Rabu, 15 Januari 2014

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 14.

Suling Emas dan Naga Siluman Jilid 14:
Suling Emas & Naga Siluman Jilid - 14 Suling Emas & Naga Siluman Jilid 14 “Baik, mari kita pergi....“ kata Kam Hong yang memegang tangan Ci Sian dan bangkit berdiri. Sejenak Kam Hong memandang ke arah Yu Hwi, lalu berkata, “Nona Yu, demi untuk kebaikan namamu sendiri, seyogianya kalau engkau pulang dan menerangkan kepada Suhu Yu Kong Tek akan keputusan yang kauambil agar pertalian jodoh antara kita itu dapat dibatalkan atau diputuskan secara resmi.” Yu Hwi membalas pandang mata Kam Hong, lalu menoleh kepada kekasihnya yang masih menunduk, kemudian dia berkata dengan suara lembut kepada Kam Hong, tidak berani lagi memandang rendah bekas tunangan itu yang ternyata telah menjadi seorang yang memiliki kesaktian hebat. “Baiklah, sekali waktu aku akan mengunjungi Kong-kong.” Setelah menerima janji ini, Kam Hong lalu menarik tangan Ci Sian diajak keluar dari gedung itu. Tidak ada seorang pun yang bergerak menghalangi, dan dengan langkah-langkah tenang mereka keluar dari dalam gedung. Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu gerbang depan, nampak bayangan tiga orang berkelebat dan ternyata tiga orang kakak beradik she Cu itu telah berdiri di depan mereka, wajah mereka pucat. “Hemm, apa lagi yang kalian kehendaki?” Kam Hong bertanya dengan berkerut, siap untuk menghadapi mereka kalau saja mereka hendak menggunakan kekerasan. Cu Han Bu melangkah maju dan menjura sambil berkata. “Saudara Kam Hong, kami hanya hendak bertanya di mana kautemukan jenazah nenek moyang kami itu. Kiranya itu adalah hak kami untuk menanyakan di mana adanya jenazah leluhur kami.” “Tentu saja, akan tetapi sayang sekali, jenazah kuno itu telah kubakar....“ “Dibakar....?” terdengar Seng Bu dan Kang Bu berteriak. “Benar, sesuai dengan tulisan pesanan terakhir pada tubuh beliau. Jenazah itu telah kubakar menjadi abu dan kukubur di tempat itu.” “Ahhhh....!” Tiga orang itu saling pandang dengan muka putus asa. Tadinya mereka mempunyai harapan untuk menemukan jenazah leluhur itu untuk dapat mempelajari ilmu pusaka keluarga mereka, akan tetapi harapannya itu hancur sama sekali mendengar betapa jenazah itu telah dibakar oleh Kam Hong. Dengan hati duka penuh kekecewaan Cu Han Bu mengepal tinjunya, lalu berkata dengan suara mengandung geram kekecewaan dan kemarahan. “Nenek moyang kami Cu Keng Ong itu telah mewariskan suling emas dan ilmu pusakanya kepadamu. Baiklah, mulai sekarang kami tidak akan memakai lagi nama Lembah Gunung Suling Emas, melainkan kami ganti menjadi Lembah Gunung Naga Siluman! Dan kautunggulah, Kam Hong, biarpun engkau telah mewarisi ilmu yang tadinya menjadi milik keluarga kami, akan tetapi kami masih mempunyai ilmu pusaka yang lain, yang diciptakan oleh Toa-pek kami sendiri. Kelak akan tiba saatnya bahwa Ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu akan dikalahkan oleh ilmu keluarga kami, yaitu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman)!” Kam Hong menarik napas panjang dan menjura. “Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Perkenankanlah kami pergi dari sini.” Cu Han Bu dapat mengatasi kekecewaannya. Melihat sikap tamunya yang cukup hormat dan tidak merasa tinggi hati oleh kemenangannya itu, dia pun menarik napas panjang dan balas menjura, “Saudara Kam Hong, maafkan sikap kami yang kecewa karena nasib telah mempermainkan kami yang kehilangan benda pusaka dan ilmu pusaka ini. Mari kuantar kalian sampai ke jembatan tambang.” Setelah berkata demikian, Cu Han Bu seorang diri saja lalu menemani Kam Hong dan Ci Sian menuju ke tepi jurang yang amat curam itu. Ketika mereka tiba di tepi jurang, Cu Han Bu memandang ke arah para penjaga jembatan itu dan bertanya dengan tegas. “Apakah kalian tadi melihat Nona di sini?” Para penjaga nampak ketakutan mendengar pertanyaan itu. Seorang di antara mereka, kepala jaga, lalu memberi hormat dan menjawab, “Harap ampunkan kami.... tadi Cu-siocia (Nona Cu) memaksa kami untuk memasang tambang dan dia telah menyeberang. Kami tidak berani menolak permintaannya.” Dalam keadaan biasa, tentu Cu Han Bu akan menjadi marah dan melakukan mengejaran kepada puterinya. Akan tetapi saat itu hatinya sedang kesal dan murung, maka dia pun tidak peduli lalu memberi tanda agar jembatan tambang itu diangkat dan membiarkan dua orang tamunya menyeberang. “Silakan, Saudara Kam Hong.” Cu Han Bu mempersilakan ketika jembatan tambang itu sudah diangkat dan membentang lurus menyeberang jurang. Melihat tambang itu dan membayangkan betapa dia dan Kam Hong berdua harus menyeberang meninggalkan tuan rumah yang berada dalam keadaan marah, kecewa dan penasaran itu, hati Ci Sian tentu saja merasa ngeri sekali. “Nanti dulu, Paman Kam Hong” katanya menahan lengan pendekar itu yang sudah siap menyeberang. “Berbeda dengan ketika kita datang sebagai tamu, kini kita pergi sebagai orang-orang yang dimusuhi dan tidak disukai, dan kalau ketika datang kita menyeberang bersama mereka, kini kita harus menyeberang berdua saja. Bagaimana kalau selagi tiba di tengah-tengah jembatan, tambang ini lalu dibikin putus olehnya?” Kam Hong terkejut sekali mendengar kelancangan ucapan Ci Sian ini, akan tetapi tiba-tiba Cu Han Bu sudah mengeluarkan teriakan nyaring dan pendekar itu mengangkat tangan kanan ke atas. Kam Hong sudah siap untuk melindungi Ci Sian, akan tetapi pria yang kini matanya melotot dan mukanya menjadi merah itu menurunkan tangan kanannya dan mencengkeram jari kelingking tangan kirinya sendiri. Terdengar bunyi tulang patah dan darah mengucur ketika jari kelingking tangan kirinya sendiri itu telah remuk dan lenyap setengahnya! Ci Sian terbelalak memandang dengan muka pucat. “Nona.... kau.... kau sudah berkali-kali terlalu menghina kami!” Cu Han Bu berkata, matanya masih melotot dan napasnya agak terengah menahan marah. “Kalau tidak melihat muka Saudara Kam Hong, aku tentu sudah membunuhmu! Akan tetapi kalau lain kali kita bertemu kembali, aku takkan dapat mengampunimu lagi!” Ci Sian merasa ngeri, bukan hanya melihat sikap orang itu, akan tetapi juga melihat jari kelingking yang hancur dan masih meneteskan darah segar itu. Akan tetapi pada saat itu, Kam Hong sudah menarik tangannya dan mengajaknya meloncat ke atas tambang dan dengan cepat berlari ke seberang. Setelah mereka dengan selamat meloncat ke daratan diseberang, tambang itu lalu diturunkan kembali dan lenyap di dalam kabut. Legalah rasa hati Ci Sian setelah mereka selamat sampai ke darat. “Ci Sian, mengapa engkau begitu lancang mulut sehingga membikin marah Cu Han Bu seperti itu? Lain kali engkau harus berhati-hati kalau bicara, jangan menurutkan hati dan pergunakan kebijaksanaan.” Ci Sian kaget, sejenak dia menatap wajah Kam Hong karena suara teguran itu benar benar dirasakan amat pedas dan menusuk, dan tiba-tiba dia menangis. Bukan menangis manja, melainkan menangis sedih sekali. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi, ayahnya yang diharapkannya itu ternyata mengecewakan hatinya dan dia tidak mungkin hidup disamping ayahnya yang telah mempunyai isteri begitu banyak. Kini tinggal Kam Hong seoranglah yang dianggapnya sebagai pelindung dan orang terdekat, dan sekarang.... Kam Hong agaknya marah-marah dan tidak senang kepadanya. Karena sedih, maka dia menangis. Melihat Ci Sian menangis, Kam Hong menggeleng-geleng kepala, lalu menghampiri dan memegang pundaknya. “Sudahlah, kenapa kau malah menangis?” Akan tetapi Ci Sian menarik pundaknya dari sentuhan Kam Hong, lalu di antara isaknya dia berkata. “Dia orang jahat.... hu-huuh, dia mengancam untuk membunuhku, kau.... kau peduli apa? Aku.... aku hanya membikin susah padamu saja....” Kam Hong menyambar lengan dara itu dan menariknya dekat, “Kau marah oleh teguranku tadi? Ci Sian, ingatlah, aku menegur demi kebaikanmu! Dan selama ada aku disampingmu, takkan ada seorang pun yang boleh mengganggumu! Akan tetapi.... ada waktunya berkumpul tentu akan datang saatnya berpisah, dan karena itu engkau harus mempelajari ilmu yang kita temukan itu dengan tekun agar kelak engkau akan mampu menjaga diri sendiri kalau terancam oleh lawan yang lihai.” Ci Sian mengangkat muka memandang wajah itu. “Kau.... kau tidak marah kepadaku, Paman?” Terpaksa Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak marah, aku menegur agar engkau sadar bahwa hal itu berbahaya bagimu sendiri.” Ci Sian merangkul pundak dan menyembunyikan mukanya di dada Kam Hong. “Paman.....aku tidak punya siapa-siapa lagi kecuali engkau, maka janganlah kau marah padaku....” Kam Hong mendekap dan sejenak hatinya merasa amat terharu, kemudian berdebar aneh ketika menyadari betapa dia mendekap dara remaja itu. Teringat akan ini cepat-cepat dia dengan halus melepaskan dekapannya dan mendorong tubuh dara itu menjauh sambil berkata, “Sudahlah, mari kita mulai berlatih. Engkau telah mulai maju dalam latihan gin-kang menurut ilmu penghimpunan khi-kang dari tiupan suling, maka mari kita lanjutkan latihan gin-kang itu. Mari kita lari ke puncak bukit di depan itu dan pergunakan semua tenagamu.” “Baik, Paman, mari kita berlumba!” Ci Sian sudah melupakan kesedihannya. Air matanya masih belum kering, kedua pipinya masih basah, akan tetapi bibirnya yang manis itu telah tersenyum lagi ketika dia mulai meloncat dan lari ke depan dengan cepat seperti seekor kijang betina muda yang bahagia. Kam Hong tersenyum dan dia pun mengejar, maka berlarianlah dua orang itu menuju ke puncak bukit di depan. Ketika dia berlari-lari di samping Ci Sian, Kam Hong seolah-olah mendengar suara nyanyian yang timbul dari perasaan hatinya sendiri, yang membuat dia merasa demikian senang. Dia sendiri merasa heran sekali dan dia masih dalam keadaan meraba-raba dan menduga-duga apakah ini yang dinamakan cinta asmara? Benarkah dia jatuh cinta kepada Ci Sian? Pertanyaan ini selama ini selalu berbisik di dalam hatinya dan dia belum berani menentukannya. Dahulu, sebelum dia bertemu dengan Ci Sian, dia selalu menganggap bahwa dia mencinta calon isterinya, Yu Hwi, sungguhpun antara dia dan Yu Hwi belum pernah terjadi perhubungan yang akrab, bahkan ketika Yu Hwi mendengar akan pertunangan itu, Yu Hwi lalu melarikan diri, hal itu juga membuktikan bahwa Yu Hwi tidak setuju dengan perjodohan itu dan berarti pula tidak cinta kepadanya. Akan tetapi, karena adanya ikatan jodoh itu membuat dia selalu mengenangkan Yu Hwi, kenangan yang luar biasa karena dia mula-mula mengenal Yu Hwi sebagai seorang pemuda bernama Kang Swi Hwa (baca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI), dan dialah yang membuka rahasia Kang Swi Hwa itu sebagai seorang gadis ketika dia hendak mengobati “pemuda” itu dan melihat bahwa pemuda itu mempunyai dada seorang dara! Kenangan inilah yang mengingatkan dia akan Yu Hwi sebagai seorang wanita, lebih lagi sebagai seorang calon isterinya, kenangan yang lucu, mesra dan aneh. Ini pula agaknya yang membuat dia merasa selalu rindu kepada Yu Hwi dan ini pula yang membuat dia mengira bahwa dia mencinta Yu Hwi. Akan tetapi, semenjak dia bertemu dengan Ci Sian beberapa tahun yang lalu, sejak Ci Sian hanya seorang dara cantik berusia tiga belas tahunan, ada sesuatu di dalam hatinya yang melekat kepada dara ini. Kini, setelah berjumpai kembali dengan Ci Sian sebagai seorang dara yang sudah dewasa, dia merasa seolah-olah Yu Hwi hanya merupakan bayangan mati dan kini terganti oleh seorang dara yang benar-benar hidup dan yang membutuhkan perlindungannya! Apalagi setelah dia berjumpa sendiri dengan Yu Hwi dan menyaksikan sikap calon isterinya itu, bayangan lama tentang Yu Hwi itu seketika lenyap sama sekali dan dia merasa gembira! Kalau dulu dia tidak berani memikirkan bahwa dia tertarik kepada Ci Sian karena dia selalu ingat bahwa dia adalah seorang pria yang sudah mempunyai calon isteri, jodoh yang sudah ditentukan sehingga haram baginya untuk menoleh kepada wanita lain, kini dia merasa seolah-olah dia telah terbebas dari belenggu ikatan itu. Dia telah bebas, sama bebasnya dengan Ci Sian. Inilah agaknya yang mendatangkan rasa senang sekali di saat dia lari di samping Ci Sian itu. Benarkah dia telah jatuh cinta kepada dara ini? Dara yang memanggilnya paman, yang memang sepatutnya menjadi keponakannya? Dia tahu bahwa usia Ci Sian kurang lebih baru tujuh belas tahun, sedangkan dia sendiri sudah berusia dua puluh tujuh tahun! Pantaskah kalau dia jatuh cinta kepada dara remaja ini? Akan tetapi, pada saat itu keraguan kecil ini segera lenyap seperti awan tipis terhembus angin. Dia merasa gembira, bahkan dia ingin berloncatan dan bermain-main seperti kembali menjadi anak-anak, atau setidaknya kembali menjadi semuda Ci Sian. Cinta asmara memang sesuatu pengalaman hidup yang amat luar biasa bagi setiap orang manusia. Segala macam perasaan tercakup di dalamnya. Ada dorongan-dorongan yang timbul dari dalam, bukan dari pikiran, yaitu membuat kita merasa amat mesra, ingin selalu berdekatan, ingin selalu memandang, ingin selalu menyenangkan hatinya, ingin selalu mendengar suaranya. Ada sesuatu yang sukar diselidiki, yang timbul di luar kesadaran kita, sesuatu yang amat mengharukan, yang mendorong hati kita untuk condong bersatu dengan dia, takkan terpisah lagi, ada sesuatu yang lebih daripada sekedar kegembiraan, sekedar dorongan berahi belaka. Akan tetapi, kalau kita tidak berhati-hati, pikiran yang selalu ingin mengejar kesenangan pribadi, baik kesenangan jasmani atau rohani, pikiran dapat menimbulkan bayangan-bayangan kenikmatan nafsu yang menjurus kepada nafsu berahi dan sekali nafsu menguasai batin, menjadi yang terpenting, maka akan cemarlah yang dinamakan cinta itu. Berahi adalah soal yang wajar, tuntutan jasmani, daya tarik antara pria dan wanita, yang alamiah karena dari daya inilah lahirnya keinginan untuk bersatu dan dari sinilah pula datangnya rahasia perkembangbiakan manusia, anak beranak. Daya tarik ini merupakan sesuatu yang wajar, tanpa ada unsur kesengajaan, karenanya alamiah dan gaib, dan hal itu tercakup pula dalam cinta. Akan tetapi, begitu nafsu berahi dipupuk oleh pikiran dengan dasar mencari kepuasan atau kenikmatan, akan rusaklah segala-galanya dan cinta menjadi sesuatu yang mungkin saja menimbulkan segala macam kerusakan, kekerasan, konfllk dan kesengsaraan. Cinta yang sudah dicengkeram dan dikuasai oleh nafsu berahi itu, yang pada hakekatnya adalah nafsu keinginan menyenangkan dirl sendiri belaka, akan menimbulkan cemburu, ingin menguasai, bahkan dapat berbalik menjadi benci kalau keinginan menyenangkan dirinya sendiri itu terhalang. Akan tetapi, kalau pikiran membentuk nafsu keinginan menyenangkan diri sendiri itu tidak mencampuri, tidak mengotori, yang tinggal hanyalah kewajaran cinta yang amat indah, cinta yang sinarnya memenuhi seluruh jagat dan menembus ke lubuk hati setiap orang manusia, yang getarannya menghidupkan segala sesuatu yang nampak maupun yang tidak nampak. Kalau sudah ada sinar dan getaran cinta itu, maka tidak ada lagi persoalan, segala sesuatu menjadi indah dan suci, bahkan berahi pun menjadi sesuatu yang indah dan suci, cinta asmara antara seorang pria dan seorang wanita pun menjadi sesuatu yang indah dalam sinar cinta kasih. Pada saat Kam Hong berlari-larian dengan Ci Sian itu, sinar cinta kasih menerangi hatinya, mendatangkan perasaan yang amat luar biasa, kebahagiaan yang tidak terpisah dari alam, dari segala-galanya yang nampak, batinnya begitu penuh dengan kebebasan dan keheningan, yang ada hanya rasa bahagia itu saja, yang lain-lain tidak ada lagi! Kiranya setiap orang pernah merasakan hal ini, namun sayang, hanya sekilas saja karena batin sudah diserbu lagi oleh keinginan-keinginan memuaskan diri dengan kesenangan-kesenangan. Bahkan rasa bahagia itu pun lalu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar! Sayang! Ketika mereka tiba di puncak bukit, tiba-tiba Ci Sian yang agak terengah-engah karena memang tenaganya belum kuat benar dan dia tadi telah mengerahkan terlalu banyak tenaga, berhenti berlari dan menuding ke depan. Keringat halus memenuhi leher dan dahinya. Kam Hong ikut memandang ke depan dan nampaklah olehnya seorang pemuda di atas lereng bukit di depan, lalu pemuda itu berhenti dan muncul dua orang kakek. Agaknya terjadi percekcokan dan pemuda itu berkelahi dengan dua orang kakek. Akan tetapi hanya dalam waktu singkat, pemuda itu kena ditawan, agaknya pingsan lalu dipanggul oleh seorang di antara dua kakek itu dan dibawa pergi. “Dia itu Cu Pek In....!” kata Kam Hong. “Ci Sian, kautunggu saja di sini, aku harus mengejar mereka dan menolong Nona Cu!” setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja Kam Hong telah pergi dan lenyap dari situ, mengejar ke depan, turun dari puncak bukit itu. Ci Sian juga mengenal bahwa pemuda yang ditawan oleh dua orang kakek itu adalah Cu Pek In, gadis puteri majikan Lembah Suling Emas atau yang kini dirobah namanya menjadi Lembah Naga Siluman, merasa tidak enak ditinggal sendirian saja di puncak bukit yang sunyi itu. Maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya ikut lari mengejar turun dari puncak itu. Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu sudah tidak nampak lagi bayangan mereka dan juga Kam Hong sudah lenyap sehingga Ci Sian menjadi bingung, akan tetapi dia masih terus mengejar, lari turun bukit menuju ke bukit di mana tadi Pek In dan dua orang kakek itu nampak. Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh keringat akhirnya Ci Sian terpaksa berhenti di lereng bukit itu karena dia merasa bingung. Dia tidak tahu ke mana larinya dua orang kakek yang menawan Cu Pek In tadi, juga tidak lagi melihat bayangan Kam Hong yang mengejar mereka. Dia juga tidak tahu apakah dia tidak tersesat jalan. Dia merasa bingung dan khawatir. Membayangkan bahwa dia akan terpisah selamanya dari Kam Hong, ingin rasanya dia menangis dan ingin dia berteriak-teriak memanggil nama Kam Hong. Akan tetapi dia menahan diri. Dia merasa malu kalau harus berteriak-teriak memanggil, apalagi baru saja Kam Hong telah menegurnya. Dia tidak akan sembarangan lagi membuka mulut. Pula, Kam Hong adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian hebat, apa sukarnya bagi pendekar itu untuk mencari dan menemukannya? Dia harus bersikap tenang, seperti Kam Hong. Bukankah dia juga diakui sebagai adik seperguruan? Masa adik seperguruan Pendekar Suling Emas yang perkasa itu harus menjadi seorang gadis cengeng dan penakut? Dengan pikiran itu yang merupakan hiburan baginya, pulih kemball semangat dan keberaniannya dan mulailah dia berjalan menuruni bukit itu dengan hati-hati sambil memasang mata, tidak lagi lari seperti tadi. Hari telah makin menua, matahari mulai kebarat, dan biarpun dia mulai merasa khawatir lagi, namun diberani-beranikan hatinya dan dia melangkah terus. Dia mendaki bukit penuh salju di depan karena dia melihat tapak kaki di atas salju tebal. Ketika dia tiba di lereng bukit itu, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan memasang telinga dengan penuh perhatian. Ada suara berdengung-dengung atau mengaung-aung dari arah kiri. Tadinya dia mengira bahwa itu suara suling dari Kam Hong, akan tetapi ternyata bukan, suara suling tidak seperti itu, mengaung dan kadang-kadang berdesing tajam itu lebih mirip suara gerakan pedang yang luar biasa sekali, akan tetapi dia pun meragu karena mana mungkin gerakan pedang biasa berdengung seperti itu, seperti berirama dan menyanyikan lagu aneh! Betapapun juga, dia merasa yakin bahwa itu pasti bukan suara angin bertiup melalui lubang atau mempermainkan pohon karena di bukit itu semua pohon gundul tertutup salju. Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa suara itu tentu ditimbulkan oleh manusia, dan siapa pun adanya manusia itu, harus dia temui untuk ditanya kalau-kalau tadi melihat Kam Hong. Dan siapa pun dia, lebih baik bertemu manusia lain daripada berkeliaran seorang diri saja di tempat yang lengang itu. Dengan hati tabah dia lalu melanjutkan langkahnya, kini dengan langkah lebar menuju kekiri, melalui bagian yang banyak batunya dan akhirnya dia tiba di depan sebuah batu besar sekali dan berhenti, memandang dengan bengong dan mau tidak mau bulu tengkuknya meremang karena kini jelas olehnya bahwa suara mengaung-aung itu keluar dari dalam batu besar itu! Hampir dia tidak percaya! Akan tetapi tak salah lagi, suara itu keluar dari dalam batu besar. Dia menempelkan telinganya pada batu itu dan suara itu makin jelas, dan kini dia tidak salah lagi, suara itu pasti suara gerakan pedang yang memang amat luar biasa sekali. Akan tetapi, mana mungkin pedang digerakkan orang di dalam sebuah batu yang amat besar, sebesar pondok? Mulailah dia membayangkan siluman atau iblis penghuni batu besar itu. Akan tetapi, selama hidupnya, biarpun dia seringkali mendengar dongeng tentang setan dan iblis, dia belum pernah bertemu dengan iblis! Maka dia lalu mengambil sebuah batu dan mengetuk-ngetuk batu besar itu beberapa kali. Dan tiba-tiba suara mengaung-aung itu pun berhenti! Suasana menjadi sunyi sekali setelah suara itu berhenti, sunyi yang terasa amat tidak enak bagi Ci Sian. Suara itu setidaknya meyakinkan dia bahwa dia tidak seorang diri saja di tempat yang lengang itu. Dan menghilangnya suara itu membuat dia merasa ditinggalkan sendirian lagi. Maka dia mengetuk-ngetuk lagi pada batu besar dan kini disusul teriakannya, “Haiii! Adakah orang di dalam batu ini?” Karena ketegangan hatinya takut di tinggalkan orang, Ci Sian sampai tidak sadar betapa lucunya pertanyaan yang dikeluarkannya itu. Biasanya, kalau orang bertanya, tentu bertanya apakah ada orang di dalam rumah, tapi kini dia bertanya apakah ada orang didalam batu! Mana mungkin ada orang di dalam batu? “Haiii! Siapakah yang berada di dalam batu?” kembali dia berteriak dan memukul-mukulkan batu yang dipegangnya itu pada batu besar. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam batu! Suara itu terdengar aneh, seperti mulut tersumbat, akan tetapi cukup dapat didengarnya, “Sumoi, engkaukah itu?” Bukan main girangnya hatinya. Tentu Kam Hong itu! Siapa lagi yang menyebutnya sumoi kalau bukan Kam Hong? Biarpun biasanya Kam Hong menyebutnya Ci Sian, akan tetapi bukankah pendekar itu sudah mengakui dia sebagai sumoinya? Dan kalau suara Kam Hong seperti itu, tidak aneh karena pendekar itu berada di dalam batu! Tentu suaranya seperti tersumbat. Dan di dunia ini mana ada manusia lain kecuali Kam Hong yang memiliki cukup kesaktian untuk masuk ke dalam batu besar? “Benar, Suheng, ini aku!” teriaknya dengan nyaring. Karena Kam Hong menyebutnya sumoi, mengapa dia tidak menyebutnya suheng? Masa kalau dia dipanggil sumoi (adik seperguruan), lalu dia menjawabnya dengan sebutan paman? Dan lagi, kalau diingat-ingat, dia memang jauh lebih senang menyebut suheng daripada menyebut paman kepada Kam Hong. “Mau apa engkau datang menyusulku, Sumoi?” kembali terdengar suara itu, suara aneh karena tentu saja tidak leluasa keluarnya dari dalam batu itu. “Mau apa menyusulmu?” Ci Sian mulai terheran dan mendongkol! Jangan-jangan Kam Hong telah menjadi miring otaknya, kalau tidak masa menyembunyikan diri di dalam batu besar seperti itu dan masih bertanya lagi kepadanya mengapa dia datang menyusul? “Bukalah aku mau bicara!” katanya dengan nyaring karena tidak enak kalau berbantahan dari luar dan dalam batu! “Tunggu sebentar....!” Ci Sian melangkah mundur. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana Kam Hong akan keluar dari dalam batu itu. Jangan-jangan batu itu akan meledak dari dalam. Yang lebih mengherankan lagi, bagaimana masuknya? Dia menyabarkan diri karena kalau sudah keluar, tentu Kam Hong akan dapat menjawab semua keheranannya. Tiba-tiba batu besar itu bergerak ke kanan! Dalam keheranannya, Ci Sian hendak menegur, akan tetapi dia menahan diri ketika melihat betapa di balik itu kelihatan lubang hitam yang makin lama makin melebar. Setelah lebarnya cukup, batu itu berhenti dan dari dalam guha yang tersembunyi di balik batu besar itu muncullah seorang pemuda yang langsung meloncat keluar. Ci Sian terkejut, pemuda itu pun terkejut ketika mereka saling pandang. Kemudian wajah mereka nampak berseri ketika mereka saling mengenal. “Engkau....?” “Engkau....?” Pemuda itu pun berseru hampir berbareng. “Bukankah engkau eh...., Siauw Goat dan kita pernah berjumpa lima tahun yang lalu?” Suaranya penuh keraguan karena ketika dia bertemu dengan dara ini, belumlah sebesar ini, masih merupakan seorang gadis cilik, bukan seorang dara remaja yang cantik jelita seperti ini. “Dan engkau tentu Sim Hong Bu, pemuda pemburu itu, bukan?” Ci Sian menjawab. “Kau tadi kusangka Sumoi....” “Dan engkau kusangka Suheng....” Keduanya diam dan segera keduanya tertawa karena baru terasa oleh mereka betapa pertemuan itu membuat mereka terkejut, heran dan juga girang sehingga mereka mengeluarkan kata-kata yang hampir berbareng dan bersamaan artinya, sehingga tidak terjadi tanya jawab sebagaimana mestinya dan percakapan itu menjadi kacau! “Hong Bu, ketika kita saling jumpa, kita masih belum dewasa, masih kecil. Akan tetapi engkau dapat mengenalku dengan seketika, apakah aku masih sama saja dengan ketika masih kecil dahulu?” Hong Bu yang sejak tadi memandang dengan bengong seperti orang penuh pesona, penuh kagum, mendengar pertanyaan yang jujur itu, lalu menjawab sejujurnya pula. “Memang tidak ada bedanya dalam pandang matamu yang tajam, senyummu yang khas, akan tetapi engkau.... engkau sekarang, hemmm, cantik jelita sekali, Siauw Goat!” Tiba-tiba wajah dara itu berubah merah, bukan merah karena marah melainkan karena malu, dan untuk menyembunyikan rasa malu ini dia cepat berkata, “Jangan sebut aku Siauw Goat lagi, Aku bukan anak kecil lagi maka namaku bukanlah Bulan Kecil lagi, melainkan Ci Sian, Bu Ci Sian. Hong Bu, siapakah adanya Sumoimu yang kau sebut-sebut tadi?” Bu Ci Sian....? Sungguh nama yang indah sekali... tapi mengapa dulu namamu Siauw Goat....?” Mendengar pujian ini dan betapa Hong Bu tidak menjawab pernyataannya bahkan bertanya tentang namanya, Ci Sian cemberut, akan tetapi menjawab juga. “Siauw Goat hanya nama julukan yang diberikan orang kepadaku di waktu aku masih kecil saja, namaku yang sebenarnya adalah Bu Ci Sian, akan tetapi nama itu sama sekali tidaklah indah....“ “Siapa bilang tidak indah? Nama itu bagus sekali, Siauw.... eh, Ci Sian!” “Sudahlah, sekarang jawab pertanyaanku, siapakah Sumoimu itu?” “Sumoiku? Ah, Sumoiku bernama Cu Pek In....“ Hong Bu terhenti karena melihat betapa dara itu menjadi terkejut sekali dan wajah dara yang jelita itu berobah, alisnya berkerut dan pandang matanya tak senang. Kemudian, semakin terkejutlah hati Hong Bu ketika dia melihat dara itu mengepal tinjunya dan melangkah maju mendekatinya dengan sikap mengancam. “Bagus, jadi engkau adalah murid keluarga Cu yang jahat itu, ya? Engkau murid keluarga siluman itu? Nah, suatu kesempatan bagiku untuk membasmi muridnya lebih dulu sebelum membasmi guru-gurunya!” Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali Ci Sian lalu menerjang ke depan dan menyerang dada Hong Bu! “Eh, Ci Sian.... eh, ada apa ini....?” Hong Bu terkejut akan tetapi dia hanya mengelak kekanan kiri ketika dara itu menyerangnya secara bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga yang cukup dahsyat. Akan tetapi Ci Sian tidak bicara lagi melainkan menyerang semakin ganas. Harus diketahui bahwa pada waktu itu, tingkat kepandaian Sim Hong Bu telah mengalami perubahan yang amat hebat. Selama hampir lima tahun dia telah digembleng oleh tiga orang kakak beradik Cu yang melatihnya dengan tekun dan keras, sesuai dengan pesan mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. Dan karena Hong Bu memang seorang anak kecil yang amat berbakat, ditambah lagi semangatnya yang besar, maka dalam waktu empat tahun saja dia telah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi keluarga itu dengan baiknya, bahkan dalam hal penghimpunan tenaga sin-kang dan kematangan ilmu silat, dia telah jauh melampaui Cu Pek In, dan bahkan sudah mendekati tingkat Cu Kang Bu ataupun Cu Seng Bu. Kini, dia mulai disuruh oleh guru-gurunya untuk mengasingkan diri di dalam guha di mana dia pernah diajak oleh Yeti, dan disuruh mematangkan ilmu-ilmunya yang telah dipelajarinya selama ini dan juga untuk mulai melatih diri dengan ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan terutama sekali Ilmu Pedang Koai-liong-kiam itu. Oleh karena itu, kini menghadapi Ci Sian, kalau dia mau melawan, tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan dara ini yang belum benar-benar menerima pelajaran Ilmu silat dari Kam Hong. Akan tetapi, Sim Hong Bu sama sekali tidak tidak mau melawan. Begitu berjumpa dengan Ci Sian, terjadi sesuatu yang aneh dalam hatinya. Dia terpesona dan kagum, tertarik sekali kepada dara yang pernah dijumpainya lima tahun yang lalu itu, dan kini menghadapi serangan-serangan ganas dari Ci Sian, dia hanya merasa terkejut dan terheran-heran saja. Sedikit pun dia tidak bermaksud untuk melawan, hanya mengelak terus dan kadang-kadang saja menangkis tanpa menggunakan terlalu banyak tenaga karena dia tidak ingin menyakiti lengan Ci Sian. Akan tetapi, hal itu malah menambah kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Ci Sian. Melihat betapa Hong Bu hanya selalu mengelak dan menangkis tanpa membalas sedikit pun, sedangkan dia sudah mengeluarkan semua kepandaian untuk menyerang dan semua tidak ada hasilnya sama sekali membuat dia penasaran dan hampir menangis. “Balaslah! Hayo balaslah, kau pengecut, murid keluarga iblis!” bentaknya berkali-kali sambil terus menyerang. Hong Bu yang merasa terkejut dan terheran-heran itu mengerti bahwa sikapnya yang tidak melawan itu agaknya malah menyinggung hati Ci Sian. Dia tidak mengerti akan watak yang dianggapnya aneh dan lucu itu, akan tetapi dia pun merasa kasihan ketika mendengar betapa di dalam suara dara itu terkandung isak tertahan. Maka ketika Ci Sian memukul lagi ke dadanya, dia sengaja berlaku lambat ketika mengelak. “Dukkkk....!” Tubuhnya terlempar ke belakang dan terpelanting. Begitu melihat pukulannya mengenai sasaran, Ci Sian merasa girang akan tetapi juga berbareng merasa kaget bukan main. Akan tetapi hatinya lega melihat Hong Bu tidak mati dan dia malah menjadi ragu-ragu untuk menyerang lebih lanjut ketika melihat Hong Bu bangkit kembali dengan wajah memperlihatkan rasa penasaran dan juga kedukaan itu. “Ci Sian, harap kau bersabar.... mengapa engkau marah-marah dan benci kepadaku, menyerang tanpa alasan?” Hong Bu bertanya sambil mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor oleh debu ketika dia terjatuh tadi. Tentu saja pukulan yang sengaja diterimanya dengan dada tadi sama sekali tidak melukainya dan tidak terasa nyeri karena dia sudah melindungi dadanya dengan sin-kang yang lemas sehingga dara itu pun tidak sampai terluka tangannya. Ci Sian memandang ke arah dada kiri pemuda yang terpukul olehnya tadi. Dia tadi mengerahkan tenaganya dan pukulannya tadi keras sekali, cukup keras untuk membunuh orang! “Tidak.... tidak sakitkah dadamu yang kupukul?” Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Hong Bu tertawa. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menahan rasa geli di hatinya itu dan juga dia merasa amat girang. Kiranya Ci Sian bukanlah seorang dara kejam, buktinya begitu dia kena terpukul, gadis itu bertanya dengan nada suara penuh kekhawatiran! Maka dia cepat-cepat meringis dan mengusap-usap dadanya yang tadi terpukul. “Bukan main nyerinya.... pukulanmu kuat dan dahsyat sekali.... akan tetapi.... tidak mengapalah, biarlah sebagai hukumanku kalau aku memang bersalah. Akan tetapi, bersalahkah aku kepadamu, Ci Sian? Dan kalau ada salah, apakah kesalahanku itu maka engkau menjadi begitu marah dan memukulku?” Setelah dia berhasil memukul dada Hong Bu, sudah lenyaplah rasa penasaran dan kemarahan dari hati Ci Sian dan timbul rasa kasihan kepada pemuda itu. Bagaimanapun juga, pemuda itu sama sekali tidak mempunyai kesalahan apa pun terhadap dia. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mengakui hal ini dan dengan muka tetap cemberut, biarpun suaranya tidak sekeras tadi dia berkata, “Keluarga Cu itu gurumu, bukan? Benar, keluarga penghuni Kim-siauw San-kok (Lembah Gunung Suling Emas ) karena mulai sekarang mereka tidak berhak memakai lagi nama julukan Suling Emas. Mereka itu telah kalah oleh Suhengku dan sudah berjanji takkan lagi memakai nama Suling Emas.” “Eh, apakah yang telah terjadi, Ci Sian? Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan itu, juga aku sama sekali tidak tahu mengapa engkau memusuhi keluarga Cu sehingga engkau marah-marah kepada aku yang menjadi murid mereka. Marilah, kita duduk dan bicara dengan tenang.” Mereka lalu duduk di depan batu besar yang menutupi guha itu. Ci Sian sudah tidak marah lagi sungguhpun ada rasa kecewa dalam hatinya bahwa pemuda yang menyenangkan ini ternyata adalah murid dari musuh-musuhnya yang dibencinya. Ya, dia membenci keluarga Cu, karena bukankah keluarga itu hendak membunuhnya, bahkan pada menjelang perpisahan, Cu Han Bu masih juga mengeluarkan ancamannya? “Nah, sekarang ceritakanlah kepadanya apa artinya semua ini, Ci Sian?” “Ceritakan dulu bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi murid mereka.” kata Ci Sian. Hong Bu tersenyum lalu menarik napas panjang. Dara ini sungguh amat memikat hatinya, dan biarpun dara ini sedang berada dalam keadaan marah, namun tidak mengurangi daya tariknya yang amat kuat. Dan dia merasa yakin bahwa kemarahan dara itu kepadanya secara tiba-tiba bukannya tidak ada alasannya yang kuat, oleh karena itu biarpun belum mendengarkan alasan itu pun dia sudah dengan rela memaafkan gadis itu! “Aku menjadi murid mereka secara kebetulan saja.” dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Dia harus merahasiakan tentang mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. “Secara kebetulan aku terbawa oleh rombongan orang-orang kang-ouw menjadi tamu di Lembah Suling.... eh, di lembah keluarga Cu itu dan karena ternyata bahwa pedang Koai-liong-kiam berada di tanganku, maka aku ditetapkan menjadi ahli waris pedang itu dan ilmunya, dan karena pedang itu berasal dari keluarga Cu, maka dengan sendirinya aku menjadi murid mereka. Selama hampir lima tahun aku belajar ilmu dari mereka, yaitu ketiga orang Suhuku she Cu itu. Nah, demikianlah pengalamanku mengapa aku menjadi murid mereka, Ci Sian. Dan sekarang, ceritakanlah mengapa engkau membenci mereka....?” “Kalau engkau murid mereka, mengapa engkau sekarang berada di sini sehingga engkau tidak tahu apa yang terjadi di lembah?” Ci Sian masih merasa tidak puas. “Sejak tiga bulan yang lalu aku tidak pernah keluar dari dalam guha di balik batu ini, Ci Sian. Karena sudah tiba saatnya bagiku untuk mempelajari ilmu pedang yang diwariskan kepadaku. Kalau tidak engkau mengetuk-ngetuk pada batu tadi, sampai sekarang pun aku belum keluar dari dalam guha itu.” “Dan kausangka.... aku.... Sumoimu.... hemm.... gadis yang berpakaian pria itu?” “Ya, benar. Kau sudah mengenal Sumoi Cu Pek In?” “Tentu saja, aku sudah bertemu dengan banci itu!” “Banci?” Sepasang mata Hong Bu terbelalak heran. “Ya, banci. Seorang dara yang selalu mengenakan pakaian pria, apalagi kalau bukan banci namanya?” Hong Bu tertawa geli dan Ci Sian memandang marah. “Kenapa kau tertawa?” “Karena kau lucu, Ci Sian. Dia bukan banci. Dia berpakaian pria semenjak kecil, karena dahulu, mendiang ibunya ingin sekali mempunyai seorang anak laki-laki. Maka dia menjadi terbiasa dan sampai sekarang suka sekali berpakaian pria. Mendengar bahwa ibu dari Pek In sudah tidak ada, diam-diam Ci Sian merasa berkurang bencinya kepada dara yang senasib dengan dia itu. “Apakah yang telah terjadi di lembah dan mengapa engkau dapat datang ke tempat ini, Ci Sian?” “Aku dan Suheng, kau tahu siapa Suheng, dia adalah Pendekar Suling Emas tulen Kam Hong, datang....” “Ahhh.... ! Pendekar perkasa yang dulu pernah menolong kita itu? Yang mempergunakan suling emas dan kipas?” “Benar, dialah orangnya!” kata Ci Sian bangga. “Karena Suheng merasa penasaran dengan julukan Lembah Suling Emas yang menyamai julukannya, maka kami datang kelembah dan di sana, untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai nama Suling Emas, Suheng mengalahkan tiga orang she Cu itu....” “Ahh....!” Hong Bu terkejut, di dalam hatinya hampir tidak dapat percaya bahwa ketiga orang gurunya dapat dikalahkan orang. “Apa ahhh?” Ci Sian menatap tajam. “Tidak apa-apa, hanya aku teringat bahwa menurut penuturan para suhu, memang pusaka suling emas itu buatan nenek moyang keluarga Cu, seperti juga pedang Koai-liong-kiam. Oleh karena itulah maka lembah itu dinamakan Lembah Gunung Suling Emas.” “Andaikata benar begitu, suling itu telah ratusan tahun menjadi milik keluarga Suheng Kam Hong, dan secara gaib Ilmu Kim-siauw Kiam-sut juga oleh pencipta suling itu diwariskan kepada kami, maka Suhenglah yang berhak menyebut diri Suling Emas yang aseli. “Lalu bagaimana, Ci Sian? Apakah dalam adu ilmu itu juga ada yang terluka atau tewas?” tanya Hong Bu dengan hati khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dan diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cu. “Hemm, kalau Suheng tidak memberi ampun, apa sukarnya bagi Suheng untuk membasmi mereka yang sombong itu? Suheng hanya mengalahkan mereka dan memenangkan hak memakai nama Suling Emas. Kami lalu meninggalkan lembah....“ “Kalau begitu, mana Suhengmu itu? Dan mengapa engkau datang sendirian di sini? Jadi kaukira tadi aku Suhengmu itukah?” “Ya, aku sedang menyusul Suheng, maka kukira tadi engkaulah Suheng Kam Hong. Semua adalah gara-gara Si Banci.... eh, Cu Pek In itulah.” “Gara-gara Sumoi? Mengapa? Apa yang terjadi?” “Aku dan Suheng sedang meninggalkan lembah, setelah menyeberangi tambang. Ketika kami tiba di puncak bukit, kami melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dan dari tempat jauh itu kami melihat betapa dia diserang dan ditawan oleh dua orang kakek....” “Ahhh....!” Sim Hong Bu terkejut bukan main mendengar penuturuan ini. “Melihat itu, Suheng lalu lari melakukan pengejaran dan meninggalkan aku,” kata Ci Sian dengan suara tak senang. “Maka aku lalu mengejar pula, akan tetapi tentu saja Suheng lenyap karena cepatnya gerakannya.” “Ah! Ke mana perginya kakek yang menculik Sumoi itu? Aku harus menolongnya!” “Hemm, kalau aku tahu, apa kaukira aku berada di sini? Aku pun sedang mencari-cari Suheng yang melakukan pengejaran. “Kalau begitu, biar aku mencarinya untuk membantu Suhengmu menghadapi dua orang kakek itu dan menolong Sumoi.” “Ke mana kau hendak mencarinya? Pula, kaupikir Suheng membutuhkan bantuanmu? Kita tunggu saja di sini, pasti Suheng akan datang membawa Sumoimu itu dalam keadaan selamat.” “Benarkah? Benarkah Suhengmu akan dapat menyelamatkannya? Apakah tidak perlu kucari mereka dan kubantu Suhengmu?” “Hemm, bantuanmu itu hanya akan membikin Suheng repot saja dan membantunya berarti menghinanya. Sudahlah, kita tunggu di sini, Suheng pasti akan dapat mencari aku di sini” Sejenak Hong Bu merasa bimbang. Akan tetapi kemudian menurut apa yang diusulkan oleh Ci Sian. Pertama, kalau dia mencari, ke mana dia harus mencari kalau tidak tahu kearah mana sumoinya dilarikan dua orang kakek itu, dan juga, bukankah pendekar Kam Hong yang sakti itu telah melakukan pengejaran? Ke dua, kalau dia pergi, lalu bagaimana dengan Ci Sian yang seorang diri itu? “Kalau begitu, marilah kita masuk ke dalam guha, Ci Sian. Hari sudah hampir gelap dan hawa akan sangat dingin malam ini di luarsini. Didalam lebih hangat dan kita bisa menanti di dalam.” “Akan tetapi bagaimana kalau Suheng datang mencariku di sini?'“ “Hemm, bukankah Suhengmu sedang menolong Sumoi? Sumoi tahu akan tempat ini walaupun dia belum pernah memasuki guha ini. Dan andaikata sumoi langsung kembali ke lembah, besok pagi-pagi kita dapat menyusul ke lembah dan tentu kita akan mendengar segalanya dan engkau akan dapat bertemu dengan Suhengmu.” Karena tidak ada lain jalan dan memang cuaca mulai menjadi gelap dan hawa menjadi dingin sekali, Ci Sian mengikuti Hong Bu memasuki guha itu dan dia melihat dengan penuh takjub betapa pemuda itu mendorong batu besar itu dengan tangan kirinya saja untuk menutup lubang guha itu! Diam-diam dia merasa heran mengapa tadi ketika menangkisnya, dia tidak merasakan kedahsyatan tenaga tangan pemuda itu!Akan tetapi dia tidak sempat lagi memikirkan hal ini karena ketika Hong Bu menyalakan api penerangan, dia menjadi takjub bukan main menyaksikan keindahan guha itu yang seolah-olah merupakan sebuah dunia lain dengan dinding-dinding es yang kemilau dan runcing bergantungan dari langit. Akan tetapi, untuk tidak membuka rahasia tempat itu, Hong Bu tidak mengajak Ci Sian ke sebelah dalam di mana terdapat mayat-mayat yang tidak rusak karena terbungkus oleh es. Mereka hanya duduk di ruangan depan yang luas dan Ci Sian menerima dengan girang ketika Hong Bu menghidangkan roti kering dan air jernih untuk makan malam. Mereka makan minum sambil mengobrol dan diam-diam Hong Bu harus mengakui bahwa dia tertarik sekali kepada Ci Sian, dan dia merasa khawatir karena menduga bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara itu! Segala gerak-gerik bibirnya ketika bicara, cara dara itu menggerakkan cuping hidung tanpa disadarinya, lesung pipit di tepi mulut sebelah kiri, cara dara itu memandang dengan kepala agak dimiringkan, cara dara itu mengusap anak rambut yang berjuntai di dahinya, pendeknya setiap gerak-gerik dara itu begitu menarik dan mempesonakan hatinya, membuatnya tergila-gila! Di lain pihak, Ci Sian juga amat suka kepada Hong Bu karena semenjak pertemuan lima tahun yang lalu, dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang berwatak mulia, gagah perkasa dan juga jujur. Oleh karena itu, ketika malam telah larut dan dia telah mengantuk, dia tidak ragu-ragu sama sekali ketika Hong Bu mempersilakan dia mengaso dan tidur di atas setumpuk daun kering di sudut ruangan depan guha itu. Dia tidak merasa takut dan khawatir sama sekali dan sebentar saja, dara yang sudah lelah ini tertidur pulas. Hong Bu berjaga tak jauh disitu sambil menjaga api unggun agar tidak sampai padam untuk memberi hawa hangat kepada dara yang sedang tidur pulas. Sambil menatap ke arah wajah dan tubuh yang tidur miring itu, berkali-kali Hong Bu menghela napas panjang. Melihat betapa hawa amat dingin dan biarpun di situ tidak sedingin di luar, apalagi sudah ada api unggun yang bernyala, akan tetapi tetap saja dara itu tidur meringkuk kedinginan, dia lalu masuk kedalam, mengambil baju mantelnya dan menyelimuti Ci Sian, kemudian duduk kembali dekat api unggun. Sementara itu, Kam Hong yang melakukan pengejaran terpaksa harus mengerahkan tenaganya karena dua orang kakek yang menawan Pek In itu juga lihai sekali dan dapat melarikan diri dengan kecepatan luar biasa dan selain itu memang jarak di antara mereka cukup jauh. Baiknya, dua orang kakek itu sama sekali tidak mengira bahwa kini mereka telah dikejar orang. Karena inilah agaknya maka Kam Hong akhirnya dapat juga menyusul dua orang kakek itu. Setelah kini dapat melihat jelas, diam-diam Kam Hong terkejut. Dia belum pernah jumpa dengan dua orang kakek itu, akan tetapi melihat bentuk tubuh mereka, dia dapat menyangka bahwa dua orang kakek yang menawan Pek In itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau dia tidak salah, kakek yang berpakaian seperti tosu yang tingginya luar biasa itu, sedikitnya dua setengah meter, tentulah Ngo-ok Toat-beng Sian-su, sedangkan kakek yang berkepala gundul berpakaian hwesio, bertubuh gendut pendek sekali, hanya setengahnya Ngo-ok itu tentulah Su-ok Siauw siang-cu atau orang ke empat Im-kan Ngo-ok! Kam Hong telah mendengar tentang mereka satu demi satu, akan tetapi belum pernah bertemu dengan mereka. Kini, melihat betapa tubuh Pek In tak bergerak dipanggul di pundak kakek tinggi kurus itu, dia mempercepat larinya. Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu lihai bukan main karena tiba-tiba mereka menengok dan melihat betapa ada orang mengejar mereka dengan amat cepatnya mereka pun segera mempercepat lari mereka! Kam Hong terus mengejar dan ternyata dua orang itu melarikan diri ke sebuah kuil tua yang berada di kaki bukit, agaknya kuil kosong yang sudah ditinggalkan penghuni bertahun-tahun yang lalu karena kuil itu tidak terawat. Mereka berdua lenyap memasuki kuil melalui pintu depan yang tidak berdaun pintu lagi dan keadaan amat sunyi di situ ketika Kam Hong tiba di pekarangan depan kuil yang tidak terawat, yang dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan liar yang dapat tumbuh di tempat dingin itu. Tidak ada salju di sini, akan tetapi hawa udara bahkan lebih dingin daripada di puncak bukit yang tertiup salju. Kam Hong tidak berani ceroboh memasuki kuil. Dia tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah datuk-datuk kaum sesat yang berkedudukan tinggi sekali, maka menghadapi mereka tidak boleh disamakan dengan menghadapi penjahat-penjahat biasa. Sejenak dia meneliti keadaan dan setelah dia merasa yakin bahwa dari tempat dia berdiri itu dia akan dapat melihat apabila ada orang keluar dari dalam kuil itu baik melalui jurusan manapun juga, dia lalu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lengan bersilang didepan dada, kemudian dia berseru dengan suara tenang dan nyaring. “Yang berada di dalam kuil, bukanlah Im-kan Ngo-ok? Silakan keluar, aku Kam Hong ingin bicara!” Hening sejenak sampai gema suara Kam Hong itu menghilang. Kemudian terdengar teriakan dari dalam kuil. “Mana keluarga Cu? Apakah orang yang datang ini utusan keluarga Lembah Gunung Suling Emas?” Suara yang berteriak itu terdengar menggetar penuh dengan tenaga khi-kang yang amat kuat dan tahulah Kam Hong bahwa orang yang berteriak itu sengaja memamerkan kepandaian untuk menakutinya. “Aku bukan utusan siapa pun, aku datang atas namaku sendiri karena melihat seorang gadis kalian tawan!” kata Kam Hong terus terang. “Huh, apamukah Nona ini maka engkau lancang mencampuri?” terdengar suara orang membentak marah dari dari dalam kuil itu. “Bukan keluarga bukan teman bukan apa-apa, akan tetapi melihat seorang gadis ditawan dengan paksa apakah kalian mengira bahwa aku akan diam saja? Im-kan Ngo-ok, sudah lama aku mendengar nama besar kalian sebagai datuk-datuk perkasa, apakah sekarang aku harus melihat kenyataan bahwa kalian hanyalah penculik-penculik gadis yang pengecut saja dan tidak berani menghadapi aku sebagai laki-laki?” “Sombong....!” Tiba-tiba sesosok bayangan seperti bola menggelundung dari pintu kuil dan tahu-tahu seorang pendek gendut seperti hwesio itu sudah mencelat ke depan dan menghantam ke arah dada Kam Hong setelah tadi menggelundung seperti seekor binatang trenggiling turun dari lereng. Hantaman itu dahsyat bukan main sampai angin pukulan terasa menyambar oleh Kam Hong. Melihat serangan maut ini, Kam Hong maklum betapa lihai dan kejamnya orang ini, maka dia pun mengerahkan tenaga pada lengan kirinya dan menangkis. “Dukkk! Bresss!” Tubuh yang pendek gendut itu terguling dan kembali tubuh itu bergulingan menjauh, lalu meloncat bangun dengan mata terbelalak memandang ke arah pemuda yang mampu menangkis serangannya sehebat itu. Dugaan Kam Hong memang tepat karena pada saat itu, dari pintu kuil keluarlah empat orang lain dan dengan penuh perhatian Kam Hong memandang ke arah mereka, dan dia kini bertemu dengan lima orang yang gambarannya telah lama dia dengar sebagai Im-kan Ngo-ok. Orang pertama adalah seorang kakek yang wajahnya mirip seekor gorila, gerak-geriknya halus dan biarpun wajahnya mengerikan seperti gorila, namun mulutnya selalu membayangkan senyum ramah! Inilah Toa-ok Su Lo Ti, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok. Orang ke dua merupakan seorang nenek yang mukanya tertutup topeng tengkorak. Tubuhnya kecil ramping seperti tubuh wanita muda. Sepasang mata di balik tengkorak itu mencorong seperti mata setan, agak kemerahan mengerikan. Inilah Ji-ok Kui bin Nio-nio orang ke dua dari Lima Jahat Dari Akhirat ini. Orang ke tiga merupakan seorang kakek raksasa yang berkepala botak, memakai mantel merah dan pakaiannya mewah, sikapnya penuh wibawa dan pandang matanya bengis. Inilah Sam-ok Ban Hwa Sengjin, orang ke tiga. Orang ke empat adalah Su-ok Siauw siang-cu yang tadi telah menyerang Kam Hong, seorang hwesio pendek gendut yang mukanya nampak gembira. Sedangkan orang ke lima, yang kini memanggul tubuh Pek In yang lemas, adalah Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang jangkung seperti gila. Kakek ke lima ini mukanya selalu nampak sedih dan matanya sipit hampir selalu terpejam. Setelah yakin benar bahwa mereka ini adalah Im-kan Ngo-ok, Kam Hong lalu menjura dan berkata. “Kiranya benar bahwa aku berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok yang tersohor. Mengingat akan besarnya nama Ngo-wi, maka aku harap Ngo-wi akan bersikap sesuai dengan kedudukan dan suka membebaskan gadis ini, dan aku bersedia untuk minta maaf atas gangguanku ini.” Kam Hong tidak ingin menanam bibit permusuhan, apalagi dengan lima orang datuk kaum sesat ini. Bukan dia merasa takut, akan tetapi dia merasa segan untuk mencari permusuhan yang berarti akan mendatangkan gangguan terus-menerus dalam kehidupannya. Lima orang itu pun mengamati Kam Hong dengan penuh perhatian dan mereka pun merasa heran mengapa mereka belum mengenal pemuda ini, padahal, melihat betapa pemuda ini tadi menangkis serangan Su-ok, jelas membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan! “Siapakah engkau?” tanya Toa-ok Su Lo Ti, seperti biasa suaranya amat halus dan ramah. “Namaku Kam Hong dan sekali lagi kuharap Ngo-wi suka membebaskan gadis ini.” “Hemmm, engkau sudah mengenal kami, akan tetapi masih berani mencampuri urusan kami? Apakah kau bosan hidup? Eh, bocah she Kam, kalau kami tidak mau membebaskan gadis ini, habis engkau mau apa?” tiba-tiba Su-ok yang merasa penasaran bertanya sambil mendekati Kam Hong. “Kalau Ngo-wi memaksa, apa boleh buat, aku akan memberanikan diri untuk menyelamatkan gadis ini dengan menggunakan kekerasan.” kata Kam Hong. “Apa? Engkau menantang kami? Nah, mampuslah kalau begitu!” Su-ok sudah menerjang dan gerakannya cepat bukan main karena memang demikian watak para datuk sesat ini, selalu tidak segan-segan menggunakan kecurangan demi untuk mencapai kemenangan. Agaknya dari pertemuan tenaga pertama kali tadi, Su-ok maklum bahwa pemuda sastrawan itu bukan merupakan lawan yang lemah, maka kini begitu dia menyerang, dia telah mempergunakan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu pukulan Katak Buduk. Angin pukulan dahsyat menyambar disertai bau yang amis sekali, menyambar ke arah perut Kam Hong! Namun pemuda ini sudah siap sejak tadi, maka pukulan itu pun sudah dihadapinya dengan tenang. Cepat dia mengelak ke kiri dan mengambil keputusan untuk tidak memperpanjang waktu perkelahian. Yang terpenting bukanlah perkelahian itu, melainkan bagaimana dia harus menyelamatkan Pek In yang masih berada dalam pondongan Ngo-ok. Kalau dia dapat merampas Pek In, dia dapat melarikan dara itu dan dia percaya bah-wa dia akan dapat melarikan diri dengan selamat mengandalkan gin-kangnya yang kini sudah meningkat dengan hebat sekali sejak dia mempelajari ilmu dengan menghimpun khi-kang melalui Ilmu bertiup suling. Maka, sekali mengelak ke kiri, dia sudah menubruk keararah Ngo-ok yang berdiri tak jauh dari situ, tangan kiri mencengkeram ke arah muka Si Tinggi Kurus itu sedangkan tangan kanannya berusaha untuk merampas tubuh Cu Pek In. Serangannya ini dilakukan dengan kecepatan kilat sehingga mengejutkan Ngo-ok. Akan tetapi, sayang sekali bahwa justeru Ngo-ok ini merupakan orang yang paling tinggi gin-kangnya di antara para saudaranya, maka biarpun serangan itu amat hebat dan mengejutkan, Si Jangkung itu masih mampu melesat ke samping sehingga cengkeraman kedua tangan Kam Hong itu meleset dan saat itu Su-ok sudah datang lagi menubruk dan menghantamnya. Terpaksa Kam Hong menangkis dan melayani Suok yang merupakan seorang lawan yang tidak boleh dipandang ringan. Selagi dia mendesak Su-ok, tiba-tiba ada sambaran angin dari belakangnya. Cepat dia membalik dan menangkis sambil balas memukul. Kiranya Ngo-ok sudah datang mengeroyoknya! Ketika Kam Hong melirik, ternyata bahwa Si Jangkung itu telah melepaskan Pek In ke atas tanah, akan tetapi dara itu berada dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak dan di sana masih ada tiga orang dari Im-kan Ngo-ok yang menjaganya! Diam-diam Kam Hong merasa kecewa sekali. Kalau begini caranya, akan lebih sukar untuk merampas Pek In dan agaknya jalan satu-satunya baginya adalah bahwa dia harus mengalahkan mereka lebih dulu! “Baiklah kalau kalian menghendaki kekerasan!” bentaknya dan segera tubuhnya bergerak dengan aneh dan cepat. Sedemikian, cepat gerakannya sehingga para pengeroyoknya itu tidak merasa mengeroyok satu orang lagi, bahkan mereka berhadapan dengan lebih dari dua orang! Apalagi karena Kam Hong mengerahkan tenaga khi-kang sehingga setiap kali mereka beradu lengan, Su-ok dan Ngo-ok selalu terpental dan terhuyung, tanda bahwa mereka berdua itu kalah kuat! Melihat betapa lihainya lawan, Ngo-ok mengeluarkan gerengan seperti seekor serigala dan tubuhnya sudah berjungkir balik dan dia sudah menyerang Kam Hong dengan kedua kakinya yang panjang dan berada di atas, dibantu oleh kedua tangan dari bawah. Gerakannya bahkan lebih gesit dan lebih cepat dibandingkan kalau dia berdiri dengan kedua kaki di bawah! Sedangkan Su-ok juga sudah mengirim pukulan-pukulan Katak Buduk yang amat dahsyat itu. Akan tetapi, Kam Hong tidak gentar menghadapi mereka. Dengan Khong-sim Sin-ciang, dibantu oleh tenaga khi-kang dahsyat yang disalurkan kepada seluruh tubuh, terutama kepada kedua lengannya, dia masih dapat mendesak kedua orang lawan itu, bahkan dia telah berhasil menampar masing-masing satu kali kepada dua orang pengeroyoknya dan biarpun tamparan itu tidak mengenai dengan telak, namun cukup membuat mereka menjadi agak jerih dan selanjutnya terus didesaknya dua orang lawan itu dengan hebat. Melihat ini, Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok terbelalak memandang penuh kagum. Kalau saja yang dikeroyok oleh Su-ok dan Ngo-ok itu merupakan tokoh kang-ouw sakti yang sudah mereka kenal maka tentu saja mereka tidak akan merasa penasaran dan heran melihat betapa mereka terdesak. Akan tetapi pemuda ini sama sekali belum mereka kenal. Bagaimana mungkin kini pemuda yang agaknya baru muncul di dunia kang-ouw ini telah dapat memiliki ilmu kepandaian sedemikian lihainya? “Tahan....!” Tiba-tiba Sam-ok meloncat ke depan dan menahan pukulan Kam Hong yang mendesak Su-ok yang sudah bergulingan itu. “Dukk!” Sam-ok tergeser mundur oleh tangkisan itu dan diam-diam dia makin terkejut. Ketika dia menangkis untuk menyelamatkan Su-ok dan juga untuk menghentikan perkelahian itu tadi, dia menggunakan tenaga sepenuhnya, akan tetapi pertemuan tenaga lewat lengan itu ternyata membuat dia terdorong dan kuda-kudanya tergeser! Bukan main hebatnya kekuatan pemuda sastrawan ini, pikirnya. Karena pihak lawan minta dihentikan perkelahian dan ingin bicara, Kam Hong tidak melanjutkan serangan dan dia pun berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang, namun dengan penuh kewaspadaan karena dia sudah mendengar akan nama Im-kan Ngo-ok yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat yang paling curang dan paling jahat. “Orang she Kam, sesungguhnya kami tidak ingin bermusuhan dengan engkau yang tidak kami kenal. Biarpun engkau memiliki sedikit kepandaian, akan tetapi jangan harap engkau akan dapat menentang kami. Jangan kau mencampuri urusan kami yang tidak kau ketahui sama sekali”. “Hemm, apa artinya aku bersusah payah mempelajari ilmu kalau aku harus mendiamkan saja melihat seorang dara diculik orang?” Jawab Kam Hong dengan suara dingin. “Ahhh, kau salah paham, sobat muda.” kata Sam-ok. dengan nada suara mengejek. “Kami tidak bermaksud mengganggu anak perempuan ini. Kami hanya menahannya untuk memaksa ayahnya datang menemui kami....“ “Hemm.... sungguh cara yang curang untuk bertemu dengan penghuni Lembah Gunung Suling Emas. Kalau ada kepentingan, mengapa tidak langsung saja menemui keluarga Cu di sana?” Kam Hong mencela. “Mengapa harus menawan puterinya?” Lima orang itu saling lirik. “Aha, jadi engkau mengenal mereka, ya? Engkau sahabat mereka dan hendak membela mereka?” “Aku bukan sahabat mereka dan aku hanya membela orang yang terancam bahaya, dalam hal ini adalah Nona inilah. Bebaskan dia dan aku tidak akan mencampuri urusanmu dengan keluarga Cu di sana.” “Engkau tidak tahu persoalannya, orang muda. Kami ingin keluarga itu menukar puteri mereka dengan pedang pusaka yang kami kehendaki....” “Hemm, Koai-liong-pokiam yang diperebutkan itu, ya?” Kam Hong sudah mendengar tentang ribut-ribut pedang pusaka itu yang dulu kabarnya dilarikan pencuri dari istana kaisar. “Aku pun tidak peduli tentang pedang itu, akan tetapi rebutlah dengan cara yang jantan, bukan dengan menawan seorang gadis remaja.” “Bocah sombong, engkau sungguh bosan hidup!” Sam-ok sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya. Kam Hong cepat mengelak dan balas menyerang, akan tetapi pada saat itu Su-ok dan Ngo-ok sudah mengeroyoknya pula. Dikeroyok oleh tiga orang tokoh yang lihai ini, terutama sekali Sam-ok yang lebih lihai daripada Su-ok dan Ngo-ok, Kam Hong merasa repot juga. Ilmu kepandaian tiga orang pengeroyoknya itu telah berada di tingkat yang amat tinggi dan jurus-jurus ilmu silat mereka aneh-aneh dan berbahaya sekali, maka Kam Hong menggerakkan tangan kirinya dan nampak sinar putih ketika dia mencabut kipasnya dan dia pun mulai melayani mereka dengan kipasnya. Dengan ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang diwarisi dari peninggalan nenek moyangnya, dia melawan mereka, dibantu oleh tangan kanannya yang melancarkan tamparan-tamparan dan totokan-totokan dahsyat, dia berhasil menahan mereka bertiga. Tentu saja Sam-ok merasa penasaran sekali melihat betapa mereka bertiga sama sekali tidak mampu mendesak lawan, bahkan dia sendiri pun harus berhati-hati karena gerakan kipas itu benar-benar amat dahsyatnya. Semua serangan kandas oleh tangkisan-tangkisan gagang kipas yang sambil menangkis juga langsung menotok jalan darah di pergelangan tangan atau sikut, dan angin yang menyambar dari kipas yang dikembangkan kadang-kadang membuat dia bingung sehingga dua kali dia hampir tertotok oleh gagang kipas. Harus diakuinya bahwa tanpa bantuan dua orang saudaranya, seorang diri saja dia akan sukar sekali dapat bertahan melawan pendekar muda yang belum dikenalnya itu! Dia merasa semakin penasaran, akan tetapi juga geram mendengar betapa Ji-ok memuji-muji pemuda itu. “Bagus, bagus! Ilmu kipas yang bagus! Wah, Sam-te, engkau dengan bantuan Su-te dan Ngo-te masih tidak mampu mengalahkan dia? Sungguh memalukan sekali!” “Ji-ci, daripada banyak cerewet, lebih baik lekas bantu kami agar urusan kita dapat segera diselesaikan!” kata Sam-ok dengan marah karena ejekan itu. “Hi-hik! Kalau aku sekali turun tangan, tentu bocah ganteng ini akan kehilangan kepala. Sungguh sayang!” “Hemm, Si Mulut Besar! Hendak kulihat kenyataan bualanmu!” kata pula Sam-ok karena dia merasa yakin bahwa biarpun Ji-ok sendiri agaknya akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan bocah ini. Kepandaiannya sendiri tidaklah lebih rendah dibandingkan dengan Ji-ok, sungguhpun sampai sekaran dia belum mampu menandingi Kiam-ci (Jari Pedang) dari nenek itu yang benar-benar luar biasa hebatnya, namun pada umumnya kepandaiannya setingkat dibandingkan dengan Ji-ok. “Hi-hik, kaulihat sajalah!” kata Ji ok dan dia pun menerjang ke depan. “Singggg.... cuiiiiitttt....“ “Ehhh....!” Kam Hong terkejut sekali dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sinar kilat ketika telunjuk tangan nenek itu menyambar dan mengeluarkan hawa dingin berkilat yang amat dahsyatnya. “Hi-hi-hik, kau kaget, bocah ganteng? Nah, lekaslah berlutut minta ampun, Nenekmu akan mempertimbangkan.” kata Ji-ok. Akan tetapi Kam Hong sudah menjadi marah sekali. Tak disangkanya bahwa nama besar Im-kan Ngo-ok yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat yang berkedudukan tinggi itu ternyata sekelompok orang yang berjiwa pengecut dan tidak segan-segan dan tidak malu-malu untuk melakukan pengeroyokan untuk mencapai kemenangan. “Siapa takut padamu?” bentaknya dan di lain saat, empat orang pengeroyoknya itu menjadi silau dan terkejut melihat berkelebatnya sinar kuning emas yang cemerlang. Ketika mereka melihat betapa kini pemuda yang mereka dikeroyok itu memegang sebatang suling emas yang berkilauan, mereka terkejut bukan main. “Suling Emas....!” Tiba-tiba Toa-ok berseru keras. “Cepat rampas suling pusaka itu!” Empat orang itu pun sudah mengenal suling emas yang pernah mereka dengar seperti dongeng itu, maka mereka serentak menerjang ke depan untuk menyerang dan berusaha merampas benda pusaka itu. Akan tetapi, Kam Hong sudah mainkan ilmu silat sakti dengan mencorat-coretkan sulingnya di udara, membentuk huruf Thian (Langit). Empat kali sulingnya membuat gerakan mencoret ke kanan dari kiri dua kali untuk menangkis serangan Ngo-ok dan Sam-ok, disusul coretan dari atas kanan ke kiri, disusul dari atas ke kanan memanjang dan Ji-ok tertangkis mundur sedangkan Su-ok terjungkal lalu bergulingan. Ternyata dalam segebrakan itu saja, sebuah jurus dari ilmu sakti Hong-in-bun-hoat yang merupakan gerakan silat yang berdasarkan mencorat-coret atau “menulis” huruf di udara menggunakan suling, sekaligus telah menangkis serangan empat orang sakti bahkan telah melukai pundak Suok dan juga membuat tangan Ji-ok terasa nyeri bukan main! Empat orang itu terkejut dan sejenak mereka merasa gentar. “Hayo serang dia!” Toa-ok memberi komando, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara lengking panjang bersama sinar emas bergulung-gulung, dan itulah sinar suling emas yang digerakkan oleh Kam Hong dengan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut yang baru saja dia pelajari sambil mengerahkan seluruh tenaga khi-kangnya sehingga suling yang dimainkan itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan semakin lama semakin tinggi sekali. Empat orang itu kalang-kabut dan mengelak ke sana-ke sini, akan tetapi mereka terserang oleh suara melengking-lengking itu, makin tinggi suaranya makin menusuk telinga dan seolah-olah hendak menembus jantung! Ketika lima orang itu menjauh dan sengaja mengerahkan sin-kang untuk melindungi diri dari ancaman suara khi-kang suling itu dan bersiap untuk mengepung, tibi-tiba saja Kam Hong meloncat ke arah Pek In yang masih rebah di atas tanah, menyambar tubuh dara itu, memanggulnya dengan lengan kiri setelah menyimpan kipasnya, kemudian meloncat jauh dan terus berloncatan sambil mengerahkan gin-kangnya. Sejenak Im-kan Ngo-ok tertegun, akan tetapi mereka segera menjadi marah sekali dan langsung saja mereka berloncatan melakukan pengejaran sambil memaki-maki karena merasa dipermainkan oleh pemuda itu. Biarpun pada waktu itu Kam Hong telah memiliki kepandaian ilmu berlari cepat yang hebat berkat tenaga khi-kang yang terhimpun di dalam tubuhnya, namun para pengejarnya itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang menduduki tingkat satu dan mereka terutama sekali Ngo-ok, memiliki gin-kang yang amat hebat. Apalagi Kam Hong harus memondong tubuh Cu Pek In dan senja mulai tiba, maka setelah berlari cukup lama, tetap saja lima orang itu masih terus mengejarnya. Kam Hong berpikir bahwa kalau dia tidak lari ke bagian yang ditumbuhi pohon-pohon yang pada itu sebagian besar gundul, sukar baginya untuk membebaskan diri karena di daerah pegunungan salju itu dari jarak yang jauh pun dia masih akan nampak dan dapat terus dikejar. Maka dia pun lalu melarikan diri ke sebuah bukit yang berbatu-batu dan ditumbuhi pohon-pohon. Sementara itu, malam mulai tiba dan keadaan cuaca mulai gelap sehingga hal ini pun menyukarkan Kam Hong untuk dapat berlari cepat karena kegelapan akan memungkinkan dia salah langkah dan tergelincir ke dalam jurang. Maka dengan hati-hati dia memasuki daerah yang tidak gundul itu. Batang-batang pohon dan batu-batu dapat menyembunyikan dirinya dari penglihatan musuh. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa lima orang itu masih terus mengejarnya. Dia teringat, bahwa biarpun dia tidak kelihatan, akan tetapi lima orang itu dapat mengikutinya dari jejak kakinya di atas tanah yang tertutup salju. Dan pula dara ini bagi mereka amat penting untuk di jadikan sandera, guna ditukar dengan pedang pusaka, maka tentu lima orang itu tidak mau mengalah dan akan terus mengejarnya. Karena itu, Kam Hong pun tidak pernah berhenti, mengharapkan bahwa setelah cuaca gelap benar, lima orang itu akan kehilangan jejak kakinya. Harapannya itu memang tidak sia-sia. Setelah cuaca menjadi gelap benar, Im-kan Ngo-ok terpaksa menghentikan pengejaran mereka. Akan tetapi mereka sama sekali bukan berarti mundur dan menghentikan usaha mereka, karena Toa-ok berkata, “Kita berhenti di sini. Besok pagi kita lanjutkan mengikuti jejak kakinya.” Dan Kam Hong pun terpaksa menghentikan langkahnya karena cuaca amat gelapnya dan amat berbahaya untuk melanjutkan perjalanan. Dia menurunkan Pek In dan setelah meraba tengkuk, kedua pundak dan punggung dara itu, dia menotoknya dan membebaskannya dari totokan. Dara itu mengeluh lirih, memijit-mijit kaki tangannya yang terasa lemas. “Kiranya engkau malah yang telah menolongku....“ katanya lirih. “Hemm, hanya kebetulan saja. Aku harus membebaskanmu dari mereka yang jahat.” “Im-kan Ngo-ok sungguh manusia-manusia busuk tak tahu malu. Mereka pernah berkunjung ke lembah sebagai tamu, dan sekarang malah hendak menawanku sebagai sandera. Kalau Ayah tahu, mereka pasti takkan diberi ampun. Eh, di mana dia?” “Siapa?” “Anak perempuan itu, eh, Ci Sian....” “Kutinggalkan dia di puncak sebuah bukit. Tak kusangka bahwa aku akan berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok dan memakan waktu lama untuk membebaskanmu, bahkan sekarang pun mereka tak jauh dari sini. Tentu mereka menanti dan besok pagi akan melanjutkan pengejaran. Kita sendiri tidak dapat melanjutkan perjalanan, begini gelap dan aku tidak mengenal jalan....” “Aku mengenal tempat ini, akan tetapi malam gelap begini tidak mungkin kita melanjutkan perjalanan. Besok pagi-pagi kita dapat pergi dari sini.... dan tempat Suheng bertapa tidak jauh dari sini, kita bisa ke sana dan minta bantuannya.” “Suhengmu? Bertapa?” “Ya, dan dia tentu akan dapat menghalau Im-kan Ngo-ok, dia tidak kalah lihai dibandingkan Ayah.” Kam Hong tidak bertanya lagi, akan tetapi diam-diam dia kagum sekali dan teringat akan pesan Cu Han Bu ketika mereka hendak saling berpisah. Tokoh keturunan kakek pencipta suling emas itu mengatakan bahwa keluarga mereka masih mempunyai Ilmu pusaka yaitu Koali-liong Kiam-sut yang mereka harapkan kelak akan dapat mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisinya. Keluarga itu memang hebat, maka tidaklah aneh andaikata benar ucapan Pek In bahwa dara ini masih memiliki seorang suheng yang sedang bertapa dan bahwa suheng ini memiliki kepandaian tidak kalah lihai dibandingkan dengan kepandaian ayahnya. Malam itu mereka terpaksa berdiam di tempat itu. “Kau tidurlah Nona. Biar aku menjagamu di sini. Sayang bahwa kita tidak dapat menyalakan api unggun untuk membantu menghangatkan tubuh karena kalau kita lakukan Itu tentu mereka akan melihat dan akan datang”. Pek In merasa lelah dan baru saja mengalami ketegangan dan kini merasa lega, segera merebahkan diri miring dah tak lama kemudian dia tidur pulas dengan tubuh meringkuk kedinginan. Melihat ini, hanya melihat dengan remang-remang saja karena yang membantu pandangan mata hanya sedikit sinar bintang di langit, Kam Hong lalu melepaskan jubahnya yang lebar dan menyelimutkan jubahnya pada tubuh dara itu. Dia sama sekali tidak dapat menduga bahwa pada saat yang sama, di dalam sebuah gua, seorang pemuda lain sedang menyelimuti tubuh Ci Sian pula! Sebetulnya, baik Ci Sian maupun Pek In sudah memiliki kepandaian dan tenaga sin-kang yang cukup kuat untuk melawan dingin saja. Akan tetapi dalam keadaan tidur tentu saja mereka tidak dapat mengerahkan sin-kang dan hawa dingin membuat mereka dalam keadaan tidak sadar itu meringkuk seperti anak kecil kedinginan. Adapun Kam Hong yang berilmu tinggi, tentu saja dapat menahan hawa dingin itu dengan penyaluran sin-kangnya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pek In sudah terbangun dan dia cepat merenggut jubah itu dari tubuhnya ketika melihat betapa dirinya diselimuti jubah itu. Dia bangkit dan melihat Kam Hong masih duduk bersila tak jauh dari situ. Cuaca masih gelap remang-remang tertutup kabut. “Engkau sudah bangun?” Kam Hong yang peka sekali pendengarannya itu menoleh. “Terima kasih untuk jubahmu ini, kata Pek In sambil mengembalikan baju itu kepada Kam Hong yang menerimanya. “Kita harus berangkat sekarang, aku tahu jalannya.” “Masih agak gelap, sukar melihat jelas ke depan.” “Aku tahu jalannya, marilah.” Keduanya lalu bangkit dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Biarpun Pek In sebagai penunjuk jalan berjalan di depan, akan tetapi Kam Hong tak pernah mengurangi kewaspadaan, diam-diam menjaga kalau-kalau Pek In terperosok ke dalam jurang atau mengalami halangan lain. Matahari pagi telah mengusir kabut gelap ketika mereka keluar dari daerah berbatu itu dan tiba di kaki sebuah bukit. “Tak jauh lagi dari sini, di lereng bukit itu tempat Suheng bertapa.” kata Pek In dengan nada suara girang. “Lihat, mereka sudah mengejar!” Tiba-tiba Kam Hong berkata. Mari kita cepat lari!” Pek In menengok dan benar saja, lima sosok bayangan sedang menuruni lereng dari mana mereka berdua datang tadi dan gerakan mereka amat cepat. “Mari kupondong kau, Nona!” kata Kam Hong. “Tidak, jangan sentuh aku!” tiba-tiba Pek In berkata dengan cepat dan wajah Kam Hong menjadi merah sekali ketika dia bertemu pandang dengan dara itu. Dari pandang mata itu dia melihat kemarahan! “Ahh, aku hanya bermaksud agar kita dapat melarikan diri lebih cepat, Nona, tiada maksud lain.” katanya menghela napas. Sejenak mereka berpandangan, kemudian Pek In menunduk. “Maafkan aku.... aku.... biarlah aku lari sendiri saja.” “Terserah.” Mereka lalu lari mendaki bukit itu. Akan tetapi, Kam Hong maklum bahwa betapapun lihainya nona ini, namun dalam hal berlari cepat, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Im-kan Ngo-ok, maka kalau terlalu lama waktunya berlari, tentu akan dapat disusul oleh Im-kan Ngo-ok. Dugaannya benar karena kini terdengar bentakan-bentakan dari belakang, tanda bahwa lima orang lawan itu sudah mengejar semakin dekat. “Nona, mereka telah datang dekat.” kata Kam Hong, tidak berani menawarkan lagi untuk memondong nona itu, sungguhpun dia ingin sekali untuk diperbolehkan memondongnya, karena dengan jalan itu dia masih sanggup untuk melarikan diri dari jangkauan lima orang itu. Akan tetapi Pek In berkata, sambil menunjuk ke depan. “Tempat Suheng sudah dekat!” “Kalau begitu, cepat kau lari ke sana dan berlindung, biar aku menghalangi mereka mengejarmu, Nona.” kata Kam Hong dan dia sudah berdiri tegak membalikkan diri, menanti datangnya lima orang itu dengan kipas di tangan kiri dan suling emas di tangan kanan. Sikapnya amat gagah sehingga sejenak Pek In memandang penuh kagum, kemudian dia pun segera lari menuju ke lereng bukit di mana dia tahu terdapat guha tempat suhengnya “bertapa” dan melatih diri dengan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia belum pernah memasuki guha itu karena dilarang oleh ayahnya, akan tetapi dia sudah tahu tempatnya maka kini dia pun tidak ragu-ragu lari menuju ke situ. Sementara itu, Kam Hong yang berdiri tegak itu, menghadang datangnya Im-kan Ngo-ok, kini sudah berhadapan dengan mereka. “Im-kan Ngo-ok, kalau kalian berkeras, terpaksa aku melupakan bahwa kalian adalah tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw!” bentak Kam Hong dengan suara tegas dan penuh wibawa. “Bocah lancang she Kam, lebih baik serahkan suling itu kepada kami!” bentak Sam-ok sambil memandang ke arah suling emas di tangan Kam Hong seperti seorang anak kecil melihat sebuah mainan yang amat menarik hatinya. Tentu saja Im-kan Ngo-ok sudah pernah mendengar tentang keluarga Suling Emas yang meninggalkan pusaka suling emas dan ilmu-ilmu mujijat dan kini melihat pemuda ini, perhatian mereka bercabang, sebagian masing menginginkan Koai-liong Pokiam akan tetapi sebagian lagi mengnginkan suling emas pusaka itu! “Hemm, kalian ini orang-orang tua yang terlalu jauh tersesat.” kata Kam Hong dan dia pun segera menggerakkan suling dan kipas untuk menerjang mereka. Kini dia menerjang lebih dulu karena dia sedang berusaha untuk mencegah mereka mengejar Pek In yang sudah melanjutkan larinya. Biarlah dara itu menyelamatkan diri lebih dulu karena kalau dara itu sudah terbebas dari ancaman lima orang ini, dia pun akan mudah meninggalkan mereka. Akan tetapi sekali ini, lima orang Im-kan Ngo-ok agaknya sudah mempersiapkan diri. Dan memang semalam mereka telah berunding bagaimana sebaiknya kalau mereka berhadapan lagi dengan pemuda yang amat lihai itu. Kemarin sore, Ji-ok, Sam-ok, Su-ok dan Ngo-ok telah mengeroyoknya dan merasakan kelihaiannya yang luar biasa, dan kini mereka semua maju, dipimpin oleh Toa-ok mengeluarkan suara geraman aneh, mereka berlima sudah berlompatan mengurung Kam Hong. Mula-mula Ngo-ok mengeluarkan gerengan serigala dan tubuhnya sudah berjungkir balik, berloncatan di atas kedua tangan dan kadang-kadang menggunakan kepalanya dengan gerakan yang gesit dan terlatih. Su-ok sudah merendahkan tubuhnya yang sudah pendek sekali itu sehingga dia nampak seperti seekor katak yang siap hendak menerkam dan meloncat, perutnya menggembung mengumpulkan tenaga pukulan Katak Buduk. Adapun Sam-ok Ban Hwa Sengjin, yang biarpun termasuk orang ke tiga dari mereka namun memiliki kepandaian yang setingkat dengan Ji-ok dan memiliki pengalaman yang paling luas, di antara para saudaranya, juga sudah memasang kuda-kuda kemudian tubuhnya mulailah bergerak berpusing perlahan-lahan seperti kitiran yang mulai digerakkan oleh angin lembut! Inilah pembukaan dari Ilmunya yang paling dia andalkan, yaitu Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi). Ji-ok, nenek bertopeng tengkorak tulen itu sudah siap dengan ilmunya yang hebat, yaitu pukulan-pukulan dengan Ilmu Kiam-ci atau Jari Pedang, dengan kedua telunjuk tangan berobah berkilauan itu. Dan orang pertama dari mereka, Toa-ok, juga sudah siap dengan kedua tangan panjang tergantung di kanan kiri, kelihatannya seperti tidak memasang kuda-kuda, akan tetapi kakek seperti gorila ini sesungguhnya amat berbahaya. Melihat mereka berlima sudah siap dan mulai bergerak mengelilinginya dalam kepungan, Kam Hong menerjang ke arah Toa-ok sebagai orang pertama yang disangkanya tentu paling lihai, sulingnya berobah menjadi sinar kuning emas yang lebar, panjang dan terang, yang mengeluarkan suara melengking merdu. Suara itu menyambar ke arah telinga sedangkan ujung suling menotok ke arah jalan darah di bawah telinga itu. “Huhhh....!” Toa-ok mendengus dan lengan kirinya yang panjang itu menyambar, lengannya menangkis suling sedangkan tangannya dilanjutkan mencengkeram ke arah leher lawan. Namun Kam Hong sudah mengelak dan menggerakkan sulingnya ke atas, siap melanjutkan serangannya dan kipasnya dibuka dan diputar ke kiri untuk menangkis serangan Ngo-ok dan Ji-ok sekaligus. Kemudian, dengan mengeluarkan suara berdengung aneh, sulingnya membuat corat-coretan di udara secara aneh karena tubuhnya juga terbawa oleh gerakan suling dan ternyata dia menulis di udara, mencorat-coretkan huruf Tiong yang membuat sulingnya bergerak melingkar membentuk segi empat dan sekaligus setiap gerakan menyerang seorang lawan sehingga empat orang lawan di sekeliling itu disambar sinar suling semua, kecuali Toa-ok yang menerima serangan langsung sebagai penutup huruf Tiong itu, serangan mengerikan karena suling itu menyambar dari atas ke bawah seperti petir menyambar. “Ohhhh....!” Toa-ok menahan dengan kedua lengannya, dibantu oleh Ji-ok yang menahan suling itu dengan Kiam-ci. “Dessas.... takkkk!” Tubuh Toa-ok dan Ji-ok terpelanting. Mereka tidak terluka hebat, akan tetapi tetap saja mereka terpelanting dan mengalami kekagetan hebat karena serangan suling tadi seolah-olah mereka rasakan seperti serangan petir sungguh-sungguh. Mereka menjadi marah dan mulailah mereka menghujankan serangan bertubi-tubi dan secara teratur, satu demi satu namun saling berganti dan saling membantu sehingga serangan itu terus menerus dan sambung-menyambung. Menghadapi penyerangan Im-kan Ngo-ok yang agaknya menggabungkan ilmu mereka itu, Kam Hong tidak berani berlaku lengah atau sembrono, maka dia pun mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan tiba-tiba gerakan sulingnya berobah. Dia telah menyimpan kipasnya dan kini dia sepenuhnya mengandalkan sulingnya dalam permainan Kim-siauw Kiam-sut yang luar biasa hebatnya. Nampaklah gelombang sinar dan suara, sinar kuning emas yang memenuhi tempat itu dan gelombang suara yang tinggi rendah, amat aneh dan menggetarkan jantung siapa yang mendengarnya. Sementara itu, dengan lari secepatnya, akhirnya Cu Pek In telah tiba di daerah guha yang dijadikan tempat berlatih Sim Hong Bu, suhengnya. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika dia melihat suhengnya itu duduk di luar guha yang tertutup batu besar itu, duduk di atas sebongkah batu dan di depannya duduk pula seorang gadis cantik yang segera dikenalnya karena gadis itu bukan lain adalah Ci Sian! Akan tetapi rasa girang dan lega hatinya mengalahkan keheranannya maka begitu Hong Bu bangkit berdiri dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan berseru, “Sumoi....!” dia lalu menghampiri dan segera merangkul pundak suhengnya itu dan menangis! “Eh, ada apakah, Sumoi? Apa yang telah terjadi?” tanya Sim Hong Bu dengan kaget bukan main. Dia tadi sudah merasa terheran-heran melihat Pek In berlari-lari mendatangi di pagi hari itu dan kini keheranannya bertambah dan dia terkejut melihat sumoinya menangis, hal yang amat jarang terjadi karena sumoinya adalah seorang dara perkasa yang gagah dan bahkan agaknya pantang menangis atau setidaknya juga tidak secengeng wanita biasa. “Suheng.... aku.... aku baru saja terlepas dari bahaya.... Im-kan Ngo-ok telah menangkapku.... aku.... aku tertolong oleh....“ “Di mana mereka?” Hong Bu sudah memotong kata-kata itu. Pada saat itu terdengarlah bunyi lengking suling itu. “Penolongku sedang menghadapi mereka.... kaubantulah dia, Suheng....” kata Pek In dan mendengar suling itu, Ci Sian sudah melompat bangun, “Itu.... itu suling Paman.... eh.... Suhengku Kam Hong....!” Dan dia pun lalu lari ke arah suara suling itu. Sementara itu, tahulah Hong Bu bahwa sumoinya telah tertolong oleh suheng dari Ci Sian seperti yang diceritakan oleh dara itu, maka dia pun cepat lari memasuki guha, mengambil pedangnya menutup kembali batu depan guha dan menarik tangan sumoinya, “Mari kita bantu dia!” Mereka pun berlari-lari menuju ke arah suara itu ke mana Ci Sian sudah lebih dulu lari. Ketika Hong Bu dan Pek In tiba di tempat itu, mereka melihat Ci Sian sudah berada disitu dan mendengar dara ini mengeluarkan suara keras, memaki-maki dan mengejek lima orang pengeroyok itu. “Cih, kalian ini lima ekor siluman tua bangka sungguh tak bermalu! Mau ditaruh ke mana muka kalian yang perot kempot itu, hah? Lima tua bangka mengeroyok seorang pemuda, sungguh tak tahu malu. Itukah namanya tokoh kang-ouw? Huh, pengecut curang, tak berharga! Malu! Malu!”. Diam-diam Hong Bu tersenyum geli dan tahulah dia bahwa Ci Sian adalah seorang dara yang penuh semangat dan gairah, jenaka, galak, keras, hangat dan beraninya luar biasa. Akan tetapi dia pun amat kagum menyaksikan sinar kuning emas bergulung-gulung seperti gelombang dahsyat itu, dan karena memang sejak pertemuan pertama kali dia sudah amat kagum kepada Kam Hong, maka kini diam-diam dia merasa semakin kagum dan suka kepada pendekar sakti itu. Akan tetapi dia pun terkejut karena maklum bahwa lima orang pengeroyok itu pun bukan orang sembarangan dan merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi bukan main. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia pun lalu meloncat ke depan, menghunus pedangnya dan berseru. “Kam-taihiap, biar aku membantumu!” Kam Hong sudah melihat munculnya Ci Sian dan hatinya merasa girang, akan tetapi juga mulai khawatir. Tadi dia melindungi Pek In dan setelah nona itu dapat menyelamatkan diri, eh, kini muncul Ci Sian yang tentu saja harus dilindunginya! Kemudian muncul pula Pek In dan seorang pemuda yang kelihatannya gagah perkasa sekali. Ketika dia melihat pemuda itu mencabut pedang dan meloncat ke dalam pertandingan, dia merasa kaget dan kagum bukan main, juga sekarang dia mulai ingat bahwa dia agaknya, pernah bartermu dengan pemuda perkasa ini. Namun dia tidak sempat bertanya atau mengingat-ingat karena dia sudah dibikin kagum bukan main menyaksikan gerakan pedang dari pemuda itu. Gerakan pedang yang mengimbangi gelombang sinar sulingnya, dan pedang itu bahkan mengeluarkan pula suara mengaung-ngaung yang menandingi lengking suara sulingnya! Sebatang pedang yang ampuh dan Ilmu pedang yang luar biasa. “Ah, Koai-liong Po-kiam dan Suling Emas kedua-duanya diserahkan kepada kita, ha-ha!” Sam-ok tertawa akan tetapi suara ketawanya ini sebetulnya hanya untuk menyembunyikan rasa khawatirnya menyaksikan permainan pedang sehebat itu yang membantu gelombang sinar suling yang sukar dilawan itu. Dan memang kekhawatiran Sam-ok itu beralasan. Hebat bukan main permainan suling dan pedang itu, bergulung-gulung seperti dua ekor naga bermain-main di angkasa, bergelombang seperti badai mengamuk sehingga tempat itu penuh dengan sinar pedang yang kebiruan dan sinar suling yang keemasan! Indah bukan main sehingga baik Pek In maupun Ci Sian sampai memandang bengong terlongong. Indah dan juga menggetarkan sampai debu salju bertebaran dan semua itu ditambah lagi dengan suara melengking dari suling dan suara mengaung dari pedang, seolah-olah ada dua suara saling sahut atau saling mengiringi dalam perpaduan suara yang aneh sekali. Lima orang Im-kan Ngo-ok itu berusaha untuk mempertahankan diri, akan tetapi kini keadaannya berbalik sudah. Bukan Im-kan Ngo-ok berlima yang mengeroyok, bahkan mereka berlima itulah yang terkurung dan terdesak oleh sinar pedang dan suling yang datang dari semua jurusan, seolah-olah mereka itu dikeroyok oleh belasan orang lawan! Selama mereka hidup, baru sekarang Im-kan Ngo-ok mengalami hal seperti ini, bertemu dengan dua orang muda yang tak terkenal, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang luar biasa dahsyatnya dan masing-masing memegang pusaka-pusaka yang telah dijadikan perebutan oleh dunia kang-ouw. Suling Emas dan Pedang Naga Siluman muncul bersama! Bukan main! Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan susul-menyusul dan mula-mula tubuh Ngo-ok yang berjungkir balik itu roboh terguling disusul terlemparnya tubuh Su-ok dan keduanya memegangi pundak dan paha yang berdarah terkena sambaran pedang! Kemudian disusul Toa-ok terjengkang terkena totokan ujung suling yang mengenai pundak kirinya, dan juga Ji-ok terkena hantaman suling pada punggungnya yang membuat nenek ini terguling. Pada saat yang berikutnya, hanya berselisih beberapa detik saja, sinar pedang dan sinar suling menyambar ke arah Sam-ok! Sam-ok sudah ternganga ketika sinar biru menyambar ke arah lehernya! “Tak perlu membunuh!” terdengar Kam Hong berseru dan Sam-ok roboh terguling kena tertotok ujung suling yang mengenai tengkuknya, disusul suara “cringgg!” nyaring sekali disertai muncratnya bunga api ketika suling itu langsung menangkis pedang yang nyaris membabat leher Sam-ok. Baik Kam Hong maupun Hong Bu meloncat ke belakang dengan tangan tergetar dan cepat mereka memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka tidak rusak. Lima orang Im-kan Ngo-ok itu tidak terluka parah dan mereka sudah bangkit kembali, sejenak memandang kepada dua orang muda itu bergantian, kemudian mereka lalu melompat dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa sepatah kata pun kata keluar dari mulut mereka. LANJUT ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar