Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 69

Petualang Asmara Jilid 069

<--kembali

Muka pangeran itu sebentar merah sebentar pucat mendengar ini. Dia marah sekali, karena menganggap pemuda itu terlalu kurang ajar, tidak tahu apa yang dideritanya selama ini, dia benar-benar cinta kepada Pek Hong Ing, dara perkasa yang dikaguminya. Dia mengajukan lamaran dengan baik-baik dan sudah diterima oleh Go-bi Sin-kouw sebagai wali dara itu! Bagaimana dia dimaki-maki seperti itu? Adalah pemuda itu yang kurang ajar dan tidak patut, melarikan calon isteri orang!

“Kim Seng Siocia, engkau juga seorang wanita yang berakhlak bejat! Tidak malukah engkau hendak memaksa seorang pria seperti aku menjadi suamimu? Engkau ini sepatutnya berjodoh dengan Pangeran Han Wi Ong, karena sama-sama hendak memaksa orang menjadi jodohnya!”

Kim Seng Siocia tertawa lebar. “Bocah lucu, kalau sudah tertawan, aku akan menjewer telingamu biar kau bertaubat, hi-hik!”

“Dan engkau, Go-bi Sin-kouw. Guru macam engkau ini pun bukan merupakan seorang guru yang baik! Mana ada guru yang katanya mencinta muridnya hendak menjerumuskan murid sendiri? Jelas bahwa muridmu, Pek Hong Ing, tidak suka menjadi isteri Pangeran Han Wi Ong, akan tetapi kau hendak memaksanya. Aku tahu hal ini adalah karena kau ingin mendapatkan kehormatan dan harta. Engkau tidak patut menjadi guru, pantasnya sikapmu itu sikap seorang biang pelacur!”

“Dan kalian orang-orang kang-ouw dan para perajurit! Percuma saja hidup seperti kalian ini, mencari uang dan kedudukan dengan jalan membunuh orang lain, kalian adalah boneka-boneka sial yang mau saja ditipu dan diperalat oleh segelintir manusia macam Pangeran Han Wi Ong yang mengejar kedudukan! Betapa murah harga diri dan nyawa kalian!”

“Serbu! Bunuh saja keparat itu!” Tiba-tiba terdengar perintah yang keluar dari mulut Pangeran Han Wi Ong. “Dan tangkap nona itu!”

“Tidak! Jangan bunuh calon suamiku!” Kim Seng Siocia membantah.

Menyerbulah semua orang itu ke batu karang dan terpaksa Kun Liong meloncat turun lalu mengamuk dengan sepasang ranting di tangannya. Dia mainkan Siang-liong-pang dan berturut-turut robohlah beberapa orang perajurit yang terdekat. Akan tetapi betapapun juga, Kun Liong tetap tidak mau membunuh orang dan selalu mengatur gerakan kedua ranting di tangannya sehingga yang roboh olehnya hanya menderita tertotok, luka ringan atau patah tulang saja. Dalam waktu singkat Kun Liong sudah dikeroyok seperti seekor jangkerik dikeroyok banyak sekali semut yang nekat. Melihat betapa Kun Liong dengan nekat menghadapi pengeroyokan dan semua itu dilakukan demi melindunginya, Hong Ing segera meloncat turun pula dan mengamuk. Dia ingin mati di samping pemuda ini!

Seru dan hebat sekali pertandingan yang berat sebelah itu berlangsung di tepi pantai yang berhutan. Hong Ing sudah berhasil merampas sebatang pedang milik seorang pengeroyok dan kini dia mengamuk seperti seekor singa betina.

Hanya subonya saja yang diseganinya dan dia sama sekali tidak mau melawan subonya, maka setiap kali gurunya ini menerjang, dia selalu lari ke lain bagian untuk mengamuk di antara para pengeroyoknya. Melihat ini Kun Liong mengerti bahwa kalau Go-bi Sian-kouw mendesak dan memaksa Hong Ing melayaninya, dara itu tentu akan mengalah dan mudah tertawan. Maka dia menggerakkan sepasang rantingnya selalu menghadang dan mendesak Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini tidak sempat lagi mengejar Hong Ing.

Biarpun dia sudah memiliki tingkat kepandaian silat yang tinggi sekali, namun menghadapi pengeroyokan orang-orang pandai itu, Kun Liong merasa kewalahan juga. Apalagi dia tidak mau membunuh orang! Kim Seng Siocia dengan cambuk hitamnya, Go-bi Sin-kouw dengan tongkat bututnya, dan tujuh orang kang-ouw yang memegang bermacam senjata dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi, membuat Kun Liong repot sekali. Namun dia terheran-heran mengapa di antara mereka ini tidak terdapat orang sakti yang telah mengganggunya dengan suara ketawa itu dan hal ini melegakan hatinya. Kalau ada orang itu, agaknya dia tidak akan dapat lama bertahan. Namun sekarang dia makin terdesak juga karena untuk menggunakan Thi-khi-i-beng yang diandalkannya, tidak ada kesempatan baginya. Berulang kali Kim Seng Siocia memperingatkan kawan-kawannya dengan teriakan agar jangan sampai menjadi korban Thi-khi-i-beng. “Awas!” teriaknya. “Dia pandai Ilmu Mujijat Thi-khi-i-beng! Jangan biarkan tubuhmu menyentuhnya, gunakan saja ujung senjata untuk mendesak! Tangkap dia!”

Memang dengan peringatan ini, para pengeroyok hanya mengurung saja, tidak berani terlalu mendesak sehingga dia tidak terancam bahaya senjata lawan, namun dengan dikurung ketat seperti itu, dia takkan dapat meloloskan diri dan pula dia tentu akan kehabisan tenaga. Di samping ini, yang menggelisahkan hatinya adalah bahwa dia tidak dapat menolong Hong Ing dan hanya melihat dengan hati gelisah betapa dara itu pun dikeroyok oleh banyak sekali panglima dan perajurit.

Selagi Kun Liong merasa bingung sekali, tiba-tiba dia melihat bayangan seorang gadis yang membuatnya girang dan jantungnya berdebar. Akan tetapi hatinya yang girang itu segera berubah heran dan bingung, juga kecewa ketika melihat bahwa gadis itu yang bukan lain adalah Cia Giok Keng, datang bersama dengan Liong Bu Kong, putera dari Ketua Kwi-eng-pang! Saking herannya, dia tidak jadi berteriak memanggil dan dia melihat betapa dara itu bercakap-cakap dengan Pangeran Han Wi Ong.

Tak lama kemudian terjadilah hal yang sama sekali tidak diduganya akan tetapi yang segera dapat dimengertinya. Cia Giok Keng dan Liong Bu Kong sudah menyerbu ke medan pertandingan dan ikut pula mengeroyoknya! Tanpa menegur pun tahulah dia mengapa Giok Keng membantu Pangeran Han Wi Ong. Ayah dara itu, supeknya Si Pendekar Sakti Cia Keng Hong, adalah seorang yang terkenal sering membantu pemerintah. Maka kini puterinya tentu saja membantu pasukan pemerintah, apalagi karena agaknya pangeran itu sudah memutarbalikkan kenyataan ketika bicara dengan Giok Keng tadi. Benar saja dugaannya, sambil menudingkan pedangnya Giok Keng memaki, “Yap Kun Liong! Mengapa kau menjadi begini tersesat? Lebih baik kau menyerah agar mendapatkan pengadilan yang resmi! Kau telah melarikan isteri orang? Sungguh terlalu kau!”

“Jangan dengarkan obrolan pangeran konyol itu, Giok Keng!” teriak Kun Liong penasaran. “Gadis ini mau dipaksanya menjadi isterinya, aku hanya menolong...!”

“Aku tahu watak mata keranjangmu!”. Giok Keng membentak dan kini pedangnya ikut bicara. Juga Liong Bu Kong yang diam-diam tersenyum girang ikut pula menerjang maju. Tentu saja Kun Liong menjadi makin kewalahan. Baru menghadapi pengeroyokan tadi saja dia sudah repot, kini ditambah dua orang yang memiliki kepandaian begini tinggi, tentu saja dia menjadi makin sibuk.

Seperti diceritakan di bagian depan, Giok Keng dan Bu Kong sedang meninggalkan Pantai Pohai, baru saja mereka mengambil pusaka-pusaka yang disembunyikan pemuda itu dan hendak berangkat ke Siauw-lim-si. Di tepi pantai ini, dekat muara karena mereka bermaksud menggunakan perahu, mereka melihat ramai-ramai dan ternyata Yap Kun Liong si pemuda gundul yang dikeroyok oleh pasukan tentara. Tepat seperti diduga oleh Kun Liong, Giok Keng yang bicara dengan Pangeran Han Wi Ong menanyakan peristiwa itug mendengar bahwa Kun Liong melarikan gadis yang menjadi isteri pangeran itu. Tentu saja Giok Keng menjadi marah dan terus menyerbu bersama Bu Kong.

Tubuh Kun Liong sudah basah semua oleh peluh, seperti juga tubuh Hong Ing yang membela diri mati-matian. Hanya bedanya, kalau orang-orang yang dirobohkan oleh Kun Liong hanya menderita tulang patah atau tertotok lumpuh, mereka yang roboh oleh pedang Hong Ing tak dapat bangkit lagi, bahkan banyak yang tewas seketika! Namun Hong Ing sendiri juga sudah menderita beberapa luka-luka ringan di lengan dan pahanya. Betapapun juga, dara ini mengamuk terus, mengambil keputusan untuk mempertahankan diri sampai titik darah terakhir!

Diam-diam Cia Giok Keng heran bukan main, juga kagum. Baru sekarang dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa lihainya pemuda gundul itu. Ilmu tongkatnya yang dimainkan oleh kedua tenaga Kun Liong yang menggunakan sepasang ranting benar-benar amat luar biasa, aneh dan juga tangguh sekali. Belum pernah Giok Keng menyaksikan ilmu tongkat sehebat itu. Kemana pun tongkat berkelebat, tentu ada pengeroyok yang terdesak hebat, dan dari manapun datangnya hujan senjata tentu dapat ditangkis oleh sebatang di antara dua ranting itu! Dan kekebalan tubuh Kun Liong juga mengagumkan sekali. Beberapa kali tubuh pemuda itu terkena bacokan, namun hanya bajunya saja yang robek sedangkan kulit tubuhnya sama sekali tidak terluka. Tentu saja bacokan dan gebukan itu hanya dilakukan dengan senjata biasa. Buktinya, pemuda itu sama sekali tidak pernah berani menerima sambaran pedangnya, Gim-hwa-kiam, dan pedang Lui-kong-kiam di tangan Bu Kong dengan tubuhnya. Jelas bahwa kekebalan tubuh Kun Liong masih belum dapat menahan pedang pusaka! Dan sekali ini Giok Keng yang cerdik ternyata salah duga. Ketika tubuh Kun Liong terkena hantaman golok, pedang atau tombak, bukan sekali-kali dia menerima senjata itu dengan sengaja, melainkan karena terlalu banyaknya senjata yang datang menyerangnya membuat dia tidak sempat mengelak atau menangkis lagi. Maka terpaksa dia mengerahkan sin-kang melindungi tubuhnya sehingga kulitnya menjadi kebal. Dan kalau dia menghendaki, belum tentu pedang pusaka itu dapat pula melukainya! Tentu saja Kun Liong tidak mau mencoba-coba, karena selain berbahaya, juga dia tidak menghendaki kalau puteri supeknya ini merasa terhina.

Maklumlah Kun Liong bahwa dia dan Hong Ing tidak akan tertolong lagi. Pihak pengeroyok terlampau kuat. Karena dia tahu bahwa tidak mungkin bagi Hong Ing untuk menyerah yang berarti dia harus mau menjadi isteri pangeran itu, maka tidak akan ada gunanya untuk membujuk dara itu menyudahi perlawanan. Dia lalu memekik nyaring, pekik dahsyat yang mengejutkan para pengerayoknya, apalagi ketika dari tangan kiri Kun Liong menyambar pukulan yang mengeluarkan uap putih dan yang menyambar dengan kekuatan dahsyat, bahkan Giok Keng sendiri sampai meloncat mundur. Kim Seng Siocia yang memandang rendah, terkena hantaman hawa pukulan ini dan dia menjerit sambil terhuyung mundur, mulutnya mengeluarkan darah segar tanda bahwa isi dadanya terguncang oleh Pukulan Pek-in-ciang yang dilakukan Kun Liong tadi. Memperoleh kesempatan selagi para lawannya mundur, cepat seperti kilat menyambar tubuhnya telah mencelat ke dekat Hong Ing yang sudah payah. Datangnya pemuda ini tentu saja merubah keadaan Hong Ing yang timbul kembali semangatnya melihat betapa enam orang pengeroyok terlempar ke sana-sini oleh kaki tangan Kun Liong yang marah menyaksikan dara itu terdesak dan terancam. “Kun Liong, mari kita mati bersama...” Hong Ing berbisik.

“Tidak, kita harus hidup! Kita lawan mereka!” teriak Kun Liong penasaran.

Kini para pengeroyok itu menerjang maju dan mengurung Kun Liong dan Hong Ing yang berdiri saling membelakangi, dengan punggung hampir mepet beradu, dan dengan sikap gagah, siap menanti setiap terjangan lawan dari manapun juga datangnya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang luar biasa. Ketawa itu sambung-menyambung seperti halilintar di musim hujan, bergema di seluruh penjuru dan membawa kekuatan yang menggetarkan jantung setiap orang yang berada di situ. Bahkan ada belasan orang perajurit yang kurang kuat, merasa kakinya lumpuh dan mereka ini menggigil hampir roboh mendengar suara ketawa penuh dengan tenaga khi-kang itu.

“Ha-ha-ha-ha! Bermacam-macam orang mengeroyok seorang hwesio muda dan seorang nikouw muda! Dunia ini akan menjadi apa kalau orang-orang sudah mengeroyok dua orang alim? Ha-ha!”

Semua orang, termasuk Kun Liong dan Hong Ing, mengangkat muka memandang. Dari dalam hutan itu muncullah seorang yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, berkepala gundul dan berpakaian seperti pendeta Lama dengan jubah lebar berwarna merah! Lama jubah merah! Sudah terkenal bahwa pendeta Lama jubah merah merupakan segolongan pendeta yang berilmu tinggi dan berpengaruh di Tibet! Anehnya, pendeta Lama tinggi besar ini memanggul sebuah peti mati! Peti mati yang sederhana sekali, hanya sebuah peti lonjong bertutup, terbuat dari kayu yang hitam mengkilap.

“Ha-ha-ha-ha, mengeroyok nikouw dan hwesio sama artinya dengan menantang aku! Mundurlah kalian semua, kalau tidak, terpaksa pinceng (aku) melakukan pelanggaran pantangan membunuh hari ini, ha-ha-ha! Sayang peti matiku hanya sebuah, sedangkan kalian begitu banyak, mana cukup?”

“Hwesio gila...!” Lima orang kango-uw dan belasan orang perajurit yang tadi berada di bagian luar pengepungan dan kini paling dekat dengan hwesio raksasa itu, menyerbu dengan senjata mereka yang bermacam-macam. Pendeta Lama itu hanya tertawa tanpa menurunkan peti mati yang dipanggul di pundak kanannya. Ketika belasan orang itu mendekat, pendeta Lama ini menggerakkan lengan kirinya yang berjubah lebar. Angin yang dahsyat menyambar seperti badai dan... lima orang kang-ouw bersama belasan orang perajurit itu roboh dan tidak dapat bangun kembali!

“Ha-ha-ha, segala macam tikus busuk hendak melawan pinceng? Tidak ada gunanya! Pinceng baru mau bertanding sungguh-sungguh kalau lawan pinceng yang seimbang maju. Hayo, mana dia yang berjuluk Go-bi Thai-houw? Mana dia Bun Hwat Tosu dan Tiang Pek Hosiang? Suruh mereka maju, atau Sin-jiu Kiam-ong dan Panglima The Hoo! Ha-ha-ha, apakah mereka itu tidak ada yang berani melawan Kok Beng Lama?”

Semua orang, terutama sekali Kun Liong dan Giok Keng, terkejut bukan main mendengar ucapan itu. Lama ini menantang-nantang semua orang sakti yang amat terkenal, bahkan yang sebagian besar sudah meninggal dunia! Bahkan guru dari Cia Keng Hong yang bernama Sin-jiu Kiam-ong (baca cerita Pedang Kayu Harum) juga ditantangnya, termasuk Panglima The Hoo yang sakti luar biasa!

Mendengar bekas majikannya yang dipuja-puja, yaitu Go-bi Thai-houw disebut-sebut, marahlah Kim Seng Siocia. Dia berteriak keras dan melompat ke depan. Tubuh yang gendut itu ternyata dapat bergerak gesit sekali dan terdengarlah bunyi ledakan keeil berturut-turut ketika cambuk hitamnya melecut-lecut di udara kemudian meluncur ke arah kakek pendeta Lama itu.

“Ha-ha-ha, bagus juga Si Gendut ini!”

Kakek itu menerima lecutan cambuk hitam dengan mengangkat tangan kirinya dan... seperti besi disedot semberani, ujung cambuk hitam itu melayang ke arah tangan Si Kakek lihai lalu ditangkapnya.

“Lepaskan cambukku! Aihhh...!” Kim Seng Siocia mengerahkan tenaganya membetot, namun cambuknya seperti telah berakar ditangan kakek itu yang masih tertawa-tawa, kemudian tiba-tiba dilepaskanlah cambuk itu sehingga tubuh yang gendut dari Kim Seng Siocia itu terjengkang dan terguling-guling, diikuti suara ketawa kakek itu!

Kim Seng Siocia sudah berdiri lagi, memutar-mutar cambuknya mengikuti sepasang matanya yang juga terputar-putar. Kemudian dia menerjang maju, bersama dengan yang lain. Melihat permainan senjata bukan saja dari Kim seng Siocia, akan tetapi juga Go-bi Sin-kouw dan terutama sekali gerakan pedang di tangan Giok Keng dan Bu Kong, diam-diam kakek itu merasa kagum. Dia tertawa panjang dan tubuhnya sudah meluncur ke dekat Kun Liong dan Hong Ing.

“Kallan tidak lekas masuk ke dalam peti mati selagi masih hidup, apakah menunggu sampai mampus baru dimasukkan? Ha-ha-ha!”

Kun Liong dan Hong Ing maklum bahwa kakek inilah agaknya yang tertawa di dalam hutan kemarin, dan dapat menduga bahwa kakek ini datang untuk menolong mereka, maka Kun Liong lalu menyambar tangan Hong Ing dan ketika melihat peti itu yang dipanggul oleh Si Kakek tahu-tahu sudah terbuka sendiri tutupnya, dia lalu membawa Hong Ing meloncat ke dalam peti mati yang segera tertutup kembali!

Biarpun para lawannya sudah menerjang maju, pendeta Lama itu tidak melepaskan peti mati, bahkan dia lalu tertawa dan kini lengking ketawanya mengandung tenaga yang sedemikian dahsyatnya sehingga Giok Keng, Bu Kong, Kim Seng Siocia, Go-bi Sin-kouw dan beberapa orang kang-ouw, cepat meloncat mundur, mengerahkan sin-kang untuk menahan pengaruh suara yang menggetarkan jantung mereka itu. Pangeran Han Wi Kong sendiri yang berdiri agak jauh, sudah terjungkal roboh dan pingsan, sedangkan banyak perajurit roboh dan tewas seketika, telinga mereka mengeluarkan darah segar! Keadaan menjadi sunyi sekali setelah kakek itu menghentikan suara lengkingannya yang hebat itu, dan kesempatan ini dipergunakan oleh kakek yang mengaku bernama Kok Beng Lama itu untuk berbisik ke dalam peti, “Kalian adalah orang-orang buruan pemerintah. Berbahaya sekali. Lebih baik kalian untuk sementara waktu pergi bersembunyi ke sebuah pulau kosong dan jangan mendarat dulu. Nah, pergilah!” Tiba-tiba kakek itu menggunakan kedua lengannya yang berbulu untuk melontarkan peti mati itu. Peti melayang dan meluncur jauh menuju lautan.

“Byuuurrr...!” Peti mati itu terbanting ke atas air, Kun Liong dan Hong Ing sampai bertumpang tinding di dalam peti namun Kun Liong masih teringat untuk merangkul Hong Ing dan melindunginya sehingga ketika peti terbanting, kepala dara itu tidak sampai terbentur peti. Juga pemuda ini sudah menarik tubuh Hong Ing ke atas tubuhnya ketika peti melayang sehingga dialah yang berada di bawah ketika peti terbanting. Setelah peti yang terbanting tidak melayang lagi, Kun Liong menggunakan tangan kirinya membuka peti dari dalam. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka berdua mendapat kenyataan bahwa peti mati itu telah berada di atas permukaan air laut yang bergelombang! Ketika mereka memandang ke daratan yang agak jauh, mereka melihat para pengejar mereka berdiri di pantai. Untung di situ tidak tersedia perahu sehingga mereka tidak mampu melakukan pengejaran. Adapun pendeta Lama bernama Kok Beng Lama itu sudah tidak tampak mata hidungnya di pantai. Memang pendeta itu segera melangkah lebar pergi meninggalkan pantai setelah melemparkan peti mati ke lautan dan tidak ada yang berani mengejarnya karena semua orang maklum betapa lihainya pendeta Lama itu.

Kun Liong terus membuka peti. Tutup peti yang berengsel itu dapat terbuka sampai telentang sehingga peti itu merupakan dua perahu kecil berjajar. Di sudut dia menemukan sehelai layar tergulung, terbuat dari kain tipis akan tetapi kuat sekali, lengkap berikut tali-temali dan bambu sebagai tiang. Kiranya peti mati itu bukanlah peti mati biasa, melainkan peti mati yang dapat dipergunakan sebagai perahu dan agaknya memang menjadi kendaraan kakek itu! Dibantu oleh Hong Ing, Kun Liong lalu memasang layar dan meluncurlah “perahu” mereka, menerjang ombak menuju ke timur, ke tengah samudera yang luas!

Setelah pantai hanya kelihatan sebagai garis yang tidak jelas dan para pengejar tak tampak lagi, legalah hati kedua orang muda itu.

“Ke mana kita pergi?” Tiba-tiba terdengar suara Hong Ing, suara yang lemah penuh kekhawatiran.

Kun Liong menarik napas panjang. Sebegitu jauh, nasib mereka masih mujur, ada saja bintang penolong yang datang membebaskan mereka dari bahaya. Akan tetapi dia sendiri pun tidak tahu harus pergi ke mana!

“Sebaiknya kita mentaati nasihat Kok Beng Lama tadi. Kalau berada di darat, tentu kita akan menjadi orang buruan terus sebelum aku berhasil bertemu dan mendapat pertolongan Supek. Akan tetapi melihat sikap Giok Keng tadi... ah, tipis harapanku...”

“Giok Keng? Apakah kaumaksudkan dara cantik jelita yang amat gagah perkasa tadi? Yang menyerangmu dengan pedang bersinar perak?”

“Benar.”

“Engkau sudah mengenalnya, mengapa dia menyerangmu? Siapakah dia?”

“Dia itu... tunanganku...”

“Ihhh...!” Hong Ing membuang muka, tidak memandang lagi kepada Kun Liong dan tidak bicara lagi.

Sampai lama keduanya berdiam saja dan suasana menjadi amat hening, hening menggelisahkan hati.

“Dia adalah puteri Supek Keng Hong...” Akhirnya Kun Liong berkata, tidak tahu mengapa Hong Ing menjadi pendiam, mengira tentu dara itu tenggelam ke dalam kegelisahan karena keadaan mereka.

Hong Ing kelihatan tercengang dan menengok. “Ehhhh...?”

“Tapi pertunangan kami itu telah putus...”

“Hemm...” Hong Ing berusaha untuk duduk sejauh mungkin dari Kun Liong, akan tetapi mana bisa kalau tempat itu hanya sedemikian sempitnya? Apalagi Kun Liong duduknya di tengah karena pemuda itu harus memegang tali layar dan mengatur arah perahu yang melaju didorong angin itu. Betapa pun dia menggeser tubuhnya, tetap saja mereka duduk berdekatan!

“Kenapa...?”

Kun Liong yang termenung, agaknya ikut kecewa dan berduka menyaksikan keadaan Hong Ing yang seperti orang bingung dan bersedih itu, terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba ini.

“Kenapa apanya...?”

“Kenapa pertunangan itu putus?”

“Dia yang menghendaki demikian, karena dia tidak cinta kepadaku.”

Hong Ing mengangguk-angguk dan kini wajahnya kembali agak merah, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum mengejek. “Aku sudah melihat itu. Kalau cinta tidak mungkin dia ikut mengeroyokmu. Kulihat dia datang bersama pemuda tampan itu, tentu pemuda itulah yang menggagalkan pertunanganmu.”

“Tidak! Mudah-mudahan tidak. Pemuda itu adalah putera datuk sesat, putera Kwi-eng Niocu, tak mungkin Giok Keng jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti itu.”

“Mengapa tidak mungkin? Pemuda itu tampan dan menarik, dan seorang yang mencinta tidak mungkin dapat melihat keburukan orang yang dicinta.”

“Tapi Giok Keng seorang dara perkasa yang cerdik dan bijaksana.”

“Tidak! Dia gadis tolol!” Tiba-tiba Hong Ing berkata dengan nada suara keras.

Kun Liong memandang tajam, agak panas perutnya. “Hong Ing, dia bukan gadis tolol, dia puteri Supek...”

“Puteri dewa sekalipun, tetap saja dia tolol!” Hong Ing juga memandang tajam menantang, seolah-olah sengaja hendak memanaskan hati pemuda gundul itu.

Kun Liong hendak membantah, akan tetapi melihat sinar mata dara itu, dia menunduk dan menghela napas. Perlu apa bertengkar karena urusan tetek-bengek? Mereka masih terancam bahaya, berada di perahu yang aneh dan di tengah samudera, tak tentu arah tujuan.

Lama mereka tenggelam dalam keheningan, hanya beberapa kali Kun Liong menarik napas panjang karena suasana hening yang mencekam itu amat tidak mengenakkan hatinya. Mau bicara, bicara apa lagi? Pula, Hong Ing tentu masih marah. Mengapa dara ini marah? Dia benar-benar tidak mengerti. Apakah karena kedukaannya dan kegelisahannya?

“Kun Liong...”

“Hemm...?” Dia mengangkat muka dan hatinya menjadi lega melihat wajah dara itu sudah berseri kembali, sama sekali tidak ada tanda-tanda kemarahan atau kedukaan.

“Benarkah Giok Keng tidak mencintamu?”

Sebenarnya di dalam hatinya Kun Liong merasa tidak senang sekali diajak bicara urusan ini, akan tetapi karena dia tidak ingin melihat dara itu marah-marah lagi, dia terpaksa menjawab, “Tentu saja dia tidak cinta padaku, dia sendiri yang menyatakan ini dan memutuskan tali perjodohan kami.”

“Mengapa tidak cinta padamu?”

“Eh, apa anehnya itu, Hong Ing? Mana mungkin seorang seperti dia mencinta seorang gundul seperti aku? Mana ada di dunia ini seorang dara cantik yang bisa jatuh cinta kepada seorang laki-laki gundul tak berharga seperti aku ini? Paling-paling yang jatuh cinta kepadaku hanyalah orang-orang macam Kim Seng Siocia...” Kun Liong mencoba berkelakar akan tetapi terdengar masam dan hambar.

“Kasihan kau, Kun Liong...”

“Tak perlu kaukasihani, aku sudah menyadari keadaanku yang buruk,” kata Kun Liong sambil cemberut. Kau tidak tahu, katanya dalam hati, betapa banyaknya gadis yang jatuh cinta kepadanya! Terbayanglah wajah Bi Kiok, Li Hwa, dan terutama sekali wajah Hwi Sian! Biarpun dia tak berani memastikan bahwa Bi Kiok dan Li Hwa mencintanya, akan tetapi yang jelas, Hwi Sian benar-benar mencintanya sehingga dara itu rela menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepadanya!

“Benar-benarkah tidak ada wanita yang mencintamu?”

Kun Liong menggeleng kepalanya. “Yang jelas hanya seorang...”

“Siapa?” Hong Ing kelihatan bernafsu dan ingin tahu sekali ketika mengajukan pertanyaan ini.

“Mendiang ibuku...”

“Hemmm... kasihan engkau. Giok Keng memutuskan perjodohan karena tidak mencintamu, padahal engkau tentu cinta sekali padanya...”

“Tidak sama sekali.”

“Heiii?”

“Aku tidak cinta padanya! Dan aku tidak mencinta siapa pun! Aku tidak percaya kepada cinta!”

“Ehhh...?”

“Cinta adalah palsu belaka! Cinta hanyalah dipergunakan untuk memenuhi keinginan hati sendiri, untuk memuaskan hati sendiri. Betapa tololnya pria yang jatuh cinta! Semua wanita sama saja, mereka itu mempesolek diri, membuat dirinya cantik menarik seperti kembang yang memancing datangnya kumbang, dengan pernyataan cinta palsunya wanita hanya ingin agar pria tunduk kepadanya, menuruti segala kehendaknya, menyenangkan hatinya! Pria pun berlumba menarik perhatian wanita dengan segala cinta palsu di mulut, hanya untuk menjadikan wanita sebagai pemuas nafsu berahinya! Aku muak! Aku tidak cinta siapapun dan tidak akan mencinta siapapun!”

Mata Hong Ing terbelalak, napasnya terengah, dan sukar sekali kata-kata yang keluar dari mulutnya, “Jadi kau... tidak suka kepada wanita?”

“Aku suka! Tapi aku tidak cinta! Aku suka kepada wanita cantik seperti aku suka kepada bunga yang indah dan harum, suka membelai dan menciumnya, akan tetapi untuk jatuh cinta, nanti dulu! Cinta adalah perasaan yang palsu, hanya indah dalam lamunan... seperti mimpi... tapi kenyataannya, tahu-tahu diri terikat dan tak bergerak lagi, kehilangan kebebasan, dan selama hidupnya menjadi hamba dari ikatan cinta yang menjadi pernikahan, suka atau tidak. Betapa bodohnya pria yang jatuh cinta!”

“Dan engkau tentu tidak sebodoh itu, bukan?”

“Tidak!”

“Dan semua pengetahuanmu tentang cinta ini kaupelajari dari kitab?”

“Hemmm... mungkin! Banyak kitab lama menceritakan tentang kejatuhan kaisar dan orang-orang besar hanya karena cinta kepada wanita. Pertapa-pertapa gagal juga karena cinta kepada wanita. Wanita seperti kembang...”

“Seperti syair kata-katamu... teruskan...”

“Wanita seperti kembang, hanya boleh dipandang, boleh dijamah dan dicium, akan tetapi sekali dipetik, akan menjadi layu dan menjemukan... harumnya hilang berubah menjadi bau yang tidak enak, keindahannya mengeriput dan melayu sehingga berubah buruk...”

lanjut ke Jilid 070-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar