Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 65

Petualang Asmara Jilid 065

<--kembali

Kun Liong duduk termenung. Malam telah tua. Sunyi sekali sekeliling itu, sesunyi hati Kun Liong. Akan tetapi pikirannya mulal mengaduk kesunyian dan dia mengingat-ingat semua pengalaman yang telah dialaminya. Terutama sekali hal-hal yang baru saja terjadi, yang amat berkesan di hatinya. Kematian ayah bundanya yang telah impas karena lima orang datuk kaum sesat yang membunuh mereka itu telah terbunuh semua. Usul ikatan jodoh antara dia dan Cia Giok Keng yang tidak disetujui oleh dara itu. Kematian Souw Li Hwa dan Yuan yang amat mengharukan hatinya dan yang mulai merubah pandangannya tentang cinta kasih antara pria dan wanita. Kemudian pengalamannya bersama Lim Hwi Sian yang tak mungkin dapat dia lupakan selama hidupnya. Dan yang terakhir pengalaman mengerikan dengan Kim Seng Siocia sampai saat ini.

Mengapa jalan hidupnya selalu melintasi persoalan cinta? Mengapa banyak benar gadis yang dijumpainya dan dikenalnya, dan yang menimbulkan rasa suka di hatinya? Akan tetapi, cintakah semua itu? Tidak, dia yakin itu bukan cinta seperti yang disebut-sebut orang! Dia suka kepada Yo Bi Kiok, kepada Souw Li Hwa, Cia Giok Keng, Lim Hwi Sian, Yuanita, karena mereka adalah dara-dara yang cantik jelita dan memiliki daya tarik masing-masing yang khas sehingga dia merasa suka dan tertarik. Akan tetapi itu bukan cinta! Bahkan apa yang dilakukannya bersama Hwi Sian malam itu, sama sekali bukan karena dorongan cinta bagi dia, melainkan karena rangsangan dan dorongan nafsu berahi. Entah bagi Hwi Sian. Cintakah itu? Dan apa yang dilakukan Kim Seng Siocia terhadapnya itu, jelas bukan cinta karena Kim Seng Siocia memaksanya menjadi suami dengan tujuan untuk mengajaknya membantu dalam usahanya membalas dendam kepada Cia Keng Hong. Dan bagaimana perasaannya terhadap Hong Ing? Dia menundukkan muka memandang tubuh yang meringkuk membelakanginya itu. Cintakah dia kepada Hong Ing? Ah, tentu saja tidak. Kalau kepada yang lain dia tidak pernah mencinta, mengapa kepada Hong Ing ada kecualinya? Dia hanya suka kepada Hong Ing, suka dan merasa kasihan mendengar riwayat dara yang terpaksa menjadi nikouw untuk menghindarkan diri dari pernikahan paksaan ini. Mengapa benar dia harus jatuh cinta kepada Hong Ing?

Kemudian terbayanglah peristiwa di atas kapal yang terbakar. Terbayanglah dua orang mahluk muda yang dengan rela suka mati bersama. Yuan dan Li Hwa! Mereka saling berpelukan sampai pada saat terakhir, sampai kapal yang terbakar itu membawa mereka tenggelam. Itukah cinta? Agaknya itulah! Saling membela, siap untuk berkorban diri sampai mati! Itukah cinta? Kalau perlu membasmi siapa saja dengan kekerasan, membasmi mereka yang hendak menghalangi hasrat mereka untuk hidup bersama. Inikah cinta antara pria dan wanita? Membawa kekerasan, pertentangan, bahkan kematian yang begitu mengerikan? Agaknya itulah cinta yang disanjung-sanjung manusia, cinta antara pria dan wanita dan segala sesuatu yang tercakup di dalamnya. Cemburu, iri hati, nafsu berahi, kesenangan, kekecewaan, kepuasan, kemarahan, kedukaan dan kebencian. Semua ini tercakup di dalam perasaan yang disebut cinta!

“Hemmm, kalau begitu aku tidak mau jatuh cinta!” Kun Liong mengepal tinjunya dan kembali pandang matanya menimpa punggung Hong Ing.

Kalau bukan cinta, lalu apakah itu yang mendorong dia melakukan segala pengorbanan demi untuk menyelamatkan Hong Ing? Hanya karena kasihan begitu saja? Ataukah ada udang di balik batu, ada sesuatu di balik semua itu? Mengapa dia bersusah payah menyusul Hong Ing ke Go-bi-san sampai dia kesasar ke istana Kim Seng Siocia akan tetapi yang malah merupakan suatu kebetulan karena ternyata orang yang dicarinya, Pek Hong Ing, memang berada di situ? Bukankah itu cinta namanya?

“Tidak! Aku tidak mau jatuh...!” Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya ini. Ternyata diluar kesadarannya, dia telah meneriakkan suara hatinya ini sehingga dia melihat Hong Ing bergerak, agaknya terbangun oleh kata-katanya tadi. Betapa tololnya dia! Dan dara ini kelihatan begini angkuh! Kalau dia memperlihatkan bahwa dia agaknya hampir jatuh cinta, tentu dara ini akan menjadi makin angkuh saja! Tidak, dia tidak akan merendahkan diri sedemikian rupa, hanya karena dia suka dan kasihan kepada dara in!”

Karena merasa mengkal hatinya terhadap dirinya sendiri, Kun Liong melempar tubuhnya ke belakang, untuk rebah di dekat api unggun dan agar dia tidak dapat melihat lagi kepada Hong Ing.

“Dukkk!” Hampir dia berteriak namun ditahannya, hanya jari-jari tangannya saja yang mengusap-usap kepala gundulnya yang tadi membentur batu ketika dia merebahkan diri terlentang. Kulit kepala itu berdenyut-denyut. Lumayan juga nyerinya!

Kun Liong membuka matanya, akan tetapi cepat menutupkannya kembali dan melindungi mata dengan tangan kiri dari sinar matahari yang amat menyilaukan dan menggunakan tangan kanan untuk menggaruki kepalanya yang terasa gatal-gatal. Kiranya matahari telah naik tinggi dan sinar matahari yang tepat sekali menimpa kepalanya itu menggigiti kulit kepalanya dan menyilaukan matanya. Setelah dia bangkit duduk dan terbebas dari sinar matahari yang tadi langsung menimpanya, dia baru berani membuka mata dan melihat Hong Ing sudah duduk di depannya dengan muka segar dan mulut tersenyum! Manisnya! Sepagi itu telah kelihatan segar dan jelas sekali bahwa dara ini tentu telah mandi, entah di mana!

“Tidurmu enak sekali, aku tidak tega membangunkanmu.”

“Kau...” Kun Liong menahan kata-katanya dan menelan kembali pujiannya ketika teringat betapa semalam gadis ini kelihatan marah-marah dan kini dia tidak ingin melihat wajah yang berseri itu kembali marah, “kau... kelihatan segar sekali, Hong Ing.”

Senyum itu melebar dan untuk kedua kalinya Kun Liong menjadi silau. Hanya bedanya, kalau yang pertama dia silau oleh sinar matahari yang menyakitkan mata, kini dia silau akan kemanisan wajah dengan deretan gigi seputih mutiara yang menyedapkan mata, membuat dia bengong sejenak dan baru sadar kembali ketika dara itu berkata dengan wajah berseri gembira. “Aku sudah mandi. Segar dan sejuk sekali, Kun Liong. Di sana...” Dia menuding ke timur, “hanya setengah li dari sini terdapat mata air yang jernih. Aku sudah mandi dan ketika kembali ke sini, aku menangkap seekor kelinci gemuk.”

“Kelinci...?” Tiba-tiba cuping hidung Kun Liong bergerak-gerak seperti hidung kelinci karena dia mencium bau yang gurih dan sedap. “Mana kelincinya?”

Melihat betapa lubang hidung pemuda itu presis hidung kelinci yang tadi ditangkapnya, Hong Ing terkekeh dan menutupi mulut dengan punggung tangan kirinya, gerakan kebebasan yang terselimut kesopanan tradisionil yang menjadi perpaduan harmonis sekali. Manis sekali. “Hi-hik, kelincinya sudah tidak ada lagi, yang ada hanya daging kelinci panggang...”

“Sedaaap...!” Kun Liong memuji dan tiba-tiba perutnya terasa lapar sekali.

“Mandi dulu, baru aku mau menghidangkan daging panggang. Hayo, pemalas benar kau!” Hong Ing mengebut-ngebutkan seranting daun-daun basah sehingga airnya bepercikan ke muka Kun Liong, sambil tertawa-tawa.

Senang benar rasa hati Kun Liong pagi itu. Semua perasaan pahit di hatinya terusir pergi oleh senyum di bibir dan seri di wajah dara itu. Dia berloncatan sambil berteriak-teriak, “Ihhh... dingin... dingin!” Lalu dia lari menuju ke timur seperti yang tadi ditunjuk oleh Hong Ing. Benar saja, dia mendapatkan sebuah mata air yang mengeluarkan air jernih sekali dan di bawah sumber air itu air telah tergenang, merupakan sebuah kolam air penuh dengan air kebiruan saking jernihnya. Rumput-rumput yang tumbuh di pinggir kolam itu kacau-balau, meninggalkan bekas Hong Ing mandi tadi. Dengan hati penuh kegembiraan, kegembiraan luar biasa yang belum pernah terasa olehnya sepanjang ingatannya, Kun Liong lalu menanggalkan semua pakaiannya. Ketika hanya tinggal celana dalamnya yang tinggal menempel di tubuhnya, tiba-tiba dia berhenti dan bergidik karena teringatlah dia akan pengalamannya di dalam kamar tidur Kim Seng Siocia. Terbayanglah betapa dia menggigil penuh kengerian dan tiba-tiba dia tertawa dan membuka celana itu lalu melempar tubuhnya yang telanjang bulat ke dalam air.

Daging kelinci panggang itu memang sedap sekali, gurih manis dan lunak, amat lezat terutama sekali bagi perut mereka yang lapar. Seolah-olah terasa oleh Kun Liong betapa sari makanan itu setelah memasuki perutnya memulihkan tenaganya yang diserap habis oleh kelelahan dan kelaparan. Setelah menyiram daging panggang dalam perut itu dengan air jernih sebagai minuman, Kun Liong mengelus perutnya, memandang kepada Hong Ing dan berkata, “Kau pandai benar memanggang daging kelinci. Selama hidupku baru sekali makan daging panggang begitu lezatnya!”

“Kau masih ingin lagi? Nih, kau makan bagianku!” Hong Ing mengulurkan tangan yang memegang daging paha kelinci ke depan mulut Kun Liong.

“Eih, mengapa engkau begini baik hati kepadaku, Hong Ing?” tanpa disengaja, tangan kanan Kun Liong menangkap lengan yang kecil itu dan sejenak mereka berpandangan. Hong Ing cepat menundukkan mukanya dan Kun Liong melepaskan pegangan tangannya, “Kaumakanlah sendiri, aku sudah kenyang! Ah, enak sekali masakanmu!”

Sepasang pipi itu menjadi merah dan mata itu jernih sekali ketika diangkat memandang. Sejenak mereka saling pandang dan akhirnya Hong Ing menundukkan mukanya. Kun Liong terheran-heran. Mengapa pula ini? Hatinya menjadi berdebar dan terharu! Biasanya, melihat wajah cantik seorang dara, dia ingin mengusapnya, ingin mendekat, ingin memeluk menciumnya, ingin menggodanya. Akan tetapi mengapa sekarang lain lagi? Hatinya seperti tersentuh sesuatu yang halus yang membuat dia memandang Hong Ing dengan perasaan penuh hormat, penuh iba, penuh haru.

Keadaan sunyi itu amat mengusik hati dan akhirnya Hong Ing tanpa mengangkat mukanya bertanya, “Bagaimana engkau dapat muncul begitu tiba-tiba di istana Kim Seng Siocia?”

Lega hati Kun Liong mendengar suara ini. Inilah suara Hong Ing seperti biasanya, seperti sebelum peristiwa itu terjadi di istana, sebelum mereka saling berpisah dahulu itu dan suara ini mengusir semua suasana tegang dan aneh tadi.

“Tadinya aku hendak menyusulmu. Hatiku merasa tidak enak ketika aku melihat engkau pergi bersama sucimu itu, aku lalu menuju ke Go-bi-san dan bertanya-tanya. Akan tetapi tidak ada penduduk dusun yang dapat memberi tahu di mana tempat tinggal Go-bi Sin-kouw. Akhirnya aku tiba di lereng puncak tempat tinggal Kim Seng Siocia tanpa kusengaja. Karena mengira bahwa itu adalah tempat tinggal gurumu, maka aku menyelundup masuk dan...”

“Kau berteriak memanggil nama Subo (Ibu Guru). Hemm, mengapa kau jauh-jauh dan bersusah payah datang ke Go-bi-san untuk mencariku?”

“Aku tidak rela melihat kau dipaksa orang untuk menikah dengan pangeran yang tidak kau suka. Aku kasihan melihat engkau yang sudah mengorbankan diri menjadi nikouw untuk menghindar dari paksaan itu, tidak berdaya dan terpaksa ikut dengan sucimu, seolah-olah engkau seekor domba yang dituntun ke tempat penjagalan. Karena itu maka aku segera mencarimu.”

“Kau baik sekali, Kun Liong.”

“Ah, tidak. Aku melakukan itu bukan karena ingin baik, melainkan karena aku kasihan kepadamu, penasaran melihat urusanmu. Tidak kusengaja.”

Keduanya terdiam sampai agak lama.

“Dan demi keselamatanku, kau mengorbankan dirimu, kau membiarkan dirimu ditawan oleh Kim Seng Siocia,” kata pula Hong Ing tanpa mengangkat muka dan jari-jari tangan yang kecil putih halus itu memainkan ujung rumput di depan kakinya.

“Tentu saja, Hong Ing! Masa setelah jauh-jauh mencarimu dan bertemu di situ, aku bisa membiarkan saja engkau dibunuhnya? Aku tidak berdaya, jalan satu-satunya hanya menyerah.”

“Dan kau membiarkan dirimu menjadi... suaminya?”

“Hemm, permintaannya yang gila!”

Kun Liong kembali bergidik terbayang akan pengalamannya di kamar itu. “Akan tetapi, melihat betapa ancamannya untuk membunuhmu amat bersungguh-sungguh, terpaksa pula aku menyerah. Keselamatanmu lebih penting pada waktu itu...”

Tiba-tiba Hong Ing mengangkat mukanya dan terkejutlah hati Kun Liong ketika dia melihat sepasang mata itu bersinar-sinar penuh kemarahan!

“Jadi kauanggap bahwa nyawaku lebih penting daripada kehormatanmu?”

“Kehormatan? Apa maksudmu?”

“Kau menyerahkan diri sebagai suami paksaan, bukankah itu berarti menginjak-injak kehormatan sendiri?”

Kun Liong menjadi bengong dan sejenak hanya dapat memandang dara itu.

“Begitu rendahkah kau? Mau saja menuruti nafsu menjijikkan seorang wanita gila seperti dia?”

Kun Liong menggeleng kepala. “Jangan salah mengerti, Hong Ing. Aku tidak berdaya, kita tidak berdaya. Itu hanya satu-satunya jalan, bukan berarti bahwa aku menyerah betul-betul. Buktinya, akhirnya aku berhasil membebaskan diri dan membebaskan kau.”

“Aku tidak minta kaubebaskan! Aku tidak minta kau merendahkan diri seperti itu hanya untuk menolongku! Atau kau memang senang melayaninya agaknya!”

“Apa maksudmu?”

“Kau memang mempunyai watak mata keranjang, maka penawaran Kim Seng Siocia itu malah menyenangkan hatimu.”

“Aihh, bukan begitu!” Kun Liong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya yang gundul. “Dia... dia... ihhh, menjijikkan dan mengerikan.”

“Bagaimana kau dapat membebaskan diri? Dengan bujuk rayu?”

Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya. Bagaimana dia harus menceritakan pengalamannya itu? Masih terasa betapa separuh mukanya basah oleh ciuman mulut lebar yang rakus itu!

“Aku... aku memang pura-pura menyerah, kemudian... ketika dia lengah... aku... eh, aku berhasil membuatnya tidak berdaya. Aku lalu lari dari kamarnya dan mencarimu. Untung belum terlambat... dan hatiku girang sekali melihat engkau selamat, Hong Ing.”

Sepasang mata yang tadinya bersinar-sinar penuh kemarahan itu kini berubah menjadi sayu, agak terpejam memandang Kun Liong, kemudian kepala itu menunduk dan terdengar suaranya lirih, “Aku... aku selalu menyusahkanmu... telah berkali-kali engkau menolong dan menyelamatkan aku, Kun Liong. Kenapa?”

Hong Ing mengangkat mukanya dengan tiba-tiba dan sepasang mata itu kini begitu tajam pandangnya, tajam penuh selidik seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya.

“Kenapa? Tentu saja aku menolongmu Hong Ing, menolong sedapatku dan hal itu sudah lumrah, bukan? Siapa pun tentu akan menolong setiap orang yang menderita dan terancam bahaya.”

“Jadi bukan karena aku...”

“Maksudmu?”

Muka yang cantik itu kembali menunduk dan terdengar helaan napas panjang-panjang sebelum Hong Ing bersuara lagi, “Jadi bagimu, siapa saja yang terancam bahaya, tentu akan kautolong?”

“Tentu saja, sedapat mungkin. Mengapa kau bertanya demikian?”

Hong Ing kembah mengangkat wajahnya dan kini wajah itu kelihatan lesu, seperti orang kecewa. Kun Liong menjadi bingung dan terheran-heran.

“Tidak apa-apa, aku hanya bertanya... dan kau memang seorang pendekar budiman. Hal ini seharusnya kuketahui sejak dahulu.”

“Aihh, jangan memuji, Hong Ing. Aku hanya orang biasa saja.”

“Mungkin ilmu kepandaianmu tidak terlalu tinggi, akan tetapi keberanianmu menolong orang lain amat besar.”

“Sudahlah, Hong Ing. Kepalaku bisa menjadi lebih besar lagi kalau kau melanjutkan pujian kosong itu. Lebih baik kauceritakan bagaimana kau yang dibawa oleh sucimu itu bisa menjadi orang tawanan Kim Seng Siocia.”

Hong Ing menghela napas lagi dan kini alisnya berkerut tanda bahwa hatinya benar-benar merasa tertekan dan berduka. Teringat akan sucinya, dia melupakan keadaan dirinya sendiri. Urusan sucinya sebenarnya merupakan urusan yang memalukan sekali dan seyogianya dirahasiakan dari siapapun juga. Akan tetapi entah mengapa, terhadap Kun Liong, semenjak pertemuan pertama, dia tidak bisa menyimpan rahasia, seolah-olah Kun Liong adalah seorang yang sudah dipercayanya benar-benar, seorang yang lebih dari sahabat biasa, lebih dari saudara!

“Suci... dia... dia seperti juga engkau, demi menolongku dia rela mengorbankan dirinya menjadi isteri manusia iblis Ouwyang Bow...”

“Hah...??” Berita ini benar-benar mengejutkan hati Kun Liong. Lauw Kim In, dara yang manis dan dingin itu, menjadi isteri seorang manusia seganas Ouwyang Bouw yang berotak miring? “Bagaimana... bagaimana hal itu bisa terjadi?”

Hong Ing lalu menceritakan kesemuanya. Mula-mula dia menceritakan tentang sucinya yang patah hati karena tunangannya menyeleweng, berjina dengan isteri muda Thian-ong Lo?mo sehingga tunangan itu terbunuh oleh kakek ini. Hal itulat yang membuat sucinya menjadi dingin dan membenci atau memandang rendah pria. Kemudian diceritakannya betapa mereka berdua bertemu dengan Ouwyang Bouw yang amat lihai sehingga mereka berdua tertawan. Barulah mereka dibebaskan setelah sucinya menerima pinangan Ouwyang Bouw yang tergila?gila kepadanya.

“Aku tahu mengapa suci mengorbankan diri sedemikian rupa. Bukan semata?mata untuk menyelamatkan aku, juga untuk kepentingannya sendiri. Dia akan dapat mewarisi ilmu?ilmu tinggi dari Ouwyang Bouw sehingga terbuka kemungkinan baginya untuk membalas dendam, di samping menyelamatkan dirinya sendiri yang tentu akan ternoda dan mungkin tewas apabila menolak pinangan itu. Kasihan sekali Suci...”

Kun Liong menghela napas panjang. “Seorang yang keadaan hidupnya sendiri amat sengsara namun melupakan keadaan sendiri dan mengingat serta menaruh kasihan kepada orang lain merupakan ciri seorang yang mempunyai hati mulia penuh welas asih. Aku kagum kepadamu, Hong Ing.”

“Tidak perlu kau memuji, Kun Liong.” jawab Hong Ing cepat?cepat sambil menekan debar jantungnya yang menjadi gembira mendengar pujian itu. “Memang aku sudah melupakan diriku sendiri. Apa sih yang kuharapkan lagi?”

“Aahh, mengapa dilanda putus asa selagi hidup? Teruskan ceritamu, bagaimana kau sampai terjatuh ke tangan Kim Seng Siocia yang gila itu.”

“Aku tersesat jalan karena mengambil jalan lain agar jangan sampai ketahuan oleh guruku. Tanpa kusengaja aku memasuki daerah kekuasaan Kim Seng Siocia dan aku ditawan. Kemudian wanita gila itu menyuruh aku bekerja di sana, yaitu berdoa untuknya, berdoa agar dia cepat membalas dendamnya kepada Pendekar Sakti Cia Keng Hong.”

“Hemmm...”

“Tentu saja aku tidak berdoa apa?apa untuknya, akan tetapi aku pun tidak berani membantah karena hal itu berarti kematian. Dia amat lihai... dan untung sekali kau dapat lolos, Kun Liong. Aku masih heran bagaimana kau dapat lolos dari orang selihal itu. Tentu kau menggunakan akal bujuk rayu, bukan?”

Kun Liong menggelengkan kepalanya yang gundul. Dia tahu bahwa dara ini mengira bahwa ilmu kepandaiannya “biasa” saja dan dia pun tidak ingin membuka rahasianya.

“Memang aku telah menggunakan akal menyerah karena tidak berdaya, akan tetapi aku tidak biasa membujuk rayu siapapun juga, apalagi orang seperti dia. Aku berhasil membuatnya tidak berdaya. Eh, soal itu tidak penting, Hong Ing. Sekarang bagaimana? Hari telah terang, mari kita lekas melanjutkan perjalanan. Tentu Kim Seng Siocia akan melakukan pengejaran dan belum lagi bahayanya kalau sampai subomu ikut pula mencari.”

Pucat wajah Hong Ing dan dia meloncat berdiri. Mendengar tentang subonya, dia menjadi takut sekali. “Aihh, sampai lupa aku keenakan bicara di sini. Mari kita pergi cepat, kita masih berada di wilayah Go?bi?san.”

“Sebaiknya kita pergi ke timur. Di tempat ramai seperti di timur, di mana banyak terdapat kota?kota besar, tentu lebih mudah bagi kita untuk melarikan diri.”

Hong Ing mengangguk. “Dan di sana banyak terdapat kuil?kuil Kwan?im?bio yang besar di mana aku dapat minta tolong dan bersembunyi.”

Berangkatlah dua orang ini dengan tergesa-gesa, melanjutkan pelarian mereka menuju ke timur. Berhari-hari mereka melakukan perjalanan cepat, keluar masuk hutan di Pegunungan Go-bi-san, kemudian melintasi padang pasir. Mereka melakukan perjalanan dengan cepat, hanya berhenti kalau mau makan atau tidur saja dan beberapa hari kemudian mereka telah keluar dari daerah Go-bi-san dan tiba di tepi Sungai Huang-ho.

Biarpun air Sungai Huang-ho tidak dapat dikatakan jernih, namun setelah melakukan perjalanan berhari-hari melintasi padang pasir yang panas, kedua orang itu dengan girang dan lega menuruni tepi sungai dan menggunakan air sungai itu untuk membasahi muka, leher, kedua tangan dan kaki mereka.

“Tangkap mereka!”

Kun Liong dan Hong Ing yang sedang bergembira karena bertemu dengan air yang dingin sejuk sehingga melupakan segala urusan mereka, terkejut bukan main dan keduanya cepat melompat ke darat. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Hong Ing ketika melihat subonya, Go-bi Sin-kouw bersama Pangeran Han Wi Ong dengan sepasukan tentara yang jumlahnya ada lima puluhan orang!

“Nona Pek Hong Ing, mengapa engkau menjadi begini...? Dan dengan mati-matian kami telah mencarimu...” Pangeran itu berkata dengan nada suara berduka sekali ketika melihat dara yang dicintanya itu telah menjadi seorang nikouw seperti itu.

“Pangeran Han Wi Ong, pinni sudah menjadi seorang nikouw, perlu apa dicari lagi?” Hong Ing berkata.

“Hong Ing, murid durhaka!” Tiba-tiba Go-bi Sin-kouw membentak dan mendengar bentakan gurunya ini, Hong Ing yang sejak kecil diasuh dan dididik nenek itu cepat menjatuhkan diri berlutut dan menangis terisak-isak.

Kun Liong memandang penuh perhatian. Harus diakuinya bahwa Pangeran Han Wi Ong, sungguhpun sudah berusia empat puluh tahun, namun masih tampak muda dan tampan gagah, sesungguhnya tidak mengecewakan menjadi suami Hong Ing, apalagi mengingat bahwa Pangeran itu memiliki kedudukan tinggi. Dicinta oleh seorang seperti itu dan menjadi isterinya, sebetulnya merupakan nasib baik bagi diri Hong Ing. Adapun nenek itu mendatangkan rasa gentar juga di hati Kun Liong. Nenek itu usianya tentu sudah enam puluhan tahun, punggungnya bungkuk, pakaiannya serba hitam, rambutnya digelung keatas dan muka penuh keriput itu membayangkan kehidupan yang sengsara dan membuat wajah itu nampak bengis. Tangan kiri nenek itu memegang sebatang tongkat butut berwarna hitam pula. Kelihatannya saja seorang nenek yang ringkih dan lemah, akan tetapi Kun Liong dapat menduga bahwa nenek ini tentulah memiliki kepandaian tinggi, maka dia bersikap waspada. Dia dan Hong Ing selain berhadapan dengan nenek dan Pangeran itu, juga telah dikurung rapat oleh lima puluh orang tentara anak buah pasukan yang mengawal Pangeran Han Wi Ong.

“Subo...” Hong Ing berkata.

“Hong Ing, di mana sucimu?”

“Dia telah ikut dengan Ouwyang Bouw, Subo...” dengan suara berat Hong Ing menceritakan perihal sucinya.

Sepasang mata nenek itu, yang sipit sekali mengeluarkan sinar kemarahan, mulutnya cemberut dan mukanya menjadi makin bengis. “Setan! Semua gara-gara engkau yang murtad! Dan siapa laki-laki gundul ini?”

“Dia... dia sahabat teecu (murid), dia telah menolong teecu berkali-kali dari bahaya kematian...”

“Bohong! Dia tentu yang membujukmu melarikan diri dan menjadi nikouw. Hong Ing, sekarang juga engkau harus ikut denganku, membatalkan keadaanmu sebagai nikouw dan siap menghadapi pemikahanmu dengan Pangeran Han Wi Ong!”

“Subo...”

“Diam! Kau mau melawan gurumu?”

Hong Ing hanya menangis. Melihat ini, Kun Liong melangkah maju dan berkata dengan suara nyaring. “Apakah saya berhadapan dengan Go-bi Sin-kouw?”

Nenek itu mendengus. “Mau apa kau? Karena kau telah berani membujuk muridku, kau harus mampus!”

“Nanti dulu, Go-bi Sin-kouw. Mampus ya mampus, akan tetapi ingatlah bahwa perbuatanmu ini sungguh amat tidak patut! Memaksa murid sendiri untuk melakukan pernikahan yang tidak disukainya. Memaksa murid sendiri yang sudah menjadi nikouw untuk menikah. Mana ada guru ingin melihat murid sendiri menderita sengsara?”

“Heii, kau! Siapa kau berani mencampuri urusan kami?” Tiba-tiba Pangeran Han Wi Ong melangkah maju. “Tidak tahukah kau dengan siapa kau berhadapan? Aku Pangeran Han Wi Ong, putera Kaisar! Tahu engkau? Apakah kau hendak menjadi pemberontak yang dapat dihukum mati? Kau pergilah dan jangan mencampuri urusan Nona Pek Hong Ing dengan kami, maka aku masih akan mengampunimu. Kalau tidak, kau kuanggap pemberontak dan akan kutangkap.”

Mendongkol juga hati Kun Liong. Dia dianggap begitu pengecut untuk mudah ditakut-takuti dan disuruh meninggalkan Hong Ing yang dihadapi orang-orang seperti harimau kelaparan itu!

“Maaf, Pangeran. Sebagai seorang berkedudukan tinggi dan terpelajar, tentu Pangeran juga maklum betapa tidak baiknya memaksa seorang gadis seperti Nona Pek Hong Ing yang sudah menjadi nikouw untuk menikah. Betapa rendahnya perbuatan seperti itu.”

“Keparat! Pemberontak laknat! Hayo tangkap dia!” Pangeran itu memerintahkan anak buahnya dan pasukan yang sudah siap itu lalu maju mengurung Kun Liong yang sudah bersiap pula untuk membela diri.

“Tahan dulu senjata!” Bentakan ini demikian nyaring dan mengandung khi-kang amat kuat sehingga mengejutkan semua orang, bahkan pasukan yang sudah siap menyerbu dan mengeroyok Kun Liong menjadi ragu-ragu. Mereka membuka pengurungan dan membiarkan wanita gemuk yang baru berteriak tadi memasuki lapangan itu dan berhadapan dengan Go-bi Sin-kouw dan Pangeran Han Wi Ong.

Kun Liong dan Hong Ing menjadi makin kaget. Celaka sekali! Kim Seng Siocia sudah muncul pula dan mereka maklum bahwa di belakang wanita gendut ini tentu terdapat pula banyak anak buahnya. Dugaan mereka benar karena kini bermunculan puluhan orang wanita anak buah Kim Seng Siocia, mereka sudah siap dengan senjata lengkap pula. Pasukan pemerintah pengawal Pangeran Han Wi Ong menjadi bingung melihat “pasukan” wanita yang cantik-cantik itu!

“Go-bi Sin-kouw, engkau orang tua harap tidak bertindak sembarangan!” Kim Seng Siocia menegur sambil memandang nenek itu.

Go-bi Sin-kouw mendengus marah. “Siapa engkau?” bentaknya.

“Aku? Aku adalah Kim Seng Siocia, pewaris dari Go-bi Thai-houw.”

lanjut ke Jilid 066-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar