka Bu Seng Kin atau Bu-taihiap diam-diam bergabung dengan para pendekar yang diam-diam menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Dan dalam hal ini, Bu-taihiap memperoleh teman-teman yang baik, yaitu dari golongan Siauw-lim-pai yang kini secara terang-terangan dimusuhi oleh Kaisar Yung Ceng. Para hwesio pengurus Kuil Hok-tekong adalah hwesio-hwesio yang condong berpihak kepada Siauw-lim-pai dan hal ini tidaklah aneh karena Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu adalah anak murid Siauw-lim-pai pula. Maka terjadilah pertemuan antara Bu-taihiap dan Ciong-hwesio itu, yang dilakukan dengan rahasia. “Hemm, mereka sudah muncul? Tentu mereka tidak berani turun tangan di siang hari. Malam nanti aku akan siap menghadapi mereka, harap Ciong-suhu jangan khawatir. Bahkan peristiwa ini amat kebetulan sekali. Kalau di sini terjadi penyerangan dari luar, dan ketika kami menghadapi mereka, maka dengan mudah Ciong-suhu akan dapat melarikan Pangeran tanpa ada yang menduga kalau Ciong-suhu yang melakukannya.” Mereka lalu bicara bisik-bisik mengatur siasat dan rencana selanjutnya. Mereka samasekali tidak tahu bahwa di antara para tamu yang bersembahyang itu terdapat seorang nenek bongkok yang juga bersembahyang dan mulutnya berkemak-kemik minta berkah, dengan terbongkok-bongkok, nenek itu membakar kertas dan berjalan masuk ke ruangan dalam kuil sambil menengok ke kanan kiri, mencari-cari. Seorang hwesio cepat menghampiri dan menegur, “Hei, Nenek, engkau hendak ke manakah? Tidak diperkenankan masuk ke dalam....“ “Ah, Siauw-suhu, aku ingin bertemu ketua kuil...., aku ingin menghaturkan terima kasih karena cucuku telah terkabul permintaannya dan memperoleh seorang anak laki-laki. Aku ingin Ciong-hwesio memilihkan nama untuk cucu buyutku itu....” Dan nenek itu memaksa masuk terus. “Tapi.... Ciong-suhu sedang sibuk....” “Ahh, apa sukarnya memberikan nama saja? Biarlah aku mengganggu sebentar, beliau tentu tidak akan marah. Di manakah beliau?” “Tidak boleh, nanti pinceng mendapat marah....“ Hwesio muda itu hendak menghalang, akan tetapi dia merasa tidak enak juga untuk berkeras terhadap seorang nenek dan nenek itu kini sudah mendekati ruangan tamu di mana Ciong-hwesio masih bercakap-cakap dengan Bu Seng Kin. Mendengar ribut-ribut di luar kamar tamu itu, Ciong-hwesio memberi isyarat kepada Bu-taihiap, lalu membuka pintu dan berteriak. “Ada apakah ribut-ribut di situ?” Dan diam-diam dia merasa terkejut dan curiga melihat seorang nenek tua renta sedang berbantahan dengan seorang hwesio, agaknya Si Nenek hendak memaksa masuk. “Maaf, Suhu, nenek ini nekat saja hendak menghadap Suhu, katanya hendak minta diberi nama untuk cucu buyutnya,” Melihat Ciong-hwesio, nenek itu cepat menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut, “Mohon kemurahan hati Losuhu.... karena kami sekeluarga sudah berjanji, maka setelah cucu saya melahirkan, kami sekeluarga mengharap agar Losuhu memberikan sebuah nama untuk anak itu.” “Omitohud.... kiranya demikian?” Hwesio tua itu berkata halus, menarik napas panjang, lalu melanjutkan, “Beri saja nama Tiong Gi.” “Terima kasih, terima kasih, Losuhu.... kata nenek itu dengan gembira sambil memberi hormat dan matanya mengerling ke arah pintu kamar tamu dari mana ia dapat melihat Bu-taihiap yang duduk di bangku dan memandang keluar dengan sikap tidak sabar karena gangguan itu. LANJUT ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar