Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 12

Dewi Maut Jilid 12

<--kembali

“Kau menuduh dengan membuta, Kok Beng Lama! Dan andaikata anakku membunuh seseorang, itupun tentu dilakukan karena suatu hal. Kau minta ganti nyawa? Nyawamu sendiri gantinya!”

“Jangan...!” Cia Keng Hong berseru, akan tetapi Sie Biauw Eng sudah menerjang dengan dahsyatnya, menghantam ke arah dada dan perut Kok Beng Lama dengan pukulan bertubi-tubi dari Ilmu Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun) yang selain mengandung racun juga didorong oleh tenaga yang amat dahsyat dan kuat.

“Plak-plak-desss...!” Sie Biauw Eng kalah tenaga dan dia terlempar ke belakang, terhuyung sampai beberapa langkah.

“Losuhu, tak baik memamerkan kepandaian di sini!” Cia Kem Hong menjadi tidak senang melihat isterinya terdesak itu dan dia sudah menggerakkan tanngannya, siap untuk menghadapi Lama yang sebetulnya adalah guru dari puteranya sendiri itu. Akan tetapi pada saat itu, Kun Liong moloncat di tengah-tengah dan cepat dia berkata dengan suara lantang.

“Supek! Gak-hu! Tahan dulu...! Tidak ada gunanya pertempuran di antara kita sendiri. Ada urusan dapat diurus dengan kebenaran. Supek, sebelum supek dan supekbo mendengarkan urusannya, mengapa telah menyalahkan kami? Harap supek berdua suka lebih dulu mendengarkan apa yang telah terjadi, baru mengambil keputusan. Kalau, supek berdua menganggap saya bersalah dalam urusan ini, saya menyerahkan nyawa saya kepada supek berdua untuk kedosaan saya memaksa Giok Keng ikut datang ke Cin-ling-pai.”

Mendengar ucapan Kun Liong itu, Cia Keng Hong menjadi sadar dan dia cepat memegang lengap isterinya, mencegah isterinya yang sudah melolos sabuk sutera putih yang merupakan senjata yang amat ampuh itu. “Kun Liong benar, kita tidak boleh menuruti nafsu amarah, biarlah kita dengarkan apa yang telah terjadi sebetulnya. Kun Liong, ceritakanlah apa yang telah terjadi, mari kita duduk sambil bicara dengan baik-baik.”

Biarpun masih marah, akan tetapi Sie Biauw Eng tidak mau membantah suaminya, dan dia menggandeng tangan puterinya, diajak memasuki ruangan tamu di mana mereka semua duduk. Cia Keng Hong memberi isyarat kepada semua murid Cin-ling-pai untuk menjauh dan jangan mendekati tempat itu karena yang akan dibicarakan adalah urusan keluarga.

“Nah, berceritalah,” Cia Keng Hong berkata kepada Kun Liong.

Dengan suara penuh duka, Kun Liong lalu menceritakan tentang kepergiannya mencari Yap In Hong untuk membujuk adiknya itu dan memberitahukan tentang perjodohannya dengan Bun Houw seperti yang ditetapkan oleh Cia Keng Hong. Kemudian betapa ketika dia pulang ke rumahnya, dia menemukan isterinya telah tewas dibunuh orang dan menurut penuturan kedua orang pelayannya, isterinya itu baru saja bercekcok dan bertempur melawan Cia Giok Keng.

“Saya sendiri tidak berani menuduh adik Giok Keng yang membunuh isteri saya, akan tetapi supek dan supekbo dapat mendengarkan sendiri penuturan kedua orang pelayan saya yang sengaja saya bawa ke sini untuk menjadi saksi.” Kun Liong menutup penuturannya dan menghapus dua butir air mata yang menitik keluar dari matanya karena dia teringat kepada isterinya.

Cia Giok Keng dan Sie Biauw Eng mendengarkan dengan muka berubah pucat. Beberapa kali mereka menoleh kepada puteri mereka, akan tetapi Giok Keng hanya menundukkan mukanya yang juga menjadi pucat.

Dengan suara tenang namun agak tergetar Cia Keng Hong lalu minta kepada dua orang pelayan itu untuk bercerita. Khiu-ma yang lebih berani daripada Giam Tun lalu menceritakan semua pengalaman mereka di malam itu, kadang-kadang diseling oleh Giam Tun yang memperkuat keterangan pelayan itu, betapa Giok Keng malam-malam datang dan marah-marah, kemudian betapa nona majikan Yap Mei Lan, melarikan diri kemudian Giok Keng bertempur dengan nyonya majikan mereka, betapa ketika melerai, keduanya dipukul pingsan oleh Giok Keng. Kemudian, ketika mereka sadar, mereka melihat nyonya majikan mereka telah tewas di atas lantai! Tentu saja Khiu-ma bercerita sambil menangis dan kembali Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng saling pandang dengan muka pucat.

“Hemm, Cia-taihiap dan toanio. Ketahuilah bahwa ketika saya datang ke Leng-kok, saya melihat Kun Liong hanya menangis di depan kuburan seperti orang gila. Akulah yang memaksa dia untuk menuntut atas kematian anakku dan memaksa puterimu untuk ikut bersama kami ke Cin-ling-pai karena kami menuntut keadilan. Aku tahu bahwa Cia-taihiap adalah seorang yang bijaksana dan adil, seorang pendekar besar yang menjunjung tinggi kebenaran, maka harap saja tidak goyah keadilannya setelah menghadapi urusan yang dilakukan oleh anak sendiri.”

Ucapan ini membangkitkan semangat Cia Keng Hong. Dia menekan lengan isterinya yang sudah hendak membantah, kemudian dia menoleh kepada puterinya, dengan suara keren dia memanggil, “Cia Giok Keng...!”

“Ayahhh...!” Giok Keng menjawab sambil menundukkan mukanya.

“Berlututlah, engkau menghadapi pertimbangan yang harus dilakukan seadil-adilnya!”

Mendengar suara ayahnya yang keren, Giok Keng tidak berani membantah dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut di tengah ruangan itu. Dengan tekanan tangan dan pandang mata Cia Keng Hong melarang isterinya yang hendak menghampiri puterinya sehingga ibu yang penuh kekhawatiran ini hanya memandang pucat.

“Cia Giok Keng, seorang gagah lebih menjunjung kebenaran daripada nyawa! Kehilangan nyawa bukan apa-apa, akan tetapi kehilanqan nama dan kehormatan merupakan kutukan bagi keluarga turun-temurun. Hayo ceritakan semua dengan jelas, dari awal sampai akhir tentang perbuatanmu di rumah Yap Kun Liong dan apa yang mendorong kau melakukan perbuatan itu!”

Cia Keng Hong bukanlah seorang bodoh. Biarpun dia memegang keras kebenaran dan keadilan, akan tetapi sebagai ayah tentu saja diapun ingin menolong anaknya, maka dia menuntut anaknya menceritakan semua termasuk sebab-sebab yang membuat anaknya itu menyerbu ke rumah Kun Liong!

Dengan suara lirih namun jelas Giok Keng lalu bercerita, dimulai dari peristiwa di dalam pesta Phoa Lee It di mana dia bentrok dengan Yap In Hong yang dianggap menghina adiknya. Dia bercerita dengan terus terang, tentang kemarahannya dan tentang cegahan suaminya yang tidak dihiraukan. Betapa dengan kemarahan meluap dia mendatangi rumah Kun Liong dengan maksud menegur Kun Liong tentang kelakuan adiknya, akan tetapi Kun Liong tidak berada di rumah. Juga dia tidak melewatkan peristiwa dengan Mei Lan puteri Kun Liong yang membangkitkan kemarahannya pula sehingga dalam kemarahannya itu, dia telah membuka rahasia anak itu sehingga anak itu melarikan diri.

“Karena saya membuka rahasia anak itu, Hong Ing marah dan menyerangku. Kami bertempur dan saya memukulnya pingsan. Dua orang pelayan ini datang dan kuanggap hendak membela nyonya majikan mereka, maka juga kupukul pingsan. Kemudian saya pergi meninggalkan rumah itu. Demikianlah, ayah...”

Wajah Cia Keng Hong menjadi sebentar pucat sebentar merah, karena dia merasa marah sekali dengan kelakuan puterinya.

“Karena terbukanya rahasia itu, anak saya Mei Lan melarikan diri sampai kini belum juga dapat ditemukan ke mana larinya,” kata Kun Liong dengan sedih.

“Biarpun dia tidak mengaku telah membunuh anakku, akan tetapi andaikata dia tidak membuat anakku pingsan dan meniggalkannya seperti itu, belum tentu anakku mati! Perbuatannya itu sama juga dengan membunuh anakku!” Kok Beng Lama berkata marah.

Cia Keng Hong mengepal tinjunya, menggigit bibirnya. Perbuatan Giok Keng dianggapnya keterlaluan. Dengan mata terbelalak penuh kemarahan dia memandang puterinya. Agaknya Giok Keng merasa akan pandang mata ayahnya ini, dia mengangkat muka dan melihat pandang mata ayahnya dia meratap, “Ayah... ampunkan... aku tidak membunuhnya, ayah...!”

“Anak durhaka! Engkau menodai nama keluargamu, nama orang tuamu! Engkau ribut dengan Yap In Hong, mengapa menimpakan kesalahan kepada Kun Liong? Engkau marah kepada In Hong dan Kun Liong, mengapa engkau menimpakannya pula kepada Mei Lan dan Hong Ing yang tidak berdosa sehingga mengakibatkan matinya Hong Ing dan minggatnya Mei Lan? Masih belum tahukah engkau akan kedosaanmu yang amat besar itu?”

“Ayah... aku... aku bersalah, harap ayah mengampunkan aku...”

“Hemm, orang tua tentu saja mengampuni anaknya, akan tetapi mereka yang kehilangan isteri, kehilangan anak tentu saja tidak akan dapat mengampunimu. Apa kaukira kami akan dapat melindungi dan membela orang berdosa, biarpun dia itu anak kami sendiri? Kau tahu apa yang patut dilakukan seorang gagah yang telah menyadari akan kedosaannya!” berkata demikian, tangan Cia Keng Hong bergerak dan sebatang pedang meluncur dan menancap di depan Giok Keng, di atas lantai, sampai gagang pedang itu tergetar dan mengeluarkan bunyi mengaung.

Aihhh...!” Sie Biauw Eng menjerit.

“Ayahhh...!” Giok Keng juga menjerit.

Akan tetapi Cia Keng Hong memegang lengan isterinya, Sie Biauw Eng meronta-ronta. “Tidak...! Jangan...! Tidak boleh begitu! Suamiku, kau tidak boleh menyuruh dia membunuh diri! Tidak... tidaaaakkk...!” Biauw Eng meronta-ronta ingin melepaskan diri dari pegangan tangan suaminya. Cia Keng Hong lalu menggerakkan jari tangannya dan cepat sekali menotok tengkuk isterinya. Sie Biauw Eng menjadi lemas dan pingsan di atas kursinya, dirangkul suaminya yang memandangnya dengan muka pucat sekali.

“Cia Giok Keng, daripada melihat engkau terbunuh dan terhukum di tangan orang lain, lebih baik melihit engkau mati sebagai seorang gagah yang menebus dosanya sendiri!” berkata Cia Keng Hong pula, dengan suara dingin, sambil merangkul isterinya yang pinsan dan memandang kepada puterinya yang masih berlutut.

Dengan muka pucat Giok Keng memandang pedang yang masih tergetar itu, lalu dia mengangkat muka memandang ayahnya. Tiba-tiba sinar mata itu mengeluarkan cahaya kekerasan, dan suaranya tidak tergetar atau menangis lagi ketika dia berkata. “Ayah! Untuk yang terakhir kali aku katakan bahwa demi nama Langit dan Bumi, aku tidak membunuh isteri Kun Liong. Akan tetapi memang betul, bahwa aku melampiaskan kemarahanku di rumah Kun Liong itu mencemarkan nama ayah dan mengotorkan muka ayah, biarlah aku akan mencuci muka ayah dengan darahku!”

Cia Giok Keng mencabut pedang itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dari luar ruangan tamu itu, “Isteriku... tunggu dulu...!” Dan muncullah Lie Kong Tek yang tinggi besar dengan muka pucat.

“Suamiku...!”

“Isteriku, Giok Keng, apa yang akan kaulakukan ini...?” Lie Kong Tek menubruk dan mereka berangkulan di atas lantai. Giok Keng menangis tersedu-sedu, dan Lie Kong Tek lalu merampas pedang yang telah dicabut oleh Giok Keng. Dengan muka keren Lie Kong Tek menoleh ke arah Cia Keng Hong dan sejenak meraka saling beradu pandang mata.

“Gak-hu, kecewa hati saya menyaksikan keadaaan di sini. Gak-hu terkenal sebagai seorang pendekar sakti, sebagai ketua Cin-ling-pai yang besar, akan tetapi ternyata gak-hu melanggar hak seorang suami! Dahulu, di waktu masih kecil, memang Cia Giok Keng adalah puterimu dan segala hal mengenai dirinya adalah tanggung jawab dan hakmu. Akan tetapi sekarang dia adalah nyonya Lie Kong Tek dan akulah sebagai suaminya, sebagai ayah dari anak-anaknya, yang bertanggung jawab penuh dan berhak pula mengenai mati hidupnya! Mengadili seorang isteri tanpa sepengetahuan suaminya, benar-benar merupakan perbuatan yang paling tidak tahu aturan!”

Ucapan dan sikap yang amat gagah itu seperti menikam ulu hati Cia Keng Hong, dan dia berkata, “Lie Kong Tek, engkau benar, maafkanlah aku. Akan tetapi isterimu itu... anakku itu... dia melakukan dosa besar sekali... dia harus menebusnya sebagai seorang gagah, kalau tidak, dia akan menodai nama keluarga kita semua turun-temurun.”

“Baik, kesalahan isteri adalah tanggung jawab suaminya pula. Kematian orang yang sama sekali bukan dibunuh oleh isteriku, akan tetapi tuduhannya dijatuhkan atas diri isteriku, biarlah ditebus dengan nyawa pula. Istriku, Giok Keng, kaujaga baik-baik anak-anak kita... selamat tinggal!”

“Aihh, jangan...!” Akan tetapi terlambat, Lie Kong Tek sudah menusuk dadanya sendiri dengan pedang itu sampai menembus punggungnya!

Giok Keng menjerit dan menubruk suaminya, Lie Kong Tek memaksa tersenyum dan memandang isterinya. “Giok Keng... semua noda tercuci oleh darahku... kaurawatlah... Seng-ji dan Ciauw Si...” Laki-laki yang gagah perkasa yang usianya baru empat puluh tahun kurang itu memejamkan mata dan kepalanya terkulai di atas pangkuan isterinya, Giok Keng menjerit dan terguling pingsan di atas mayat suaminya!

Sunyi sekali di situ untuk beberapa saat. Sie Biauw Eng masih pingsan di dalam pelukan suaminya. Giok Keng pingsan di atas mayat suaminya. Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan menahan napas, Khiu-ma terisak menangis. Sunyi sekali, kesunyian yang mencekik leher. Kemudian terdengar suara Cia Keng Hong, lemah dan gemetar bercampur isak tertahan.

“Apakah kalian berdua sudah puas sekarang...?”

Kun Liong menjatuhkan dirinya berlutut dan dengan suara penuh penyesalan dia berkata, “Supek... teecu menyesal sekali, teecu yang menyebabkan semua ini terjadi, tecu telah tertimpa malapetaka dan kini teecu menyeret supek sekeluarga ikut menderita pula...”

“Yap Kun Liong, aku tidak bisa menyalahkan engkau. Selama orang menuruti nafsu hati sendiri, timbullah sebab dan akibat yang saling berkait dan tiada berkeputusan. Memang kita semua sedang dilanda kemalangan. Baru beberapa hari saja delapan orang murid dibunuh orang dan pedang pusaka Siang-bhok-kiam dicuri, terjadi ketika kami mengunjungimu. Sekarang, isterimu dibunuh orang dan... suaami Giok Keng menebus dengan nyawanya. Ya Tuhan, dosa apa gerangan yang kita lakukan semua...?”

“Supek...” Kun Liong terkejut sekali dan makin menyesal dia mengapa terjadi peristiwa yang demikian hebatnya. Semestinya dia mencegah mertuanya melakukan kekerasan seperti ini. Giok Keng telah kematian suaminya, dan biarpun demikian, tetap saja Hong Ing tidak akan hidup kembali! Sungguh kematian Lie Kong Tek itu amat sia-sia dan dia merasa menyesal sekali. Semua peristiwa mengerikan sakarang ini hanya menjadi hasil dari pemikiran yang penuh dengan kemarahan dan dendam, dan kebencian, sehingga tentu saja menghasilkan hal yang amat buruk. Dia sendiri masih tetap sangsi apakah benar Giok Keng yang membunuh isterinya. Kalau tidak demikian, bukankah perbuatannya ini sama dengan menyebabkan kematian suami Giok Keng! Sama dengan dia sendiri yang membunuh Lie Kong Tek?

Dalam saat pendek itu, setelah menyaksikan kematian Lie Kong Tek, melihat Giok Keng pingsan di atas mayat suaminya, melihat supekbonya pingsan dalam rangkulan supeknya yang wajahnya menjadi pucat, matanya sayu dan dilanda tekanan batin yang amat besar itu, seakan-akan terbukalah mata batin Kun Liong. Peristiwa kematian Hong Ing, adalah suatu kejadian yang tak dapat dirobah oleh apapun juga. Isterinya telah mati. Ini merupakan suatu kenyataan. Pikirannya yang mengacau perasaan hatinya membuat dia berduka. Kedukaan mengeruhkan batin, menimbulkan kemarahan dan dendam kebencian, lebih-lebih lagi dengan datangnya Kok Beng Lama sehingga menimbulkan pula tindakan kekerasan yang dilakukan mereka terhadap Giok Keng. Maka terjadilah bunuh diri dari Lie Kong Tek dan akibat ini tentu akan menjadi sebab dari peristiwa lain yang akan berekor panjang. Dia menyesal sekali!

“Supek, kematian saudara Lie Kong Tek adalah karena kecerobohan teeeu...”

Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. “Yang sudah terjadi tak dapat dirobah lagi, Kun Liong. Biarpun agaknya bukan tangan Giok Keng yang membunuh isterimu, akan tetapi kiranya sama saja, kematian isterimupun mungkin karena kecerobohan Giok Keng. Penyesalan tiada gunanya. Giok Keng sudah melakukan kesalahan besar dan dia kini menanggung akibatnya...”

Seperti tertikam rasa ulu hati Kun Liong mendengar ucapan yang keluar dengan suara penuh duka dan kesabaran itu. Kematian isterinya mungkin juga disebabkan oleh penyelewengan dalam kehidupannya dan seperti ada penerangan memasuki otaknya! Hong Ing kiranya tidak akan bertempur melawan Giok Keng kalau saja isterinya itu tidak marah mendengar Giok Keng membuka rahasia Mei Lan, dan kalau tidak bertempur melawan Giok Keng, isterinya tidak akan pingsan sehingga mudah saja dibunuh orang! Jadi penyebabnya adalah karena adanya Mei Lan di situ, dan Mei Lan adalah hasil dari hubungan gelapnya dengan ibu kandung anak itu, yaitu Lim Hwi Sian (baca cerita Petualang Asmara)! Kalau tidak ada Mei Lan, kalau tidak pernah terjadi perbuatannya yang menyeleweng dengan Hwi Sian, agaknya belum tentu kalau isterinya tercinta itu dibunuh orang! Inikah yang dinamakan hukum karma? Semua sebab akibat sesungguhnya adalah hasil dari perbuatannya sendiri! Yang penting setiap saat sadar akan segala gerak-gerik diri pribadi lahir batin, bukan membiarkan diri terseret ke dalam lingkaran setan berupa sebab dan akibat!

“Supek benar sekali! Biarlah teecu siap untuk menanggung segala yang akan terjadi... harap supek maklum bahwa sebaiknya teecu dan gak-hu mohon diri dan pergi dari sini sekarang juga.”

Cia Keng Hong memandang kepada isterinya dan kepada puterinya yang masih pingsan, lalu mengangguk. “Kurasa sebaiknya begitulah, Kun Liong.” Dan kepada Kok Beng Lama ketua Cin-ling-pai itu berkata. “Selamat jalan, losuhu, dan harap maafkan saja penyambutan kami yang begini tidak menyenangkan atas kunjungan losuhu.”

Pendeta gundul itu sejak tadi termenung dan memandang kepada mayat Lie Kong Tek, hanya mendengarkan percakapan mereka dan kelihatan seperti orang linglung. Mendengar ucapan Cia Keng Hong, dia lalu berkata, suaranya seperti orang yang hendak menangis, “Sambutanmu baik sekali, taihiap, terlalu baik malah! Anakku mati, dan di sini aku malakukan dosa besar. Hong Ing, ayahmu telah menjadi gila...!” Setelah berkata demikian, tanpa pamit lagi pendeta itu berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

Cia Kong Hong menghela napas panjang dan hanya mengangguk ketika Kun Liong berpamit dan memandang pendekar itu pergi diikuti oleh dua orang pelayannya. Pikiran pendekar sakti ini melayang-layang. Betapa sayang dia kepada Kun Liong, betapa kagum dan suka dia kepada pendekar itu yang dahulu ingin sekali dia ambil menjadi mantunya, menjadi suami Giok Keng. Akan tetapi, kalau pemuda itu mau memenuhi permintaannya, adalah Giok Keng yang tidak setuju dan puterinya itu akhirnya menikah dengan seorang pria lain, pilihannya sendiri, yaitu Lie Kong Tek. Dan sekarang, putrinya menimbulkan gara-gara, menyebabkan kematian isteri Kun Liong dan peristiwa ini disusul pula dengan kematian suami Giok Keng. Mengapa di antara kedua orang yang dahulu dia inginkan menjadi jodoh masing-masing itu kini nampaknya seolah-olah selalu timbul pertentangan di antara mereka?

“Keng-ji...mana anakku...?” Sie Biauw Eng sudah siuman begitu dia sadar, dia segera mencari-cari Giok Keng dengan pandang matanya. Ketika melihat Giok Keng menggeletak pingsan di atas mayat suaminya, dia menjerit dan menubruk.
“Giok Keng...! Eh, mantuku...apa yang terjadi...?” Sie Biauw Eng memeriksa dan melihat bahwa Giok Keng tidak apa-apa, hanya pingsan, akan tetapi Lie Kong Tek telah tewas dengan pedang menancap di dada menembus punggung. Dia mencelat ke depan suaminya dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak.

“Apa yang terjadi? Kenapa Kong Tek mati? Dan mana iblis-iblis keparat tadi?” Matanya jelalatan ke kanan kiri seperti mata orang gila.

Cia Keng Hong menahan kegetiran hatinya dan dia cepat bangkit dan memeluk isterinya dengan penuh kasih sayang. Betapa isterinya yang tercinta ini di hari tuanya mengalami kegoncangan batin yang demikian hebat!

“Tenanglah, isteriku. Tenanglah, segala telah terjadi dan tidak dapat dirobah lagi oleh kegelisahan dan kegoncangan kita. Giok Keng tidak apa-apa, akan tetapi suaminya telah mengambil keputusanan pendek, mewakili isterinya dan membunuh diri untuk menebus dosa isterinya.”

“Ohhh...! Si keparat Kun Liong! Iblis tua Kok Beng Lama! Di mana mereka? Biar aku mengadu nyawa dengan mereka!” Sie Biauw Eng menjerit-jerit, akan tetapi suaminya merangkulnya, dan mendekapnya, sambil berbisik-bisik menghibur.

“Biauw Eng...isteriku... apakah setelah tua engkau malah tidak mau tunduk kepadaku...?”

Mendengar bisikan suaminya ini, lemaslah seluruh tubuh Sie Biauw Eng dan dia menangis di dalam pelukan suaminya. Akan tetapi mendengar penjelasan suaminya yang dilakukan dengan sabar sambil berbisik-bisik, dia mulai dapat melihat kenyataan dan mulai sadar bahwa betapapun juga, Kun Liong yang menerima pukulan batin hebat, karena isterinya mati dibunuh orang itu sama sekali tidak dapat dipersalahkan dan betapapun juga, Giok Keng telah melakukan kesalahan sehingga mengakibatkan puteri Kun Liong melarikan diri dan isterinya dalam keadaan pingsan terpukul oleh Giok Keng telah dibunuh orang!

Maka dalam keadaan sadar ini Sie Biauw Eng sambil bercucuran air mata dapat menghibur Giok Keng ketika isteri ini siuman dan menangis sesenggukan, menangisi kematian suaminya yang mengorbankan diri untuk mewakilinya menebus dosa! Cia Keng Hong mengumpulkan semua anggauta Cin-ling-pai dan dengan suara keren dan memperingatkan semua anak buah Cin-ling-pai untuk merahasiakan apa yang telah terjadi di Cin-ling-san pada hari itu dan hanya mengabarkan bahwa mantu ketua Cin-ling-pai telah meninggal dunia karena menderita sakit. Para anak buah Cin-ling-pai memang tidak ada yang melihat bagaimana matinya Lie Kong Tek, akan tetapi karena mereka melihat bahwa pada waktu itu Cin-ling-pai kedatangan pendekar Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama bersama dua orang pelayan dari Leng-kok, diam-diam mereka menduga bahwa kematian mantu ketua mereka tentunya ada hubungannya dengan para tamu itu! Akan tetapi mereka tidak berani menduga sembarangan dan semua menutup mulut setelah menerima pesan dan peringatan keras dari ketua mereka.

Untuk kedua kalinya selama beberapa pekan saja, Cin-ling-pai berkabung dan jenazah Lie Kong Tek dikubur di lereng Gunung Cin-ling-san, dihadiri oleh para penduduk di sekitar pegunungan itu. Cia Giok Keng kelihatan tenang-tenang saja dan sudah tidak banyak menangis lagi, akan tetapi wajahnya agak pucat, sinar matanya sayu dan muram, rambutnya agak awut-awutan, dan kering, pakaian berkabung berwarna putih itu menambah kemuraman wajahnya.

***

Hidup! Betapa penuh rahasia,
manusia tenggelam timbul
dalam permainannya,
terhimpit di antara suka dan duka,
matang mengeriput di antara
tangis dan tawa.
Selalu mengejar kesenangan
selalu menghindari ketidak-senangan
menimbulkan perbandingan
dan pilihan
oleh dwi unsur (im-yang)
manusia dipermainkan.
Mengapa suka?
mengapa duka?
mengapa mengejar kepuasan?
mengapa menghindari kekecewaan?
Hadapilah semua ini
dengan kewaspadaan wajar dan murni,
tidak menolak tidak menerima
hanya memandang apa adanya!
Bebas dari pengalaman dan pengetahuan
tidak mencari tidak menyimpan
di dalam apa adanya, kenyataan
mengandung keindahan,
cinta kasih, kebenaran!

Dua orang anak yang baru datang disusul ke Sin-yang oleh lima orang anak murid Cin-ling-pai itu berlutut dan bersembahyang sambil menangis di depan peti mati ayah mereka. Mereka itu adalah Lie Seng, putera Lie Kong Tek yang berusia dua belas tahun, dan Lie Ciauw Si, puterinya yang berusia sepuluh tahun. Giok Keng yang menemani anak-anaknya itu bersembahyang, tak dapat menahan isaknya, sungguhpun dia telah menahan-nahannya.

“Ibu, kenapa ayah mati?” Lie Seng bertanya setelah selesai bersembahyang, memandang kepada ibunya dan matanya yang tajam dan membayangkan kekerasan hati seperti mata ibunya itu memancarkan pertanyaan yang penuh sedih dan kecurigaan.

“Ayahmu meninggal dunia karena sakit mendadak yang amat berat, Seng-ji,” jawab Giok Keng yang telah dipesan oleh ayahnya untuk tidak menceritakan semua peristiwa itu kepada anak-anaknya karena hal itu hanya akan menanamkan bibit dendam yang kelak akan melibat kehidupan anak-anak itu sendiri.

“Akan tetapi ketika ayah berangkat, dia berada dalam keadaan sehat, sama sekali tidak sakit!” Lie Ciauw Si berkata. Anak ini lebih mirip ayahnya, pendiam, akan tetapi serius dan cerdas.

“Ayah kalian meninggal karena sakit mendadak yang amat berat, anak-anakku,” kembali Giok Keng berkata.

“Ibu, ayah pernah bilang bahwa terlalu sering seorang yang mempelajari ilmu silat mati terbunuh lawan. Apakah ayah mati terbunuh orang?” kembali Lie Seng bertanya.

Dan andaikata ayah terserang penyakit mendadak, di sini ada kong-kong (kakek yang memiliki kepandaian tinggi, masa tidak bisa mengobatinya sampai sembuh?” Lie Ciauw Si bertanya lagi.

Mendengar pertanyaan anak-anaknya yang mendesak itu, Giok Keng menjadi kebingungan akan tetapi untung ada Cia Keng Hong yong mendengar pertanyaan-pertanyaan itu lalu berkata, “Lie Seng, biarpun benar seperti kata-kata mendiang ayahmu, bahwa orang yang mempelajari ilmu silat mati terbunuh lawan, akan tetapi matinya itu bukan karena mempelajari ilmu silat, melainkan karena ulahnya sendiri yang suka berlawanan atau bermusuhan. Dan ayahmu, biar sejak kecil mempelajari ilmu silat, tidak pernah mencari permusuhan dengan orang lain. Tidak, dia tidak mati terbunuh orang, dan kau harus percaya kepada keterangan ibumu. Ciauw Si, kong-kongmu ini hanya seorang biasa saja, dan memang mungkin bisa mengobati orang sakit yang belum semestinya mati, akan tetapi mana ada kekuasaan untuk menentukan mati hidupnya seseorang? Sudahlah, cucu-cucuku, ayah kalian telah meninggal dunia dan hal ini tidak dapat dirobah lagi, dan tidak ada gunanya kalau kalian merasa berduka dan menyesal. Yang penting sekarang kalian harus menumpahkan semua kasih sayang kalian kepada ibu dan selalu mendengar kata-kata ibu kalian yang tentu lebih mengerti daripada kalian. Mengertikah?”

“Baik, kong-kong.” Kedua orang anak itu mengangguk, akan tetapi melihat mulut dan pandang mata mereka, maklumlah Cia Keng Hong bahwa hati kedua orang anak kecil ini masih merasa penasaran.

Setelah peti jenazah Lie Kong Tek dikubur, Cin-ling-pai masih berada dalam suasana berkabung. Cia Giok Keng yang biasanya lincah itu kini menjadi pendiam, wajahnya selalu muram dan diam-diam dia menyesali semua perbuatannya sendiri karena diapun kini insyaf dan sadar bahwa kematian suaminya itu sesungguhnya menjadi akibat dari perbuatannya sendiri, merupakan rentetan dari sebab-sebab yang dimulai oleh sikapnya yang pemarah. Karena dia sendiri merasakan betapa pedihnya hati ditinggal mati suami, maka kini dia dapat pula membayangkan betapa hancur rasa hati Kun Liong melihat isterinya mati dibunuh orang! Dan dia merasa manyesal sekali. Setelah kini kemarahannya mereda, dia dapat memaklumi sikap Kun Liong dan Kok Beng Lama yang memaksanya ikut ke Cin-ling-pai karena mereka menuntut keadilan dari ketua Cin-ling-pai. Minta keadilan dari ayahnya dan tidak turun tangan sendiri saja sudah membuktikan betapa Kun Liong menghormat ayahnya. Andaikata dia sendiri yang menjadi Kun Liong, agaknya dia akan turun tangan secara langsung saja untuk membalas dendam! Akan tetapi, menginsyafi kesalahan sendiri memang merupakan hal yang paling sukar dilakukan di dunia ini oleh manusia. Giok Keng memang sudah menyadari kesalahannya, akan tetapi dia secara tidak sadar masih menutupi kesalahan itu dengan menyalahkan In Hong yang dianggapnya menjadi biang keladinya! Kalau saja In Hong tidak menghinanya di pesta itu, tentu tidak mungkin dia datang marah-marah ke rumah Kun Liong.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cin-ling-san kedatangan dua orang tamu wanita. Keduanya masih muda-muda dan cantik-cantik, dan kepada para anggauta Cin-ling-pai yang berjaga di luar mereka menyatakan hendak berjumpa dengan ketua Cin-ling-pai. Semenjak terjadinya peristiwa menyedihkan itu, para anggauta Cin-ling-pai mengadakan penjagaan siang malam dan Cia Keng Hong sudah memerintahkan agar tidak memperbolehkan siapapun juga memasuki pintu gerbang sebelum melapor kepada ketua dan memperoleh ijin ketua sendiri. Hal ini perlu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik, karena agaknya Cin-ling-pai selalu dikelilingi oleh bencana-bencana yang mengancam.

Melihat dua orang wanita muda yang cantik jelita, yang seorang membawa pedang di punggungnya, dan yang kedua, lebih muda dan memiliki kecantikan yang aneh, memandang dengan wajah berseri dan penuh harapan, para penjaga lalu bertanya siapa adanya mereka dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan ketua Cin-ling-pai.

“Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian anak murid Cin-ling-pai maka aku tidak perlu pula memperkenalkan nama. Urusanku hanya dengan ketua Cin-ling-pai maka aku hanya akan memperkenalkan nama kepadanya saja,” jawab gadis cantik yang membawa pedang dengan suara dingin dan pandang mata tajam.

“Aihh, kalau begitu bagaimana kami harus melapor kepada ketua kami, nona?” Seorang di antara anak murid Cin-ling-pai berseru, agak penasaran karena nona yang cantik jelita dan kelihatan gagah ini tidak mau memperkenalkan nama.

Tiba-tiba gadis remaja yang lebih muda itu berkata. “Namaku Yalima dan aku ingin bertemu dengan kanda Cia Bun Houw, harap kau suka berbaik hati memanggil dia keluar!”

Mendengar ini dua orang anak murid lalu berlari-lari ke dalam untuk melaporkan. Memang dua orang dara itu adalah Yalima dan Yap In Hong. Setelah dengan paksa merampas dara Tibet itu dari tangan Go-bi Sin-kouw, In Hong lalu mengajak Yalima pergi ke Cin-ling-san untuk menuntut agar Cia Bun Houw mengawini gadis ini dan dengan sendirinya dia sekalian hendak memutuskan tali perjodohan antara dia dengan pemuda putera ketua Cin-ling-pai. Tentu saja dia sama sekali tidak tahu akan peristiwa yang baru saja terjadi di Cin-ling-san dan kedatangannya didorong hati tidak senang akan sikap Cia Bun Houw yang dianggapnya tidak setia, sudah berpacaran dengan Yalima namun masih hendak mengikat jodoh dengan dia!

Mendengar bahwa dua orang gadis yang datang bertamu hendak bertemu dengan dia, dan yang seorang mengaku bernama Yalima hendak bertemu dengan Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai menjadi terheran-heran. Setelah banyak peristiwa aneh terjadi dan menimbulkan malapetaka, hati ketua Cin-ling-pai ini diliputi penuh keraguan, dan dia tidak melarang ketika dia menanti kunjungan dua orang tamunya itu ditemani oleh isterinya dan oleh Giok Keng.

Yap In Hong dan Yalima memasuki pintu gerbang, dan biarpun dia melihat banyak anak murid Cin-ling-pai yang memandangnya penuh kecurigaan dan keadaan mereka seperti dalam keadaan siap siaga, In Hong berjalan dengan langkah tenang saja. Akan tetapi diam-diam dia memperhatikan sekelilingnya. Para anggauta Cin-ling-pai itu kelihatan gagah-gagah dan lincah, gerak-gerik mereka jelas menunjukkan dasar ilmu silat yang tinggi, maka dia merasa heran mengapa tempat yang sekuat ini sampai dapat dibobolkan musuh yang berhasil mencuri pedang pusaka terkenal dari Cin-ling-pai itu. Sebaliknya, Yalima yang sudah mengharapkan akan dapat segera berhadapan dengan kekasihnya, tidak memperhatikan apa-apa kecuali memandang ke depan dengan wajah berseri-seri dan otomatis tangannya membereskan rambutnya yang terurai dan pakaiannya yang kusut.

Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng memandang dua orang gadis cantik jelita itu dengan sinar mata kagum dan heran karena suami isteri tua ini tidak mengenal mereka. Memang dua orang gadis itu amat mengagumkan. Yap In Hong memiliki kecantikan yang gagah dan sikapnya menimbulkan segan di hati orang yang memandangnya, karena jelas tampak bahwa orang tidak boleh main-main dengan dara yang kecantikannya diliputi kedinginan membeku itu. Sebaliknya, Yalima yang masih remaja dan kekanak-kanakan itu berwajah cerah dan ramah, sinar matanya berseri-seri dan mulutnya tersenyum penuh gairah hidup, akan tetapi mata gadis ini mencari-cari karena dia tidak melihat adanya Bun Houw di situ. Sebaliknya, In Hong juga memandang tajam penuh selidik dan alisnya agak berkerut ketika dia melihat Cia Giok Keng berada pula di tempat itu.

Dapat dibayangkan betapa munculnya Yap In Hong ini membuat Giok Keng merasa seolah-olah api di dalam dadanya yang sudah hampir padam itu berkobar lagi, kepanasan hatinya membara, mendatangkan kebencian dan kemarahan yang tak tertahankan lagi.

“Yap In Hong, bocah hina! Engkau datang mengantar kematian!” bentak Giok Keng dan dia sudah menerjang maju dengan pedang Gin-hwa-kiam di tangannya, melakukan serangan kilat dan maut karena dia maklum betapa lihai adik Kun Liong ini.

Yap In Hong dengan sikapnya yang dingin dan tenang, memang sudah selalu siap akan menghadapi segala kemungkinan. Dia tersenyum mengejek, dengan kecepatan mengagumkan dia mengelak ke kiri dan sekali tangannya meraba punggung, tampak sinar lihat dan pedangnya sudah tercabut dan terus balas menyerang dengan tusukan kilat ke arah lambung Giok Keng.

“Tranggg... cringgg... cringgg...!” Bunga api muncrat berhamburan ketika berkali-kali dua batang pedang bertemu, akan tetapi pertemuan pedang terakhir itu membuat Giok Keng terhuyung ke belakang sampai lima langkah.

“Engkau menyambut tamu dengan pedang? Bagus! Jangan kira aku takut!” In Hong mengejek dan kini dia manerjang ke depan dengan serangannya. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung cepat dan kuat sekali sehingga ketika Giok Keng memutar pedangnya menangkis, kembali nyonya muda ini terdesak hebat. Melihat ini, Sie Biuww Eng sudah mengeluarkan seruan keras dan nenek yang dahulu terkenal dengan gin-kangnya yang hebat itu telah mencelat ke depan, seperti seekor burung rajawali saja dia terbang ke situ dan dari atas dia mencengkeram dengan pengerahan tenaga Ngo-tok-ciang.

Mendengar sambaran angin dahsyat dari atas, In Hong terkejut sekali. Pedangnya sedang bergulat dengan sinar pedang Giok Keng, maka menggunakan pedangnya berarti membuka diri untuk serangan pedang dari depan, maka kini tangan kirinya yang bergerak ke atas hendak menangkap lengan nenek yang menyerangnya dari atas secara hebat itu.

“Dukkk!” Tubuh In Hong tergetar akan tetapi nenek Sie Biauw Eng juga terlempar dan begitu kakinya tiba di atas tanah, dia sudah melolos senjatanya yang amat ampuh yaitu Pek-in Sin-pian, sabuk sutera putih yang dahulu pernah mengangkat namanya di dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun Siu-li (baca cerita Siang-bhok-kiam)!

In Hong moloncat ke belakang, melintangkan pedangnya di depan dada, dan dia memandang dengan mata mengejek dan senyum memandang rendah. “Bagus, kiranya beginikah Cin-ling-pai yang tersohor itu, menyambut tamu dengan serangan-serangan senjata? Apakah engkau ketua Cin-ling-pai? Kalau begitu, mengapa tidak sekallan maju mengeroyok aku biar ramai?”

Wajah Cia Keng Hong menjadi merah sekali. Pertama-tama, dia marah kepada isteri dan puterinya yang terburu nafsu, dan kedua dia marah kepada gadis yang mulutnya amat tajam, lebih tajam dari pedangnya itu. Juga dia terkejut menyaksikan gerakan ilmu pedang dari gadis itu, yang selain aneh juga amat lihai, bahkan tenaga sin-kang dari gadis ini sudah tentu lebih kuat daripada tenaga isterinya!

“Kalian mundurlah! Sungguh tidak semestinya menuruti hati panas!” Ditegur dengan suara keren ini, Sie Biauw Eng dan Cia Giok Keng mundur, akan tetapi tidak menyimpan senjata mereka dan mata mereka masih memandang ke arah In Hong dengan penuh kemarahan. Cia Keng Hong lalu manghadapi In Hong yang masih memegang pedang dan dengan halus dia berkata, “Harap nona maafkan puteri kami. Menurut laporan, nona hendak bertemu dengan ketua Cin-ling-pai, nah, akulah ketua Cin-ling-pai. Nona siapa dan ada keperluan apa nona datang ke sini?” Biarpun tadi mendengar puterinya menyebut nama dara ini, dan kini melihat wajah In Hong yang persis dengan wajah mendiang sumoinya, Gui Yan Cu yang cantik jelita dia tidak meragu lagi bahwa dara ini adalah adik kandung Kun Liong, namun Cia Keng Hong bersikap keren karena melihat sikap dara itupun dingin dan garang.

In Hong sejenak memandang kepada dua orang wanita yang tadi menyerangnya, kemudian menoleh kepada Cia Keng Hong, menarik napas panjang dan menyarungkan kembali pedangnya, kemudian dia menjura kepada ketua Cin-ling-pai itu. “Harap locianpwe yang memaafkan saya karena kelancangan saya. Sudah lama saya mendengar akan nama besar ketua Cin-ling-pai dan ternyata memang sikap locianpwe amat mengagumkan hati saya. Saya bernama Yap In Hong dan... kiranya locianpwe telah tahu siapa saya...”

Hem, kalau tidak salah, engkau adalah puteri dari mendiang sumoi Gui Yan Cu dan suaminya, sahabatku yang baik Yap Cong San. Engkau adalah adik kandung dari Yap Kun Liong, bukan?”

“Dugaan locianpwe benar, dan karena ibuku adalah sumoi dari locianpwe, semestinya locianpwe adalah supek saya. Akan tetapi karena sejak lahir tidak ada hubungan, maafkan kalau saya menyebut dengan sebutan locianpwe.”

Cia Keng Hong menarik napas panjang. Tak disangkanya bahwa anak perempuan dari sumoinya yang lenyap sejak kecil itu kini bersikap seperti itu, kaku dan dingin, sama sekali berbeda dengan sikap Gui Yan Cu dahulu yang ramah, lincah, jenaka dan gembira serta hangat, seperti sinar matahari pagi.

“Kalau demikian yang kaukehendaki, terserah kepadamu, nona. Kemudian, urusan apakah yang kaubawa ke sini dan siapa pula gadis asing ini?”

“Locianpwe, kedatangan saya ini adalah untuk membicarakan soal ikatan jodoh yang diusulkan antara saya dan putera locianpwe, seperti yang pernah saya dengar dari kakak kandung saya Yap Kun Liong.”

Kembali Cia Keng Hong menyesal sekali mengapa gadis ini menyebutkan nama kakak kandungnya tanpa perasaan bersaudara sama sekali, seolah-olah yang bernama Yap Kun Liong adalah seorang asing baginya.

“Memang demikianlah tadinya hasrat hati kami, untuk menyambung kembali hubungan antara orang tuamu dengan kami. Lalu bagaimana kehendakmu?”

“Saya datang untuk membatalkan perjodohan itu. Ikatan yang dilakukan di luar tahu saya itu harus diputuskan.”

“Perempuan sombong! Siapa kesudian mempunyai adik ipar seperti engkau?” Tiba-tiba Giok Keng membentak, marah sekali.

“Hemm, gadis ini benar-benar lancang mulut dan tidak memandang mata kepada kita.” Sie Biauw Eng berkata kepada suaminya, “Sungguh tidak patut menjadi puteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu!”

Cia Keng Hong mengangkat tangan memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk diam, kemudiam dia menghadapi In Hong, berkata dengan suara keren “Tidak ada yang akan memaksamu berjodoh dengan putera kami, nona.”

In Hong merasa tidak enak juga, karena kata-kata dan sikapnya seolah-olah merendahkan keluarga ini, maka cepat-cepat dia berkata, “Harap locianpwe maafkan. Tidak ada maksud lain dalam penolakanku itu kecuali adanya kenyataan bahwa putera locianpwe itu yang bernama Cia Bun Houw, sudah mempunyai calon isteri, maka amatlah tidak baik kalau dijodohkan lagi kepada saya.”

“Eh, lancang mulut! Apa maksudmu menghina puteraku?” Sie Biauw Eng berseru.

“Hemm, nona. Apa maksud kata-katamu itu?” Cia Keng Hong juga bertanya, heran dan mulai tidak senang.

“Locianpwe, saya hanya mengatakan apa adanya dan tidak bermaksud menghina. Adik Yalima dari Tibet ini adalah calon isteri Cia Bun Houw dan mereka sudah saling mencinta, oleh karena itu tidaklah semestinya kalau Cia Bun Houw dijodohkan dengan orang lain. Demi keadilan, saya menuntut agar adik Yalima dijodohkan dengan Cia Bun Houw...”

“Lancang! Siapa kau yang hendak menentukan jodoh puteraku? Keparat!” Sie Biauw Eng memaki.

“Sudahlah, isteriku, jangan membikin ruwet urusan. Nona Yalima, benarkah apa yang diceritakan oleh nona Yap In Hong ini?” Cia Keng Hong kini memandang kepada Yalima. Seorang dara yang manis sekali dan tidak aneh kalau puteranya itu suka kepada nona ini, akan tetapi nona ini masih terlalu muda, masih kekanak-kanakan, sungguhpun harus diakuinya bahwa Yalima amat cantik jelita dan penuh semangat.

Muka Yalima menjadi merah sekali akan tetapi karena dia sudah bertekad untuk mencari Bun Houw, maka dia lalu dengan suara lancar namun agak kaku, menceritakan tentang keadaan dirinya, betapa dia dan Bun Houw sudah saling mencinta, betapa Bun Houw menolong dia ketika dia hendak diserahkan kepada pangeran di Lhasa oleh ayahnya dan betapa setelah Bun Houw pulang, kembali dia hendak dipaksa ayahnya untuk menjadi selir pangeran di Lhasa. Maka dia lalu minggat dan ditolong oleh Go-bi Sin-kouw, betapa kemudian dia hampir diperkosa oleh orang jahat dan ditolong oleh In Hong.

“Demikianlah, locianpwe, karena satu-satunya orang di dunia ini yang saya percaya dan saya cinta adalah Houw-koko, maka saya berusaha untuk menemuinya dan untuk menghambakan diri selama hidup saya kepadanya.” Yalima menutup ceritanya dengan kata-kata yang diucapkan dengan suara penuh harapan ini.

Sie Biauw Eng, mengerutkan alisnya, hatinya kecewa dan tidak senang sama sekali mendengar semua itu. Tidak jadi bermantukan Yap In Hong tidak apa-apa baginya, bahkan menyaksikan sikap nona itu diapun tidak sudi lagi untuk mengambil mantu, akan tetapi kalau puteranya harus berjodoh dengan gadis Tibet ini, tanpa campur tangan dia dan suaminya, sungguh dia merasa terhina dan tidak setuju! Akan tetapi, Cia Keng Hong yang bijaksana melihat betapa Yalima benar-benar setia dan mencinta Bun Houw, sungguhpun gadis itu masih terlalu muda dan dia sendiri bukan berarti suka mempunyai mantu gadis Tibet ini, akan tetapi untuk menyudahi urusan yang bisa menimbulkan keruwetan dengan In Hong yang sikapnya keras itu, dia berkata kepada In Hong.

Nona Yap In Hong, urusan jodoh adalah urusan pribadi keluarga kami. Hubungan antara kami dengan nona hanyalah tentang jodoh antara nona dan putera kami. Karena jelas bahwa nona tidak menerima ikatan jodoh itu, maka mulai saat ini rencana perjodoban itu kita batalkan saja. Adapun mengenai jodoh putera kami selanjutnya, tidak ada orang lain yang boleh mengaturnya. Harap saja engkau maklum akan hal ini!” Suara Cia Keng Hong ketika mengatakan kalimat terakhir itu bernada keras dan sejenak dia dan Yap In Hong saling beradu pandang mata. Akhirnya In Hong menundukkan matanya, tak tahan menghadapi sinar mata yang tajam dan penuh wibawa itu dan dia berkata.

“Saya tidak hendak mencampuri perjodohan orang lain, akan tetapi bagaimana dengan adik Yalima? Sebagai sesama wanita saya harus memperhatikan nasib dirinya yang terlunta-lunta karena mencari putera locianpwe.”

“Itupun adalah urusan kami sendiri. Yalima sebagai sahabat putera kami tentu kami terima sebagai tamu dan biarlah dia menanti di sini sampai putera kami pulang. Saya ulangi lagi, hal jodoh di antara mereka adalah urusan kami sekeluarga sendiri!”

Yap In Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia bersikeras, berarti dialah yang tidak benar, maka dia hanya mengangguk pendek dan berkata, “Baik, saya akan pergi sekarang. Saya percaya bahwa adik Yalima berada di tangan keluarga baik-baik. Akan tetapi kelak saya masih akan menyelidiki tentang nasibnya di sini. Selamat tinggal dan maafkan saya, locianpwe.” Setelah berkata demikian, Yap In Hong membalikkan tubuhnya pergi dari situ dengan sikap angkuh.

“Setan...!” Giok Keng dengan pedang terhunus hendak mengejar, juga Sie Biauw Eng memandang dengan kemarahan meluap.

“Bocah itu kurang ajar benar!”

Akan tetapi Cia Keng Hong meloncat dan menghadang mereka. “Ingat, dia adalah puteri mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dan sikapnya seperti itu bukanlah pembawaan wataknya. Tidak mungkin keturunan mereka berwatak demikian. Dia seperti itu tentulah karena gemblengan gurunya yang sejak kecil diikutinya. Sungguh kasihan dia...”

Yalima yang melihat ini semua menjadi bingung. Dia merasa kehilangan ketika ditinggalkan In Hong, akan tetapi diapun tidak mau meninggalkan orang-orang tua yang dia tahu adalah ayah dan ibu Bun Houw itu. “Enci In Hong adalah seorang yang amat baik budi, dia telah melawan dan menentang Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya yang jahat untuk menolong saya. Memang sikapnya dingin, akan tetapi hatinya dari emas...”

Ucapan Yalima ini diterima oleh Cia Keng Hong dengan mengangguk-angguk, akan tetapi Sie Biauw Eng dan Cia Giok Keng tidak setuju sungguhpun mereka hanya menyimpan rasa mendongkol dan tak senangnya di dalam hati saja.

“Ayah dan ibu, sayapun mohon diri untuk pergi sekarang juga!” Tiba-tiba Giok Keng berkata.

Ayah dan ibunya terkejut, menoleh dan memandang penuh selidik. “Keng-ji, sudah kukatakan bahwa tidak perlu engkau melanjutkan permusuhanmu yang tidak ada artinya itu terhadap In Hong. Dia marah kepada Bun Houw karena mendengar bahwa Bun Houw telah mencinta gadis lain, hal itu adalah lumrah!” Ayahnya menegur, menyangka bahwa puterinya akan mengejar In Hong, padahal dia tahu benar bahwa puterinya itu sama sekali bukan lawan In Hong yang dia tahu amat lihai.

“Tidak, ayah. Aku bukan hendak mengejar dan memusuhi In Hong. Aku ingin pergi melakukan penyelidikan dan menangkap pembunuh isteri Kun Liong. Sebelum pembunuhnya tertangkap, tidak akan lega hatiku dan hidupku selalu akan menderita batin. Seolah-olah roh suamiku mendesak kepadaku untuk mencari pembunuh itu, ayah dan ibu. Maka, boleh atau tidak, aku harus pergi mencari pembunuh Hong Ing, karena hanya dengan tertangkapnya pembunuh itulah maka nama keluarga kita akan tercuci dari noda.”

Sie Biauw Eng memegang lengan puterinya dan terisak. “Engkau benar, anakku, dan andaikata ayahmu memperbolehkan, aku akan menemanimu.”

“Tidak! Biarkan dia pergi sendiri. Dan akupun setuju dengan tekadmu itu, Keng-ji. Bahkan aku bangga dengan keputusanmu itu, karena engkaupun bertanggung jawab atas kematian Hong Ing.”

“Aku hanya titip... titip anak-anakku... ibu...”

Kedua orang wanita itu saling berpelukan. “Jangan khawatir, anakku. Aku akan menjaga cucu-cucuku...” kata Sie Biauw Eng.

“Keng-ji, niatmu itu baik sekali. Akan tetapi ingat baik-baik akan pesanku ini. Suamimu sudah mati dan tidak ada orang lain yang membunuhnya. Kun Liong dan Kok Beng Lama hanya menuntut keadilan dan sama sekali tidak memaksa suamimu membunuh diri. Oleh karena itu, kalau engkau kelak menaruh dendam dan memusuhi mereka, hal itu berarti bahwa engkau telah menanam bibit permusuhan yang akan mendatangkan akibat yang panjang.”

“Aku mengerti, ayah.”

“Dan In Hong, diapun bukan musuhmu. Dia bersikap marah-marah kepada Bun Houw karena dia menganggap Bun Houw menyia-nyiakan Yalima dan mempermainkannya. Tidak ada permusuhan pribadi antara dia dan kita. Jangan engkau memusuhi dia pula.”

Agak berat kini Giok Keng menjawab, akan tetapi akhirnya keluar juga dari bibirnya. “Baik, ayah.”

Maka berangkatlah Giok Keng diantar tangis ibunya yang merasa kasihan sekali kepada puterinya itu. Namun kepergian Giok Keng memang perlu dan penting sekali, bukan hanya untuk menebus kesalahan tindakannya akan tetapi juga untuk mencuci bersih noda yang mengotori keharuman nama keluarga mereka.

Tak lama, hanya dua hari setelah Giok Keng pergi, muncul Hong Khi Hoatsu, guru dari Lie Kong Tek di Cin-ling-pai! Kakek yang biasanya gembira dan jenaka ini telah mengunjungi muridnya di Sin-yang, akan tetapi mendengar dari para tetangga bahwa semua keluarga pergi ke Cin-ling-pai, maka dia cepat menyusul ke Cin-ling-pai. Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hatinya ketika dia mendengar akan kematian muridnya! Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tiga tahun ini menjatuhkan diri di atas kursi, mukanya pucat dan dia mendengarkan seperti kehilangan semangatnya akan penuturan Cia Keng Hong yang menceritakan semua dengan sejelas-jelasnya sehingga mengakibatkan Lie Kong Tek membunuh diri untuk mewakili isterinya yang disangka membunuh orang itu.

Namun, sebagai seorang ahli kebatinan yang bertingkat tinggi, akhirnya kakek ini menarik napas panjang dan mengoyangkan pundak. “Aihhh, begitulah hidup! Ribut-ribut di kala masih hidup, kalau sudah mati habislah kesemuanya! Kematian datang tanpa disangka-sangka...ahhh, keadaanmu jauh lebih hebat daripada penderitaan batinku mendengar kematian muridku yang seperti anakku sendiri, Cia-taihiap. Baru saja delapan orang muridmu tewas, pusaka dicuri orang, kini puterimu kehilangan suami secara menyedihkan. Ahhh, di mana adanya cucu-cucuku?”

Ketika Lie Seng dan Lie Ciauw Si yang diberi tahu datang berlarian lalu menangis sambil memeluk kakek yang mereka kenal baik dan yang mereka sayang karena Hong Khi Hoatsu juga sering sekali mengunjungi mereka, amat menyayang mereka dan kakek yang lucu ini pandai menghibur mereka, tak dapat kakek itu menahan keharuan hatinya dan air matanya bertitik di atas kedua pipinya yang penuh keriput!

Beberapa hari kemudian, Hong Khi Hoatsu minta dengan sangat kepada Cia Keng Hong agar diperkenankan membawa Lie Seng bersamanya, kembali ke Sin-yang menempati rumah muridnya itu sampai kembalinya Giok Keng. Dia merasa kesunyian setelah muridnya meninggal dan mantunya pergi, padahal kakek yang suka merantau ini menganggap rumah muridnya di Sin-yang sebagai tempat peristirahatan terakhir di hari tuanya. Dia ingin ditemani oleh cucunya yang disayangnya itu. Cia Keng Hong maklum akan penderitaan kakek itu, maka setelah bersepakat dengan isterinya, dan melihat betapa Lie Seng juga suka ikut bersama kakek itu, mereka menyetujui dan berangkatlah Hong Khi Hoatsu bersama Lie Seng kembali ke Sin-yang.

Suasana berkabung masih meliputi Cin-ling-pai. Semenjak terjadi peristiwa yang bertubi-tubi menimpa keluarganya itu, Cia Keng Hong lebih sering berada di dalam kamarnya dan bersamadhi. Kalau dia teringat akan nasib yang menimpa suami isteri Yap Cong San dan Gui Yan Cu, dua orang yang paling dikasihinya disamping isteri dan anak-anaknya sendiri, dia merasa terharu dan kasihan sekali. Peristiwa-peristiwa menyedihkan menimpa suami isteri itu (baca cerita Siang-bhok-kiam), kemudian mereka berdua itu terbunuh musuh-musuh di waktu usia mereka masih muda (baca cerita Petualang Asmara), dan kini putera mereka juga mengalami nasib yang buruk, kematian isterinya yang tercinta secara tidak wajar karena terbunuh orang dengan menggelap, dan puteri mereka berobah menjadi seorang dara yang biarpun berkepandaian sangat tinggi akan tetapi wataknya dingin dan menyeramkan!

Sie Biauw Eng juga mengalami pukulan batin yang berat, akan tetapi berkat adanya cucunya, Lie Ciauw Si, dia memperoleh hiburan dan setiap hari dia tidak pernah terpisah dari cucunya ini yang digemblengnya sendiri dengan ilmu-ilmu bun (tulis) dan bu (silat). Cin-ling-pai berada dalam keadaan prihatin!

***

Kota Kiang-shi bukan hanya terkenal karena kota itu cukup ramai dengan perdagangan, akan tetapi terutama sekali terkenal karena kota itu merupakan kota tempat hiburan. Ingin mencari wanita-wanita pelacur yang paling terkenal cantik dan pandai melayani kaum pria, golongan paling rendah sampai paling tinggi. Kiang-shi tempatnya! Ingin mengadu peruntungan dengan perjudian, sehingga dalam waktu semalam saja, seorang jutawan bisa kehabisan seluruh uangnya dan seorang biasa mungkin saja, biarpun agak langka, mendadak menjadi jutawan. Di Kiang-shi pula tempatnya!

Seorang seniman jalanan yang menceritakan keadaan kotanya yang tercinta itu dengan sajak-sajak sederhana yang dinyanyikan dengan suara serak dan iramanya dituntun oleh suara dua potong bambu yang dijepit di antara jari-jari tangannya sehingga menimbulkan suara “trak-tak-trak-tak-tak!” bernyanyi-nyanyi di depan toko-toko dan warung-warung mengharapkan sedekah orang. Penyanyi-penyanyi jalanan seperti ini kadang-kadang menggambarkan keadaan kota Kiang-shi dengan hidup sekali, bahkan tidak jarang di antara mereka yang memasukkan di dalam nyanyiannya itu cerita-cerita sensasi dan gosip tentang orang-orang tertentu di dalam kota sehingga banyak juga orang yang berminat mendengarkan mereka untuk sekedar mengetahui berita apa yang hangat dan yang dapat memancing ketawa sinis mereka hanya dengan mengeluarkan uang kecil sepotong.

Seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan berjalan-jalan malam hari ini, menyusuri jalan raya yang dipenuhi orang-orang yang berjalan hilir-mudik di kedua tepi jalan di mana toko-toko berjajar-jajar dengan penuh segala macam barang dagangan. Sinar-sinar penerangan berpencaran keluar dari toko-toko itu sehingga suasana menjadi meriah dan semua orang yang lalu lalang itu rata-rata berwajah gembira.

Sudah beberapa pekan lamanya pemuda itu yang bukan lain adalah Cia Bun Houw, meninggalkan Cin-ling-san dan pada sore hari itu dia tiba di kota Kiang-shi dalam penyelidikannya untuk mencari musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Lima Bayangan Dewa yang hanya dia ketahui nama-nama dan julukan mereka akan tetapi tidak diketahuinya di mana tempat tinggal mereka itu. Setiap tokoh kang-ouw yang ditanyai, tidak ada yang tahu dan agaknya mereka itu seperti takut-takut membicarakan tentang mereka, sehingga Bun Houw menduga bahwa andaikata ada yang mengetahui tempat tinggal merekapun, agaknya dia itu tidak akan berani menceritakan kepadanya. Maka pemuda itu lalu mengambil keputusan untuk menyelidiki dengan cara lain, yaitu dia akan mendekati kaum sesat dan akan masuk sebagai anggauta kaum sesat sehingga dia akan dianggap “orang dalam” dan tentu akan lebih mudah untuk menyelidiki mereka.

Tiba-tiba Bun Houw tertarik oleh seorang laki-laki setengah tua yang bernyanyi-nyanyi di depan toko besar di mana banyak berkerumun orang-orang yang mendengarkan nyanyian yang diiringi suara berketraknya bambu-bambu di antara jari-jari tangan orang itu. Bun Houw segera mendekati dan ikut pula mendengarkan. Suara orang ini cukup merdu dan kata-kata yang keluar dari mulutnya lancar dan jelas sehingga menarik perhatian banyak orang. Seperti para penyanyi jalanan lainnya, orang inipun menggambarkan keadaan kota Kiang-shi, akan tetapi kata-katanya berbeda dengan para penyanyi-penyanyi lain, yang hanya menghafal sehingga syair yang diulang-ulang itu tidak menarik lagi. Orang ini agaknya lain. Dia pandai mencari kata-kata sendiri yang selalu berubah-ubah, jadi bukan hafalan.

“Trak-tak, trak-tak, trak-tak-tak
Kiang-shi kota tersayang
hidup malam dan siang
Kiang-shi di waktu siang
orang-orang berdagang
saling catut dan kemplang
bahkan di waktu malam
berdagang kesenangan
Kiang-shi sebagai sorga
juga mirip neraka
pusat suka dan duka
panggung tangis dan tawa!”

Bun Houw tersenyum mendengar syair sederhana yang dinyanyikan orang itu. Diapun melemparkan sekeping uang tembaga ke dalam topi yang ditelentangkan di atas tanah seperti yang dilakukan oleh para penonton. Penyanyi ini bernyanyi terus, lebih bersemangat sekarang. Syairnya lebih bebas, tidak merupakan baris-baris dari tujuh suku kata untuk mengimbangi bunyi iringan suara bambu yang tujuh kali, melainkan kini merupakan syair dan nyanyian bebas yang seperti kata-kata berirama, kadang-kadang diseling suara berketraknya bambu-bambu di jari tangannya.

“Isteri anda di rumah cerewet
dan marah?
jangan khawatir, pergilah kepada
rumah merah terpencil
di belakang kuil,
di sana kerling dan senyum manis
dijual murah,
besok pagi ciuman mesra mengiring,
anda pulang dengan saku
dan tulang punggung kering!”

lanjut ke Jilid 13-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar