Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 25

Dewi Maut Jilid 25

<--kembali

Keng Hong meraba-raba jenggotnya dan pikirannya melayang kepada pengalaman dirinya sendiri ketika masih muda. Pernah pula dia terjebak bujuk rayu seorang wanita sehingga diapun pernah melakukan hubungan kelamin di luar nikah (baca cerita Pedang Kayu Harum).

“Hemm... habis apa yang harus kita lakukan dengan mereka?”

“Mereka sudah berbuat, dan Yalima sudah mengandung. Peristiwa itu tidak bisa dicegah dan diperbaiki lagi, paling-paling kita bisa merusaknya. Akan tetapi apa gunanya hubungan itu dirusak? Lebih baik disempurnakan, dan mereka dinikahkan. Bukankah itu jalan terbaik?”

Keng Hong mengangguk-angguk. “Hemm... akan tetapi terlalu enak bagi Kwee Tiong. Sebagai seorang murid Cin-ling-pai dia harus menerima hukuman atas perbuatannya.”

“Jangan, suamiku. Ampunkanlah dia, karena dia sudah melakukan suatu kebaikan bagi diri anak kita...”

“Eh, apa maksudmu?”

“Bayangkan saja, bagaimana kalau yang berdiri di tempat Kwee Tiong itu Bun Houw? Untung bahwa belum sejauh itu hubungan anak kita dengan Yalima yang ternyata adalah seorang dara yang amat lemah sehingga tidak mampu mempertahankan godaan nafsu dan merendahkan harga dirinya, dengan mudah menyerahkan kehormatannya biarpun kepada pria yang dicintanya.”

Keng Hong mengangguk-angguk. “Baiklah, akan tetapi aku tetap akan mencobanya, apakah dia benar-benar seorang yang jantan dan patut menerima Yalima sebagai isterinya. Hayo kita keluar.”

Kwee Tiong masih duduk berlutut di atas lantai ketika suami isteri tua itu keluar.

“Kwee Tiong...!”

Suara Cia Keng Hong mengejutkan karena tegas dan keras, menandakan kemarahannya.

“Suhu...!”

“Kaupanggil Yalima menghadap ke sini bersamamu!”

“Ba...baik, suhu...harap suhu dan subo mengampuni dia...” Kwee Tiong lalu pergi ke belakang dan tak lama kemudian dia sudah datang lagi menggandeng tangan Yalima yang berjalan dengan muka menunduk. Keduanya lalu berlutut di depan suami isteri itu. Yalima terisak perlahan, tubuhnya gemetaran dan mukanya pucat sekali.

Yalima, benarkah engkau telah mengandung akibat hubunganmu dengan Kwee Tiong ini?” Biauw Eng bertanya, suaranya halus.

Yalima terisak dan mengangguk, tidak kuasa mengeluarkan kata-kata dan tidak berani mengangkat mukanya.

“Dan kau merasa bersalah?”

Kembali Yalima mengangguk. Dia takut dan malu sekali, dan penyesalannya makin hebat. Mengapa dia tidak bunuh diri saja tadi? Akan habislah semua derita, semua rasa malu ini!

Biauw Eng memberi isyarat kepada suaminya. Cia Keng Hong lalu membentak Kwee Tiong, “Kwee Tiong, kau benar-benar mencinta Yalima?”

“Kalau tidak, mana teecu berani berbuat itu dengan dia? Teecu mencintanya lahir batin.”

“Kau berani berkorban nyawa untuknya?”

“Teecu berani dan siap!”

“Nah, karena kau sudah merasa berdosa, maka engkau harus dihukum. Engkau korbankan lengan kananmu untuk Yalima!”

“Tidak...! Jangan...! Ahhh... loya, bunuh sajalah hamba... jangan hukum Kwee-koko... karena hamba yang bersalah...” Tiba-tiba Yalima menangis dan menubruk Kwee Tiong.

Nenek dan kakek itu saling lirik dan ada cahaya berseri pada lirikan mata mereka.

“Kwee Tiong, apakah engkau seorang laki-laki sejati?” bentak Cia Keng Hong.

“Yalima, minggirlah. Suhu telah mengampunkan kita... terima kasih atas kebaikan hati suhu!” Kwee Tiong mendorong tubuh Yalima dengan halus, kemudian dia meloncat ke belakang, cepat sekali mencabut pedang dengan tangan kiri lalu menyabetkan pedang itu ke arah pangkal lengan kanannya.

Yalima menjerit. “Trangggg...!” Pedang itu terlepas dan terjatuh dari tangan kiri Kwee Tiong sebelum menyentuh lengan kanannya. Kiranya ketua Cin-ling-pai tadi telah menggerakkan tangannya dan angin pukulan dahsyat membuat pedang itu terlepas dan terjatuh.

Kwee Tiong menjatuhkan diri berlutut. “Suhu, apa artinya ini...?” tanyanya.

“Kami hanya ingin melihat apakah benar kalian saling mencinta. Kami ampunkan kalian, bahkan dalam pekan ini juga kalian akan kami nikahkan. Akan tetapi, melihat keadaan Cin-ling-pai dalam perkabungan, pernikahan itu akan dilakukan dengan sederhana saja.”

“Suhu...! Subo...! Terima kasih...!” Suara Kwee Tiong tergagap karena pemuda yang gagah ini sudah menangis saking gembiranya.

“Sudahlah... sudahlah, pergilah kalian dari sini dan bersiap-siaplah untuk pernikahan itu...” kata Sie Biauw Eng.

Setelah suami isteri tua ini masuk ke dalam, barulah Kwee Tiong bangkit, memondong tubuh Yalima dan membawanya berlarian keluar dari tempat itu dengan hati penuh rasa bahagia.

Beberapa hari kemudian, dirayakanlah pernikahan itu secara amat sederhana hanya dihadiri oleh para anak murid Cin-ling-pai saja, tidak ada seorangpun tamu dari luar. Hal ini adalah mengingat bahwa Cin-ling-pai dalam beberapa bulan ini mengalami hal-hal yang amat buruk, selain tercurinya pedang pusaka, matinya Cap-it Ho-han yang tujuh orang itu, disusul pula tewasnya empat orang lagi dari Cap-it Ho-han dan juga tewasnya Hong Khi Hoatsu dan lenyapnya Lie Seng.

Dua hari setelah pernikahan itu dilangsungkan, muncul Cia Giok Keng. Wanita ini hanya mengerutkan alis mendengar dari ibunya tentang peristiwa Kwee Tiong dan Yalima, kemudian dia menceritakan kepada ayah ibunya tentang matinya dua orang di antara Lima Bayangan Dewa, dan tentang orang-orang berilmu seperti Bouw Thaisu, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw yang membantu Lima Bayangan Dewa, dan bahwa pedang pusaka Siang-bhok-kiam belum juga ditemukan.

Wajah Cia Keng Hong yang biasanya selalu tenang itu kini kelihatan marah sekali. “Hemm... kiranya Lima Datuk Kaum Sesat yang dahulu itu biarpun telah tewas, roh jahatnya masih saja merajalela dan membujuk kawan-kawannya untuk mengacau dunia! Kalau para tua bangka itu keluar dan mengacau, dunia tidak akan menyalahkan aku kalau keluar pula untuk menghadapi mereka!”

“Aku ikut! Aku ingin sekali membagi-bagi pukulan kepada cacing-cacing busuk itu!” Sie Biauw Eng berseru.

“Dalam keadaan segawat ini, tidak baik kalau Cin-ling-pai ditinggalkan sama sekali. Karena kita berdua pergi bersama yang lalu, maka dapat terjadi malapetaka di sini. Kita harus membagi tenaga, isteriku. Kau menjaga Cin-ling-pai bersama Keng-ji, dan aku akan mencari mereka!”

Sie Biauw Eng terpaksa membenarkan pendapat suaminya ini, maka biarpun hatinya penasaran, akhirnya dia membiarkan suaminya pergi. Untuk pertama kalinya sejak belasan tahun hidup tenteram di Cin-ling-pai, kini Pendekar Sakti Cia Keng Hong meninggalkan tempat kediamannya, turun gunung untuk membantu puteranya karena dia maklum betapa lihai adanya musuh-musuh itu yang terdiri dari saudara-saudara dan sahabat-sahabat para datuk kaum sesat yang dahulu telah menjadi musuh-musuhnya.

Giok Keng tidak lama berdiam di Cin-ling-pai. Dia segera pamit untuk mencari Lie Seng yang lenyap terculik musuh. Ibunya tidak dapat menahannya, maklum betapa hebat penderitaan batin puterinya itu, dan dia hanya memesan agar supaya puterinya itu berhati-hati. Dengan penuh keharuan Giok Keng memeluk dan menciumi Lie Ciauw Si, puterinya yang baru sepuluh tahun usianya itu, yang menangis hendak ikut dengan ibunya. Setelah menghibur dan memberi nasihat dan pengertian kepada Ciauw Si, berangkatlah Cia Giok Keng meninggalkan Cin-ling-pai. Di depan ibunya dia menyatakan hendak mencari Lie Seng, akan tetapi di dalam hatinya, dia hendak mencari pembunuh Hong Ing dan mencari Mei Lan yang melarikan diri karena dia. Sedangkan nasib Lie Seng dia serahkan ke tangan Tuhan dan dia percaya bahwa Kun Liong akan berusaha mencari puteranya itu!

***

Kaisar Ceng Tung diangkat meniadi kaisar ketika dia berusia delapan tahun, yaitu sebagai pengganti ayahnya yang mangkat, yaitu Kaisar Shian Tek. Tentu saja seorang bocah berusia delapan tabun tidak tahu apa-apa, apalagi memegang tampuk pemerintahan negara besar sebagai seorang kaisar! Maka ketika Kaisar Ceng Tung diangkat menjadi kaisar, kekuasaan terjatuh mutlak ke tangan ibu suri. Sebagai seorang kaisar, yang pada waktu itu dianggap sebagai seorang suci, utusan Tuhan sendiri, tentu saja Kaisar Ceng Tung menjadi dewasa tidak seperti anak-anak biasa. Dia hidup di dalam lingkungan istana yang penuh dengan kemuliaan dan kemewahan, dikerumuni panghormatan dan peraturan, dan sama sekali dia terasing dari hubungan dengan dunia luar atau dengan kehidupan rakyat biasa. Hal ini membuat kaisar ini seperti boneka hidup saja dan dia tunduk sepenuhnya kepada ibu surinya. Setelah dia menjadi dewasa, mulailah dia dapat memperlihatkan kekuasaannya sebagai seorang kaisar yang “maha kuasa” di dalam istana dan negara. Mulailah terjadi perebutan di antara para thaikam, yaitu bangsawan-bangsawan tinggi yang dikebiri, syarat mutlak yang merupakan keharusan bagi para ponggawa di dalam istana, dan ibu suri untuk menguasai hati kaisar muda itu. Karena pandainya membujuk, maka akhirnya Kaisar Ceng Tung terjatuh ke dalam kekuasaan seorang pembesar thaikam yang cerdik, yaitu seorang thaikam berasal dari utara yang bernama Wang Cin. Wang Gin mempunyai beberapa orang kaki tangan, yaitu para thaikam lain di dalam istana, dan akhirnya kekuasaan ibu suri tersisihkan dan semua kepercayaan kaisar muda terjatuh ke tangan Wang Gin inilah. Secara teoritis, Kaiser Ceng Tung adalah kaisar yang memegang tampuk pemerintahan, akan tetapi secara praktis, Thaikam Wang Cin inilah yang berkuasa memutuskan segala macam hal, karena apapun yang hendak diputuskan oleh kaisar, selalu kaisar yang muda itu minta petunjuk dan nasihat Wang Cin.

Bahkan hampir semua urusan yang melalui tangan kaisar, tanpa diperiksa oleh kaisar ini terus saja disampaikan kepada Thaikam Wang Cin ini untuk diambil keputusan dan kaisar hanya tinggal menandatangani dan memberi cap saja!

Betapapun juga, semenjak kanak-kanak, Kaisar Ceng Tung telah mempelajari kesusasteraan dan sebagai seorang terpelajar, tentu saja tidak akan mudah bagi seorang penjilat seperti Wang Cin untluk membujuk dan memeluknya dalam pengaruh pembesar kebiri itu, kalau hanya dengan bujukan dan omongan manis. Tidak, untuk urusan sebesar ini, Thaikam Wang Cin terlalu cerdik. Melihat betapa kaisar telah mulai dewasa, dia lalu menggunakan seorang gadis muda peranakan Mongol, gadis cantik jelita yang masih terhitung keponakannya sendiri, untuk memikat hati kaisar. Untuk siasat ini, memang Wang Cin telah mempersiapkan segala-galanya untuk bertahun-tahun lamanya, bahkan semenjak kaisar itu naik tahta pada usia delapan tahun. Pada waktu itu, biarpun dia masih menjadi seorang thaikam rendahan saja, sudah ada rencana besar ini di dalam benaknya dan dia telah mendidik keponakannya itu yang baru berusia tujuh tahun, yang bernama Azisha, dengan amat cermat dan dia sengaja mendatangkan ahli-ahli pendidik sehingga Azisha menjadilah seorang dara yang selain cantik jelita, namun juga ahli dalam segala macam kesenian, bernyanyi, menari, pekerjaan tangan, melukis, bersajak, dan bahkan ahli pula dalam membawa diri untuk merayu!

Mula-mula, sebagai keponakan Wang Cin yang mulai meningkat pangkatnya, tentu saja keluarga kaisar tidak keberatan menerima seorang dara secantik Azisha sebagai dayang keraton. Akan tetapi, berkat kelihaian Wang Cin, maka thaikam yang licik ini mendekati kaisar yang mulai dewasa, menceritakannya tentang Azisha dan tentang kepandaian wanita-wanita Mongol dalam hal melayani pria, segala kecabulan yang membangkitkan berahi diceritakannya, dan akhirnya jatuhlah kaisar dalam pelukan Azisha yang biarpun masih seorang perawan, namun semenjak kecil telah dijejali pelajaran tentang bermain cinta dan merayu pria!

Demikianlah, dalam usia enam belas tahun saja kaisar sudah tergila-gila dan hampir tidak pernah dia dapat meninggalkan pelukan dan rayuan Azisha yang memang cantik jelita. Dan kepercayaannya terhadap Wang Cin bertambah, tentu saja atas bujukan Azisha, sehingga dalam tahun itu juga, yaitu tahun 1443, dia menyerahkan semua kekuasaan kepada Wang Cin! Wang Cin inilah yang menjadi penguasa yang sesungguhnya, yang memerintah dan mengatur pemerintahan, menerima laporan dan membagi-bagi perintah. Adapun Kaisar Ceng Tung hanya bersenang-senang dengan selirnya yang tercinta, mabok kemewahan, kesenangan dan berahi.

Para menteri yang setia menjadi amat khawatir menyaksikan perkembangan kekuasaan di istana ini. Mereka khawatir kalau-kalau terulang kembali dongeng-dongeng seperti yang terjadi dalam dongeng Hong-sin-pong, yaitu ketika Keisar Tiu-ong dirayu dan terjatuh ke dalam kekuasaan Tat Ki, seorang wanita cantik jelita yang amat kejam dan yang dalam dongeng disebut sebagai siluman rase! Mereka ini khawatir kalau-kalau kerajaan akan hancur di bawah kekuasaan Wang Cin yang tentu saja hanya mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya, padahal menurut penyelidikan para menteri setia, Wang Cin adalah keturunan Mongol!

Dan memang benarlah. Wang Cin adalah seorang keturunan Mongol, bahkan diam-diam dia menganggap dirinya sebagai “darah” keturunan Jenghis Khan yang maha besar, dan kini diam-diam dia merencanakan agar dialah yang membangkitkan kembali kebesaran nenek moyangnya itu, menjadi yang dipertuan di Kerajaan Beng-tiauw!

Sudah banyak menteri-menteri setia dan panglima-panglima tua, patriot-patriot setia yang telah mengabdi kepada kerajaan semenjak jaman Yung Lo menjadi kaisar, mohon menghadapi kaisar muda itu untuk kembali memegang sendiri urusan kerajaan, jangan sepenuhnya mewakilkan kepada Thaikam Wang Cin. Akan tetapi, semua peringatan ini tidak ada gunanya dan Kaisar Ceng Tung tetap saja terlena di dalam pelukan hangat Azisha yang cantik molek! Hanya baiknya, kaisar ini sama sekali tidak marah, bahkan menghibur para menteri dan jenderal itu agar jangan khawatir, karena dia yakin benar bahwa Wang Cin amat pandai mengatur pemerintahan dan juga amat setia kepadanya. Tentu saja para pembesar itu hanya menarik napas panjang dan selama Wang Cin tidak memperlihatkan sikap sewenang-wenang dan merusak, mereka percaya kepada kata-kata junjungan mereka yang mereka cinta itu.

Dan Wang Cin memang cerdik. Dia sama sekali bukan tidak tahu akan perasaan tidak senang dari para jenderal dan menteri tua, maka dia bertindak hati-hati sekali, bahkan bersikap cukup “adil” mengatur pemerintahan secara benar, bahkan dalam urusan-urusan khusus, dia tidak ragu-ragu untuk memanggil menteri-menteri atau jenderal-jenderal yang ahli untuk memberikan nasihat mereka. Sikap ini membuat para menteri yang setia itu kehabisan akal, bahkan diam-diam lalu menganggap bahwa pilihan kaisar mereka ternyata tepat, maka menipislah kekhawatiran hati mereka yang setia kepada kerajaan itu.

Demikianlah, tujuh tahun telah lewat semenjak kaisar muda itu terjatuh ke dalam pelukan Azisha yang cantik dan kini setelah usianya meningkat, yaitu dua puluh dua tahun, wanita itu menjadi makin matang dan makin menarik hati saja sehingga sampai usia dua puluh tiga tahun itu, kaisar belum juga mau menikah dan hanya mempunyai belasan orang selir yang jarang sekali menerima perintah melayaninya, kecuali apabila Azisha sedang berhalangan.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kesal dan kecewa hati Thaikam Wang Cin karena sampai tujuh tahun lamanya, biarpun dia telah memanggil segala macam ahli obat, pertapa, peramal dan dukun-dukun, biarpun Azisha berhasil melayani kaisar selama tujuh tahun hampir tak pernah berhenti, tetap saja tidak ada hasilnya dalam kandungan Azisha! Padahal, dia mengharapkan agar keponakannya itu yang juga seperti dia mempunyai darah keturunan Jenghis Khan, dapat memperoleh seorang putera dari kaisar agar dengan mudah dia mengusulkan supaya Azisha diangkat menjadi permaisuri dan puteranya atau cucu keponakannya darah Mongol, kelak menjadi kaisar dan dia yang menjadi perdana menterinya! Akan tetapi, si tolol Azisha, demikian dia sering memaki-maki keponakannya yang dianggapnya tidak “becus”, setelah tujuh tahun lamanya tetap saja tidak mempunyai anak! Karena itu, diapun tetap menjadi seorang thaikam, betapapun besar kekuasaannya. Tidak mungkin menjadi perdana menteri! Dan karena itu pula, harus diambil cara lain agar dia dapat menjadi penguasa sepenuhnya, bahkan kalau mungkin mengangkat diri menjadi kaisar!

Maka pada suatu hari, setelah diam-diam dia mengadakan hubungan dengan seorang datuk kaum sesat yang dikenalnya, yang bukan lain adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok agar menjadi pembantunya untuk berhasilnya rencana tarbesar yang diaturnya itu, Wang Cin dengan bantuan keponakannya, Azisha, membujuk kaisar untuk mengadakan pesiar dan sekalian melakukan “pembersihan” atau pemeriksaan ke daerah perbatasan Mongolia.

“Kekuasaan yang mulia tidak terbatas, akan tetapi hamba mendengar berita bahwa di perbatasan utara terdapat seorang kepala Suku Mongol yang memperlihatkan sikap menentang dan memberontak kedaulatan kerajaan paduka. Untuk memperlihatkan kebesaran paduka, hendaknya paduka mengerahkan pasukan dan menghajar gerombolan itu, dan sekalian paduka hamba persilakan untuk melihat kota kelahiran hamba dan tempat kelahiran keponakan hamba Azisha, yaitu di kota Huai-lai,” demikian Wang Cin berkata di antara bujukan-bujukannya.

“Hambapun sudah amat rindu akan kota kelahiran hamba itu, yang mulia,” Azisha berkata dengan suara merdu dan sikap manja. “Kalau paduka berkenan menginjakkan kaki paduka yang mulia di tanah kelahiran hamba, tentu hal itu akan mendatangkan rezeki besar bagi kota Huai-lai dan bagi hamba.”

Mula-mula Kaisar Ceng Tung tidak ada niat untuk pergi melakukan perjalanan itu, apalagi untuk menggempur Suku Bangsa Mongol yang memberontak sebaiknya diserahkan kepada angkatan perangnya. Akan tetapi dengan berbagai akal Wang Cin membujuk, dan terutama sekali bujuk rayu Azisha yang pandai pula mengucurkan air matanya kalau perlu, akhirnya kaisar menyatakan persetujuannya. Diam-diam dia terkesan juga oleh kesetiaan Wang Cin. Dia tahu bahwa Wang Cin dan Azisha adalah peranakan Mongol, akan tetapi kini Wang Cin mengusulkan untuk membasmi pemberontak Mongol. Hal ini baginya merupakan bukti betapa setianya Wang Cin kepadanya.

“Baiklah, Wang Cin. Dan karena engkau adalah seorang berasal dari perbatasan utara, tentu engkau lebih mengenal dan faham akan daerah itu. Oleh karena itu, kami mengangkatmu dalam rombongan ini sebagai komandan atau pemimpin tertinggi dari pasukan kita.”

Keputusan kaisar ini diumumkan dan tentu saja para jenderal tua menjadi terkejut bukan main dan merasa tersinggung sekali. Mereka adalah jenderal-jenderal yang telah puluhan tahun membela negara dan mengatur pasukan membersihkan musuh-musuh negara, akan tetapi di dalam rombongan pembersihan ke utara yang diikuti sendiri oleh kaisar, mengapa kaisar mengangkat seorang kebiri yang lemah dan dalam hal perang, sama sekali tidak mampu menggerakkan pedang apalagi mengatur barisan menjadi komandan atau panglima tertinggi? Hal ini dianggap penghinaan bagi mereka dan hampir saja terjadi tindakan kekerasan dari para jenderal, yaitu membunuh Wang Cin atau memberontak terhadap keputusan kaisar! Akan tetapi dua orang jenderal terkemuka yang sudah puluhan tahun mengabdi kepada negara, bahkan yang dahulu menjadi tangan kanan Jenderal Yung Lo yang kemudian menjadi kaisar, mencegah maksud rekan-rekannya itu. Dua orang jenderal ini adalah Jenderal Kho Gwat Leng, seorang jenderal yang bertubuh kurus kecil namun memiliki kegagahan dan wibawa luar biasa dan amat cerdik dan ahli dalam mengatur siasat perang. Dan kedua adalah Jenderal Tan Jeng Koan, seorang jenderal yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan berwatak jujur namun gagah perkasa seperti tokoh Thio Hui dalam cerita Sam Kok. Dua orang jenderal inilah yang melerai rekan-rekannya.

“Kita adalah perajurit-perajurit,” kata Jenderal Kho Gwat Leng yang sudah berusia enam puluh tahun lebih. “Seorang perajurit tugasnya adalah mempertahankan negara dari serbuan musuh luar. Baik atau buruk adalah negara kita dan junjungan kita, maka harus kita taati dan kita bela. Kalau junjungan kita kaisar menghendaki demikian, biarlah, dan kita mengamat-amati saja dan membela sampai titik darah terakhir. Lebih baik mati sebagai seorang perajurit pembela kaisar yang setia daripada hidup mulia sebagai pemberontak.”

“Kata-kata Kho-goanswe (Jenderal Kho) tidak meleset seujung rambutpun.” terdengar Jenderal Tan Jeng Koan berkata dengan suaranya yang mengguntur. “Sejak nenek moyang kami, semua adalah perajurit dan kami tidak akan mencampuri urusan negara kecuali ada yang mengancam keselamatan kaisar, itulah tugas kami.”

Anehnya, dan hal ini juga menggirangkan hati para jenderal itu, Wang Cin yang diangkat menjadi panglima tertinggi justeru memilih para jenderal tua yang setia ini untuk membantunya memimpin pasukan besar! Terobatilah kekecewaan mereka dan lenyap pula keraguan dan kecurigaan hati mereka.

Maka berangkatlah pasukan besar itu mengiringkan rombongan kaisar yang berada di dalam kereta bersama selirnya tercinta, Azisha dan beberapa orang selir lain di samping Wang Cin sebagai panglima perang yang berpakaian gagah biarpun gerak-geriknya seperti seorang wadam! Wang Cin mempunyai belasan orang pengawal pribadi dan di antara mereka ini, tanpa ada yang mengetahuinya, terdapat Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok, Sin-ciang Siauw-bin-sian, Liok-te Sin-mo Gu Lo it yang sudah menggabung setelah kekalahannya yang besar di Ngo-sian-chung, dan Bouw Thaisu! Adapun Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw telah berangkat lebih dulu sebagai utusan rahasia dari Wang Cin untuk menghubungi kepala suku pemberontak Mongol di perbatasan Mongolia! Bersama Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw, berangkat pula Go-bi Sin-kouw!

Kita tinggalkan dulu pasukan besar yang mewah di bawah pimpinan Panglima Besar Wang Cin yang dibantu oleh jenderal-jenderal tua di bawah pimpinan Jenderal Kho Gwat Leng dan Tan Jeng Koan yaitu sebanyak delapan orang yang terkenal sebagai Delapan Jenderal Besar bekas pembantu-pembantu Jenderal Yung Lo, dan mari kita menengok keadaan di perbatasan Mongol.

Memang keterangan Wang Cin benar bahwa di perbatasan itu, di sepanjang tembok besar, bahkan di sebelah dalam tembok besar, terdapat Suku Bangsa Mongol yang dipimpin oleh seorang ketua yang tidak pernah mau tunduk terhadap kedaulatan Pemerintah Beng. Akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan bahwa sesungguhnya ketua pasukan ini adalah seorang yang telah dihubunginya, bahkan yang diam-diam menjadi semacam sekutunya, sungguhpun ketua Suku Mongol ini tidak pernah bertemu dengannya dan hanya mengadakan hubungan melalui kurir belaka.

Siapakah ketua Suku Bangsa Mongol ini? Dia adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, seorang yang benar-benar amat gagah perkasa, bertubuh seperti seekor singa dan dia benar-benar pantas menjadi seorang pemimpin suku bangsa yang hidupnya berkelana dan selalu menghadapi banyak kesulitan itu. Kepala suku ini namanya Sabutai, seorang gagah dan merupakan keturunan dari Jenderal Sabutai dari jaman Goan, yaitu ketika Bangsa Mongol sedang jaya-jayanya menguasai seluruh Tiongkok. Sabutai ini adalah seorang gagah perkasa yang memiliki kepandaian tinggi, karena gurunya, yaitu dua orang kakek dan nenek yang jarang terlihat orang, lebih menyerupai iblis daripada manusia!

Dahulu, di waktu Panglima Beser The Hoo masih sering mengadakan pembersihan keluar daerah, bahkan ketika Panglima Besar The Hoo memimpin armada berlayar sampai jauh ke selatan, di Sailan Panglima The Hoo pernah bentrok dengan dua orang jagoan, laki-laki dan perempuan yang berilmu tinggi. Akan tetapi berkat kepandaian Panglima The Hoo yang amat sakti, dua orang jagoan Sailan yang suka mengganas itu dapat dikalahkan, dan biarpun dapat melarikan diri, namun diduga tentu akan tewas karena telah menerima pukulan-pukulan sakti dari Panglima The Hoo. Akan tetapi, orang salah duga, karena mereka itu tidak mati, biarpun nyaris mati dan setelah mereka sembuh namun tubuh mereka keracunan oleh hawa beracun mereka yang membalik dan memukul diri sendiri, mereka lalu bertapa sampai puluhan tahun lamanya dan tahu-tahu mereka kini menjadi kakek dan nenek yang muncul di perbatasan utara, menjadi guru Sabutai dan mereka hendak membalas kepada Beng-tiauw! Kini, mereka hanya dikenal sebagai Pek-hiat Mo-ko (Iblis Jantan Darah Putih) dan Hek-hiat Mo-li (Iblis Betina Darah Hitam).

Sudah lama Sabutai mengincar ke selatan. Akan tetapi biarpun dia seorang berilmu tinggi dan yang pandai pula mengatur siasat perang, namun dia maklum bahwa dengan kekuatan pasukannya seperti sekarang ini, melakukan serbuan ke selatan hanya merupakan bunuh diri belaka. Oleh karena itu, dia selalu menanti kesempatan baik, dan setelah ada usaha dari Thaikam Wang Cin untuk mengadakan kontak dengan dia, tentu saja dia terima dengan baik. Penerimaan persekutuan rahasia ini hanya dia lakukan demi terlaksananya cita-citanya, karena sesungguhnya di dalam hatinya, orang gagah perkasa ini merasa muak terhadap Wang Cin, apalagi ketika dia mendengar akan segala sepak terjang Wang Cin di istana musuh-musuhnya itu. Dia menganggap orang macam Wang Cin amat berbahaya dan rendah, dan kalau saja dia tidak melihat kegunaan persekutuan ini sebagai jalan tercapainya cita-citanya, dia akan merasa suka sekali membunuh orang seperti thaikam itu dengan jari-jari tangannya sendiri yang amat kuat dan dahsyat!

Pada suatu malam, Sabutai duduk termenung di dalam kamarnya. Dia mempunyai seorang isteri yang amat cantik, seorang puteri Suku Bangsa Khitan yang mempersembahkan dirinya atas perintah kepala Suku Khitan kepadanya. Puteri ini masih muda, baru delapan belas tahun usianya dan sudah tiga tahun menjadi isterinya. Namun, yang membuat Sabutai kecewa adalah mengapa isterinya itu belum juga mengandung. Betapapun juga, dia amat mencinta isterinya dan dia tidak mau mengambil selir. Selain kekecewaan tidak mempunyai putera, juga dia tahu bahwa isterinya itu sesungguhnya tidak cinta kepadanya, dan hanya terpaksa saja menjadi isterinya. Semua sikap manis isterinya itu hanya demi kewajiban saja, dia memiliki tubuh isterinya, akan tetapi tidak memiliki hatinya. Hal inipun kadang-kadang membuat pria yang jantan dan gagah ini merasa kecewa dan berduka karena dia sungguh-sungguh mencinta Khamila, isterinya yang cantik rupawan itu.

Sabutai termenung dan di tangannya dia memegang sehelai surat yang diterimanya dari Wang Cin, pembesar thaikam yang pada waktu itu sedang berkuasa dan mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Beng. Surat itu dibawa oleh utusan Wang Cin, yaitu tiga orang tokoh berilmu tinggi Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Go-bi Sin-kouw. Mereka diterima sebagai tamu-tamu agung dan diberi kamar-kamar yang mewah untuk tempat menginap.

Sudah berjam-jam lamanya Sabutai duduk termenung dengan surat itu di dalam tangannya. Dadanya terasa panas, kebenciannya terhadap Wang Cin memuncak ketika dia membaca betapa di dalam surat itu Wang Cin menerangkan siasatnya yang memancing rajanya sendiri ke utara untuk “diserahkan” kepada Sabutai! Sabutai adalah seorang gagah perkasa dan tentu saja dia amat membenci seorang pengkhianat besar macam Wang Cin. Akan tetapi, diapun melihat kesempatan baik sekali untuk membangun kembali kekuasaan Bangsa Mongol, maka dia termenung dan menggunakan kepala dingin untuk mengatur siasat. Menurut surat Wang Cin, orang kebiri itu akan sengaja menjerumuskan kaisar dan pasukan-pasukan pengawalnya agar dihancurkan oleh Sabutai, kaisarnya dan semua pengawal kaisar yang setia dibinasakan, kemudian dia akan kembali ke kota raja dan diam-diam akan mengatur dari dalam untuk membantu barisan Mongol yang dipimpin Sabutai menyerbu kota raja, kemudian setelah dapat merampas kota raja, Wang Cin akan mengangkat diri menjadi kaisar sebagai seorang yang berdarah keturunan Jenghis Khan dan Sabutai tentu saja akan menerima bagian yang layak!

“Si keparat...!” Sabutai memaki di dalam hatinya. “Seorang, pengkhianat dan pengecut seperti dia, seorang yang sudah kehilangan kejantanannya, seorang kebiri yang berhati palsu, berani mengaku sebagai darah keturunan Jenghis Khan yang besar?” Dia merasa muak akan tetapi demi tercapainya cita-citanya untuk menyerbu ke selatan, cita-cita yang sudah dipupuk selama bertahun-tahun, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Tiba-tiba dia bertepuk tangan dan muncullah beberapa orang pengawalnya dari tempat-tempat tersembunyi. Sabutai lalu memerintahkan mereka untuk memanggil para pembantunya agar berkumpul di situ pada malam itu juga karena ada hal yang amat penting untuk dirundingkan.

Menjelang tengah malam, berkumpullah belasan orang pembantunya yang merupakan bekas kepala-kepala suku yang telah ditaklukannya dan yang kini menjadi para pembantunya. Setelah memerintahkan para pengawalnya untuk menjaga kamar-kamar tamu sehingga dia yakin bahwa perundingan itu tidak akan diintai dan didengarkan oleh tiga orang utusan yang dia tahu bukan orang-orang sembarangan itu, Sabutai lalu mengajak para pembantunya untuk berunding dan mengatur siasat untuk menghadapi uluran tangan Wang Cin yang khianat itu. Akhirnya, sampai hampir pagi, mereka telah bersepakat untuk mempergunakan pengkhianatan Wang Cin itu untuk memperoleh keuntungan, akan tetapi tentu saja Sabutai tidak sudi untuk selanjutnya mengadakan persekutuan dengan thaikam yang dianggapnya amat licik, curang dan berbahaya itu.

Pada keesokan harinya, setelah menjamu tiga orang utusan itu, Sabutai lalu menyerahkan surat balasannya dan kepada Wang Cin dia menjanjikan untuk menyambut dan menghancurkan kaisar dan pasukannya di dekat Huai-lai, lewat lembah Nan-kouw. Surat balasan itu dibawa sendiri oleh Hwa Hwa Cinjin untuk disampaikan kepada Wang Cin pribadi, sedangkan dua orang nenek, Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, tinggal di markas Mongol yang dipimpin oleh Sabutai itu. Sabutai lalu membuat persiapan, mengumpulkan kekuatan barisan yang besar jumlahnya, kemudian dia memimpin sendiri seluruh barisan itu menuju ke selatan, melalui pegunungan yang sukar dan gurun-gurun pasir yang luas, melewati tembok besar dan bersembunyi di sekitar kota Huai-lai, di sepanjang lembah Nan-kouw untuk menanti datangnya rombongan kaisar seperti yang dimaksudkan dalam surat Wang Cin.

Di daerah padang rumput tak jauh dari tembok besar, di lereng pegunungan utara, pada pagi itu penuh dengan serombongan suku bangsa perantau yang terdiri dari campuran Bangsa Mancu dan Khitan. Mereka ini adalah Bangsa Nomad yang hidup dari peternakan dan mereka menggembala kuda yang baik untuk dijual ke daerah selatan. Kelompok keluarga yang terdiri dari hampir dua ratus orang ini menggiring ribuan ekor kuda pilihan dan mereka berhenti di tempat itu karena tempat itu amat subur rumputnya sehingga merupakan tempat peristirahatan yang amat baik.

Telah tiga hari lamanya mereka memasang perkemahan di padang rumput ini. Akan tetapi pada pagi hari ketiga itu tampak kesibukan dan kegelisahan di antara mereka ketika terdapat laporan bahwa dua orang penggembala kedapatan menggeletak, yang seorang tewas dan seorang lagi terluka parah sedangkan lebih dari seratus ekor kuda lenyap di malam itu.

Agaknya orang kedua itupun telah ditinggalkan karena disangka telah mati oleh para penyerangnya, dan orang inilah yang bercerita kepada kawan-kawan dan pemimpin mereka. Ternyata malam tadi, lewat tengah malam di waktu keadaan amat sunyi dan dingin, tiba-tiba muncul belasan orang bertopeng yang langsung menyerang mereka. Mereka berdua melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi akhirnya mereka roboh dan orang yang terluka parah dan disangka tewas pula itu hanya dapat melihat betapa belasan orang itu menggiring dan melarikan seratus ekor kuda yang mereka curi itu.

Tentu saja rombongan itu menjadi marah sekali. Siapa yang begitu berani mati mencuri kuda mereka di tempat terbuka seperti itu? Penjagaan dilakukan dengan ketat di malam-malam berikutnya karena biasanya, pencuri-pencuri kuda itu tidak akan puas sebelum dapat mencuri habis ribuan ekor kuda yang berharga mahal itu. Dengan bergilir mereka melakukan penjagaan di malam hari.

Malam berikutnya tidak terjadi sesuatu, akan tetapi dua hari kemudian, pada malam kedua semenjak peristiwa pencurian dan pembunuhan itu, tiba-tiba mereka diserbu oleh sedikitnya tiga puluh orang bertopeng yang rata-rata memiliki ketangkasan dan gerakan yang terlatih. Terjadilah pertempuran hebat dan keluarga rombongan itu tentu saja menjadi panik. Jerit dan tangis terdengar di antara teriakan-teriakan kemarahan dari mereka yang bertempur di bawah penerangan obor-obor dan api unggun.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Maling-maling kuda yang hina!” Dan muncullah seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana akan tetapi bersih, berwajah gagah dan sekaligus membayangkan kelembutan, bahkan bentakannya tadi biarpun nyaring dan menggetarkan jantung, namun suaranya halus. Akan tetapi, begitu dia muncul dan menggerakkan kedua tangannya, empat orang bertopeng jatuh tunggang langgang! Para perampok atau pencuri kuda itu menjadi terkejut dan marah. Mereka maklum bahwa kakek ini bukanlah anggauta rombongan peternak atau pedagang kuda itu, melainkan seorang yang dari kata-katanya sudah diketahui datang dari selatan. Maka pemimpin perampok yang terdiri dari tiga orang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata golok besar yang amat berat dan tajam, menggereng dan sekaligus tiga orang ini menerjang kakek itu dengan golok mereka, serentak menyerang dari tiga jurusan, yaitu depan, kiri dan kanan.

“Singg...singg...wuuuutttt...!” Tiga batang golok itu berdesing dan menyambar dengan kuat dan cepat sekali. Akan tetapi, kakek itu tetap saja berdiri tegak dan tenang seolah-olah tidak tahu bahwa ada bahaya maut mengancam nyawanya dari tiga jurusan. Akan tetapi, begitu tiga batang golok itu menyambar dekat, kakek itu kelihatan menggerakkan kedua tangan dan kaki kirinya dan...sungguh luar biasa sekali. Sukar diikuti pandang mata apa yang telah dilakukan oleh kaki kiri dan kedua tangan kakek itu, akan tetapi tahu-tahu penyerang dari depan mencelat goloknya dan orangnya roboh dan mengaduh-aduh, sedangkan dua orang penyerang dari kanan kiri terampas goloknya dan roboh pula! Kiranya kakek yang luar biasa itu menggunakan kakinya menendang pergelangan tangan penyerang dari depan dan dilanjutkan dengan gerakan kaki menendang lutut, sedangkan kedua tangannya dengan cepat sekali tadi telah menangkap golok itu, lalu mengangkat golok itu ke atas, kemudian menggunakan kedua sikunya menghantam dada kedua orang penyerang kanan kiri. Semua gerakannya itu dilakukan dengan cepat dan kelihatan demikian mudahnya, padahal tiga orang pimpinan perampok itu adalah orang-orang kuat yang memiliki ilmu silat lumayan! Apalagi menangkap golok dengan tangan telanjang begitu saja, benar-benar membuktikan betapa kakek itu adalah seorang yang amat luar biasa!

Melihat betapa dalam segebrakan saja tiga orang pimpinan mereka roboh, bukan main kagetnya para perampok bertopeng itu dan tanpa dikomando lagi larilah mereka cerai-berai dan menghilang di dalam kegelapan malam. Dua orang yang roboh oleh kakek tadi, yang menyerang dari kanan kiri, juga sudah serentak meloncat bangun dan melarikan diri, akan tetapi peyerang dari depan yang kena tendang lututnya ketika bangkit berdiri, roboh terguling lagi dan mengeluh.

Para anggauta rombongan cepat mengepungnya dan beberapa batang senjata tajam sudah digerakkan, agaknya dalam kemarahan mereka, orang-orang itu hendak membunuh pemimpin para perampok bertopeng itu.

“Tahan, jangan bunuh dia!” Kakek itu berkata, suaranya halus namun penuh wibawa sehingga orang-orang yang sudah mengangkat senjata itu mundur dan memandang kepada kakek itu dengan heran. Kakek ini datang dari mana tidak ada orang yang tahu, datang-datang telah memperlihatkan kepandaian membantu mereka mengalahkan perampok, akan tetapi sekarang melarang mereka untuk membunuhnya. Sungguh aneh!

Yalu, pemimpin Suku Nomad campuran, seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang gagah, cepat menghampiri kakek itu dan berkata dengan lantang, “Locianpwe telah membantu kami mengusir perampok, akan tetapi mengapa mencegah kami membunuh kepala perampok ini?”

Mendengar orang tinggi besar muka hitam ini pandai berbahasa Han, kakek itu tersenyum dan berkata tenang, “Mereka telah dapat diusir dan orang ini tidak dapat melarikan diri karena sambungan lututnya terlepas. Haruskah kita membunuh lawan yang sudah tidak berdaya?”

“Locianpwe, harap suka mengampuni saya,” tiba-tiba orang itu berkata dan membuka topengnya. Kiranya dia adalah seorang Han pula yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun.

Kakek itu mengerutkan alisnya, nampaknya tidak senang melihat orang Han sampai begitu merendahkan diri menjadi pencuri atau perampok kuda, sedangkan yang dirampoknya adalah rombongan suku bangsa yang miskin!

“Hemm, tidak malukah engkau dengan perbuatanmu yang hina ini?” bentaknya.

“Maaf...kami...kami bukanlah pencuri-pencuri kuda biasa...akan tetapi, kami adalah anggauta pasukan Raja Muda Sabutai yang memerintahkan kami mencari kuda untuk memperlengkapi pasukan-pasukan kami...”

“Ahhhh...!” Yalu, kepala rombongan itu terkejut bukan main. “Raja Muda Sabutai terkenal sebagai seorang gagah perkasa yang hanya memusuhi Pemerintah Beng di selatan dan selamanya tidak pernah mau mengganggu suku bangsa di utara, apalagi mencuri kuda kami.”

“Maafkan kami, kawan...” orang itu berkata dengan muka merah, “kami telah bersalah... akan tetapi karena pasukan Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan kekuatan menyeberang ke lembah Nan-kouw...” Tiba-tiba orang itu berhenti bicara.

”Lanjutkan ceritamu dan aku akan membebaskan engkau.” Kakek itu berkata dan matanya memandang tajam sehingga orang itu menjadi ketakutan.

“Saya... saya tidak boleh bicara tentang itu...”

“Engkau sudah terlanjur bicara dan para sahabat ini hanyalah rombongan pedagang kuda, kami hanya ingin tahu apa yang terjadi di daerah ini, Raja Muda Sabutai sedang mengerahkan pasukannya ke lembah Nan-kouw? Apakah keperluannya? Hayo katakan, keteranganmu itu sebagai penebus nyawamu.”

Dengan muka pucat ketakutan orang itu berkata, “Barisan kami... akan... menyergap rombongan Raja Beng-tiauw yang akan lewat di sana...”

“Hemmmm...!” Kakek itu mengangguk-angguk. “Dari mana Raja Muda Sabutai dapat mengetahui bahwa rombongan kaisar akan lewat ke sana?”

“Hamba...saya mana tahu...? Hanya beritanya, ada datang tiga orang utusan dari selatan... dan raja muda kami lalu mempersiapkan barisan, kami ditugaskan untuk mengumpulkan kuda sebanyaknya guna perlengkapan...”

“Tiga orang utusan itu, siapa namanya?” Kakek yang aneh itu mendesak terus.

“Saya tidak tahu semua, hanya tahu bahwa yang kakek-kakek berjuluk Hwa Hwa Cinjin, sedangkan dua orang nenek lagi entah siapa...”

“Sudahlah, kau boleh pergi,” kakek itu berkata dan dengan terpincang-pincang pemimpin para pencuri kuda itu pergi meninggalkan tempat itu.

“Locianpwe, orang jahat seperti dia bagaimana dibebaskan begitu saja? Dan dia adalah anak buah Raja Muda Sabutai yang sedang melakukan kejahatan terhadap kaisar!” Yalu, pemimpin rombongan itu berkata, alisnya berkerut tanda tidak setuju.

Kakek itu memandang tajam. “Kalian tidak menyetujui tindakan Sabutai itu?”

“Tentu saja tidak! Kami bukan bangsa pemberontak, bahkan perbuatan Sabutai itu akan mencelakakan kami, karena pekerjaan kami berdagang kuda dengan orang-orang selatan di sebelah dalam tembok besar tentu tak mungkin dilanjutkan. Celakanya, kami tentu akan dianggap sekutu Sabutai dan akan dihukum pula oleh barisan Beng?”

“Bagus! Kalau begitu mari kita menentangnya dan kita menyelamatkan kaisar. Dengan demikian kaisar akan dapat membedakan siapa yang baik dan siapa yang jahat. Aku akan memimpin kalian melindungi kaisar sebelum terlambat.”

Yalu dan teman-temannya saling pandang dan mereka meragu, kemudian Yalu bertanya, “Siapakah locianpwe yang berilmu tinggi dan hendak membela kaisar ini?”

Kakek itu berkata sederhana, “Aku adalah ketua dari Cin-ling-pai, namaku Cia Keng Hong dan sejak dahalu aku sudah sering kali membantu kaisar dan bekerja sama dengan mendiang Panglima The Hoo.”

Yalu mengeluarkan teriakan girang, demikian pula para anak buahnya. “Locianpwe sahabat mendiang Panglima Besar The Hoo? Ah, kalau begitu kami telah bersikap kurang hormat.” Dan serta-merta Yalu dan anak buahnya menjatuhkan diri berlutut. “Hendaknya locianpwe ketahui bahwa kami dan ayah-ayah kami dahulu pernah membantu beliau ketika melawat ke utara. Harap locianpwe jangan khawatir, kami akan mengumpulkan teman-teman dan membantu locianpwe menolong dan melindungi kaisar, menentang Raja Muda Sabutai yang berniat memberontak.”

Tentu saja ketua Cin-ling-pai, Pendekar Sakti Cia Keng Hong menjadi girang. Seperti kita ketahui, kakek Cia Keng Hong yang mendengar penuturan puterinya, Cia Giok Keng, bahwa Lima Bayangan Dewa yang telah dapat ditewaskan dua di antaranya itu dibantu oleh tokoh-tokoh lihai, lalu turun gunung untuk menghadapi musuh-musuh tangguh itu dan untuk mencari kembali pusaka Cin-ling-pai yang hilang, yaitu pedang Siang-bhok-kiam. Dalam perjalanannya menyelidik, dia mendengar bahwa musuh-musuhnya itu pergi ke kota raja dan kemudian dia menyusul, dia mendengar pula bahwa mereka itu bergabung dengan rombongan kaisar yang melakukan perlawatan ke utara. Tentu saja dia menjadi heran sekali mendengar bahwa musuh-musuhnya itu bergabung dengan rombongan kaisar. Timbullah kekhawatirannya, karena dianggapnya sebagai hal yang tidak wajar dan mencurigakan kalau musuh-musuhnya itu kini bekerja sebagai pengawal-pengawal kaisar. Karena itu, diapun menyusul ke utara dan kebetulan dia bertemu dengan rombongan pedagang kuda yang dipimpin oleh Yalu dan mendengar keterangan yang amat berguna dari pemimpin para pencuri kuda. Kini dengan hati penuh kekhawatiran, pendekar itu dapat menduga bahwa masuknya para musuhnya dalam rombongan kaisar tentu ada hubungannya dengan gerakan Sabutai dan bahwa kaisar tentu terancam bahaya besar, sungguhpun dia mendengar pula bahwa kaisar dikawal oleh pasukan yang dipimpin oleh para jenderal tua yang setia, di antaranya adalah Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan yang dia tahu merupakan jenderal-jenderal yang amat setia dari Kerajaan Beng.

Mengingat akan mendiang Panglima The Hoo yang mereka hormati dan junjung tinggi, Yalu dan kawan-kawannya lalu mulai mengumpulkan Suku-suku Bangsa Nomad di utara untuk bergabung dengan mereka menentang Sabutai dan menolong Kaisar Beng-tiauw yang terancam bahaya.

Sementara itu, rombongan Kaisar Ceng Tung sudah meninggalkan kota raja menuju ke utara. Perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan-pegunungan yang terjal, hutan-hutan yang liar dan daerah-daerah yang tandus. Dari permulaannya saja pasukan-pasukan yang mengawal rombongan kaisar ini sudah terlantar, perlengkapannya kurang dan juga ransumnya kurang karena Thaikam Wang Cin yang diangkat menjadi panglima komandan pasukan pengawal ini melarang membawa perlengkapan terlalu banyak. “Di utara banyak dusun yang harus menunjukkan darma bhakti dan kesetiaannya kepada pemerintah. Perlu apa kita membawa banyak perbekalan?” demikian bantahnya ketika para jenderal mengajukan usul. “Hal itu hanya akan menimbulkan ketidaksenangan mereka karena seolah-olah kita tidak percaya kepada mereka.”

Biarpun alasan Wang Cin ini agaknya masuk di akal, namun sudah diperhitungkan oleh Wang Cin bahwa kaki tangannya di utara tentu sudah bergerak dan berusaha agar rombongan kaisar tidak mendapat ransum di utara, apalagi pada waktu itu musim panen belum tiba.

Kaisar sendiri, yang masih muda dan belum berpengalaman, apalagi yang sejak dewasa terus dibuai dalam rayuan Azisha yang cantik jelita, terseret oleh arus kenikmatan permainan cinta dengan selirnya itu yang sesungguhnya hanya merupakan pemuasan nafsunya sendiri belaka sehingga kaisar itu tidak tahu apa-apa. Di dalam perjalanan inipun Kaisar Ceng Tung selalu berada dalam pelukan selirnya, berdua di dalam kereta, dan kadang-kadang ditemani oleh Wang Cin yang pandai menghibur hati kaisar seolah-olah perjalanan itu merupakan tamasya yang amat menyenangkan. Kaisar sama sekali tidak tahu betapa pasukan pengawalnya menghadapi perjalanan yang amat sukar, dan betapa para jenderal tua yang setia itu selalu merasa gelisah kalau-kalau terjadi hal-hal yang tidak diharapkan menimpa rombongan ini sehingga membahayakan keselamatan kaisar.

Setelah melalui perjalanan yang amat lama dan amat melelahkan bagi para anggauta pasukan pengawal, akan tetapi amat menyenangkan bagi kaisar dan selirnya, dan amat menegangkan bagi Wang Cin yang mengharapkan terjadinya peristiwa hebat yang selain akan merubah jalannya sejarah juga akan mengangkatnya ke tingkat teratas sesuai dengan yang selama ini dicita-citakannya, rombongan itu tiba di kaki Pegunungan Nan-kouw dan di padang rumput mereka berkemah untuk melewatkan malam itu di situ dan memberi waktu kepada pasukan untuk beristirahat.

Malam itu, delapan jenderal tua yang dipimpin oleh Jenderal Kho Gwat Leng dan Jenderal Tan Jeng Koan menghadap Wang Cin yang sedang mengadakan perundingan dengan para pengawal pribadinya termasuk tiga orang dari Lima Bayangan Dewa dan Bouw Thaisu yang lihai. Kedatangan delapan jenderal itu mengejutkan Wang Cin dan para pengawalnya otomatis bangkit dari kursi masing-masing dan oleh isyarat Wang Cin mereka itu berdiri di pinggir, selalu siap membela majikan mereka. Dengan muka manis Wang Cin mempersilakan para jenderal mengambil tempat duduk di dalam perkemahannya itu dan menanyakan maksud kedatangan mereka.

“Wang-taijin, kami datang untuk mengajukan usul kepada taijin,” Jenderal Gwat Leng yang bertubuh kecil kurus itu berkata.

“Hemm, tentu baik saja, Kho-goanswe. Segala macam usul demi kebaikan kita semua tentu saja kami sambut dengan gembira,” jawab orang kebiri yang memperoleh kedudukan tinggi itu.

“Wang-taijin, kami semua telah melihat bahwa amat perlu perjalanan ini ditunda di sini sampai sedikitnya tiga hari,” kata Jenderal Kho Gwat Leng.

“Ah, tidak mungkin!” Wang Cin berseru penasaran. “Kota Huai-lai sudah dekat, mengapa setelah hampir tiba di tempat tujuan lalu ditunda?”

“Wang-taijin,” kata Jenderal Tan Jeng Koan yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan suaranya mengguntur itu. “Di depan adalah Lembah Nan-kouw yang terkenal sulit dilalui, juga tempat itu amat berbahaya apabila terdapat fihak musuh yang menghadang kita.”

“Hemm, Tan-goanswe, siapakah yang berani menghadang rombongan kaisar? Pula, andaikata ada penjahat yang bosan hidup berani mengganggu, apa artinya ada pasukan besar pengawal yang dipimpin oleh delapan pahlawan Beng yang tersohor?”

“Maaf, Wang-taijin,” Jenderal Kho Gwat Leng yang lebih halus sikapnya itu berkata. “Ucapan Tan-goanswe benar, dan juga pendapat Wang-taijin benar pula bahwa andaikata ada musuh menghadang, kami sudah siap menghadapinya. Akan tetapi, pasukan kita sudah amat lelah dan perbekalan sudah hampir habis, bahkan kami hampir kehabisan air, padahal perjalanan di depan melalui daerah pegunungan tandus yang sukar mencari air. Sebaiknya, kita menunda perjalanan selama dua tiga hari untuk menambah perbekalan, terutama ransum dan air.”

Wang Cin menggeleng-geleng kepalanya dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Dengan menggendong kedua tangan di bawah punggung dan menggeleng kepala, lalu berkata setelah kemudian duduk menghadapi delapan orang jenderal itu. “Tidak, tidak! Tidak ada perlunya itu. Sri baginda kaisar tentu akan kesal hatinya kalau perjalanan dihentikan sampai tiga hari. Kita berangkat besok pagi, melewati pegunungan dan Lembah Nan-kouw dan setelah tiba di Huai-lai, barulah kita berhenti, mengaso dan makan sepuasnya. Apakah perajurit-perajurit Beng begitu lemahnya dan mementingkan makan dan minum saja?”

Mendengar ini, Jenderal Tan Jeng Koan mengepal tinju dan sudah hampir mendampratnya, akan tetapi Jenderal Kho Gwat Leng cepat memberi isyarat sehingga jenderal tinggi besar itu menahan kemarahannya.

“Terserah kepada Wang-taijin yang menjadi komandan pasukan, akan tetapi kalau sampai terjadi hal-hal yang merugikan kita, jangan lupa bahwa kami sudah memberi peringatan,” kata pula Jenderal Kho yang maklum bahwa berdebat melawan orang yang sudah dipercaya penuh oleh kaisar ini akan percuma saja. Para jenderal ini adalah bekas panglima-panglima pembantu Panglima Besar The Hoo dan sudah mengabdi sejak jaman Kaisar Yung Lo. Seperti umumnya para panglima kuno, kesetiaan mereka terhadap kaisar adalah mutlak, dengan membuta dan keputusan apapun yang diambil oleh Kaisar merupakan perintah yang akan mereka pertahankan dengan pertaruhan nyawa, sungguhpun kesadaran mereka membuat mereka maklum betapa kelirunya keputusan itu sekalipun! Para jenderal ini tentu saja maklum akan keadaan kaisar muda yang berada di bawah pengaruh Wang Cin itu, akan tetapi mereka tidak berani membantah keputusan kaisar, dan betapapun juga Wang Cin telah diangkat oleh kaisar menjadi komandan pasukan, menjadi atasan mereka yang harus mereka patuhi!

Diam-diam para jenderal yang sudah berpengalaman dan merupakan ahli-ahli perang yang telah puluhan tahun memimpin pasukan itu, telah menyebar penyelidik menyusup ke depan dan menyelidiki keadaan Pegunungan Nan-kouw yang menghalang di depan. Pada pagi harinya, hanya ada empat orang di antara dua puluh penyelidik itu yang kembali ke perkemahan, dan mereka inipun berada dalam keadaan luka-luka parah. Dengan lemah mereka memberi laporan bahwa pegunungan itu penuh dengan barisan musuh yang dipimpin sendiri oleh Sabutai, pemberontak Mongol yang amat tersohor keberaniannya itu. Berita ini tentu saja mengejutkan para jenderal dan kembali mereka membujuk Wang Cin untuk mencari perbekalan lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan.

”Kami sanggup mengawal kaisar sampai ke manapun, dan kita memang tidak perlu takut menghadapi para pemberontak liar itu,” kata Jenderal Tan Jeng Koan dengan suara nyaring. “Akan tetapi karena mereka tentu melakukan perang gerilya, maka pertempuran akan makan waktu lama. Tanpa perbekalan yang cukup, terutama sekali air minum, kedudukan kita dapat berbahaya.”

“Aahhhh, laporan para pengecut itu mengapa mengecilkan hati goanswe? Kalau cu-wi (anda sekalian) takut, biarlah saya sendiri yang memimpin pasukan menggempur perampok-perampok laknat itu! Justeru di depan kehadiran sri baginda, mereka berani mengacau, maka harus dibasmi sampai ke akarnya! Sekarang juga kita harus menyerang ke Nan-kouw dan menghancurkan mereka!” Wang Cin berkata dengan muka merah karena diam-diam dia marah sekali bahwa para jenderal itu telah menyebar mata-mata tanpa dia ketahui dan timbul kekhawatirannya bahwa rencananya akan gagal.

Kembali para jenderal itu tidak dapat membantah dan mereka lalu berunding, kemudian mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaga menghadapi pasukan pemberontak Mongol yang menghadang mereka di Pegunungan Nan-kouw.

Demikianlah, pada hari itu juga pasukan Beng-tiauw yang mengawal rombongan kaisar itu melanjutkan perjalanan mendaki Pegunungan Nan-kouw. Untuk menjaga keselamatan kaisar, kereta yang ditumpangi oleh kaisar dan selirnya tercinta itu berada di tengah-tengah, didahului oleh pasukan pengawal yang dipimpin sendiri oleh empat orang jenderal, sedangkan di belakangnya diiringkan oleh pasukan yang dipimpin oleh empat orang jenderal lainnya. Delapan orang jenderal itu sudah bersepakat untuk melindungi kaisar sedemikian rupa sehingga sebelum orang terakhir tewas, tak mungkin musuh akan dapat mendekati kaisar. Penjagaan yang mengelilingi kaisar dilakukan berlapis-lapis dan diatur secara ketat sekali.

Hal yang memang sudah diduga-duga dan dikhawatirkanpun terjadilah. Menjelang tengah hari, mulailah pasukan Sabutai menyerang, mula-mula penyerangan itu dilakukan dari arah kiri. Sebagian pasukan pengawal menyambut dan selagi perang terjadi, muncul pasukan musuh menyerang dari kanan, kemudian bertut-turut musuh bermunculan dari depan dan belakang! Mereka telah mengurung rombongan kaisar!

Akan tetapi karena delapan orang jenderal itu sudah bersiap-siap sebelumnya, penyerangan bertubi-tubi dari empat penjuru ini tidak mengacaukan pertahanan pasukan pengawal kaisar. Perlawanan dilakukan dengan baik, dan Jenderal Kho Gwat Leng sendiri yang memimpin pembuatan sebuah perkemahan di tengah-tengah pertahanan mereka untuk kaisar, selirnya, dan para pelayan kaisar. Dengan kata-kata penuh semangat Jenderal Kho membesarkan hati kaisar dan menghiburnya sehingga kaisar tidaklah begitu khawatir biarpun tahu bahwa ada pasukan pemberontak menyerang karena dia percaya penuh akan kemampuan delapan orang jenderalnya.

Perang terjadi dengan hebatnya dan berkat kemampuan delapan orang jenderal yang mahir ilmu perang itu, biarpun jumlah musuh jauh lebih banyak, namun setelah bertempur sampai hari berganti malam, fihak penyerbu dapat dipukul mundur dan mereka melarikan diri ke dalam hutan-hutan di pegunungan itu. Betapapun juga, fihak pasukan pengawal juga kehilangan banyak perajurit yang gugur maupun yang terluka sehingga jumlah mereka tinggal tiga perempatnya. Hal ini membuat para jenderal menjadi khawatir akan keselamatan kaisar, maka untuk kesekian kalinya mereka mengusulkan kepada Wang Cin agar rombongan ditarik mundur dan kembali saja ke kota raja sebelum terlambat. Kalau mereka mundur ke selatan, mereka akan lebih mudah memperoleh bantuan dari benteng pasukan Beng-tiauw yang berjaga di tapal batas.

“Tidak, sungguh memalukan kalau kita mundur. Bukankah dalam pertempuran tadi kita telah menang? Musuh telah kacau-balau, terpukul mundur dan kabur. Sebaiknya, besok pagi kita melanjutkan perjalanan ke kota Huai-lai dan di sana kita akan aman dan karena berada dalam benteng.” Wang Cin berkeras melanjutkan perjalanan itu.

“Wang-taijin, biarpun musuh terpukul mundur, namun mereka dapat menyusun kekuatan baru dan kalau mereka melakukan pengurungan di lembah depan, amatlah berbahaya.” Jenderal Kho Gwat Leng memperingatkan. “Terutama sekali karena perbekalan kita sudah menipis.”

“Tidak perlu kita takut. Kita sudah menang perang, mengapa harus melarikan diri dan mundur? Kita bahkan harus menggempur musuh yang sudah lari itu sampai terbasmi habis!” Wang Cin membantah.

Delapan orang jenderal itu kembali tidak berhasil membujuk dan pada keesokan harinya, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota Huai-lai dan menjelang tengah hari tibalah mereka di Lembah Nan-kouw yang amat sukar dilalui dan merupakan tempat berbahaya karena mereka harus melalui lorong yang curam, kanan kirinya menjulang dinding batu yang tinggi.

Terjadilah seperti yang dikhawatirkan oleh para jenderal yang berpengalaman itu. Terdengar suara gemuruh dan dari kedua tebing gunung itu datang hujan batu yang menyerang dan menimpa rombongan kaisar! Tentu saja pasukan pengawal menjadi panik, dan ketika mereka mundur, ternyata jalan di belakang telah dihadang oleh pasukan musuh, juga di sebelah depan nampak debu mengebul tanda bahwa musuh sudah datang dari depan untuk menyerbu mereka yang terjepit di lorong Lembah Nan-kouw itu.

Delapan orang jenderal cepat membuat perkemahan yang terlindung, dan mengawal sendiri kaisar dan selirnya untuk berlindung ke dalam kemah Jenderal Kho Gwat Leng dan dua orang jenderal lain membantu para pengawal pribadi kaisar, menjaga kaisar di dalam kemah sedangkan Jenderal Tan Jeng Koan bersama empat orang kawannya lari keluar dan ikut memimpin pasukan pengawal untuk melawan musuh yang menyerbu dari depan dan belakang.

Terjadilah pertempuran yang amat hebat, akan tetapi karena pasukan pengawal kaisar berada di tengah-tengah, kanan kiri terhalang dinding gunung dan musuh yang amat banyak jumlahnya menyerang dari depan dan belakang, maka tentu saja mereka terhimpit dan terdesak hebat. Betapapun juga, para jenderal memberi semangat kepada pasukan dengan amukan mereka. Terutama Jenderal Tan yang amat gagah, mengamuk seperti seekor naga yang sedang marah. Pakaian perangnya telah berobah menjadi merah oleh darah para pengeroyoknya dan darahnya sendiri yang keluar dari luka-lukanya. Demikian pula dengan empat orang jenderal lainnya.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai di sebelah belakang pasukan pengawal dan terjadilah kekacauan di fihak musuh yang menutup jalan keluar di belakang mereka. Ternyata kemudian bahwa datang pasukan campuran dari Suku Bangsa Mancu dan lain-lain, dipimpin oleh seorang kakek yang gagah perkasa menyerbu musuh dan membantu pasukan pengawal kaisar. Kakek itu bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang memimpin suku-suku liar yang tidak suka melihat pemberontakan Sabutai dan kini membantu kaisar dengan menyerang pasukan Sabutai yang memotong atau menutup jalan keluar dari lorong Lembah Nan-kouw itu.

Akan tetapi, biarpun pasukan bantuan ini dapat mengacaukan fihak musuh di sebelah belakang, musuh yang menyerbu dari depan terlalu banyak sehingga selagi sebagian kekuatan pasukan pengawal mendesak musuh di belakang yang menjadi terjepit dengan datangnya Cia Keng Hong dan pasukannya, sebaliknya pasukan pengawal di fihak depan dapat dihancurkan dan terus didesak oleh fihak musuh sehingga mereka mundur dan bergabung dengan teman-teman yang masih melawan musuh yang menghadang di belakang.

Akhirnya, habislah anggauta pasukan yang mempertahankan diri di depan dan menyerbulah Sabutai yang dibantu oleh tiga orang tamunya yang lihai, yaitu Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw dan Go-bi Sin-kouw, terus menerjang maju sampai akhirnya tidak ada lagi perajurit yang dapat melawan. Bahkan delapan orang jenderal yang tadi mengamuk dahsyat itu tidak nampak lagi karena mereka itu semua sudah masuk ke dalam perkemahan kaisar untuk menyerahkan sisa darah dan nyawa mereka demi untuk melindungi junjungan mereka.

lanjut ke Jilid 26-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar