Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 39.

Kisah si Bangau Putih Jilid 39

Sepasang mata Suma Lian memandang penuh selidik, kemudian terbelalak ketika ia teringat,
"Ohhh! Kaumaksudkan.... gadis yang tewas itu, yang bernama.... Kwee Ci Hwa....?"
Sin Hong memang suka kepada Ci Hwa, akan tetapi bukan gadis itu yang menjatuhkan hatinya, melainkan gadis yang berada di depannya ini. Akan tetapi dia mengangguk.
Inilah satu-satunya jalan untuk menjauhkan diri dari Suma Lian, mengaku cinta kepada gadis yang telah tiada! Tidak ada halangannya. Kalau dia mengaku cinta kepada gadis yang masih hidup tentu akan mendatangkan kesulitan baru saja.
Suma Lian merasa betapa kekecewaan menusuk hatinya, membuat ia heran sekali.
Mengapa ia merasa kecewa mendengar Sin Hong cinta kepada seorang gadis lain? Dan di samping kekecewaannya, juga terdapat perasaan lega bahwa gadis yang dicintai Sin Hong itu telah tiada!
"Aih, sungguh aku tidak menyangka, Hong-ko. Kasihan sekali gadis itu."
Sin Hong menarik napas panjang.
"Memang patut dikasihani. Ia puteri Kwee-piauwsu yang tadinya kusangka menjadi biang-keladi pembunuhan ayahku. Ci Hwa merasa penasaran bahwa ayahnya dituduh, maka ia meninggalkan rumah untuk membantu mencari siapa adanya pembunuh ayahku, bukan hanya untuk membantuku, akan tetapi juga untuk membersihkan nama ayahnya. Dan ia berhasil! Ia berhasil menemukan bahwa pelakunya adalah Ciu Hok Kwi, piauwsu yang dulu pernah menjadi pembantu ayahku, seorang tokoh Tiat-liong-pang yang menyelundup. Ia berhasil mencuci bersih nama ayahnya, dan berhasil membantuku menemukan pelakunya, dengan tebusan nyawanya!"
Sin Hong tidak berpura-pura kalau dia nampak terharu dan berduka mengingat akan nasib yang menimpa diri Ci Hwa. Dan diam-diam dia mengepal tinju teringat akan kata-kata terakhir gadis itu yang menyatakan betapa Siangkoan Liong telah menodainya.
"Ah, kalau begitu pantas ia mendapatkan cinta dan kasih sayangmu, Hong-ko. Akan tetapi, ia telah meninggal dunia, tidak perlu diingat dan disedihkan lagi. Di dunia ini masih banyak terdapat gadis-gadis cantik yang akan dapat menggantikan Ci Hwa di dalam hatimu."
Sin Hong menggeleng kepala.
"Agaknya tidak mudah, Lian-moi. Seseorang haruslah setia terhadap perasaan hatinya sendiri. Kematian Ci Hwa membuat aku merasa lumpuh lahir batin, tidak akan memikirkan lagi tentang ikatan batin dengan wanita lain sampai entah kapan."
Kembali Suma Lian merasa betapa hatinya tertusuk kekecewaan yang mengherankannya.
Dan sekaligus ucapan pemuda itu mengingatkan ia akan keadaan dirinya yang telah dipertunangkan, dijodohkan oleh neneknya sebagai pesan terakhir. Dijodohkan dengan Gu Hong Beng! Dan ia pun termenung.
Tiba-tiba Sin Hong meloncat dan menginjak-injak api unggun sehingga padam. Tentu saja Suma Lian terkejut, akan tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan suara, Sin Hong sudah menaruh telunjuk di depan mulutnya.
"Shhhhh lihat di sana...." bisiknya.
Suma Lian yang juga sudah meloncat berdiri itu membalikkan tubuh memandang ke arah yang ditunjuk Sin Hong. Bulan sepotong memberi penerangan yang cukup bagi matanya yang berpenglihatan tajam itu sehingga ia mampu pula melihat adanya bayangan yang berlari cepat, datang dari arah sarang Tiat-liong-pang.
"Aku mau kejar dia!" kata Sin Hong dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat sekali, melakukan pengejaran. Sejenak Suma Lian tertegun dan kagum, kemudian ia mengumpulkan buntalan pakaiannya dan buntalan pakaian Sin Hong, dipanggulnya dua buntalan pakaian itu dan dia pun mengejar.
Bayangan yang berlari cepat meninggalkan sarang Tiat-liong-pang itu bukan lain adalah Gu Hong Beng! Seperti kita ketahui, pemuda perkasa ini sedang diuji oleh Siangkoan Lohan untuk mengantarkan surat dari para pimpinan pemberontak itu kepada Panglima Coa, komandan pasukan di benteng pemerintah yang bertugas di perbatasan utara.
Komandan Coa inilah tokoh yang bersekutu dengan pihak pemberotak. Gu Hong Beng diuji dengan mengadakan hubungan ke benteng itu, mengantar surat dan dua orang temannya, Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian, masih ditahan dan menjadi sandera.
Selagi dia berlari cepat menuju ke perbentengan, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan di depannya berdiri seorang laki-laki muda yang membentak,
"Sobat, berhenti dulu! Siapakah engkau, dari mana dan hendak ke mana? Aku melihat engkau baru keluar dari perkampungan Tiat-liong-pang!"
Mendengar bentakan ini dan melihat betapa orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi yang dapat dilihat dari gerakannya yang cepat, Hong Beng mengira bahwa tentu orang ini seorang pandai yang menjadi kaki tangan pemberontak dan yang menjadi satu di antara mata-mata pemberontak yang banyak disebar di daerah itu. Agaknya orang ini belum sempat mengenalnya, pikir Hong Beng. Untuk menghindarkan kesalahpahaman, dia pun langsung saja mengaku.
"Sobat, harap jangan menggangguku. Aku adalah utusan pribadi Siangkoan Pangcu yang melakukan. tugas rahasia amat penting, maka harap kau suka memberi jalan!"
Akan tetapi sungguh di luar dugaan Hong Beng. Begitu dia menjawab, pemuda itu langsung saja menyerangnya dan menotok ke arah dada dan pundaknya, untuk merobohkannya. Hong Beng cepat meloncat ke belakang sambil menangkis, lalu membalas karena kini dia pun sadar bahwa orang ini berniat buruk kepadanya. Mungkin saja para pimpinan pemberontak itu memang berniat buruk dan sengaja menyuruh kaki tangannya untuk menghadang dan membunuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa penghadangnya ini adalah Tan Sin Hong, yang tentu saja segera menyerang untuk menangkapnya begitu mendengar bahwa dia adalah utusan pribadi yang membawa tugas rahasia dari ketua Tiat-liong-pang.
"Dukkk! kedua lengan mereka bertemu dan keduanya terkejut. Hong Beng yang terdorong oleh tenaga yang amat kuat, terkejut karena sama sekali tidak menyangka bahwa penghadangnya ini adalah seorang yang demikian lihainya, sebaliknya, Sin Hong juga kagum karena merasa betapa lengannya tergetar oleh pertemuan dua tenaga sakti itu.
Hong Beng yang maklum bahwa lawannya walaupun di bawah sinar bulan redup itu nampak masih amat muda, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia tidak mau kalau tugasnya ini terganggu, dan mungkin saja orang ini adalah utusan khusus Siangkoan Lohan yang dikirim ke situ untuk sengaja menghadangnya dan menguji kesetiaannya! Maka, begitu menyerang lagi,dia sudah mengerahkan tenaga sakti dari Pulau Es, yaitu Swat-im Sin-kang. Ketika tangan kirinya mendorong ke arah dada Sin Hong, maka hawa yang amat dingin menyambar dahsyat. Ketika dia menghadapi pukulan ini, merasakan hawa dingin yang menyengat mendahului pukulan, Sin Hong mengeluarkan seruan kaget dan cepat dia menghindar dengan loncatan ke kiri.
"Haiiiii! Apakah itu bukan Swat-im Sin-kang?" tanyanya heran.
Mendengar pertanyaan ini, Hong Beng juga tertegun. Kiranya lawannya demikian lihainya sehingga mengenal pula pukulan dahsyat dari Pulau Es. Pada saat itu, nampak bayangan lain berkelebat dan ternyata bayangan itu seorang gadis cantik jelita yang menggendong dua buntalan pakaian.
Sejenak Hong Beng menjadi bengong. Biarpun sudah bertahun-tahun tidak saling bertemu dan ketika dia bertemu dengan gadis itu, Suma Lian baru berusia tiga belas tahun, namun dia tidak pernah dapat melupakan wajah remaja itu, semenjak gadis itu oleh neneknya dijodohkan dengan dia. Apalagi setelah dia mengalami kegagalan dalam cintanya kepada gadis bernama Can Bi Lan yang kini menjadi isteri pendekar Sim Houw (baca kisahSULING NAGA ), maka wajah Suma Lian selalu terbayang di dalam hatinya.
Kini, begitu bertemu, dia yakin bahwa gadis cantik jelita ini adalah Suma Lian! Di lain fihak, Suma Lian juga mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat, karena ia merasa tidak asing dengan pria yang tadi berkelahi melawan Sin Hong itu.
"Bukankah.... bukankah Nona ini Sumoi Suma Lian....?" Akhirnya Hong Beng berseru, sedangkan Sin Hong menghentikan serangannya setelah tadi mengenal ilmu dahsyat Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) dari keluarga Pulau Es.
"Ah, suheng Gu Hong Beng kiranya....!" Suma Lian teringat begitu pemuda itu menyebutnya sumoi, dan seketika wajahnya berubah kemerahan karena ia teringat akan pesan pamannya, Suma Ciang Bun bahwa murid pamannya ini telah dijodohkan dengannya!
"Sumoi, sungguh tak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Bagaimana engkau bisa berada di sini dan.... dan.... saudara ini siapakah?" Dia memandang kepada Sin Hong yang tersenyum. Kiranya inilah yang bernama Gu Hong Beng, pikir Sin Hong. Tunangan dari Suma Lian! Seorang pria yang tampan dan gagah, pakaiannya biru sederhana dan bicaranya halus. Juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, pantas kalau menjadi suami Suma Lian. Akan tetapi dia teringat akan pengakuan Gu Hong Beng tadi. Utusan Siangkoan Pangcu, membawa tugas rahasia yang amat penting! Oleh karena itu, timbul kecurigaannya dan sebelum Suma Lian menjawab, dia sudah mendahului.
"Lian-moi, hati-hati, bagaimanapun juga, dia adalah utusan dari Siangkoan Lohan, membawa tugas rahasia yang penting!"
Ucapan Sin Hong ini mengejutkan hati Suma Lian dan ia memandang kepada pria yang dicalonkan sebagai suaminya itu dengan pandang mata penuh selidik dan kecurigaan.
"Apa? Suheng, benarkah bahwa engkau kini telah menjadi kaki tangan pemberontak yang bergabung dengan para tokoh sesat itu?"
Hong Beng menghela napas pan jang, lalu memperhatikan sekeliling tempat itu.
"Mari kita bicara," bisiknya, "akan tetapi harus berhati-hati agar tidak terdengar orang lain."
"Mari ikut denganku," kata Sin Hong yang mengajak Hong Beng dan Suma Lian memasuki hutan di mana dia dan gadis itu tadi membuat api unggun. Tempat ini memang terlindung pohon-pohon, dan berada di tempat agak tinggi sehingga dapat melihat kalau ada orang datang ke tempat itu.
"Nah, di sini kita bisa bicara dengan aman," katanya.
Hong Beng lalu memandang Suma Lian dan kembali sinar kagum terbayang di matanya melihat gadis ini. Betapa cantik jelitanya Suma Lian sekarang dan jantungnya berdebar tegang, bukan hanya tegang karena gembira membayangkan gadis ini ditunangkan dengan dia, akan tetapi juga tegang melihat betapa gadis ini sekarang berdua dengan seorang pemuda yang lihai! Biarpun pemuda itu tidak dapat dikatakan berwajah tampan sekali, namun dia tidak buruk, dan wajahnya cerah, ramah dan menarik.
"Sumoi, apa yang kulakukan ini memang benar, yaitu bahwa aku menjadi utusan Siangkoan Lohan membawa tugas rahasia yang penting sekali. Akan tetapi, hal ini kulakukan dengan terpaksa karena aku sedang bersandiwara untuk menyelamatkan nyawa dua orang sandera. Engkau mengenal baik seorang di antara mereka, karena ia bukan lain adalah nona Pouw Li Sian....”
“Aaaihhh....!" Tentu saja Suma Lian terkejut sekali mendengar nama saudara seperguruannya itu. "Apa yang telah terjadi? Bagaimana Sian-sumoi dapat menjadi sandera di Tiat-liong-pang?"
Hong Beng lalu menceritakan semua yang telah terjadi, betapa tadinya mereka berempat, dia, Cu Kun Tek, Pouw Li Sian, dan juga Kwee Ci Hwa menjadi tawanan dan terancam nyawa mereka. Diceritakannya pula betapa Ci Hwa berhasil membebaskan mereka, entah dengan cara bagaimana, akan tetapi gadis itu lalu lenyap.
"Setelah membebaskan kami, ia pergi entah ke mana...."
"Ia telah tewas!" kata Sin Hong cepat, sengaja untuk memberi kesan kepada Suma Lian bahwa dia berduka atas kematian gadis yang dicintanya. Lalu diceritakannya kepada Gu Hong Beng tentang peristiwa itu, ketika dia dan Suma Lian membantu Ci Hwa melarikan diri akan tetapi gadis itu tewas karena luka-lukanya. Mendengar ini, Gu Hong Beng menarik napas panjang.
"Ah, sungguh kasihan sekali gadis bernasib malang itu...." Dia lalu melanjutkan ceritanya, betapa mereka bertiga tertangkap lagi karena dikeroyok dan dimasukkan tahanan.
"Ouwyang Sianseng yang menjadi pelopor pemberontakan itu, bersama Siangkoan Lohan, lalu menyuruh kami bertiga mengambil keputusan, memilih satu antara dua. Membantu pemberontakan mereka atau dibunuh! Kami tidak takut mati, akan tetapi juga enggan mati konyol. Oleh karena itu, aku bersandiwara, pura-pura menakluk dan aku diuji dengan tugas ini, tugas khusus menyampaikan surat penting kepada Panglima Coa yang bersekutu dengan pemberontak. Aku sedang mencari jalan bagaimana baiknya untuk dapat menyelamatkan dua orang kawan yang dijadikan sandera, dan tiba-tiba saudara ini menyusul dan menyerangku."
"Suheng, saudara ini adalah Tan Sin Hong. Kami berdua juga sedang melakukan penyelidikan untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang dan yang bersekutu dengan para tokoh sesat itu. Kami tidak tahu bahwa engkau dan juga Sian-sumoi ditawan di sana."
Tiba-tiba Sin Hong berkata,
"Lian-moi, harap kau suka membantu saudara Gu Hong Beng, menyampaikan surat dan mencari akal, sedangkan aku sendiri akan menyelundup ke sarang Tiat-liong-pang untuk mencoba kalau-kalau aku akan dapat membebaskan saudara Cu Kun Tek dan nona Pouw Li Sian itu!" Tanpa menanti jawaban, Sin Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
"Hong-ko....!" Suma Lian memanggil, akan tetapi pemuda itu telah lenyap ditelan kegelapan malam. Diam-diam Gu Hong Beng kagum bukan main.
"Dia amat lihai...." katanya.
"Tentu saja, Suheng. Dia adalah murid terakhir dari para locianpwe di Istana Gurun Pasir."
"Ahhh....!" Hong Beng terkejut dan kagum sekali, "Pantas saja dia tadi mengenal Swat-im Sin-kang begitu aku mempergunakan ilmu itu."
"Kasihan, dia berduka karena kehilangan kekasihnya, yaitu gadis yang kami tolong dari dalam sarang Tiat-liong-pang itu."
"Kwee Ci Hwa....?"
"Benar. Sudahlah, Suheng. Bagaimana sekarang? Apakah aku dapat membantumu?"
Hong Beng menjawab ragu.
"Aku sendiri masih bingung, Sumoi. Kalau tugas ini tidak kulaksanakan, nyawa Kun Tek dan nona Li Sian terancam bahaya maut. Mereka tentu akan dibunuhnya kalau aku tidak kembali ke sana membawa balasan dari Panglima Coa. Akan tetapi kalau aku melanjutkan tugas ini, berarti aku membantu pemberontakan itu. Isi surat itu amat penting."
Sambil berjalan menuju ke perbentengan, Hong Beng memberi penjelasan kepada Suma Lian agar gadis itu dapat membantunya mencari akal yang baik.
"Sebaiknya kaulanjutkan itu. Biar aku menanti di luar benteng, siap membantumu kalau engkau terancam bahaya kegagalan. Kalau di dalam surat hanya disebutkan engkau seorang sebagai utusan, tentu akan menimbulkan kecurigaan kalau aku ikut masuk ke dalam benteng."
Hong Beng membenarkan pendapat itu. Akan tetapi, selagi mereka berjalan sambil bercakap-cakap, tiba-tiba saja bermunculan tiga belas orang berpakaian serba merah, dipimpin oleh seorang yang berpakaian hijau! Mereka ini segera membuat gerakan mengepung Hong Beng dan Suma Lian, dan orang berpakaian hijau yang bertubuh kurus sekali itu, dengan suaranya yang parau menudingkan pedangnya ke arah Hong Beng.
"Hemm, sudah kami duga, tentu engkau berkhianat! Baiknya Mo-li menyuruh aku melakukan penghadangan di sini! Ternyata engkau benar saja menemui kawanmu ini dan hendak berkhianat kepada Tiat-liong-pang!"
Hong Beng tidak mengenal orang itu, akan tetapi Suma Lian segera mengenalnya.
"Hei bukankah engkau Tok-ciang Hui-moko Liok Cit, tikus busuk itu?" bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka si kurus berpakaian hijau.
Orang itu memang Liok Cit, tangan kanan Sin-kiam Mo-li yang bertugas di situ memimpin tiga belas orang anggauta Ang I Mopang atas perintah Sin-kiam Mo-li yang cerdik dan yang meragukan kejujuran Hong Beng. Kini dia pun mengenal Suma Lian, dan wajahnya berubah agak pucat. Celaka, pikirnya. Gadis liar yang amat lihai itu kiranya teman Gu Hong Beng ini! Makin yakinlah dia bahwa Hong Beng memang bersekutu dengan pihak musuh.
"Tangkap mereka berdua, hidup atau mati!" Perintahnya dengan suara lantang. Perintah ini berarti bahwa orang-orang Ang I Mo-pang itu boleh membunuh pemuda dan gadis itu. Maka tiga belas orang itu segera mencabut pedang masing-masing dan membuat lingkaran, membentuk barisan aneh yang berlari-lari mengelilingi Hong Beng dan Suma Lian. Gadis ini sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan marah sekali. Dicabutnya suling emas dari balik bajunya, dan ia berkata kepada Hong Beng dengan sikap tenang sekali.
"Suheng, kauhadapi barisan siluman ini, aku akan menghajar si cacing kurus itu. Biarkan aku menggempur barisan untuk berhadapan dengan tikus itu!"
Mendengar betapa gadis yang lihai itu menyebut Hong Beng sebagai suheng, makin khawatirlah hati Liok Cit.
"Hayo gempur mereka!" bentaknya dari luar barisan.
Tiga belas orang anggauta Ang I Mopang ini memang ahli dalam hal pembentukan barisan yang aneh-aneh. Biarpun tingkat kepandaian mereka itu kalau maju seorang demi seorang tidak akan ada artinya bagi para pendekar seperti Hong Beng dan Suma Lian, akan tetapi kalau sudah membentuk barisan, mereka menjadi kekuatan yang dahsyat, yang dapat bekerja sama dengan baik sekali sehingga seolah-olah dikendalikan oleh satu pikiran, dengan tiga belas pasang kaki dan tangan, dengan tiga belas batang pedang!
Barisan itu sambil tetap berlari mengelilingi gadis dan pemuda itu, mulai menyerang, bertubi-tubi dan saling melindungi, susul menyusul, ke arah tubuh Hong Beng dan Suma Lian. Namun Hong Beng yang ketika berangkat melaksanakan tugas memperoleh kembali pedangnya, yaitu sepasang pedang, kini sudah siap dengan sepasang senjata itu, memutarnya dengan ilmu pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang hebat. Sedangkan Suma Lian sudah menerjang ke depan, memutar suling emasnya dengan Ilmu Suling Naga Siluman yang mengeluarkan suara melengking-lengking dan
membentuk gulungan sinar kuning emas yang menyilaukan mata.
Hong Beng yang maklum bahwa gadis itu lihai sekali, bahkan dia tahu bahwa gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi darinya, kini memutar sepasang pedang untuk membendung serangan tiga belas anggauta barisan Ang I Mo-pang itu, memberi kesempatan kepada Suma Lian untuk menerjang keluar. Kesempatan ini memang dipergunakan oleh gadis itu. Ia memutar sulingnya semakin dahsyat sambil menerjang ke arah kiri. Anggauta barisan yang berlari di sebelah kiri, cepat menangkis dengan pedangnya ketika ada sinar emas mencuat ke arahnya, dibantu pula oleh teman di kanan kirinya yang menahan serangan Suma Lian dengan tusukan pedang mereka ke arah gadis itu. Namun, Suma Lian memutar sulingnya, menangkis pedang-pedang itu dan tangan kirinya mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang mendorong ke arah mereka. Hawa dingin menyambar dahsyat ke arah tiga orang anggauta barisan itu, dan mereka mengeluarkan teriakan kaget sambil terhuyung ke belakang, namun tempat mereka segera diisi oleh tiga orang teman lainnya sehingga jalan keluar bagi Suma Lian tertutup lagi. Melihat ini, Gu Hong Beng menerjang pula ke bagian itu, sepasang pedangnya menyambar-nyambar, akan tetapi segera sepasang pedang itu disambut oleh tidak kurang dari enam batang pedang lawan.
Tiba-tiba Suma Lian mengeluarkan bentakan melengking dan tubuhnya berkelebat meloncat tinggi melampaui atas kepala para pengepungnya! Ketika barisan itu hendak menghalanginya, ia kembali mendorongkan tangan kirinya yang kini mengandung tenaga sakti Hui-yang Sin-kang yang panas dan mereka yang berusaha menghalanginya itu pun terdorong mundur dan berteriak kaget karena merasa betapa hawa panas menyambar ke arah mereka. Barisan menjadi kacau dan Suma Lian sudah tiba di luar barisan. Tanpa membuang waktu lagi, ia pun segera menyerang Liok Cit dengan suling emasnya.
"Tikus pengecut, sekarang kuantar kau ke neraka!" bentak Suma Lian dan Liok Cit yang menjadi ketakutan, cepat menyambut dengan pedangnya dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk membendung serangan suling emas yang sinarnya menyilaukan mata itu.
Sementara itu, Hong Beng juga mengamuk dengan pedangnya. Barisan itu sudah kacau karena enam orang di antara mereka telah dibikin terhuyung oleh pukulan Swat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang dari Suma Lian tadi. Kini, Hong Beng memainkan ilmu pedangnya dengan dahsyat, mengerahkan tenaganya sehingga tubuh dan pedangnya bagaikan bola api yang menggelinding ke sana ke mari, dan barisan itu pun menjadi semakin kacau dan tidak dapat mempertahankan lagi keutuhan atau kerapian gerakan mereka.
Sementara itu, perkelahian antara Suma Lian melawan Liok Cit terjadi berat sebelah.
Liok Cit yang berjuluk Tok-ciang Hui-moko (Iblis Terbang Tangan Beracun) itu ternyata bukan tandingan Suma Lian. Dia tidak berani mencoba-coba untuk mempergunakan sihirnya, karena hal ini hanya berarti menggugah harimau tidur. Gadis itu memiliki kekuatan sihir yang jauh lebih kuat darinya, maka akan percuma saja kalau dia mempergunakan sihir. Satu-satunya jalan bagi Liok Cit hanyalah mempertahankan diri dan sedapat mungkin mencari kesempatan untuk dapat melarikan diri.
Akan tetapi, agaknya Suma Lian tidak mau melepaskan lagi musuhnya ini. Ia teringat akan perbuatan Liok Cit yang lalu, mencoba untuk menyihirnya, dan menculik Yo Han sehingga mengakibatkan tewasnya ayah ibu anak itu, bahkan dirinya sendiri hampir celaka kalau saja tidak ada Sin Hong yang menolongnya. Maka, Suma Lian mendesak dengan suling emasnya dan tidak memberi jalan keluar sama sekali. Liok Cit melawan mati-matian, sambil terus mundur dan akhirnya, tanpa dapat dihindarkannya lagi, ujung suling gadis itu menyentuh pelipis kirinya. Tubuh Liok Cit terjungkal dan dia tewas seketika tanpa mengeluarkan suara lagi!
Setelah merobohkan Liok Cit, Suma Lian lalu membalikkan tubuhnya dan terjun ke dalam pertempuran membantu Hong Beng yang dikeroyok oleh barisan Ang I Mo-pang.
Barisan itu memang sudah kacau balau, bahkan telah kehilangan tiga orang anggauta barisan yang roboh terkena pedang di tangan Hong Beng. Maka, begitu Suma Lian masuk, sisa pasukan menjadi semakin kacau dan gentar. Namun, sepasang pendekar itu agaknya tidak mau melepaskan mereka. Hal ini memang sudah semestinya, karena kalau ada seorang saja di antara mereka lolos dan melapor kepada pimpinan Tiat-liong-pang, tentu rahasia Hong Beng diketahui dan akan celakalah Li Sian dan Kun Tek yang menjadi sandera. Maka, mereka mengamuk dan sisa barisan yang berusaha menyelamatkan diri itu sia-sia saja, akhirnya mereka roboh seorang demi seorang dan setelah perkelahian itu berhenti, tiga belas orang anggauta Ang I Mo-pang dan Liok Cit sudah tewas semua, tubuh mereka malang melintang diantara darah yang membasahi tanah.
"Bagus, bagus! Orang-orang muda mempergunakan kepandaian untuk melakukan pembunuhan terhadap banyak orang, sungguh menyedihkan!"
Hong Beng dan Suma Lian cepat membalikkan tubuh mereka, siap siaga menghadapi lawan baru. Juga mereka terkejut karena kehadiran orang yang mengeluarkan suara itu sama sekali tidak mereka ketahui, hal ini saja menunjukkan betapa lihainya orang itu.
Dan ketika mereka membalik, mereka melihat dua orang kakek dan nenek sudah berdiri di situ sikap mereka tenang dan berwibawa. Kakek itu sudah tua, usianya antara tujuh puluh tahun berpakaian sastrawan sederhana, sikapnya lembut namun berwibawa, wajahnya masih memperlihatkan ketampanan dan kegagahan. Adapun nenek itu belasan tahun lebih muda, usianya sekitar lima puluh empat tahun, wajahnya masih nampak cantik dan sepasang matanya bergerak lincah dan penuh semangat.
"Kong-kong dan Bo-bo (Kakek dan Nenek)....!" Suma Lian berseru ketika ia mengenal kedua orang itu. Mereka itu memang kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian yang baru saja meninggalkan benteng pasukan pemerintan setelah mereka menolong Panglima Liu, utusan dari kota raja. Kalau Suma Lian langsung mengenal mereka, kedua orang tua itu tertegun sejenak, akan tetapi mereka pun teringat bahwa gadis cantik dan gagah yang memegang sebatang suling emas itu bukan lain adalah Suma Lian, cucu mereka sendiri!
"Hemmm, kiranya engkau, Lian?" Nenek Bu Ci Sian meloncat dekat dan memegang pundak cucunya. "Sudah begini dewasa, sampai tidak dapat mengenalmu tadi!"
"Dan kini menjadi seorang yang begitu ganas, membunuhi orang seperti membunuh semut saja!" kata pula Kam Hong dengan alis berkerut karena hatinya merasa tidak puas melihat betapa cucunya tadi membunuh semua lawannya.
Suma Lian lari menghampiri kakeknya, memegang tangan kakeknya dan berkata dengan lagak manja,
"Aih, Kakek ini! Bertahun-tahun tidak saling jumpa, begitu bertemu langsung memarahi aku! Bukannya memberi hadiah! Ketahuilah, Kong-kong, terpaksa sekali kami harus membunuh semua orang ini. Kalau seorang saja kami biarkan lolos, maka nyawa sumoiku dan nyawa seorang pendekar lain yang menjadi sandera tentu akan melayang!"
"Eh? Apa maksudmu? Dan siapakah orang muda ini?"
"Kakek dan Nenek, dia ini adalah suhengku sendiri, namanya Gu Hong Beng, murid dari paman Suma Ciang Bun."
Kakek dan nenek itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Hong Beng dengan kagum. Seorang pemuda yang perkasa, pikir mereka.
"Bagus, kalau begitu bukan orang lain," kata Bu Ci Sian.
Hong Beng lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada mereka.
"Harap Ji-wi Locianpwe memaafkan kalau saya bersikap kurang hormat," katanya.
"Lian-ji, sebenarnya apakah yang telah terjadi dan apa artinya kata-katamu tadi bahwa kalau kalian tidak membunuh semua orang ini maka nyawa sumoimu dan seorang pendekar lain akan melayang?"
Suma Lian, dibantu olen Hong Beng, lalu menceritakan semua yang telah terjadi, tentang Hong Beng yang menjadi utusan Siangkoan Lohan untuk menyerahkan surat kepada Coa Tai-ciangkun, tentang Li Sian dan Kun Tek yang menjadi sandera dan betapa mereka tadi diserang oleh orang-orang Ang I Mo-pang yang menjadi sekutu Tiat-liong-pang. Hong Beng menceritakan pula akan isi surat rahasia yang telah dibacanya.
Mendengar cerita mereka, Kam Hong mengerutkan alisnya,
"Wah, kalau begitu gawat sekali. Surat itu harus diperlihatkan kepada Liu Tai-ciangkun secepatnya!"
"Maaf Locianpwe, yang harus menerima adalah panglima she Coa, bukan she Liu," bantah Hong Beng.
Kakek itu tersenyum,
"Engkau belum tahu apa yang terjadi di dalam benteng itu, orang muda. Untung bahwa engkau bertemu dengan kami, kalau tidak, begitu memasuki benteng, tentu engkau akan ditangkap dan dianggap mata-mata yang sesungguhnya dari kaum pemberontak." Kakek itu lalu menceritakan apa yang telah terjadi, betapa Coa-tai-ciangkun dan antek-anteknya telah ditangkap dan kekuasaan di benteng itu telah dipegang olen pemerintah.
Hong Beng terkejut mendengar keterangan itu.
"Wah, kalau sudah begini, lalu bagaimana baiknya, Locianpwe?"
"Kami mengenal Liu-ciangkun dengan baik, mari kalian kami ajak masuk ke benteng menemuinya dan berunding. Peristiwa yang terjadi di dalam benteng itu dirahasiakan sehingga orang luar tidak ada yang tahu, maka pihak pemberontak juga tidak tahu bahwa sekutu mereka yang berada di dalam benteng telah ditangkap semua."
Mereka berempat lalu kembali ke benteng dan karena para penjaga mengenal baik kakek dan nenek yang pernah berjasa besar dalam menggulung komplotan yang berkhianat, maka empat orang ini dapat memasuki benteng tanpa banyak susah, bahkan segera mereka malam itu juga disambut sendiri oleh Panglima Liu yang dibangunkan dari tidur dan diberi laporan.
".... Ah, Jiwi Locianpwe datang kembali tentu membawa berita penting," kata panglima itu dengan ramah, dan dia mengamati Hong Beng dan Suma Lian penuh perhatian,
"siapakah Ji-wi yang gagah perkasa ini?"
Kam Hong segera menjawab.
"Mereka ini adalah dua orang cucu kami, Tai-ciangkun, dan memang benar bahwa kedatangan kami membawa berita yang amat penting. Orang muda bersama Gu Hong Beng ini, bersama dua orang kawannya yang juga pendekar-pendekar yang menentang gerakan Tiat-liong-pang dan para tokoh sesat, telah tertawan oleh Siangkoan Lohan. Dua orang dijadikan sandera dan dia ini dipaksa untuk menjadi utusan, mengirim surat untuk Coa-ciangkun. Dia melakukannya hanya untuk menyelamatkan dua orang kawannya dan kebetulan sekali dia bertemu dengan kami, maka kami bawa ke sini."
Hong Beng lalu menceritakan kembali semua yang terjadi di Tiat-liong-pang kemudian dia menyerahkan surat yang ditulis oleh Siangkoan Lohan untuk diberikan kepada Coa-ciangkun itu kepada Panglima Liu. Panglima itu membacanya dan dia pun mengerutkan alisnya, lalu memanggil semua perwira pembantunya. Malam itu juga mereka mengadakan rapat, dihadiri pula oleh Kam Hong, Bu Ci Sian, Gu Hong Beng dan Suma Lian. Dalam rapat itu lalu diambil keputusan banwa Gu Hong Beng akan membawa pasukan yang dianggap "sekutu" pemberontak untuk bergabung. Kesempatan ini akan dipergunakan oleh pasukan untuk mengepung Tiat-liong-pang tanpa menimbulkan kecurigaan sehingga akan memudahkan penyerangan mereka kalau saatnya tiba. Kakek Kam Hong, nenek Bu Ci Sian dan cucu mereka, Suma Lian, akan menyelinap ke dalam sarang gerombolan pemberontak dan akan membantu gerakan pasukan itu dari dalam.
"Jangan khawatirkan nasib adik Li Sian," kata Suma Lian kepada Hong Beng. "Aku akan berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan ia dan kawannya lebih dulu!"
Gu Hong Beng menyetujui. Memang itu satu-satunya jalan terbaik. Dia akan kembali dan membawa pasukan, tentu pihak pemberontak takkan mencurigainya dan pasukan itu akan dapat mengepung pemberontak dengan leluasa dan tanpa dicurigai. Dia sendiri kalau sudah tiba di dalam akan segera berusaha membebaskan dua orang kawannya itu, bergabung dengan Suma Lian. Hatinya lega kalau mengingat bahwa Suma Lian ditemani oleh kakek dan neneknya, dua orang yang dia tahu amat sakti, maka hatinya tidak perlu mengkhawatirkan "tunangannya" yang sekali ini benar-benar menjatuhkan hatinya itu! Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada tunangannya sendiri, setelah bertemu dengan Suma Lian yang kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik menarik.
Setelah berunding masak-masak, Suma Lian bersama kakek dan neneknya lalu meninggalkan benteng karena mereka akan bergerak terpisah, bahkan kalau mungkin mendanului menyelundupkan ke dalam sarang pemberontak dan membantu pasukan dari sebelah dalam.
***
Kao Hong Li melakukan pengejaran dan mencari jejak Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Namun, sampai di pegunungan dekat dengan sarang gerombolan pemberontak Tiat-liong-pang, gadis ini kehilangan jejak mereka. Ia pun memasuki hutan, mengambil keputusan untuk menyelidiki Tiat-liong-pang karena ia tahu bahwa musuh besarnya itu, Sin-kiam Mo-li yang memimpin rombongan penyerbu ke Istana Gurun Pasir dan membunuh kakek dan neneknya, tentu bersekutu dengan para pemberontak seperti yang sudah didengarnya. Pemberontak Tiat-liong-pang itu kabarnya mengumpulkan banyak tokoh sesat sehingga keadaan mereka kuat sekali.
Karena belum mengenal keadaan daerah itu, Kao Hong Li bersikap hati-hati sekali. Ia tidak berani melakukan perjalanan di waktu malam, maka ia lalu melewatkan malam di dalam hutan, di atas pohon besar. Ia mengisi perutnya dengan roti dan daging kering yang dibawanya sebagai bekal, minum air putih jernih yang dibawanya dalam botol.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kao Hong Li sudah membersihkan tubuhnya di sebuah sumber air kecil di tengan hutan. Ia merasa segar dan tenaganya pulih kembali.
Setelah berganti pakaian yang ringkas, ia melanjutkan penyelidikannya. Dengan hati-hati ia hendak keluar dari dalam hutan itu, menuju ke bukit di mana sore kemarin ia sudah melihat perkampungan Tiat-liong-pang.
Ketika ia tiba di pinggir hutan, tiba-tiba nampak bayangan beberapa orang berkelebat dan tahu-tahu ia telah dikepung lima orang laki-laki yang nampaknya gagah.
"Hemmm, engkau tentu kaki tangan pemberontak!" seorang di antara mereka membentak dengan sikap mengancam. "Hayo menyerah untuk kami tawan daripada kami harus mempergunakan kekerasan!"
"Menyerah sajalah, Nona. Kami adalah orang-orang gagah yang segan untuk mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita lemah!" kata orang kedua.
Hong Li adalah seorang gadis yang galak, cerdik dan pandai bicara. Dari sikap dan ucapan mereka, ia dapat menduga bahwa mereka ini bukanlah penjahat, bukan pula anak buah pemberontak. Kalau bukan mata-mata pasukan pemerintah, tentu mereka ini pendekar-pendekar yang menentang gerakan pemberontakan Tiat-liong-pang. Akan tetapi, ucapan mereka yang memandang rendah kepadanya memanaskan perutnya dan mendorongnya untuk menguji kepandaian mereka. Maka ia lalu tersenyum sindir, menghadapi mereka yang mengepungnya itu dengan sikap tenang saja.
"Hemmm, andaikata, benar aku ini kaki tangan pemberontak dan tidak mau menyerah, lalu kalian ini mau apakah? Kalian ini mirip lima ekor anjing hutan yang menggonggong mengancam seekor kucing hutan, akan tetapi tidak berani menyerang!"
Kucing hutan adalah harimau, maka dengan menyebut dirinya kucing hutan dan mereka itu anjing hutan, berarti Hong Li meninggikan dirinya dan merendahkan mereka.
Seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, mengerutkan alisnya.
"Nona, jangan disangka kami hanya menggertak saja. Kami adalah para pendekar yang siap menggempur para pemberontak, dan kalau engkau mata-mata pemberontak, kami tidak segan-segan mempergunakan kekerasan kalau engkau tidak mau menyerah dengan baik-baik."
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar