Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 24

Dewi Maut Jilid 24

<--kembali

Mereka tiba di Ngo-sian-chung dan ternyata pertempuran sudah berhenti. Banyak anak buah Ngo-sian-chung malang melintang, ada yang tewas dan banyak yang terluka, selebihnya melarikan diri. Liok-te Sin-mo Gu Lo It, Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, berhasil melarikan diri.

“Enci Keng...!” Bun Houw lari menghampiri kakaknya dan memberi hormat.

“Bun Houw...!” Giok Keng merangkul dan memeluk adiknya.

Adapun Yap Kun Liong yang duduk di tempat yang agak jauh sambil termenung karena sejak tadi Giok Keng sama sekali tidak mau memandangnya, apalagi bicara dengannya, kini dihampiri oleh Tio Sun, Kwi Beng yang memondong Kwi Eng. Mereka bertiga tidak mau mengganggu pertemuan kakak dan adik yang penuh kemesraan itu, dan mendengar bahwa pendekar yang datang membantu itu adalah Yap Kun Liong, yang mereka bertiga sudah lama dengar dari orang tua masing-masing dan yang mereka kagumi, kini mereka menghampiri pendekar itu. Kun Liong menerima kedatangan tiga orang muda itu sambil tersenyum tenang.

“Apakah kami berhadapan dengan Yap Kun Liong taihiap yang mulia?” Tio Sun bertanya penuh hormat. Juga Kwi Beng menurunkan adiknya dan mereka berdua memberi hormat.

Kun Liong menggerakkan tangannya. “Harap kalian jangan terlalu sungkan. Agaknya kalian bertiga orang-orang muda adalah sahabat-sahabat sute Bun Houw, dan melihat gerakanmu tadi, apakah hubunganmu dengan Tio Hok Gwan locianpwe?”

Tio Sun makin kagum. Tadi dia berkesempatan untuk mengamuk bersama pendekar ini dan kakak perempuan Bun Houw, dan agaknya dalam gerakan-gerakannya pendekar ini sudah mengenal ilmu ayahnya! “Memang sudah lama ayah menceritakan saya tentang taihiap, maka sungguh gembira hari ini saya dapat bertemu dengan Yap-taihiap.”

“Aih, jadi engkau putera Tio-lo-enghiong?” Kun Liong berseru girang, kemudian dia memandang Kwi Beng dan Kwi Eng, alisnya agak berkerut melihat warna mata dan rambut dua orang kakak beradik yang wajahnya sama-sama tampan dan cantik itu yang menunjukkan bahwa dua orang muda ini adalah peranakan-peranakan barat. “Dan siapakah kalian berdua?”

“Ayah dan ibu mengenal paman dengan baik sekali!” Kwi Eng yang lebih lincah dan berani itu sudah berseru sambil memegangi lengan kakaknya karena dia tidak berani menggunakan kakinya yang masih belum sembuh. “Ayah dan Ibu adalah sahabat-sahabat dari paman Yap Kun Liong yang gagah perkasa.”

Kun Liong menjadi kaget dan juga bingung. “Siapa? Siapakah ayah bundamu?”

Kini Kwi Beng yang menjawab, “Ayah adalah Yuan de Gama sedangkan ibu...”

“Souw Li Hwa...! Ya Tuhan...! Mereka...mereka...kusangka mereka sudah tidak ada lagi...” Dia makin bingung karena dia sendiri yang membujuk-bujuk kedua orang itu meninggalkan kapal namun mereka tidak mau, dan dengan matanya sendiri dia menyaksikan betapa Yuan de Gama dan Souw Li Hwa tenggelam bersama kapalnya.

Ayah dan ibu tidak tewas dengan kapal itu, paman, tertolong seorang nelayan pandai dan sampai sekarang masih hidup. Kami berdua adalah putera-puteri mereka, kakak kembarku ini bernama Richardo de Gama atau Souw Kwi Beng dan saya bernama Maria de Gama atau Souw Kwi Eng.”

Bukan main girangnya hati Kun Liong mendengar ini dan dia melangkah maju, memegangi lengan Kwi Eng dan Kwi Beng, menatap wajah keduanya dan dia mengangguk-angguk. “Engkau persis ibumu, tapi matamu persis mata ayahmu...aih, betapa bahagia rasa hatiku mendengar bahwa mereka masih hidup...” Suara Kun Liong tergetar karena terharu.

Tiga orang muda itu lalu menengok ke arah Cia Giok Keng. “Kami belum menghadap Cia-lihiap puteri ketua Cin-ling-pai...” kata Tio Sun, akan tetapi tidak perlu lagi karena kini Bun Houw yang menggandeng tangan encinya sudah menghampiri Kun Liong dengan air muka muram dan merah, pandang matanya marah, sedangkan Giok Keng jelas habis menangis karena matanya masih merah, dan kedua pipinya basah.

“Yap-suheng...!” begitu tiba di situ Bun Houw menghadapi Kun Liong dan berkata dengan suara keras dan kaku.

“Sudahlah, adikku, sudahlah...!” Giok Keng memegang tangan adiknya dan berusaha mencegah, akan tetapi agaknya Bun Houw tidak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Tadi dia mendengar penuturan encinya tentang kematian kakak iparnya, Lie Kong Tek yang membunuh diri untuk menebus “dosa” encinya yang sebetulnya tidak berdosa. Dapat dibayangkan betapa hancur hati pemuda ini ketika mendengar betapa encinya dituntut oleh Kun Liong dan gurunya, Kok Beng Lama, dituduh membunuh isteri suhengnya atau puteri gurunya itu.

“Sute, engkau hendak bicara apakah?” Kun Liong bertanya, biarpun dia sudah dapat menduga akan kemarahan pemuda ini, dia bertanya dengan sikap tenang.

“Yap-suheng, perbuatanmu yang telah menjatuhkan tuduhan kepada enci Keng tanpa bukti-bukti nyata itu sungguh tak kusangka dapat dilakukan oleh seorang seperti suheng! Apakah suheng tidak menyadari bahwa kematian Lie-cihu (kakak ipar Lie) disebabkan oleh suheng, seolah-olah suheng yang membunuhnya dengan tangan suheng sendiri?”

“Houw-te, jangan... jangan bicara demikian...” Giok Keng merangkul adiknya dan menangis. “Kau... kau tidak tahu...”

“Biarlah, enci!” Bun Houw berkata sambil melepaskan rangkulan encinya. “Aku tidak bisa mendiamkannya saja, dan kalau Yap-suheng sudah berobah menjadi begitu kejam, biarlah aku tewas di tangannyapun tidak mengapa!”

“Sute, apakah maksudmu dengan kata-kata itu?” Kun Liong bertanya, memandang tajam penuh selidik, akan tetapi menekan kemarahannya mengingat bahwa Bun Houw hanyalah seorang pemuda yang masih amat muda dan kini sedang dicengkeram oleh kedukaan dan kemarahan mendengar akan nasib yang menimpa kakak kandungnya.

“Maksudku, aku tidak akan menerima begitu saja suheng menyebabkan kematian cihu dan membuat hidup enciku menderita. Mari kita selesaikan hal ini antara kita sebagai laki-laki jantan!” Bun Houw menantang den melompat ke depan, siap untuk menghadapi suhengnya yang selama ini amat dikaguminya.

“Sute, yang memaksaku menuntut encimu adalah ayah mertuaku, yaitu gurumu sendiri. Apakah engkaupun akan menantang gurumu kelak?” tanya Kun Liong dengan suara tenang dan sikap sabar.

“Suhu tidak akan bertindak demikian kalau tidak suheng yang memberi tahu!”

Kun Liong menarik napas panjang. “Sute, peristiwa yang telah terjadi itu sungguh amat menyedihkan, terlalu menyedihkan. Kalau engkau menyalahkan aku, biarlah, aku menerima salah, akan tetapi jangan harap aku akan dapat melayani tantanganmu yang mentah itu...”

Kun Liong lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari situ.

“Yap Kun Liong! Berhenti kau...!”

Bun Houw membentak, akan tetapi Kun Liong tidak menoleh.

“Bun Houw, jangan... aihhh, jangan...! Ingat, kita masih mempunyai tugas yang lebih penting. Pula, Kun Liong tidak bersalah...”

“Tapi, enci...” Bun Houw bersikeras.

“Bun Houw! Kau tidak mentaati encimu?” Melihat encinya marah, Bun Houw menjadi lemas, menunduk dan memegang kedua tangan encinya.

“Maaf, enci, aku terlalu marah dan hancur hatiku mengingat akan nasibmu.”

“Kau sungguh terlalu! Kau hanya ingat akan kedukaan kita sendiri, lupa bahwa Kun Liong lebih dahulu kehilangan isterinya yang dibunuh orang secara kejam.” Wanita itu menghapus air matanya, “Dan kau telah berani menghinanya!”

Bun Houw menunduk. “Maafkan, enci... maafkan...”

“Sudahlah. Aku melihat Lima Bayangan Dewa, biarpun telah dua orang di antara mereka tewas, namun yang tiga masih hidup dan malah mereka dibantu orang-orang yang begitu pandai. Hal ini tidak mungkin dapat kita hadapi sendiri saja. Aku akan kembali ke Cin-ling-pai melaporkan hal ini kepada ayah.”

“Baik, enci. Aku akan menyelidiki mereka.”

“Akan tetapi jangan ceroboh seperti tadi, Bun Houw. Kalau saja tidak datang aku kemudian datang pula Kun Liong, tentu teman-temanmu itu akan terancam bahaya hebat.”

Setelah mendengar tiga orang itu memperkenalkan diri, Giok Keng lalu meninggalkan tempat itu. Tio Sun, Kwi Beng dan Kwi Eng tadi hanya terbelalak mendengarkan dan menonton saja, sama sekali tidak berani mencampuri, bahkan setelah Kun Liong dan Giok Keng pergi, mereka tidak berani bertanya-tanya kepada Bun Houw yang kini menjadi amat keruh wajahnya. Penuturan encinya hanya diambil singkatnya saja, maka dia sendiripun belum tahu benar duduknya persoalan, akan tetapi hati siapa tidak akan berduka mendengar betapa suhunya kini berhadapan dengan keluarganya sebagai dua fihak yang bertentangan?

Kedua adik Souw sebaiknya sekarang beristirahat. Saudara Kwi Beng, melihat tulang pergelangan kaki adikmu patah, maka harap kau suka membawa adikmu ke tempat aman dan merawatnya sampai sembuh. Setelah itu, kalian sebaiknya menanti sampai orang tua kalian pulang. Aku hendak melanjutkan penyelidikanku, mengejar Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu.”

“Akan tetapi, aku ingin membantumu, Houw-koko!” Kwi Eng berkata, suaranya agak manja dan penuh permohonan.

Bun Houw tersenyum memandang dara itu. “Terima kasih, Eng-moi. Akan tetapi, tulang kakimu itu sedikitnya dua pekan baru dapat bersambung kembali, itupun kalau terus mempergunakan obat penyambung tulang yang baik. Selain itu, fihak musuh amat lihai, mempunyai banyak teman yang berilmu tinggi. Enciku benar, aku tidak boleh ceroboh dan sekarang aku hanya hendak menyelidiki lebih dulu. Kalau keadaan musuh terlalu kuat aku harus minta bantuan ayah ibuku.”

“Aku akan menyertaimu, Houw-te.”

Bun Houw memandang Tio Sun dengan girang. Kepandaian putera Ban-kin-kwi ini cukup tinggi sehingga merupakan pembantu yang amat baik. “Terima kasih, twako. Nah, kaubawalah adikmu pergi ke tempat aman, saudara Kwi Beng. Kami berdua hendak berangkat sekarang juga. Lain hari kita pasti saling dapat berjumpa kembali.”

Bun Houw dan Tio Sun segera berangkat.

“Houw-koko...!” Kwi Eng berseru memanggil.

Bun Houw berhenti, menoleh. Dara itu menangis!

“Selamat tinggal Eng-moi, sampai jumpa kembali,” kata Bun Houw.

Dengan suara terisak, Kwi Eng berkata, “Kalau... kalau terlalu... lama kau tidak datang... aku akan mencarimu...”

Bun Houw hanya mengangguk dan melanjutkan perjalanannya bersama Tio Sun. Dia hanya merasa kasihan kepada Kwi Eng dan sama sekali dia tidak tahu betapa pemuda yang berjalan di sebelahnya itu memandang ke depan dengan pandang mata kosong, dengan hati yang tertusuk dan semangatnya seperti tertinggal bersama Kwi Eng, dara yang telah menjatuhkan hatinya itu.

***

Tiba-tiba kedua pipi yang sudah kemerahan itu menjadi makin merah. Bukan karena godaan ini, melainkan karena dia teringat akan peristiwa asyik-masyuk dan mesra antara dia dan Bun Houw. Kwi Eng memejamkan matanya sehingga dua baris bulu matanya yang panjang lentik itu menjadi satu, membentuk bayang-bayang indah di atas pipi bawah matanya. Dia memejamkan mata dan mulutnya terenyum, mukanya terasa panas ketika dia membayangkan dan mengenangkan ciuman itu!

“Beng-koko, aku lebih baik mati saja kalau tidak bisa menjadi isterinya!”

Kwi Beng terkejut. Kiranya adiknya yang bengal inipun serius sekali! Hatinya menjadi terharu dan dia memegang tangan adiknya. “Moi-moi, aku doakan semoga akan terkabul cita-citamu dan menjadi isteri Cia Bun Houw yang gagah perkasa itu. Aku akan ikut merasa bangga kalau engkau bisa menjadi isterinya, moi-moi. Akan tetapi, seperti juga aku, apakah engkau tidak mengharap terlampau tinggi? Kita ini hanyalah peranakan-peranakan barat. Dan aku menjangkau burung hong di angkasa, sedangkan engkau menjangkau putera ketua Cin-ling-pai. Apakah kita tidak akan seperti si cebol merindukan bulan?”

Kwi Eng cemberut memandang kakaknya. “Koko, engkau telah terlalu merendahkan diri sendiri. Aku yakin bahwa Houw-koko cinta padaku.”

“Eh, bagaimana kau bisa tahu? Apakah karena dia telah menolong dan menyelamatkanmu? Adikku yang baik, seorang pendekar seperti dia, siapapun akan ditolongnya dan hal itu sama sekali bukanlah tanda jatuh cinta.”

“Engkau seorang laki-laki, tentu tidak tahu. Akan tetapi aku yakin akan cintanya, koko.” Kwi Eng tersenyum dan mengenangkan ciuman itu dengan mata bersinar-sinar.

“Begitukah? Syukurlah kalau begitu, adikku. Mudah-mudahan engkau berhasil. Andaikata aku gagal menjadi jodoh Hong-moi, akan tetapi melihat engkau bahagia, maka aku rela. Kebahagiaanmu lebih penting bagiku, adikku.”

Kwi Eng memeluk kakaknya. “Tidak, akupun tidak akan berbahagia kalau melihat engkau gagal, koko. Kita sehidup semati, senasib sependeritaan.”

Kwi Beng menarik napas panjang dan mengelus rambut kepala adiknya. Dia mengerti apa yang dirasakan oleh adiknya yang cantik itu, perasaan yang mungkin hanya terasa oleh mereka berdua, atau oleh orang-orang yang dilahirkan kembar, suatu getaran yang menghubungkan batin mereka berdua.

Beberapa hari kemudian, dengan girang kedua orang kakak beradik kembar ini mendengar akan kedatangan orang tua mereka di Yen-tai. Mereka cepat memasuki kota itu dan seperti biasa, terjadilah “jalan damai” yang sudah lajim terjadi di seluruh dunia ini, di mana ada manusia-manusia yang menyalahgunakan kekuasaannya. Yuan de Gama dan isterinya setelah mendengar urusan anak-anaknya, cepat menghubungi tikoan dan para pembesar setempat, menghaturkan maaf dan tentu saja bukan maaf melalui kata-kata dan sikap yang memegang peran penting, melainkan maaf yang dinyatakan dalam keadaan tertutup dan yang hanya dibuka setelah berada di dalam kamar para pembesar itu, dan setelah dibuka mereka itu masing-masing dengan wajah girang menghitung jumlah emas dan perak yang akan menambah perbendaharaan mereka.

Dari manakah timbulnya peristiwa-peristiwa penyuapan dan penyogokan yang telah menjalar di seluruh dunia ini? Suap dan sogok dalam bentuk apapun juga, bentuk harta benda, kedudukan, nama besar, wanita, kehormatan dan sebagainya terjadi di seluruh dunia dan agaknya telah ada semenjak sejarah berkembang. Semua ini terjadi karena manusia memegang kekuasaan dan karena manusia itu selalu memiliki kelemahan, yaitu menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya, maka manusia yang memegang kekuasaan melihat bahwa kekuasaannya itu merupakan alat yang amat berguna untuk mencapai apa yang diinginkannya! Dipergunakanlah kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, yaitu demi terlaksananya apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Padahal, selama manusia mengejar keinginan, maka tidak akan ada habisnya kebutuhan hidupnya. Dan untuk memenuhi ini, manusia tidak segan-segan melakukan apapun juga sehingga timbullah pencurian, perampokan, penipuan, pemerasan dan termasuk penyuapan dan pemogokan yang menjadi akibat dari pemerasan.

Oleh karena itu, segala tindak korup di dunia ini tidak akan dapat dihentikan oleh apapun juga selama manusia menjadi hamba dari nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Selama manusia belum mengenal diri pribadi dan tidak sadar bahwa dirinyalah sumber segala kebusukan. Dunia akan menjadi sebuah tempat yang berbeda sekali apabila kita sudah tidak lagi dikejar atau mengejar kebutuhan! Sandang pangan dan tempat tinggal memang merupakan keperluan mutlak bagi manusia hidup, namun sayang, bukan yang tiga itulah sesungguhnya yang kita kejar-kejar, yang menjadi kebutuhan kita, melainkan kesenangan, kepuasan yang tidak ada ukurannya lagi akan besar dan banyaknya.

Maka bahagialah mereka yang TIDAK MEMBUTUHKAN APA-APA. Bukan berarti menolak dan memantang segala sesuatu, melainkan tidak mencari dan tidak akan mengejar. Kalau ada, boleh, kalau tidakpun tidak akan mengejar, karena pengejaran ini yang menimbulkan segala macam bentuk kejahatan di dunia.

Yuan de Gama dan isterinya, Souw Li Hwa, bukan orang-orang yang suka menyuap pembesar. Kiranya tidak ada orang, betapapun kayanya dia, yang suka membuang-buang uang untuk menyuap dan menyogok kanan kiri. Hal ini dilakukan dalam keadaan terpaksa, karena itu merupakan satu-satunya jalan untuk keluar dari kesulitan yang sengaja ditekankan oleh mereka yang memegang kedudukan.

Mendengar akan peristiwa anak-anak mereka yang membasmi sarang bajak laut musuh besar mereka Tokugawa, yang kemudian mengakibatkan kemarahan tikoan, maka Yuan de Gama cepat-cepat mengambil jalan damai itu, menggunakan kekayaan untuk menghabiskan persoalan yang tentu akan menjadi berlarut-larut kalau dilawan dengan kekerasan.

Lain kali, kalau ayah dan ibu tidak berada di rumah, kalian jangan bertindak ceroboh dan menanti saja sampai kami pulang,” Yuan de Game menegur kedua orang anaknya setelah dia berhasil membereskan urusan itu dengan emas dan perak.

“Ayah, kalau kakak diculik gerombolan Tokugawa, masa aku harus tinggal diam saja?” Kwi Eng membantah ayahnya.

“Anak-anak kita tidak bersalah,” kata Li Hwa dengan sabar kepada suaminya. “Agaknya engkau lupa bahwa kita bukan tinggal di barat, di mana petugas hukum lebih baik daripada di sini, suamiku. Seolah-olah engkau sudah lupa saja akan semua pengalaman kita dahulu.”

Yuan de Gama memegang tangan isterinya penuh kasih sayang. “Engkau seorang pendekar wanita, isteriku sayang, tentu saja pandanganmu selalu demikian, yaitu menggunakan kekerasan menghadapi kejahatan. Ahh, kalau saja aku tidak kasihan kepadamu yang tidak betah tinggal di barat, tentu akan kuboyong semua keluarga kita ke sana.”

“Kalau ayah ingin tinggal di barat, biar kami berdua tinggal di sini saja!” Kwi Eng tiba-tiba berkata dengan sikap manja? “Kami lahir di sini dan mencintai tanah ini, dan kami bahkan telah bertemu dengan para pendekar yang amat mengagumkan hati kami.”

Yuan de Gama tertawa. Dia paling sayang kepada anaknya yang perempuan ini, yang selalu dimanjanya karena anak itu mirip sekali dengan isterinya. “Ha-ha-ha, darah ibumu lebih kuat mengalir di tubuhmu daripada darahku, Maria. Tentu saja engkau cinta negara dan bangsa ini.”

Akan tetapi Souw Li Hwa memandang kedua orang anaknya itu penuh perhatian, lalu bertanya, “Bertemu dengan pendekar-pendekar? Siapa mereka dan di mana?”

“Kami belum menceritakan pengalaman-pengalaman kami yang amat hebat kepada ibu dan ayah,” jawab Kwi Beng. “Sesungguhnya ketika ayah dan ibu pergi, kami berdua telah mengalami hal-hal yang amat luar biasa...”

“Keributan di Pulau Hiu melawan anak buah Tokugawa itu?” tanya Yuan de Gama, diam-diam merasa girang dan kagum bahwa kedua orang anaknya itu mewarisi keberanian dan kepandaian ibu mereka.

“Ahhh, itu sih pengalaman kecil tidak berarti!” kata Kwi Eng.

“Akan tetapi dalam pertempuran kami melawan anak buah Tokugawa, kami sudah bertemu dengan seorang pendekar yang mengenal baik nama ibu. Dia adalah Tio-twako, yang bernama Tio Sun dan tahukah ibu siapa dia? Dia adalah putera tunggal dari seorang bekas pengawal yang setia dari suhu ibu...” kata Kwi Beng.

“Ah, putera Ban-kin-kwi?” Souw Li Hwa bertanya, segera dapat menduga setelah mendengar she orang itu.

“Benar, dia amat lihai dan tanpa bantuan dia, sukar bagiku untuk menolong Beng-koko. Mula-mula aku yang bertemu dengan Tio-twako, ibu.” Dan Kwi Eng lalu menceritakan pertemuannya dengan Tio Sun ketika pemuda perkasa ini dikeroyok oleh orang-orang mabok dan dia yang sedang kebingungan karena kakaknya diculik Tokugawa, melihat kelihaian Tio Sun lalu belajar kenal dan minta bantuannya.

Girang sekali hati Souw Li Hwa mendengar betapa putera dari bekas pengawal suhunya itu telah menolong menyelamatkan puteranya. “Di mana dia sekarang, mengapa tidak kalian tahan supaya bertemu dengan kami di sini?”

“Dia sudah pergi, ibu, bersama para pendekar yang lain. Ibu dan ayah tentu terkejut sekali mendengar pengalaman kami selanjutnya,” kata Kwi Beng.

“Beng-koko, biar aku yang bercerita kepada ibu!” Kwi Eng memotong kata-kata kakaknya. Kwi Beng tersenyum dan menggerakkan pundaknya, kebiasaan yang merupakan ciri khas dari ayahnya!

“Pertama-tama ibu dan ayah berdua agar jangan kaget. Kami berdua telah bertemu dengan putera ketua Cin-ling-pai yang bernama Cia Bun Houw!”

“Aihhh...!” Souw Li Hwa terkejut dan Yuan de Gama juga tercengang karena tidak menyangka bahwa anak-anaknya akan berjumpa dengan putera Pendekar Sakti Cia Keng Hong.

“Juga dengan seorang pendekar wanita yang kepandaiannya seperti dewi kahyangan, namanya nona Hong. Sayang kami tidak tahu siapa nama lengkapnya dan murid siapa dia itu.” Kwi Beng yang sudah tidak sabar itu segera memperkenalkan dara yang menjadi pujaan hatinya.

“Dan selain putera ketua Cin-ling-pai, juga kami bertemu dengan puterinya...”

“Apa? Cia Giok Keng?” Souw Li Hwa bertanya dan Kwi Eng mengangguk.

“Aihh, singa betina itu masih muncul di dunia kang-ouw?” Yuan de Gama juga bertanya dengan kagum.

“Masih ada lagi, ibu,” Kwi Eng berkata lagi, gembira menyaksikan betapa ayah dan ibunya dilanda kekagetan yang bertubi-tubi, “dan ibu pasti tidak dapat menduga siapa dia.”

Suami isteri itu bengong terlongong mendengar semua cerita itu, kadang-kadang menahan napas kalau mendengar bagian-bagian yang menegangkan, apalagi ketika mendengar betapa nyaris puteri mereka diperkosa oleh Toat-beng-kauw Bu Sit. Setelah ada kesempatan bicara, Yuan de Game tertawa. “Ha-ha-ha, ternyata kalian berdua adalah petualang-petualang seperti juga ibu kalian!”

“Aihh, apakah bapaknya juga bukan seorang petualang besar? Kalau bukan, masa jauh-jauh dari bagian dunia lain di barat datang ke sini dan menikah dengan seorang wanita pribumi?” Souw Li Hwa mencela suaminya dan Yuan de Gama hanya tertawa.

“Ibu, Eng-moi jatuh cinta kepada penolongnya, kepada Cia Bun Houw!” tiba-tiba Kwi Beng berkata.

Sebelum ayah dan ibu itu hilang kagetnya, Kwi Eng juga sudah membalas kakaknya, “Dan Beng-koko tergila-gila kepada burung... eh, nona Hong yang menyelamatkannya dari Hui-giakang Ciok Lee Kim!”

“Eng-moi bilang lebih baik mati kalau tidak menjadi isteri Cia Bun Houw!” Kwi Beng kembali membalas.

“Dan Beng-ko bersumpah untuk mencari nona Hong yang seperti dewi itu!” Kwi Eng membalas.

Ayah dan ibu itu saling pandang dan Souw Li Hwa mendengar suaminya menarik napas panjang. “Aha...! Sampai lupa aku bahwa anak-anakku telah menjadi dewasa!”

“Engkau sih hanya ingat berdagang saja!” Souw Li Hwa mencela. Kemudian, dia memandang kedua orang anaknya dan berkata, “Beng-ji dan Eng-ji, jangan kalian main-main dengan urusan cinta. Hati yang muda memang mudah sekali tergelincir dan tertarik akan yang indah-indah. Jangan lantas menentukan bahwa kalian jatuh cinta kalau kalian hanya tertarik oleh seseorang karena kegagahan dan keelokan wajahnya.”

“Tidak, ibu. Aku dan dia... Houw-koko itu, kami... sudah saling mencinta. Dan... aku diselamatkan olehnya dalam keadaan seperti itu, ibu. Aku telah bersumpah bahwa hanya ada dua pria saja yang melihatku dalam keadaan seperti itu, yang pertama adalah iblis yang telah mampus itu, dan kedua adalah calon suamiku.”

“Dan bagiku juga tidak ada wanita seperti dia, ibu. Aku harus berjodoh dengan dia, kalau tidak... hidupku tentu akan merana.” Kwi Beng juga berkata.

Souw Li Hwa mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan sinar mata marah. Melihat ini, Yuan de Gama yang amat mencinta isterinya lalu tersenyum dan berkelakar, “Nah, nah, kenapa marah-marah kepadaku? Mereka sudah dewasa dan jatuh cinta, apa salahnya?”

“Apa salahnya? Inilah akibat perbuatanmu, tahu!”

“Eh, eh! Kok jadi aku yang kausalahkan, isteriku yang manis?”

“Yuan de Gama, ini adalah gara-gara engkau mengajarkan Bahasa Portugis kepada mereka, lalu kausuruh mereka baca buku-buku roman itu!”

“Aihhhh...! Cinta kasih mana bisa dipelajari dari buku? Kalau memang tidak ada rasa di hati, masa mereka begitu mati-matian?”

“Sudahlah, kita harus urus hal ini. Anak-anak kita baru saja berkenalan dengan mereka dan dengan dunia kang-ouw. Anak-anak kita belum berpengalaman. Aku akan mengajak mereka pergi berkunjung ke Cin-ling-pai. Pertama untuk memberi hormat kepada Cia-taihiap dan keluarganya, kedua untuk mempererat hubungan. Setelah ada ikatan hubungan persahabatan, baru kita boleh pikir-pikir tentang hubungan perjodohan itu.”

“Kita ke Cin-ling-pai, ibu? Horaaaayyyyy...!” Kwi Eng sudah girang sekali dan berloncatan, akan tetapi meringis karena kaki kirinya belum sembuh sama sekali dan dia terpincang-pincang duduk kembali di atas kursinya.

“Dan kita selidiki tentang nona Hong itu,” kata pula Kwi Beng dan ibunya mengangguk.

“Memang sebaiknya begitu, pula, engkau sudah terlalu lama terkurung di sampingku, isteriku sayang. Padahal dahulu engkau adalah seorang pendekar wanita yang biasa terbang bebas. Biarlah kau kukeluarkan dari kurungan untuk sementara, bersama anak-anakmu. Dengan kau di samping mereka, hatiku takkan merasa gelisah. Aku akan menjaga rumah di sini mengurus pekerjaan.”

“Dagang lagi...!” isterinya mencela.

“Bukan hanya itu! Kalau aku pergi ke pedalaman, tentu hanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik dan tidak enak saja. Engkau tentu mengerti akan hal ini, isteriku yang tercinta. Ataukah, engkau tidak bisa berpisah dariku, padahal baru saja kita melakukan perjalanan bulan madu kedua sampai berbulan-bulan ke barat?” Yuan de Gama memeluk dan mencium isterinya di depan anak-anaknya karena hal ini memang biasa bagi mereka.

“Phuahhh...! Siapa yang tidak dapat berpisah?” Li Hwa mencela akan tetapi setelah membalas ciuman suaminya itu. Kedua orang anaknya tertawa, sudah biasa mereka menyaksikan ayah dan ibu mereka itu bergurau, bercinta, dan kadang-kadang pura-pura bercekcok, padahal semua itu hanya sebagai tanda kasih sayang satu sama lain.

Ibu dan dua orang anaknya itu lalu bersiap-siap. Mereka akan menanti sampai kaki kiri Kwi Eng sembuh sama sekali, baru akan melakukan perjalanan. Sebagai keluarga kaya, mereka akan melakukan perjalanan dengan berkuda, karena ketiganya pandai menunggang kuda dan tentu saja mereka akan membawa bekal secukupnya, karena perjalanan dari Yen-tai ke Cin-ling-san bukan merupakan perjalanan yang dekat.

Daya tarik yang saling mempengaruhi pria dan wanita adalah suatu kewajaran dan pembawaan dalam diri manusia, seperti terdapat pada mahluk apapun di permukaan bumi ini. Daya tarik ini menimbulkan rasa suka, rasa cinta antara pria dan wanita, membuat masing-masing ingin saling mendekati, saling sentuh, saling belai dan saling berkasih mesra, sedekat mungkin sehingga menimbulkan keinginan untuk bersatu badan dan hati. Hal ini sudah wajar, sudah benar, dan sudah merupakan sifat alamiah yang ada pada diri manusia.

Hubungan kelamin seperti yang lajimnya dikenal dengan sebutan sex bukanlah hal yang kotor, bukanlah suatu hal yang menjijikkan atau memalukan. Sebaliknya malah, sex merupakan hal yang amat indah, yang suci, asalkan timbul dari naluri yang wajar, timbul dari gairah yang memang ada dalam diri manusia, timbul dari rasa cinta antara pria dan wanita karena daya tarik alamiah itu. Hubungan sex adalah suatu hal yang terhormat, suatu kenikmatan hidup yang patut dan layak dialami oleh setiap orang manusia, asal saja dilakukan dengan wajar dan dengan mata terbuka, dengan penuh kesadaran dan BUKAN DALAM KEADAAN DIMABOK NAFSU sehingga menjadi perbuatan membuta den menjadi hamba daripada nafsu berahi belaka. Kalau sudab begini, maka berobahlah sifatnya hubungan kelamin, menjadi kotor den najis, menjadi sumber dari kenikmatan palsu yang membawa kepada jurang kedukaan den kesengsaraan lahir batin.

Kenikmatan hubungan kelamin adalah suatu kurnia hidup, suatu keindahan hihup, merupakan bagian dari kehidupan dan cinta kasih, tidak terpisah-pisah. Sex bukanlah yang mutlak terpenting dalam hidup, bukan pula hal yang diremehkan. Akan tetapi, seperti segala sesuatu dalam hidup, apabila sex sudah merupakan suatu kebutuhan yang dicari-cari, yang dikejar-kejar, maka hal itu akan hanya membawa kita ke dalam jurang kesesatan langkah yang akhirnya akan menghancurkan kita sendiri. Sia-sia belaka mereka yang mencari kesucian dengan menjauhi dan menganggap hubungan sex sebagai suatu pantangan, lalu bertapa, atau menyendiri, akan tetapi di dalam hatinya tersiksa karena digerogoti oleh nafsunya sendiri! Nafsu apapun bukan harus dipantang, bukan harus ditekan, melainkan semestinya dipandang, dimengerti! Bagaikan api, nafsu bukan harus ditutup karena api itu tidak akan padam, seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu akan membakar pula. Api nafsu itu semestinya dipandang dan dari pandangan ini timbul kewaspadaan, timbul kesadaran, dan api itu akan menjadi nikmat dan manfaat hidup, bukan merusak.

Hubungan kelamin yang merupakan sesuatu yang amat indah dan murni, di mana manusia kehilangan akunya, akan berobah menjadi nafsu berahi yang membakar dan memperbudak jika pengalaman ini disimpan di dalam ingatan! Dengan mengingat-ingat, mengenangkan kenikmatan dalam hubungan atau pengalaman itu, timbullah nafsu berahi yang mendesak dan menggelora batin, yang membuat kita menjadi hambanya dan mulailah kita mengejar dan mencari, ingin mengalami lagi kenikmatan itu dan dengan demikian, kenikmatan ini menjadi satu di antara kepentingan-kepentingan hidup yang dikejar-kejar untuk didapatkan, maka mulailah pula langkah-langkah sesat kita ambil demi untuk memperolehnya!

Maka sudah jelaslah bahwa hubungan kelamin baru benar apabila dilakukan oleh sepasang manusia yang saling mencinta sebagai puncak daripada kasih mesra yang saling ditujukan sebagai tanda bersatunya badan dan hati. Apabila hubungan ini dilakukan oleh sepasang manusia tanpa dasar cinta kasih, maka itu hanyalah dorongan nafsu berahi belaka dan tidak dapat dihindarkan lagi tentu akan mengakibatkan duka dan kesengsaraan, penyesalan dan kekecewaan.

Di manapun, bilamanapun, siapapun dapat saja mengalami hal-hal yang berhubungan dengan asmara antara pria dan wanita, dan siapapun juga yang belum sadar akan diri sendiri, belum mengenal diri pribadi dan segala kelemahannya, betapapun cintanya dia, betapapun terpelajarnya dia dapat saja menjadi korban yang amat lemah dari cengkeraman nafsu berahi.

Gadis yang cantik manis dan masih muda belia itu menangis seorang diri di bawah sebatang pohon besar, terlindung dari perkampungan oleh serumpun bambu kuning yang tumbuh dengan suburnya dan sedikitnya mempunyai kelompok yang terdiri dari dua puluh batang lebih. Angin Pegunungan Cin-ling-san bertiup lembut, namun cukup menggerak-gerakkan daun-daun bambu yang lincah sehingga menimbulkan desau dan desah gemersik daun yang resah, seresah hati dan pikiran dara muda belia yang menangis lirih itu. Biarpun suara tangisnya lirih, namun guncangan pundaknya yang keras menandakan bahwa tangisnya keluar dari hati yang sedang remuk.

Gadis ini adalah Yalima, gadis Tibet yang kini tinggal di Cin-ling-san, yang oleh In Hong ditinggalkan di Cin-ling-pai karena menurut In Hong, Yalima harus dijodohkan dengan Cia Bun Houw karena menurut pengakuan Yalima, pemuda putera Cin-ling-pai itu adalah pacar gadis Tibet itu.

Biarpun ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Keng Hong, bersikap cukup manis biarpun jarang bicara terhadap gadis Tibet ini, dan biarpun dia diperlakukan dengan sikap yang cukup ramah dan dihormati oleh para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai karena dia dianggap sebagai seorang “sahabat baik” dari Cia Bun Houw, namun Yalima merasa tidak betah tinggal di situ. Hal ini terutama sekali karena dia merasa benar bahwa sesungguhnya dirinya tidak disuka di tempat itu, dan kadang-kadang rasa tidak suka ini tercermin keluar dari wajah nyonya ketua atau ibu Bun Houw!

Memang sebenarnya demikianlah. Di dalam hati kecil Sie Biauw Eng, nenek yang menjadi isteri ketua Cin-ling-pai itu, terdapat rasa tidak puas mendengar bahwa puteranya berpacaran dengan Yalima, bahwa puteranya ingin memperisteri gadis Tibet yang bodoh, lemah dan buta huruf itu. Sungguh tidak sesuai menjadi isteri puteranya, menjadi mantunya! Nenek perkasa ini memang maklum bahwa pendapatnya yang demikian itu adalah tidak benar sama sekali, bahwa perjodohan adalah berdasarkan suka sama suka, bardasarkan kasih sayang, dan segala macam kedudukan, kepandaian dan harta kekayaan sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu. Namun, sebagai seorang wanita, sukar baginya untuk merelakan puteranya yang dianggapnya paling tampan, paling lihai dan paling hebat itu berjodoh dengan seorang gadis dusun Suku Bangsa Tibet yang pada waktu itu dalam pandangan umum merupakan bangsa setengah biadab!

Yalima menangis, di dalam hatinya dia mengeluh dan mengadukan nasibnya kepada para dewa yang dipujanya, para dewa yang tinggal di puncak-puncak Pcgunungan Himalaya, yang tahu akan segala derita manusia dan yang bertugas mengatur nasib manusia! Diam-dam dia menyesali dirinya sendiri yang lemah, yang telah tergelincir sehingga kini dia menghadapi malapetaka, menghadapi aib dan mungkin sekali akan menerima kemarahan hebat dari ketua Cin-ling-pai dan isterinya! Semua yang dialaminya selama dia tinggal di Cin-ling-san empat lima bulan lamanya, teringat dengan jelas menjadi bayang-bayang di antara linangan air matanya.

Mula-mula terjadi kurang lebih dua bulan yang lalu. Dia telah tinggal hampir tiga bulan di Cin-ling-san dan setiap hari dia merindukan Bun Houw dan menanti-nanti kembalinya pemuda yang dikaguminya itu. Akan tetapi yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang dan sikap ibu pemuda itu terhadap dirinya dirasakannya kurang manis, bahkan kadang-kadang dia menerima omelan kalau dia kurang rajin membantu para pelayan. Mulailah dia membayangkan betapa akan susah hatinya kalau kelak dia sudah menjadi isteri Bun Houw, menjadi mantu dari nyonya tua yang agaknya tidak suka kepadanya itu! Sebagai mertua, tentu nyonya itu akan lebih galak lagi sikapnya! Teringat dia akan cerita-cerita rakyat bangsanya tentang nasib mantu-mantu yang tidak disuka mertuanya, diperlakukan lebih rendah dan lebih kejam daripada budak belian! Mulailah dia merasa bimbang hati, dan mulailah terasa olehnya betapa jauh perbedaan tingkat antara dia dan Bun Houw. Dahulu, di waktu Bun Houw masih ikut dengan gurunya, Kok Beng Lama seorang pendeta yang hidup sederhana, perbedaan ini tidak nampak benar. Akan tetapi sekarang, di rumah ketua Cin-ling-pai, melihat betapa keluarga Bun Houw adalah keluarga pendekar dan ketua perkumpulan yang begitu dihormat oleh para anak murid dan pelayan, melihat betapa para pelayan perempuan di rumah itupun rata-rata memiliki kepandaian silat dan pandai pula membaca, mulailah dia melihat betapa rendah kedudukannya dibandingkan dengan Bun Houw.

Demikianlah, dua bulan yang lalu ketika dia mendapat marah dari nyonya ketua karena kebodohannya ketika diajar menulis membaca oleh seorang pelayan. Yalima lari ke tempat sunyi di balik rumpun bambu kuning ini dan menangis dengan amat sedihnya. Dia rindu akan kampung halaman, rindu kepada ayah bundanya, akan tetapi mana mungkin dia pulang ke Tibet? Andaikata dia nekat pulang juga, tidak urung akan dihajar oleh ayahnya dan dipaksa menjadi selir seorang bangsawan tua, menjadi semacam barang permainan, disayang sewaktu masih baru dan ditendang serta disia-siakan kalau sudah bosan!

Selagi dia menangis sedih itu, tiba-tiba terdengar teguran halus, “Yalima, mengapa engkau menangis seorang diri di sini?”

Yalima terkejut, akan tetapi ketika dia mengangkat muka memandang dan mengenal bahwa yang menegurnya itu adalah Kwee Tiong, pemuda yang selalu bersikap baik dan halus kepadanya, dia menunduk lagi dan menangis makin sedih, seolah-olah datang seorang sahabat baiknya yang berbela sungkawa atas nasibnya.

Kwee Tiong segera berlutut di dekat dara itu. Semenjak Yalima tinggal di situ pemuda ini memang sudah terpikat dan tergila-gila, menganggap bahwa dara itu memiliki kecantikan yang amat luar biasa, kecantikan yang khas dan aneh namun yang amat menarik hatinya. Diam-diam Kwee Tiong juga menganggap bahwa dara Tibet itu, yang jelas merupakan seorang gadis dusun, tidak pantas menjadi isteri Cia Bun Houw, putera seorang ketua Cin-ling-pai yang terkenal. Bun Houw pantasnya berjodoh dengan seorang puteri istana atau setidaknya seorang puteri bangsawan, hartawan atau puteri seorang pendekar lain. Dan Yalima, bunga dusun yang segar dan murni itu, lebih pantas menjadi jodohnya! Kwee Tiong adalah putera tunggal dari mendiang Kwee Kin Ta, telah berusia dua puluh lima tahun dan belum menikah. Pemuda ini tidak terlalu tampan, juga tidak buruk, sedang saja akan tetapi seperti rata-rata pemuda Cin-ling-pai, dia memiliki sifat-sifat kegagahan.

“Yalima, apakah yang menyusahkan hatimu? Percayalah, aku akan suka menolongmu, Yalima.”

Mendengar suara yang begitu halus dan penuh getaran, Yalima mengangkat muka memandang, menghapus air matanya dan dia menggeleng kepala. “Tidak ada apa-apa, kongcu (tuan muda)...aku hanya...hanya tidak kerasan di sini...dan aku rindu kampung halamanku...”

“Ahh, jangan menyebut aku kongcu. Engkau tahu bahwa aku hanyalah anak murid di sini, dan mendiang ayahku dahulupun hanya murid dan juga pelayan. Aku orang biasa seperti juga engkau, Yalima. Kau tahu namaku Kwee Tiong dan kausebut saja kakak kepadaku.”

“Terima kasih, Kwee-koko.” Mendengar kata-kata yang halus dan sikap yang ramah ini sudah agak terobatilah rasa hati Yalima dan dia kini dapat tersenyum sedikit sungguhpun kedua pipinya masih basah air mata. Melihat wajah yang demikian cantiknya, pipi yang basah itu kemerahan, mata yang lebar dan jeli itu seperti mata seekor kelinci ketakutan minta perlindungan, mulut yang kecil itu dengan bibir penuh kemerahan seperti buah ang-co kemerahan yang sudah masak dan berkulit tipis sekali sehingga agaknya kalau tergigit sedikit saja tentu akan pecah dan mengeluarkan cairan yang manis, jantung Kwee Tiong berdebar keras dan hatinya dipenuhi keharuan yang mendalam. Dikeluarkannya saputangannya, dan dengan gerakan halus penuh kasih sayang diusapnya kedua pipi yang basah air mata itu, kemudian saputangan itu dia berikan kepada Yalima sambil tersenyum berkata, “Nih, kaukeringkanlah mata dan hidungmu.”

Yalima terbelalak, memandang dengan hati penuh rasa syukur dan keharuan, sehingga air matanya kembali bercucuran. Dia menerima saputangan itu, menyusuti air matanya dari kedua pipinya, menyusut hidungnya sampai saputangan itu menjadi basah semua! Dia akan mengembalikan saputangan itu, akan tetapi ketika Kwee Tiong menerimanya, dia menarik kembali saputangan itu sambil berkata, “Akan kucuci lebih dulu, kongcu... eh, koko, besok setelah bersih kukembalikan.”

“Tidak usah...” Kwee Tiong menarik saputangannya akan tetapi dipertahankan oleh Yalima.

“Saputanganmu kotor, koko...”

“Tidak, sebaliknya malah. Aku ingin menyimpannya bersama... bekas air matamu, Yalima.”

Merah seluruh muka dara itu dan dengan tangan gemetar dia melepaskan saputangannya. Dengan mata terbelalak keheranan dia melihat Kwee Tiong mencium saputangan basah itu sebelum menyimpannya di dalam saku bajunya.

“Kwee... koko... mengapa kaulakukan itu...?” Yalima bertanya, hatinya tergetar keras.

“Mengapa? Karena... karena aku cinta padamu, Yalima. Engkau cantik seperti bidadari, engkau segar seperti bunga di puncak gunung, wajah seperti daun bambu kuning itu, dan engkau... sendirian dan patut dilindungi mati-matian.”

“Kwee-koko...! Apa artinya ini?” Yalima masih memandang terbelalak, terkejut bukan main karena sungguh tak disangkanya bahwa pemuda yang dikiranya hanya baik dan kasihan kepadanya itu ternyata mencintanya sedemikian rupa!

“Artinya? Aku cinta padamu dan aku akan melindungimu dengan taruhan nyawaku. Akan tetapi... ah, engkau... engkau adalah calon jodoh Cia-kongcu...” Kwee Tiong membalikkan tubuhnya memandang ke lain jurusan, suaranya tergetar penuh kedukaan.

Wanita juga adalah seorang manusia biasa, dari darah dan daging, dengan hati dan perasaan yang amat lemah dan halus. Wanita selalu haus akan kasih sayang orang lain, terutama kasih sayang pria. Telah lama sekali, semenjak berpisah dari Bun Houw, Yalima mengalami banyak kesengsaraan dan rasa rindunya terhadap Bun Houw tak pernah terobati karena selama itu dia tidak pernah bertemu dengan Bun Houw.

Dahulu, di waktu dia masih berada di Tibet, Yalima bertemu dengan Bun Houw dan tentu saja dia tertarik sekali, bukan hanya karena Bun Houw amat tampan, akan tetapi karena di perkampungannya, dia melihat pemuda-pemuda Tibet tidak ada yang segagah Bun Houw. Pemuda-pemuda sekampungnya adalah orang-orang pegunungan yang sederhana, tidak pandai berlagak, maka tentu saja Bun Houw kelihatan menonjol dan sekaligus memikat hatinya. Kini, di Cin-ling-pai, dia melihat banyak sekali pemuda perkasa, biarpun tidak mudah mencari seorang pemuda seperti Bun Houw, namun dibandingkan dengan para pemuda di Pegunungan Tibet, para pemuda Cin-ling-pai merupakan pemuda-pemuda yang jauh lebih unggul dalam segala-galanya!
Sejak sejarah berkembang sampai kini, hati wanita memang amat lemah terhadap sikap manis dan bujuk rayu pria. Memang sudah menjadi naluri wanita dan segala jenis mahluk betina untuk memancing perhatian dan pujian dari lawan jenisnya, untuk memperkuat daya tariknya terhadap golongan jantan dan akan banggalah hatinya kalau golongan jantan terpikat oleh kecantikannya.

Wanita haus akan pujian pria, hal ini wajar sungguhpun kaum wanita suka menyembunyikannya, bahkan kadang-kadang berdalih marah-marah kalau dipuji, sungguhpun di dalam hatinyat pujian dari mulut dan pandang mata pria merupakan peristiwa yang paling mengesankan di dalam hatinya. Yalimapun demikian pula. Apalagi dia, seorang dara remaja yang sedang dewasa, bagaikan bunga sedang mekar semerbak, mempunyai daya tarik yang tersembunyi di dalam keindahannya, warnanya dan keharumannya agar menarik datangnya kumbang jantan. Yalima sedang kesepian dan rindu akan rayuan dan pujian Bun Houw yang tidak pernah datang, apalagi pada saat itu dia sedang merasa sengsara hatinya karena merasa tidak disuka. Padahal, tidak disuka ini merupakan kedukaan paling hebat bagi wanita. Tidak disuka berarti tidak dibutuhkan, padahal wanita haus akan perasaan dibutuhkan ini, apalagi dibutuhkan oleh pria, dibutuhkan oleh anak-anaknya. Dalam keadaan “kosong” seperti itu, muncullah Kwee Tiong dalam hidupnya, tentu saja merupakan embun pagi bagi setangkai bunga yang kekeringan, merupakan curahan hujan bagi pohon yang kehausan!

Mula-mula hubungan mereka hanya sebagai sahabat yang akrab dan karib sekali. Yalima mulai bergembira hatinya karena Kwee Tiong pandai menghiburnya. Dengan usianya yang sudah dua puluh lima tahun, sudah cukup dewasa dan matang, Kwee Tiong bahkan lebih pandai merayu dibandingkan dengan Bun Houw yang masih hijau. Dan Kwee Tiong betul-betul jatuh cinta kepada Yalima sehingga akhirnya runtuhlah pertahanan Yalima, runtuhlah sisa-sisa kesetiaannya terhadap Bun Houw yang hendak dipertahankannya. Hal ini bukan berarti bahwa Yalima adalah seorang wanita yang tidak setia, melainkan karena jalinan cintanya dengan Bun Houw masih belum kuat benar, atau yang lebih terkenal dinamakan cinta monyet, atau cinta muda-mudi yang masih mentah dan yang hanya sekedar tertarik oleh lahir belaka, belum mendalam sampai ke batin sehingga mudah luntur! Sebaliknya, getaran sayang Kwee Tiong terasa oleh Yalima, menjatuhkannya dan bujukan-bujukan Kwee Tiong membuat Yalima gadis dusun itu menjadi mabok kepayang. Kwee Tiong maklum akan bahayanya hal ini. Dia jatuh cinta kepada pacar Cia Bun Houw! Akan tetapi, karena cintanya memang bukan hanya cinta berahi belaka, dia berani menghadapi segala akibatnya, bahkan dia lalu membujuk dan merayu Yalima sehingga Yalima akhirnya runtuh dan menyerahkan dirinya dengan suka rela dan dengan gairah yang menggelora. Terjadilah hubungan badan di antara kedua orang muda itu! Hal ini disengaja oleh Kwee Tiong karena dia maklum bahwa hanya inilah satu-satunya jalan agar Yalima menjadi isterinya!

Kwee Tiong lupa bahwa jalan menuruti nafsu adalah jalan yang tak mengenal mundur lagi. Sekali melangkah, harus dilanjutkan dengan langkah-langkah lain, karena nafsu berahi adalah seperti api yang membakar dan terus menjalar makin membesar. Sekali dituruti secara membuta, akan makin menggelora. Demikian pula halnya dengan Kwee Tiong dan Yalima. Hubungan pertama kali yang hanya disaksikan oleh tumbuh-tumbuhan, terutama oleh rumpun bambu kuning membuat pertahanan mereka bobol dan hubungan itu dilanjutkan terus-menerus setiap kali ada kesempatan. Hanya rumpun bambu kuning itulah yang menjadi saksi betapa mesranya keadaan mereka, betapa mereka telah lupa diri, lupa keadaan dan kehilangan pertimbangan, kehilangan kesadaran, hanya memejamkan mata menulikan telinga menurut nafsu berahi yang membakar dan yang memperhamba mereka berdua.

Dan pagi hari itu, Yalima menangis seorang diri di dekat rumpun bambu kuning! Setelah dua bulan mereka melakukan hubungan gelap seperti itu, kini terasalah suatu kelainan pada dirinya. Naluri kewanitaannya memberi tahu kepada dara yang bodoh ini akan perobahan itu dan pagi hari itu, sambil menanti munculnya kekasihnya, ia menangis lirih namun hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Dia telah mengandung!

Betapa banyaknya di dunia ini terjadi peristiwa seperti yang dialami oleh Yalima. Betapa banyaknya gadis-gadis di dunia ini yang terbujuk oleh nafsu berahi, mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dan mengandung! Lebih celaka lagi, betapa banyaknya akibat-akibat yang amat mengerikan dan hebat terjadi sebagai lanjutan dari peristiwa ini. Bunuh diri, pengguguran, pembunuhan dan sebagainya! Betapa lemah dan piciknya manusia!

Salahkah Yalima dan gadis-gadis seperti dia itu? Berdosakah mereka? Siapakah yang bersalah kalau terjadi hal seperi itu? Si gadiskah? Si pemudakah? Atau keadaan? Pergaulan? Pendidikan?

Tidak ada gunanya menyalahkan siapapun juga, karena kalau diusut, semuanya salah! Memang kehidupan manusia, cara hidup manusia seperti yang kita hayati selama ribuan tahun ini salah dan palsu adanya! Kita hidup seperti mesin, kita hidup seperti alat-alat mati, kita hidup hanya menurut garis-garis yang telah ditentukan oleh manusia-manusia lain, manusia-manusia terdahulu yang merupakan tradisi, ketahyulan, hukum-hukum yang mati dan kaku. Kita hidup dituntun, dibimbing, dikurung dan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan contoh-contoh dan pola-pola yang telah dibangun oleh “peradaban” sejak ribuan tahun. Peradaban yang sesungguhnya tidak beradab! Segala sesuatu dalam hidup, baik buruknya dipandang dari segi hukum dan ketentuan umum, sehingga segalanya palsu adanya! Kesopanan dipandang dari pakaian dan sikap yang sesungguhnyapun hanya pakaian yang tak nampak, dan ini sudah menjadi pendapat umum yang mati. Padahal kesopanan letaknya di dalam batin, bukan di dasi atau sepatu! Demikian pula, kebenaran, kebajikan, budi dan lain-lain ditukar dari pendapat umum yang hanya memperhatikan lahiriah belaka! Padahal sumbernya adalah di dalam batin, dan hanya diri sendirilah yang dapat mengerti apakah kesopanan yang dilakukan itu, apakah kebajikan dan lain sebagainya yang dilakukan itu palsu belaka, pura-pura belaka, ataukah wajar! Kalau wajar dan tulus, tanpa pamrih, tanpa diikat oleh aturan-aturan lahiriah, itu barulah benar!

Hukum pula yang menentukan bahwa hubungan kelamin baru benar kalau dilakukan setelah pria dan wanita itu menikah! Atau baru benar kalau dilakukan oleh orang-orang yang berjual beli dan sudah disyahkan pemerintah! Benarkah demikian? Kalau kita mau membuka mata batin, mau mempelajari diri sendiri, menjenguk hati dan pikiran sendiri, memandangnya dengan bebas, kiranya akan terlihat bahwa tidak benarlah demikian itu. Biarpun sudah disyahkan oleh hukum pernikahan, biarpun sudah disebut suami isteri oleh umum, kalau hubungan itu dilakukan tanpa adanya cinta kasih, melainkan hanya sebagai alat untuk mencari kepuasan dan kesenangan diri pribadi belaka, maka hubungan kelamin macam itu pun kotor dan palsu adanya! Sama saja dengan perbuatan menolong orang lain yang oleh pandangan umum disebut baik, akan tetapi kalau di dalam batinnya pertolongan itu dilakukan dengan pamrih, dilakukan sebagai alat untuk mencari pujian, untuk mencari balas jasa, maka “pertolongan” macam itupun kotor dan palsu adanya! Jadi yang mutlak menjadi mutu setiap perbuatan adalah dasarnya, dasar batiniahnya.

Pengarang tidak hendak mengatakan bahwa perbuatan Yalima dan Kwee Tiong itu benar! Sama sekali tidak! Hanya hendak mengajak pembaca untuk membuka mata melihat segala kepalsuan dalam hidup, termasuk kepalsuan dalam urusan hubungan sex! Kwee Tiong dan Yalima patut dikasihani. Mereka berdua hanyalah menjadi akibat dari keadaan hidup kita sejak dahulu sampai sekarang. Mereka berdua belum mengerti, dan pengertian ini, baik bagi yang muda maupun bagi yang tua, hanya terdapat kalau kita sudah mengenal diri sendiri setiap saat! Pengenalan diri sendiri mendatangkan kewaspadaan dan kewaspadaan ini menghentikan segala perbuatan yang tidak benar!

Kita tidak berhak membenarkan atau menyalahkan Yalima dan Kwee Tiong! Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia, menjadi tanggung jawab si manusia itu sendiri, setiap buah dari pohon yang ditanam akan dipetik oleh tangan si penanam itu sendiri. Yang pasti, segala macam bentuk kesenangan yang dicari-cari, dikejar-kejar, dinikmati dan mendatangkan kepuasan sementara, sudah pasti disertai oleh kedukaan karena suka duka merupakan saudara kembar yang tak terpisahkan!

“Yalima...!”

Yalima terkejut karena lamunannya yang jauh sekali tadi membuat dia seolah-olah melayang di angkasa dan ada hasrat aneh di hatinya untuk terjun dari angkasa itu, sehingga tubuhnya akan hancur lebur dan dia akan terbebas dari siksa batin yang amat menakutkan itu.

“Koko...!” Dia berlari dan menubruk kekasihnya sambil menangis sesenggukan.

“Tenanglah, Yalima. Apa yang terjadi? Apakah kau dimarahi oleh subo (ibu guru) lagi?”

“Tidak... tidak... akan tetapi kita celaka... aku celaka, koko...”

“Eh, eh, celaka bagaimana? Aku berada di sini dan aku selalu mencintamu, selalu akan menjaga dan melindungimu, Yalima.”

“Koko... aku... telah mengandung...”

“Heiiiiiiii...?” Kwee Tiong terkejut bukan main, matanya terbelalak dan wajahnya pucat, akan tetapi hanya sebentar saja karena dia lalu merangkul Yalima, memeluk pinggangnya dan mengangkat dara itu diputar-putarnya sambil tertawa-tawa gembira!

“Eh, eh, turunkan aku...!” Yalima menjerit dan setelah dia diturunkan, dia memegang kedua tangan kekasihnya itu sambil berkata dengan air mata berlinang. “Koko, apakah engkau sudah gila? Bagaimana engkau bisa bergembira seperti itu mendengar bahwa aku telah mengandung? Kita berdua, atau setidaknya aku tentu akan celaka...”

“Tentu saja kita berbahagia dan gembira! Kita akan mempunyai anak! Siapa pula yang akan mencelakakan kita?”

“Cia loya dan nyonya...”

“Hushh! Guruku itu adalah seorang pendekar sakti yang budiman, demikian pula isterinya. Kau tidak perlu khawatir, akulah yang akan memberi tahu kepada mereka, dan aku pula yang akan menanggung segala hukumannya kalau memang kita berdua dipersalahkan!”

Yalima menyandarkan mukanya di dada kekasihnya. Dia merasa agak terhibur akan tetapi tetap saja dia merasa menyesaL “Ah, koko, mengapa kita melakukan hal itu? Sekarang kita tertimpa aib dan malu...”

”Memang kusengaja, kekasihku. Aku sendiripun tahu bahwa perbuatan kita itu tidak benar dan akan membawa kita kepada aib, malu dan duka. Akan tetapi, aku terlalu cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau menjadi isteri orang lain, maka aku menempuh jalan nekat itu. Biarlah, kini aku yang akan menanggung. Sekarang juga aku akan menghadap suhu dan subo, dan kau kembalilah ke tempat kerjamu, bekerjalah seperti biasa dan jangan takut.” Kwee Tiong mencium mulut kekasihnya, lalu meninggalkannya dengan langkah gagah. Yalima terisak dan dia lalu berlari kecil kembali ke rumah ketua Cin-ling-pai, hatinya masih terasa tidak enak sekali dan diam-diam dia merasa amat menyesal mengapa dia telah melakukan hal itu dengan Kwee Tiong. Rasa takut menerkam hatinya, bukan hanya takut akan hukuman, melainkan terutama sekali takut akan ketahuan semua orang sehingga dia, akan merasa malu dan rendah. Bagaimana kalau Bun Houw pulang, dan tahu akan hal ini? Dia sudah tidak mengharapkan diri Bun Houw lagi, akan tetapi betapa akan malunya kalau dia bertemu dengan bekas pemuda pujaan hatinya itu.

Demikianlah, derita batin yang menimpa seseorang sungguh tidak sepadan dengan kenikmatan dari kesenangan yang dialaminya! Memang benar bahwa senang itu hanya selewat saja, namun susahnya lebih lama terderita! Maka, orang yang sudah sadar dan waspada akan segala gerak-geriknya sendiri, tidak mudah terjebak dan terpikat oleh kesenangan yang hanya merupakan bayangan pikiran belaka. Pikiran yang mengingat-ingat segala kesenangan seolah-olah mengunyah-ngunyahnya sehingga menimbulkan nafsu keinginan untuk mengejar kesenangan itu. Namun, siapa yang telah waspada akan hal ini, akan dapat melihat betapa palsunya semua itu dan pengertian akan kepalsuan inilah yang akan menjadi pengrobah dari seluruh jalan hidupnya.

Wajah Cia Keng Hong menjadi merah bukan main, matanya mengeluarkan sinar berapi ketika dia mendengar pelaporan Kwee Tiong yang dengan terus terang menyatakan bahwa dia bersama Yalima telah melanggar dosa dan bahwa kini Yalima telah mengandung!

“Keparat tak tahu malu! Engkau mencemarkan nama baik Cin-ling-pai saja!” Cia Keng Hong membentak den tangannya sudah bergerak hendak memukul. Akan tetapi secepat kilat Sie Biauw Eng memegang lengannya.

“Tenanglah, dan mari kita pertimbangkan persoalan ini sebaiknya. Kwee Tiong, kau sudah mengakui kesalahanmu?”

“Sudah, teecu sudah merasa bersalah dan teecu siap menerima segala macam hukuman, hanya hendaknya adik Yalima tidak dipersalahkan karena teeculah yang membujuknya,” jawab Kwee Tiong dengan suara tegas dan sikap tenang.

“Dan kau siap melakukan apa saja sebagai hukumanmu?”

“Teecu siap, biar dihukum matipun teecu akan menerimanya.”

“Kalau begitu, kautunggu di sini, jangan pergi ke mana-mana sampai kami keluar lagi.” Nenek Sie Biauw Eng lalu menggandeng tangan suaminya dan diajaknya masuk ke dalam.

Setibanya di dalam, Keng Hong menarik napas panjang dan mengepal tinjunya. “Bedebah! Berani dia main gila seperti itu? Dan gadis itu adalah kekasih Houw-ji!”

“Aihh, kenapa engkau berpandangan sesingkat itu, suamiku? Kalau Yalima mencinta Houw-ji, tentu dia tidak akan berbuat itu dengan Kwee Tiong. Jelas bahwa gadis Tibet itu tidak mencinta Bun Houw, melainkan mencinta Kwee Tiong.”

“Hemm, apa kau hendak mengatakan bahwa mereka itu tidak mendatangkan aib kepada Cin-ling-pai dan aku harus diam saja?”

“Mereka memang bersalah, akan tetapi apakah kita juga tidak bersalah? Kita kurang memperhatikan Yalima sehingga dia mempunyai kesempatan berbuat seperti itu. Lupakah kau bahwa kalau ada anak yang menyeleweng, maka orang tuanya yang bersalah besar karena kurang mendidik dan kurang memperhatikan? Dan karena Yalima berada di sini, maka kita berdualah yang menjadi wakil orang tuanya.”

lanjut ke Jilid 25-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar