Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 75

Petualang Asmara Jilid 075

<--kembali

“Hong Ing...!” Kun Liong melangkah maju dan memegang lengannya.

“Ada apa?” Dara itu mengerutkan alisnya dan memandang lengannya yang dipegang

Kun Liong melepaskan pegangannya. “Harap jangan marah, aku berterima kasih sekali kepadamu, Hong Ing. Maafkanlah aku, aku tidak tahu bahwa engkau telah bersusah payah menjagaku. Kau baik sekali dan...”

“Sudahlah, aku senang bahwa kau tidak apa-apa. Aku mau tidur, kau boleh membaca kitabmu sepuas hatimu.”

Kun Liong yang ditinggal pergi menjatuhkan diri duduk di atas dipannya. Alisnya berkerut dan dia membolak-balik kitab di tangannya. Benar-benar ada persamaannya antara kitab ini dengan wanita! Mengapa Hong Ing kelihatan tidak senang setelah melihat dia sehat dan tidak apa-apa, padahal gadis itu semalam suntuk mengkhawatirkan keadaannya? Tentu saja dia tidak tahu! Memang wanita itu mempunyai sifat yang aneh. Ingin sekali wanita itu merasakan bahwa dia dibutuhkan, bahwa dia diperlukan dan ingin dia lihat bahwa tanpa dia, pria akan kehilangan dan tak berdaya! Tanpa disadarinya sendiri, perasaan demikian itu ada pula dalam lubuk hati Hong Ing. Melihat Kun Liong pingsan dan tidak berdaya, dia khawatir sekali, akan tetapi dalam melakukan pertolongan itu, dia merasa betapa pemuda itu amat membutuhkan dia. Kini, biarpun hatinya lega bahwa Kun Liong tidak sakit, namun ada juga perasaan kecewa karena kini dia tidak dibutuhkan lagi! Memang aneh, namun demikian kenyataannya.

Dua bulan lewat dengan cepatnya. Semua telur yang ditemukan itu telah habis dimakan Kun Liong, dan dia makin tekun membaca kitab kuno peninggalan Kaisar Bun Ong. Dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika dia mulai melatih diri dengan ilmu pernapasan dan gerakan kaki tangan yang terdapat dalam kitab, dia merasa tubuhnya makin segar dan kuat, penglihatannya terang dan semangatnya tinggi, membuat wajahnya selanjutnya selalu berseri dan matanya bersinar-sinar, memandang dunia ini sebagai tempat yang amat indah. Beberapa kali dia membujuk Hong Ing untuk mempelajari isi kitab, akan tetapi dara itu tidak mau, apalagi mendengar penuturan Kun Liong tentang isi kitab yang hanya mengajarkan urusan kebatinan dan latihan pernapasan. Bahkan gerakan kaki tangan itu bukanlah gerakan ilmu silat, hanya ditujukan untuk menyehatkan tubuh seperti yang dimaksudkan oleh kitab itu.

Bun Ong adalah seorang Kaisar yang maha besar dan amat bijaksana. Kebijaksanaannya amat terkenal semenjak sejarah berkembang, bahkan kebijaksanaan Kaisar Bun Ong ini dipuji-puji dan dijadikan contoh oleh Nabi Khong Hu Cu! Kaisar Bun Ong adalah Kaisar pertama dari Kerajaan Cou (tahun 1050 sebelum Masehi), lima ratusan tahun sebelum Nabi Khong Hu Cu, seorang Kaisar yang terkenal sebagai seorang manusia setengah dewa, bahkan terkenal sebagal Thian-cu (Utusan Tuhan) yang bijaksana dan amat pandai! Juga puteranya, Kaisar Bu Ong, amat terkenal sebagai pengganti dan penerus kebijaksanaan ayahnya. Maka, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi Kun Liong yang secara kebetulan bisa menemukan sebuah kitab peninggalan Kaisar itu!

Kitab itu berisi petunjuk-petunjuk tentang hidup, tentang kebatinan dan tentang perbintangan. Makin terbuka mata hati Kun Liong ketika membaca kitab kuno ini, makin mendalam pengertiannya tentang kekuasaan yang disebut Tao. Hanya sebutannya saja yang berbeda, namun pada hakekatnya, Tao dapat juga disebut Tuhan, Kebenaran, Cinta Kasih, dan sebagainya.

Cinta Kasih tak dapat juga diraba, tak dapat dikejar. tak dapat dimiliki atau digenggam, tak dapat dilatih atau dipelihara. Cinta Kasih tidak mempunyai sasaran seperti benci, duka, marah, iri dan lain-lain. Cinta Kasih yang sudah mempunyai sasaran bukanlah cinta kasih lagi namanya. Sasaran (obyect) timbul karena adanya aku, dan “aku” tak mungkin mencinta, karena kalau ada aku yang mencinta, cinta itu hanya menjadi alat untuk mencapai sesuatu demi keuntungan lahir maupun batin dari si aku ini. Cinta Kasih, Tao, Tuhan, Kebenaran dan sebagainya sudah ada, akan tetapi menjadi tidak ada atau tidak dimengerti karena terselubung oleh asap nafsu keinginan yang dibuat oleh si aku, asap yang membuat mata kita menjadi buta. Dalam keadaan seperti buta itu hendak mencari dan mengerti Tao, mengerti Cinta Kasih, mengerti Tuhan, tentu saja tidak mungkin. Segala macam asap itu yang berupa kebencian, kemarahan, kekerasan, kekejaman, iri hati, kedukaan, keinginan, semua ini harus lenyap dulu, barulah mata akan menjadi terang untuk dapat melihat Cinta Kasih. Barulah Cahaya itu akan cemerlang dan tampak. Segala macam bentuk nafsu tidak dapat dilenyapkan dengan paksaan, dengan kemauan, karena hal itu akan sama halnya dengan api dalam sekam, memang tidak bernyala lagi, namun masih ada membara dan sewaktu-waktu akan bernyala lagi kalau mendapatkan angin dan bahan bakarnya! Untuk bebas dari itu semua, kita harus menghadapinya langsung, mengenalnya, memperhatikannya dari awal sampai akhir, mengenal sampai ke akar-akarnya segala nafsu itu, berarti kita harus MENGENAL DIRI SENDIRI berikut segala macam nafsu yang bukan lain adalah si aku atau si pikiran.

Setiap hari Kun Liong tenggelam ke dalam isi kitab ini, dan biarpun itu terlalu dalam, bahkan kadang-kadang membuat dia termangu-mangu, merasa mengerti akan tetapi juga masih merasa bingung dan ruwet, namun dia sadar bahwa isi kitab itu penting bukan main dan bahwa kitab itu merupakan peninggalan yang amat berharga, ribuan kali lebih berharga daripada seperti emas permata yang disimpan oleh Hong Ing itu. Maka mulailah timbul kekhawatirannya kalau-kalau kitab itu akan terampas oleh orang lain dan mulailah dia mencarikan tempat penyimpanan yang tersembunyi dan rahasia di atas pulau itu.

Pada suatu pagi, Kun Liong bangun sambil menggaruk-garuk kepalanya. Entah mengapa, selama dua bulan ini, semenjak dia menemukan kitab dan harta pusaka, kepalanya selalu terasa gatal kalau dia bangun tidur di waktu pagi. Sudah beberapa kali dia memeriksanya, akan tetapi tidak ada perubahan sesuatu pada kepalanya, masih tetap licin dan halus, tidak ada tanda luka atau bintik yang menimbulkan gatal-gatal. Dia menggaruk kepalanya dan perutnya berkeruyuk. Hemm, sepagi itu, seperti biasanya, setelah dia mandi, tentu dia akan menghadapi sarapan yang sudah dibuat oleh Hong Ing. Teringat akan ini, dia tersenyum. Sudah terbayang dia akan melihat dara yang makin lama makin cantik jelita itu, makin panjang rambutnya, dengan pakaian yang sederhana, tampak bentuk dan lekuk lengkung tubuhnya yang makin matang sehingga seringkali membuat Kun Liong terpesona dan memaksanya menelan ludah. Namun anehnya, tidak seperti ketika menghadapi gadis-gadis lain, terhadap Hong Ing dia tidak pernah berani menggodanya, bahkan selalu berjaga-jaga agar bersikap sopan!

Dia meloncat turun, lari melalui pintu belakang ke sumber air yang berada di tengah pulau di dalam hutan kecil, menanggalkan pakaiannya dan sebelum terjun ke air, lebih dulu ia berjongkok di pinggir kolam air yang jernih, memandangi bayangan mukanya sendiri. Kemarin sore dia melihat dari jauh, secara sembunyi, betapa Hong Ing juga berjongkok seperti itu, bercermin di permukaan air sambil mengatur-atur rambutnya.

Seraut wajah yang kurus menyambutnya di air. Yang mula-mula menarik adalah sepasang mata bayangan itu. Mata yang seperti mata setan, celanya di dalam hatinya. Mata yang hitamnya terlalu hitam dan putihnya terlalu putih, seperti mata penyelidik. Tentu mendatangkan rasa tidak senang, terutama sekali Hong Ing, jika dipandang oleh mata semacam ini! Muka yang dagunya agak meruncing dan terlalu halus untuk seorang pria! Lebih-lebih kepala itu. Menjijikkan! Tidak dicukur akan tetapi kelimis. Lalat pun akan terpeleset hinggap di atasnya! Tentu menjijikkan, apalagi dalam hati seorang dara seperti Hong Ing. Akan tetapi sikap Hong Ing kadang-kadang manis sekali, terlalu manis kepadanya! Mungkinkah wajah yang begini dapat menarik hati seorang dara sejelita Hong Ing! Tak mungkin! Tentu hanya karena kasihan. Phuhhh, dia tidak membutuhkan rasa iba dari siapapun juga. Biar dari Hong Ing sekalipun, dia tidak mau seperti seorang pengemis mengulurkan tangan mohon kasihan!

“Hah! Sialan...!” Dia membenamkan kepalanya ke dalam air, dalam-dalam dan lama-lama, sampai dia gelagapan dan mengangkat lagi kepalanya dari dalam air untuk bernapas. Air kembali diam setelah tadi berombak keras dimasuki kepalanya dan kembali dia memandang ke bawah. Muka itu kini basah kuyup, air menetes-netes dari hidung, dan muka itu agak kemerahan, mata itu menjadi agak merah, dan mulut itu mengejek. Huh, makin buruk!

“Biarlah si buruk rupa tinggal dalam keburukannya!” Dia berkata keras-keras dan kembali dia membenamkan kepalanya, kini bahkan sambil meloncat ke depan. Air muncrat dan Kun Liong mandi, menggosok-gosok keras seluruh tubuhnya dengan penuh semangat, seolah-olah dia hendak melampiaskan kegemasannya kepada daki yang dia bersihkan dari kulit tubuhnya.

Seperti biasa, ketika dia sudah mengeringkan tubuh dan pakaiannya yang tadi dicuci dan kembali ke pondok, Hong Ing sudah siap dengan sarapan pagi yang terdiri dari masakan sayur dan ubi-ubian yang didapatkan di hutan, panggang daging ikan sisa kemarin malam, dan air matang dengan “teh” yang terbuat dari daun-daun yang harum.

“Duduklah dan mari kita sarapan. Mengapa begitu lama engkau di sumber air? Sampai lelah aku menanti!” Hong Ing berkata.

Kun Liong duduk bersila menghadapi meja rendah di mana telah terhidang sarapan pagi itu. “Aku mencuci pakaianku,” cuping hidungnya bergerak-gerak. “Hemm, sedap! Kau masak daun apa ini?”

“Daun merah sudah keluar daun mudanya. Makanlah.”

Mereka makan dan Kun Liong tidak tahu betapa sepasang mata dara itu memandangnya dengan sayu, agaknya terharu menyaksikan dia makan dengan lahapnya. Selesai makan dan minum air teh istimewa itu, Kun Liong menghela napas lega.

“Nikmat dan lezat...” katanya. Biasanya pujiannya yang jujur ini menggirangkan hati Hong Ing, akan tetapi sekali ini Hong Ing mengerutkan alisnya dan berkata, suaranya lirih dan penuh duka, “Ah, aku ingin menangis kalau melihat kau makan, Kun Liong.”

“Eh, kenapa? Begitu menyedihkankah caraku makan?”

“Minuman hanya dari air dan daun, bukan teh aseli...” suara itu mengeluh.

“Harum dan sedap melebihi teh yang paling baik!”

“Dan daging ikan yang itu-itu juga, dipanggang, hanya digarami air laut...” suara itu makin merintih.

“Enak dan gurih sekali, melebihi masakan termahal di restoran!”

“Dan nasinya... tak pernah ada nasi... hanya ubi dan kentang hutan, dan sayurnya... aihh... Kun Liong... hanya daun-daun yang biasanya kerbau pun tidak sudi memakannya...” suara itu bercampur sedu-sedan.

Kun Liong tertawa membesarkan hatinya. “Hem, enak sekali! Mengenyangkan perut dan menyehatkan badan!”

“Aihhh, Kun Liong, mengapa kau tidak pernah sungguh-sungguh? Tak perlu kau menghiburku dengan kepura-puraan ini. Kau tentu menderita sekali...”

“Siapa bilang? Aku senang sekali! Makanku enak, minum pun sedap! Hemm, apakah kau merasa sedih karena makan minum seadanya ini, Hong Ing?”

“Tidak, bagi seorang wanita, makan minum tidaklah begitu penting. Lebih penting lagi menghidangkan makan-minum untuk pria, dan melihat kau makan minum seperti ini... ahhh, hati siapa tidak akan sedih?”

“Sungguh, Hong Ing. Tak perlu berduka. Aku tidak membohong, bukannya hiburan kosong. Aku sudah senang, aku merasa bahagia sekali!”

“Apa? Di tempat seperti ini? Apakah selamanya kita akan berada di tempat ini, terasing dari dunia ramai? Dan kau bilang kau bahagia?”

“Demi Tuhan! Aku berbahagia sekali! Aku tidak mau menukar kehidupan di sini seperti ini dengan kehidupan seorang kaisar di istana yang mewah!”

Hong Ing menunduk. Kun Liong memandang dan karena muka itu tidak dapat tampak olehnya, dia menurunkan pandangan matanya, menatap dada yang jelas membayang lekuk lengkungnya di balik kain itu, dada yang turun naik dengan keras seolah-olah gelombang lautan yang sedang mengamuk. Tiba-tiba muka itu diangkat dan Kun Liong merasa seperti dibanting dari tempat tinggi, cepat-cepat dia membanting pula pandang matanya ke samping!

“Kun Liong, kau tadi mengatakan bahwa kau berbahagia. Benarkah”

“Mengapa tidak? Aku tidak berbohong. Aku berbahagia sekali! Dunia begini indah, lautan begitu cantik, pulau kita ini begini menyenangkan, dan cahaya matahari pagi itu... lihat... begitu cemerlang dan hangat....”

“Itukah yang membuatmu bahagia?”

“Ya...”

“Tidak ada lain lagi?”

“Lain lagi? Masih banyak! Aku dan kau sehat-sehat saja, makan minum cukup, aku ada kitab dan kau ada perhiasan-perhiasan itu... dan kita tidak dikejar-kejar orang...”

“Hanya itu?”

“Ya...” Kun Liong meragu. “Apa lagi?”

Kembali Hon Ing menunduk, menghela napas panjang kemudian berkata tanpa mengangkat muka, “Dahulu... kalau diingat sudah lama sekali, akan tetapi sesungguhnya baru beberapa puluh hari yang lalu... kau mengatakan bahwa kau tidak tahu apa artinya behagia itu... akan tetapi sekarang kau berbahagia. Apakah... apakah...” Hong Ing meragu.

“Apa yang hendak kaukatakan?”

“Apakah engkau sudah bertemu dengan wanita idamanmu dahulu itu maka engkau merasa berbahagia?”

Wajah itu menengadah dan mata yang indah itu memandangnya setengah terpejam. Aneh sekali! Mata itu seperti mau menangis, akan tetapi bibir itu mengandung senyum!

“Aaahhh! Mengapa kau menanyakan itu, Hong Ing? Aku... aku... tidak memikirkan tentang wanita, dan tentu saja aku belum bertemu dengan wanita idamanku itu.”

Mata itu tiba-tiba terbelalak, dan muka yang manis itu mendadak menjadi merah padam. “Apa... apa maksudmu?”

“Mana mungkin aku dapat bertemu dengan wanita idamanku itu?”

“Kau... kaumaksudkan... wanita itu masih ada dalam alam khayalmu, masih kauharapkan kelak akan bertemu?”

“Aihh, sudahlah, Hong Ing. Mengapa kita bicara tentang hal yang bukan-bukan itu? Adalah lebih baik kita bicara tentang kita.”

“Hemmm, apa yang hendak kaubicarakan tentang aku?”

“Misalnya, bahwa agaknya kau tidak betah tinggal di sini.”

“Tentu saja! Tempat ini amat sunyi, aku merasa seperti berada di dalam kuburan! Bukan di dunia ramai.” Tiba-tiba suara Hong Ing berubah seolah-olah menyesali kata-katanya itu. “Betapapun juga, ada engkau di sini!”

“Engkau tentu kehilangan segala kebutuhan wanita. Sisir pun tidak ada.”

“Sisir bambu buatanmu cukup baik.”

“Dan sabun wangi, minyak wangi... ahhh, pakaianmu...”

“Di sini banyak kembang harum... sudahlah, Kun Liong. Kau pun tidak pernah mengeluh, tidak pernah membutuhkan apa-apa.”

“Aku sih tidak membutuhkan sisir, kepalaku gundul buruk begini...”

Hong Ing tertawa. “Memang kepalamu gundul dan lucu!”

“Dan buruk...”

“Dan buruk...!” Hong Ing seperti diajar bicara.

“Dan aku pernah memualkan perutmu.”

“Kadang-kadang...”

“Sekarang...?”

“Sekarang kau paling memualkan perutku!”

“Ehhhi...! Maaf, Hong Ing...”

“Kau terlalu cainggung, terlalu sopan, terlalu terpelajar, terlalu berfilsafat, terlalu melamun, terlalu... terlalu... engkau terlalu sekali!” Hong Ing bangkit dan dengan gerakan cepat penuh kejengkelan hati lalu meninggalkan Kun Liong, berlari pergi ke tengah pulau dan bayangannya lenyap di dalam hutan.

Kun Liong melongo. Kemudian ditamparnya kepalanya yang gundul dan mulutnya menyumpah. “Disambar geledek kalau aku mengerti ini...!” Dia menggeleng-geleng kepalanya, lalu berjalan perlahan menuju ke rimba di tengah pulau. Dia menyelinap di antara semak-semak, mendekati sumber air di mana dia melihat Hong Ing menangis seorang diri di dekat sumber air, di dekat kolam! Hong Ing menangis! Dan didengarnya suara Hong Ing, lirih dan penuh kedukaan, bicara kepada dirinya sendiri!

“Nah, puaskanlah hatimu, menangislah sepuas hatimu...!” Hong Ing menjenguk ke air. “Aduhhh... kasihan kau... biar kau menangis sampai kedua matamu merah den bengkak-bengkak, biar kau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekalipun, apa gunanya? Lihat hidungmu yang kecil mancung menjadi merah! Apa perlunya kau menyiksa diri? Biar kau sampai menjadi kurus kering, atau andaikata engkau bersolek sampai secantik-cantiknya, apa gunanya? Apa perlunya kau menggosok kedua pipimu pagi tadi sampai pipimu kemerahan... begitu segar den mengalahkan kecantiken bidadari, semua itu apa artinya? Tak seorang pun akan melihatnya, apalagi mengagumi! Si sombong, si pongah itu, hanya akan mengucapkan selamat pagi dengan suara datar, memuji rambutmu secara basa-basi, kemudian makan dengan lahap tanpa satu kalipun mengerling kepadamu, kemudian tenggelam dalam kitab-kitabnya untuk bertemu dengan wanita idamannya! Kau...? Hah, mungkin hanya menimbulkan sedikit rasa iba... huh-hu-hu...!” Hong Ing menangis lagi!

Kun Liong terbelalak dan kesima, tak mampu bergerak, menahan napas dan dia merasa demikian kaget, bingung, dan heran sehingga dia tidak mengerti apa sebabnya Hong Ing bicara seperti itu dan menangis demikian sedihnya! Karena khawatir kalau dia dilihat dara itu, diam-diam dia lalu pergi dari hutan itu, bukan kembali ke pondok melainkan pergi ke bagian pantai yang berlawanan tempat yang jarang didatanginya, pantai yang penuh dengan batu karang tidak berpasir seperti pantai di mana dia membuat pondok mereka.

Dia menghempaskan diri di atas tanah, bersandar batu karang den memandang jauh ke depan, jauh sekali menyeberangi laut yang tak bertepi itu. Apa yang telah terjadi dengan dirinya menghadapi Hong Ing? Mengapa dia merasa begitu aneh berhadapan dengan dara itu? Terjadi perbantahan sendiri di antara hati dan pikirannya, membuat dia duduk terlongong, lupa waktu lupa keadaan.

“Kau cinta padanya, tolol!”

“Hemm, ape sih cinta itu? Aku suka kepadanya karena dia cantik, seperti aku suka kepada gadis lain.”

“Bukan! Sekali ini lain sama sekali! Kau tidak pernah menggodanya, kau tidak berani mendekatinya, dia mendatangkan rasa hormat dan iba di hatimu, dia bagaikan sebuah benda pusaka yang tak ternilai harganya bagimu sehingga engkau tidak berani memegangnya terlalu lama khawatir rusak! Sedangkan gadis-gadis lain itu begimu hanya merupakan benda-benda Indah den kaujadikan permainan. Gadis-gadis lain itu bagimu seperti bunga-bunga yang indah harum, kaucium dan kau petik kemudian dilupakan begitu saja. Akan tetapi dia lain! Dia bagimu merupakan setangkai kembang yang suci, yang kaukagumi dengan memandang dan memujanya akan tetapi merasa sayang kalau tersentuh kotor. Kau cinta padanya!”

“Hemmm... aku hanya akan mencinta wanita idamanku.”

“Wanita idamanmu itu hanya khayal, hanya asap, tepat seperti dikatakannya dahulu! Wanita macam itu tidak ada!”

“Hemmm...” Kun Liong meremas pasir karang sampai menjadi bubuk halus.

Dia duduk termenung di tempat itu, tak pernah berpindah, sampai matahari telah naik tinggi kemudian condong ke barat. Baru dia teringat betapa dia telah setengah hari duduk di tempat itu dan bahwa Hong Ing tentu akan gelisah menantinya pulang. Hati dan pikirannya telah berdamai den telah bermufakat untuk melakukan sesuatu kalau dia bertemu dengan Hong Ing nanti! Dia mencinta Hong Ing! Inilah keputusan yang diambil oleh hati dan pikirannya, dan dia akan mengaku terus terang kepada dara itu!

Dengan jantung berdebar tegang akan tetapi kaki dan kepala ringan setelah dia mengambil keputusan tetap, Kun Liong berlari-lari ke arah pondok. Tahulah dia kini bahwa segala perasaan aneh yang dideritanya selama ini, bukan lain adalah keraguan terhadap hubungannya dengan Hong Ing. Sekarang harus ada kepastian! Dia mencinta Hong Ing! Dia herus menyatakan ini terus terang, dan apakah Hong Ing juga mencinta dia atau tidak, itu urusan lain lagi! Besar sekali kemungkinannya gadis itu tidak mencintanya, terlalu sering perasaan tidak senanghya diperlihatkan. Akan tetapi, andalkata benar Hong Ing tidak mencintanya, dia tidak akan penasaran, dan penjelasan itu akan melegakan hatinya. Tidak seperti sekarang, digerogoti keraguannya sendiri. Bagaimana nanti jadinya kalau Hong Ing menjawab pertanyaannya, dia tidak mau membayangkannya. Bagaimana nanti sajalah!

TIBA-TIBA kedua kakinya berhenti dengan tiba-tiba dan matanya terbelalak memandang ke depan, kedua alisnya berkerut. Dia melihat Hong Ing berdiri di pantai depan pondok, akan tetapi tidak sendirian! Ada tiga orang lain ying berdiri di depan dara itu dan melihat mereka, jantung di dalam dada Kun Liong berdebar tegang. Tiga orang itu adalah pendeta-pendeta Lama berkepala gundul dan berjubah merah! Teringatlah dia akan kakek pendeta Lama yang pernah menolong dia dan Hong Ing, yang amat sakti dan melontarkan mereka yang berada di dalam peti mati ke laut! Apakah kakek sakti itu yang datang bersama dua orang kawannya? Melihat mereka dari jarak jauh, sukar membedakan muka para pendeta Lama itu, maka dia lalu melanjutkan gerakan kakinya berlari menghampiri. Setelah agak dekat, tampaklah olehnya bahwa mereka adalah tiga orang pendeta Lama yang usianya sudah tua, akan tetapi pendeta Lama raksasa yang pernah menolongnya itu tidak berada di antara mereka. Kini dia sudah tiba dekat dan berdiri memandang.

Tiga orang itu bersikap agung dan berwibawa, usia mereka tentu sudah enam puluh tahun lebih. Mereka berdiri berjajar, yang tengah-tengah agak berbeda jubahnya, yaitu pinggir jubah merahnya memakai garis kuning emas dan kedua tangannya yang dirangkap di depan dada itu memegang lima batang hio (dupa biting) yang mengeluarkan asap harum. Adapun dua orang lainnya berdiri di kanan kirinya, juga merangkap tangan depan dada dan menundukkan muka seolah-olah mereka berdua itu selalu berada dalam keadaan bersamadhi dan berdoa!

Hong Ing berdiri dengan wajah agak pucat di depan mereka, dan jelas tampak betapa dara itu berada dalam keadaan bimbang ragu dan bingung. Melihat munculnya Kun Liong, wajah Hong Ing agak berseri seolah-olah dia melihat datangnya pertolongan.

“Kun Liong, para Locianpwe ini adalah supek dan kedua susiok dari Tibet, datang diutus oleh... ayahku untuk menjemputku!” suara Hong Ing gugup karena hatinya merasa tegang sekali.

Kun Liong mengerutkan alisnya, memandang kepada tiga orang pendeta itu, memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian menjura dengan hormat dan berkata, "Sam-wi Locianpwe adalah paman-paman guru Nona Pek Hong Ing? Bagaimana ini? Saya tidak mengerti, harap Sam-wi sudi menjelaskan.”

Dua orang pendeta di kanan kiri masih menunduk dengan kedua mata terpejam, hanya pendeta yang berdiri di tengah yang mengangkat muka memandang Kun Liong. Pemuda ini terkejut sekali ketika melihat sinar mata kakek itu menyambar bagaikan halilintar! Wajah yang penuh keriput itu kelihatan dingin dan penuh wibawa yang menyeramkan, mulutnya selalu tersenyum sabar dan kepalanya lebih licin daripada kepalanya sendiri. Yang amat menarik hatinya, asap dari lima batang hio yang dipegang oleh kedua tangannya itu, membubung lurus ke atas, sama sekali tidak terpengaruh oleh tiupan angin laut!

“Siancai... pinceng telah menceritakan kepada yang berkepentingan, dan satu kali saja sudah cukup.” Suara kakek ini lemah lembut, namun di dasarnya terasa sekali keputusan yang seperti baja, tak dapat digoyahkan pula!

“Kun Liong, ketahuilah. Mereka ini datang dari Tibet sebagai utusan ayahku yang katanya kini menjadi calon ketua para pendeta Lama Jubah Merah di Tibet. Untuk pengesahan dan upacara pengangkatan ayah sebagai ketua, aku sebagai anak tunggal harus hadir, maka ketiga orang Locianpwe ini datang untuk menjemputku sebagai utusan ayah. Bagaimana baiknya, Kun Liong? Aku ingin sekali bertemu dengan ayahku!”

Kun Liong mengerutkan alisnya. Sungguh tak disangka-sangka timbulnya urusan aneh ini dan dia menjadi curiga. Mereka itu adalah pendeta-pendeta Lama, dan kalau ayah Hong Ing adalah suheng dan sute mereka tentu ayah Hong Ing juga seorang pendeta Lama. Mana mungkin ini? Dan bagaimana pula mereka bertiga itu bisa tahu bahwa Hong Ing adalah puteri calon ketua mereka?

Agaknya pendeta Lama yang memegang lima batang hio itu dapat membaca isi hati dan keraguan Kun Liong. Terdengar dia berkata dengan bahasa pribumi yang baik akan tetapi dengan lidah agak kaku, tanda bahwa sudah terlalu lama dia tidak menggunakan bahasa ini. “Orang muda harap jangan ragu-ragu terhadap kami. Kami masih mengenal Pek Hong Ing yang meninggalkan Tibet ketika dia berusia lima tahun, dan ketika di daratan besar kami mendengar bahwa Pek Hong Ing meninggalkan daratan dengan seorang pemuda gundul, kami segera berlayar dan mencari, akhirnya Sang Buddha menuntun kami sampai di tempat ini.”

Kup Liong diam-diam harus mengakui bahwa alasan itu memang masuk di akal. Akan tetapi, kalau benar ayah dara itu yang mengutus, mengapa sebagai seorang ayah, setelah belasan tahun baru ingat untuk mencari puterinya? Pula, dia masih teringat akan cerita Hong Ing bahwa ibunya dikeroyok oleh para pendeta Lama sehingga luka-luka parah den akhirnya tewas di kaki Pegunungan Go-bi-san. Maka kecurigaannya tetap saja tidak meninggalkan lubuk hatinya.

“Kalau saya boleh bertanya, siapakah nama Sam-wi Locianpwe?”

Kini kedua orang pendeta yang tadi menundukkan muka, mengangkat mukanya dan kembali Kun Liong terkejut. Dua orang hwesio yang sudah tua ini pun memiliki pandang mata yang luar biasa, seolah-olah dari pandang matanya itu keluar tanaga mujijat yang menyeramkan! Tiga pasang mata yang tajam den aneh itu memandang Kun Liong penuh perhatian, dan pendeta yang berdiri di tengah dengan suara tetap tenang berkata, “Orang muda, engkau memiliki nyali besar sekali!”

“Maaf, Locianpwe. Bukan sekali-kali saya hendak bersikap tidak hormat, akan tetapi hendaknya diketahui bahwa selama ini, sayalah yang menjaga den melindungi Nona Pek Hong Ing,, maka saya merasa sudah menjadi tanggung jawab saya untuk membelanya dari apapun juga. Kedatangan Sam-wi sungguh tidak diduga-duga, bukan saya tidak percaya, tetapi saya harus tahu lebih dulu siapa yang akan berurusan dengan None Pek Hong Ing.”

Pendeta yang berdiri di tengah itu tersenyum, sedangkan kedua orang temannya tetap diam seperti patung.

“Pinceng disebut Sin Beng Lama, yang di kiri ini adalah Hun Beng Lama, dan di kanan adalah Lak Beng Lama. Mereka adalah dua orang suteku, dan ayah Nona Pek Hong Ing adalah suheng, mereka den suteku yang pertama.”

Kun Liong dan Hong Ing saling pandang den merasa heran. Mendengar nama-nama itu mereka teringat akan kakek pendeta Lama yang telah menolong mereka, maka dengan cepat Kun Liong bertanya, “Dan siapakah nama ayah Nona Pek Hong Ing?”

“Suteku itu, yang kini dicalonkan sebagai ketua perkumpulan kami, adalah Kok Beng Lama...”

lanjut ke Jilid 076-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar