Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 10

Dewi Maut Jilid 10

<--kembali

“Huh, dan kaukira aku membunuh murid sendiri? Coba katakan, apa sebabnya engkau menuduh aku yang membunuh?”

“Karena engkau benci kepada kakakku itu, karena engkau tidak setuju muridmu menjadi isteri kakakku atau karena engkau tidak suka dan iri melihat kebahagiaan orang lain.”

“Dan kau...kau sudah jelas tidak suka kepada kakakmu sendiri! Kau marah dijodohkan dengan putera ketua Cin-ling-pai, mungkin kau dan dia cekcok dulu lalu kau membunuhnya dengan darah dingin. Kaukira aku tidak mengenal orang yang berdarah dingin yang bertangan maut seperti engkau? Aku tadi melihat wanita tua itu menangis dan berkata, ‘Wanita keji itu yang membunuhnya!' Siapa lagi kalau bukan engkau yang dia maksudkan?”

“Go-bi Sin-kouw, berani kau menuduh aku!”

“Yap In Hong, engkau berani menghinaku!”

Kedua orang itu sudah saling melotot dan pada saat itu Yalima melangkah maju dan berkata, “Subo! Enci In Hong! Mengapa kalian berdua jadi ribut dan cekcok sendiri? Kalau memang kalian berdua tidak membunuh orang, sudahlah. Bagiku yang penting mencari dan bertemu dengan Houw-koko. Urusan enci dengan diapun akan dapat diselesaikan kalau sudah bertemu sendiri dengan dia bukan?”

Go-bi Sin-kouw tertawa terkekeh-kekeh. “Heh-heh-heh, pintar juga muridku ini. Nona In Hong, mengapa kita seperti anak kecil saja? Aku tidak membunuh, engkaupun tidak membunuh, pasti ada orang lain yang membunuh. Serahkan saja kepada Yap Kun Liong untuk menyelidiki siapa yang membunuh isterinya.”

“Aku tidak suka lagi melakukan perjalanan bersamamu, Sin-kouw. Kita berpisah di sini saja.”

“Eh-eh? Apakah engkau marah setelah terjadi peristiwa pembunuhan itu?”

“Bukan urusanku!”

“Nah, kalau begitu, benar juga kata muridku, sebaiknya kalau kita menjumpai Cia Bun Houw sendiri sehingga langsung engkau dapat memutuskan ikatan jodoh dan sekalian memaksanya mengawini muridku ini. Aku mengenal seorang sahabat baikku di lereng gunung itu, seorang tokoh besar, marilah kita mengunjungi karena engkau perlu sekali berkenalan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan. Dan setelah kita menitipkan Yalima di sana, kita berdua mencari Bun Houw. Bagaimana?”

Yap In Hong berpikir-pikir, melirik kepada Yalima. Gadis Tibet ini memegang tangannya dan berkata, “Marilah, enci In Hong. Aku yakin bahwa hanya dengan bantuanmu saja aku akan dapat berjumpa dengan Houw-ko.”

In Hong menghela napas panjang. Aneh, dia merasa suka sekali kepada Yalima!

“Sin-kouw, engkau sungguh mencurigakan. Kalau bukan engkau pembunuhnya, mengapa melihat muridmu tewas sikapmu enak-enak saja?” katanya.

“Heh-heh-heh, orang-orang seperti kita siapa yang lebih aneh? Engkau kematian so-somu (kakak iparmu) dan kaupun tidak berduka, bukan? Sudah, tidak perlu kita saling tuduh. Katakanlah bahwa mungkin seorang di antara kita yang membunuh, dan mungkin juga keduanya tidak.”

Mereka meninggalkan kuil tua itu menuju ke gunung yang ditunjuk oleh nenek itu. Diam-diam Yalima memperhatikan dan dara ini berpendapat di dalam hatinya bahwa tentu seorang di antara mereka berdua itu membohong. Tentu seorang dari mereka yang telah melakukan pembunuhan yang dibicarakan tadi, akan tetapi karena dia tertarik dan suka kepada In Hong, tentu saja hatinya condong menuduh subonya yang dia kenal sebagai seorang nenek yang luar biasa, aneh dan galak itu.

Gunung yang mereka tuju itu adalah bukit kecil dengan puncaknya yang disebut Giok-kee-san (Bukit Ayam Kumala) karena bentuk batu besar di puncak itu, yang merupakan batu kapur keras, memang tampaknya seperti seekor ayam bertengger dan kalau tertimpa matahari, batu kapur itu mengeluarkan cahaya seperti batu kumala.

Puncak ini menjadi pusat pertemuan dari orang-orang golongan hitam yang dikumpulkan dan diundang oleh Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Sian-kouw yang dalam usaba ini ditemani oleh Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan Dewa. Memang Toat-beng-kauw Bu Sit sebelum bergabung dengan empat orang lainnya, pernah tinggal di puncak Giok-kee-san ini sebagai seorang pertapa, biarpun ketika itu usianya baru tiga puluh tahun lebih. Dan karena dia tidak pernah membuat ribut, tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmunya, maka biarpun Leng-kok dekat dengan bukit itu, hanya perjalanan sehari semalam, namun Kun Liong tidak pernah mengenalnya. Kini, tempat itu dipilih oleh beng-kauw untuk menjadi tempat pertemuan dengan tokoh-tokoh dunia hitam yang diundang untuk membantu persekutuan mereka menghadapi Cin-ling-pai. Dia bertugas menemani tosu dan tokouw itu mencari bantuan-bantuan dari timur dan di antaranya mereka mengundang Go-bi Sin-kouw, yang biarpun merupakan tokoh barat dan utara, namun karena dia dikenal baik oleh Hek I Siankouw maka mereka undang juga.

Tentu saja Lima Bayangan Dewa ini hanya mengundang tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi saja dan pada saat itu, selain Go-bi Sin-kouw yang sedang menuju ke situ bersama Yap In Hong dan Yalima, sudah datang pula seorang undangan yang berilmu tinggi, seorang berpakaian pendeta atau pertapa pula yang dikenal dengan nama julukan Bouw Thaisu. Kakek ini adalah sahabat baik dari Thian Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw timur yang telah tewas ketika bentrok dengan keluarga Cia Keng Hong (baca cerita Petualang Asmara) sehingga diapun merasa tidak suka kepada keluarga Cin-ling-pai itu. Untuk memusuhi sendiri dia tidak berani, maka setelah kini Lima Bayangan Dewa mulai menentang Cin-ling-pai dan mengumpulkan persekutuan untuk menghadapi Cin-ling-pai, dia segera mengajukan diri.

In Hong memandang tajam penuh selidik ketika kedatangan mereka bertiga disambut dengan ramah oleh empat orang yang kelihatannya saja sudah sebagai orang-orang yang lihai. Hek I Sinkouw yang mengenal baik Go-bi Sin-kouw, segera memperkenalkan tiga orang itu kepada tokoh Go-bi ini, kemudian In Hong diperkenalkan sebagai seorang tokoh muda yang amat lihai oleh Go-bi Sin-kouw.

In Hong menyambut perkenalan itu dengan mengangkat kedua tangan di depan dadanya. Betapapun juga, mereka itu adalah orang-orang tua sekali, kecuali Toat-beng-kouw Bu Sit yang kurus seperti monyet dan yang pandang matanya penuh gairah ditujukan kepadanya itu.

“Nona Yap In Hong, saat ini engkau berhadapan dengan tokoh-tokoh puncak!” demikian Go-bi Sin-kouw memperkenalkan. “Sahabatku ini adalah Hek I Siankouw dan kaulihat, kesukaannya dalam hal warna pakaian sama seperti aku, sejak kami masih muda, heh-heh-heh, yaitu warna hitam mulus. Dulu dia cantik sekali, dengan kulitnya yang halus putih seperti kulitmu itu, sehingga menonjol sekali dengan pakaian hitamnya. Dan kepandaiannyapun hebat! Dan ini, seperti diperkenalkan tadi, adalah Hwa Hwa Cinjin, tokoh besar karena dia adalah sute dari mendiang Toat-beng Hoatsu yang pernah menjadi datuk golongan hitam. Kakek yang baru kukenal ini adalah Bouw Thaisu, pertapa di pantai Po-hai yang tinggi ilmunya. Dan dia ini biarpun masih muda, akan tetapi namanya sudah menggetarkan langit dengan para suhengnya. Dia adalah Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima Bayangan Dewa.”

Diam-diam In Hong terkejut dan memperhatikan. Hemm, kelihatannya tidak seberapa, pikirnya. Seorang laki-laki kecil kurus seperti monyet, usianya empat puluhan tahun, mukanya kuning pucat. Jadi inikah seorang di antara Lima Bayangan Dewa yang sudah menggegerkan dunia persilatan karena telah berani mengacau Cin-ling-pai dan mencuri Siang-bhok-kiam?

Sambil menyeringai Toat-beng-kauw Bu Sit menjura kepadanya dan berkata, “Nona Yap, sungguhpun saya belum pernah mendengar nama nona, akan tetapi saya percaya bahwa sebagai sababat Go-bi Sin-kouw, nona memiliki kepandaian yang amat hebat,” mulutnya bicara dengan In Hong, akan tetapi matanya yang kecil mengincar Yalima!

“Bu-sicu, engkau mungkin tidak dapat menduga!” Go-bi Sin-kouw terkekeh, “Nona Yap ini adalah adik kandung dari Yap Kun Liong di Leng-kok.”

“Aihhh...!” Tidak saja Toat-beng-kauw Bu Sit yang berseru terkejut, akan tetapi yang lain-lain memandang kaget, menoleh kepada Go-bi Sin-kouw dengan heran.

“Biarpun dia kakak kandungku, di antara kami tidak ada urusan apa-apa.” In Hong cepat berkata. “Sejak kecil tidak pernah ada hubungan.”

Mereka semua mengangguk-angguk dan tidak berani menyinggung urusan itu lagi, akan tetapi diam-diam mereka bersikap hati-hati karena mereka semua tahu bahwa Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang memiliki kepandaian hebat sekali dan merupakan “orang dekat” dengan Cin-ling-pai!

“Siapakah nona manis ini, Sin-kouw? Mengapa tidak diperkenalkan?” Tiba-tiba Bu Sit bertanya kepada Go-bi Sin-kouw sambil memandang kepada Yalima.

Go-bi Sin-kouw terkekeh bangga. “Cantik jelita dan hebat, ya? Dia ini adalah muridku yang baru, namanya Yalima, kembang dari Tibet.”

“Wah, sungguh beruntung engkau mempunyai murid secantik ini!” Bu Sit memuji dan semua orang tersenyum, hanya Yalima yang menundukkan mukanya dengan hati tidak enak melihat sinar mata Bu Sit demikian liar dan ganas menggerayanginya! In Hong juga melihat hal ini dan otomatis dia merasa tidak suka kepada Toat-beng-kauw Bu Sit. Adapun karena desakan Yalima maka dia mau ikut bersama Go-bi Sin-kouw, dan dia sudah mengambil keputusan untuk segera meninggalkan nenek yang tidak menyenangkan itu, akan tetapi begitu bertemu dengan orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini, hatinya tertarik untuk menyelidiki tentang pedang Siang-bhok-kiam! Pantas saja Jeng-ci Sin-touw Can Pouw pernah mengatakan bahwa Lima Bayangan Dewa tidak berada di sarangnya di muara lembah Huang-ho, kiranya mereka itu yang seorang berada di sini untuk mengumpulkan orang-orang lihai dari golongan hitam! Hal ini menarik perhatian In Hong dan dia ingin tahu apa yang hendak dilakukan orang-orang yang dia menduga amat benci dan memusuhi Cin-ling-pai ini.

Malam itu In Hong berkesempatan untuk bercakap-cakap berdua saja dengan Yalima selagi Go-bi Sin-kouw dan empat orang tokoh itu mengadakan perundingan di dalam ruangan belakang. Agaknya memang sengaja In Hong ditinggalkan, karena setelah makan malam. Yalima diperintah oleh subonya untuk mengajak In Hong berjalan-jalan dan menikmati malam indah di luar pondok itu. Malam itu penuh bintang, sungguhpun di udara nampak awan hitam berkelompok.

“Sin-kouw, sungguh engkau aneh sekali. Biarpun dia mengaku tidak ada hubungan dengan kakak kandungnya, akan tetapi kalau dia itu adik Yap Kun Liong, sungguh berbahaya sekali engkau mengajaknya ke sini! Siapa tahu dia itu sengaja menjadi mata-mata Cin-ling-pai!” Toat-beng-kauw Bu Sit menegur nenek itu.

“Heh-heh, kaukira aku sebodoh itu? Aku pertama-tama tertarik kepadanya ketika di Wu-han dalam sebuah pesta dia menghina puteri ketua Cin-ling-pai!”

“Ahhh...!” Semua orang tertarik, terutama sekali Toat-beng-kauw Bu Sit yang menjadi musuh besar keluarga Cin-ling-pai.

Nenek dari Go-bi itu lalu menceritakan semua yang dilihatnya di dalam pesta itu, bahkan lalu menuturkan apa yang didengarnya dari In Hong sendiri betapa dara itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Yap Kun Liong, kakak kandungnya itu.

Mereka mendengarkan penuturan ini dengan heran, akan tetapi dengan suara ragu-ragu, Toat-beng-kauw Bu Sit mencela. “Betapapun juga, hal itu masih belum menjadi jaminan penuh bahwa dia bukan mata-mata Cin-ling-pai. Siapa tahu kalau sikapnya dengan puteri Cin-ling-pai itu hanya permainan sandiwara belaka.”

Wajah nenek Go-bi menjadi merah dan dia melotot. “Tidakkah kalian melihat burung hong di rambutnya?”

“Ah, Giok-hong-pang...?” Hek I Sian-kouw bertanya.

Go-bi Sin-kouw mengangguk. “Murid tunggal dari ketuanya, dan aku sudah melihat sendiri kepandaiannya hebat. Nah, seorang murid ketua Giok-hong-pang, apakah masih belum meyakinkan? Kalau masih belum, Toat-beng-kauw Bu Sit, ada satu lagi yang membuat aku berani mengajaknya ke sini. Dia mungkin telah membunuh isteri Yap Kun Liong malam tadi di Leng-kok, atau setidaknya, dia melihat kematian kakan iparnya itu dengan sikap dingin dan tidak peduli!”

“Huhh...?” Berita ini benar-benar mengejutkan semua orang. Ketika nenek itu menceritakan tentang kematian nyonya Yap Kun Liong, semua orang menjadi girang.

“Aha, Go-bi Sin-kouw, engkau telah berjasa besar masih pura-pura merendahkan diri!” Hwa Hwa Cinjin berkata. “Siapa lagi kalau bukan engkau yang membunuhnya?”

Go-bi Sin-kouw memainkan senyumnya yang nyaprut. “Mungkin aku, mungkin Yap In Hong, aku sendiri sampai bingung memikirkan. In Hong telah menyangkal. Nah, Bu-sicu, apakah kau masih belum yakin?”

Bu Sit bangkit berdiri dan menjura sampai dalam ke arah nenek itu. “Atas nama Lima Bayangan Dewa, aku menghaturkan terima kasih atas semua jasamu, Sin-kouw! Dan sekarang, apa maksudmu mengajak dia ke sini?”

Go-bi Sin-kouw lalu menceritakan tentang kemarahan In Hong terhadap Cia Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang ditunangkan dengan dia. Dia tidak mau, bahkan marah-marah, apalagi setelah melihat bahwa Yalima adalah pacar Bun Houw di Tibet.

“Kalau dia bisa dipancing agar mendatangi puteri ketua Cin-ling-pai di Sin-yang, kemudian mereka itu yang sama keras hatinya cekcok sampai bermusuhan, bukankah ini hebat sekali? Itulah sebabnya maka dia kuajak ke sini.”

“Wah, engkau memang hebat, Sin-kouw! Dan dara mulus muridmu itu kalau dia benar pacar putera ketua Cin-ling-pai, dapat kita jadikan sandera yang amat berharga. Dia harus dapat dibujuk untuk membantu kita,” kata Toat-beng-kauw Bu Sit.

Nenek itu menggeleng kepala. “Hemm, bocah itu tidak pandai ilmu silat dan baru kuajari, akan tetapi hatinya keras sekali dan dia tidak mungkin dapat dibujuk. Dia mau ikut denganku ke mana saja hanya karena aku berjanji akan mempertemukan dia dengan pecarnya.”

Toat-beng-kauw Bu Sit mengerutkan alisnya, dan tiba-tiba dia memukul tangannya sendiri. “Ah, jalan satu-satunya hanya... kalau saja kau setuju, Sin-kouw!” Dua orang itu saling pandang, lalu Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh.

“Heh-heh-heh, engkau nakal sekali dan amat cerdik seperti monyet! Memang orang cerdik seperti engkau pantas menerima untung itu, dia cantik manis bukan main. Aku menyerahkan dia malam ini kepadamu, Bu Sit, asal engkau suka berlutut tiga kali di depan kakiku sambil mengucapkan terima kasih.”

Tentu saja Toat-beng-kauw Bu Sit girang bukan main. Dia memang cerdik dan dari penuturan Go-bi Sin-kouw tentang Yalima tadi, dia sudah menduga bahwa murid baru itu tentu tidak begitu dihiraukan oleh gurunya, pula, di samping dia sudah tergila-gila melihat dara remaja yang cantik molek itu, juga dia melihat pentingnya dara yang memegang peran penting itu ditundukkan dan dipaksa menjadi kaki tangan Lima Bayangan Dewa. Dia tidak tahu bahwa bukan karena itulah Go-bi Sin-kouw menyerahkan muridnya itu kepada Bu Sit. Justeru karena dia tidak ingin kehilangan muridnya itu maka dia mengorbankan muridnya kepada orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini! Memang watak nenek ini luar biasa aneh dan sadisnya!

Saking girangnya, Bu Sit yang sudah hampir menitikkan air liur teringat akan calon mangsanya itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Go-bi Sin-kouw dan mengangguk-angguk tiga kali sambil berkata, “Terima kasih, terima kasih, terima kasih!” Go-bi Sin-kouw tertawa bergelak dan semua orang juga tersenyum. Mereka adalah orang-orang tua yang tidak perduli lagi akan urusan seperti itu, yang penting bagi mereka adalah dapat berhasil membasmi Cin-ling-pai untuk membalas dendam mereka yang sudah ditahan bertahun-tahun.

Sementara itu, In Hong berjalan-jalan dengan Yalima di luar pondok. Setelah kini memperoleh kesempatan berdua saja dengan nona yang gagah perkasa itu, Yalima merasa dekat sekali dengan In Hong dan tanpa disadarinya dia sudah menggandeng lengan In Hong dan menggenggam tangannya. Tangan In Hong terasa hangat olehnya, dan kehangatan ini menjalar terus ke dalam dadanya terhadap pendekar wanita itu.

Mereka lalu duduk di atas batu agak jauh dari pondok, di tempat yang sunyi sekali dan dari situ nampak berkelap-kelip lampu-lampu yang menyorot keluar dari dusun di bawah. Angkasa penuh bintang sedangkan di utara kadang-kadang nampak kilat menyambar di antara awan-awan gelap, membuat bintang-bintang kehilangan cahayanya dan baru berseri-seri lagi setelah kilat berlalu.

“In Hong, aku hendak bertanya sesuatu kepadamu, jangan kau marah ya?” Yalima berkata sambil mengelus tangan pendekar wanita itu dengan penuh kekaguman betapa tangan yang amat halus itu mengandung tenaga yang amat kuat dan luar biasa.

In Hong tesenyum memandang wajah manis yang berada di depannya. Biarpun cuaca hanya remang-remang saja, hanya diterangi oleh cahaya bintang-bintang yang lembut, namun masih mudah menangkap kecantikan bentuk muka dara remaja itu, wajah yang agaknya serasi benar dengan alam terbuka dan hawa pegunungan. Angin semilir membuat sedikit rambut yang terlepas dari kelabangnya itu melambai-lambai.

“Tanyalah, mengapa aku harus marah?”

“Enci In Hong... sungguh sukar bagiku untuk percaya ketika engkau mengatakan bahwa engkau menolak pertalian jodoh dengan Houw-ko! Mengapa, enci?”

In Hong memandang wajah itu, melihat sepasang mata Yalima menatapnya penuh selidik dan cahaya bintang terpantul dari manik sepasang mata indah itu. Pertanyaan yang polos dan jujur tanpa maksud apa-apa tersembunyi di baliknya. Dia tersenyum lagi dan merasa heran sendiri karena dia merasa betapa baru dua kali ini dia merasa senang bercakap-cakap, yang pertama dengan Si Malaikan Copet dan yang kedua dengan Yalima.

“Mengapa? Tentu saja aku menolak, Yalima. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dia, bagaimana aku sudi dijodohkan dengan orang yang sama sekali belum pernah kulihat? Pula aku kira... agaknya... aku tidak akan suka dijodohkan selama hidupku.”

Yalima memandang heran melihat kesungguhan membayang di muka yang cantik sekali dan yang mengagumkan hatinya itu. Memang sesungguhnya Yap In Hong mempunyai wajah yang amat cantik, yang agak tertutup oleh sikapnya yang dingin. Wajahnya sama dengan mendiang ibunya, yaitu Gui Yan Cu, seorang wanita yang sudah terkenal sekali akan kecantikannya.

“Akan tetapi engkau agaknya...amat membenci Houw-ko. Padahal engkau belum pernah jumpa denganya. Bagaimana ini, enci? Aku sungguh tidak mengerti. Memang amat aneh bagi dara yang sedang dimabok cinta ini melihat ada orang sampai bisa membenci Bun Hou! Pemuda yang baginya tidak ada cacat celanya itu tidak mungkin menimbulkan benci di hati orang lain, sehingga kebencian In Hong selain mengherankan juga menimbulkan curiga.

“Aku membenci semua pria yang mempermainkan wanita, dan dia itu telah mempermainkan aku, telah menghina aku atau engkau, maka aku membencinya!”

“Eh, aku tidak mengerti, enci.”

“Tergantung mana lebih dulu, dia mengenalmu atau dia ditunangkan dengan aku. Kalau dia sudah tahu babwa dia bertunangan dengan aku, maka berarti dia telah mempermainkan dan menghinamu, sebaliknya kalau lebih dulu dia mengenalmu baru dia bertunangan dengan aku, berarti dia mempermainkan dan menghina aku!”

Yalima masih bingung. “Seharuanya dia bersikap bagaimana, enci?”

“Kalau dia lebih dulu mengenalmu, dia harus menolak semua ikatan jodoh dengan orang lain! Dan kalau dia sudah bertunangan, tidak semestinya dia menggodamu!”

Hening sejenak ketika Yalima mencoba untuk memaklumi pendapat In Hong itu. Lalu dia bertanya lagi, “Enci, apakah engkau cemburu?”

In Hong terkejut dan memandang dara remaja itu. “Apa maksudmu? Aku cemburu? Cemburu bagaimana dan kepada siapa?”

“Cemburu kepadaku, enci In Hong, karena aku... aku dan Houw-ko...”

“Hushh, sembarangan saja kau bicara! Engkau manis, sudah sepatutnya kalau ada orang jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi hati-hatilah, Yalima, laki-laki sukar untuk dapat dipercaya. Aku khawatir kalau seorang semanis engkau sampai kelak harus mengalami patah hati seperti yang lain...”

“Seperti yang lain siapa, enci?”

In Hong tidak menjawab, mengenang kehidupan gurunya dan para bibi anggauta Giok-hong-pang.

“Seperti siapa, enci? Apakah engkau pernah patah hati karena cinta, enci?”

“Hushh!” In Hong tersenyum dan mencubit dagu yang meruncing manis itu. “Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tidak akan jatuh cinta karenanya aku tidak akan bisa patah hati.”

Aku tidak percaya, enci. Orang secantik engkau, seperti Kwan Im Pouwsat...mana mungkin...pasti banyak yang akan jatuh cinta kepadamu, dan kalau...kalau kau berjumpa dengan Houw-ko aku yakin...” Dara itu memandang penuh khawatiran.

“Hemm, kaurasa bagaimana?” In Hong sudah siap untuk mendampratnya kalau dara itu berani mengatakan bahwa dia akan jatuh cinta kepada Bun Houw.

“Kurasa enci tidak akan bisa membencinya. Dia begitu baik, begitu gagah...”

In Hong tersenyum lebar. “Tentu saja, karena itu engkau mencintanya. Sudahlah, kau tidurlah. Aku sudah mengambil keputusan untuk segera pergi dari sini, terus terang saja aku tidak suka bersama-sama dengan gurumu, Yalima.”

“Aku juga sebenarnya tidak suka padanya, enci.”

“Eh?? Apa ini? Kau tidak suka kepada gurumu? Kalau begitu, kau pergi bersamaku saja!”

“Mengapa enci ingin pergi mengajak aku?”

“Entahlah, aku suka padamu dan... agaknya aku membutuhkan seorang sahabat.”

“Sayang, aku tidak bisa meninggalkan guruku, enci.”

“Mengapa? Aku bisa mencarikan pacarmu itu untukmu, aku tanggung dapat kutemukan dia dan kupaksa dia menikah denganmu.”

“Bukan itu, enci. Subo pernah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Aku melarikan diri dari rumah ayah karena tidak sudi dibawa ke Lhasa untuk dipersembahkan kepada pangeran dan di dalam hutan, aku hampir menjadi korban harimau. Subo datang menyelamatkan aku dan aku lalu diambil murid, diajak pergi setelah kuceritakan riwayatku kepadanya. Aku telah hutang budi, bahkan hutang nyawa, begaimana aku dapat meninggalkannya begitu saja, sungguhpun aku... amat... tidak suka kepadanya?”

Yalima menundukkan muka dengan sedih dan In Hong diam-diam memuji gadis yang biarpun tidak terpelajar dan hanya seorang dusun namun telah tahu apa artinya hutang budi.

Mereka lalu kembali ke pondok karena hawa makin dingin dan In Hong melihat Yalima mulai kedinginan. Tanpa disengaja lagi, mereka bergandeng tangan kembali ke pondok dan memasuki kamar masing-masing, In Hong di kamarnya sendiri dan Yalima di sebuah kamar besar bersama subonya yang masih bercakap-cakap dengan orang-orang itu.

Sukar bagi In Hong untuk pulas. Bermacam-macam hal mengaduk pikirannya. Teringat dia akan kakaknya dan sukar dia membayangkan bagaimana keadaan kakaknya yang kematian isteri. Dia tidak perduli akan kematian isteri kakaknya itu, hanya ingin sekali melihat bagaimana keadaan kakak kandungnya itu setelah isterinya meninggal dunia. Diapun diganggu dengan persoalan Lima Bayangan Dewa yang kini seorang daripada mereka berada di pondok ini. Dia ingin sekali tahu di mana mereka menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam dan ingin melihat pedang itu, bahkan kalau ada kesempatan dia ingin merampas pedang itu untuk dirinya sendiri! Yang terakhir dia terkenang kepada Yalima, terngiang semua pertanyaan Yalima dan dia merasa suka dan kasihan kepada dara ini. Dia membanding-bandingkan dirinya sendiri dengan Yalima. Ada persamaannya. Biarpun Yalima masih mempunyai ayah bunda, namun dia tahu bahwa ayah bundanya itu seolah-olah sudah mati baginya karena dia tentu tidak akan berani pulang selama hidupnya. Seperti juga dia, Yalima seorang diri saja. Hanya sedikit perbedaannya, kalau dia masih ada subonya dan Giok-hong-pang yang selalu bersikap baik kepadanya, Yalima hanya mempunyai satu harapan, yaitu pada diri kekasihnya itu, Cia Bun Houw.

“Aku harus membantunya bertemu dengan pemuda itu,” dengan keputusan hati ini In Hong mulai tertidur. Lapat-lapat masih terdengar suara Go-bi Sin-kouw dan yang lain-lain bercakap-cakap, kadang-kadang terus tertawa sambil minum arak di ruangan tengah.

“Tidak... tidak... ah, teecu tidak mau, subo...”

“Bocah tolol! Engkau muridku dan engkau harus menurut perintahku. Hayo keluar!”

In Hong lapat-lapat mendengar suara ini, disusul suara lirih, “...enci In Hong!” dan kalau sekiranya tidak ada suara Yalima yang memanggil namanya dengan lirih itu, bukan memanggil bahkan seperti orang mengeluh kepadanya saja, agaknya dia tidak akan terbangun. Namun suara Yalima lirih menyebut namanya itu, cukup membuat semua urat syaraf di tubuhnya menegang. Dia bangkit duduk, mengenakan sepatunya dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dengan pendengarannya, dia dapat mengikuti gerakan guru dan murid itu keluar dari kamar sebelah dan kemudian dia mendengar Go-bi Sin-kouw sudah tertawa-tawa lagi dengan teman-temannya di ruangan tengah.

Dia terheran. Apa yang terjadi? Agaknya, melihat suara orang-orang tua itu di ruangan tengah, tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi ke mana perginya Yalima? Mengapa dara itu tadi keluar dari kamar bersama gurunya dan tidak kembali lagi ke kamar sebelah?

“...jangan...! Tidak mau...!”

Suara ini lirih, agaknya mulut yang mengeluarkan bunyi ini dibungkam dan terdengar jauh, bukan dari kamar sebelah. Namun cukuplah bagi In Hong untuk melompat turun dari bangkunya, membuka jendela dan bagaikan seekor burung walet saja tubuhnya sudah melayang keluar, lalu dia berindap-indap ke arah dari mana datangnya suara yang tidak jelas tadi.

Suara napas terengah-engah terdengar dari sebuah kamar, disusul bisikan seorang laki-laki. “Diamlah, manis, menurutlah saja... subomu sudah memberikan engkau kepadaku... heh?heh, diamlah...”

Suara Toat-beng-kauw Bu Sit! In Hong merasa betapa mukanya panas seperti dibakar, menjalar dari dada terus ke atas, sampai ke telinganya dan tubuhnya tiba-tiba saja menerjang jendela kamar itu.

“Bruukkkk!” Daun jendela jebol dan dia melihat Bu Sit sedang menindih dan merobek baju Yalima sehingga nampak dada gadis itu tidak tertutup lagi.

“Keparat busuk!”

Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut, mengutuk dan meloncat turun, kemudian menghadapi tamparan In Hong dia cepat merendahkan tubuh sambil menangkis.

“Desss... plakkk...!” Biarpun sudah ditangkis, tetap saja tangan In Hong berhasil membobolkan tangkisan itu dan tamparannya masih hinggap di pundak Bu Sit sehingga orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini terlempar dan tubuhnya terbanting pada dinding.

“Brukkkk!”

Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa serangan tamparan yang dilakukan seenaknya saja itu mampu membobolkan tangkisannya, bahkan tamparan itu membuat tubuhnya yang kebal itu terasa panas dan membuat dia terlempar dan terbanting!

“Engkau layak mampus!” In Hong berkata, suaranya dingin sekali, mulutnya tersenyum dan tertimpa sinar lampu membuat Bu Sit ketakutan dan ngeri. Tiba-tiba dia berseru keras dan tubuhnya sudah melesat keluar dari kamar itu melalui pintu. Cepat sekali gerakannya ini sehingga In Hong tidak sempat mencegahnya. Namun dengan kemarahan meluap In Hong mengejar keluar dari kamar itu menuju ke ruangan tengah ke mana Bu Sit tadi melarikan diri. Dengan mata berapi-api In Hong sudah mencabut pedangnya dan kini dia menudingkan pedangnya ke arah muka Bu Sit yang berlindung di belakang orang-orang tua itu sambil membentak, “Jahanam busuk Bu Sit, majulah untuk menerima kematian!”

“Eh, eh, nona In Hong. Apakah yang terjadi?” Go-bi Sin-kouw bertanya, tongkat melintang di depan dada.

In Hong tersenyum mengejek. “Apa yang terjadi? Seperti kalian tidak tahu saja! Monyet busuk itu hendak memperkosa Yalima! Karena itu dia harus mampus di tanganku!”

“Yap-kouwnio, aku tidak memperkosa... aku... aku...” Toat-beng-kauw Bu Sit adalah orang kelima dari Lima Bayangan Dewa, ilmu kepandaiannya tinggi dan dia malah terkenal sebagi iblis pencabut nyawa, malah julukannya Toat-beng-kauw (Monyet Pencabut Nyawa), akan tetapi kini menghadapi gadis yang sikapnya begitu dingin membayangkan maut sendiri, dan melihat betapa dalam satu gebrakan saja gadis itu mampu membuatnya terbanting di tembok, dia menjadi gentar.

“Sabarlah, nona Yap In Hong!” Go-bi Sin-kouw berkata. “Dia tidak memperkosa, tidak ada perkosaan di sini. Yalima memang melayaninya atas permintaanku dan muridku yang baik itu sudah mau.”

“Bohong! Mana ada guru menyuruh muridnya berlaku sehina itu!”

“Heh-heh-heh, kau anak kecil tahu apa, nona? Ketahuilah, dahulu aku mempunyai dua orang murid perempuan yang kucinta seperti anak-anakku sendiri, akan tetapi apa jadinya? Yang seorang menyerahkan diri tanpa seijinku kepada Ouwyang Bouw bocah setan itu, yang kedua menyerahkan diri di luar kehendakku, kepada Yap Kun Liong, kakakmu! Sekarang aku mempunyai murid ini dan aku tidak ingin terjadi seperti dulu, kini aku yang mengatur dia harus menyerahkan diri kepada siapa, dan malam ini untuk merayakan perkenalanku dengan Toat-beng-kauw Bu Sit, aku menyuruh muridku menyerahkan diri kepadanya, mengapa engkau mencampuri urusan antara guru dan murid?”

“Bagus, nenek iblis! Wanita jalang dan kotor! Kalau begitu engkaupun akan mampus di tanganku bersama monyet tengik itu!”

In Hong sudah menerjang maju, Go-bi Sin-kouw marah sekali, tongkatnya juga bergerak dan menangkis. Juga Toat-beng-kauw Bu Sit sudah menndapat hati melihat ada yang membantunya. Dia bukan pengecut, dan tadi dia hanya terkejut saja. Kini dia berseru keras, mengeluarkan senjatanya, sebatang joan-pian (pecut baja) yang panjang dan terdengar suara meledak-ledak ketika dia menggerakkan senjatanya itu.

“Tar-tar-tarrrr... cring-trakkk-singg...!” Toat-beng-kauw Bu Sit dan Go-bi Sin-kauw terkejut bukan main. Ternyata dalam bantrokan pertama itu, sinar pedang di tangan In Hong meluncur kuat bukan main, membuat tongkat di tangan Go-bi Sin-kauw tergetar hebat dan pecut baja di tangan Bu Sit membalik, sedangkan gulungan sinar pedang masih terus meluncur ke arah leher mereka.

“Plak! Plakk!” Sinar pedang itu bertemu dengan sinar putih dua kali dan ternyata Bouw Thiasu telah menangkis sinar pedang itu denan ujung lengan bajunya yang mengandung getaran hawa kuat sekali.

“Tahan dulu, nona...!” Bouw Thaisu berseru.

In Hong meloncat ke belakang, pedangya melintang di dada, tangan kiri dengan jari terbuka dipasang di atas kepala. “Aku akan membunuh Go-bi Sin-kouw dan Toat-beng-kauw Bu Sit. Siapa yang hendak melindungi mereka boleh maju sekalian!”

“Enci In Hong...! Jangan bunuh dia...!” Tiba-tiba Yalima lari dari dalam dan dia sudah membetulkan bajunya yang robek, mengikatnya dengan saputangan dan kemudian menyusul keluar.

In Hong mengerutjan alisnya, heran sekali mendengar ini, “Siapa maksudmu?”

“Go-bi Sin-kouw itu, jangan dibunuh. Dia pernah berbuat baik sekali dengan menolongku, kini dia melakukan perbuatan jahat sekali dengan mengumpankan aku kepada manusia yang lebib ganas dari harimau, berarti sudah tidak ada hutang budi lagi. Kalau dia dibunuh, berarti aku masih hutang budi. Sekarang aku bisa ikut bersamamu, enci.”

In Hong memandang ke depan dengan muka dingin, dan suaranya juga dingin menggiris jantung ketika dia berkata, “Engkau sudah mendengar Go-bi Sin-kouw! Boleh kalian pilih, aku melupakan perkara tadi akan tetapi Yalima ikut bersamaku, atau kalian boleh maju semua untuk mati di ujung pedangku!”

“Siancai... bocah bermulut lancang! Pinto tidak boleh membiarkan engkau menantang kami!” Hwa Hwa Cinjin berkata halus dan sebuah kebutan kuning telah berada di tangannya.

“Bocah sombong, kaukira kami takut kepadamu?” Hek I Siankouw juga sudah mengeluarkan pedangnya yang berkilauan tajam.

“Tidak perlu banyak cakap, majulah kalian semua orang-orang berhati busuk!” In Hong menantang lagi, siap dengan pedangnya, berdiri tegak dan bersikap tenang, akan tetapi matanya melirik ke arah calon-calon lawannya dengan penuh kewaspadaan. Sedikitpun dara ini tidak merasa jerih sungguhpun dia maklum bahwa dia menghadapi lima orang yang ilmu kepandaiannya tinggi.

Akan tetapi Go-bi Sin-kouw tertawa dan memberi isyarat kepada teman-temannya untuk tidak turun tangan. “Heh-heh-heh, nona In Hong. Di antara kita orang-orang sendiri, perlu apa ribut-ribut hanya untuk urusan kosong belaka? Kita menghadapi urusan yang lebih besar, kalau saling gempur sendiri, bukankah merugikan kita sendiri? Yalima ini belum mempelajari sejuruspun ilmu dariku, maka kalau dia memang tidak suka menjadi muridku dan lebih suka denganmu, silakan. Akupun tidak perlu memperebutkannya.”

Melihat sikap mengalah dan ucapan yang nadanya ramah itu, In Hong merasa tidak enak sendiri. Betapapun juga, yang menyelamatkan nyawa Yalima adalah nenek ini dan dara itu telah diambil murid oleh nenek ini. Jadi sesungguhnya dialah yang melanggar aturan, mencampuri urusan guru dan murid yang tidak ada bedanya dengan mencampuri urusan antara anak dan orang tuanya.

“Akupun tidak mempunyai permusuhan dengan kalian,” katanya dengan teguran halus. “Dan andaikata urusan antara Yalima dan engkau baik-baik saja, akupun tidak akan berani mencampuri, Go-bi Sin-kouw. Akan tetapi melihat seorang dara hendak diperkosa oleh seorang laki-laki, sampai matipun aku tidak rela dan siapapun laki-laki itu, pasti akan kutentang!”

“Heh-heh-heh, Toat-beng-kauw, sekali ini engkau harus mengalah!” Go-bi Sin-kouw berkata sambil tertawa. “Kita lupa bahwa di sini hadir seorang tokoh Giok-hong-pang yang terkenal sebagai pembenci kaum pria. Sudahlah, nona In Hong. Aku mengalah dan menyerahkan Yalima kepadamu, akan tetapi engkaupun harus berjanji bahwa kita adalah segolongan dan kalau kelak kita membutuhkan bantuan, kuharap engkau tidak menolak membantu kami menghadapi lawan-lawan tangguh.”

“Aku tidak akan berjanji apa-apa, Sin-kouw. Akan tetapi akan kuingat bahwa kalian bukan musuh-musuhku di saat ini dan telah memperlibatkan sikap bersahabat. Mudah-mudahan kelak kalianpun akan tetap bersikap demikian. Nah, aku hendak pergi bersama Yalima sekarang.”

“Aih, nona muda yang gagah perkasa. Urusan kecil itu mengapa masih membuat nona marah? Maafkanlah aku yang tidak tahan melihat gadis cantik jelita yang telah diserahkan oleh gurunya kepadaku ini. Harap engkau dan nona Yalima bermalam di sini dan besok baru melanjutkan perjalanan.” Toat-beng-kauw Bu Sit juga berkata membujuk. Orang termuda dari Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa) ini cukup cerdik untuk mengerti maksud hati Go-bi Sin-kouw, maka dia mengalah pula, menghapuskan kekecewaan hatinya, karena urusan kehilangan calon korban gadis itu hanyalah merupakan hal kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan permusuhan mereka terhadap golongan Cin-ling-pai yang amat kuat. Gadis ini lihai sekali dan andaikata mereka berlima dapat mengalahkannya dan membunuhnya, hal itu hanya akan membikin mereka rugi besar saja. Menurut cerita nenek itu, gadis ini biarpun menjadi adik kandung Yap Kun Liong, bahkan tadinya hendak dijadikan calon mantu oleh ketua Cin-ling-pai, akan tetapi gadis ini tidak mau bahkan telah memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Cin-ling-pai, sudah bentrok pula dengan puteri ketua Cin-ling-pai, maka dapat dijadikan sebagai sekutu untuk kelak jika mereka telah berhadapan langsung melawan Cin-ling-pai.

Akan tetapi In Hong masih merasa panas hatinya sehingga bujukan dan sikap manis dari Bu Sit ini diterimanya dengan senyum mengejek dan dia menngeleng kepala. “Kami berdua harus pergi sekarang juga. Selamat tinggal. Mari, Yalima!” Setelah berkata demikian, In Hong menyarungkan pedangnya, menyambar lengan Yalima dan dara Tibet ini menjerit ngeri ketika tiba-tiba tubuhnya dibawa “terbang” keluar dari tempat itu dan menghilang di dalam kegelapan.

Setelah In Hong bersama Yalima menghilang, nenek berpakaian serba hitam Hek I Siankow menyarungkan pedang sambil bersungut-sungut, “Ihh, Sin-kouw, sungguh keterlaluan sekali. Tentu kita dianggap takut melawan dia! Betapa memalukan!”

Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh dan memukul-mukul tongkatnya di atas lantai. “Siankouw, sabar dan tenanglah, pikir baik-baik. Siapa takut terhadap anak ayam itu? Akan tetapi kita harus bersikap cerdik. Urusan antara dia dan kita, hanya mengenai diri Yalima yang belum menjadi muridku dan kalau Toat-beng-kouw menghendaki gadis cantik, apa sih sukar nya bagi dia? Mengapa urusan perawan Tibet, bocah dusun itu, harus merugikan kita semua? Yap In Hong adalah murid terkasih dari ketua Giok-hong-pang, sebaiknya bersahabat dengan dia daripada bermusuh. Cin-ling-pai saja sudah merupakan musuh yang harus kita hadapi dengan pengerahan tenaga kita yang bergabung, apalagi kalau harus ditambah dengan Giok-hong-pang sebagai musuh, betapa akan beratnya bagi kita.”

“Go-bi Sin-kouw sungguh benar, dan tepat sekali!” Toat-beng-kauw berkata. “Nona itu memang lihai sekali, kalau kita bisa menarik dia, apalagi gurunya dan seluruh Giok-hong-pang berdiri di fihak kita untuk menghadapi Cin-ling-pai, tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat lagi.”

“Hemmm, kalau begitu biarlah aku bersabar hati. Besok kalau kita tidak membutuhkan dia lagi, aku pasti akan mencarinya untuk membalas tantangannya yang amat merendahkan hati ini, baru hatiku akan puas!” Hek I Siankouw mengomel dan mereka lalu kembali ke ruangan untuk menyiram hati yang panas dengan arak sebelum pergi beristirahat.

Sementara itu, setelah keluar dari Giok-kee-san, In Hong mengajak Yalima melanjutkan perjalanan dan baru mereka berhenti setelah tiba di sebuah tempat perhentian di pinggir jalan yang kecil dan atapnya sudah banyak rusak. Mereka duduk di atas bangku kayu yang sudah reyot pula.

“Enci In Hong, engkau telah menjadi banyak repot karena diriku,” kata Yalima. Tempat itu amat gelap dan mereka hanya saling dapat melihat bayangan mereka di dalam penerangan remang-remang dari cahaya bintang-bintang di langit.

In Hong menghela napas panjang. “Yang membikin aku repot bukanlah engkau, Yalima, melainkan kaum pria macam Toat-beng-kauw itulah. Selama dunia masih terdapat banyak laki-laki macam dia, aku akan selalu repot karena aku akan berusaha untuk menentang dan membasmi mereka.”

“Enci In Hong, sekarang kita hendak pergi ke mana?”

“Kita beristirahat di sini sampai malam lewat. Besok kita ke Cin-ling-san menyusul pacarmu dan engkau akan kuserahkan pada mereka.”

“Dan engkau...?”

“Aku akan pergi. Sudahlah, kau boleh tidur melepaskan lelah di lantai ini, dan jangan ganggu aku.”

In Hong lalu duduk bersila di sudut tempat itu, tidak bicara lagi. Yalima juga tidak berani mengganggu dan dara Tibet ini lalu rebah melingkar di atas lantai mencoba untuk monidurkah tubuhnya yang sudah amat lelah itu. In Hong melamun. Sebetulnya, hanya pada lahirnya saja dia kelihatan tidak perduli akan keadaan kakaknya, karena dia memang sejak kecil dilatih untuk bersikap dingin. Namun, di lubuk hatinya, dia merasa amat kasihan kepada kakak iparnya, dan kasihan kepada kakak kandungnya yang tentu akan hancur hatinya kalau melihat isterinya tewas secara menyedihkan itu. Maka dia sudah mengambil keputusan, di dalam hatinya. Setelah dia mengantar Yalima ke Cin-ling-pai, menyerahkan dara itu kepada Cia Bun Houw yang sudah sepatutnya mengawini gadis ini, dia akan pergi untuk melakukan penyelidikan, mencari pembunuh kakak iparnya yang tadinya dia sangka tentulah Go-bi Sin-kouw akan tetapi yang belum ada buktinya itu. Dia akan mencari pembunuh itu sampai ketemu, dan membalaskan dendam kematian kakak iparnya. Dan diapun akan menyelidiki Lima Bayangan Dewa, yaitu Toat-beng-kauw Bu Sit yang dibencinya, bersama kawan-kawannya, dan mencoba untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam dan menyerahkan pedang pusaka itu kepada gurunya. Dengan demikian barulah dia akan mengangkat nama gurunya, dan gurunya tentu akan merasa bangga sekali.

***

Dara remaja yang belum dewasa benar itu berjalan seorang diri di dalam hutan yang amat lebat. Wajahnya yang cantik jelita, terutama bentuk mulutnya yang manis, kini nampak pucat dan layu, matanya agak kemerahan karena terlalu banyak menangis, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu kusut, demikian pula pakaiannya yang agaknya sudah beberapa hari tidak pernah diganti. Langkah-langkahnya gontai dan pandang matanya sayu, kosong memandang ke depan, Kadang-kadang dia menarik napas panjang yang bercampur isak.

Dara remaja ini adalah Yap Mei Lan, puteri Yap Kun Liong yang melarikan diri dari rumah orang tuanya dengan hati hancur. Dia bukan anak kandung ibunya! Kenyataan yang amat menyakitkan hati ini membuat dia lari pada malam hari itu, lari begitu saja tanpa membawa apa-apa, tanpa tujuan karena dia hanya menurutkan dorongan hati yang kecewa, penasaran dan berduka. Ibunya adalah orang pertama di dunia ini yang dicintainya, yang dibanggakannya sebagai wanita tercantik di dunia, barulah ayahnya yang hanya menjadi orang kedua baginya. Akan tetapi ibunya, orang yang dicintanya, dan dihormatinya, dijunjungnya dan dibanggakannya itu ternyata bukan ibu kandungnya! Dia tidak mau pulang lagi! Biar dia mati di jalan daripada harus menghadapi ibunya yang kini tidak lagi menjadi ibunya! Dia anak haram, dia anak pungut, anak tidak sah. Rasa marah dan penasaran terhadap ayahnya timbul. Mengapa ayahnya menipunya? Mengapa tidak sejak kecil memberi tahu bahwa ibunya tercinta itu bukan ibu kandungnya!

Tubuhnya sudah lemas. Biarpun sejak kecil Mei Lan telah digembleng secara tekun oleh ayah bundanya yang memiliki kepandaian tinggi, dan tubuhnya yang bagaikan bunga mulai mekar, bagaikan buah mulai meranum itu amat kuat dan memiliki daya tahan yang luar biasa, menyembunyikan tenaga sin-kang yang kuat sekali, namun karena dia menghadapi pukulan batin yanj hebat, ditambah selama empat hari terus malakukah perjalanan sambil menangis tanpa makan atau minum, bahkan tidak pernah tidur, kini tubuhnya hampir tidak kuat lagi dan dia melangkah seperti boneka hidup, kedua kakinya bergerak otomatis memasuki hutan yang besar dan lebat itu.

Teringat dia betapa ibunya juga amat mencintainya. Ibunya tidak mempunyai anak lain, dan kalau dia bukan anak kandung ibunya, berarti ibunya memang tidak mempunyai anak dan tentu saja dia amat disayang, tidak perduli bahwa dia bukan anak kandung ibunya.

“Ibuuu...!” Mei Lan tersandung, jatuh di bawah sebatang pohon dan teringat ibunya, hatinya perih seperti ditusuk dan dia menangis, menelungkup di atas rumput. Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh dan cekikikan di atas pohon.

Biarpun tubuhnya lemas sekali, berkat latihan ilmu silat sejak kecil, secara tiba-tiba saja tubuh Mei Lan dapat meloncat bangkit dan dia sudah duduk dan memandang ke atas. Matanya yang masih basah air mata, itu terbelalak, wajahnya yang sudah pucat menjadi makin pucat ketika dia melihat mahluk-mahluk seperti setan dan iblis ternyata memenuhi pohon besar itu, ada yang berjongkok di atas cabang, ada yang bergantungan dengan kepala di bawah. Tubuh mereka itu seperti manusia, akan tetapi muka mereka mengerikan, ada yang merah seperti darah, ada yang putih seperti kapas, dengan mata lebar dan mulut penuh gigi besar-besar bertaring! Jantung Mei Lan berdebar seperti hendak melarikan diri dari dalam dadanya ketika dia melihat pemandangan yang mengerikan itu, dan sejenak hanya dapat memandang terbelalak ke atas, berganti-ganti memandang tujuh mahluk aneh yang mengeluarkan suara tertawa-tawa itu.

Tujuh mahluk yang bertubuh manusia bermuka setan itu kini berloncatan ke bawah, gerakan mereka ringan dan mereka sudah mengepung Mei Lan sambil berjingkrak menari-nari dan tertawa-tawa. Di balik rasa ngeri dan takutnya yang hebat, timbul kemarahan di hati Mei Lan. Setan atau bukan, mereka ini datang menggodaku, pikirnya marah dan tiba-tiba dara remaja ini mengeluarkan suara melengking nyaring, tubuhnya menerjang ke depan dan dia sudah menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah seorang iblis berwajah biru. Iblis itu tertawa dan menangkis.

“Plakkk! Desss...!”

Iblis muka biru itu terpelanting dan berteriak kesakitan, sedangkan enam iblis lainnya mengeluarkan seruan aneh karena terkejut. Mereka agaknya sama sekali tidak menyangka bahwa gadis cilik ini telah memiliki kesaktian sedemikian hebatnya sehingga seorang di antara mereka sampai terpukul roboh! Seorang di antara mereka yang berwajah merah mengeluarkan suara aneh dan kini enam orang itu yang berdiri mengurung Mei Lan, kemudian mereka mengangkat kedua lengan ke atas, jari-jari tangan mereka bergerak-gerak dan mulut mereka mengeluarkan suara perlahan dengan bibir berkemak-kemik seperti orang membaca mantera, mata mereka yang melotot lebar itu mengeluarkan sinar yang berpengaruh dan aneh.

Mei Lan berdiri di tengah-tengah, memutar-mutar tubuh memandang mereka dengan mata terbelalak penuh kengerian dan ketakutan, kemudian pandang matanya terpikat oleh gerakan-gerakan jari tangan mereka dan telinganya penuh dengan suara mereka yang tidak dia mengerti maknanya. Kemudian ketika enam orang itu bergerak mengelilinginya dengan jari-jari tangan masih bergerak-gerak, dia merasa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang. Beberapa kali matanya terpejam dan dibukanya kembali dengan paksa, kepalanya diguncang keras untuk mengusir kepeningan karena dalam keadaan pening dan mengantuk, amat berbahaya menghadapi lawan, apalagi lawan-lawan yang aneh dan menyeramkan ini.

Akan tetapi tiba-tiba di antara suara perlahan seperti membaca mantera itu terdengar suara yang jelas, perlahan akan tetapi berwibawa, “Nona kecil, engkau amat lelah dan mengantuk, mengapa tidak tidur? Tidurlah!”

Mei Lan mendengar suara ini dan memang dia amat lelah dan mengantuk, maka anjuran itu amat menyenangkan dan otomatis dia menjawab, “Aku mau tidur.”

“Ya, tidurlah! Rebahlah di atas rumput halus. Tidurlah...!”

Di sudut hatinya Mei Lan merasa aneh sekali dan tidak semestinya kalau dia tidur padahal menghadapi orang-orang atau setan-setan aneh ini, akan tetapi rasa kantuknya tak dapat dilawannya lagi dan seluruh tubuhnya sudah lelah seperti kehabisan tenaga. Maka dia lalu menjatuhkah diri berlutut, dan menggulingkan diri rebah miring dan suara itu masih terus mengiang di telinganya, “...tidurlah... tidurlah dengan nyenyak... tidurlah...!”

Selanjutnya Mei Lan sudah tidak tahu apa-apa lagi. Dia tidur sedemikian nyenyaknya seperti orang pingsan atau mati hingga dia tidak merasa lagi betapa dia digotong oleh setan-setan berwajah menyeramkan itu, dibawa ke sebuah lereng bukit yang menyambung hutan itu, dibawa ke sebuah perkampungan kecil yang hanya terdiri dari beberapa buah pondok.

“Nona, bangunlah...!”

Suara ini terdengar amat jauh, akan tetapi begitu jelas memasuki telinga Mei Lan dan dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa nyaman dan pikirannya tenang, dia tidak ingat apa-apa lagi, yang teringat hanya bahwa dia harus bangun! Ketika dia bangkit dan duduk, ternyata dia berada di sebuah kamar dan tadi tidur di atas pembaringan. Beberapa orang yang mukanya mengerikan berada di kamar itu, dan seorang di antara mereka duduk tak jauh dari pembaringannya, yaitu si muka merah yang matanya mengeluarkan sinar penuh kekuatan mujijat.

“Nona, perutmu lapar sekali, engkau makanlah. Makanan sudah tersedia di meja makan dan minumlah sekenyangnya, nona. Tidak ada perasaan sungkan dan takut dalam hatimu. Makanlah.”

Perut Mei Lan berkeruyuk. Memang sudah empat lima hari dia tidak makan dan tidak minum. Dan matanya melihat nasi dan masakan berada di atas meja dekat pembaringan, masih mengepulkan uap dan baunya sedap sekali. Seperti dalam mimpi rasanya, dan tanpa sungkan-sungkan lagi, Mei Lan lalu turun dari pembaringan, duduk di atas bangku menghadapi meja makan dan makanlah dara remaja ini sekenyangnya. Pulih kembali tenaganya dan wajahnya yang tadinya pucat kembali menjadi kemerahan. Akan tetapi ketika dia yang tidak biasa minum arak itu hanya minum air teh yang tersedia di situ, terdengar suara si muka merah. “Arak wangi berada di depanmu itu dapat menambah tenaga. Kauminumlah arak itu, nona.”

Suara itu meresap ke dalam hatinya dan tak dapat dilawannya lagi, otomatis tangannya meraih cawan terisi arak dan diminumnya arak itu. Akan tetapi, baru saja cawan itu menempel di bibirnya, bibir dan lidahnya merasakan sesuatu yang membuatnya terkejut. Tidak percuma Mei Lan menjadi puteri Pendekar Sakti Yap Kun Liong yang sejak kecil selain sudah menerima gemblengan ilmu silat, juga oleh ibunya telah diberi tahu akan tanda-tanda makanan maupun minuman yang mengandung racun. Begitu bibir dan lidahnya merasai bahwa arak itu mengandung racun pembius, seketika dia teringat akan ayah ibunya dan teringat akan kesemuanya. Bukan main kaget dan herannya melihat betapa dia menurut saja kepada suara yang menyuruhnya itu, makan sampai kenyang dan hampir saja minum arak beracun. Adanya racun dalam arak yang disuruh minum oleh si muka merah itu, sekaligus menyadarkannya bahwa dia berada di dalam cengkeraman orang-orang jahat! Teringatlah dia betapa di dalam hutan dia telah merobohkan seorang di antara mereka, betapa kemudian enam orang itu dengan cara aneh telah membuat dia tidak dapat melawan, bahkan dia lalu tidak ingat apa-apa lagi. Dia tentu telah kena sihir! Ingatan ini membuat Mei Lan menjadi marah dan tiba-tiba dia bangkit berdiri, membalik dan memandang si muka merah dan tiga orang lain yang agaknya menjaga di situ.

“Ehh...!” tiga orang penjaga yang mukanya juga mengerikan sudah bangkit dan menghampirinya, sedangkan si muka merah dengan mengangkat tangannya ke arah muka Mei Lan membuat gerakan-gerakan dengan jari tangannya.

“Nona... kauminumlah arak itu... minumlah... minumlah...!” Suaranya mengandung getaran yang amat berpengaruh dan hampir saja Mei Lan menggerakkan tangan yang memegang cawan itu ke mulutnya. Akan tetapi karena dia sudah teringat dan sadar, dia maklum bahwa suara berpengaruh itu adalah suara musuh yang tidak seharuanya diturut, maka dengan marah dia lalu melemparkan cawan arak itu ke arah si muka merah sambil membentak, “Minumlah sendiri!”

Si muka merah terkejut, cepat mengelak akan tetapi tetap saja arak yang muncrat dari cawan itu mengenai mukanya. Tiga orang lainnya sudah menubruk maju karena melihat bahwa dara itu telah dapat melepaskan diri dari ikatan sihir. Akan tetapi kini Mei Lan sudah sadar benar dan dia menggerakkan kaki tangannya menghadapi tiga orang itu.

Kaki dan tangan Mei Lan berukuran kecil saja, akan tetapi mengandung tenaga yang amat dahsyst karena dia menggerakkannya dengan pengerahan tenaga sin-kang. Dua orang roboh oleh tamparan kedua tangannya dan orang ketiga yang menubruk dari belakangnya, bertemu dengan kaki Mei Lan yang melakukan tendangan sambil memutar tubuh. Kakinya melayang tinggi ke atas, tepat menghantam muka orang ketiga itu.

“Desss... auughhh...!” Orang itu terpelanting dan roboh terguling dan Mei Lan melihat betapa tendangannya yang tepat mengenai dagu orang itu membuat topeng orang itu terbuka! Kiranya wajah-wajah menyeramkan itu hanyalah topeng belaka, topeng yang amat baik buatannya sehingga kalau dipakai hampir tidak kelihatan seperti topeng dan di balik topeng itu adalah wajah seorang laki-laki yang biasa saja!

Hal ini membesarkan hati Mei Lan dan dia sudah meloncat ke depan ketika melihat si muka merah menyambar sebatang toya kuningan dari sudut kamar. Toya itu memapakinya dan menyambar secepat kilat ke arah leher. Mei Lan menundukkan muka, merendahkan sedikit tubuhnya dan dari bawah tangan kirinya yang dikepal menyambar ke depan, kakinya bergerak maju dan pukulan tangan kiri itu mengarah dada lawan. Akan tetapi si muka merah itu agaknya pandai juga ilmu silat. Dia cepat meloncat ke samping dan toyanya kembali sudah menyambar ke arah kaki Mei Lan dengan serampangan yang kuat sekali. Akan tetapi tiba-tiba si muka merah terkejut setengah mati karena dara itu lenyap dari depannya! Dia adalah seorang yang biasa menyamar seperti setan akan tetapi kini dia menjadi ngeri melihat dara itu bisa “menghilang” seperti setan pula!

“Setan muka merah, aku di sini!” Mei Lan mengejek dan memang anak ini pada dasarnya berwatak jenaka. Kini setelah dia sadar benar dan dapat mengussai keadaan, timbul kenakalannya sehingga dia mempermainkan si muka merah atau si topeng merah. Lawannya menggereng marah, membalik sambil menggerakkan toyanya yang kini dimainkan dengan cepat, diputar-putar dan secara bertubi-tubi menerjang ke arah Mei Lan yang meloncat dan mengelak ke sana ke mari dengan enak dan mudah saja.

“Sialan!” Mei Lan mengejek. “Kiranya kalian hanya setan-setan palsu saja! Aku tidak membunuh kalian hanya karena mengingat bahwa kalian sudah memberi makan kepadaku. Hayo buka kedok merahmu itu!”

Akan tetapi si muka merah yang menjadi makin marah itu menyerang terus, dan Mei Lan menjadi repot juga. Cepat dia meloncat tinggi ke atas dan seperti tadi, dia hendak melewati kepala lawan. Akan tetapt sekali ini si muka merah sudah maklum bahwa gadis cilik itu lihai sekali gin-kangnya, maka dia sudah mengejarnya dengan sodokan toya dari bawah. Melihat ini, Mei Lan menangkap ujung toya dan kakinya menotok ke bawah.

“Aduhhh...!” Si muka merah berteriak, toyanya terlepas dan dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi muka karena hidungnya yang tercium ujung kaki kiri Mei Lan telah remuk tulang mudanya dan berdarah!

Pada saat Mei Lan meloncat turun ke bawah dan membalik, ternyata di pintu telah muncul sembilan orang bertopeng setan dan dipimpin oleh seorang kakek bermuka putih yang cepat berkata, “Tangkap dia dan jangan lukai dia! Pangcu (ketua) menghendaki dia dalam keadaan utuh dan segar!”

Sembilan orang itu menubruk. Mei Lan melawan sekuatnya dan membagi-bagi pukulan akan tetapi karena sembilan orang itu maju berbareng dan meringkusnya, apalagi kakek muka putih itu lihai sekali dan telah berhasil menotok pundaknya, akhirnya gadis cilik ini dapat diringkus dan dibelenggu kaki tangannya, kemudian digotong keluar dari kamar itu, menuju ke sebuah ruangan yang besar dan dia dibaringkan di atas sebuah dipan kayu.

lanjut ke Jilid 11-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar