Jumat, 21 Februari 2014

Pendekar Sadis Jilid 012

Pendekar Sadis Jilid 012

<---Kembali

"Heiii, itu buah-buah kami...!" Thian Sin membentak marah, akan tetapi Han Tiong mengedipkan matanya kepada adiknya, lalu dia menjura kepada Si Tinggi Besar yang menabraknya tadi.

"Harap kaumaafkan saya, sobat. Karena tempat ini sempit dan aku lengah, maka telah menabrakmu. Sudahlah, kesalahanku itu ditebus dengan hilangnya semua buah-buah yang kubeli."

Si Tinggi Besar itu sejenak memandangnya, kemudian tertawa-tawa, diikuti oleh lima orang temannya. Mereka mentertawakan Han Tiong, akan tetapi anehnya mereka tidak menghalang ketika Han Tiong mengajak adiknya pergi cepat-cepat dari tempat itu, diikuti suara ketawa mereka.

"Ah, Tiong-ko, sungguh penasaran sekali!" Demikian Thian Sin mengeluh ketika mereka tiba kembali di kamar losmen mereka.

Pemuda ini masih merasa marah, mukanya merah dan kadang-kadang dia mengepal tinju tangannya.

"Apa maksudmu Sin-te?"

"Aku merasa malu bukan main harus lari terbirit-birit dari lima orang berandal tadi. Betapa ingin aku menghajar mereka sampai jatuh bangun. Kenapa kita harus bersikap sedemikian pengecut dan membiarkan mereka menghina kita, Tiong-ko? Apakah perbuatan kita itu tidak menimbulkan buah tertawaan dan sama sekali bukan selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar melainkan lebih patut menjadi sikap pengecut dan penakut?"

Han Tiong tersenyum tenang, memandang wajah adiknya dengan tajam lalu berkata, suaranya tenang dan tegas, "Adikku yang baik, engkaupun tahu bahwa justeru seorang pendekar adalah orang yang tidak mudah marah menurutkan perasaannya saja. Kalau kita menghadapi orang gila, apakah kita juga harus menjadi gila pula."

"Tapi mereka itu bukan gila, mereka itu orang-orang jahat!" Thian Sin membantah.

"Mereka itu gila, adikku. Kalau mereka itu menggunakan kekerasan, lalu kita menghadapi mereka dengan kekerasan pula, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita? Mereka gila dan kitapun akan menjadi gila pula. Mereka itu adalah orang-orang gila karena mereka mencari dan memancing keributan tanpa urusan dan sebab, mereka itu orang-orang sakit yaitu batin mereka yang sakit. Sebaliknya, kita yang waras ini, yang mampu menjauhkan diri menghindari keributan, mengapa kita harus melayani mereka? Bukankah itu akan menjadi sama gilanya, sama sakitnya, dan sama jahatnya?"

"Tapi, koko, sungguh penasaran sekali kalau kita, putera-putera dari Pendekar Lembah Naga, harus lari terbirit-birit menghadapi tikus-tikus pasar itu!"

Han Tiong tersenyum lebar dan merangkul pundak adiknya. "Aihh, Sin-te, apakah masih kurang gemblengan yang diberikan oleh Paman Lie Seng dan oleh ayah sendiri kepada kita? Kalau semua pendekar di dunia sudi melayani pengacau-pengacau kecil seperti mereka tadi tentu keributan akan terjadi setiap hari dan para pendekar tidak ada waktu lagi untuk menghadapi urusan-urusan besar. Mereka itu hanyalah orang-orang yang sengaja hendak memancing keributan karena itulah kesenangan mereka. Kalau kita melayani, berarti kita ini malah membantu kekacauan mereka. Sudahlah, anggap saja tadi itu sebagai latihan mental bagimu, adikku."

Akhirnya Thian Sin mau juga menerima semua alasan kakaknya dan diapun melihat kebenarannya. Memang sesungguhnyalah, dia sudah digembleng sedemikian rupa oleh ayah angkat atau juga pamannya, telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, sungguh tidak sepatutnya kalau kepandaian itu dipergunakan hanya untuk urusan yang sedemikian remehnya. Justeru kalau dia terkena pancingan pemuda-pemuda berandalan tadi, hal itu hanya menunjukkan bahwa dia bukanlah sebagai pendekar yang sudah "masak". Maka hatinyapun menjadi dingin dan tenang kembali.

"Adikku, kota raja ini ternyata bukan merupakan tempat yang menyenangkan, dan ternyata penuh dengan orang-orang jahat seperti pernah diceritakan oleh ayah. Betapa jauhnya perbedaan kehidupan di desa dan di kota. Di dusun begitu aman tenteram dan kejahatan manusia tidak begitu menyolok, sebaliknya di kota raja ini suasananya demikian panas, dan hampir tidak pernah aku melihat wajah-wajah yang membayangkan kedamalan hati. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita saja Sin-te. Tidak enak kalau terlalu lama berdiam di lempat seperti ini."

"Terserah kepadamu, Tiong-ko, akan tetapi jangan lupa bahwa kita telah berjanji untuk singgah di tempat kediaman Siangkoan Wi Hong."

Han Tiong mengangguk dan mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia tidak begitu suka kepada pemuda pesolek yang berhati kejam itu, akan tetapi karena dia memang sudah menerima undangan, dan pula diapun tahu bahwa adiknya ini diam-diam amat kagum dan suka kepada orang she Siangkoan itu. "Baik, Sin-te. Kita singgah sebentar di rumahnya, kemudian melanjutkan perjalanan kita menuju ke Cin-ling-san."

Pada keesokan harinya, pagi-pagi kedua orang pemuda itu telah meninggalkan losmen dan mereka lalu pergi mencari rumah tinggal Siangkoan Wi Hong. Ternyata tidak sukar untuk mencari rumah gedung besar di samping toko itu, karena memang nama Siangkoan Wi Hong telah terkenal di kota raja. Dan ternyata sepagi itu, Siangkoan Wi Hong telah duduk di serambi depan sambil memandang ke jalan, wajahnya berseri dan pakaiannya tetap pesolek dan mewah seperti biasanya. Hebatnya, di atas meja di dekatnya nampak alat musik yang-kimnya itu. Agaknya alat ini tak pernah terpisah dari dekatnya, dan memang sesungguhnya demikianlah. Yang-kim ini merupakan senjata yang amat diandalkan di samping merupakan alat musik yang amat disukainya. Ketika pemuda kaya itu melihat munculnya HanTiong dan Thian Sin, dia tersenyum dan bangkit menyambut dengan wajah gembira.

"Ah, selamat pagi, selamat pagi! Gembira sekali hatiku mendapat kunjungan kalian! Silakan duduk... eh, mari kita sarapan pagi di dalam taman saja sambil menikmati bunga-bunga indah."

Dengan ramahnya Siangkoan Wi Hong lalu mengajak mereka untuk langsung memasuki taman bunga di sebelah kiri gedungnya dan mengajak mereka duduk di pondok kecil terbuka yang beraneka warna. Memang indah dan segar nyaman sekali hawa di dalam taman itu. Tanpa diperintah lagi, dua orang pelayan wanita yang muda-muda berdatangan membawa minuman.

Siangkoan Wi Hong memesan agar dibawakan makanan, kemudian ditambahkannya agar dipanggilkan tiga orang nona dari Rumah Bunga Seruni! Thian Sin dan Han Tiong tidak mengerti apa yang dimaksudkan ketika Siangkoan Wi Hong berkata, "Katakan kepada bibi pemilik Rumah Bunga Seruni agar Kim Hiang dan dua orang kawannya cepat datang ke sini, sekarang juga!"

Dua orang pemuda Lembah Naga itu sama sekali tidak tahu bahwa Rumah Bunga Seruni adalah sebuah rumah pelacuran tingkat tinggi yang paling terkenal di kota raja, tempat yang hanya dapat dikunjungi oleh bangsawan-bangsawan dan hartawan-hartawan karena segala sesuatu di tempat itu teramat mahal. Juga mereka tidak mengira sama sekali bahwa tuan rumah ini telah memesan tiga orang pelacur pilihan untuk melayani mereka!

Han Tiong dan Thian Sin menjadi sungkan dan malu-malu ketika para pelayan datang membawa hidangan yang amat banyak dan bermacam-macam. Sungguh luar biasa royalnya tuan rumah, karena hidangan yang dihadapkan mereka itu sama sekali bukan sarapan pagi, melainkan lebih mewah daripada makan siang atau makan malam! Dan kedua orang pemuda ini menjadi semakin tersipu malu ketika tak lama kemudian datang tiga orang gadis cantik jelita yang berpakaian indah dan memakai minyak wangi yang semerbak harum, juga sikap mereka amat lincah dan genit, walaupun harus mereka akui bahwa mereka bertiga itu selain cantik sekali juga tidak kasar, melainkan genit-genit halus seperti dara-dara remaja yang jinak-jinak merpati!

Diam-diam Han Tiong terkejut dan juga terheran-heran mengapa ada tiga orang dara muda seperti ini yang mau datang menemani mereka, hal yang sungguh luar biasa sekali. Akan tetapi alisnya berkerut ketika Siangkoan Wi Hong memperkenalkan mereka sebagai "bunga" pilihan dari Rumah Bunga Seruni! Biarpun dia sama sekali tidak berpengalaman, namun berkat luasnya bacaan buku-buku yang telah dibacanya Han Tiong dan juga Thian Sin dapat menduga bahwa tiga orang wanita ini adalah pelacur-pelacur kelas tinggi seperti juga halnya pelacur yang pernah menemani kongcu ini di rumah makan tempo hari. Maka, Han Tiong merasa kikuk dan malu sekali dilayani oleh para pelacur itu, sedangkan Thlan Sin juga nampak "alim", padahal di dalam hatinya dia merasa gembira sekali. Hanya karena sungkan kepada kakaknya sajalah maka dia pura-pura alim!

Melihat betapa kikuknya sikap dua orang tamunya menghadapi para pelacur itu, Siangkoan Wi Hong bersikap bijaksana dan dengan mulutnya dia menyuruh mereka mundur dan hanya membiarkan mereka bermain yang-kim, suling dan bernyanyi saja, tidak lagi memperkenankan mereka mendekati dan melayani dua orang tamunya.

"Siangkoan-loheng, bagaimana jadinya dengan putera Ji-cianbu itu? Apa yang terjadi ketika engkau dipanggil oleh Ji-cianbu dari rumah makan itu?" Thian Sin tak dapat menahan hatinya untuk memancing tuan rumah dengan pertanyaan ini.

Kakaknya menganggap pemuda ini curang, kejam dan jahat, akan tetapi dia sendiri merasa tertarik dan menganggap pemuda ini amat gagah perkasa dan juga ramah menyenangkan. Maka dia ingin mendengar bagaimana pandangan Siangkoan Wi Hong sendiri tentang urusannya dengan keluarga Ji itu, dan apakah pemuda hartawan itu mau mengakui semua perbuatannya.

Mendengar pertanyaan itu, Siangkoan Wi Hong tertawa gembira dan mengangkat cawan arak lalu minum araknya. Kemudian dia meletakkan cawan kosong di atas meja, tertawa lagi dengan gembira seolah-olah dia tak dapat menahan kegelian hatinya membayangkan kembali peristiwa yang lucu.

"Ha-ha-ha-ha, aku sudah memberi hajaran kepada keluarga Ji yang brengsek itu! Ha-ha, puas benar hatiku. Orang-orang macam ayah dan anak itu sudah sepatutnya kalau diberi hajaran keras. Kalian tahu apa yang telah kulakukan? Aku telah memeras lima puluh tail emas dari kantong Kapten Ji itu, ha-ha-ha!"

Thian Sin saling pandang dengan kakaknya dan di dalam sinar mata Thian Sin nampak cahaya kemenangan, seolah-olah pandang matanya berkata, "Lihat, bukankah dia ini gagah dan jujur?"

"Aku memang sengaja memukul anaknya, dan tukang-tukang pukulnya dengan pukulan yang mengancam keselamatan nyawa mereka agar ayahnya datang dan memang benar dugaanku. Maka, aku menyembuhkan anaknya asal ayahnya mau membayar lima puluh tail emas. Ha-ha-ha, ayah dan anak busuk itu memang patut dihajar!"

"Mengapa loheng menganggap mereka busuk?" Thian Sin mendesak, memandang kagum.

"Tidakkah busuk mereka? Kalian sudah menyaksikan sikap anak Ji-ciangkun itu yang sombong dan kasar dan sudah biasa dia bersikap sewenang-wenang kepada rakyat, memaksa wanita dan sebagainya. Dan ayahnya... hemm, coba bayangkan, sebagai berpangkat kapten seperti dia mampu membayarku lima puluh tail emas secara tunai!

Kalau menurut jumlah gajinya, biar dia bekerja sampai seratus tahunpun dia belum dapat menyimpan lima puluh tail emas! Ayahnya tukang korup besar, pencuri uang negara dan rakyat, anaknya sebagai yang sewenang-wenang, tidakkah pantas mereka itu dihajar?"

Kembali Siangkoan Wi Hong tertawa dan Thian Sin mengerling ke arah kakaknya, kekaguman terbayang pada wajahnya yang tampan. "Akan tetapi, Saudara Siangkoan berarti main-main dengan nyawa orang. Nyaris tiga orang itu terbunuh..."

Han Tiong berkata mencela halus. Siangkoan Wi Hong memandang kepada Han Tiong dengan alis terangkat, seperti heran mendengar kata-kata ini, akan tetapi kemudian dia tersenyum. "Saudara Cia Han Tiong tidak mengerti agaknya tentang jiwa pendekar! Pula, andaikata tiga orang itu mampus, bukankah itu berarti menyingkirkan malapetaka bagi para penghuni kota raja?"

Han Tiong menunduk dan tidak mau membantah lagi, dan tiba-tiba terdengar langkah orang memasuki pondok taman itu dan mucullah sebagai laki-laki muda tinggi besar berpakaian pengawal atau tukang pukul. Dengan sikap gagah orang itu memberi hormat kepada Siangkoan Wi Hong sambil berkata, "Maaf kalau saya mengganggu, kongcu. Akan tetapi di luar terdapat Kang-thouw-kwi (Setan Kepala Baja) yang minta bertemu dengan kongcu."

"Hemm... Kang-thouw-kwi? Baik, antarkan dia ke lian-bu-thia (ruang berlatih silat) dan suruh dia menanti disana. Aku akan datang segera!" kata Siangkoan Wi Hong.

Akan tetapi pada saat itu, Han Tiong dan Thian Sin terkejut melihat pengawal tinggi besar itu karena mereka berdua mengenalnya sebagai pemuda berandal yang mengepalai gerombolan lima orang yang mengganggu mereka di pasar!

Thian Sin sudah bangkit berdiri dengan muka merah, akan tetapi Han Tiong memegang lengannya dan menariknya untuk duduk kembali. Si Tinggi Besar itu memandang kepada mereka sambil tersenyum mengejek, kemudian pergi keluar dari pondok.

Han Tiong kini memandang kepada tuan rumah dengan suara tenang namun tegas dia lalu berkata, "Saudara Siangkoan, kami minta penjelasan tentang diri pembantumu tadi. Dia pernah mengganggu kami di pasar dan ternyata dia adalah pembantumu. Apakah sebenarnya artinya kenyataan ini?"

Tentu saja mereka berdua menjadi heran ketika melihat pemuda kaya itu tertawa geli, kemudian Siangkoan Wi Hong menjawab, "Memang benar, dia adalah pembantuku dan gangguan yang dia lakukan bersama teman-temannya itu adalah atas perintahku."

"Apa? Apa maksudmu dengan itu?" Thian Sin berseru kaget dan heran, juga penasaran sekali.

"Tidak ada maksud buruk. Aku hanya ingin menguji kalian. dua orang mabuk di losmen itu adalah orang-orangku yang kusuruh menguji kalian. Akan tetapi aku kecewa karena ternyata aku salah duga. Kalian hanyalah dua orang pelajar yang bijaksana dan sabar sekali, bukan..."

Melihat tuan rumah menghentikan kata-katanya, Han Tiong menyambung, "Bukan dua orang pendekar seperti yang kausangka?"

Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar dan mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan menjura, "Maaf, melihat sikap kalian yang tabah dan mengagumkan, tadinya aku menyangka bahwa kalian tentu memiliki ilmu silat yang tinggi. Karena ingin tahu maka aku menyuruh orang-orangku mencoba kalian. Kiranya mereka gagal dan aku merasa bersalah kepada ji-wi (anda berdua), maka maafkanlah. Sekarang, ada tamu yang agaknya hendak mengadu kepandaian silat denganku, tidak tahu apakah ji-wi ingin menonton adu pibu ataukah tidak?"

Han Tiong tadinya ingin minta diri saja, akan tetapi melihat wajah adiknya dia tahu betapa adiknya ingin sekali nonton pertandingan, dan dia sendiripun diam-diam amat tertarik dan ingin menyaksikan sampai di mana kehebatan tuan rumah ini yang agaknya hendak melayani tamu yang berjuluk Kang-thouw-kwi itu. Maka diapun mengangguk dan menjawab, "Kalau kami tidak mengganggu, kami ingin melihat."

"Bagus! Mari silakan ikut bersamaku!" kata pemuda itu dengan sikap gembira karena betapapun juga, dia ingin memamerkan kepandaiannya kepada dua orang tamu ini.

Han Tiong dan Thian Sin mengikuti tuan rumah meninggalkan pondok dalam taman, memasuki gedung itu dari pintu belakang dan menuju ke sebuah ruangan yang amat luas, sebuah ruangan lian-bu-thia, yaitu ruangan tempat berlatih silat yang mewah sekali, dengan hiasan dinding berbentuk lukisan-lukisan binatang yang gagah seperti harimau, burung bangau, naga, dan lain-lain binatang yang dianggap mempunyai gerakan-gerakan gagah dan yang dijadikan dasar bermacam gerakan ilmu silat. Di sudut ruangan yang luas itu terdapat beberapa rak tempat senjata yang penuh dengan belasan alat-alat berlatih dan olah raga seperti batu-batu besar untuk diangkat, karung-karung pasir dan sebagainya. Di sebelah kiri, dekat dinding, terdapat belasan bangku dan seorang kakek bangkit dari bangku yang didudukinya ketika melihat tiga orang pemuda itu memasuki ruangan.

Han Tiong dan Thian Sin memandang penuh perhatian. Kakek itu usianya lebih dari enam puluh tahun, rambutnya sudah putih sebagian, sinar matanya mengandung kecemasan dan kedukaan, pakaiannya sederhana dan pandang matanya ditujukan kepada Siangkoan Wi Hong setelah dengan sikap tak acuh dia melempar pandang kepada Han Tiong dan Thian Sin.

Dengan sikap tenang Siangkoan Wi Hong mempersilakan dua orang tamunya duduk di atas bangku. Han Tiong dan Thian Sin lalu duduk dan hati mereka tertarik sekali untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Setelah berdiri berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, akhirnya kakek itu berkata, "Maaf, apakah saya berhadapan dengan Siangkoan-kongcu?"

Yang ditanya mengangguk, tangan kanannya mempersilakan tamunya untuk duduk. "Silakan duduk, Lo-enghiong." Kakek itu nampak tidak sabar, akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang amat tenang, diapun duduklah sambil menarik napas panjang. Siangkoan Wi Hong sendiripun lalu duduk menghadapi kakek itu.

"Apakah Lo-enghiong ini yang berjuluk Kang-thouw-kwi? Dan kepentingan apakah yang mendorong Lo-enghiong untuk datang berkunjung?"

Tiba-tiba sinar mata kakek itu menjadi keras dan suaranyapun penuh dengan nada marah ketika dia menjawab, "Saya datang untuk bicara tentang cucu saya Lee Si!"

Siangkoan Wi Hong agaknya memang sudah maklum, maka jawaban itu tidak mengejutkannya. Sambil tersenyum ramah dia berkata.

"Tentang Lee Si? Ada apakah dengan dia, Lo-enghiong? Sudah lama saya tidak berjumpa dengan dia. Baik-baik sajakah cucumu itu, Lo-enghlong?"

"Siangkoan-kongcu, harap kongcu tidak berpura-pura lagi. Saya datang untuk mendapatkan pertanggungan jawab kongcu atas diri cucu saya itu."

"Pertanggungan jawab yang bagaimanakah yang kaumaksudkan, Lo-enghiong?"

Kakek itu semakin tidak sabar nampaknya. Dia mengepal tangan kanannya dan suaranya terdengar lantang. "Cucuku Lee Si itu baru berusia lima belas tahun dan kongcu telah mencemarkan dia! Pertanggungan jawab apalagi kalau bukan minta agar kongcu mengawininya?"

Han Tiong dan Thian Sin terkejut, memandang dengan hati tegang. Tak mereka sangka bahwa kakek ini datang untuk urusan begitu! Mereka memandang kepada Siangkoan Wi Hong dengan alis berkerut karena tidak mengira bahwa pemuda kaya itu dapat berbuat sejahat itu, mencemarkan gadis orang!

Akan tetapi Siangkoan Wi Hong tersenyum lebar, sikapnya tenang-tenang saja. "Hemm, aku tidak pernah mencemarkan siapapun..."

"Kongcu hendak menyangkal? Cucuku telah mengaku dan harap kongcu bersikap sebagai sebagai jantan untuk tidak menyangkal perbuatan kongcu sendiri!" Kakek itu membentak marah.

"Siapa menyangkal?" Dia lalu menoleh kepada dua orang pemuda yang menjadi tamunya. "Coba ji-wi dengarkan baik-baik. Aku mengenal sebagai dara manis bernama Lee Si, dan dia sendiri yang jatuh cinta padaku. Kami berdua, dengan suka sama suka, suka rela tanpa unsur paksaan dari fihak manapun, telah memadu kasih. Eh, kini tahu-tahu Lo-enghiong ini datang menuntut pertanggungan jawab! Pertanggungan jawab apa? Tidak ada janji antara Lee Si dan aku untuk menikah! Hubungan kami adalah suka rela dan suka sama suka, bukan aku yang memaksa dia..."

"Siangkoan-kongcu! Aku adalah sebagai tua, tidak perlu menggunakan kata-kata sangkalan yang tak berujung pangkal! Jelas bahwa cucuku telah kau rusak, sekarang kami datang untuk minta pertanggungan jawab, agar engkau suka mengawini cucuku. Bukankah hal ini sudah wajar? Apakah engkau hendak menolak?" Kakek itu bangkit berdiri.

Melihat sikap kakek itu mulai kasar, Siangkoan Wi Hong mengerutkan alisnya dan senyumnya lenyap. Dia juga bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. "Kang-thouw-kwi, jangan kau bicara sembarangan! Aku, orang she Siangkoan adalah sebagai laki-laki yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya! Hubunganku dengan Lee Si adalah hubungan suka sama suka, tidak ada janji ikatan perjodohan. Dan tidak ada setan manapun yang akan dapat memaksaku kawin dengan dia!"

"Siangkoan-kongcu! Berani engkau menghina seorang tua seperti aku dan hendak menodai nama keluargaku?" Kakek itu membentak.

"Hemm, apakah karena engkau berjuluk Kang-thouw-kwi aku lalu harus takut dan tunduk kepadamu?"

"Siangkoan Wi Hong! Jangan mengira bahwa aku tidak tahu siapa engkau! Engkau adalah putera Pak-san-kui Siangkoan Tiang locianpwe yang kuhormati. Sungguh tidak tahu diri kalau aku berani menentang putera beliau! Akan tetapi, engkau sebagai putera sebagai locianpwe telah mempergunakan kekayaanmu, ketampananmu dan kepandaianmu untuk merayu cucuku yang masih terlalu muda sehingga dia terjatuh dan kaucemarkan, kemudian sekarang engkau tidak mau bertanggung jawab! Hemm, orang muda. Aku tahu bahwa aku bukanlah lawan keluarga Siangkoan Tiang locianpwe, akan tetapi untuk membela kehormatan keluargaku, aku siap untuk mempertaruhkannya dengan nyawa sekalipun!

Kalau engkau mau bertanggung jawab dan mengawini Lee Si, kami akan menganggapnya sebagai suatu kehormatan besar, akan tetap kalau engkau menolak, biarlah kutebus dengan nyawaku!"

Siangkoan Wi Hong tersenyum mengejek. "Maksudmu, engkau hendak menantangku mengadakan pibu?"

"Hanya ada dua pilihan, engkau menerima permintaanku atau sebagai di antara kita akan mencuci noda itu dengan darah."

"Bagus sekali, memang akupun ingin merasakan sampai bagaimana kerasnya kepala itu sehingga dijuluki Setan Kepala Baja!" Setelah berkata demikian, sekali bergerak, tubuh muda itu telah melayang ke tengah ruangan itu dan dia menggapai dengan sikap menantang sekali, "Mari, Kang-thouw-kwi!"

Kakek itu memandang dengan muka merah dan mata mendelik, kemudian dengan langkah lebar diapun menghampiri pemuda itu. Mereka berdiri berhadapan dan dengan sikap masih marah, sambil tersenyum pemuda itu berkata, "Kang-thouw-kwi, kita bertanding sebagai sahabat ataukah sebagai musuh? Mengingat akan wajah Lee Si yang manis, tentu aku suka memaafkan kekasaranmu tadi dan biarlah kita mengadu ilmu sebagai sahabat."

"Tidak! Aku tidak menganggapmu sebagai putera Pak-san-kui, melainkan sebagai sebagai laki-laki pengecut yang telah mencemarkan kehormatan keluarga kami dan menodai cucuku. Engkau harus mampus di tanganku atau aku yang mati di tanganmu!"

Siangkoan Wi Hong mejebikan bibirnya. "Hemm, melihat usiamu, engkau tidak lama lagi hidup di dunia, akan tetapi agaknya engkau sudah bosan hidup. Nah, kalau engkau ingin mati, majulah!"

Kakek itu mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya, gerakannya mantap dan kuat sekali ketika tubuhnya menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar disusul tangan kanan yang mencengkeram ke arah kepala lawan. Gerakannya itu seperti gerakan seekor harimau buas yang menggunakan kedua kaki depan untuk mencengkeram dan dari jari-jari kedua tangannya terdengar suara berkerotokan tulang-tulang yang amat kuat! Namun, Siangkoan Wi Hong sudah dapat mengelak dengan gerakan lincah.

Sementara itu, ketika tadi mendengar disebutnya nama Pak-san-kui, dua orang pemuda itu terkejut bukan main dan saling pandang. Kini, rasa kagum dan suka di dalam hati Thian Sin mulai berubah oleh rasa marah. Pamannya, atau ayah angkatnya, sudah bercerita tentang Pak-san-kui, bahkan Han Tiong sendiri bersama ibunya pernah menjadi tawanan Pek-san-kui, kemudian menjadi tawanan yang diperlakukan manis seperti tamu-tamu agung.

Pak-san-kui adalah datuk kaum sesat di wilayah utara dan ternyata pemuda ini adalah putera datuk itu! Pantas saja demikian lihai dan juga kaya raya. Dan mendengar jawaban-jawaban pemuda itu terhadap Kang-thouw-kwi, mendengar betapa pemuda itu telah mencemarkan gadis cucu kakek itu, Han Tiong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia berfihak kepada Kang-thouw-kwi walaupun dia sendiri tidak pernah mengenalnya dan tidak tahu orang macam apa adanya kakek itu.

Sedangkan Thian Sin kini diam-diam ingin sekali mencoba kepandaian Siangkoan Wi Hong yang dalam pandangannya kini nampak sebagai scorang pemuda yang sombong, angkuh dan memandang rendah orang lain! Memang ada sifat-sifat yang mengagumkan hatinya terdapat pada diri pemuda itu, akan tetapi setelah dia mengetahui bahwa pemuda itu adalah putera Pak-san-kui yang pernah mengganggu ayah dan ibu angkatnya, timbul rasa tidak senang dan bermusuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Wi Hong.

"Heiiiiittttt...!" Untuk kesekian kalinya kakek itu menyerang dengan dahsyatnya. Dari gerakannya di waktu menyerang, nampak jelas betapa benci dan marahnya kakek itu kepada Siangkoan Wi Hong dan semua serangannya itu adalah serangan maut yang amat dahsyat dan berbahaya. Namun, pemuda itu benar-benar memiliki kelincahan yang luar biasa dan dengan gin-kang yang lebih sempurna, dia selalu dapat mengelak dan menghindarkan diri dari setiap serangan, bahkan membalas pula dengan tamparan-tamparan yang tidak kalah hebatnya. Akan tetapi, kalau pemuda itu lebih mengandalkan kelincahannya sehingga selalu dapat mengelak dari serangan lawan, sebaliknya Kang-thouw-kwi ini lebih mengandalkan kekebalan tubuhnya sehingga biarpun sudah tiga kali dia terkena tamparan tangan pemuda itu, namun dia hanya terhuyung saja dan tidak terluka.

"Hemm, engkau masih dapat bertahan juga?" kata Siangkoan Wi Hong setelah pertandingan itu berlangsung lima puluh jurus dan melibat betapa kakek itu tidak roboh oleh tiga kali pukulannya.

Kini dia mengubah gerakan silatnya dan ternyata dia mempergunakan gerakan meliuk-liuk seperti seekor ular. Kedua lengannya itu seperti kepala ular yang mematuk-matuk dan kini setiap patukan itu ditujukan kepada jalan darah maut dari tubuh lawan.

Menghadapi serangan ini yang agaknya merupakan satu di antara ilmu-ilmu simpanan pemuda itu, Kang-thouw-kwi mulai terdesak hebat dan beberapa kali dia terhuyung terkena totokan-totokan yang sebenarnya merupakan totokan-totokan maut, akan tetapi agaknya kekebalan tubuh kakek itu yang membuat dia hanya terhuyung saja.

Marahlah Kang-thouw-kwi. Memang dia sudah tidak mempedulikan keselamatan nyawanya lagi. Maka dia lalu mengeluarkan teriakan panjang dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang, kemudian, bagaikan seekor kerbau yang marah, dia lari ke depan dengan kepala menunduk, seperti seekor kerbau merendahkan diri dan hendak menerjang fihak lawan menggunakan kepalanya untuk menyeruduk! Melihat ini, Siangkoan Wi Hong tersenyum dan pemuda ini lalu berdiri tegak, sengaja memasang perutnya untuk diseruduk sambil bertolak pinggang dengan sikap angkuh sekali.

Dua orang pemuda Lembah Naga memandang dengan mata terbelalak. Dari Cia Sin Liong mereka pernah mendengar akan adanya ilmu serangan menggunakan kepala ini. Kepala yang terlatih baik dapat menyeruduk tembok sampai jebol dan kalau kepala yang terlatih dan sudah kebal itu menyerang lawan, maka akibatnya amat berbahaya, tulang-tulang iga akan patah-patah dan setidaknya isi perut akan terguncang dan terluka parah!

Akan tetapi pemuda itu bukannya siap menyingkir atau menangkis, sebaliknya malah memasang perutnya, sengaja membiarkan perutnya untuk diseruduk! Mereka dapat menduga pemuda itupun memiliki sin-kang yang amat kuat dan dengan tenaga sin-kang yang memenuhi perut, memang dapat juga dia menerima serudukan itu tanpa terluka karena perutnya terlindung oleh hawa yang padat dan kuat, dan paling hebat dia akan terdorong saja tanpa mengalami luka.

Akan tetapi kalau tenaga sin-kangnya itu tidak jauh lebih kuat daripada tenaga dorongan kepala lawan, banyak bahayanya dia akan menderita luka guncangan di dalam perutnya. Kang-thouw-kwi yang merundukkan kepalanya itu, dengan kerling mata ke depan diapun melihat posisi lawan, maka dia merasa dipandang rendah dan kemarahannya memuncak. Dia mengerahkan seluruh tenaga karena dia mengandalkan kalah menangnya dalam serangan terakhir ini. Larinya makin kencang dan setelah jarak antara dia dan lawan tinggal dua meter lagi, tubuhnya lalu meloncat dan meluncur ke depan, kepalanya lebih dulu mengarah perut lawan yang sengaja dikembungkan itu.

Akan tetapi, begitu kepala itu menyentuh perut, tiba-tiba saja perut yang dikembungkan itu tiba-tiba membalik menjadi dikempiskan dan dari dalam perut itu timbul daya sedot yang amat kuat sehingga kepala itu tersedot masuk ke dalam rongga perut sampai ke bawah hidung! Dan kedua jari tangan Siangkoan Wi Hong sudah bergerak dengan kecepatan kilat menotok ke arah kedua pundak lawan tiba-tiba menjadi lumpuh tergantung lemas!

Bukan main kagumnya hati Kang-thouw-kwi. Dia merasa betapa kepalanya seolah-olah memasuki sebuah perapian yang panas sekali. Maklum dia akan kelihaian pemuda ini, maka diapun cepat mengerahkan sin-kang di tubuhnya untuk menahan karena dia tidak dapat meronta lagi untuk melepaskan diri, apalagi setelah kedua lengannya lumpuh tertotok itu.

Akan tetapi, betapapun dia menahannya, tetap saja dia merasa kepalanya seperti direbus dan perlahan-lahan, seluruh tubuhnya mulai menggigil, dia maklum bahwa sekali dia kehilangan kesadaran, dia akan tewas!

Han Tiong dan Thian Sin yang melihat peristiwa ini, diam-diam terkejut bukan main dan mereka itu kagum akan kelihaian Siangkoan Wi Hong. Tahulah mereka bahwa kini nyawa kakek itu berada delam bahaya, apalagi melihat betapa pemuda itu dengan berdiri dan bertolak pinggang masih mengerahkan sin-kang untuk membunuh kakek itu, sedangkan tubuh kakek itu mulai menggigil, kedua lengannya lumpuh seperti seekor cecak yang kepalanya terjepit pintu, hanya kedua kaki saja yang meronta sedikit. Thian Sin tak dapat menahan kemarahannya lagi, akan tetapi dengan sikap tenang dia lalu bangkit dari bangkunya, menghampiri ke tengah ruangan itu. Siangkoan Wi Hong memandang kepadanya, agaknya merasa heran dan tidak dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh pemuda pelajar yang lemah namun pemberani itu.

"Kakek bodoh, kalau kepandaianmu hanya sebegini, bagaimana kau berani bermain gila di depan putera Pak-san-kui?" kata Thian Sin lirih sambir menggunakan tangan kirinya menepuk pinggul kakek itu yang menonjol.

"Plak-plak-plak!" Tiga kali dia menepuk dan akibatnya sungguh hebat. Mula-mula wajah Siangkoan Wi Hong berubah pucat, kemudian pada tepukan ke tiga, pemuda itu meloncat ke belakang sambil melepaskan kepala kakek itu dari jepitan perutnya dan dia kini berdiri sambil menarik napas panjang untuk melindungi perutnya yang tadi tergetar hebat, matanya menatap wajah Thian Sin. Dia tadi merasa betapa ada tenaga yang amat dingin menyerbu ke perutnya melalui kepala kakek itu, yang membuat seluruh isi perutnya terasa dingin sampai menusuk jantung. Maka dia terkejut sekali dan terpaksa melepaskan korbannya.

Kakek itu begitu terlepas lalu terguling dan sekali Thian Sin menyambar pundaknya dan menariknya bangun, ternyata dia telah terbebas dari totokan! Melihat keadaan yang gawat ini, Han Tiong cepat menghampiri adiknya dan dia sudah menjura dengan sikap hormat sekali kepada Siangkoan Wi Hong. "Ah, Saudara Siangkoan, adikku telah berlaku lancang, harap kau sudi memaafkan kami dan suka menghabiskan urusan dengan orang tua ini sampai di sini saja."

Siangkoan Wi Hong masih terkejut sekali dan dia sudah melupakan kakek itu, kini seluruh perhatiannya tercurah kepada dua orang tamunya yang benar-benar mengejutkan hatinya ini. Mendengar ucapan Han Tiong, dia hanya berkata, "Bukan aku yang mencari perkara, melainkan dia."

Han Tiong lalu menghadapi kakek itu dan berkata, "Loenghiong, berlaku nekat bukanlah sikap yang bijaksana dan gagah. Membuang nyawa dengan sia-sia bukan merupakan obat untuk menyembuhkan penyakit dalam keluargamu."

Kakek itu kini sudah terbuka matanya, tahu bahwa dua orang muda itu telah menyelamatkan nyawanya dan bahwa mereka itu lihai bukan main. Tepukan-tepukan pada pinggulnya tadi mendatangkan hawa dingin luar biasa yang meluncur melalui tubuhnya dan sampai di kepalanya, membuat perut yang menjepit kepalanya terpaksa melepaskannya. Dia tahu berhadapan dengan orang-orang pandai, maka diapun menarik napas panjang dan menjura kepada Thian Sin dan Han Tiong.

"Aku tua bangka yang tiada berguna memang seharusnya lebih keras mendidik cucu, salah kami sendiri dan terima kasih atas pertolongan ji-wi taihiap." Maka diapun pergi dari tempat itu tanpa berpamit lagi kepada Siangkoan Wi Hong yang memandang tak peduli karena kini dia terus memandang kepada dua orang muda itu.

Setelah kakek itu pergi, barulah dia berkata sambil memandang kepada dua orang muda itu berganti-ganti.

"Hemm, kiranya dugaan dan kecurigaanku ternyata benar! Kalian adalah dua orang pandai yang menyembunyikan kepandaian dan berpura-pura lemah dan bodoh." Dia menatap tajam kepada Han Tiong, lalu berkata. "Dan bukankah Saudara Cia Han Tiong ini benar-benar putera Pendekar Lembah Naga yang pernah menjadi tamu ayah heberapa tahun yang lalu?"

Han Tiong tahu bahwa kini tidak mungkin lagi baginya untuk menyembunyikan diri. Dengan tenang diapun berkata, "Dugaanmu memang benar, sobat. Aku sekeluarga pernah menerima penghormatan dari Pak-san-kui, ayahmu."

"Dan aku adalah Ceng Thian Sin!" Thian Sin menyambung cepat.

"She Ceng...?" Siangkow Wi Hong terkejut memandang pemuda tampan yang pandai pula bersajak dan bernyanyi itu.

"Benar!"

"Kalau begitu... mendiang Ceng Han Houw..."

"Dia adalah ayahku!"

"Ah, jadi engkau inilah puteranya yang dikabarkan terlepas dari pembasmian dan berhasil menghilang itu? Sungguh tak kusangka akan dapat bertemu dengan dua orang seperti kalian!" Siangkoan Wi Hong nampak gembira bukan main, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.

Diam-diam Han Tiong terkejut mendengar pengakuan Thian Sin. Adiknya itu sungguh lancang sekali memperkenalkan diri. Mereka masih berada di kota raja dan memperkenalkan diri sebagai putera Ceng Han Houw yang dimusuhi pemerintah itu sungguh amat berbahaya. Maka dia cegat menjura ke arah Siangkoan Wi Hong.

"Saudara Siangkoan, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu kepada kami. Nah, perkenankan kami untuk melanjutkan perjalanan."

Akan tetapi, pemuda hartawan itu cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata dengan cepat, "Nanti dulu, tahan dulu, sahabat-sahabatku yang baik! Setelah mengetahui siapa kalian, dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak mungkin aku membiarkan kalian pergi begitu saja tanpa lebih dulu berkenalan dengan ilmu silat kalian. Kesempatan baik ini tak boleh kulepaskan begitu saja! Kalian harus lebih dulu menandingi aku dalam pibu, baru kulepaskan kalian pergi!"

"Akan tetapi, kami bukanlah musuh-musuhmu!" Han Tiong membantah dan menolak.

Siangkoan Wi Hong tertawa gembira. "Ha-ha-ha! Sahabat atau musuh bagiku sama saja, asal orangnya lihai. Tidak seperti kakek kerbau tadi yang menjemukan! Bagiku punya teman lihai atau musuh lihai, itulah yang amat menyenangkan. Sekarang, putera Pendekar Lembah Naga dan putera Pangeran Ceng Han Houw, kedua-duanya merupakan pendekar-pendekar sakti yang namanya pernah menggemparkan dunia, telah berada di sini berhadapan dengan aku, maka bagaimanapun juga kalian harus menandingi aku dalam adu ilmu silat!" Setelah berkata demikian sebelum dua orang pemuda itu menjawab, Siangkoan Wi Hong bertepuk tangan tiga kali dan bermunculan enam orang dari pintu belakang.

Mereka ini bukan lain adalah pemuda tinggi besar dan lima orang temannya yang pernah mengganggu dua orang pemuda itu di pasar. Si tinggi besar itu memandang kepada dua orang pemuda Lembah Naga dengan senyum mengejek dan mereka semua menanti perintah dari tuan muda mereka.

"Kia Tong, sekarang engkau dan kawan-kawanmu boleh mencoba mereka ini. Hati-hati, mereka berdua bukanlah orang-orang lemah seperti yang kalian kira," kata Siangkoan Wi Hong dengan senyum gembira.

"Tapi, kongcu, perlukah kami berenam yang maju? Biarkan saya sendiri menghajar dua cacing buku ini!" kata Si Tinggi Besar yang dipanggil Kia Tong itu.

Sepasang mata Siangkoan Wi Hong biasanya lembut dan ramah itu tiba-tiba mendelik dan suaranya terdengar ketus, "Tolol! Kalian maju berenam pun jangan harap akan menang!"

Terkejutlah Kia Tong dan dia tidak berani membantah pula, lalu memberi isyarat kepada lima orang temannya untuk maju kersama.

Sementara itu, Thian Sin sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Tiong-ko, sekali ini kita tidak bisa membiarkan tikus-tikus ini berlagak. Biarkan aku menghajar mereka!"

Han Tiong juga maklum bahwa sekarang tidak mungkin lagi mereka menyingkirkan diri dan menghindarkan perkelahian, maka dia mengangguk, akan tetapi berkata dengan suara penuh peringatan, "Ingat, jangan kau membunuh orang, Sin-te!"

Giranglah hati Thian Sin memperoleh perkenan kakaknya ini. Dia lalu melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu. Dengan anggukan kepalanya, Siangkoan Wi Hong lalu memberi isyarat kepada enam orang itu yang segera maju mengepung Thian Sin. Si Tinggi Besar masih bersikap sombong, karena betapapun juga, dia masih memandang rendah kepada pemuda yang kelihatan lemah dan yang pernah melarikan diri tunggang-langgang ketika dia mengganggunya di pasar itu.

Melihat betapa enam orang itu hanya mengepungnya, Thian Sin membentak, "Tikus-tikus busuk, majulah kalau kalian memang berani!"

Si Tinggi Besar menjadi marah. "Serbu...!" dia memberi aba-aba dan lima orang pembantunya serentak maju menyerang Thian Sin dari lima jurusan. Mereka berlima ini merupakan pembantu-pembantu Siangkoan Wi Hong, maka tentu saja kepandaian mereka sudah cukup tangguh, lebih tinggi dibandingkan dengan para tukang pukul biasa saja. Maka kini serangan merekapun merupakan serangan gaya silat yang cukup kuat dan cepat, bukan sekedar mengandalkan tenaga kasar belaka.

Thian Sin teringat akan pesan kakaknya, maka dia menahan kemarahannya dan tidak ingin menurunkan tangan maut. Akan tetapi teringat betapa dia dan kakaknya dihina di pasar, betapa buah-buah yang dibelinya jatuh berhamburan di atas tanah, betapa dia dan kakaknya ditertawakan dan diejek, maka kini dia menggerakkan tangan menangkis setiap pukulan sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang! Terdengar bunyi "krek!" setiap kali dia menangkis dan lima kali dia menangkis pukulan lima orang itu. Akibatnya, lima orang itu terpelanting roboh dan ketika mereka merangkak bangun, mereka mengaduh-aduh sambil memegangi lengan mereka yang tadi tertangkis karena lengan mereka itu ternyata telah patah tulangnya dan tentu saja mereka tidak dapat menyerang lagi.

Rasa nyeri membuat mereka meringis dan melangkah mundur sambil memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak. Juga Siangkoan Wi Hong terkejut bukan main. Dia memang sudah dapat menduga akan kelihaian Thian Sin putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu, akan tetapi tidak disangkanya bahwa pemuda yang halus itu ternyata demikian tangkas, kuat dan ganas, bertangan besi, sekali tangkis mematahkan lengan lima orang penyerangnya!

Tahulah dia bahwa orang-orangnya itu sama sekali bukan merupakan tandingan pemuda ini akan tetapi untuk mencegahnya dia sudah terlambat, karena kini Si Tinggi Besar sudah menyambar sebatang golok besar dari rak senjata dan dengan marah dia sudah menerjang dengan goloknya ke arah Thian Sin. Kalau dia mau, tentu saja Siangkoan Wi Hong dapat dan masih ada kesempatan untuk mencegah pembantunya ini, akan tetapi dia memang ingin melihat bagaimana Thian Sin akan menghadapi serangan golok dari pembantunya yang cukup lihai ini.

Thian Sin tetap tidak bergerak dari tempatnya. Dia menanti sampai bacokan golok itu menyambar dekat dengan kepalanya, lalu tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis golok besar itu dengan jari-jari tangannya dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.

"Krokkk!" Golok itu patah menjadi dua potong dan secepat kilat tangan Thian Sin bergerak dua kali disusul gerakan kaki dua kali dan... tubuh Si Tinggi Besar itu terlempar, terjengkang dan terbanting ke belakang, goloknya terlepas jauh.

Dia tidak dapat merangkak bangkit seperti teman-temannya tadi karena kalau teman-temannya itu hanya menderita tulang sebelah lengan yang patah, dia sendiri menderita patah tulang kedua lengan dan kedua kakinya! Terpaksa teman-temannya, dengan sebelah tangan saja, membantunya dan menggotongnya keluar dari tempat itu!

Siangkoan Wi Hong menjadi semakin kagum akan tetapi juga terkejut. Pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw itu benar-benar hebat dan bertangan maut, pikirnya. Teringat dia akan cerita tentang mendiang pangeran yang pernah menjagoi di dunia kang-ouw itu dan diam-diam diapun bersikap waspada karena maklum bahwa pemuda itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan. Akan tetapi dengan wajah penuh senyum ramah dia melangkah maju menghadapi Thian Sin sambil menjura, "Ah, kiranya ilmu kepandaian Saudara Ceng amat hebat dan tinggi! Sungguh aku seperti katak dalam tempurung, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata!"

Akan tetapi Han Tiong sudah menjura kepadanya, "Saudara Siangkoan harap suka maafkan adikku, dan perkenankanlah kami pergi dari sini dan tidak merusak suasana persahabatan antara kita."

Siangkoan Wi Hong menoleh kepada Han Tiong. Dia memang seorang pemuda yang cerdik sekali. Dia sudah mendengar akan hubungan antara Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong dengan mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran itu merupakan kakak angkat dari Cia Sin Liong, dan juga ada hubungan darah antara isteri pangeran itu dengan Pendekar Lembah Naga, yaitu saudara misan, keduanya adalah cucu-cucu dari pendiri Cin-ling-pai. Maka diam-diam diapun melakukan pilihan. Menurut riwayat sang pangeran, maka keturunan ini lebih condong untuk menjadi segolongan dengan dia, sedangkan pemuda she Cia itu tentu saja merupakan ahli waris Cin-ling-pai dan tetap menjadi musuh golongannya. Maka, sedapat mungkin dia harus menjadikan Ceng Thian Sin ini sebagai sebagai sahabat, sedangkan Cia Tiong harus dimusuhinya!

"Ah, Saudara Cia Han Tiong. Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak peduli apakah kalian menjadi kawan atau lawan, bagiku sama saja asalkan kawan atau lawan itu lihai, semua menyenangkan hatiku. Keturunan mendiang Pangeran Ceng Han Houw sudah jelas amat hebat kepandaiannya dan membuat hatiku kagum sekali, tidak tahu sampai di mana kelihaian keturunan dari ketua Cin-ling-pai. Apakah lebih hebat daripada kepandaian keturunan Pangeran Ceng? Kiranya begitulah, dan aku ingin sekali mencoba kepandaianmu. Mari, majulah!" Jelas bahwa kini pemuda hartawan itu menujukan tantangan kepada Cia Han Tiong.

Akan tetapi pancingan dan tantangannya itu tidak mengenai sasaran. Han Tiong menggelengkan kepalanya dan berkata, "Aku datang ini bukan untuk berkelahi, melainkan memenuhi undanganmu, sebagai kenalan."

"Hemm, apakah engkau takut, Saudara Cia?"

"Terserah penilaianmu," jawab Han Tiong tenang.

Akan tetapi, Thian Sin sudah mengerutkan alisnya dan wajahnya menjadi merah. "Siapa bilang kami takut padamu?" bentaknya. "Tiong-ko, biarlah aku melawan si sombong ini!"

Thian Sin tidak memberi kesempatan kepada kakaknya untuk menjawab dan dia langsung maju menghadapi Siangkoan Wi Hong sambil membentak, "Tidak perlu kakakku turun tangan, akupun sudah cukup untuk menandingimu!"

Biarpun hatinya menyesal mengapa pemuda keturunan ketua Cin-ling-pai itu tidak melayaninya dan kini bahkan putera pangeran itu yang maju, akan tetapi Siangkoan Wi Hong tidak menolak. Betapapun juga dia harus menunjukkan kelihaiannya dan karena selama ini dia belum pernah kalah oleh siapapun juga, timbul semacam kesombongan di dalam hatinya dan kepercayaan diri yang berlebihan sehingga dia memandang ringan semua orang.

"Baik sekali, biarlah kita main-main sebentar, Saudara Ceng!" Baru saja kata-katanya terhenti, tangannya sudah melakukan serangan.

Dengan tangan terkepal, tangan itu menyambar dari pinggang kanannya, dengan kepalan terputar amat kuatnya menyambar ke arah pusar Thian Sin! Pemuda ini tahu akan bahayanya pukulan seperti itu. Kepalan terputar itu laju seperti peluru baja saja dan dapat minimbulkan luka-luka hebat di dalam rongga perut, maka dia pun cepat menggerakkan lengan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah dada lawan.

"Dukkk!" Tangkisan Thian Sin itu bertemu dengan lengan Siangkoan Wi Hong, membuat mereka berdua tergetar, dan pemuda hartawan itu juga menggunakan lengan kirinya untuk menangkis hantaman tangan kiri dengan jari-jari terbuka yang amat kuat dan yang akan mampu mematahkan tulang-tulang dadanya itu.

"Dukk!" Kembali kedua lengan mereka bertemu dan keduanya tergetar hebat.

Hal ini mengejutkan Siangkoan Wi Hong karena dari pertemuan lengan dua kali ini saja maklumlah dia bahwa Thian Sin memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat! Maka, mengingat betapa pemuda ini tadi merobohkan semua pembantunya, dan melihat kenyataan akan kuatnya tenaga sin-kangnya, Siangkoan Wi Hong tidak berani memandang rendah lagi.

Senyumnya menghilang dari wajahnya yang tampan dan mulailah dia menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Kedua tangannya mengeluarkan hawa pukulan dahsyat ketika dia menghujankan serangan kepada Thian Sin.

Namun Thian Sin sudah siap menghadapinya. Pemuda Lembah Naga inipun sudah tahu bahwa putera Pak-san-kui ini merupakan seorang lawan yang tangguh, maka diapun cepat menggerakkan tubuhnya untuk mengelak, menangkis dan juga membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.

Terjadilah serang menyerang, saling pukul elak dan tangkis bertubi-tubi. Berkali-kali kedua lengan mereka saling bertemu, makin lama makin kuat sehingga pertemuan itu seperti menggetarkan seluruh ruangan dan kadang-kadang kalau pertemuan antara kedua lengan itu amat kuatnya, tubuh mereka tidak hanya tergetar, bahkan terdorong mundur. Pertandingan itu makin lama makin seru dan agaknya mereka itu seimbang, baik mengenai kecepatan maupun tenaga.

Setelah lewat lima puluh jurus dan belum dapat mendesak lawannya sama sekali, Siangkoan Wi Hong baru benar-benar terkejut karena tahulah dia bahwa kepandaian Thian Sin ternyata tidak kalah olehnya! Dia lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan menyerang lawan dari atas, dengan kedua lengan bergerak-gerak, kedua tangan membentuk cakar seperti seekor burung garuda yang menyambar-nyambar dari atas.

"Brettt-brettt...!" Thian Sin meloncat ke belakang dengan kaget.

Serangan lawan yang amat cepat dan aneh itu biarpun telah dielakkan dan ditangkisnya, tetap saja masih mengenai pundaknya dan membuat bajunya terobek di bagian kedua pundaknya! Dia terkejut sekali sungguhpun kulit dagingnya dilindungi kekebalan Thian-te Sin-ciang dan tidak terluka. Memang gerakan lawan itu amat aneh dan tidak mudah menghadapi seorang lawan yang menyerang dari atas seperti itu. Ilmu silatnya dilatih untuk menghadapi lawan sebagai manusia, yaitu yang bergerak di sekeliling dirinya, bukan menghadapi manusia burung yang datang dari atas.

Setelah berhasil merobek baju di kedua pundak lawan, timbul kembali kesombongan Siangkoan Wi Hong dan diapun tertawa dengan gembira. Hal ini membuat wajah Thian Sin menjadi merah dan dia sudah menjadi marah sekali.

"Wuuutt... wuuuttt...!" Angin menyambar-nyambar hebat ketika dia menggunakan pukulan dan tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat hebat.

Siangkoan Wi Hong terkejut bukan main karena hawa pukulan itu saja sudah terasa olehnya dan dia cepat berloncatan mundur.

"Sin-te, jangan...!" Han Tiong memperingatkan dan Thian Sin sadar bahwa kalau dia mendesak lawan dengan pukulan-pukulan sakti itu, memang kalau sampai lawan terkena mungkin saja dia akan melakukan pembunuhan.

Maka diapun cepat mengubah gerakannya dan kini dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Dengan ilmu silat yang tangguh di bagian pertahanan ini, dia mampu membendung serangan-serangan lawan yang menggunakan ilmu silat seperti burung garuda beterbangan itu, mampu mengelak, menangkis dan juga membalas serangan. Betapapun juga, tetap saja dia berada di fihak yang diserang dan didesak, kira-kira dalam perbandingan satu kali menyerang tiga kali diserang! Hal ini membuat Thian Sin merasa penasaran sekali. Memang hebat sekali ilmu silat lawannya itu.

Memang ilmu yang dimainkan Siangkoan Wi Hong itu adalah ilmu silat keluarganya yang amat diandalkan dan hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan tangguh. Ilmu silat itu diberi nama Go-bi Sin-eng-jiauw (Cakar Garuda Go-bi) yang bersumber pada ilmu silat Go-bi-pai. Akan tetapi oleh Pak-san-kui dasar ilmu silat Go-bi-pai itu telah diubah dan ditambah sedemikian rupa, dicampur dengan ilmu Eng-jiauw-kang yang berasal dari daerah Korea sehingga terciptalah ilmu Go-bi Sin-eng-jiauw yang amat ampuh itu. Selain gerakan dalam ilmu silat ini aneh, tubuh berloncatan seperti garuda yang beterbangan menyambar-nyambar lawan, juga jari-jari tangan yang membentuk cakar itu seolah-olah berubah menjadi cakar baja yang amat kuat, dapat dipakai untuk menahan senjata tajam dan memiliki kekebalan seperti ilmu Thian-te Sin-ciang!

Sudah seratus jurus mereka bertanding dan Thian Sin masih terus terdesak, bahkan beberapa kali tubuhnya kena cakaran yang untung tidak sampai terluka, hanya bajunya saja yang robek karena kulit tubuhnya telah terlindung oleh sin-kangnya. Hal ini membuat Siangkoan Wi Hong tertawa-tawa dan membuat Thian Sin makin penasaran.

Ketika dia melihat tangan kiri lawan yang berbentuk cakar itu menyerang ke arah mukanya, dia cepat menangkis, akan tetapi cakaran tangan kanan lawan ke arah dadanya sama sekali tidak ditangkis atau dielakannya.

"Plak!" Cakar tangan kanan Siangkoan Wi Hong mengenai dada Thian Sin.

"Ahhhhh...!" Siangkoan Wi Hong berteriak kaget, matanya terbelalak ketika dia merasa betapa tangan kanannya itu melekat pada dada lawan dan tenaga sin-kangnya membanjir keluar melalui telapak tangannya yang tersedot oleh dada lawan.

Dalam kagetnya, pemuda ini mengerahkan sin-kang untuk menarik kembali tangannya, akan tetapi makin hebat dia mengerahkan tenaga, makin hebat pula tenaga sin-kangnya tersedot keluar.

"Thi-khi-i-beng..." teriaknya kaget dan mukanya menjadi pucat.

Dia telah mendengar dari ayahnya akan ilmu yang istimewa ini. Akan tetapi sebelum dia sempat melakukan sesuatu, tangan kiri Thian Sin sudah menyambar dan menampar punggungnya.

"Bukkk!" Tubuh Siangkoan Wi Hong terpelanting dan dia roboh, lalu muntahkan darah segar.

Hantaman dengan tenaga Thian-te Sin-ciang pada punggungnya itu biarpun tidak melukai punggung yang terlindung kekebalan, namun telah mengguncangkan isi dadanya dan membuat dia terluka di sebelah dalam, tidak terlalu parah namun cukup membuat dia muntah darah dan tidak mungkin melanjutkan pertandingan.

Melihat ini, Han Tiong cepat meloncat menghampiri dan dengan ilmu It-sin-ci, yaitu dengan satu jari telunjuk tangan kanannya, dia menotok tiga tempat, di sepanjang tulang punggung Siangkoan Wi Hong untuk menyembuhkan orang itu, sambil menariknya bangun, lalu dia menjura dengan hormat.

"Harap Saudara Siangkoan sudi memaafkan kami berdua," katanya, kemudian dia memberi isyarat kepada adiknya dan mereka berdua meninggalkan ruangan itu, terus keluar dari dalam rumah dan bergegas meninggalkan kota raja yang oleh Han Tiong dianggap sebagai tempat berbahaya itu.

Siangkoan Wi Hong masih terlalu kaget dan merasa terpukul kehormatannya karena dia telah dikalahkan, maka diapun hanya menarik napas panjang berulang-ulang. Dia tahu dari totokan-totokan tadi bahwa kepandaian Cia Han Tiong kiranya bahkan lebih lihai daripada kepandaian Thian Sin yang telah mengalahkannya. Timbul rasa penasaran dan dia ingin memperdalam ilmunya kepada ayahnya dan diapun merasa kecewa, mengapa tadi dia tidak mempergunakan yang-kim untuk melawan pemuda Lembah Naga itu. Dia telah menderita rugi sebagai akibat memandang rendah lawan. Akan tetapi menyesalpun tiada guna. Dua orang pemuda itu telah pergi dan dalam keadaan terluka itu tak mungkin dia akan dapat melawan lagi. Dengan hati penuh rasa penasaran dan menyesal, hari itu juga Siangkoan Wi Hong meninggalkan kota raja dan kembali ke Tai-goan, tempat tinggal Pak-san-kui Siangkoan Tiang, ayahnya yang hidup sebagai datuk kaya raya.

***

LANJUT KE JILID 013--->
<---Kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar