Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 18

Dewi Maut Jilid 18

<--kembali

Sungguh hebat... sunguh mengherankan sekali... engkau yang masih begini muda... bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia dan terhormat, nona?”

“Hemm, pertemuan antara kita hanya kebetulan saja. Aku hanya tahu engkau seorang she Bun, dari percakapan mereka di Lembah Bunga Merah. Biarlah aku mengenalmu sebagai orang she Bun, dan engkau tidak perlu mengetahui namaku...”

“Aih, mengapa begitu, nona?” Bun Houw bertanya dengan heran lagi, dan diam-diam diapun tidak ingin memperkenalkan namanya. Dia tahu betapa bahayanya kalau namanya dikenal orang, apalagi kalau sampai dikenal oleh Lima Bayangan Dewa, sedangkan nona jelita ini begini aneh dan penuh rahasia. “Habis, bagaimana aku harus mengingatmu, harus memanggilmu, kalau aku tidak tahu namamu, nona?”

In Hong tersenyum. “Jangan mengingat, jangan memanggil...”

Melihat sikap yang dingin, kata-kata yang singkat ini, Bun Houw menjadi khawatir sekali kalau-kalau penolongnya itu marah. Maka dia lalu membelokkan percakapan dan dia bertanya, “Aku sudah tidak mempunyai harapan ketika ditusuk jarum beracun itu, akan tetapi buktinya aku sembuh, sungguh hebat obat itu, bagaimana macamnya dan bagaimana pula cara kerjanya ketika engkau mengobatiku, nona?”

“Aku menerima sembilan butir pel hitam dari Yok-mo. Ketika kau menelan pel pertama sampai keenam, setiap kali menelan pel hitam itu kau muntah darah hitam yang berbau busuk, akan tetapi mulai dengan pel ketujuh engkau tidak muntah lagi.”

“Aihh... sungguh menjijikkan... akan tetapi mengapa lantai ini bersih?”

“Aku sudah membersihkannya setiap kali kau muntah...”

“Ahhh...! Dan nona merawatku, menjagaku, memberi obat, menyuapkan bubur selama tiga hari tiga malam... dan...”

Serasa hampir meledak jantung di dalam dada In Hong melihat pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak penuh keharuan, penuh rasa syukur dan terima kasih.

“Sudahlan, pakaianmu kotor, mari... mari... kucucikan... dan kau dapat mandi di sumber air di dalam hutan...”

Mata yang sudah terbelalak itu makin terbelalak berisi penuh dengan sinar keharuan, kekaguman dan kini bercampur dengan keheranan. “Apa? Nona... nona hendak... mencucikan pakaianku...? Ah, tidak...”

“Mengapa tidak?” Sikap In Hong biasa saja. “Aku seorang wanita, sudah biasa mencuci pakaian...”

“Tidak, tidak boleh nona begitu merendahkan diri. Di mana sumber air itu? Aku akan membersihkan tubuh dan pakaian ini...”

In Hong menudingkan telunjuknya dan Bun Houw cepat bangkit dan melangkah lebar ke dalam hutan. Pundaknya masih terasa nyeri sedikit apabila terlalu keras dia menggerakkan kedua tengannya. Setelah tiba di sumber air, dia menanggalkan pakaiannya, membersihkan tubuhnya dan tubuhnya terasa segar kembali. Dia merendam tubuh di dalam air, lalu mengumpulkan hawa murni, menggunakan sin-kangnya untuk melancarkan jalan darah dan dengan kekuatan sin-kangnya dia dapat melindungi tulang-tulang pundaknya. Untung bahwa di dalam sakunya masih terdapat obat lukanya yang mujarab pemberian ayahnya, maka dia membuka balutan pundaknya, lalu memberi obat luka setelah mencucinya bersih, membalutnya kembali setelah dia mandi sampai bersih. Kemudian dia mencuci pakaiannya, memeras airnya dengan kekuatan besar sehingga sebentar saja pakaian itu hampir kering karena semua air dapat diperasnya keluar. Dia menjemur pakaian ini di atas batu dan sambil menanti keringnya pakaian itu, dia kembali bersamadhi mengumpulkan hawa murni. Tak lama kemudian, pulih kembali tenaganya dan ketika dia menggerakkan kedua lengan, rasa nyeri di pundak hanya tinggal sedikit. Akan tetapi perutnya terasa lapar bukan main.

Kurang lebih dua jam kemudian, dia kembali ke kuil dengan baju bersih dan pakaian bersih pula, juga sudah kering. Baru saja nampak dinding kuil itu, hidungnya sudah mencium bau sedap yang membuat perutnya makin terasa lapar.

Dia mempercepat langkahnya dan... di depan kuil itu, di bawah pohon, nampak dara itu sedang memanggang seekor ayam hutan yang gemuk sekali, sedangkan dari panci bekas tempat air itu nampak nasi mengepul panas. Bun Houw berdiri memandang, menelan ludahnya dua kali.

“Kau sudah selesai?” In Hong menengok dan sejenak pandang mata mereka bertemu. Gadis itu menunduk dan di lehernya menjalar warna merah terus ke kepalanya, kemudian terdengar suaranya tanpa dia mengangkat muka. “Aku berhasil menangkap seekor ayam...”

Bun Houw tidak menjawab, hanya memandang dara itu, hatinya diliputi keheranan besar. Sungguh amat sukar untuk mengerti watak dan sifat wanita cantik ini pikirnya. Masih begitu muda, tentu lebih muda darinya, namun sudah memiliki kepandaian yang amat hebat, sungguhpun dia belum menyaksikan sendiri. Dari caranya menolong dia dari Lembah Bunga Merah saja sudah dapat diduga bahwa kepandaiannya tentu hebat sekali. Kadang-kadang wanita ini demikian dingin dan tak acuh, sehingga agaknya sama sekali tidak mau saling berkenalan, tidak mau memperkenalkan nama dan tidak pula menanyakan namanya, padahal wanita ini sudah mempertaruhkan nyawa untuk monolongnya, bahkan selama tiga hari tiga malam merawatnya sedemikian rupa! Akan tetapi ada saat-saat tertentu wanita itu kelihatan begitu lemah lembut, seperti sekarang ini, sama sekali tidak patut menjadi seorang wanita kang-ouw yang perkasa dan aneh sekali.

Kau tentu lapar sekali...”

Bun Houw sadar dari lamunannya, sadar betapa sejak tadi dia hanya berdiri bengong memandang dara itu yang sedang memanggang daging ayam. “Oh, lapar...? Lapar sekali...! Dan panggang ayam itu begitu sedap!”

“Kalau begitu, mari kita makan. Ayam ini lebih enak dimakan panas-panas sebagai teman nasi. Sayang tidak ada arak...”

“Ah, itu sudah cukup, nona. Airpun cukup menyegarkan,” jawab Bun Houw yang lalu duduk di dekat dara itu. Mereka lalu makan nasi dan panggang daging ayam, tidak menggunakan sumpit karena memang tidak ada, hanya menggunakan lima batang sumpit alam alias lima jari tangan kanan. Nasinya mengepul panas, daging ayam panggang juga masih mengepul panas, empuk dan gurih, ditambah kesunyian di pagi indah itu, hadirnya mereka berdua, perut lapar, semua ini membuat nasi dan daging ayam menjadi lezat bukan main. Dalam waktu pendek saja habislah semua nasi dan daging ayam, memasuki perut mereka, tidak ada ketinggalan sebutirpun nasi dan secuilpun daging. Bun Houw menjilati jari-jari tangannya yang terkena gajih panggang ayam dan In Hong memandang sambil menahan senyum. Satu di antara kelemahan wanita, adalah, di samping ingin dipuji-puji tentang kecantikannya, juga ingin dtpuji-puji tentang kelezatan hasil masakannya! Kini, melihat Bun Houw menjilati jari-jari tangannya, In Hong merasa mendapat pujian yang jauh lebih mengesankan daripada kata-kata.

“Kau belum kenyang? Masih kurang?” tanyanya lirih, tersenyum dan tampak deretan gigi mutiara.

Bun Houw tertawa. “Makan sesedap ini, agaknya aku takkan mengenal kenyang. Akan tetapi sementara ini cukuplah, dan terima kasih.” Dia lalu minum air tawar dengan segarnya.

“Beras yang ditinggalkan oleh para murid Bu-tong-pai tinggal itu, aku belum sempat pergi membeli ke dusun.”

Kembali Bun Houw tersenyum. Percakapan antara mereka itu seolah-olah percakapan dua orang sahabat lama yang hidup bersama di suatu tempat. Setelah mencuci tangan dan mulut, dia lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Nona, setelah apa yang kaulakukan semua untukku, setelah engkau menyelamatkan nyawaku dengan mempertaruhkan keselamatanmu sendiri...”

“Cukup, aku tidak mau bicara tentang itu...” In Hong memotong.

Bun Houw menunduk. Melihat wajah nona ini ketika itu, dia menduga bahwa di samping semua keanehannya, dara ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa. Sebaliknya, melihat pemuda itu menunduk dan tidak berani bicara lagi, In Hong merasa kasihan dan sadar bahwa dia terlalu keras. Betapapun juga, tidak aneh kalau pemuda ini amat berterima kasih kepadanya dan ingin membicarakan tentang pertolongan itu. Akan tetapi justeru dia tidak mau membicarakannya, karena pertolongannya itu memang terasa aneh olehnya sendiri, mengapa dia begitu bersusah payah untuk pemuda ini. Kejanggalan ini membuat dia merasa malu sendiri sehingga dia tidak ingin lagi membicarakannya. Akan tetapi melihat pemuda itu bingung dan kecewa, dia lalu ingin membicarakan lain daripada pertolongan itu sendiri.

“Mengapa engkau begitu nekat, menentang lima orang yang berkepandaian tinggi itu sehingga engkau ditawan dan disiksa?” tiba-tiba In Hong bertanya.

Bun Houw memandang dan hatinya merasa gembira lagi. Kiranya dara ini bukan marah atau bersikap dingin, hanya agaknya tidak mau menyinggung tentang pertolongan itu, Betapa rendah hati, tidak ingin menonjolkan jasa, pikirnya. Dia belum mengenal dara ini, sungguhpun dia sudah percaya sepenuhnya, namun tidak baik kalau dia memperkenalkan diri dan menceritakan urusan pribadinya. Maka dia lalu menarik napas panjang dan menjawab, “Yang menjadi gara-gara adalah lenyapnya tiga orang murid Bu-tong-pai yang kautolong itu. Ketika mereka ditawan dan hendak dibunuh, Liok-twako mencegah dan memperingatkan mereka agar tidak menanam permusuhan dengan Bu-tong-pai...”

“Siapa itu Liok-twako?”

“Dia adalah Kiam-mo Liok Sun, dia... eh, majikanku...”

“Yang datang bersamamu? Aku hanya mendengar bahwa engkau orang she Bun adalah pengawal pribadinya.”

“Karena mencegah itulah, setelah tiga orang murid Bu-tong-pai melarikan diri, Liok-twako dicurigai dan akhirnya dibunuh. Sebagai... eh, pengawalnya, tentu aku melawan dan aku lalu ditawan dan disiksa.”

“Orang she Liok itu dibunuh, akan tetapi mengapa engkau ditawan dan disiksa pula? Apa yang mereka kehendaki?”

“Mereka memaksa aku mengaku siapa yang membebaskan tiga orang murid Bu-tong-pai dan apa maksud kedatangan Liok-twako di Lembah Bunga Merah.”

“Ataukah karena perempuan-perempuan hina itu hendak memaksamu melayani bujuk rayu mereka?”

Bun Houw memandang dengah mata terbelalak, “Kau... kau tahu pula akan hal itu?”

“Aku tahu penolakanmu terhadap murid-murid Ciok Lee Kim yang tak tahu malu, juga terhadap nenek cabul itu sendiri, dan mungkin karena itulah aku membebaskanmu dari tahanan.”

Dua orang wanita murid Ciok Lee Kim itu telah tewas di tanganku, sayang bahwa aku tidak sempat membunuh gurunya. Akan tetapi, aku akan mencari mereka! Aku akan mencari Ciok Lee Kim dan teman-temannya, terutama sekali dia sendiri dan Bu Sit, dua orang yang menyiksaku. Kalau bertemu, mereka harus tewas di tanganku!” Bun Houw teringat akan penyiksaan itu dan timbul kemarahannya, otomatis tangannya meraba pinggang dan tampak sinar kilat berkelebat ketika dia tahu-tahu telah melolos pedangnya, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Pedang ini dia dapat dari gurunya, sebatang pedang pusaka yang terbuat dari baja murni, tipis sekali sehingga dapat digulung dan dibuat menjadi sabuk pinggang maka senjata ini tidak ketahuan dan tidak terampas oleh musuh-musuhnya.

“Aihhh, pedang yang bagus!” In Hong berseru memuji. “Boleh aku melihatnya?”

Bun Houw menyerahkan pedangnya. In Hong menerima dan menggerak-gerakkan pedang sampai berbunyi berdesing dan berobah menjadi kilat. Dia memuji lagi, lalu menimang-nimang pedang dan memeriksanya. Ketika melihat ukiran gambar burung hong dekat gagang pedang, dia memuji lagi.

“Sama benar dengan ini...!” Dia melolos hiasan rambutnya yang berupa burung hong kumala, lalu membandingkan burung hong kumala itu dengan lukisan burung hong pada pedang Hong-cu-kiam.

“Apanya yang sama, nona?” Bun Houw tentu saja bingung dan tidak mengerti. Bagaimana sebatang pedang dipersamakan dengan sebuah hiasan rambut wanita?

“Burung hongnya yang sama. Indah sekali pedangmu ini...!” In Hong menggerakkan pedang itu dan Bun Houw menjadi kagum. Memang benar dugaannya. Dara ini bukan sembarang ahli silat. Dari cara dia menggerakkan pedang saja sudah dapat dikenal sebagai seorang ahli pedang yang lihai.

“Sing-sing-wirrrrr... crakk!” Sebatang pohon sebesar paha manusia yang berdiri dalam jarak jauh, robob hanya tersambar hawa pedang yang digerakkan dengan sin-kang yang amat kuat.

“Bukan main...! Engkau lihai sekali, nona...!” Bun Houw memuji karena dia maklum bahwa seorang yang memiliki sin-kang amat kuat saja mampu merobohkan pohon hanya dengan sinar pedang.

In Hong menimang-nimang pedang itu, meraba-raba mata pedang yang amat tajam. “Hemm... pedang ini yang lihai...”

Saking kagumnya dan senang hatinya, terloncat saja ucapan dari mulut Bun Houw. “Kalau nona suka, biarlah pedang Hong-cu-kiam ini kupersembahkan kepadamu, nona.”

In Hong terkejut dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Apa?”

“Nona telah...” Dia teringat dan tidak mau mengulangi tentang pertolongan itu, maka dia melanjutkan, “...kita telah menjadi kenalan, bukan? Karena itu, dengan hormat aku menyerahkan pedang Hong-cu-kiam itu kepadamu. Pedang itu ringan dan lemas, memang lebih tepat dipergunakan oleh wanita, pula dapat dipakai sebagai ikat pinggang...”

Wajah In Hong berseri dan tangannya masih membelai pedang itu dengan rasa sayang, akan tetapi pandang matanya kepada Bun Houw masih meragu dan penuh selidik. Melihat wajah pemuda itu terbuka dan polos, dengan pandang mata yang tajam dan membayangkan kejujuran, dia lalu berkata, “Apakah dengan tulus ikhlas...?”

“Tentu saja nona, dengan sepenuh hatiku yang tulus ikhlas.”

“Terima kasih...!” In Hong kelihatan girang sekali dan dia lalu memakai pedang Hong-cu-kiam itu sebagai ikat pinggangnya, lalu ditutupi jubahnya sehingga tidak nampak dari luar. Dia lalu meraba-raba pedangnya, akan tetapi tidak jadi diambil dan dia berkata, “Pedangku ini hanya pedang biasa, sama sekali tidak pantas untuk ditukar dengan pedang pusaka seperti Hong-cu-kiam, akan tetapi ini... Giok-hong-cu (burung hong kumala) ini tak pernah terpisah dari aku sejak aku kecil sehingga bagiku merupakan benda pusaka. Biarlah kuberikan ini kepadamu, Bun-twako (kakak Bun).” Dia menyerahkan burung hong kumala itu kepada Bun Houw.

Bun Houw terkejut dan seketika mukanya menjadi merah sekali, jantungnya berdebar. Dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang amat aneh dalam tukar-menukar benda pusaka ini! Akan tetapi karena maklum akan keanehan watak wanita ini yang agaknya pasti akan merasa tersinggung dan terhina kalau dia menolaknya, dia lalu menerimanya dan memandangi perhiasan rambut itu dengan kagum.

“Sebuah perhiasan yang indah sekali... terima kasih, nona. Sekarang kita benar-benar telah menjadi sahabat, bukan?” Bun Houw bertanya sambil menatap wajah yang cantik jelita dan gagah itu.

In Hong balas memandang, tersenyum dan mengangguk. Sejak pertama kali melihat Bun Houw marah-marah dan menolak bujuk rayu dua orang murid wanita yang genit itu, hatinya sudah kagum dan tertarik sekali. Kini, setelah pemuda itu siuman dari pingsannya dan sembuh, dia memperoleh kenyataan bahwa pemuda ini benar-benar tidak seperti kaum laki-laki seperti yang disangkanya semula, yaitu seperti yang sering kali dibicarakan gurunya dan para anggauta Giok-hong-pang, yaitu mata keranjang, cabul, pengganggu wanita dan pengrusak kehidupan wanita. Pemuda ini sama sekali tidak pernah memperlihatkan sikap kurang ajar, mata keranjang dan sama sekali tidak pernah mengganggunya.

“Setelah kita menjadi sahabat, apakah engkau masih juga tidak percaya kepadaku dan tidak mau memperkenalkan namamu kepadaku?”

In Hong meraba pedang Hong-cu-kiam di pinggangnya dan memandang perhiasan burung hong kumala di tangan pemuda itu, lalu berkata “Pedang Hong-cu-kiam kauberikan kepadaku dan perhiasan Giok-hong-cu telah kuberikan kepadamu, keduanya merupakan lambang burung hong. Maka, biarlah aku mengenalmu sebagai Bun-twako dan kau mengenalku sebagai Hong.”

“Hong saja? Apakah namamu Hong?”

In Hong mengangguk.

Bun Houw tidak berani mendesak. “Baiklah, Hong-moi (adik Hong), memang apakah artinya nama? Persahabatan adalah antara pribadi, bukan antara nama! Tentu tidak perlu lagi aku menceritakan riwayatku atau mendengar riwayatmu, bukan?”

In Hong mengangguk dan Bun Houw menarik napas panjang. Din mulai tertarik sekali akan pribadi nona ini yang amat aneh, seolah-olah hendak merahasiakan dirinya dan seolah-olah tidak suka berurusan dengan orang-orang lain. Betapapun juga, di balik sikap dingin dan tidak perdulian itu, dia tahu bahwa pada dasarnya dara ini memiliki kegagahan luar biasa dan memiliki jiwa pendekar penentang kejahatan, juga mempunyai sifat-sifat yang budiman dan mulia.

“Kalau begitu, agaknya engkau tidak keberatan untuk mengatakang ke mana tujuanmu sekarang? Kau hendak pergi ke mana, Hong-moi?”

In Hong termenung. Pertanyaan itu dengan tepat mengenai hatinya dan dia menjadi bingung. Hendak ke manakah dia pergi? Apakah tujuan hidupnya? Tidak ada! Tidak ada ketentuan!

“Aku seperti seekor burung di udara,” katanya sambil memandang seekor burung dara kuning yang beterbangan dari dahan ke dahan, mencari-cari ulat, di antara daun-daun hijau. “Entah ke mana aku hendak pergi, aku sendiripun tidak tahu, Bun-ko.”

Bun Houw termenung juga, heran mendangar jawaban yang amat aneh ini. “Apakah engkau tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Hong-moi?”

Dara itu menggeleng kepala.

“Tidak mempunyai keluarga?”

Kembali gelengan kepala.

“Tidak mempunyai orang tua?”

In Hong menggeleng lagi, pandang matanya masih mengikuti burung dara kuning yang telah mendapatkan seekor ulat gemuk yang kini dipatuknya dan dibanting-bantingnya ke atas ranting pohon.

“Ahhhh...!” Bun Houw berseru penuh perasaan haru.

“Kenapa?” In Hong menoleh dan memandangnya, memandang tajam.

“Kasihan kau, Hong-moi.”

“Kenapa kasihan? Kasihankah engkau kepada burung itu?” In Hong membuang muka. “Sudahlah, aku tidak mempunyai tujuan tertentu, akan tetapi engkau sendiri hendak ke manakah, Bun-ko?”

“Yang jelas, aku akan pergi ke Lembah Bunga Merah!”

“Hemm... kau hendak membalas dendam kepada mereka? Berbahaya sekali, Bun-koko, mereka itu lihai.”

“Tidak perduli, aku harus membalas penghinaan dan penyiksaan mereka, terutama dua Bayangan Dewa itu.”

“Dua Bayangan Dewa? Kau tahu itu?”

“Aku mendengar dari Liok-twako bahwa Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit adalah dua orang di antara Lima Bayangan Dewa yang tersohor itu.”

“Hemm... akupun akan ke sana, twako.”

“Apa? Apakah hubunganmu dengan mereka?”

“Akupun ingin mencari Lima Bayangan Dewa.”

Bun Houw terkejut sekali. “Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya mendengar bahwa mereka telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai.”

“Hemmm... akupun mendengar itu. Lalu bagaimana kalau begitu?”

“Aku ingin merampas pedang itu, aku mendengar bahwa pedang Siang-bhok-kiam adalah pedang pusaka yang amat hebat dan dahulu pernah diperebutkan oleh para datuk persilatan. Aku ingin merampasnya...”

“Untuk apa, moi-moi?”

“Untuk apa? Mungkin kelak kukembalikan kepada ketua Cin-ling-pai.” In Hong teringat akan kunjungannya ke Cin-ling-pai. “Aku... sekali waktu aku pasti akan pergi ke Cin-ling-san dan aku akan mengembalikan pedang itu kepada Cin-ling-pai kalau aku berhasil merampasnya.”

Engkau aneh sekali, Hong-moi. Tanpa alasan engkau hendak merampas pedang itu dari tangan Lima Baymgan Dewa. Apakah itu tidak amat berbahaya?”

“Justeru karena berbahaya aku menempuhnya. Lima Bayangan Dewa itu, kalau melihat yang dua ini, pastilah orang-orang jahat. Kalau aku tidak merampas kembali pedang itu, mereka akan menjadi sombong, mengira bahwa tidak ada orang berani terhadap mereka satelah mereka menggegerkan dunia kang-ouw dengan penyerbuan mereka ke Cin-ling-pai.”

“Kalau begitu, mari kita sama-sama pergi ke Lembah Bunga Merah, Hong-moi.”

In Hong mengangguk dan berangkatlah mereka meninggalkan kuil itu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba In Hong berhenti.

“Bun-ko, bagaimana dengan kedua pundakmu?”

Bun Houw menggerakkan kedua tangannya, mengayun-ayun kedua legannya. Tidak terasa nyeri lagi.

“Sudah sembuh sama sekali, Hong-moi,” katanya.

“Akan tetapi masih berbahaya kalau bertemu dengan lawan tangguh, dan mereka itu amat lihai. Karena itu, kalau tiba di sana, biarkan aku yang turun tangan, kau boleh lihat saja, twako.”

Bun Houw tersenyum dan mengangguk. Mereka melanjutkan perjalanan dan In Hong menggunakan ilmunya berlari cepat. Bun Houw tidak ingin menonjolkan diri dan menimbulkan kecurigaan kepada dara itu. Bukankah dia hanya dikenal sebagai seorang pengawal pribadi Liok Sun yang tentu saja hanya memiliki kepandaian silat biasa saja? Maka dia pura-pura mengerahkan tenaganya untuk mengimbangi kecepatan dara itu, akan tetapi dengan terengah-engah dia tertinggal jauh.

“Aihhh... Hong-moi, harap jangan berlari terlalu cepat...!”

In Hong yang memang hanya ingin mengukur kepandaian pemuda itu, memperlambat larinya dan diam-diam dia tahu bahwa pemuda yang bernyali besar ini sama dengan mengantar kematian kalau ingin mencari lima orang di Lembah Bunga Merah yang berilmu tinggi itu. Maka dia diam-diam mengambil keputusan untuk melindungi pemuda ini, yang selain tenaganya belum pulih dan pundaknya baru saja sembuh, juga tingkat kepandaiannya masih terlalu rendah untuk menghadapi lawan-lawan tangguh seperti Lima Bayangan Dewa dan sekutu-sekutunya.

“Pedangku ini biarpun bukan pedang pusaka, akan tetapi terbuat dari baja yang cukup baik. Kaubawa pedangku ini untuk menjaga diri, Bun-ko!” In Hong berkata dan menyerahkan pedangnya. “Aku sendiri sudah mempunyai Hong-cu-kiam.”

Bun Houw tidak membantah sungguhpun sebetulnya untuk menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun, dia tidak begitu membutuhkan senjata. Kalau tempo hari dia sampai dapat dirobohkan dan ditawan, adalah karena kenekatan Ai-kiauw. Dia mengucapkan terima kasih dan menggantungkan pedang itu di pinggangnya.

Ketika mereka tiba di daerah Lembah Bunga Merah, suasana di situ sunyi saja dan mereka cepat memasuki daerah itu menuju ke perkampungan yang menjadi sarang Hui-giakang Ciok Lee Kim dan anak buahnya. Akan tetapi di dalam bangunan-bangunan inipun sunyi tidak kelihatan ada manusianya.

“Hati-hati, mungkin mereka akan menjebak kita!” Bun Houw berkata dan In Hong mengangguk. Bun Houw mencabut senjatanya karena kalau tidak dia khawatir gadis itu akan menjadi curiga akan ketenangannya. Dengan berindap mereka memasuki ruangan depan rumah besar yang tadinya dihuni oleh Ciok Lee Kim dan di mana dia menjamu para tamunya.

“Ada orang-orang mengepung kita... “ In Hong berbisik. Tentu saja Bun Houw juga sudah dapat menangkap gerakan orang-orang itu akan tetapi dia diam saja.

“Awas senjata rahasia...!” In Hong berseru dan dara ini cepat meloncat untuk melindungi Bun Houw. Akan tetapi anak panah dan senjata-senjata rahasia yang bagaikan hujan itu datang dari empat penjuru. In Hong menangkisi senjata senjata rahasia itu dengan hawa pukulan kedua tangannya, sedangkan Bun Houw dengan “sibuk” menangkisi dengan pedang di tangan yang diputar-putarnya. Sampai habis senjata-senjata rahasia itu, Bun Houw masih memutar-mutar pedang.

“Siaplah, Bun-ko, biar aku melindungimu, mereka tentu akan muncul.” In Hong yang merasa geli melihat bagaimana pemuda itu memutar-mutar pedang, memegang lengan pemuda itu dan dia berdiri melindungi Bun Houw.

Benar saja, dari empat penjuru muncul belasan orang anak buah Lembah Bunga Merah dengan segala macam senjata di tangan. Melihat Bun Houw, mereka terkejut sekali, maklum bahwa pemuda yang pernah ditawan dan disiksa ini memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi karena pemuda itu baru saja terluka parah, bahkan dua tulang pundak juga dikait, mereka kini memandang rendah. Juga mereka memandang rendah kepada gadis muda cantik yang datang bersama pemuda itu.

“Ha-ha-ha, kau sudah berhasil lolos kini kembali lagi mengantar kematian?” teriak seorang di antara mereka yang berhidung besar terhias kumis kecil. “Toanio tentu akan senang sekali. Hayo lekas kawan-kawan tangkap tikus ini!”

Dua belas orang itu menyergap ke depan.

Bun-ko, biarkan aku membereskan mereka!” In Hong berseru dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, seperti halilintar, menyambar-nyambar dan terdengarlah pekik-pekik kesakitan, Bun Houw hanya berdiri menonton dan diam-diam diapun terkejut. Dia dapat menduga bahwa gadis yang bernama Hong ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak disangkanya akan selihai itu. Gerakannya aneh sekali, gerakan ilmu silat yang sama sekali tidak dikenalnya, akan tetapi kecepatannya belum tentu kalah oleh dia sendiri, dan jari-jari tangan yang halus itu seolah-olah berobah menjadi baja-baja yang ampuh. Setiap tamparan membuat lawan terguling roboh, setiap tangkisan membuat lengan lawan patah-patah dan dalam waktu singkat saja, dua belas orang itu sudah roboh semua, merintih-rintih dan mengaduh-aduh!

“Mari kita cari mereka!” In Hong berkata kepada Bun Houw yang masih bengong, memegang tangan pemuda itu dan menariknya ke dalam. Mereka hanya mendapatkan bangunan kosong. In Hong mengajak Bun Houw menggeledah dan memeriksa di seluruh perkampungan itu, namun tidak menemui lima orang sakti yang mereka cari. Dengan penasaran In Hong mengajak Bun Houw kembali ke ruangan depan di mana dua belas orang anak buah Lembah Bunga Merah itu masih rebah malang-melintang dan mengeluh kesakitan.

“Hayo katakan di mana adanya nenek cabul Ciok Lee Kim dan teman-temannya!” In Hong membentak sambil mendekati seorang yang patah-patah tulang lengannya. Orang itu nampak ketakutan, berlutut sambil merintih-rintih.

“Ampunkan kami, lihiap... ampunkan kami... Ciok-toanio dan yang lain telah pergi dua hari yang lalu... meninggalkan kami dua belas orang menjaga di sini...”

“Ke mana mereka pergi?” In Hong membentak lagi.

“Tidak... tidak... tahu...”

“Keparat, kalian layak mampus!” In Hong mengangkat tangan, akan tetapi tiba-tiba Bun Houw berkata, “Hong-moi, nanti dulu...”

In Hong menurunkan kembali tangannya dan menoleh, Bun Houw lalu menghampiri orang itu.

“Srattt...!” Dicabutnya pedang In Hong yang diberikan kepadanya itu dan dengan sikap mengancam dia menempelkan mata pedang di leher orang itu. “Hayo lekas kau mengaku terus terang, ke mana perginya Hui-giakang Ciok Lee Kim dan Toat-beng-kauw Bu Sit! Kalau kau tidak mau mengaku, pedang ini akan memenggal lehermu dan leher semua orang di sini!”

“Ampunkan kami... taihiap, ampunkan kami...” Dua belas orang itu meminta-minta dan seorang di antara mereka berkata, “Ciok-toanio dan yang lain-lain tentu pergi mengunjungi tempat tinggal Phang-loya (tuan besar Phang)...”

“Hemmm, kaumaksudkan Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok?” Bun Houw membentak.

“Benar... benar, taihiap...”

“Di mana tempat tinggalnya?”

“Di dusun Ngo-sian-chung, di lembah muara Sungai Huang-ho...”

“Hayo katakan yang jelas, di mana tempat itu!”

“Benar...taihiap... di sebelab timur kota Cin-an... kurang lebih dua puluh lima li jauhnya... saya tidak membohong...”

Bun Houw mengangguk girang. Kiranya dua orang Bayangan Dewa itu pergi ke tempat tinggal orang pertama dari Lima Bayangan Dewa! Alamat orang pertama dari Lima Bayangan Dewa itu saja sudah merupakan keterangan yang amat penting baginya.

“Mari kita menyusul mereka, Hong-moi.”

“Tapi... lebih baik kita bunuh dulu mereka ini!” In Hong berkata dan kembali tubuhnya bergerak. Akan tetapi lengannya sudah dipegang oleh Bun Houw.

“Jangan, Hong-moi. Mereka tidak perlu dibunuh.”

In Hong mengerutkan alisnya, sejenak mereka saling pandang dan Bun Houw merasa betapa sinar mata gadis itu berapi-api penuh kemarahan dan kebencian, amat mengerikan hatinya. Akan tetapi dia memandang dengan tenang. menentang pandang mata yang berapi-api itu. Perlahan-lahan api dalam mata itu mengecil dan akhirnya In Hong menundukkan mukanya, merenggutkan lengannya dan melompat keluar meninggalkan ruangan itu.

Bun Houw juga meloncat keluar mengikutinya. Tanpa mengeluarkan kata-kata, mereka meninggalkan Lembah Bunga Merah. In Hong berjalan sambil menundukkan mukanya. Bun Houw berjalan di sebelahnya. Sampai lama mereka tidak mengeluarkan kata-kata.

Tiba-tiba In Hong berhenti melangkah. Bun Houw juga berhenti. In Hong mengangkat muka memandang, alisnya berkerut. “Kenapa kau tadi menghalangi aku membunuh mereka? Kenapa kau berani menghalangi aku?”

Bun Houw memandang heran. “Moi-moi, mereka tidak perlu dibunuh.”

“Heran aku, mengapa aku menuruti permintaanmu? Belum pernah ada yang berani menghalangi kehendakku. Hayo katakan, kenapa mereka tidak perlu dibunuh?

Diam-diam Bun Houw bergidik. Gadis aneh dan agaknya gadis ini biasanya tidak pernah mau memberi ampun kepada musuh-musuhnya dan kalau dia membayangkan betapa gadis itu tadi akan membunuh dua belas orang anak buah Lembah Bunga Merah itu dengan darah dingin, begitu saja, dia bergidik ngeri.

“Hong-moi sebelum aku menjawab, lebih dulu katakanlah, apakah engkau tadi hendak membunuh mereka karena engkau membenci mereka?”

“Tentu saja! Aku benci mereka, dan, dan sepatutnya mereka dibunuh!”

“Hong-moi, karena itulah aku mencegahmu. Di antara kita dan mereka itu tidak ada permusuhan langsung, mereka hanyalah orang-orang yang mentaati perintah pemimpin mereka. Dan pula, kita harus turun tangan menghadapi siapapun dengan dasar membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Kalau hati kita dikuasai oleh kebencian, mungkin kita akan membunuh orang yang tidak bersalah hanya berdasarkan perasaan benci itu.”

In Hong masih mengerutkan alisnya, seolah-olah tidak memperdulikan kata-kata itu. “Baiklah, lain kali harap kau tidak mencegah aku lagi. Sekarang kita hendak ke mana?”

“Aku akan menyusul mereka ke Ngo-sian-chung. Dan kau...?”

“Akupun akan mencari mereka, mungkin Lima Bayangan Dewa berkumpul di sana dan pedang Siang-bhok-kiam disimpan di sana pula.”

“Kalau begitu, mari kita melakukan perjalanan bersama, Hong-moi.”

In Hong tiba-tiba menggeleng kepalanya. “Tidak! Aku akan pergi sendiri. Sampai jumpa!” Gadis itu hendak membalikkan tubuh untuk pergi meninggalkan Bun Houw.

Akan tetapi, mengapa, moi-moi? Bukankah tujuan kita sama?”

“Kalau kita melakukan perjalanan bersama, kita tentu akan saling bentrok!”

“Tidak mungkin!”

“Kau mau berjanji babwa lain kali tidak akan mencegah aku lagi?”

“Kalau aku melihat engkau melakukan sesuatu yang tidak benar, sudah semestinya aku mencegah dan mengingatkan engkau, Hong-moi.”

“Nah, kalau begitu, selamat tinggal!”

“Hong-moi...!” Bun Houw berteriak memanggil namun bayangan gadis itu sudah lenyap. Dia hanya dapat menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. Gadis yang hebat, lihai sekali dan cantik jelita, akan tetapi juga liar dan kadang-kadang berwatak aneh dan dingin sekali, seperti setan! Terpaksa dia melanjutkan perjalanan dengan perlahan seorang diri, kadang-kadang berhenti untuk memulihkan tenaganya, terutama sekali menyembuhkan luka di kedua pundaknya.

***

Semenjak matinya Panglima Besar The Hoo, biarpun bekas kebesaran panglima itu mendatangkan banyak kemakmuran dan kemajuan dalam perdagangan dan hubungan dengan luar negeri, namun tetap pengaruh Kerajaan Beng menurun. Kemajuan yang dipupuk oleh kebesaran The Hoo memang tampak menonjol, membuat Kerajaan Beng terkenal di seluruh negeri tetangga.

Pada masa itu, semenjak tewasnya Timur Leng yang amat terkenal di barat, yaitu pada tahun 1404, hubungan dagang dengan Negara Iran dan lain negara barat dapat dilakukan melalui darat. Oleh karena itu, maka perkembangan armada Kerajaan Beng dipandang tidak begitu perlu lagi dan perdagangan melalui lautan dilakukan oleh bangsa-bangsa lain, yaitu bangsa kulit putih dan Jepang. Pemerintah Beng hanya menerima barang-barang ini di pantai-pantai sehingga banyak timbul kota-kota besar di pantai lautan yang makin lama menjadi makin ramai dengan perdagangan dengan bangsa-bangsa asing ini. Betapapun juga, bangsa-bangsa asing itu yang masih terkesan oleh kebesaran den kekuatan bala tentara yang dahulu dipimpin oleh Panglima The Hoo dan para pembantunya, tidak ada yang berani bermain gila atau mengacau secara berterang, apalagi karena perdagangan mereka mendatangkan banyak untung, yaitu dengan mengangkut rempah-rempah dan hasil bumi lain dari pedalaman, serta menjual barang-barang luar negeri yang masih merupakan benda-benda aneh di masa itu.

Di pantai-pantai selatan dan timur, banyak kota-kota dan dusun-dusun pelabuhan yang menjadi ramai, setiap hari didatangi perahu-perahu asing yang membawa barang-barang dagangan dan pajak mereka cukup dengan pemberian-pemberian terhadap para pembesar setempat.

Kota Yen-tai merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai di pantai Lautan Po-hai yang banyak disinggahi kapal-kapal dari luar negeri. Banyak terdapat pedagang-pedagang di temput ini, di kotanya banyak pula berkeliaran orang-orang asing yang rambutnya beraneka warna, demikian pula matanya, ada yang berwarna biru, keemasan, dan kuning muda rambutnya, dan mata mereka berwarna biru atau coklat. Tidak ada di antara mereka yang berambut dan bermata hitam. Pakaian mereka juga beraneka warna, dan mereka ini adalah pekerja-pekerja kapal atau pedagang-pedagang yang datang bersama kapal-kapal yang berlabuh, ada pula yang menetap di kota itu sebagai pedagang. Akan tetapi jarang kelihatan wanita bangsa asing, semuanya pria, tua dan muda, dengan muka penuh brewok dan gaya mereka yang bagi penduduk setempat tampak kasar dan biadab! Ada pula orang-orang yang muka serta kulitnya sama dengan pribumi, akan tetapi tubuh mereka pendek-pendek dan pakaian mereka agak berbeda. Mereka ini adalah orang-orang Jepang yang terdiri dari banyak pulau-pulau

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali keadaan Yen-tai sudah ramai karena semalam banyak kapal asing berlabuh di pantai. Pagi-pagi sudah tampak kesibukan di kota itu, ada yang menurunkan barang dari kapal-kapal dan ada pula yang menaikkan rempah-rempah dan hasil-hasil bumi lainnya, juga barang-barang kerajinan dari pedalaman, terutama sutera dan barang-barang ukiran, yang serba indah dan mahal.

Di antara banyak sekali orang yang beraneka macam bahasanya, bermacam pula pakaiannya, terdapat seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah namun amat sederhana gerak-gerik dan pakaiannya yang berwarna kuning itu, dengan sebatang pedang di pinggangnya, pemuda itu adalah Tio Sun, putera tunggal dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan bekas pengawal panglima Besar The Hoo yang paling dipercaya. Seperti kita ketahui, secara kebetulan Tio Sun menolong Yap Mei Lan dan diapun tertawan oleh orang-orang liar yang dipimpin Jeng-hwa Sian-jin Si Ahli Sihir dan hampir saja dia celaka oleh kawanan Jeng-hwa-pang di dalam hutan itu kalau saja tidak tiba-tiba muncul seorang yang luar biasa sektinya, tokoh tua yang sudah tidak pernah muncul di dunia kang-ouw yaitu Bun Hwat Tosu.

Pemuda ini mewakili ayahnya untuk membantu Cin-ling-pai mencari musuh-musuh besar Cin-ling-pai, yaitu Lima Bayangan Dewa yang telah menyerbu mengacau Cin-ling-pai, membunuh murid-murid Cin-ling-pai dan mencuri Siang-bhok-kiam. Karena dia sudah tahu akan nama-nama Lima Bayangan Dewa, Tio Sun menyelidiki dan akhirnya dia mendengar berita bahwa Liok-te Sin-mo Gu Lo It, orang kedua dari Lima Bayangan Dewa, tinggal di sekitar pantai Po-hai. Berita inilah yang membawa Tio Sun pergi ke pantai Po-hai dan pada pagi hari itu tibalah dia di kota Yen-tai.

Dengan tenang Tio Sun melangkah dan berjalan di atas jalan raya, mengagumi keramaian kota itu dan terheran-heran melihat banyaknya orang-orang asing yang warna rambut, mata dan kulitnya amat mengerikan hatinya itu! Memang belum pernah dia bertemu dengan orang asing kulit putih, sungguhpun sudah banyak dia mendengar tentang mereka dari ayahnya.

Gembira hati Tio Sun menyaksikan kota pantai yang amat ramai itu. Seringkali dia berhenti untuk menonton keramaian, melihat orang-orang berdagang dan mendengarkan kata-kata yang terdengar agak kaku dan asing keluar dari mulut orang-orang berkulit putih itu. Juga ia melihat-lihat banyak barang yang aneh dan indah dipamerkan di toko sepanjang jalan. Akan tetapi setelah setengah hari berjalan-jalan melihat kota yang ramai ini, akhirnya dia merasa bosan juga dan akhirnya menjelang senja itu dia berjalan-jalan di tepi pantai laut yang hawanya lebih sejuk karena angin bertiup dan agak sunyi tidak terdapat terlalu banyak orang.

Tio Sun memasuki sebuah warung di tepi laut, warung yang agak sunyi dan ketika dia masuk, hidungnya disambut oleh bau arak wangi yang memenuhi tempat itu. Suara tertawa bergelak disusul munculnya dua orang asing kulit putih keluar dari dalam warung makan itu, keduanya membawa seguci arak. Sambil tertawa-tawa mereka bicara dalam bahasa yang sama sekali tidak dimengerti oleh Tio Sun. Ketika berpapasan, Tio Sun mendapat kenyataan betapa tingginya dua orang itu. Dia sendiri sudah terhitung seorang pemuda yang bertubuh jangkung, akan tetapi ternyata tubuhnya hanya mencapai pundak kedua orang raksasa berkulit putih dan bermata biru itu.

Tio Sun segera melupakan mereka dan dia duduk di atas sebuah bangku, memesan makanan dan minuman kepada pelayan. Tidak banyak tamu sore itu di warung ini, hanya beberapa orang yang pakaiannya seperti nelayan dan ketika mereka itu bicara tentang hasil penangkapan ikan maka jelaslah apa pekerjaan mereka itu.

Ketika Tio Sun sedang makan, tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita, yang kedengaran agak jauh dari situ. Seketika Tio Sun bangkit berdiri. Jerit itu terulang lagi. “Toloooooonggg...!”

Tio Sun menggeser bangkunya, siap untuk lari keluar. Akan tetapi para nelayan yang juga menghentikan percakapan mereka dan memperhatikan jeritan itu, menoleh ke arah Tio Sun dan seorang di antara mereka yang usianya sudah lima puluh tahun lebih berkata, “Harap kongcu jangan memperhatikan dan mencampuri urusan kotor itu.”

Tio Sun memandang heran, “Mengapa kau berkata demikian, lopek?” Dan pada saat itu kembali jerit tadi terulang.

Kakek nelayan itu hanya menarik napas panjang dan tidak menjawab, lalu terdengar ucapan pelayan warung. “Omongan paman nelayan ini benar, kongcu. Tentu keributan itu dilakukan oleh setan-setan kulit putih pemabok itu, dan yang menjerit itu hanyalah perempuan-perempuan lacur. Memalukan sekali dan kongcu akan mendapat malu saja kalau mencampuri urusan pelacur-pelacur dengan setan-setan pemabok itu. Kalau melihat itu, lebih baik kita tulikan telinga dan butakan mata.”

“Tolonggggg...!”

“Bagaimana kita dapat menulikan telinga dan membutakan mata kalau mendengar jerit wanita minta tolong?” Tio Sun berkata dan tanpa menanti jawaban dia sudah berlari keluar, langsung ke kanan dari mana dia tadi mendengar suara jeritan itu. Cuaca senja sudah mulai remang-remang akan tetapi dia masih dapat melihat dua orang laki-laki yang sedang menarik dan menyeret seorang wanita di dekat pantai, agaknya hendak memaksa wanita itu naik ke sebuah perahu.

“Keparat...!” Tio Sun berlari cepat di sepanjang pantai yang sunyi itu, otot-otot tubuhnya sudah menegang dan hatinya panas oleh kemarahan.

“Plak-plak!” Dua kali Tio Sun menggerakkan tangannya menampar pundak dua orang raksasa bule itu. Dua orang itu terhuyung dan melepaskan lengan gadis yang tadi mereka tarik-tarik. Tamparan itu keras sekali namun hanya membuat mereka terhuyung, maka tahulah Tio Sun bahwa dua kedua orang raksasa bule itu bertubuh kuat sekali. Gadis itu sambil menangis menjatuhkan diri berlutut di depan Tio Sun.

“Harap taihiap menolong saya... mereka hendak menculik saya...”

Tio Sun memandang. Gadis itu adalah seorang gadis berpakaian nelayan sederhana, namun kesederhanaan pakaiannya dan air mata yang membasahi mukanya itu tidak mengurangi kemanisan wajahnya dan kepadatan tubuhnya yang muda.

“Nona, kau minggirlah...” kata Tio Sun dengan tenang, lalu dia melangkah menghadapi dua orang raksasa bule yang kini sudah melangkah maju dengan muka mereka merah sekali, mata mereka melotot dan memandang Tio Sun penuh kemarahan. Mula-mula mereka itu mengeluarkan kata-kata keras dalam bahasa asing itu, telunjuk mereka menuding-nuding, akan tetapi Tio Sun sama sekali tidak mengerti artinya. Kemudian seorang di antara mereka, yang rambutnya kemerahan, berkata dalam bahasa pribumi yang kaku namun sikapnya jelas menunjukkan kemarahannya, “Kau berani merampas perempuan kami?”

Tio Sun teringat akan cerita pelayan warung dan para nelayan tadi, maka dia dapat menduga bahwa agaknya dua orang kelasi barat yang mabok ini menganggap gadis itu sebagai seorang pelacur, maka dengan sikap tenang karena mengira akan kesalah pahaman mereka, dia menjawab, “Kalian salah sangka. Nona ini adalah seorang wanita baik-baik, maka kalian tidak boleh kurang ajar terhadapnya.”

“Kurang ajar? Apa kurang ajar?” Si rambut merah itu membentak dan mengepal tinjunya yang besar, matanya juga merah melotot marah. “Kami cinta padanya, kami... kami akan membayar!”

Tio Sun mengerutkan alisnya. “Kalian orang-orang kasar yang mabok. Jangan mengganggu wanita dan pergilah!”

Si rambut merah melangkah maju dengan langkah lebar, sedangkan temannya yang berambut pirang hanya menonton sambil tersenyum-senyum memandang rendah, yakin bahwa temannya tentu akan memberi hajaran kepada pemuda kecil lemah yang mencampuri urusan mereka itu.

Si rambut merah menuding-nuding dengan isyarat agar Tio Sun pergi dari situ, suaranya parau dan kasar, kemarahannya membuat dia makin sukar mengeluarkan bahasa yang belum dikuasainya benar-benar itu. “Pergi kamu... pergi... dia perempuan kami...!”

Melihat keributan itu, beberapa orang yang datang mendekati untuk menonton, dan seorang nelayan tua berkata kepada Tio Sun, “Orang muda, sebaiknya kau pergi dan tidak mencampuri urusan mereka. Ketahuilah, mereka itu adalah dua orang terkuat di antara mereka yang mempunyai banyak anak buah. Jangan kau mencari penyakit...”

Sementara itu, seorang kakek nelayan lain yang kurus dan berpakaian butut lari mendatangi, dan melihat kakek ini, gadis nelayan tadi lalu menjerit dan lari menubruk kakek itu. “Ayahhh...!”

“Kui-ji... kau kenapa...?” Nelayan tua itu bertanya sambil mengelus rambut kepala anaknya.

Akan tetapi gadis itu tidak dapat menjawab, hanya menangis.

Nelayan tua yang tadi memperingatkan Tio Sun berkata, “Kalian cepat pergi...! Lekas...!”

Ayah dan anak itu terkejut dan keduanya hendak menyingkir dari tempat itu, akan tetapi raksasa berambut pirang dengan beberapa langkah lebar sudah mendekat, lalu lengannya yang panjang dengan jari-jari tangannya yang besar itu menangkap pergelangan tangan gadis manis itu.

“Ha-ha-ha, jangan pergi...jangan pergi...kau manis...” kata raksasa asing itu sambil tertawa.

Sang ayah kini mengerti bahwa anak perempuannya menjadi kebiadaban para kelasi asing itu, maka dengan marah dia memukul.

“Bukkk…!” Dada yang bidang itu menerima pukulan dengan enak saja, sedikitpun tidak terguncang dan tangan kiri yang lebar itu mendorong sehingga si kakek terjengkang jauh.

“Ayahhh………!”

“Keparat……!” Tio Sun melangkah maju.

“Orang muda, mari kita pergi. Kalau mereka mengamuk……!” Nelayan itu berkata ketakutan.

Tio Sun menjadi marah sekali. Dia bertolak pinggang, memandang ke sekeliling. Terutama ke arah beberapa orang nelayan yang berdiri di sekitar tempat itu dengan wajah ketakutan. “Kalian ini laki-laki ataukah pengecut yang tak tahu malu! Melihat gadis bangsa kita dihina dan hendak dipermainkan orang-orang asing biadab ini, kalian sama sekali tidak mengulurkan tangan membantu, malah ketakutan dan hendak menyingkir, dan lebih celaka lagi, kalian melarang aku untuk menolongnya. Apakah kalian tidak mau hidup sebagai laki-laki?”

Tidak ada seorangpun yang dapat menjawab. Mereka itu hanya nelayan-nelayan yang tahunya hanya mencari nafkah setiap hari di lautan, dan mereka semua sudah maklum akan kekuasaan dan kekasaran orang-orang berkulit putih ini. Orang-orang kulit putih itu ada kalanya amat baik dan ramah terhadap pribumi, apalagi dalam hal perdagangan. Akan tetapi sikap mereka itu rata-rata kasar dan keras, apalagi kalau dihalangi kehendak mereka, keramahan berobah menjadi kekerasan dan kekejaman. Dan rata-rata mereka itu terdiri dari jagoan-jagoan berkelahi yang bertubuh kuat dan berani, bahkan agaknya mereka itu mempunyai kesukaan untuk berkelahi sehingga para nelayan yang sering kali mengalami pemukulan mereka, kini menjadi takut. Lebih-lebih lagi ketika laporan mereka kepada yang berwajib bahkan merugikan mereka sendiri karena agaknya ada pertalian persahabatan yang erat antara pembesar-pembesar setempat dengan orang-orang bule tinggi besar itu. Dan kenyatannya memang demikian. Para pembesar sudah menerima banyak sumbangan dan hadiah dari raksasa-raksma ini, maka tentu saja sebagai seorang yang baik hati para pembesar ini merasa sungkan untuk bersikap memusuhi dan setiap ada pengaduan mereka ini menyalahkan yang mengadu dan memberi nasihat agar sebagai “tuan rumah” para pribumi suka mengalah terhadap para tamu yang banyak mendatangkan keuntungan bagi “rakyat” ini. Tentu saja hanya di mulut mereka ini mengucapkan demi rakyat, padahal sudah tentu, seperti yang sudah lajim terjadi di seluruh dunia, mereka itu hanya mementingkan dirinya sendiri dan demi kepadatan kantong mereka sendiri.

Inilah sebabnya mengapa para nelayan bersikap ketakutan dan teguran Tio Sun itu hanya membuat muka mereka menjadi merah akan tetapi tidak ada seorangpun berani menentang dua orang raksasa kulit putih itu.

Sebaliknya, ucapan Tio Sun itu membikin marah si rambut merah. “Setan, engkau perlu dihajar!” bentaknya dan dia sudah menerjang Tio Sun dengan pukulan-pukulan kedua tangannya yang bertubi-tubi dan pukulan-pukulannya ternyata keras sekali!

Tio Sun tentu saja sudah siap dan waspada, dengan mudahnya dia menggerakkan tubuh sedikit saja namun cukup membuat pukulan kanan kiri yang bertubi-tubi datangnya itu menyambar angin kosong belaka. Ketika pukulan yang kesekian kalinya meluncur mengarah dagunya, kepalan kanan si rambut merah yang besar sekali itu menyambar, Tio Sun menggerakkan tangan menangkis dengan tangan kirinya. Tangkisan ini membuat tulang bawah lengan kirinya bertemu dengan amat kerasnya dengan tulang atas lengan kanan si rambut merah.

“Dukkkk... aughhhh...!” Si rambut merah berteriak kesakitan dan memegangi lengan kanannya. Tulang bawah lengan merupakan bagian yang lebih kuat daripada tulang atas lengan, biarpun keduanya terlatih sekalipun, apalagi Tio Sun mempergunakan tulang bawah lengannya dengan pengerahan tenaga sin-kang, tentu saja membuat lawannya yang terpukul tulang atas lengannya itu merasa nyeri bukan main seolah-olah tulang lengannya retak-retak rasanya.

Akan tetapi rasa nyeri ini tidak berlangsung lama dan kemarahan si rambut merah memuncak. Dia mengeluarkan suara gerengan disambung maki-makian dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Tio Sun, kemudian raksasa rambut merah itu menerjang seperti seekor kerbau mengamuk, kepalanya di depan, tubuhnya agak membungkuk dan kedua lengannya merapat tubuh, kedua kepalan tangan yang besar itu silih berganti menyambar dengan pukulan-pukulan keras yang mengarah bagian muka dan tubuh atas Tio Sun.

Tentu saja serangan sederhana yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini merupakan serangan yang sama sekali tidak berbahaya bagi Tio Sun. Dengan amat mudahnya pemuda ini mengelak dan menangkis, kemudian satu kali tanganya menyambar dia sudah berhasil memukul leher dekat pundak kiri lawan dengan tangan kanan yang dimiringkan.

“Ngekkk!”

Raksasa muka merah itu terjungkal, mengaduh dan memijit-mijit lehernya yang terpukul. Akan tetapi ternyata dia bertubuh kuat sekali karena dia sudah bangkit kembali, merogoh saku celana dan mengeluarkan dua buah senjata kalung besi yang ketika digenggamnya melingkari celah-celah jari kedua tangannya sehingga kini kepalannya tertutup oleh ujung-ujung besi yang menonjol dan agak meruncing. Dapat dibayangkan betapa kepala akan dapat pecah dan tubuh akan terluka parah kalau sekali saja terkena pukulan tangan yang diperlengkapi dengan senjata istimewa ini.

lanjut ke Jilid 19-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar