Sabtu, 25 Januari 2014

Kisah Si Bangau Putih Jilid 21&22.

Kisah si Bangau Putih Jilid 21

Tombak-tombak itu dipegang semakin erat dan pemimpin mereka membentak,
“Kalau begitu, menyerahlah engkau, karena engkau harus menjadi tawanan kami dan akan kami hadapkan kepada pimpinan kami!”
Li Sian adalah seorang gadis yang berwatak halus. Biarpun ia telah menjadi murid seorang sakti seperti Bu Beng Lokai dan kini telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun ia tetap berwatak halus, bahkan belum pernah ia berkelahi mempergunakan ilmu kepandaiannya. Sikapnya jauh berbeda dengan Suma Lian yang menjadi sucinya. Suma Lian galak, keras dan pemberani di samping lincah jenaka. Akan tetapi Li Sian pendiam dan penyabar. Ia tahu bahwa berurusan dengan lima orang perajurit biasa ini tidak ada gunanya, bahkan hanya akan menimbulkan keributan saja, maka ia pun mengangguk dan senyumnya masih melekat di bibir.
“Baiklah, aku tidak akan melawan, dan bawalah aku kepada pemimpin kalian agar aku dapat bicara dengan dia.”
Lima orang itu dengan masih menodongkan tombak mereka, memberi isyarat agar Li Sian berjalan memasuki hutan. Hemmm, pikir mereka. Kalau saja mereka tidak takut kepada Siangkoan Lohan apalagi Siangkoan Kongcu, tentu gadis yang cantik ini sudah menjadi korban mereka. Takkan ada orang yang tahu!
Tak lama kemudian, di dalam hutan yang menjadi markas besar sementara dari Sin-kiam Mo-li yang bertugas sebagai komandan yang mempertahankan benteng, Li Sian digiring masuk ke dalam sebuah pondok besar di mana duduk Sin-kiam Mo-li dan beberapa orang pembantunya yang menjadi perwira-perwira dalam pasukan mereka. Jumlah para perwira itu ada lima orang dan mereka sedang merundingkan siasat pertahanan menggunakan sebuah peta yang mereka bentangkan di atas meja. Melihat masuknya lima orang perajurit yang menggiring seorang gadis cantik, Sin-kiam Mo-li mengangkat muka dan mengerutkan alisnya.
Lima orang perajurit itu memberi hormat dan pimpinan mereka lalu melapor kepada Sin-kiam Mo-li dengan sikap seperti seorang perajurit melapor kepada atasannya.
“Li-ciangkun (Panglima Wanita), kami berlima telah menangkap seorang wanita yang kami curigai sebagai matamata, dan menurut pengakuannya ia bernama Pouw Li Sian yang hendak mencari kakaknya yang katanya menjadi seorang perwira kerajaan yang bertugas di perbatasan.”
Kerut di antara alis mata Sin-kiam Mo-li makin dalam dan sinar matanya membayangkan kemarahan, Hemmm, tentu ini seorang mata-mata yang dilepas oleh Toat-beng Kiam-ong, pikirnya. Dan laki-laki macam Toat-beng Kiam-ong mana mau melepaskan seorang gadis secantik ini? Tentu gadis ini seorang di antara kekasihnya, pikirnya dengan hati penuh cemburu. Memang, sejak ia berkasih-kasihan dengan Toat-beng Kiam-ong, di antara keduanya terdapat rasa cemburu besar karena keduanya saling menemukan pasangan yang cocok sekali. Tentu saja Toat-beng Kiam-ong juga membatasi rasa cemburunya sehingga biarpun dia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li juga bermain cinta dengan Siangkoan Liong, dia tidak berani mencampuri.
“Tinggalkan ia di sini dan kalian boleh ke luar lagi, berjaga yang hati-hati dan jangan ijinkan siapa pun juga masuk!” perintah Sin-kiam Mo-li kepada lima orang itu yang cepat memberi hormat dan keluar lagi.
Kini Pouw Li Sian yang masih tegak itu beradu pandang dengan Sin-kiam Mo-li. Ia tidak memperhatikan lima orang laki-laki berpakaian perwira yang juga duduk di situ memandangnya, karena ia tahu bahwa agaknya pimpinan di sini adalah wanita cantik itu.
Diam-diam Li Sian merasa heran dan juga kagum melihat Sin-kiam Mo-li, wanita yang sudah setengah tua akan tetapi nampak cantik lemah lembut akan tetapi juga gagah perkasa dan memiliki wibawa besar itu. Teringatlah ia akan cerita gurunya, mendiang Bu Beng Lokai, yang pernah menceritakan tentang isteri gurunya itu. Isteri gurunya juga seorang panglima wanita yang amat terkenal, bernama Panglima Milana, yang kabarnya memimpin laksaan pasukan menundukkan pemberontakan di mana-mana. Juga ibu dari isteri gurunya itu bernama Puteri Nirahai, isteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, pernah menjadi seorang panglima wanita yang gagah perkasa. Seperti inikah mereka itu?
Karena membayangkan isteri dan ibu mertua gurunya, Li Sian cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Sin-kiam Mo-li.
“Harap Ciangkun suka memaafkan kalau kedatangan saya ini merupakan gangguan. Sesungguhnya, seperti dilaporkan oleh para perajurit tadi, saya datang untuk mencari kakak kandung saya, kakak sulung yang bernama Pouw Ciang Hin yang kabarnya menjadi seorang perwira pasukan kerajaan yang bertugas di perbatasan utara. Semenjak berusia dua belas tahun saya berpisah darinya dan sekarang saya mencarinya.”
Sin-kiam Mo-li masih memandang dengan sikap tidak senang karena ia masih curiga.
“Kalau mencari kakakmu, kenapa di sini? Apakah di sini tempat pasukan kerajaan bertugas? Tahukah engkau tempat ini, bukit ini?” tanya Sinkiam Mo-li. Biarpun pertanyaan itu diajukan dengan kaku, namun Li Sian tidak menjadi marah. Dianggapnya bahwa memang harus tegas seperti itulah sikap seorang panglima perang!
“Maaf, Ciangkun Saya tahu bahwa bukit ini adalah tempat pusat perkumpulan Tiat-liong-pang. Saya memang hendak mencari ketua Tiat-liong-pang untuk bertanya barangkali dia dapat membantu saya memberi tahu di mana adanya kakak saya itu.”
Sin-kiam Mo-li menjadi semakin curiga. Tak salah, lagi, tentulah seorang mata-mata yang dikirim oleh Toat-beng Kiam-ong, dan wanita secantik ini siapa lagi kalau bukan seorang di antara kekasih laki-laki mata keranjang itu?
“Jangan berbohong!” bentaknya. “Engkau tentu mata-mata yang dikirim Toat-beng Kiam-ong! Mengakulah saja!”
Li Sian terkejut, dan cepat ia menggeleng kepala.
“Saya bukan mata-mata dan tidak mengenal siapa itu Toat-beng Kiam-ong. Saya datang untuk mencari kakak saya dan bertanya kepada ketua Tiat-liong-pang!”
Sin-kiam Mo-li tersenyum.
“Mana ada mata-mata mau mengaku? Kalau mengaku bukan mata-mata yang baik dan melihat engkau berani memasuki wilayah ini seorang diri, tentu engkau memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Nah, engkau menyerahlah, kami tangkap untuk menjadi tawanan perang!”
Tentu saja Li Sian menjadi semakin kaget dan mulailah ia merasa curiga dan penasaran.
Jangan-jangan ia masih dianggap musuh oleh pasukan pemerintah, sebagai keturunan keluarga Pouw! Akan tettapi, mengapa kakaknya sudah diampuni bahkan di jadikan perwira?
“Ciangkun, kalau tadi saya ikut lima orang perajurit itu menghadap ke sini adalah karena saya yakin akan dapat bicara lebih baik dengan pimpinan pasukan. Akan tetapi saya datang bukan untuk menyerahkan diri ditangkap begitu saja tanpa bersalah!”
Sin-kiam Mo-li bangkit dan matanya memancarkan sinar mencorong.
“Apa? Engkau seorang mata-mata biasa berani membantah? Tentu engkau mata-mata istimewa dari Toat-beng Kiam-ong maka berani menentang aku. A Sam, tangkap wanita ini!” perintahnya kepada seorang di antara lima perwira yang duduk di situ.
Yang dipanggil A Sam ini seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang tubuhnya gendut seperti babi dikebiri. Perutnya besar dan kepalanya kecil, akan tetapi ketika dia meloncat dari tempat duduknya, dia memiliki kegesitan sehingga mudah diduga bahwa tubuh yang gembrot ini memiliki ketangkasan seorang ahli silat. Dia tersenyum senang, membayangkan bahwa setidaknya dia akan dapat merangkul dan mendekap tubuh gadis cantik manis di depannya itu!
“Baik, Li-ciangkun!” katanya dan dia pun menubruk ke depan, agaknya dengan kedua lengannya yang panjang dan besar itu, dia hendak sekali tubruk sudah dapat menempelkan mukanya pada muka yang cantik itu!
“Hemmm....!” Li Sian berseru lirih dengan hati penuh penasaran, sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapatkan sambutan seperti itu! Tentu saja baginya, gerakan A Sam itu terlalu lambat dan dengan teramat mudahnya, sekali menggeser kaki, tubrukan A Sam itu mengenai angin kosong saja dan begitu Li Sian menggerakkan kaki menotok pinggiran lutut, tanpa dapat dicegah lagi, tubuh yang perutnya membengkak itu terjerumus ke depan, ketika terbanting ke atas lantai, perutnya yang lebih dulu menghantam lantai mengeluarkan bunyi “ngekkk!” dan orang itu pun terengah-engah sukar bernapas!
Melihat ini, Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya, tak senang hatinya dan diam-diam ia memaki pembantu yang tidak becus itu. Juga a tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada yang diduganya. Akan tetapi tentu saja ia masih memandang rendah. Seorang mata-mata dari Toat-beng Kiamong, sepandai-pandainya, tentu masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkatnya merasa malu kalau harus turun tangan sendiri menandingi seorang mata-mata! Memang dalam latihan perang-perangan ini, tidak boleh saling membunuh atau melukai dengan berat tentu saja karena mereka semua adalah satu golongan. Bahkan sudah direncanakan bahwa kalau sampai terjadi pertempuran, semua senjata harus dibuang dan hanya mempergunakan kaki tangan saja, ini pun dengan larangan keras saling membunuh atau melukai dengan parah. Dan melihat betapa gadis itu tadi hanya menotok tepi lutut A Sam dengan ujung sepatunya, yang hanya mengakibatkan A Sam jatuh telungkup, ia lebih yakin bahwa tentu gadis ini mata-mata yang sudah tahu pula akan peraturan itu sehingga tidak sampai melukai A Sam.
“Tangkap gadis ini!” bentaknya kepada empat orang perwira yang lain. Empat orang itu pun penasaran melihat betapa kawan mereka, dalam segebrakan saja sudah roboh oleh gadis cantik itu. Mendengar perintah ini, mereka berempat lalu bangkit dan mengurung Li Sian dari empat penjuru. Pondok itu cukup besar dan karena kosong dan hanya ada meja kursi yang mereka duduki tadi, tempat itu cukup luas untuk suatu perkelahian walau dikeroyok empat sekali pun. Li Sian tidak merasa gentar, hanya menyayangkan bahwa penyelidikannya harus bertumbuk pada halangan perkelahian seperti ini.
“Ciangkun, aku datang bukan untuk berkelahi!” katanya, kini suaranya agak marah, “Aku datang mencari kakakku. Kalau kalian tahu, beritahulah, kalau tidak, tidak mengapa, aku akan pergi lagi dari sini!”
“Engkau harus menyerah, Nona. Itu peraturannya. Menyerah atau kalau dapat mengalahkan kami dan dapat meloloskan diri, cobalah!” kata empat orang perwira itu yang sudah mengurungnya dan kini mereka berempat sudah menerjang maju sambil mengulur tangan hendak menangkap gadis yang cantik manis itu, ada yang mencoba untuk menangkap lengannya, pundaknya, pinggangnya, bahkan ada yang langsung merangkulnya. Karena gerakan mereka itu datang dari empat penjuru, agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi Li Sian, demikian pendapat empat orang perwira atau sebenarnya merupakan murid-murid atau anggauta Tiat-liong-pang yang tingkatnya sudah agak tinggi itu. Akan tetapi, betapa heran dan kaget hati mereka ketika tiba-tiba saja gadis itu lenyap berkelebat ke atas dan mereka hanya dapat saling menangkap lengan masing-masing! Mereka kebingungan, akan tetapi Sin-kiam Mo-li dapat melihat dengan jelas betapa gadis cantik itu tadi ketika ditubruk dari empat penjuru, telah meloncat dengan gerakan seperti seekor burung walet cepatnya, sehingga luput dari tubrukan itu dan tubuhnya sudah melayang keluar dari pintu pondok. Ia terkejut dan sekali melompat ia pun sudah meluncur keluar pondok dan menghadang di depan gadis itu.
“Berhenti!” bentaknya.
Lima orang perwira itu kini berlarian keluar dan mereka memandang kepada Li Sian penuh kagum. Baru kini mereka mengerti bahwa Li Sian bukanlah seorang gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Sin-kiam Mo-li kini berhadapan dengan Li Sian. Gadis ini mengerutkan alisnya, merasa semakin tidak senang. Kenapa ia dianggap musuh dan hendak ditangkap, pikirnya penuh dengan perasaan yang penasaran.
“Hemmm, Ciangkun, apa kesalahanku maka engkau agaknya hendak memaksa dan menangkap aku?” tanyanya, kini sepasang matanya yang biasanya bersinar halus penuh kesabaran itu mencorong. Melihat sinar mata ini, Sin-kiam Moli juga terkejut dan tahulah ia bahwa gadis ini benar-benar hebat, seorang yang berilmu tinggi, hal yang sama sekali tidak pernah diduganya. Apakah kekasih Toat-beng Kiam-ong? Agaknya bukan, pikirnya dan biarpun ia tidak merasa cemburu lagi, namun ia merasa penasaran. Alangkah akan malunya kalau tersiar kemudian bahwa ia, sebagai komandan pasukan yang mempertahankan benteng, tidak mampu menahan seorang wanita asing yang kesalahan masuk ke tempat itu! Kemudian ia teringat akan sesuatu! Ketika dirayakan ulang tahun Siangkoan Lohan, terjadi keributan di tempat ini dan belasan orang tamu, yaitu para pendekar yang tidak sudi menggabungkan diri, telah dibunuh. Jangan-jangan gadis ini mempunyai seorang kakak yang ikut pula terbunuh di waktu itu dan kini ia datang untuk mencari dan menyelidiki!
“Bocah yang tak tahu diri!” bentak Sin-kiam Mo-li sambil menuding dengan telunjuknya ke arah wajah Li Sian. “Engkau seorang asing berani datang ke wilayah kami tanpa ijin, dan kami masih menerimamu dengan baik-baik dan hanya akan menahanmu menanti sampai para pimpinan berkumpul untuk menentukan keputusan atas dirimu, dan engkau berani memamerkan kepandaian di depanku?”
Wajah Li Sian berubah merah. Baru kini ia melihat bahwa wanita cantik ini sama sekali tidak mengagumkan sikapnya, walaupun ia menjadi seorang panglima wanita. Isteri gurunya tentu tidak seperti ini sikapnya, tinggi hati dan memandang rendah orang lain.
“Ciangkun, aku datang bukan untuk berkelahi, aku datang dengan baik-baik akan tetapi disambut dengan kekerasan. Sudah menjadi hak setiap orang untuk membela diri. Aku sudah banyak mengalah dan hendak pergi saja, kenapa engkau masih juga berkeras hendak menghalangi aku?”
Sin-kiam Mo-li tersenyum mengejek. Memang cantik sekali kalau ia tersenyum, akan tetapi kecantikan yang membayangkan kekejaman.
“Engkau masih muda sudah lihai mulutmu dan ilmumu, coba aku ingin melihat apakah engkau akan mampu melawan aku.” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Li Sian, Sin-kiam Mo-li sudah menyerang gadis itu dengan cepat dan ganas sekali. Sin-kiam Mo-li adalah seorang datuk sesat yang sudah tinggi ilmu silatnya, amat lihai. Banyak ilmu silat kaum sesat ia kuasai, akan tetapi selain kebutan gagang emas dan pedang yang keduanya beracun, ia pun memiliki ilmu silat tangan kosong yang ampuh karena kedua tangannya berubah kehitaman dan terutama sekali ujung kuku jari-jari tangannya berubah hitam sekali dan mengandung racun jahat. Sekali tergores kuku saja sudah cukup membuat kulit yang terluka menjadi bengkak, apalagi kalau sampai terkena tamparan tangan yang penuh mengandung hawa beracun itu. Ilmunya ini diberi nama Hek-tok-ciang dan kini, begitu maju menyerang, ia sudah mengerahkan Hek-tok-ciang!
Li Sian memang belum berpengalaman dalam hal perkelahian. Namun, gadis ini sejak berusia dua belas tahun telah digembleng dengan hebat dan tekun oleh seorang sakti dan mewarisi ilmu-ilmu silat yang hebat-hebat selain juga telah berhasil menghimpun tenaga sin-kang yang tinggi seperti Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari keluarga Pulau Es, juga tenaga Inti Bumi yang luar biasa kuatnya. Pula, ia sudah banyak mendengar nasihat kakek Gak Bun Beng tentang jahatnya ilmu-ilmu yang dikuasai para datuk sesat, maka kini melihat betapa kedua tangan wanita itu berubah kehitaman, ia pun dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan lawan dari golongan hitam yang memiliki ilmu pukulan sesat dan curang. Ia pun berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya untuk mengelak, tidak berani sembarangan menangkis.
Sin-kiam Mo-li merasa penasaran sekali ketika serangannya yang dilakukan dengan cepat dan kuat itu dengan amat mudahnya dielakkan oleh gadis muda itu. Ia mengeluarkan suara melengking dan kini tubuhnya bergerak cepat sekali, menghujankan serangan secara bertubi-tubi dan setiap serangan, mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh lawan. Diam-diam Li Sian menjadi marah sekali. Tak disangkanya bahwa wanita cantik ini, yang semula disangkanya gagah perkasa seperti mendiang isteri gurunya, ternyata hanya seorang wanita yang berhati kejam dan serangannya itu ganas sekali, juga jelas menunjukkan gejala bahwa wanita ini adalah dari golongan sesat! Maka, ia pun cepat memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun yang sudah dilatihnya dengan baik. Ilmu Silat Lothian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) adalah ilmu silat yang memiliki kecepatan, juga didukung tenaga Inti Bumi, maka kini ia berani untuk menangkal dan balas menyerang. Ketika sebuah cengkeraman kuku dan tangan menghitam itu menyambar ke arah dadanya, Li Sian menangkisnya dengan memutar lengannya dari samping.
“Dukkk!” Keduanya tergetar dan melangkah mundur. Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa gadis itu sedemikian lihai dan kuatnya sehingga mampu menangkis serangan pukulan Hek-tok-ciang, bahkan membuat lengannya tergetar hebat!
Ia menyerang lagi, namun kini Li Sian bukan hanya menjaga diri, melainkan juga membalas dengan tamparan dan totokan dari ilmu silat Lo-thian Sin-kun, karena ia pun maklum akan kelihaian lawan sehingga kalau saja ia hanya membiarkan diri diserang terus dan hanya bertahan, besar kemungkinan ia akan celaka dan terkena tangan hitam yang jahat itu. Serang-menyerang terjadi dengan hebatnya sampai dua puluh jurus lebih, dan hal ini dianggap keterlaluan oleh Sin-kiam Mo-li. Menghadapi seorang gadis muda, sampai dua puluh jurus Hek-tok-ciang kedua tangannya tidak mampu merobohkannya, jangankan merobohkan, baru mendesak pun tidak mampu. Padahal di situ telah berkumpul belasan orang perwira atau anggauta Tiat-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya menjadi saksi. Sin-kiam Mo-li yang selalu membanggakan kepandaiannya itu merasa malu sekali dan kemarahannya pun berkobar. Kalau tadi ia hanya menggertak dan hendak membuat gadis itu menyerahkan diri, maka kini timbul niatnya untuk merobohkan, kalau perlu membunuh gadis muda yang dianggapnya telah membuat malu ini.
“Keparat, engkau tidak boleh dikasih hati!” bentaknya dan tiba-tiba saja kedua tangannya sudah mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh. Tangan kiri sudah memegang sebuah kebutan berbulu merah bergagang emas, dan tangan kanannya memegang sebatang pedang. Inilah sepasang senjatanya yang amat ampuh, dan selain ia ahli bersilat pedang sehingga mendapat julukan Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), juga kebutannya itu tidak kalah berbahaya daripada pedangnya karena bulu-bulu kebutan berwarna merah itu mengandung racun yang jahat.
Setelah membentak demikian, tanpa malu-malu lagi melihat bahwa gadis muda yang diserangnya itu bertangan kosong, Sin-kiam Mo-li sudah menggerakkan kedua senjatanya, menyerang dengan dahsyatnya. Melihat ini, Li Sian terkejut. Namun, gadis ini memang memiliki ketenangan luar biasa dan ia pun tahu apa yang harus dilakukannya. Cepat ia memainkan Ilmu San-po Cin-keng, yaitu ilmu langkah ajaib dan bersilat dengan Kong-jiu Jip-tin (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan). Langkah-langkah atau geseran-geseran kedua kakinya dengan indah dan lembutnya membuat tubuhnya berkelebatan seperti bayangan yang sukar diserang! Biarpun pedang dan kebutan itu mengepung dan menyambarnya dari semua jurusan, namun Li Sian tetap saja dapat menghindarkan diri dengan langkah ajaibnya! Namun, melihat kehebatan lawan, kalau hanya terus mengelak pun ia masih terancam bahaya, maka kedua tangannya tidak tinggal diam, kadang-kadang ia pun melayangkan tamparan yang mengandung Hui-yang Sin-kang di tangan kanan dan Swat-im Sin-kang di tangan kiri.
Kembali Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Sambaran tangan kanan yang mengandung hawa panas dan tangan kiri mengandung hawa dingin itu amat mengejutkannya.
“Bocah setan! Apakah engkau murid Pulau Es?” bentaknya tanpa mengurangi serangannya, kebutannya membabat ke arah muka sedangkan pedangnya menusuk dada. Li Sian menggeser kaki memutar tubuh sehingga kedua serangan itu luput dan ia pun mendorong dengan tangan kanannya sambil mengerahkan Hui-yang Sin-kang. Hawa panas menyambar ke arah dada Sin-kiam Mo-li yang terpaksa harus meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dari serangan yang cukup berbahaya itu.
“Tidak ada hubungannya denganmu!” jawab Li Sian dan gadis ini melihat sebatang ranting tak jauh dari situ, maka cepat kakinya membuat langkah-langkah aneh dan ia sudah berhasil menyambar ranting itu. Sebatang ranting kayu sebesar ibu jari kaki yang panjangnya kurang lebih empat kaki, tepat sekali untuk dipakai sebagai pengganti pedang dan ia pun kini memutar ranting itu sambil memainkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut, menghadapi sepasang senjata lawan! Kini lebih mudah bagi Li Sian untuk melindungi dirinya, akan tetapi karena maklum akan lihainya sepasang senjata lawan, tetap saja ia mengandalkan langkah-langkah ajaib San-po Cin-keng untuk mengelak dan membalas dengan tusukan ranting yang dimainkan sebagai pedang!
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan mereka itu cepat dan aneh sehingga para murid Tiat-liong-pang menjadi penonton, memandang dengan mata kabur dan kepala pening. Mereka tidak berani turun tangan membantu tanpa diperintah karena hal ini tentu akan membuat Sin-kiam Mo-li marah.
Tiba-tiba terdengar suara orang melerai.
“Tahan senjata!” Mendengar suara Siangkoan Lohan ini, terpaksa Sin-kiam Mo-li menahan serangannya, Li Sian juga melompat mundur dan mengangkat muka memandang. Ia melihat munculnya seorang laki-laki yang usianya sekitar enam puluh tahun, tinggi kurus dengan muka merah dan jenggot panjang sampai ke dada. Yang seorang lagi adalah seorang pemuda tampan yang berpakaian indah seperti seorang pelajar kaya raya atau seorang pemuda bangsawan. Melihat kakek itu, hatinya berdebar girang karena ia masih mengenal bahwa kakek ini adalah Siangkoan Lohan yang pernah dilihatnya belasan tahun yang lalu.
“Apakah yang telah terjadi di sini?” tanya Siangkoan Lohan, diam-diam kagum sekali melihat betapa seorang gadis muda, dengan hanya sebatang ranting di tangan, mampu menandingi Sin-kiam Mo-li yang mempergunakan sepasang senjatanya.
“Ia datang secara mencurigakan sekali, tentu ia seorang mata-mata pihak musuh!” kata Sin-kiam Mo-li kepada Siangkoan Lohan, agak malu karena tuan rumah dan puteranya itu melihat betapa ia tadi belum mampu merobohkan seorang gadis yang hanya bersenjata ranting.
Kini Siangkoan Lohan menghadapi gadis itu, memandang penuh perhatian, lalu bertanya,
“Nona, siapakah engkau dan apa maksudmu datang ke wilayah kami?”
Li Sian melangkah maju menghampiri kakek itu, memberi hormat setelah melepaskan ranting dari tangannya dan berkata,
“Bukankah saya berhadapan dengan paman Siangkoan Tek, pangcu dari Tiat-liong-pang?”
Siangkoan Lohan memandang semakin tajam, akan tetapi betapapun dia mengingat-ingat, dia tidak dapat mengingat siapa adanya gadis yang cantik manis dengan tahi lalat di dagunya ini.
“Maaf, Nona, mungkin penglihatanku sudah tidak terang lagi. Aku memang benar Siangkoan Tek, akan tetapi siapakah engkau?”
“Paman Siangkoan, lupakah engkau kepada saya? Saya bernama Pouw Li Sian. Pernah belasan tahun yang lalu saya bersama ayah datang berkunjung ke sini!”
“Pouw....?” Siangkoan Lohan mengulang nama keturunan itu dengan heran.
“Benar, Paman. Mendiang ayahku adalah Pouw Tong Ki.”
“Ahhhhh....! Ayahmu dahulu Menteri Pendapatan, seorang sahabatku itu? Dan engkau puterinya? Bukankah seluruh keluarga Pouw sudah....“
“Tidak semua binasa, Paman. Ketika rumah kami diserbu, saya sempat melarikan diri. Sekarang, setelah saya menjadi dewasa, saya ke kota raja dan menyelidiki keadaan keluarga saya. Empat orang kakak saya ditahan, tiga orang tewas dan saya mendapat kabar bahwa kakak sulung saya, Pouw Ciang Hin, diampuni bahkan sekarang menjadi seorang perwira yang bertugas di tapal batas utara. Oleh karena itulah, saya menyusul ke utara dan teringat kepada Paman, saya berkunjung ke sini untuk minta bantuan Paman. Siapa tahu Paman dapat memberitahu di mana adanya kakak sulung saya itu. Akan tetapi, ketika tiba di sini, saya ditahan dan hendak ditangkap, terpaksa saya melawan dan maafkan saya Paman.”
Siangkoan Lohan memandang penuh kagum.
“Ah sekarang aku ingat. Engkau adalah nona kecil yang pernah ikut dengan Pouw Tai-jin dahulu itu. Aih, sungguh penasaran sekali. Ayahmu adalah seorang pejabat yang baik dan setia, akan tetapi, keluarganya kena fitnah karena dia berani menentang pembesar laknat Hou Seng. Kerajaan Mancu memang tidak mengenal budi!” Siangkoan Lohan mengepal tinju lalu berkata kepada Sin-kiam Mo-li, “Mo-li, Nona ini adalah orang sendiri, keluarganya terbasmi oleh kerajaan penjajah! Dan nona Pouw, ini adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara kawan-kawan kita yang siap untuk menentang pemerintah penjajah!”
Biarpun di dalam hatinya merasa penasaran karena tadi belum dapat mengalahkan gadis ini, terpaksa Sin-kiam Mo-li tersenyum, menyimpan sepasang senjatanya dan ia mengangguk-angguk,
“Engkau masih begini muda akan tetapi sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, nona Pouw. Engkau tadi mempergunakan sin-kang panas dan dingin, mengingatkan aku akan ilmu dari Pulau Es. Apakah engkau murid dari keluarga Pulau Es?”
“Mendiang guruku adalah mantu dari sucouw Pendekar Super Sakti Pulau Es,” jawab Li Sian sejujurnya. Mendengar ini terkejutlah semua orang, termasuk Siangkoan Lohan.
Pantas gadis ini demikian lihainya. Akan tetapi diam-diam dia pun girang sekali.
Bagaimanapun juga, gadis ini telah disudutkan oleh kerajaan, menjadi musuh kerajaan karena keluarganya dibasmi oleh kerajaan sehingga dapat diharapkan gadis ini akan suka membantunya.
“Mari kita bicara di dalam, nona Pouw. Ah, ya, apakah engkau lupa kepada anakku ini? Bukankah ketika engkau bersama ayahmu dahulu berkunjung ke sini, kalian sudah saling berkenalan? Ini adalah Siangkoan Liong. Anakku, apakah engkau sudah lupa kepada nona Pouw?”
Mereka saling pandang dan Li Sian merasa kagum. Pemuda ini tampan dan halus, nampak ramah sekali dan juga sopan ketika menjura dengan hormat kepadanya.
“Tentu saja aku tidak lupa kepada nona Pouw Li Sian, biarpun dahulu hanya menjadi tamu beberapa hari saja di sini,” katanya.
Li Sian juga teringat, walaupun hanya samar-samar bahwa Siangkoan Lohan dahulu memang mempunyai seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya. Ia pun balas menjura.
“Aku pun masih ingat kepadamu, saudara Siangkoan Liong.”
Mereka lalu masuk ke dalam rumah. Sin-kiam Mo-li tidak ikut masuk, namun diam-diam ia merasa tidak enak. Gadis itu lihai, dan agaknya pihak tuan rumah menghormatinya.
Kenyataan bahwa gadis itu masih keturunan murid keluarga Pulau Es, membuat hatinya merasa tidak enak. Gadis itu berbahaya, pikirnya, kecuali kalau..... sinar matanya mencorong gembira, benar. Itulah satu-satunya jalan. Gadis itu harus dapat ditaklukkan oleh Siangkoan Liong, menjadi kekasihnya atau isterinya, barulah diharapkan gadis itu akan benar-benar setia membantu gerakan persekutuan mereka! Ia akan membicarakan hal ini dengan Siangkoan Liong dan dengan bantuannya, mustahil gadis itu tidak akan dapat ditundukan oleh Siangkoan Liong!
Sementara itu, Li Sian diajak bercakap-cakap di sebelah dalam, diterima dengan ramah dan hormat oleh Siangkoan Lohan dan puteranya, dijamu dan di dalam percakapan itu, pihak tuan rumah mulai menanamkan rasa permusuhan dan sakit hati terhadap Kerajaan Mancu yang telah membasmi keluarga Pouw.
“Kaum penjajah Mancu memang keterlaluan sekali,” antara lain Siangkoan Lohan berkata, “Bayangkan saja. Pihak kami, Tiat-liong-pang, kurang bagaimana dahulu membantu mereka dan kami telah mengorbankan segalanya untuk membantu mereka. Akan tetapi ternyata mereka itu merupakan bangsa yang tidak mengenal budi dan mudah merupakan jasa orang. Ayahmu sendiri, nona Pouw, adalah seorang di antara pembesar tinggi yang setia dan baik. Akan tetapi apa jadinya? Keluarga ayahmu dibasmi, hanya karena ayahmu berani menentang Hou Seng, padahal ayahmu menentang Hou Seng justeru untuk menyelamatkan negara dan kerajaan!”
Sedikit demi sedikit, hati Li Sian dibakar. Akan tetapi gadis ini masih ragu-ragu. Gurunya selalu memberi wejangan agar ia tidak menyimpan dendam terhadap siapapun juga, dan hidup sebagai seorang pendekar harus bebas dari api dendam karena dendam akan melenyapkan pertimbangan adil. Seorang pendekar haruslah bertindak adil, membela kebenaran dan keadilan tanpa memilih bulu. Sebaliknya dendam membutakan mata akan kebenaran dan keadilan, semata-mata hanya untuk melampiaskan nafsu dendam saja.
“Saya masih bingung, Paman. Saya ingin sekali berjumpa dengan kakak sulung saya, oleh karena itu saya mohon bantuan Paman, sukalah membantu saya mencari di mana adanya kakak saya itu bertugas agar saya dapat bertemu dengan anggauta keluarga yang tinggal satu-satunya itu.”
“Tentu, tentu sekali, Nona, kami akan membantumu dan sementara ini, tinggallah di sini sebagai tamu kehormatan, ah, tidak, sebagai anggauta keluarga kami sendiri, sebagai keponakanku!” kata Siangkoan Lohan dengan ramah sekali.
Li Sian merasa terharu. Kakek ini dan puteranya sungguh baik, menerimanya sedemikian ramahnya, bahkan menganggapnya sebagai anggauta keluarga. Ia pun bangkit berdiri dan memberi hormat.
“Paman sungguh melimpahkan budi kebaikan kepada saya, entah bagaimana saya akan mampu membalasnya. Akan tetapi, harap Paman jangan menyebut saya nona, membuat saya merasa kikuk saja, Paman.”
NEXT---->

Kisah si Bangau Putih Jilid 22

Siangkoan Lohan tertawa.
“Ha-ha-ha, baiklah, Li Sian, baiklah. Engkau kuanggap keponakanku sendiri, karena mendiang ayahmu dahulu amat cocok denganku, seperti saudara pula. Nah, anak Liong, engkau mendengar sendiri. Sekarang, erigkau harus bersikap seperti seorang kakak terhadap Li Sian.”
Siangkoan Liong bangkit berdiri dan Siangkoan Liong bangkit berdiri dan membalas penghormatan Li Sian sambil tersenyum.
“Aku merasa girang sekali dapat menjadi kakak misanmu, Sian-moi (adik Sian).”
Kedua pipi Li Sian berubah agak merah mendengar sebutan Sian-moi itu, akan tetapi, kalau ia dianggap sebagai keponakan dari Siangkoan Lohan, sudah sepatutnya pemuda itu menyebutnya adik. “Terima kasih atas kebaikanmu, Liong-toako (kakak Liong),” jawabnya. Mereka lalu duduk kembali dan melanjutkan makan minum. Semenjak hari itu, Li Sian memperoleh sebuah kamar di rumah besar itu, diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat. Bahkan ketika ia diperkenalkan kepada para murid Tiat-liong-pang, juga kepada Sin-kiam Mo-li, semua orang tidak berani bersikap kurang ajar kepadanya, maklum bahwa gadis itu selain lihai sekali, juga diterima sebagai keponakan Siangkoan Lohan. Bahkan Li Sian ikut pula dalam latihan perang-perangan itu, membantu Sin-kiam Moli untuk mempertahankan “benteng kota raja” yang diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong.
Setelah latihan itu selesai, Li Sian diperkenalkan kepada para sekutu yang lain, kepada Toat-beng Kiam-ong, juga kepada Agakai kepala suku Mongol, dan kepada Song Ciangkun, tangan kanan Coa Tai-ciangkun yang menjadi komandan pasukan pemerintah yang bertugas jaga di utara. Song Ciangkun inilah yang berjanji kepadanya untuk menyelidiki di mana adanya Pouw Ciang Hin, kakak sulung Li Sian sehingga gadis ini merasa gembira sekali. Hubungannya dengan Siangkoan Liong juga akrab sekali karena pemuda itu memang pandai mengambil hati, ramah, sopan dan memiliki pengertian yang mendalam tentang sastra dan silat. Bahkan pemuda itu, untuk melakukan penyelidikan, beberapa kali mengajak gadis itu berlatih silat dan dengan lega dia mendapat kenyataan
bahwa betapapun lihai Li Sian, namun dia mampu mengatasi gadis itu walaupun selisihnya tidak berapa jauh! Sebaliknya, Li Sian kagum sekali akan pengertian pemuda itu tentang sastra, dan tentang pengetahuan lain yang membuat ia merasa bodoh ketinggalan dan ia dapat banyak belajar dari pemuda itu. Dalam hal ilmu silat, ia pun dapat melihat bahwa Siangkoan Liong ini bahkan jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li dan sungguhpun belum pernah mereka mengadu ilmu untuk menentukan siapa yang lebih unggul, namun ia sendiri merasa bahwa agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat menang menandingi ilmu kepandaian pemuda yang tampan itu. Tidaklah mengherankan kalau hati Li Sian mulai terpikat!
***
Kita tinggalkan dulu Pouw Li Sian yang tanpa disadarinya telah terjatuh ke tempat yang amat berbahaya baginya, dan mari kita melihat keadaan Suma Lian. Gadis ini setelah pulang ke rumah orang tuanya, segera menambah kepandaiannya dengan gemblengan ayah ibunya. Dari ayahnya, Suma Ceng Liong, ia tekun berlatih Ilmu Coa-kun-ci, semacam ilmu totokan yang ampuh sekali karena jari tangannya yang sudah dilatih secara istimewa itu bukan hanya mampu menotok jalan darah dan menghentikan aliran darah, bahkan dapat menembus tulang sesuai dengan namanya, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang)! Ilmu ini memang mengerikan dan agak kejam, karena ayahnya dahulu menerimanya dari seorang datuk sesat yang bernama Hek I Mo-ong (Raja Iblis Baju Hitam). Adapun dari ibunya, Kam Bi Eng, Suma Lian menerima ilmu yang hebat, yaitu ilmu pedang gabungan yang dimainkan dengan sebatang suling, diberi nama Koai-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Siluman), gabungan dari Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman). Kini ia sudah memiliki sebuah suling emas yang dapat dimainkan dengan hebatnya sehingga suling emas itu bagaikan sebatang pedang saja dapat bergulung-gulung dengan hebatnya sambil mengeluarkan suara melengking-lengking. Hanya karena ia sudah memiliki dasar yang amat kuat berkat gemblengan mendiang, kakek Gak Bun Beng atau Bu Beng Lokai, maka gadis ini mampu mempelajari kedua ilmu yang hebat itu dalam waktu yang tidak berapa lama. Ayah bundanya gembira sekali melihat kemajuan puteri mereka. Akan tetapi, ada suatu hal yang membuat suami isteri ini agak gelisah, yaitu melihat betapa puteri mereka kini telah berusia dua puluh tahun lebih, hampir dua puluh satu dan puterinya itu bertunangan pun belum! Semenjak puteri mereka pulang, suami isteri itu hampir setiap malam membicarakan hal ini, akan tetapi mereka merasa ragu untuk mengajak puteri mereka bicara karena melihat betapa puteri mereka memiliki watak keras, dan puteri mereka demikian lincah jenaka dan gembira. Mereka khawatir kalau-kalau usul mereka akan diterima dengan hati yang tidak senang dan membuat puteri mereka menjadi murung.
“Bagaimanapun juga, kita harus memberitahunya, isteriku,” kata Suma Ceng Liong.
“Usia dua puluh tahun lebih sudah terlalu dewasa untuk seorang gadis! Sampai kapan kita harus menanti untuk menikahkan anak kita yang tunggal itu? Biarpun untuk gadis kang-ouw, urusan pernikahan tidak boleh disamakan dengan gadis biasa, akan tetapi bagaimanapun juga, seorang wanita haruslah membentuk rumah tangga dan mempunyai keturunan hidup sebagai seorang isteri atau ibu yang berbahagia. Dan kita menjadi kakek dan nenek yang bahagia pula.”
“Baiklah, besok akan kuajak ia bicara. Mudah-mudahan saja, selama ini sudah ada pemuda yang menjadi pilihan hatinya.”
“Aku meragukan hal itu. Bukankah baru saja ia meninggalkan tempat tinggal paman Gak Bun Beng setelah orang tua itu meninggal dunia? Aku jadi teringat akan cerita kakak Suma Ciang Bun dulu itu....“
“Hemmm, tentang muridnya, Gu Hong Beng itu?” tanya Kam Bi Eng. Memang, Suma Ciang Bun pernah berterus terang kepada mereka bahwa ketika nenek Teng Siang In, ibu Suma Ceng Liong, akan meninggal dunia, ditunggu oleh Gu Hong Beng, nenek itu pernah minta Hong Beng berjanji agar kelak menjadi suami Suma Lian dan karena permintaan itu merupakan permintaan atau pesan terakhir seorang yang akan mati, pemuda itu tentu saja tidak sampai hati untuk menolaknya. Baru setelah nenek itu meninggal, Gu Hong Beng menjadi bingung dan tidak berani mengaku kepada Suma Ceng Liong dan isterinya, hanya berani menceritakannya kepada gurunya, yaitu Suma Ciang Bun. Gurunya inilah yang kemudian memberitahukannya kepada Suma Ceng Liong berdua. Akan tetapi ketika itu, Suma Lian sedang belajar silat kepada kakek Gak Bun Beng dan baru berusia tiga belas tahun, oleh karena itu ayah ibunya menjawab bahwa karena anak itu masih belum dewasa, maka urusan pernikahan ini sebaiknya ditunda pembicaraannya dan kelak akan diserahkan kepada Suma Lian sendiri. Mereka memberi tahu kepada Suma Ciang Bun bahwa tentang perjodohan puteri mereka, mereka menyerahkan kepada, pilihan Suma Lian sendiri dan kalau kelak Suma Lian suka menjadi jodoh Gu Hong Beng seperti yang diusulkan oleh mendiang nenek Teng Siang In, tentu mereka pun tidak berkeberatan.”
Kini, setelah puteri mereka dewasa dan mereka memikirkan perjodohan puteri mereka, tentu saja suami isteri itu teringat kepada Gu Hong Beng! Sudah lama sekali mereka tidak pernah bertemu dengan Gu Hong Beng atau pun gurunya, Suma Ciang Bun. Akan tetapi mereka pernah mendengar bahwa kakak mereka itu kini tinggal sebagai pertapa di lereng Gunung Tapa-san, di dekat sumber air Sungai Han-sui di Propinsi Shensi.
“Hemmm, entah berapa usianya sekarang. Kalau tidak keliru kakak Ciang Bun membicarakan urusan perjodohan itu, Hong Beng berusia sembilan belas tahun dan Lian-ji baru berusia tiga belas tahun. Kalau sekarang Lian-ji berusia dua puluh tahun, berarti Hong Beng sudah berusia dua puluh enam tahun,” kata Suma Ceng Liong mengingat-ingat. “Pemuda itu cukup baik, gagah perkasa dan sederhana dan tentang ilmunya, walaupun mungkin tidak setinggi yang dikuasai Lian-ji, namun tentu selama ini dia telah memperoleh banyak pengalaman dan kemajuan.”
“Hanya kita tidak tahu apakah dia masih belum memperoleh jodoh, dan kita lebih tidak tahu lagi keadaan anak kita sendiri. Sebaiknya, biarlah besok kutanyai Lian-ji, apakah selama ini ia sudah bertemu dengan seorang pemuda yang cocok untuk menjadi calon suaminya.”
“Kalau sudah ada?” tanya suaminya.
“Kita desak ia agar segera diadakan kontak dan kita sebagai orang tua akan membicarakan dengan pihak sana.”
“Bagaimana kalau ia belum mempunyai pandangan?”
“Wah, kalau begitu aku sendiri pun bingung,” kata Kam Bi Eng.
“Begini saja, kalau memang benar ia masih bebas, kita suruh saja ia pergi berkunjung ke tempat pertapaan kakak Suma Ciang Bun. Kasihan Bun-toako, hidup seorang diri. Biarlah Lian-ji berkunjung ke sana dan menyampaikan permintaan kita agar Bun-toako suka tinggal bersama kita di sini. Dengan demikian, memberi kesempatan kepadanya untuk bertemu dengan Hong Beng dan kita nanti bicarakan urusan jodoh itu, kalau-kalau Lian-ji menyetujuinya.”
Kam Bi Eng menyetujui usul suaminya. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu tentu saja ia pun ingin sekali melihat puterinya menikah dan biarpun usianya baru empat puluh tahun, karena tidak mempunyai anak lain kecuali Suma Lian, maka Kam Bi Eng juga mendambakan adanya seorang cucu yang mungil.
Demikianlah, pada keesokan harinya, Kam Bi Eng mengajak puterinya bercakap-cakap. Dipancingnya puterinya itu tentang pembicaraan mengenai perjodohan, Suma Lian tersenyum memandang ibunya.
“Aih, Ibu ini! Pagi-pagi bicara tentang perjodohan! Siapa sih yang memikirkan soal jodoh?” katanya sambil tertawa.
Kam Bi Eng adalah seorang yang juga berwatak lincah jenaka, akan tetapi ia memiliki ketegasan. “Hentikan main-main itu, anakku. Ingat, berapa usiamu sekarang?”
“Berapa, ya? Dua puluh tahun lebih kukira.”
“Nah, biasanya, seorang wanita berusia dua puluh tahun lebih sudah menggendong seorang anak. Apakah engkau sama sekali belum memikirkan urusan perjodohan? Ayahmu dan aku menyerahkan pemilihan calon suami kepadamu, maka aku ingin sekali tahu apakah selama ini engkau sudah bertemu dengan seorang pria yang kauanggap cocok untuk menjadi calon suamimu?”
“Wah, Ibu ini ada-ada saja. Selama ini aku tekun berlatih silat, mana ada kesempatan untuk memikirkan soal itu? Tidak, Ibu, aku belum mempunyai pilihan siapapun juga.”
“Sudahlah kalau begitu. Sekarang, ayahmu dan aku minta agar engkau suka mengundang paman tuamu Suma Ciang Bun. Kasihan dia, hidup seorang diri dan mengasingkan diri. Engkau kunjungi dia dan atas nama kami, undanglah dia ke sini. Sebentar, kupanggil ayahmu!” Kam Bi Eng lalu memanggil suaminya yang berada di ruangan belakang.
Suma Ceng Liong datang dan dia pun membenarkan apa yang dikatakan isterinya.
“Benar, Lian-ji. Kami merasa kasihan kepada Bun-toako. Engkau pergilah ke sana dan katakan bahwa kami mengundang ia untuk datang dan tinggal di sini bersama kita.”
“Akan tetapi, di manakah paman Ciang Bun tinggal?”
“Dia bertapa di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air Sungai Han Sui, di Propinsi Shensi. Carilah dia sampai dapat, anakku, dan bujuklah dia agar suka ikut bersamamu ke sini. Kami sudah rindu padanya dan katakan bahwa kami ingin sekali agar dia tinggal bersama kami di sini, sedikitnya untuk beberapa waktu lamanya, syukur kalau dapat selamanya. Dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi, Lian-ji.”
Suma Lian mengangguk. Memang tidak enak rasanya tinggal di rumah saja, dan ia pun tidak mengira sama sekali bahwa selain mengundang paman tuanya, juga kedua orang tuanya itu mengharapkan ia bertemu dengan Gu Hong Beng yang sudah ditunangkan dengannya secara diam-diam oleh mendiang neneknya!
Beberapa hari kemudian, setelah membawa bekal pakaian dan uang secukupnya, berangkatlah Suma Lian meninggalkan rumah orang tuanya. Kini ia sudah berbeda lagi dengan ketika ia pulang, karena ia sudah dibekali dua macam ilmu yang membuat dirinya menjadi semakin lihai. Dan di pinggangnya kini terselip sebatang suling emas! Seperti juga sumoinya, Li Sian, ia mampu mempergunakan setiap ranting kayu untuk menjadi pedang dan memainkan ilmu Lo-thian Kiam-sut, akan tetapi dengan suling emas itu, ia merasa lebih mantap dan lebih percaya akan kemampuan diri sendiri.
Perjalanan yang dilakukan Suma Lian cukup jauh, menuju ke barat melalui Propinsi Honan dan Shensi. Kalau pulangnya, akan lebih mudah mengambil jalan air, yaitu naik perahu mengikuti aliran Sungai Kuning, akan tetapi berangkatnya, ia mengambil jalan darat. Namun, bagi seorang gadis perkasa seperti Suma Lian, perjalanan itu bahkan amat menggembirakan dan ia sama sekali tidak khawatir akan adanya gangguan di dalam perjalanan karena ia sudah membawa bekal ilmu kepandaian yang tinggi.
Akan tetapi, baru beberapa hari ia meninggalkan Cin-an dan tiba di perbatasan Propinsi Hopei karena dara ini mengambil jalan lurus ke barat, ia memasuki sebuah kota kecil, di perbatasan itu dan karena hari sudah mulai gelap, ia mengambil keputusan untuk bermalam di kota itu dan tidak disangkanya, di tempat itu ia bertemu dengan pengalaman yang berbahaya!
Sore hari itu, setelah memasuki kota Bun-koan yang tidak berapa besar, Suma Lian segera menoleh ke kanan kiri untuk mencari rumah penginapan. Hari itu ia melakukan perjalanan sehari penuh melalui jalan berdebu dan ia merasa tubuhnya lelah, panas dan kotor. Ia ingin mandi, lalu mencari makan malam yang enak sebelum beristirahat semalam suntuk agar tenaganya pulih kembali dan besok dapat melanjutkan perjalanan pagi-pagi dengan tubuh segar.
Kota itu tidak besar dan ternyata hanya mempunyai sebuah rumah penginapan yang tidak berapa besar. Keadaan rumah penginapan itu terlalu kotor bagi Suma Lian, akan tetapi, gadis ini pernah hidup dalam keadaan yang serba sederhana bahkan sangat kekurangan ketika ia mengikuti gurunya hidup sebagai orang yang miskin, maka ia tidak dapat terlalu banyak memilih dan tidak pula merasa jijik ketika ia akhirnya memperoleh sebuah kamar yang tidak besar dan agaknya jarang dibersihkan. Ia hanya minta agar kain alas tempat tidur dan bantalnya diganti dengan yang bersih, dan untuk itu ia harus mengeluarkan beberapa uang kecil untuk pelayan.
Hanya dengan mengeluarkan uang persenan tambahan pula maka ia akhirnya bisa memperoleh cukup air untuk mandi. Tubuhnya terasa segar dan nikmat setelah mandi bersih dan mengenakan pakaian pengganti, dan atas petunjuk pelayan yang sudah dua kali menerima hadiah uang kecil darinya itu, ia memperoleh keterangan di mana ia dapat membeli makan malam yang enak.
Benar saja, restoran kecil itu ternyata dapat menyuguhkan makanan yang cukup lezat, terutama sekali masakan udang kegemarannya. Dan harganya pun tidak mahal. Dengan puas Suma Lian kembali ke kamar di rumah penginapannya, siap untuk tidur.
Selagi ia berjalan melalui lorong menuju ke kamarnya, tiba-tiba ia mendengar suara anak laki-laki yang merengek, datangnya dari kamar di sebelahnya.
“Aku mau pulang! Ah, antarkan aku pulang, atau aku mau pulang sendiri. Aku tidak mau lagi melanjutkan perjalanan dan ikut denganmu!” Suara itu jelas suara seorang anak laki-laki dan suaranya terdengar seperti anak yang ketakutan. Karena tertarik, dan lorong di mana kamar-kamar berjajar itu sepi, Suma Lian menghentikan langkahnya dan mendengarkan.
“Hushhhhh, jangan ribut-ribut.” terdengar suara seorang laki-lagi, suaranya membujuk.
“Kalau sampai terdengar olehnya dan ia menyusul ke sini, tentu kita akan dibunuh, terutama sekali engkau.”
“Ah, kenapa wanita itu hendak membunuh aku? Kenapa?” Anak itu membentak.
“Settt, ia adalah musuh ibumu. Dan hanya ibumu yang dapat melawannya, dapat melindungimu, karena itu aku akan mengantar pada ibumu, ia berada di kota So-tung, tak jauh dari sini. Besok pagi-pagi kita ke sana dan sekarang diamlah, kita sembunyi di sini.
Anak itu tidak terdengar merengek lagi. Suma Lian tentu saja merasa heran mendengar ucapan laki-laki itu. Siapakah yang ingin membunuh seorang anak kecil dan mengapa?
Akan tetapi, jangan-jangan laki-laki itu hanya menakut-nakuti saja dan karena bukan urusannya, maka ia pun melangkah menuju ke kamarnya dan merebahkan diri setelah membuka sepatunya. Akan tetapi, percakapan di kamar sebelah itu membuat ia tidak mudah untuk pulas. Perhatiannya tetap saja tertuju ke kamar sebelah dan kewaspadaannya tetap berjaga-jaga, siap untuk turun tangan menolong kalau-kalau benar ada bahaya mengancam anak di sebelah itu!
Akhirnya, karena tidak terjadi sesuatu sampai jauh hampir tengah malam, Suma Lian mulai mengantuk. Ketika ia hampir tertidur, tiba-tiba saja telinganya yang masih dalam keadaan waspada, menangkap sesuatu yang mencurigakan, Suara gerakan di atas genteng! Sedikit suara ini saja sudah cukup baginya untuk terbangun. Cepat disambarnya sepatunya, dipakainya dan ia pun membuka daun jendela, lalu tubuhnya sudah meluncur keluar dari jendela kamarnya. Pada saat itu, dia melihat seorang laki-laki yang menggendong seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun, juga melompat keluar dari jendela kemudian melarikan diri. Itulah orang yang tinggal di kamar sebelah, pikirnya. Agaknya lakilaki itu pun sudah mendengar akan suara mencurigakan di atas genteng dan dia mengajak anak itu melarikan diri. Dan benar saja, pada saat itu, dari atas genteng menyambar turun bayangan orang yang berseru dengan halus.
“Hemmm, engkau hendak lari ke mana?“
Mendengar ini laki-laki yang menggendong anak itu mempercepat larinya dan terkejutlah Suma Lian melihat bahwa laki-laki itu ternyata dapat berlari cepat sekali, bukan larinya orang sembarang melainkan larinya orang yang menguasai ilmu berlari cepat dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat! Akan tetapi wanita itu, bayangan yang membentak tadi, juga dapat berlari cepat melakukan pengejaran. Melihat ini, Suma Lian juga mengerahkan tenaganya dan mengejar pula. Untung baginya bahwa malam itu bulan bersinar terang sehingga ia dapat melihat jelas dua bayangan yang saling berkejaran itu.
Laki-laki yang menggendong anak itu dapat berlari cepat sekali, akan tetapi pengejarnya agaknya lebih lihai lagi sehingga jarak di antara mereka menjedi semakin dekat. Suma Lian yang khawatir kalau-kalau dua orang itu terkejar dan terbunuh, mempercepat larinya dan ketika laki-laki itu menghilang ke dalam sebuah hutan kecil, pengejarnya meragu dan berhenti sebentar di luar hutan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Lian untuk mempercepat larinya dan membentak,
“Hai, engkau yang berniat jahat, tunggu dulu!” bentakannya nyaring dan membuat wanita yang tadi melakukan pengejaran itu terkejut, lalu membalikkan tubuhnya.
Kini mereka berdiri berhadapan, dalam jarak antara dua meter. Sinar bulan cukup terang sehingga walaupun tidak sangat jelas, mereka dapat saling melihat dan keduanya diam-diam merasa heran. Suma Lian melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan nampak seperti seorang penjahat. Sebaliknya malah ia seorang wanita muda, seorang gadis yang cantik jelita, matanya lebar dan sikapnya gagah sekali. Akan tetapi, wanita itu agaknya marah oleh gangguannya dan begitu mereka berhadapan, ia menegur Suma Lian, suaranya nyaring dan ketus.
“Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan orang lain dengan lancang? Mau apa engkau mengejar aku?”
Suma Lian tidak marah, hanya ia merasa heran mengapa ada seorang gadis secantik dan segagah ini berhati kejam hendak membunuh seorang anak kecil.
“Aku mengejar untuk mencegah engkau melakukan suatu kejahatan, Sobat! Mengapa pula engkau mengejar orang yang membawa seorang anak kecil tadi? Tak usah kaulanjutkan niatmu yang jahat itu....“
“Lancang kau! Kalau aku mengejar mereka, engkau mau apa? Apamukah laki-laki itu?”
“Bukan apa-apa, aku kebetulan bermalam di kamar dekat kamar mereka dan mendengar bahwa mereka takut kepadamu yang hendak membunuh, maka aku lalu ikut pula mengejar. Kalau engkau lanjutkan pengejaranmu, terpaksa aku turun tangan menghalangimu.”
“Hemm, manusia sombong dan lancang yang hendak mencampuri urusan orang! Atau mungkin engkau kaki tangannya, ya? Kalau begitu perlu kuhajar dulu engkau!” Gadis itu sudah menerjang dengan tamparan ke arah muka Suma Lian. Tentu saja Suma Lian cepat mengelak dan balas menyerang dengan tak kalah cepatnya. Namun, gadis itu meloncat ke samping dan kini ia menerjang lagi sambil menghujankan serangan dengan kaki tangannya, seolah-olah ingin cepat merobohkan Suma Lian agar ia dapat cepat melakukan pengejaran terhadap laki-laki yang melarikan bocah tadi. Menghadapi serangan yang luar biasa cepatnya ini, Suma Lian terkejut. Tak disangkanya bahwa gadis yang menjadi lawannya ini benar-benar lihai sekali. Serangannya bukan saja amat cepat, akan tetapi juga hawa pukulan yang keluar dari gerakan kaki tangannya amat kuat, tanda bahwa gadis itu memiliki sin-kang yang sudah tinggi tingkatnya. ia pun melindungi dirinya dengan langkah-langkah ajaib Sam-po Cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat menghindarkan semua serangan lawan.
Gadis itu menjadi semakin penasaran.
“Hemmm, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian, ya?” bentaknya. “Nah, terimalah ini!” tangan kanannya menyambar cepat dan ada hawa yang panas sekali menyambar dari tangan kanannya itu, dan kehebatan serangan ini sukar untuk dielakkan lagi oleh Suma Lian. Ia terkejut, maklum akan hebatnya pukulan lawan, maka ia pun menggerakkan tangan kirinya sambil mengerakkan tenaga Swat-im Sin-kang untuk menyambut pukulan yang mengandung hawa panas itu.
“Dukkk!” Dua lengan yang berkulit putih halus itu saling bertemu dan keduanya terdorong ke belakang dan keduanya memandang dengan mata terbelalak.
“Swat-im Sin-kang....!” teriak gadis yang menyerang itu.
“Hui-yang Sin-kang....!” Suma Lian juga berseru heran.
Gadis itu memandang marah, lalu menudingkan telunjuk ke arah muka Suma Lian.
“Engkau dari mana mencuri ilmu dari Pulau Es?” bentaknya.
Suma Lian tersenyum mengejek.
“Sobat, engkaulah yang mencuri ilmu dari keluargaku. Aku bernama Suma Lian, keturunan langsung dari penghuni Pulau Es!”
“Aihhhhh....!” Gadis itu berseru dan memandang dengan mata terbelalak.
“Kau...kau.... Suma Lian, puteri dari paman Suma Ceng Liong?”
“Benar, dan siapakah engkau?”
“Aku Kao Hong Li....“
“Aihhh....! Engkau puteri bibi Suma Hui....?” seru Suma Lian dan mereka maju saling berangkulan. “Enci Hong Li, maafkan aku, maafkan kelancanganku tadi.”
”Sudahlah, adik Lian. Sering aku datang berkunjung ke rumah paman Suma Ceng Liong, akan tetapi engkau belum juga pulang. Tentu ada sebabnya mengapa engkau tadi mencegah aku mengejar orang yang menculik anak itu.”
Suma Lian merasa kaget setengah mati.
“Apa? Dia.... dia itu menculik anak itu? Wah, kalau begitu aku yang bersalah, enci Hong Li.” Lalu ia menceritakan bahwa tadi ia mendengar anak itu merengek minta pulang, dan laki-laki itu mengatakan bahwa mereka harus melarikan diri darimu yang hendak membunuh mereka, terutama membunuh anak itu. Maka, ketika melihat betapa mereka melarikan diri dan engkau mengejarnya, aku pun langsung saja turun tangan mencegahmu. Maafkan aku....“
“Hemmm, penculik itu telah menipu si anak dan engkau pun ikut pula tertipu, adik Lian. Aku melihat dia melarikan anak laki-laki itu yang berteriak minta dilepaskan dan minta dipulangkan, maka aku melakukan pengejaran sejak kemarin. Aku kehilangan jejaknya dan baru aku temukan mereka di rumah penginapan ini.”
“Akan tetapi siapakah dia, Enci? Dan mengapa pula dia menculik anak laki-laki itu? Siapa pula anak laki-laki itu?”
“Aku juga tidak tahu siapa mereka dan mengapa pula dia menculik anak itu. Ketahuilah, adik Lian, aku sedang melakukan perjalanan menuju ke rumah orang tuamu, untuk memberi kabar tentang meninggalnya kakek dan nenek di gurun pasir....“
“Ahhh! Penghuni Gurun Pasir....?”
“Benar, kakek dan nenekku tewas setelah istana itu diserbu banyak datuk sesat, dan setelah memberitahukan kepada orang tuamu, aku akan pergi mencari siapa para datuk yang pernah menyerbu ke sana. Dan engkau sendiri, engkau sudah berapa lama pulang dan sekarang hendak ke mana?”
“Aku diutus oleh orang tuaku untuk mengundang paman tua Suma Ciang Bun agar suka datang ke rumah kami.”
“Aih, paman Suma Ciang Bun? Dia bertapa di Tapa-san dan agaknya sudah tidak mau lagi mencampuri dunia ramai. Aku pernah beberapa kali berkunjung ke sana. Ah, sungguh tidak kusangka kita akan saling bertemu seperti ini, adik Lian!”
“Aku pun girang sekali dapat bertemu denganmu, enci Hong Li. Akan tetapi, setelah mendengar keteranganmu tentang laki-laki yang bercaping lebar tadi bahwa dia menculik anak itu, biarlah aku akan melakukan pengejaran dan menolong anak itu!”
“Tapi, ke mana engkau akan mencarinya, adik Lian? Dan aku pun belum yakin benar, baru mencurigainya menculik anak, belum ada bukti nyata, bahkan aku tidak tahu siapa dia dan siapa anak itu.”
“Biarlah, Enci. Aku akan menyelidiki. Terpaksa kita berpisah di sini, Enci. Engkau melanjutkan perjalanan ke rumah orang tuaku menyampaikan berita duka itu, dan aku akan pergi berkunjung kepada paman Suma Ciang Bun setelah menyelidiki penculik itu.”
Kao Hong Li merangkul lagi, merasa sayang untuk saling berpisah.
“Aih, kita baru saja bertemu secara tidak sengaja. Kalau kita tidak sama-sama menggunakan Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, entah bagaimana jadinya dengan kita yang saling hantam sendiri. Akan kuceritakan ini kepada orang tuamu. Ah, aku masih ingin sekali bersamamu dan bercakap-cakap lama, adik Lian.”
“Aku pun begitu, Enci. Akan tetapi karena kita berdua sama-sama mempunyai tugas, biarlah lain kali masih banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa dan bercakap-cakap sepuasnya.”
“Baiklah, adik Lian. Nah, selamat berpisah. Akan tetapi kalau engkau mengejar orang bercaping lebar itu, berhati-hatilah. Melihat gerakannya ketika lari, kurasa dia bukanlah seorang yang lemah.”
“Engkau benar, enci Hong Li. Akan tetapi aku pun belum yakin benar bahwa dia seorang penjahat yang menculik anak itu. Mungkin hanya timbul kesalahpahaman saja antara dia dan engkau. Aku tahu ke mana harus mencarinya karena ketika dia bicara dengan anak itu di dalam kamarnya, dia ada menyebutkan bahwa mereka akan pergi ke kota So-tung. Aku akan menyusul ke sana.”
“Aku tidak khawatir, engkau tentu akan mampu mengatasinya, Lian-moi.”
Kedua orang gadis itu yang masih saudara misan, saling peluk lagi kemudian Kao Hong Li meninggalkan tempat itu, berkelebat lenyap di kegelapan bayangan pohon. Suma Lian juga cepat masuk kembali ke dalam kamarnya dan setelah menggendong buntalan pakaiannya, ia pun meninggalkan kamar rumah penginapan itu tanpa pamit karena ia sudah membayar sewa kamar itu sore tadi.
Tidak sukar bagi Suma Lian untuk menemukan kota So-tung yang letaknya kurang lebih tiga puluh li dari kota di mana ia bermalam itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia telah memasuki kota So-tung. Sayang ia tertinggal jauh sehingga ia tidak lagi melihat bayangan laki-laki bercaping lebar bersama anak laki-laki itu. Namun, Suma Lian tidak putus asa dan ia pun segera berputar-putar melakukan penyelidikan di seluruh kota.
Ketekunannya berhasil baik. Ketika ia berjalan tiba di dekat pintu gerbang barat, ia melihat bayangan orang berkelebat dan ternyata bayangan itu adalah laki-laki berpakaian serba hijau yang mengenakan caping lebar, yang semalam melarikan diri bersama anak laki-laki yang dikejar oleh Kao Hong Li itu! Akan tetapi, kini laki-laki itu berjalan seorang diri tanpa menggendong anak laki-laki dan nampaknya tergesa-gesa hendak keluar dari kota melalui pintu gerbang barat.
Melihat ini, Suma Lian juga mempercepat langkahnya keluar dari pintu gerbang itu. Pagi itu masih sunyi sekali, belum nampak seorang pun manusia di luar pintu gerbang dan Suma Lian melihat betapa laki-laki bercaping itu menoleh, kemudian melarikan diri!
“Hei, tunggu....!” Suma Lian berseru dan ia pun mempergunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran. Melihat gadis itu melakukan pengejaran, laki-laki itu mempercepat larinya. Hal ini membuat Suma Lian semakin curiga dan ia pun mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga tak lama kemudian ia dapat menyusul dan bahkan mendahului, lalu membalik dan menghadang.
NEXT---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar