Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 44.

Kisah si Bangau Putih Jilid 44

“Bagus kalau kau tahu diri! Memang kami ingin memukulmu!” kata anak terbesar.
“Mari, Sute, kita hajar anak jembel ini sampai dia bertobat!” Yo Han yang sudah mengambil keputusan untuk menyerahkan mukanya untuk ditampar sebagai penebusan kesalahannya, memejamkan kedua mata dan siap menerima tamparan yang bagaimana keras pun pada mukanya.
“Plakkk! Dukkk! Desss....!” Tubuh Yo Han terpelanting ke atas tanah dan dia membuka mata, menggoyang-goyang kepalanya yang terasa pening, mengelus dada dan perut. Dia tidak hanya mendapatkan satu kali tamparan, akan tetapi juga dadanya dipukul dan perutnya ditendang! Yo Han merasa penasaran sekali. Mereka itu keterlaluan, pikirnya.
Sekali maju tiga orang menyerangnya dan memukul dengan keras, sungguh tidak sepadan dengan kesalahannya tadi. Akan tetapi karena dia teringat akan kesalahannya, dia pun menahan kemarahannya dan mengusap bibirnya yang berdarah karena ujung bibir itu pecah terkena tamparan yang amat keras, lalu dia bangkit berdiri.
“Aku sudah menerima hukuman. Kesalahanku sudah terbayar lunas sekarang.” Katanya dan dia hendak melanjutkan perjalanannya ke kota untuk membeli makanan dan minuman seperti yang dipesan gurunya. Akan tetapi tiba-tiba anak terbesar menarik bajunya, di sentakkan ke belakang sehingga Yo Han hampir jatuh.
“Hemmm, kau hendak lari ke mana? Tidak boleh pergi sebelum kami selesai denganmu!”
Sepasang alis Yo Han yang hitam dan tebal itu berkerut dan sepasang mata itu mencorong penuh selidik ketika Yo Han menatap wajah anak laki-laki yang tubuhnya gempal itu.
“Bukankah kalian sudah memukul aku sebagai hukuman atas kesalahanku? Kalian mau apalagi dan mengapa menahan aku?”
“Kesalahanmu ada dua macam. Pertama, engkau menendang anjing kami dan untuk itu memang kami tadi sudah menghukum kamu dengan pukulan. Akan tetapi kesalahan kedua, belum lunas, dan harus dibayar sekarang.”
“Kesalahan yang mana lagi?” Yo Han bertanya penasaran.
“Engkau tidak menghargai kami, tidak menghormati kami. Ketahuilah bahwa kami adalah murid-murid Ngo-heng Bukoan, dan kau bersikap kurang ajar kepada kami. Inilah kesalahanmu ke dua dan untuk ini, engkau harus berlutut dan menyebut kami tuan-tuan muda dan minta maaf atas sikapmu yang kurang ajar itu.”
Wajah Yo Han berubah merah. Suhunya selalu menekankan bahwa dia haruslah rendah hati dan mengalah, akan tetapi tidak boleh rendah diri dan pengecut. Tiga orang anak ini jelas hendak menghinanya dan kalau dia mentaati perintah mereka, berlutut minta maaf, berarti dia rendah diri dan penakut. Mereka itu sewenang-wenang dan sombong, maka tidak perlu dihormati, bahkan layak kalau ditentang.
“Aku tidak mengenal siapa kalian, dan andaikata sudah mengenal sekalipun, aku tidak biasa menjilat orang yang kedudukannya lebih tinggi. Aku tidak merasa bersalah dengan sikapku, maka sudahlah, aku masih banyak urusan dan harus pergi tidak dapat melayani kalian lebih lama lagi!” Berkata demikian Yo Han membalikkan tubuh dan hendak pergi.
“Jembel sombong! Engkau memang harus dipukul sampai setengah mati baru tahu rasa!” bentak anak terbesar. Yo Han maklum bahwa dirinya diserang. Dia membalik dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi pukulan anak itu cepat dan tepat. Elakannya kurang cepat dan pundaknya kena tonjokan yang membuat tubuhnya terjengkang! Akan tetapi sekali ini, Yo Han sudah marah sekali. Dia meloncat bangun dan melihat seorang di antara mereka sudah menerjangnya lagi, dia pun menyambut dengan tendangan.
“Uukkk!” Anak itu kena ditendang pahanya dan terpelanting. Dua orang kawannya segera maju mengeroyok dan anak yang tertendang itu pun sudah bangkit lagi dan ikut mengeroyok, Yo Han dikeroyok tiga! Kasihan anak ini. Tiga orang lawannya telah pandai bermain silat, sedangkan dia baru mempelajari langkah-langkah dasar saja.
Melawan mereka satu lawan satu saja belum tentu dia menang, apalagi dikeroyok tiga.
Tubuhnya menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan mereka. Akan tetapi, Yo Han memiliki keberanian luar biasa dan tahan uji benar-benar. Biarpun sudah puluhan kali dia jatuh bangun, tubuhnya memar dan babak belur, pakaiannya robek-robek, dia tidak pernah nrengeluarkan keluhan dan setiap kali jatuh, dia bangun kembali, meloncat dan melawan lagi mati-matian! Hal ini membuat tiga orang lawannya menjadi bingung dan agak gentar. Mereka mengira bahwa dengan beberapa kali dirobohkan saja, anak jembel itu akan berlutut minta ampun. Akan tetapi siapa kira, sudah puluhan kali jatuh, anak itu tetap melawan. Apalagi minta ampun, mengeluh pun tiduk pernah! Karena gentar, mereka agak lengah dan begitu Yo Han berhasil mencengkeram dan menjambak rambut seorang di antara mereka, dia membanting anak itu, menggumulnya dengan kedua tangan menjambak rambut dan dia membentur-benturkan kepala anak itu di atas tanah! Dia tidak peduli akan pukulan bertubi-tubi yang dilakukan dua orang anak lain pada tubunnya. Dia tetap menunggangi anak yang dijambaknya, dan dibentur-benturkannya kepala itu.
Tiba-tiba anak terbesar menolong sutenya dengan merangkul leher Yo Han dengan lengannya dan menjepitnya. Karena lehernya terjepit dan dia tidak dapat bernapas, Yo Han gelagapan dan terpaksa melepaskan anak yang dijambaknya tadi. Anak itu sudah mulai menangis dan daun telinganya robek dan berdarah. Yo Han meronta-ronta, lalu berhasil membalikkan kepalanya, lalu dia membuka mulut dan menggigit pergelangan tangan anak yang memitingnya! Digigitnya sekuat tenaga. Mulutnya merasakan darah yang asin, gigitannya semakin kuat dan anak terbesar itu berteriak-teriak, mengaduh kesakitan. Baru setelah anak ketiga menghantam pelipis Yo Han yang membuatnya pening, gigitannya terlepas dan anak yang digigit pergelangan tangannya tadi, meloncat bangun dan menangis, memegang lengan yang tadi digigit. Tangisnya bukan hanya karena rasa nyeri, melainkan karena khawatir melihat betapa dari pergelangan tangan yang tergigit itu bercucuran darah yang banyak sekali! Dua orang sutenya juga bingung dan takut, lalu mereka bertiga melarikan diri ke kota, diikuti anjing bulu putih.
Yo Han membereskan pakaiannya. Akan tetapi tidak dapat dibereskan lagi karena pakaian yang tua itu sudah compang-camping, maka dia hanya mengebut-ngebutkan bagian yang kotor oleh tanah dan debu saja. Akan tetapi, tiba-tiba wajahnya berubah agak khawatir ketika tangannya merogoh saku baju dan tidak menemukan beberapa keping uang kecil pemberian gurunya! Kantung itu telah robek dan uangnya entah jatuh ke mana. Dia mulai mencari-cari di sekitar tempat itu namun sia-sia. Karena tidak dapat menemukan uang itu, akhirnya terpaksa dia kembali ke bukit di mana suhunya menanti di
kuil tua.
Sin Hong sedang membuat minuman teh ketika melihat munculnya Yo Han. Dia merasa heran karena cepatnya anak itu sudah kembali, akan tetapi keheranannya berubah menjadi kekagetan melihat anak itu tidak membawa apa-apa, pakaiannya robek-robek dan mukanya penuh benjolan biru, tubuhnya babak-belur. Akan tetapi Sin Hong bersikap tenang-tenang saja ketika bertanya.
“Yo Han, apakah yang telah terjadi denganmu?”
Yo Han duduk di atas lantai, di depan gurunya.
“Maaf, Suhu, uang pemberian Suhu hilang sehingga teecu tidak dapat membeli apa-apa.”
“Hemmm, dan pakaianmu robek-robek, tubuhmu babak-belur....“
“Teecu.... telah berkelahi, Suhu.”
Sin Hong memandang muridnya dengan alis berkerut. Dia merasa yakin bahwa kalau sampai muridnya itu terpaksa berkelahi, sudah pasti muridnya itu tidak berada di pihak yang salah. Akan tetapi, dia sudah berulang kali memberi nasihat agar muridnya menjauhkan diri dari perkelahian dan permusuhan, maka kini dia bersikap keren.
“Ceritakan semua!”
“Sebelum tiba di pintu gerbang kota, teecu melihat tiga orang anak sebaya teecu bermain-main di tepi jalan. Tiba-tiba ada anjing menyalak dan akan menggigit kaki teecu. Karena terkejut dan takut digigit, teecu menendang perut anjing itu. Baru ternyata kemudian bahwa anjing itu hanyalah seekor anak anjing dan tiga orang anak itu pemiliknya. Mereka adalah murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka marah. Teecu sudah minta maaf dan teecu mempersilakan mereka menghukum teecu. Mereka bertiga memukul teecu satu kali sampai teecu roboh. Teecu menerima hukuman yang keterlaluan itu dan hendak pergi, akan tetapi mereka melarang. Mereka mengatakan bahwa teecu mempunyai kesalahan lagi, yaitu tidak menghormati mereka sebagai murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka mengharuskan teecu berlutut minta ampun. Teecu tidak sudi dan hendak pergi, lalu mereka menyerang dan memukuli teecu. Terpaksa teecu melawan.”
“Dan kau kalah?”
“Mereka bertiga itu pandai silat, Suhu, sedangkan teecu belum bisa. Teecu dihujani pukulan dan tendangan, sampai roboh puluhan kali, akan tetapi karena teecu tidak merasa bersalah, teecu melawan terus. Akhirnya teecu dapat menghajar mereka, dan mereka melarikan diri sambil menangis.”
Sin Hong terbelalak, memandang tidak percaya.
“Mereka lari sambil menangis? Bagaimana engkau menghajar mereka?”
“Teecu dapat menjambak rambut seorang di antara mereka dan membentur-benturkan di atas tanah, ketika seorang lagi memiting leher teecu, teecu dapat menggigit pergelangan tangannya. Darahnya keluar banyak sekali dan mereka melarikan diri, yang dua orang itu menangis. Akan tetapi, uang itu hilang dan harap Suhu maafkan teecu.”
Sin Hong menahan ketawannya. Dia teringat akan sikap mendiang ayah Yo Han. Ayah Yo Han yang bernama Yo Jin itu sungguh merupakan seorang pria yang amat mengagumkan. Seorang petani dusun sederhana, sedikit pun tidak pandai ilmu silat, akan tetapi memiliki ketabahan melebihi seorang pendekar yang pandai silat! Kalau membela kebenaran, Yo Jin ini tidak berkedip sedikit pun juga biarpun diancam maut! Dan agaknya kenekatan dan ketabahan itu kini menurun kepada Yo Han.
“Anak bodoh! Sudah berapa kali kukatakan bahwa engkau tidak boleh berkelahi?”
Dibentak demikian, Yo Han menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
“Harap Suhu maafkan teecu. Teecu bersalah dan bersedia menerima hukuman!”
Sin Hong tersenyum dalam batinnya. Anak ini memang hebat, pikirnya.
“Sudahlah, Yo Han. Engkau memang hanya membela diri, akan tetapi bela diri seperti itu adalah konyol. Untung engkau tidak dipukuli sampai mati. Kalau tadi engkau melarikan diri kembali ke sini, aku tidak akan menganggap engkau penakut. Orang berani harus memakai perhitungan, kalau hanya berani dan nekat tanpa perhitungan, orang itu akan mati konyol. Kalau orang melarikan diri dari bahaya yang tidak dapat ditentang dengan kepandaiannya, bukan berarti dia pengecut, melainkan dia mempergunakan kecerdikannya. Berani membuta bukanlah gagah namanya, melainkan bodoh dan konyol.”
“Maaf, Suhu. Teecu memang bersalah dan teecu tadi pun bingung dan ragu karena teecu tidak pernah melupakan nasihat Suhu. Akan tetapi, bayangkan saja Suhu, andaikata teecu tidak melawan dan melarikan diri, bukankah teecu akan dianggap takut? Padahal, teecu adalah murid Suhu yang memiliki kesaktian, bukankah kalau teecu lari, berarti teecu membikin malu kepada Suhu?”
Sin Hong tersenyum.
“Membanggakan kepandaian guru atau kepandaian sendiri merupakan kesombongan, Yo Han. Sudahlah, jangan kaukira aku pelit dan tidak suka mengajarkan silat kepadamu. Selama ini, aku menggembleng tubuhmu agar memiliki kekuatan. Kalau engkau tidak memiliki kekuatan, bagaimana mungkin engkau dapat bertahan dipukuli oleh tiga orang yang lebih pandai darimu, sampai puluhan kali jatuh bangun akan tetapi tetap dapat melawan? Apa artinya memiliki kepandaian silat tinggi kalau tubuhnya lemah? Nah, sekarang engkau mengerti mengapa sampai kini aku belum mengajarkan ilmu silat, hanya penggemblengan kekuatan tubuh dan daya tahan, juga dasar langkah-langkah ilmu silat. Mulai hari ini, aku akan mulai mengajarkan ilmu pukulan dan tendangan.”
Bukan main girang hati Yo Han. Dia memberi hormat sampai delapan kali untuk menyatakan terima kasihnya.
Pada saat itu, terdengar suara orang di luar kuil.
“Kau yakin bahwa dia masuk ke dalam kuil ini?” demikian terdengar suara seorang wanita.
“Benar, Suci (Kakak Seperguruan). Sudah kutanya-tanyakan, dia berada di dalam kuil tua ini,” terdengar jawaban seorang anak-anak. “Heiii, jembel busuk, keluarlah engkau!” Suara anak-anak itu berteriak.
“Wah, itu suara anak yang teecu gigit pergelangan tangannya, Suhu,” kata Yo Han kepada gurunya, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut.
“Hemmm, mau apa dia datang? Dan dengan siapa?” Sin Hong mengangkat cawannya dan minum air teh yang masih panas. Mereka, guru dan murid itu, selalu membawa perabot masak dalam buntalan pakaian mereka, juga mangkok, cawan dan sumpit.
“Entahlah, Suhu. Mungkin minta digigit sebelah lengannya yang lain!” kata Yo Han gemas. Gurunya mengerutkan alisnya, dan Yo Han lalu bangkit berdiri “Suhu, biarlah teecu menghadapi mereka.” “Tunggu, Yo Han. Jangan engkau membuat urusan menjadi semakin parah. Mari kita keluar bersama, kita lihat apa yang mereka kehendaki.” Sin Hong bangkit dan bersama muridnya dia keluar dari ruangan samping itu, menuju ke depan di mana dia melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga belas tahun bersama seorang gadis yang bertubuh ramping padat. Gadis itu berusia kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas seperti pakaian seorang ahli silat, rambutnya yang hitam digelung ke atas dan dihias bunga emas. Pakaian berwarna hijau muda yang berpotongan ringkas itu membuat tubuhnya nampak menggairahkan. Akan tetapi melihat sepintas saja mudah diduga bahwa ia seorang gadis yang gagah. Wajahnya manis dengan dagu runcing, mulut kecil dan sepasang mata yang jeli dan tajam. Seorang gadis yang gagah dan cantik.
Dengan hati yang merasa agak tidak enak karena dia harus menghadapi seorang gadis cantik yang agaknya sedang marah, Sin Hong menghampiri mereka. Begitu melihat Yo Han, anak itu yang kini lengannya dibalut, berseru,
“Itulah dia, Suci! Itulah jembel busuk itu!”
Gadis itu hanya sebentar saja memandang kepada Yo Han. Diam-diam ia mendongkol sekali mengingat betapa tiga orang murid Ngo-heng Bu-koan dikalahkan oleh seorang anak laki-laki yang pakaiannya tambal-tambalan dan compang-camping, yang usianya dua tiga tahun lebih muda dari sutenya ini! Memalukan sekali, pikirnya. Dan ia lalu memandang kepada Sin Hong, memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh empat tahun, berpakaian serba putih, bersih, namun juga ada tambalannya. Wajah pemuda itu biasa saja, tidak terlalu menarik, juga tidak buruk, akan tetapi sinar matanya lembut dan mulutnya tersenyum ramah membayangkan kehalusan watak.
Sin Hong mendahului gadis itu, mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi hormat. Perbuatannya ini diturut oleh muridnya sehingga gadis itu kembali terheran melihat betapa kedua orang jembel itu bersikap demikian sopan.
“Maafkan kami, Nona. Apakah Ji-wi (Kalian berdua) datang untuk mencari kami?” Sin Hong bertanya dengan sikap yang halus dan sopan. Gadis itu memandang bingung. Kalau yang menggigit dan menjambak para murid kecil perguruan ayahnya hanya seorang bocah berusia kurang lebih sembilan tahun, tentu saja ia tidak dapat turun tangan menghajarnya! Bagaimana mungkin ia harus menyerang seorang bocah? Ia adalah Bhe Siang Cun, puteri dari ketua atau kauwsu (guru silat) perguruan silat Ngo-heng Bu-koan!
Bahkan ialah yang membimbing dan mengajar para murid perguruan silat itu mewakili ayahnya. Memalukan sekali kalau ia harus berkelahi melawan seorang anak kecil berusia sembilan tahun!
Ia lalu mengalihkan pandang matanya, memperhatikan Sin Hong tanpa membalas penghormatan pemuda itu.
“Aku mencari bocah bengal ini. Apamukah dia?” Ia melirik kepada Yo Han yang menahan dirinya untuk diam saja karena dia takut kepada gurunya.
Akan tetapi dia membalas pandang mata gadis itu dengan berani dan sikapnya tenang sekali. Dia merasa tidak bersalah, maka sedikit pun tidak merasa takut.
“Dia ini adalah muridku, Nona. Kalau dia melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hatimu, harap Nona suka memaafkan anak yang masih kecil ini.”
Mendengar bahwa pemuda itu guru dari anak nakal itu, lega rasa hati Siang Cun.
Setidaknya, ia akan berurusan dengan gurunya, bukan dengan bocah itu.
“Bagus!” katanya. “Engkau adalah gurunya maka harus engkau yang bertanggung jawab atas kejahatannya! Biarpun dia masih kecil, akan tetapi dia jahat sekali. Lihat apa yang telah dilakukannya terhadap suteku ini. Dia ini suteku, akan tetapi aku yang membimbing mereka, maka aku dapat juga disebut guru mereka. Tiga orang suteku telah luka-luka karena perbuatan muridmu yang jahat ini. Lihat pergelangan tangan suteku yang ini digigit sampai terluka parah dan banyak darah terbuang.”
Sin Hong menahan senyumnya. Gadis itu lincah dan galak, menunjukkan sikap yang mengandung kegagahan walaupun ada keangkuhan membayanginya.
“Sekali lagi maaf. Muridku telah bercerita kepadaku tentang perkelahian antara dia dan tiga orang anak-anak yang usianya lebih tua darinya. Menurut dia, dia telah dihina dan dikeroyok oleh tiga orang anak itu, maka dia membela diri....”
“Dia telah menendang anjing peliharaan dan. kesayangan kami!” Gadis itu memotong.
“Sudah sepatutnya kalau dia dihajar atas perbuatannya itu! Dan kalau dia melawan secara gagah dan benar, kami pun tidak akan ribut lagi. Kalau tiga orang suteku kalah oleh ilmu silatnya, aku hanya akan menegur murid-murid itu. Akan tetapi muridmu ini jahat, menggunakan kecurangan, menggigit dan mencakar!”
Sin Hong kini tersenyum.
“Muridku sudah mengakui kesalahannya menendang anak anjing itu karena kaget ketika diserbu anjing itu, akan tetapi tiga orang anak itu mengeroyoknya. Muridku ini tidak pandai silat, mana mungkin menggunakan ilmu silat untuk membela diri? Dia hanya dapat menggigit, mencakar, hanya untuk membela dirinya yang dipukuli tiga orang anak. Harap Nona suka memaafkan kami dan menyudahi saja urusan antara anak-anak kecil ini. Lihat, muridku juga sudah babak belur. Tentu dia lebih banyak menerima pukulan daripada para sutemu, dan dia lebih banyak menderita kesakitan.” Diam-diam Sin Hong. merasa bangga melihat kenyataan betapa muridnya itu, biarpun lebih banyak menerima hantaman, tetap tenang dan tabah, tidak seperti anak yang lengannya dibalut itu, kelihatan cengeng.
“Tidak bisa!” Siang Cun membantah. “Kalau tidak ada gurunya, aku hanya akan menegur bocah bengal ini. Akan tetapi setelah ada gurunya yang bertanggung jawab, maka engkau sebagai gurunya harus berani menghadapi akibat perbuatan muridmu dan bertanggung jawab sepenuhnya!”
Sin Hong mengerutkan alisnya. Gadis ini terlalu mendesak dan mau menang sendiri saja, pikirnya. Akan tetapi dia masih tersenyum.
“Lalu apa yang harus kulakukan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan muridku, Nona? Tentu saja aku suka bertanggung jawab.”
“Para suteku atau juga murid-muridku berkelahi dengan muridmu yang mempergunakan kecurangan. Sekarang, kita sama-sama guru atau pelatih masing-masing harus menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul! Aku tantang kamu untuk mengadu ilmu silat dengan adil dan jujur, tidak mempergunakan kecurangan.” Setelah berkata demikian, Siang Cun sudah mengambil sikap, memasang kuda-kuda ilmu silat perguruan ayahnya. Ayahnya adalah seorang ahli ilmu silat Ngo-heng-kun, dan ilmu silat tangan kosong ini memiliki banyak sekali perkembangan sehingga dapat dipergunakan untuk memainkan senjata apa pun juga. Sesuai dengan namanya, Ngo-heng-kun (Silat Lima Unsur) memiliki lima macam sifat yang paling berlawanan dan juga saling membantu.
Ayah Siang Cun yang bernama Bhe Gun Ek adalah seorang pendekar yang mahir ilmu-ilmu silat Siauwlim-pai dan Bu-tong-pai. Penggabungan kedua aliran inilah yang menciptakan Ngo-heng-kun seperti yang dimilikinya sekarang, yang berbeda dengan Ngo-heng-kun dari Siauw-lim-pai maupun Bu-tongpai, akan tetapi yang mengandung bagian-bagian terindah dan terlihai dari keduanya. Ketika memasang kuda-kuda ilmu silat Ngo-heng-kun, Siang Cun berdiri dengan kedua kaki terpentang, yang kiri di depan, yang kanan di belakang, ditekuk menyerong, tubuhnya tegak, kedua lengannya melingkar di depan dada, membentuk tanda Im-yang karena Im-yang merupakan inti dari Ngo-heng.
Sikapnya gagah dan kuda-kuda itu indah, membuat Sin Hong kagum dan tertarik. Tentu saja sama sekali dia tidak berniat untuk berkelahi apalagi bermusuhan dengan gadis itu atau siapa saja hanya karena perkelahian anak-anak maka dia pun tidak mau melayani gadis itu.
“Nona, maafkanlah kami. Aku tidak ingin berkelahi dan biarlah sebelum berkelahi aku mengaku kalah padamu!”
Mendengar ini, diam-diam Yo Han merasa penasaran sekali. Dia menganggap gurunya orang yang amat gagah perkasa, sakti dan tak mengenal takut. Akan tetapi mengapa gurunya menerima saja sikap gadis ini yang demikian angkuh dan memandang rendah?
Dia tidak berani menegur gurunya, akan tetapi anak yang banyak akalnya ini mengambil keputusan untuk menambah minyak pada api yang membakar dada gadis itu agar gadis itu benar-benar dapat bertanding melawan gurunya!
“Bibi yang baik....“ Dia berkata sambil melangkah maju mendekati Siang Cun.
“Aku bukan bibimu!” bentak gadis itu, semakin marah karena ia merasa tidak pantas seorang anak berusia sembilan atau sepuluh tahun menyebut ia bibi, padahal ia baru berusia sembilan belas tahun.
Yo Han yang memang sengaja, segera melanjutkan.
“Ah, Enci yang baik, harap jangan melanjutkan sikap Enci menantang Suhuku. Tidak tahukah Enci bahwa Suhu bersikap mengalah kepadamu? Kalau Suhu menanggapi dan menyambut tantanganmu, dalam beberapa jurus saja Enci tentu akan kalah....“
“Yo Han....!” Sin Hong berseru, alisnya berkerut dan dia terkejut mendengar ucapan muridnya itu yang demikian menyombongkan diri. Yo Han membungkam dan melangkah mundur akan tetapi sudah cukup baginya. Akalnya itu berhasil, karena wajah Siang Cun menjadi merah padam dan gadis itu sudah menjadi marah sekali.
“Bagus, kalian adalah orang-orang sombong! Nah, sambutlah seranganku, hendak kulihat apakah benar dalam beberapa jurus engkau mampu mengalahkan aku!” Berkata demikian, tanpa memberi kesempatan kepada Sin Hong untuk membantah lagi, Siang Cun sudah menyerang dengan cepatnya. Serangannya itu cepat bertubi-tubi datangnya, dan setiap tamparan, tonjokan atau tendangan mendatangkan angin yang kuat, tanda bahwa gadis ini memiliki kekuatan sin-kang yang sudah lumayan hebatnya.
“Plak-plak! Wuuuuuttt.... plak-wuuut-wuuuttt!” Lima kali berturut-turut Siang Cun mengirim serangan yang cukup dahsyat. Sin Hong yang didesak itu hanya main mundur, menangkis atau mengelak. Ketika menangkis, dia menyimpan tenaganya karena tidak ingin mencelakai gadis itu, akan tetapi dia kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kekhawatirannya itu tidak beralasan karena gadis itu ternyata memiliki sin-kang yang kuat! Dan setiap serangan yang dilakukan gadis itu pun dahsyat, cepat dan kuat sehingga dalam gebrakan pertama saja tahulah Sin Hong bahwa gadis ini bukan seorang ahli silat sembarangan saja, melainkan seorang yang telah mewarisi ilmu silat tingkat tinggi.
Di lain pihak, Siang Cun juga terkejut bukan main. Tadinya dipandangnya rendah pemuda berpakaian putih itu. Muridnya hanya pandai mencakar dan menggigit, tentu gurunya juga hanya mempunyai ilmu silat pasaran saja. Akan tetapi, sungguh mengherankan sekali betapa serangkaian serangannya yang termasuk jurus cukup ampuh dapat dihindarkan pemuda itu dengan tangkisan dan elakan yang cukup lincah! Dan biarpun ia tidak merasakan adanya tenaga yang kuat ketika pemuda itu menangkis, namun pemuda itu pun tidak nampak terhuyung atau terdorong mundur. Ia menjadi penasaran dan kini Bhe Siang Cun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus simpanan dari Ngo-heng-kun untuk merobohkan atau mengalahkan lawannya!
Sin Hong semakin kagum. Kiranya gadis ini memang lihai sekali. Ilmu silatnya itu hebat, selain cepat dan kuat, juga memiliki gaya yang indah dan daya serang yang berbahaya.
Terpaksa dia mulai mempergunakan sin-kangnya kalau dia tidak ingin celaka atau benar-benar roboh di tangan gadis ini! Sin Hong mulai memainkan ilmu silat gabungan antara Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) yang dipelajarinya dari seorang di antara tiga orang gurunya di Istana Gurun Pasir, yaitu Tiong Khi Hwesio. Dia tidak memainkan Pek-ho Sin-kun, karena ilmu ini terlalu hebat untuk dipakai main-main, dan hanya dia pergunakan kalau terpaksa sekali menghadapi lawan yang amat tangguh. Begitu dia mainkan kedua gabungan ilmu silat sakti ini dan mengerahkan sin-kangnya, beberapa kali Siang Cun mengeluarkan seruan kaget. Baru ia tahu bahwa pemuda berpakaian putih ini benar-benar lihai sekali dan ia pun kini merasa betapa pemuda itu sejak tadi banyak mengalah dan jarang membalas serangannya, bahkan main mundur saja. Padahal, setiap kali beradu lengan, ia merasa lengannya kesemutan dan seperti hampir lumpuh karena getaran hebat yang terkandung dalam lengan pemuda itu. Mulailah ia merasa kagum, heran dan menduga-duga siapa adanya pemuda yang amat lihai ini.
Sementara itu, melihat betapa gurunya selalu menangkis dan mengelak selalu main mundur, diam-diam Yo Han merasa khawatir juga. Dia percaya penuh kepada suhunya yakin akan kelihaian suhunya. Akan tetapi agaknya suhunya tidak mau sungguh-sungguh melawan gadis ini dan hal inilah yang membuatnya khawatir. Adapun anak laki-laki yang dibalut lengannya, yang tadi digigitnya, kelihatan gembira sekali. Anak itu lalu mendekati Yo Han dan berkata dengan nada suara sombong.
“Gurumu itu sebentar lagi tentu akan dipukul roboh oleh Su-ci!”
Yo Han mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada bekas lawan itu.
“Belum tentu! Suhuku bukan orang yang mudah dikalahkan!”
“Hemmm, kita lihat saja! Suci-ku adalah puteri dari suhu, ketua dari Ngo-heng Bu-koan yang sudah terkenal di seluruh dunia. Suci-ku gagah perkasa dan tak pernah terkalahkan seperti seekor Naga Betina!”
Diam-diam Yo Han mendongkol. Mana ada manusia dibandingkan naga? Bohong dan membual saja, akan tetapi karena marah dia pun tidak mau kalah.
“Apa anehnya Naga Betina? Suhuku sama dengan Naga Emas!”
Mendengar Yo Han menyebut Kim-liang (Naga Emas), tiba-tiba anak itu terbelalak dan wajahnya berubah kaget dan agak pucat.
“Dia.... dia.... dari Kim-liong?”
Tentu saja Yo Han tidak mengerti apa yang dimaksudkan anak itu, akan tetapi karena sudah terlanjur membual, dia pun mengangguk.
“Tentu saja dia Kim-liong. Kaukira siapa?”
Sungguh mengherankan sekali. Mendengar ini, anak itu lalu lari menghampiri suci-nya yang sedang bertanding dan dia pun berteriak,
“Suci, awas! Dia itu dari Kim-liong-pang!”
Mendengar ini, Siang Cun juga nampak terkejut dan ia pun cepat mencabut sepasang pedang yang sejak tadi tergantung di punggungnya. Dara ini memang tadi ingin mengadu ilmu dengan Sin Hong, akan tetapi hal itu terdorong oleh rasa penasaran saja. Ia tidak ingin bermusuhan pula, maka tidak pernah menggunakan senjata. Akan tetapi kini, begitu mendengar disebutnya Kim-liong-pang, ia menjadi marah dan kaget, lalu seketika mencabut sepasang pedangnya dan membentak.
“Keparat, kiranya engkau jahanam dari Kim-liong-pang!” Dan tanpa memberi kesempatan kepada Sin Hong untuk membantah, Siang Cun kini sudah memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan hebat! Gadis ini memang memiliki keahlian memainkan sepasang pedang. Ilmu pedangnya masih merupakan perkembangan dari Ngo-heng-kun. Dibantu oleh ayahnya yang ahli, gadis ini telah berhasil menciptakan ilmu pedangnya sendiri yang dinamakan Ngo-heng-kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Unsur) yang hebat.
Sin Hong terkejut sekali. Dia hendak menyangkal bahwa dia dari Kim-liong-pang, karena memang dia sama sekali tidak tahu menahu tentang Kim-liong-pang. Akan tetapi melihat permainan sepasang pedang yang indah dan ampuh itu, dia pun tertarik. Seperti para pendekar pada umumnya, ilmu silat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Sin Hong. Ilmu silat merupakan kesukaannya, olah raganya, keseniannya, bahkan pelindung dirinya. Maka, setiap kali mendapat kesempatan bertemu tanding, hal ini merupakan suatu kegembiraan tersendiri. Apalagi kalau melihat ilmu silat lawan yang indah dan ampuh, tentu timbul keinginan hatinya untuk menguji ilmu itu, atau juga menguji kepandaian sendiri apakah akan mampu melawan orang yang memiliki ilmu yang indah dan ampuh itu. Oleh karena itu, begitu melihat gadis itu memainkan sepasang pedangnya, timbul keinginan hati Sin Hong untuk menguji ilmu itu dan dia pun segera memainkan Pek-ho Sin-kun!
Terjadilah perkelahian yang amat indah ditonton, akan tetapi juga menegangkan karena nampaknya amat berbahaya bagi Sin Hong. Dua gulungan sinar pedang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, dibarengi suara berdesing dan tubuh Sin Hong lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua gulungan sinar pedang. Sin Hong memainkan Pek-ho Sin-kun dengan cekatan sekali. Kedua lengan ditelusuri tenaga sin-kang yang amat hebat, yaitu sin-kang gabungan yang diterimanya dari ketiga orang gurunya, manusia-manusia sakti di Istana Gurun Pasir. Dengan tangan dan lengan telanjang, pemuda ini sekarang berani menangkis pedang atau senjata apa pun tanpa takut kalau kulit lengannya lecet! Kedua tangan itu kadang-kadang membentuk moncong atau paruh burung bangau putih, lengan menjadi leher yang panjang dan paruh itu dapat mematuk-matuk berupa totokan-totokan pada jalan darah di tubuh lawan, bahkan lengan yang menjadi leher itu dapat menangkis dan membelit senjata, mencoba merampasnya.
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar