Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 100

Petualang Asmara Jilid 100

<--kembali

“Memang sudah banyak aku merantau, ikut bersama Suhu yang berbudi.”

“Tentu sudah banyak, atau setidaknya ada wanita yang saling jatuh cinta denganmu, Toako.”

Pemuda itu menunduk dan kulit mukanya agak merah, akan tetapi dia menggeleng kepalanya dengan keras. “Tidak ada, tidak pernah!”

“Eh, kenapa kau marah?”

“Aku tidak marah.”

“Akan tetapi jawabanmu kasar sekali.”

“Aku memang belum pernah saling jatuh cinta dengan wanita.”

“Hemm, sungguh luar biasa. Engkau tampan dan gagah perkasa, usiamu sudah dua puluh lima tahun, dan engkau belum pernah jatuh cinta. Hebat! Akan tetapi setidaknya tentu ada wanita yang pernah jatuh cinta kepadamu, Toako. Aku berani bertaruh tentu pernah ada!” Kembali Giok Keng mendesak dan memancing sambil menatap wajah itu dengan tajam dan penuh selidik.

“Tidak!” Kembali pemuda itu menggeleng kepala keras-keras. “Tidak, aku tidak sempat...!” Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, seolah-olah terkecik oleh kata-katanya sendiri.

“Tidak sempat apa, Toako? Tidak sempat bermain cinta?” Giok Keng mendesak dan menggoda makin berani melihat betapa pemuda itu sibuk dan bingung.

“Tidak sempat memikirkan itu.”

“Hemm, engkau memang aneh atau... engkau tidak jujur, Toako. Kalau aku, biar usiaku jauh lebih muda dari padamu, aku sudah seringkali dicinta orang.”

Kong Tek mengangkat muka memandang, sinar matanya biasa saja, akan tetapi dia melanjutkan, “...dan mencinta...”

Giok Keng tersenyum, diam-diam tegang dan girang, mengharapkan pemuda itu akan merasa iri dan cemburu! “Ya, dan mencinta! Banyak sudah laki-laki yang tergila-gila dan mencintaku.”

“Memang sudah semestinya, engkau... seorang gadis luar biasa, tentu banyak laki-laki yang jatuh hati dan mencintamu.”

Giok Keng merasa kecelik mendengar ucapan ini. Kiranya pemuda ini sama sekali tidak merasa iri atau cemburu, apalagi panas hati!

“Aku tadinya saling mencinta dengan Liong Bu Kong, bahkan hampir menjadi isterinya.”

“Engkau tertipu dan dikuasai ilmu sihir.”

“Tapi, tadinya aku memang jatuh cinta kepada Bu Kong.”

“Memang dia tampan dan menarik, sayang hatinya kotor sekali, dan sungguh beruntung engkau belum sampai terjatuh dalam perangkapnya, Nona.”

“Jadi engkau tidak memandang rendah kepadaku, setelah aku... aku begitu bodoh jatuh hati kepada seorang seperti dia? Ayah sendiri sampai marah dan pernah mengusirku.”

Kong Tek menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. “Mengapa harus memandang rendah? Aku malah kasihan kepadamu, Nona, dan aku kagum. Engkau telah salah pilih, bukan kesalahanmu kalau kau jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang pada lahirnya kelihatan menarik, dan aku kagum bahwa di dalam cintamu itu, biarpun kemudian ternyata bahwa kau salah pilih, engkau berani bertanggung jawab dan menanggung semua akibatnya.”

Giok Keng menarik napas panjang. Sungguh sukar sekali, menghadapi pemuda ini sama halnya dengan menghadapi batu karang yang kokoh kuat, yang tidak goyah sedikit pun biar ada gempa bumi! Atau sebongkah bukit es, yang dingin! Dia menjadi makin penasaran. Di antara segala macam pria yang telah dijumpainya di dalam hidupnya, hanya ada dua orang yang pernah menariknya. Pertama adalah Kun Liong dan kedua adalah Bu Kong. Akan tetapi, baru sekarang dia bertemu dengan seorang laki-laki seperti Kong Tek! Kun Liong dan Bu Kong ternyata masih lemah, begitu jelas membuktikan kekaguman terhadap dirinya melalui pandang mata dan kata-kata, akan tetapi pemuda ini benar-benar seperti batu karang yang mati!

“LIE-TOAKO, kenapa engkau selalu membelaku mati-matian?”

Kalau tadi Kong Tek menghadapi semua pertanyaan gadis itu dengan tenang, kini dia kelihatan gelisah dan bingung!

“Kenapa? Hal itu sudah semestinya, Nona, sudah menjadi kewajibanku seperti diajarkan oleh Suhu untuk menolong sesama hidup yang dilanda bahaya.”

“Tapi engkau membelaku dengan pengorbanan diri, beberapa kali engkau menghadapi maut demi aku. Mengapa, Toako?”

Hening sejenak, kemudian terpaksa Kong Tek menjawab, “Aku sendiri tidak tahu, Nona. Akan tetapi aku tidak rela melihat engkau sengsara, aku tidak akan diam saja melihat engkau diancam bahaya, aku ingin melihat engkau bahagia, Nona. Seorang seperti engkau ini... pantasnya hidup dalam kebahagiaan. Itulah agaknya yang menyebabkan aku selalu siap membelamu, Nona.”

Jawaban ini keluar dari lubuk hati Kong Tek. Memang pemuda ini selama hidupnya tidak pernah membohong, akan tetapi menghadapi desakan dan pertanyaan-pertanyaan dari Giok Keng dia merasa bingung untuk menjawab. Gurunya telah mengatakan bahwa dia jatuh cinta kepada gadis ini, akan tetapi dia sendiri tidak tahu bagaimanakah rasanya jatuh cinta itu! Gurunya malah hendak menjodohkan dia dengan gadis ini dan dia merasa betapa akan bahagianya hidupnya kalau hal itu terlaksana, namun betapa mungkin dia menyatakan hal ini kepada Giok Keng? Dia merasa malu dan khawatir kalau-kalau hal itu akan menyusahkan hati Giok Keng, hal yang paling tidak dikehendakinya.

“Toako, mengapa tidak bicara terus terang saja? Kalau memang engkau cinta padaku, mengapa tidak mau terus terang?”

Wajah Kong Tek berubah merah sekali. “Aku... aku...”

“Ya, kau cinta padaku, Toako. Kau cinta padaku!” Giok Keng berkata penuh desakan. Ingin dia mendengar mulut pemuda itu mengaku cinta agar dia dapat menebus rasa penasaran hatinya, dapat memuaskan kemendongkolan hatinya dengan mengejek dan mempermainkan pemuda yang seperti batu karang itu!

“Ahhh... aku... aku...”

“Toako, awas...!”

Giok Keng menjerit dan dia sudah melempar tubuhnya ke belakang sambil menyambar lengan Kong Tek sehingga pemuda itu pun melempar tubuh ke belakang.

“Wirrr... wirrr...!”

Dua sinar putih menyambar dan lewat. Ternyata itu adalah dua batang hui-to (golok terbang) yang dilemparkan orang untuk menyerang mereka, atau mungkin hanya untuk menggertak belaka. Giok Keng dan Kong Tek sudah meloncat bangun dan siap menghadapi lawan. Ketika mereka memandang, mereka berdua terkejut bukan main mengenal tiga orang itu yang ternyata adalah Thian Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw wilayah timur, Bong Khi Tosu pendeta Pek-lian-kauw kurus seperti tengkorak hidup, dan Hwa I Lojin kakek ahli pedang pesolek yang bersekutu dengan Pek-lian-kauw. Tentu saja mereka berdua amat terkejut karena maklum bahwa mereka berhadapan dengan tiga orang lawan yang amat tangguh, terutama sekali Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur yang amat lihai ilmu silatnya, juga amat lihai ilmu sihirnya itu!

“Ha-ha-ha, engkau telah mengagetkan dua ekor burung ini, Lojin!” Thian Hwa Cinjin tertawa girang karena memang hatinya senang sekali bertemu dengan puteri pendekar Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai itu. Dia mendendam kepada Ketua Cin-ling-pai dan kalau dia dapat menangkap puterinya ini, dia akan dapat membalas dendam, bahkan akan dapat memaksa kepada pendekar itu untuk membantu Pek-lian-kauw!

“Heh-heh-heh, janda kembang ini masih muda dan cantik bukan main!” Hwa I Lojin berkata memandang kepada Giok Keng.

“Janda apa? Dia masih perawan, belum sempat disentuh oleh Liong Bu Kong yang tolol, heh-heh!” Thian Hwa Cinjin yang berwatak cabul itu berkata, “Hati-hati, jangan kalian sampai melukainya, kita harus dapat menangkapnya hidup-hidup! Sayang sekali kalau kulit yang halus itu ada yang lecet!”

“Pendeta-pendeta palsu! Munafik-munafik keparat, lahirnya saja menjadi pendeta akan tetapi batinnya kotor dan cabul!” Lie Kong Tek sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi mendengar percakapan antara Thian Hwa Cinjin dan Hwa I Lojin itu. Dia sudah mencabut Gin-hong-kiam dan menyerang Thian Hwa Cinjin karena dia tahu bahwa di antara mereka bertiga, Ketua Pek-lian-kauw inilah yang menjadi kepala dan pemimpinnya.

“Cringgg...!” Lie Kong Tek melompat mundur dan tangannya yang memegang pedang tergetar hebat ketika pedangnya ditangkis oleh pedang Hwa I Lojin.

“Ha-ha-ha. Kauwcu (Ketua), biarkan aku menghadapi pemuda ini agar Ji-wi berdua dapat menangkap gadis itu baik-baik,” kata kakek berbaju kembang dan bersikap sombong itu sambil meloncat ke depan dan memutar pedangnya menghadapi Kong Tek. Pemuda ini pun mengeluarkan gerengan marah, pedang Gin-hong-kiam diputar cepat sehingga tampaklah segulungan sinar perak yang menyilaukan mata. Namun sambil tertawa, Hwa I Lojin si ahli pedang itu menyambut serangan ini dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian.

Kembali diam-diam hati Giok Keng terharu menyaksikan kegagahan Kong Tek yang selalu tanpa ragu-ragu menyerang musuh dan membelanya mati-matian. Dia maklum betapa lihainya tiga orang itu, maka dia mengambil keputusan untuk mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa dengan mereka.

“Thian Hwa Cinjin, biarlah aku mengadu nyawa dengan engkau tua bangka busuk dan jahat!” bentaknya dan dara ini pun sudah memutar pedangnya yang seperti pedang di tangan Kong Tek, juga mengeluarkan sinar perak yang tentu saja jauh lebih cemerlang dan hebat daripada gerakan Kong Tek karena memang tingkat kepandaian puteri Cin-ling-pai ini jauh lebih tinggi.

“Tranggg! Trakkk!” Pedang Gin-hwa-kiam di tangan Giok Keng telah ditangkis oleh tongkat di tangan Thian Hwa Cinjin yang tertawa-tawa. Ketika melihat pembantunya, Bong Khi Tosu maju pula untuk membantunya, Ketua Pek-lian-kauw itu berkata, “Jangan bantu aku, lebih baik kau cepat membantu Hwa I Lojin merobohkan pemuda nekat itu!”

Bong Khi Tosu menarik kembali tongkatnya lalu menyerbu Kong Tek, membantu Hwa I Lojin yang sudah mulai mendesak sehingga keadaan Kong Tek menjadi terancam sekali. Namun pemuda itu tidak kelihatan gentar, bahkan mengamuk makin hebat sambil memutar pedangnya dan beberapa kali mengeluarkan suara bentakan hebat seperti gerengan seekor singa marah.

Adapun Giok Keng juga repot sekali menghadapi desakan tongkat hitam di tangan Ketua Pek-lian-kauw yang lihai itu. Yang membuat hatinya makin gelisah lagi adalah melihat kenyataan betapa Kong Tek dikepung dan didesak hebat, dan dia tahu bahwa dua orang kakek yang mengepung Kong Tek itu berniat untuk membunuh pemuda itu. Hatinya menjadi gelisah sekali. Kong Tek tentu akan tewas, mana mungkin dapat melawan dua orang kakek itu! Ngeri dia memikirkan Kong Tek tewas, pemuda yang dikaguminya dan yang makin lama makin merampas perhatian dan hatinya itu. Kini melihat betapa pemuda itu terancam dan betapa hatinya gelisah bukan main, baru dia sadar bahwa sesungguhnya dia jatuh cinta kepada pemuda yang dianggapnya dingin kaku dan yang hendak digodanya itu!

“Dessss... auggghhh...!”

“Toako...!” Giok Keng menjerit keiika dia mendengar keluhan pemuda itu dan melihat betapa pemuda itu roboh bergulingan dikejar dua orang kakek sambil tertawa-tawa. Pedang di tangan Hwa I Lojin menyambar-nyambar, sedangkan tongkat Bong Khi Tosu kembali menghantam dan hampir saja mengenai kepala Kong Tek kalau pemuda itu tidak cepat menggelindingkan tubuhnya.

“Toako...!” Giok Keng meloncat, meninggalkan lawannya untuk menolong pemuda itu, akan tetapi kelihatan bayangan berkelebat tahu-tahu tubuh Thian Hwa Cinjin sudah menghadang di depannya sambil tertawa-tawa.

“Ha-ha-ha, Nona Cia yang manis. Untuk apa pemuda tolol itu. Biar dia mampus dan disiksa oleh Bong Khi Tosu dan Hwa I Lojin, sedangkan kau lebih baik menyerah dan ikut bersama pinto ke Pek-lian-kauw. Percayalah, pinto tidak hendak mengganggumu asal engkau suka menurut dan menyerah.”

Sementara, itu, Kong Tek sudah meloncat bangun namun terjungkal lagi oleh tusukan pedang Hwa I Lojin yang sengaja mempermainkannya sehingga tusukan pedang itu hanya menyerempet paha dan menimbulkan luka berdarah akan tetapi belum membahayakan nyawanya.

“Toako... ahhh...! Thian Hwa Cinjin, dengarkan aku! Aku menyerah, aku tidak melawan asal Lie-toako tidak dibunuh. Bebaskan dia dan aku menyerah!”

“Nona Cia, jangan...!” Kong Tek membentak dan kembali memutar pedangnya. Akan tetapi, Thian Hwa Cinjin sudah menjawab, “Baik!” Lalu dia meloncat dekat Kong Tek, tongkatnya bergerak dan pedang di tangan Kong Tek terlempar, kemudian pemuda itu roboh oleh totokan ujung tongkat hitam yang lihai.

“Ha-ha-ha, serahkan pedangmu, Nona. Kami tidak akan membunuhnya!” kata Ketua Pek-lian-kauw itu.

Giok Keng sudah mengenal kakek ini, maklum akan kekejaman dan kepalsuan hatinya, maka dia berkata, “Aku menyerah, akan tetapi dia harus ditawan bersamaku pula. Baru aku yakin bahwa kalian tidak akan membunuhnya. Kalau tidak, aku akan melawan sampai mati!”

“Hemmm... hemmm... untuk apa orang macam dia?” Ketua Pek-lian-kauw itu masih merasa mendongkol terhadap pemuda itu yang dianggapnya sebagai penyebab kematian Bu Li Cun, gadis yang menjadi korbannya dan yang masih dicintanya.

“Pendeknya, mau atau tidak? Kalau tidak mau, biar aku mengadu nyawa denganmu!”

“Baiklah, baiklah!” Lalu dia berkata kepada Bong Khi Tosu, “Bawa dia bersama kita.”

Giok Keng terpaksa menyerahkan pedangnya dan dia mengikuti tiga orang kakek itu yang mengajaknya ke sarang Pek-lian-kauw di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning. Sekali ini dia terpaksa mengalah dan menyerah demi keselamatan Kong Tek, dan juga dia maklum bahwa andaikata dia tidak menyerah dia tentu akan tewas bersama Kong Tek di bawah senjata tiga orang kakek lihai itu! Harapannya timbul ketika di dalam perjalanan menuju ke sarang Pek-lian-kauw, Thian Hwa Cinjin menyatakan maksud hatinya menawan Giok Keng, yaitu untuk membujuk Ketua Cin-ling-pai untuk membantu Pek-lian-kauw.

“Asal engkau tidak mengganggu kami berdua, aku pun tidak akan melawan, dan mungkin Ayah akan mempertimbangkan uluran tanganmu untuk bekerja sama asal engkau tidak mengganggu kami.” Demikian jawabnya dan Giok Keng benar-benar tidak melawan sampai dia bersama Kong Tek tiba di sarang Pek-lian-kauw. Kong Tek dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang terjaga kuat, dan Giok Keng mendapat kamar di sebelahnya, juga terjaga kuat. Giok Keng diperbolehkan pula untuk merawat dan menjenguk sahabatnya itu.

“Ahhh... di mana kita...?” Inilah ucapan Kong Tek pertama kalinya ketika dia siuman dan mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan di dalam sebuah kamar, sedangkan Giok Keng duduk di atas bangku dekat pembaringannya.

“Ssssttt...!” Giok Keng menaruh telunjuk di depan bibirnya. “Kita telah kalah dan tertawan.”

Mendengar ini, Kong Tek melompat turun dan menyeringai kesakitan. Dia telah menderita luka-luka akibat pertandingan melawan dua orang kakek lihai, akan tetapi sambil menahan sakit dan mengepal tinjunya dia berkata, “Mari kita lawan mereka!”

Giok Keng memegang lengan pemuda itu. “Tenanglah, Toako. Kau perlu istirahat agar luka-lukamu sembuh. Aku memang telah menyerah kepada mereka setelah melihat engkau hendak dibunuh.”

“Ahhh!” Kong Tek sekarang teringat dan dia merasa tidak setuju sama sekali. “Nona, lebih baik mereka membunuh aku daripada engkau menyerah dan menjadi tawanan.”

“Hushh, jangan begitu, Toako. Aku pun tidak suka melihat engkau terbunuh. Kaukira aku orang macam apa? Kalau kau terbunuh... aku... aku...”

“Kenapa, Nona?” Aneh sekali. Baru sekarang suara pemuda ini dicekam keharuan dan terdengar agak gemetar.

“Aku juga akan melawan sampai mati!”

Kini tiba-tiba Kong Tek memegang kedua tangan gadis itu. Baru sekali ini dia berani melakukan hal seperti ini, dan suaranya gemetar ketika dia berkata tergagap, “Keng-moi (Adik Keng), kau... kau...?” Mulutnya tidak berani melanjutkan, namun sikap dan pandang matanya merupakan pertanyaan yang amat jelas.

Giok Keng tersenyum, mengangguk, dua titik air mata menuruni pipinya dan dia berbisik, “Kalau kau tidak melihatnya, berati kau... tolol atau buta, Toako...!”

“Ehh... siapa berani mengharapkan kehormatan itu...? Keng-moi, aku... aku pun...” Kembali kata-katanya macet.

“Aku tahu, Toako, aku pun tidak buta.”

Mereka saling berpegang tangan, tanpa kata-kata kini, hanya sinar mata mereka yang mengandung seribu satu macam pernyataan hati yang penuh kasih sayang!

“Mereka menawanku untuk memancing Ayah datang ke sini dan hendak diajak bekerja sama. Maka biarlah kita menanti, melawan pun tiada gunanya. Hanya Ayah yang akan dapat membebaskan kita, maka kuminta agar kau menurut saja dan tidak memberontak.”

Kong Tek mengangguk, masih terharu oleh kenyataan bahwa gadis yang dipuja dan dikagumi yang dicintanya semenjak pertama kali melihatnya itu, ternyata juga jatuh cinta kepadanya!

Bong Khi Tosu memasuki kamar tahanan itu dan minta supaya Giok Keng keluar dari situ, kembali ke kamarnya sendiri. “Dia sudah tidak perlu dirawat lagi, sudah sembuh dan sudah kami beri obat untuk menyembuhkan luka-lukanya.” kata pendeta Pek-lian-kauw itu sambil menyerahkan beberapa macam obat luka yang diterima oleh Kong Tek tanpa banyak kata lagi karena pemuda ini khawatir bahwa kalau dia mengeluarkan suara terhadap musuh ini, dia tidak akan dapat menahan kemarahannya dan akan bersikap kasar dan memberontak. Mereka berdua harus sabar menanti. Selama Thian Hwa Cinjin tidak mengganggu mereka, mereka mengambil keputusan untuk diam saja dan tidak membuat keributan, menanti sampai munculnya Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Dan betapa pun mengilarnya hati yang penuh nafsu berahi dari Ketua Pek-lian-kauw itu terhadap Giok Keng, namun dia lebih mementingkan “perjuangan” perkumpulannya, maka dia tidak mau mengganggu gadis itu dengan harapan agar ayah gadis itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, berikut semua anak buah Cin-ling-pai, akan suka membantu Pek-lian-kauw.

Kalau kebetulan ada yang melihat mereka, tentu orang yang melihatnya itu akan menjadi ketakutan dan mengira bahwa dia melihat setan. Demikian cepatnya gerakan tiga orang itu sehingga yang tampak hanya bayangan mereka saja yang berkelebatan cepat sekali di antara pohon-pohon, menuju ke sarang Pek-lian-kauw yang terletak di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning itu.

Mereka melakukan perjalanan cepat bukan main, seperti terbang saja, tanpa banyak cakap akan tetapi wajah mereka membayangkan ketegangan, kesungguhan, dan kemarahan.

Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong, isterinya yang gagah perkasa Sie Biauw Eng, dan yang ke tiga adalah Yap Kun Liong, pemuda yang telah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, bahkan tingkatnya sudah menandingi tingkat Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri!

Ketika suami isteri dari Cin-ling-san ini menerima surat Thian Hwa Cinjin yang isinya membujuk Cin-ling-pai untuk bekerja sama, untuk “membalas budi” Pek-lian-kauw yang menawan Cia Giok Keng namun tidak mau mengganggu puteri mereka itu, kebetulan Yap Kun Liong yang membawa Bun Houw pulang telah tiba di Cin-ling-san. Suami isteri itu sedang bersiap-siap untuk pergi mengunjungi Kok Beng Lama untuk membicarakan tentang perjodohan Kun Liong dan Hong Ing, menjadi wali pemuda ini. Akan tetapi tiba-tiba muncul utusan Pek-lian-kauw yang menyerahkan surat itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati suami isteri itu setelah mereka membaca surat dari Thian Hwa Cinjin. Maklumlah Keng Hong bahwa surat itu adalah surat yang hendak memaksa dia untuk membantu Pek-lian-kauw, dengan puterinya menjadi sandera. Dengan menahan kemarahannya karena dia tidak ingin mengganggu seorang utusan, Keng Hong berkata singkat kepada utusan Pek-lian-kauw itu, “Katakan kepada Thian Hwa Cinjin bahwa aku akan segera datang ke sana!”

Ketika Kun Liong mendengar tentang isi surat itu, seketika dia menyatakan hendak membantu dan menyerbu Pek-lian-kauw untuk membebaskan Giok Keng. Tentu bantuan pemuda yang lihai itu amat diharapkan oleh suami isteri Cin-ling-san dan Keng Hong lalu berkata, “Kita harus berangkat sekarang juga, mendahului utusan itu dan menyerbu Pek-lian-kauw selagi mereka belum siap-siap sehingga mereka tidak sempat mengganggu Giok Keng.”

Maka berangkatlah tiga orang berilmu tinggi itu dengan cepat, meninggalkan Bun Houw yang dijaga oleh para anak buah murid Cin-ling-pai, berangkat dan melakukan perjalanan amat cepat mendahului utusan yang telah kembali itu. Di sepanjang perjalanan, mereka mengatur siasat penyerbuan, yaitu suami isteri itu akan menyerbu dengan berterang dari pintu gerbang depan setelah memberi kesempatan kepada Kun Liong untuk menyelinap melalui jalan belakang sehingga pemuda itu akan dapat mencari dan melindungi Giok Keng. Selanjutnya perjalanan dilakukan cepat tanpa banyak cakap lagi dan tentu saja mereka dapat jauh mendahului utusan itu.

Tepat seperti telah mereka rencanakan, mereka tiba di sarang Pek-lian-kauw itu di malam hari yang gelap. Suami isteri itu membiarkan Kun Liong menyelinap dan berkelebat ke arah belakang sarang itu. Mereka percaya penuh bahwa pemuda itu akan berhasil memasuki sarang musuh dari belakang. Setelah menanti kurang lebih seperempat jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada Kun Liong memasuki markas dan mencari Giok Keng, Keng Hong dan isterinya lalu dengan terang-terangan menghampiri pintu gerbang yang dijaga oleh enam orang anggauta Pek-lian-kauw dan menerobos masuk.

Tentu saja para penjaga itu cepat menghadang. “Heiii, siapa kalian...?” Seruan ini terhenti ketika mereka mengenal Keng Hong sebagai pendekar Cin-ling-san yang pernah menyerbu sarang itu, akan tetapi mereka tidak sempat berbuat banyak karena suami isteri itu telah bergerak cepat dan robohlah enam orang itu berturut-turut tanpa dapat melawan.

Akan tetapi, keributan tadi menarik perhatian para penjaga di sebelah dalam. Mereka melihat betapa enam orang penjaga itu roboh, maka cepat memukul kentungan sebagai tanda bahaya. Keadaan menjadi gempar dan puluhan orang anak buah Pek-lian-kauw lari berserabutan, ada yang baru bangun tidur dan saling tabrak, kesemuanya lari hendak mempersiapkan senjata untuk menghadapi penyerbuan musuh. Mereka menyangka bahwa tentu pasukan pemerintah yang datang menyerbu.

Sementara itu. Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng sudah mengamuk dengan hebatnya. Para anggauta Pek-lian-kauw bagaikan daun-daun kering tertiup angin, terlempar ke sana-sini dan keadaan menjadi makin kacau balau.

Thian Hwa Cinjin tentu saja terkejut bukan main setelah mendengar kentungan tanda bahaya dan kemudian melihat mengamuknya suami istri itu. Dia merasa heran sekali. Utusannya belum kembali dan menurut perhitungannya pun tentu belum kembali dari perjalanan jauh itu, akan tetapi mengapa suami isteri itu sudah datang mengamuk? Cepat dia mempersiapkan diri dan sejenak berunding dengan Bong Khi Tosu dan Hwa I Lojin.

“Kau cepat jalankan alat rahasia di dua kamar itu agar mereka terjeblos ke dalam kamar bawah tanah, kemudian bantu kami di luar!” katanya kepada Bong Khi Tosu. Tosu ini mengangguk dan cepat lari ke belakang. Pada waktu itu, dia mengira bahwa Cia Giok Keng dan Lie Kong Tek tentu berada di kamar masing-masing yang terjaga kuat, dan alat untuk menjalankan alat rahasia itu berada di luar kamar. Sekali menekan tombol, lantai kamar itu akan terjeblos ke bawah, membawa mereka berdua terjatuh ke dalam kamar-kamar rahasia di bawah tanah yang sukar dicari oleh orang luar.

Akan tetapi, ketika Bong Khi Tosu tiba di tempat itu, matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Belasan orang penjaga kedua kamar itu telah menggeletak di luar kamar tanpa bergerak lagi! Dan pintu kedua kamar itu telah terbuka, kamar-kamar itu telah kosong!

Selagi dia hendak lari ke luar, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan tahu-tahu dua orang tahanan itu, Giok Keng dan Kong Tek, telah berdiri di depannya dengan muka penuh ancaman!

Dua orang ini tadi memang telah dibebaskan oleh Kun Liong setelah pemuda perkasa ini berhasil merobohkan semua penjaga sebelum mereka sempat membuat ribut.

“Harap kalian membantu dari dalam, aku hendak membantu Supek dan Supekbo di luar.” Kun Liong berkata kepada mereka tanpa banyak cakap lagi, lalu berkelebat pergi karena dia sudah mendengar suara ribut-ribut di luar sarang itu, tanda bahwa suami isteri Cin-ling-san itu telah turun tangan.

Adapun Giok Keng dan Kong Tek segera bersembunyi dan baru muncul ketika Bong Khi Tosu datang. Dengan kemarahan meluap dua orang itu lalu meloncat keluar sehingga mengejutkan tosu itu. Maklum bahwa tidak ada gunanya lagi untuk bicara, Bong Khi Tosu sudah menggerakkan tongkatnya dan mengeluarkan suara menggereng hebat sekali. Itulah ilmunya Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dikeluarkan dengan pengerahan khi-kang kuat sekali dan yang menggetarkan jantung lawan. Lawan yang kurang kuat sin-kangnya akan roboh hanya oleh gerengan ini saja. Namun, tentu saja Kong Tek, apalagi Giok Keng, tidak mudah digertak oleh ilmu ini dan mereka sudah menerjang maju dengan tangan kosong karena pedang mereka telah dirampas dan entah disimpan di mana oleh Thian Hwa Cinjin.

lanjut ke Jilid 101 (TAMAT)-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar