Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 97

Petualang Asmara Jilid 097

<--kembali

“Tidak mungkin!” Dia meletakkan tubuh Hwi Sian ke atas tanah dan meloncat berdiri, matanya merah.

“Wuttt-wuuuttt...desss! Aughhh...!” Lak Beng Lama berteriak keras karena kini tongkatnya yang menyambar bertemu dengan tangkisan yang dilakukan dengan tenaga mujijat sedemikian dahsyatnya sehingga tidak hanya tongkatnya yang terpental, juga tubuhnya terasa seperti disambar petir!

Sin Beng Lama dan Hun Beng Lama cepat menyerang dan kembali Kun Liong dikeroyok dan didesak hebat. Pemuda ini melawan dengan pandang mata masih termenung, dan dengan dua butir air mata membasahi pipinya. Pikirannya masih penuh dengan pengakuan Hwi Sian. Anak Hwi Sian, anaknya!

“Siuttt... cussss... dukk!” Dia terhuyung ke belakang. Ketika nyaris lehernya tertusuk hio membara dan dia mengelak sambil membuang diri ke belakang tadi, tasbih di tangan Hun Beng Lama menyambar lambungnya dengan tepat, membuat dia terpelanting ke belakang. Tentu saja kedua orang pendeta Lama itu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, terus mendesak maju, Kun Liong menggoyangkan kepalanya untuk mengusir suara Hwi Sian yang masih mengiang-ngiang mengikuti telinganya, agar dia dapat memusatkan perhatian menghadapi pengeroyokan dua orang lawan tangguh itu.

“Kun Liong...!”

Untuk kedua kalinya selama beberapa menit itu jantung Kun Liong terguncang hebat. Dia cepat meloncat ke belakang dan melihat dara yang dirindukannya selama ini, Pek Hong Ing, meronta-ronta dalam pegangan Lak Beng Lama! Cepat dia mengerahkan tenaganya dan tubuhnya melayang ke arah Lak Beng Lama.

“Mundur! Kalau tidak, kubunuh dia!” Lak Beng Lama berseru, tongkatnya menempel di ubun-ubun kepala Hong Ing.

Kun Liong mundur dengan muka pucat. “Hong Ing... Hong Ing...!” bibirnya berbisik.

“Kun Liong, lawanlah! Lawan dan bunuhlah mereka yang keji dan jahat! Jangan pedulikan diriku!” Hong Ing berkata sambil menangis.

“Tidak! Sam-wi Lo?suhu (Tiga Bapak Pendeta), dengarlah! Aku menyerah asal Sam-wi Lo-suhu tidak mengganggu Hong Ing!”

“Omitohud, bagus kalau begitu. Berlututlah!” Sin Beng Lama berseru sambil menghampiri Kun Liong.

“Kun Liong, jangan...!” Hong Ing menjerit akan tetapi karena mengkhawatirkan keadaan kekasihnya, Kun Liong sudah maju berlutut di depan Sin Beng Lama. Kakek ini mengeluarkan segulung tali hitam, lalu dibantu oleh Hun Beng Lama dia membelenggu kedua pergelangan tangan Kun Liong di belakang tubuhnya. Tali hitam itu bukanlah sembarang tali, melainkan terbuat dari bulu biruang hitam yang hanya terdapat di pegunungan yang sunyi dari daerah Tibet. Bulu binatang ini amat kuat, tidak mungkin dibacok putus oleh senjata pusaka yang mana pun. Orang hanya dapat membunuh biruang hitam itu dengan jalan menusuknya, sehingga senjata runcing menyusup di antara bulu kuat itu melukai tubuh. Kalau dibacok, jangan harap dapat melukai binatang itu. Akan tetapi tentu saja ada kelemahan bulu itu bagi yang mengerti. Kun Liong membiarkan kedua tangannya dibelenggu tanpa mengadakan perlawanan.

“Hong Ing, jangan melawan, menurutlah saja. Kurasa para Losuhu ini tidak akan berniat buruk.”

“Omitohud, sama sekali tidak, Yap-taihiap. Engkau sungguh gagah dan kami bukanlah orang-orang yang tidak menghargai orang pandai. Kami ingin sekali bersahabat dengan Taihiap.” Sin Beng Lama berkata den halus penuh bujukan.

Akan tetapi dengan sinar mata tajam dan suara tegas, Kun Liong kepada ketua para Lama Jubah Merah itu dan berkata, “Losuhu, aku menyerah bukan karena ingin bersahabat dengan Losuhu sekalian, melainkan karena Losuhu berjanji tidak akan mengganggu Hong Ing. Sekarang, setelah aku menyerah, harap lekas bebaskan Hong Ing dan lakukan apa saja yang Losuhu sukai terhadap diriku.”

“Kun Liong...!” Hong Ing yang sudah dilepas oleh Lak Beng Lama karena pemuda lihai itu telah dibelenggu, cepat lari menubruk pemuda itu, merangkulnya sambil menangis.

“Kun Liong... oh, Kun Liong...!” Hong Ing hanya dapat meratap karena hatinya menyesak oleh perasaan terharu. Seluruh kerinduan hatinya menyesak di dada, kegirangan melihat pemuda ini kembali bercampur dengan kekhawatiran melihat kekasihnya menyerah dan dibelenggu. Dia merangkul memeluk, mendekapkan mukanya yang basah oleh air mata itu di pipi, leher, dan dada Kun Liong yang menunduk dan mencoba meredakan hati kekasihnya.

“Tenanglah, Hong Ing. tenanglah...”

Akan tetapi mana mungkin hati Hong Ing dapat ditenangkan kalau dia teringat bahwa dia akan dikorbankan kepada dewa di depan mata Kun Liong seperti yang telah dijanjikannya kepada Sin Beng Lama? Siasatnya memang berhasil membawa Kun Liong menyusulnya ke tempat ini, akan tetapi kesudahannya sama sekali berbeda dengan yang dikehendakinya. Dia mengharapkan kedatangan Kun Liong bersama Cia Keng Hong untuk melawan para pendeta Lama itu dan membebaskan dia dan ayahnya, akan tetapi hasilnya jauh berlainan. Ayahnya tidak mau membantu, dan Kun Liong menyerah untuk melindunginya! Bagaimana dia dapat tenang menghadapi malapetaka ini?

“Mundurlah kau!” Lak Beng Lama menarik lengan Hong Ing sehingga terlepas dari rangkulan pada leher Kun Liong.

“Hong Ing, sekarang Yap-taihiap sudah datang, kau harus memenuhi janjimu.” Sin Beng Lama berkata, suaranya halus akan tetapi nadanya mengandung paksaan dan ancaman.

Dengan kedua mata masih basah Hong Ing memandang kepada Kun Liong yang masih berdiri tegak dengan lengan terikat ke belakang. Pemuda itu memandangnya dengan tenang dan bibirnya tersenyum seperti hendak menghibur dan membesarkan hatinya. Maklumlah dara ini bahwa siasatnya telah gagal sama sekali, bahkan dia telah menyeret Kun Liong ke dalam bahaya maut. Dia tahu pula akan kepalsuan hati para paman gurunya, maka dia khawatir sekali akan keselamatan kekasihnya itu.

“Susiok, aku hanya mau berkorban diri kalau Susiok bertiga suka berjanji takkan membunuh Yap Kun Liong.”

“Hong Ing, apa maksudmu berkorban diri?” Kun Liong bertanya dengan tiba-tiba dan hatinya berdebar tegang.

Akan tetapi Hong Ing menundukkan mukanya tidak berani menjawab. Kalau dia bicara terus terang, tentu Kun Liong akan marah-marah kepada para pendeta dan memberontak. Dalam keadaan sudah terbelenggu seperti itu, hasilnya tentu akan sia-sia, bahkan akan membahayakan keselamatannya, maka dia diam saja, bahkan mendesak Sin Beng Lama.

“Sin Beng Susiok, bagaimana? Tanpa janji Sam-wi untuk membebaskan Kun Liong segera setelah saya berkorban, saya tidak akan mau dan saya akan membunuh diri kalau dipaksa!”

Tanpa ragu-ragu lagi Sin Beng Lama berkata, “Kami berjanji! Kami akan segera membebaskan Yap Kun Liong setelah kau selesai berkorban diri untuk dewa.”

Hong Ing menoleh kepada Kun Liong, menarik napas panjang dan terisak, lalu menunduk dan berkata, “Kalau begitu, saya bersedia.”

Sin Beng Lama merasa girang sekali. “Hayo kauikut denganku untuk menghafal doa penyeberangan ke kahyangan! Sute berdua, harap bawa Yap-taihiap ke kamar tamu dan menjaganya baik-baik.” Kakek ini lalu menggandeng lengan Hong Ing, dituntunnya gadis ini pergi dari situ masuk ke dalam.

“Hong Ing...! Losuhu, nanti dulu! Hong Ing, jelaskan kepadaku apa artinya ini semua! Apa artinya pengorbanan itu!” teriak Kun Liong.

Akan tetapi Hong Ing yang memandang kepadanya, hanya menggeleng kepala dan air matanya bercucuran, kemudian dengan cepat dia mengikuti Sin Beng Lama berjalan masuk. Kun Liong hendak mengejar, akan tetapi Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama memegang kedua lengannya dari kanan kiri, Hun Beng Lama berkata, “Harap kau tidak memberontak. Kaulihat sendiri bahwa kami tidak melakukan paksaan kepada Pek Hong Ing. Dia melakukan segala sesuatu dengan suka rela atas kehendaknya sendiri, semoga para dewa melindunginya.”

Kun Liong terpaksa menahan kemarahannya. Ketika dia digiring masuk, dia melirik ke arah mayat-mayat di sekeliling tempat itu dan melihat mayat Hwi Sian dan suaminya, dia memejamkan kedua matanya. “Hwi Sian, kauampunkan aku...” bisik hatinya. Betapa hidupnya yang lalu bergelimang kepalsuan dan dosa, dan bahkan saat ini pun dia tidak berdaya menolong Hong Ing. Ingin dia meronta dan memberontak, namun dia menekan kemarahannya. Hal ini tidak mungkin ia lakukan selama Hong Ing masih berada di tangan mereka. Dia harus bersabar dan melihat perkembangan selanjutnya untuk menentukan sikap.

Sementara itu, dengan hati penuh harapan, penuh kegirangan, karena dia merasa yakin bahwa kalau Pek Hong Ing, keturunan Pek Cu Sian yang pernah membikin murka dan kecewa kepada dewa itu dengan suka rela mengorbankan diri menjadi “mempelai dewa” tentu para dewa akan memberkahi dan melindungi Lama Jubah Merah dan membantu mereka dalam “perjuangan” mereka yang suci, Sin Beng Lama menuntun Pek Hong ing ke dalam ruangan sembahyang untuk mengajarkan doa-doa yang harus diucapkannya ketika pengorbanan dilaksanakan.

Sebagai seorang dara yang sedikit banyak sudah kemasukan kepercayaan agama itu, kepercayaan tradisi, diam-diam Hong Ing menerima nasib, bahkan dia pun mengharapkan bahwa pengorbanan dirinya selain akan menebus dosa mendiang ibunya, juga akan dapat membebaskan orang yang dicintanya, yaitu Yap Kun Liong, dan membebaskan pula ayahnya dari segala dosa! Dia benar-benar hendak berkorban secara suka rela, demi mereka bertiga itu, terutama sekali demi kebebasan Kun Liong. Maka dia pun menahan kedukaan hatinya dan menghafalkan doa-doa itu dengan tekun tanpa banyak membantah lagi. Hal ini makin menggirangkan hati Sin Beng Lama yang menganggap bahwa dewa telah memilih dara ini maka telah menurunkan kegaiban dan mempengaruhi hati dara itu!

Selama tiga hari Kun Liong menjadi tamu yang terbelenggu! Dia diperlakukan dengan baik dan dengan ilmunya melemaskan tubuh Sia-kut-hoat yang telah mencapai tingkat tinggi sekali, dia telah berhasil memindahkan kedua lengannya yang terikat di belakang tubuhnya itu kini menjadi berada di depan tubuhnya!

Bagi seorang ahli seperti Kun Liong, tidaklah sukar untuk menurunkan kedua tangan yang terbelenggu di belakang itu melalui bawah pinggulnya, menarik kedua kakinya dan membiarkan belenggu kedua tangan itu terus melalui bawah kedua kakinya yang ditekuk ke atas sehingga kini kedua tangannya berada di depan tubuh, biarpun masih dalam keadaan terbelenggu kedua pergelangan tangannya.

Melihat hal ini, Hun Beng Lama hanya memandang kagum, namun mereka merasa lega bahwa pemuda itu tidak dapat mematahkan belenggu. Dengan kedua tangan kini berada di depan, Kun Liong dapat makan dengan mudah dan tidak merasa terlalu tersiksa lagi.

Tubuhnya tidak merasa tersiksa, akan tetapi batinnya amat gelisah. Beberapa kali dia membujuk kedua orang pendeta Lama itu untuk menceritakan apa yang telah terjadi, dan apa yang hendak dilakukan oleh Hong Ing. Namun kedua orang itu hanya menjawab, “Harap Tai-hiap bersabar karena Tai-hiap akan menyaksikan dengan mata sendiri apa yang akan dilakukan oleh murid keponakan kami itu. Karena itulah maka Tai-hiap ditahan di sini, agar dapat menyaksikan. Setelah selesai upacara pengorbanan itu, kami pasti akan membebaskan Tai-hiap.”

Pada hari ke tiga itu, di halaman belakang markas Lama Jubah Merah telah dibangun sebuah tempat pembakaran yang berupa sebuah panggung kecil dari kayu. Di tengah panggung terdapat sebatang tiang dan di sekeliling tiang ini ditumpuk kayu-kayu yang mudah terbakar. Sebuah meja sembahyang besar telah disiapkan dan di atas meja itu dihidangkan lengkap segala keperluan sembahyang, dan banyak lilin dinyalakan. Tempat itu penuh dengan para anggauta Lama Jubah Merah yang sudah berkumpul di sekeliling tempat pembakaran. Mereka duduk bersila di atas tanah sehingga kelihatan seperti bunga-bunga besar berwarna merah karena mereka semua mengenakan jubah merah mereka. Dengan penuh khidmat para pimpinan yang terdiri dari Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama dibantu oleh para Lama lain yang tinggi tingkatnya, mengatur meja sembahyang.

Tak lama kemudian muncullah Pek Hong Ing, berjalan perlahan-lahan, diikuti dengan sikap penuh hormat oleh para Lama dan disambut sambil membungkuk-bungkuk oleh Sin Beng Lama sendiri yang bersikap seperti seorang pendeta menyambut datangnya tamu agung, dalam hal ini pengantin agung! Semua mata para pendeta, yang telah bertahun-tahun bertapa dan berpuasa terhadap nafsu, terutama sekali nafsu berahi, kini memandang penuh gairah. Bagi pandang mata mereka, Pek Hong Ing bukan lagi manusia, melainkan seorang dewi, seorang calon isteri dewa, karena itu memiliki kecantikan agung, bukan kecantikan jasmaniah belaka yang kasar, kotor dan hanya sedalam kulit! Mereka yakin bahwa kelak, di alam baka, mereka akan bersahabat dengan wanita-wanita seperti ini!

Memang pada saat itu, melihat Pek Hong Ing akan menimbulkan rasa takjub, hormat dan kagum. Dara ini telah dirias dengan teliti, kelihatan cantik tapi agung sekali, tidak seperti seorang dara dari darah daging lagi, melainkan sepatutnya telah menjadi seorang bidadari dari kahyangan! Wajahnya yang putih halus itu seolah-olah bersinar, pandang matanya meremang jauh, menembus segala sesuatu di depannya, langkahnya lembut dan agung, kepalanya tegak, tubuhnya lurus dan lenggangnya lemah gemelai. Rambutnya yang mengkilap bersih karena sudah dicuci secara istimewa, hitam subur dan panjang digelung ke atas seperti gelung rambut para dewi dalam dongeng, dihias ratna mutu manikam, gemerlapan tertimpa cahaya matahari pagi. Seluruh pakaian dara itu, sampal ke sepatunya, berwarna putih bersih, dari sutera termahal, sutera yang amat halus sehingga seolah-olah terbayang lekuk lengkung tubuhnya di balik pakaian putih itu. Warna pakaian yang putih bersih ini kelihatan makin mencolok karena dilatarbelakangi warna merah darah dari jubah merah yang dikenakannya. Banyak di antara para pendeta Lama yang hadir di situ memandang bengong, ada yang tanpa disadarinya berlinang air mata, ada pula yang beberapa kali meneguk air liurnya sendiri, ada pula yang langsung merangkap kedua tangan ke depan dada dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa untuk memuja para dewata dan mohon kekuatan bagi batinnya yang terguncang hebat.


Dengan langkah-langkah yang sudah teratur dan terlatih, Hong Ing menghampiri Sin Beng Lama dan membalas penghormatan kakek ini, menerima hio dan bersembahyang di depan meja sembahyang, berlutut dan membungkuk sampai dahinya yang halus menempel pada permadani yang dibentang di situ, semua gerak-geriknya diikuti oleh mata para pendeta dengan seksama. Setelah selesai bersembahyang, Hong Ing lalu melangkah meninggalkan meja sembahyang, diikuti oleh suara tambur yang sejak tadi dipukul lambat-lambat mengikuti gerakan “pengantin puteri” ini, lalu langsung melangkah menaiki anak tangga ke atas panggung, diikuti oleh Sin Beng Lama, Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama. Tiga orang pendeta ini membawa bunga yang dirangkai menjadi tali yang amat panjang, kemudian, setelah Hong Ing berdiri membelakangi tiang sampai punggung menempel pada tiang, menghadap ke meja sembahyang, tiga orang pendeta itu sambil membaca doa lalu melibat-libatkan tali kembang itu ke seluruh tubuh Hong Ing. Kembang-kembang itu dirangkai dengan menggunakan tali yang kuat dan tahan api, dan hal ini dilakukan untuk menjaga agar sang mempelai akan tetap berdiri ketika dilakukan pembakaran nanti, tetap berdiri dan habis terbakar dalam sikap yang agung.

Setelah selesai mengikat Hong Ing pada tiang itu, mereka bertiga turun lalu dimulailah upacara sembahyang dan membaca doa sebelum pembakaran dilakukan.

Dengan penuh khidmat dan kesungguhan hati para pendeta itu, dipimpin oleh Sin Beng Lama, bersembahyang dan berdoa dan seluruh panca indria, seluruh perasaan dan perhatian mereka tujukan kepada dewa di langit!

Semenjak kecil, kita manusia telah digembleng dan dibentuk oleh tradisi, oleh agama, oleh kebudayaan dan oleh peradaban untuk menjadi permainan daripada kepercayaan-kepercayaan dan karena itu kita hidup tidak bebas lagi. Jalan pikiran kita tidak lagi bebas karena sudah digariskan dan ditentukan oleh kepercayaan yang ditanamkan kepada kita sejak kecil, sesuai dengan masyarakat dan lingkungan masing-masing. Oleh karena itu, kita tidak mengenal hidup seperti apa kenyataannya, melainkan memandang hidup melalui tirai yang berupa kepercayaan, ketahyulan, kebiasaan yang membentuk pendapat-pendapat. Kesemuanya ini diperkuat oleh makin membesarnya si aku yang juga diciptakan oleh pikiran menurut bentukan keadaan dan pendidikan kita.

Demikian palsu adanya hidup kita sehingga segala sesuatu yang kita lakukan tidaklah wajar lagi, melainkan sebagai pengulangan belaka dari kebiasaan kita. Segala yang kita lakukan bersumber kepada si aku, sehingga setiap perbuatan kita adalah palsu dan tidak wajar. Namun, kita tidak sadar akan hal ini, dan semua kepalsuan itu telah kita terima sebagai cara hidup kita yang wajar! Kepalsuan dianggap kewajaran, itulah pelajaran kebudayaan kita.

Para pendeta Jubah Merah itu pun hidup sebagai benda-benda mati yang hanya bergerak menurut garis yang sudah ditentukan lebih dulu. Mereka tidak mau menyelidiki dan mempelajari lagi apa yang mereka lakukan itu, karena yang terpenting bagi mereka, seperti bagi kita pada umumnya, adalah tujuan daripada perbuatan mereka. Perbuatannya sendiri menjadi tidak penting, karena semua perhatian ditujukan untuk mencapai tujuan. Upacara sembahyang mereka lakukan bukan semata demi sembahyang itu sendiri, melainkan bagi tercapainya yang mereka tuju sebagai hasil dari sembahyang itu. Mereka menghadapi “perjuangan” menumbangkan Pemerintah Tibet, maka mereka melakukan upacara pengorbanan dan sembahyang dengan segala kesungguhan hati, bukan demi upacara itu sendiri, melainkan demi terkabulnya harapan dan cita-cita mereka. Sembahyang, pengorbanan, dan segala upacara itu hanya menjadi cara atau jembatan belaka untuk memperoleh yang mereka kehendaki, yaitu kemenangan dalam “perjuangan” itu, melalui berkah para dewa yang mereka sembah-sembah.

Kalau kita mempunyai kepercayaan lain, tentu akan mencela mereka dan mengatakan bahwa mereka tahyul, dan sebagainya. Kita lupa bahwa kita sendiri pun sesungguhnya tidak jauh bedanya dengan mereka! Mari kita membalikkan pandangan mata kita untuk memandang dan meneliti, untuk mengenal keadaan diri sendiri! Kalau kita bersembahyang baik kepada Tuhan, kepada Nabi, kepada Dewa, atau kepada apa saja yang kita puja sebagai kepercayaan kita masing-masing, kepercayaan yang dibentuk oleh keadaan sekeliling atau oleh keadaan keluarga, kelompok, atau bangsa kita masing-masing, apa yang terucapkan oleh mulut atau hati kita? Mari kita menengok diri sendiri. Bukankah kita memohon kepada Tuhan atau Dewa atau Nabi dengan kata-kata masing-masing, “Ya Tuhan berkahilah SAYA, lindungilah SAYA, ampunilah SAYA, bimbinglah SAYA,” atau di dalam kelompok kita berdoa, “Ya Tuhan lindungilah KAMI, berilah kemenangan dalam perang kepada KAMI, ampunilah dosa-dosa KAMI”, dan selanjutnya lagi? Dengan demikian, bukankah seluruh doa dan upacaranya itu semata-mata ditujukan demi kepentingan SAYA, atau KAMI, atau si aku ini! Dengan demikian, apakah ini disebut pemujaan kepada Tuhan atau apa pun yang kita sembah? Ataukah hanya merupakan pemujaan kepada diri sendiri semata-mata? Dengan cara demikian, Tuhan tidak dipentingkan lagi, karena yang penting adalah aku, untukku, bagiku, demi aku, dan seterusnya. Bahkan seolah-olah nama Tuhan hanya kita peralat demi tercapainya segala keinginan kita, keinginan lahir maupun keinginan batin, keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di dunia maupun keinginan memperoleh kedudukan dan kemuliaan di alam baka! Bukankah semua ini merupakan kepurapuraan dan kemunafikan yang palsu? Segala macam perbuatan yang dicap sebagai perbuatan baik maupun perbuatan buruk oleh masyarakat kita dan kebudayaannya, segala macam perbuatan itu adalah munafik dan palsu selama di dasarnya terkandung pamrih untuk kepentingan atau kesenangan diri pribadi!

Ini sudah jelas dan nyata, bukan? Perbuatan barulah benar kalau digerakkan oleh CINTA KASIH dan cinta kasih bukanlah pamrih dalam bentuk apapun juga. Cinta kasih akan menghilang selama di situ terdapat pamrih! Dan tanpa cinta kasih tidak mungkin ada kebenaran, tidak mungkin ada kebaikan. Kebaikan tidak mungkin dapat dilatih, yang dilatih hanyalah yang palsu, yang berpamrih karena melatih kebaikan itu pun sudah merupakan suatu pamrih yang berselubung halus.

Oleh karena itu, marilah kita belajar mengenal diri sendiri dan melihat segala kepalsuan, kemunafikan, keburukan, yang berjejal penuh di dalam hati dan pikiran kita. Dengan memandang dan mengerti, semua itu akan runtuh dan lenyap, dan setelah bebas dari semua itu, baru sinar cinta kasih akan timbul. Ibarat matahari yang sinarnya takkan menimbulkan penerangan karena tertutup awan, demikian pula cinta kasih tidak bersinar karena tertutup oleh awan hitam yang bersumber kepada si aku! Di mana ada si aku, tentu timbul pertentangan dan permusuhan. Karena itu, di mana ada si aku, tidak mungkin ada cinta kasih.

Baru saja upacara sembahyang selesai, Sin Beng Lama berkata kepada dua orang sutenya, “Jemput Yap Kun Liong ke sini!”

Dua orang pendeta Lama itu bergegas masuk ke dalam markas dan memasuki kamar di mana Kun Liong duduk menanti dengan tenang, dijaga oleh dua losin orang pendeta Lama Jubah Merah. Melihat Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama masuk, Kun Liong berkata, “Ji-wi berjanji akan mempertemukan aku dengan Pek Hong Ing pagi ini.”

“Marilah, dia sudah menanti sejak tadi. Upacara sembahyang telah dilakukan, dan kini tinggal menanti kehadiranmu untuk segera melaksanakan upacara pengorbanan,” kata Hun Beng Lama dengan sikap serius.

“Pengorbanan...? Hong Ing...?” Kun Liong bangkit berdiri dan bertanya dengan penuh ketegangan.

Hun Beng Lama tersenyum dan memegang siku kanan Kun Liong sedangkan Lak Beng Lama memegang siku kirinya. “Marilah, Tai-hiap, kau menyaksikan sendiri dan melihat bahwa kami sama sekali tidak melakukan pemaksaan kepada Hong Ing.”

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan Kun Liong mengikuti dua orang pendeta Lama ini menuju ke belakang markas dan dia merasa makin gelisah dan tegang melihat banyaknya pendeta yang berkumpul di halaman belakang itu. Sementara itu, di dalam kamar hukuman di mana Kok Beng Lama duduk bersila, Bun Houw berlutut di depan kakek itu sambil menangis. “Suhu...! Suhu...! Kenapa Suhu selama tiga hari tidak mau mendengarkan permintaan teecu (murid)?” Bun Houw berteriak sambil menyusut air matanya. “Terjadi banyak hal luar biasa. Suheng Yap Kun Liong telah datang dan dia ditangkap oleh para Susiok dan dimasukkan kamar tahanan. Teecu sama sekali tidak boleh mendekat, bahkan diancam akan dipukul kalau teecu mendekati kamar itu. Juga Suci Hong Ing selalu berada di kamar sembahyang, tidak boleh teecu dekati. Suhu, semua itu telah terjadi dan Suhu tidak ambil pusing.”

Kok Beng Lama termenung, kemudian membuka mata dan menunduk, menatap wajah muridnya yang masih kecil itu, yang kini memandang kepadanya dengan pipi basah air mata. Dia tersenyum lebar. “Bun Houw, engkau muridku penuh semangat, akan tetapi engkau masih kanak-kanak. Engkau tidak tahu bahwa hidup ini baru berharga kalau kita menjaga kehormatan, dan kehormatan baru terjaga kalau kita selalu menyatukan kata-kata dan perbuatan. Pinceng (aku) telah berjanji tidak akan memberontak, mana mungkin engkau. minta pinceng mencampuri urusan para suteku itu?”

“Tapi, Suhu...”

“Sudahlah, jangan ganggu aku lagi. Pergilah dan latih pelajaranmu,” kakek itu menghardik.

Tiba-tiba Bun Houw yang mengusap air matanya itu berkata, suaranya penuh kemarahan, “Aku malu menjadi muridmu!”

Kata-kata ini mengejutkan Kok Beng Lama dan kakek ini membuka lagi matanya, memandang wajah yang kini merah dan penuh kemarahan, sepasang mata kecil yang berapi-api ditujukan kepadanya itu.

“Apa... apa katamu?” tanyanya penuh keheranan karena selama ini Bun Houw memperlihatkan sikap hormat, penuh sayang, dan penurut kepadanya.

“Aku bilang bahwa aku malu menjadi muridmu! Suhu mengecewakan hati, Suhu bukan seorang laki-laki gagah seperti yang kuduga! Suhu pengecut!”

Kalau saja tidak ingat bahwa yang bicara adalah seorang anak kecil yang sudah diambil sebagai muridnya, tentu sekali menggerakkan tangan Kok Beng Lama akan membunuh orang yang memakinya pengecut itu! Matanya terbelalak lebar dan telinganya mendengarkan kata-kata anak kecil itu yang terus menyerangnya!

“Suhu lebih percaya kepada para Susiok yang jahat itu daripada kepadaku! Suhu bilang memegang janji, akan tetapi apakah mereka juga memegang janji? Tahukah Suhu bahwa sekarang ini, seperti yang kuintai tadi, Suci sedang menghadapi ancaman maut, akan dibakar hidup-hidup? Akan tetapi Suhu tidak mau menolong. Suhu takut dan pengecut...!” Bun Houw tidak menangis lagi, dan kini sudah bangkit berdiri, telunjuk kanannya menuding-nuding ke arah muka kakek itu.

“Kau bohong...!” Kok Beng Lama membentak ketika mendengar cerita Bun Houw bahwa puterinya hendak dibakar hidup-hidup!

“Suhu lihat sendiri! Kalau saya bohong masib belum terlambat untuk menghukum saya. Suhu boleh bunuh saya.” Anak itu menjawab tegas.

Pada saat itu, terdengarlah suara hiruk pikuk di bagian belakang markas, seperti kegaduhan orang-orang yang bertempur, dan di antara suara hiruk pikuk itu pendengaran Kok Beng Lama yang amat tajam menangkap jeritan suara puterinya! Dia mendengus, dan tubuhnya yang tadinya duduk bersila itu, tiba-tiba berkelebat dan seperti terbang cepatnya dia sudah melompat keluar dari kamar itu dan terus berlari ke belakang!

Apa yang disaksikannya di halaman belakang markas itu membuat dia terkejut bukan main! Puterinya, dengan pakaian yang biasa dipakai gadis-gadis yang menjadi mempelai dewa, telah berdiri di panggung dengan tubuh berbelit-belit rangkaian bunga dan api di bawah panggung sudah mulai dinyalakan oleh Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama! Dia melihat puterinya itu memandang ke kanan kiri dan menjerit-jerit, “Kun Liong...! Jangan melawan... oh, Kun Liong!”

Kok Beng Lama terheran-heran. Melihat sikapnya dan keadaan di situ, agaknya puterinya itu tidak dipaksa, melainkan dengan suka rela ingin mengorbankan diri kepada dewa. Maka dia menjadi ragu-ragu dan bingung. Untuk merampas puterinya, menolong puterinya seperti yang telah dilakukan dahulu ketika dia menolong dan menyembunyikan Pek Cu Sian, dia tidak berani. Bukan tidak berani kepada para Lama, melainkan tidak berani melanggar janji, dan tidak berani lagi melakukan dosa terhadap dewa yang dimuliakannya. Ketika menoleh ke kiri, dia melihat seorang pemuda sedang mengamuk. Pemuda itu masih terbelenggu kedua tangannya di depan tubuh, dengan belenggu bulu biruang hitam, akan tetapi biarpun kedua tangannya terbelenggu, dengan tangan terangkap dan dengan kedua kakinya, pemuda itu telah merobohkan setiap orang Lama yang berani menghadangnya dan mengeroyoknya! Inilah yang menimbulkan kegaduhan dan kini para pendeta Lama sedang marah dan mulai menggunakan senjata untuk mengeroyok pemuda yang memberontak dan mengamuk itu.

“Kalian orang-orang kejam! Akan kubunuh semua kalau Hong Ing tidak dibebaskan!” Kun Liong berteriak-teriak dan beberapa orang pendeta Lama terlempar jauh tersambar tendangan kakinya yang dilakukan dengan kemarahan meluap-luap tercampur rasa gelisah yang hebat melihat betapa kekasihnya akan dibakar hidup-hidup!

“Manusia lancang! Dia dengan suka rela hendak mengorbankan diri menjadi mempelai dewa, ada sangkut-pautnya apa denganmu!” bentak seorang Lama dengan marah.

Mendengar ini, Kok Beng Lama makin bingung. Dia sudah berjanji tidak akan memberontak, dan tentu saja dia merasa bahwa dia bersalah kalau sampai dia mencegah puterinya yang hendak melakukan pengorbanan diri, suatu hal yang amat dimuliakan di dalam tradisi mereka. Akan tetapi, tentu saja dia pun tidak akan dapat membiarkan puterinya tewas begitu saja dan melihat sepak-terjang pemuda itu yang amat hebat, dia mendapat akal. Sambil mengeluarkan suara gerengan hebat dia menyerbu ke depan, mendorong semua Lama ke pinggir kemudian dia menyerang Kun Liong dengan hebatnya!

Melihat munculnya Kok Beng Lama, semua Lama, termasuk tiga orang pimpinan Lama, menjadi terkejut sekali. Akan tetapi hati mereka menjadi lega ketika melihat betapa Kok Beng Lama menyerang Kun Liong. Diam-diam Sin Beng Lama tersenyum girang melihat suhengnya telah benar-benar bertobat dan hendak menebus dosa terhadap dewa itu. Dengan adanya suhengnya itu yang membantu, tentu perjuangan mereka akan lebih mantap lagi.

lanjut ke Jilid 098-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar