Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 27

Dewi Maut Jilid 27

<--kembali

Empat batang tombak itu memang mengenai tubuh kakek dan nenek yang menerimanya sambil tersenyum mengejek dan patah-patahlah empat gagang tombak itu, kemudian begitu kedua tangan Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko bergerak, empat orang Mancu itu berteriak mengerikan dan tubuh mereka terlempar dengan kepala pecah dan tewas seketika itu juga!

Keng Hong yang masih merasa pening itu menjadi marah sekali. Dia meloncat ke depan, kedua tangannya memukul dengan tangan terbuka, sambil mengerahkan sin-kangnya. Angin pukulan menyambar dahsyat ke arah tubuh Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Akan tetapi dua orang tua itu sudah siap siaga, mereka menekuk lutut, mengerahkan tenaga dan mendorongkan kedua tangan ke depan, masing-masing menyambut pukulan Cia Keng Hong.

Desss! Desss...!” Tubuh Cia Keng Hong kembali terjengkang dan terhuyung ke belakang. Tidak kuat dia menghadapi tenaga yang bergabung itu dan pendekar ini merasa dadanya sesak dan mencium bau darah, tanda bahwa dia menderita luka yang biarpun tidak parah dan tidak berbahaya akan tetapi mengurangi daya tempurnya. Sedangkan tubuh kedua lawannya hanya bergoyang-goyang saja.

“Cia Keng Hong, bersiaplah untuk mampus!” Hek-hiat Mo-li berseru keras dan bersama temannya dia sudah siap untuk menyerang lagi.

“Ayah, biarkan saya mengambil bagian!” Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu telah muncul seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Cia Bun Houw! Tak lama kemudian muncul pula seorang pemuda lain yang berpakaian sederhana berwama kuning, pemuda ini adalah Tio Sun yang datang bersama Cia Bun Houw.

Seperti telah dituturkan di bagian depan Cia Bun Houw bersama Tio Sun berpisah dari encinya, dari Kwi Beng dan Kwi Eng untuk pergi melakukan penyelidikan terhadap musuh-musuh Cin-ling-pai yang telah melarikan diri ke utara. Di dalam perjalanan itu, mereka mendengar pula akan peristiwa hebat yang menimpa kaisar, yang kabarnya tertawan oleh musuh. Juga mereka mendengar berita angin bahwa para musuhnya kini bekerja kepada Thaikam Wang Cin yang menjadi biang keladi jatuhnya malapetaka atas diri kaisar yang tertawan gerombolan liar. Maka dua orang muda perkasa ini lalu mengambil keputusan untuk menyusul ke utara, kini dengan dua tujuan. Pertama untuk mencari musuh-musuh Cin-ling-pai, kedua untuk berusaha membantu dan menyelamatkan kaisar. Demikian, pada hari itu mereka tiba di dalam hutan yang menjadi markas dari pasukan-pasukan Mancu dan Khitan yang dipimpin oleh Cia Keng Hong dan secara kebetulan sekali melihat betapa ketua Cin-ling-pai dikeroyok oleh dua orang tua yang amat lihai. Tentu saja Bun Houw menjadi kaget dan marah, lalu meloncat mendahului Tio Sun untuk membantu ayahnya.

Lega hati Cia Keng Hong melihat munculnya pemuda ini. Dia sudah pernah menguji kepandaian Bun Houw dan maklum bahwa tingkat kepandaian puteranya yang telah menerima gemblengan manusia sakti Kok Beng Lama kini telah cukup tinggi untuk menghadapi seorang lawan seperti kakek dan nenek ini. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian Pek-hiat Mo-ko masih lebih tinggi sedikit daripada tingkat kepandaian si nenek, maka dia cepat menghadapi kakek itu dan berkata kepada puteranya, “Houw-ji, (anak Houw), kaulawanlah Hek-hiat Mo-li dan hati-hatilah terhadap hawa beracun dari tangannya yang mengandung tenaga Yang-kang yang cukup kuat.”

“Jangan khawatir, ayah,” Bun Houw berkata dan pemuda yang merasa penasaran dan marah melihat ayahnya tadi terdesak, langsung saja bergerak cepat, menyerang Hek-hiat Mo-li dengan tamparan tangan kiri ke arah kepala nenek itu.

Hek-hiat Mo-li adalah seorang tokoh tua yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan bagian barat, sudah banyak menghadapi lawan-lawan tangguh. Tentu saja dia memandang rendah kepada seorang pemuda yang menurut taksirannya tidak akan lebih dari dua puluh tahun usianya itu. Maka, melihat tamparan yang datang dengan perlahan itu, dia hanya terkekeh dan mengangkat lengan kanan untuk menangkis sambil mengerahkan hawa mujijatnya sehingga gerakan tangan itu didahului oleh uap hitam, lalu disusul tangan kirinya yang menusuk dengan jari-jari terbuka ke arah lambung lawan sebagai serangan balasan.

“Dess... takkk!”

Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan cepat dia meloncat ke belakang. Ketika dia menangkis, dan tusukan tangannya juga tertangkis oleh pemuda itu, kedua tangannya bertemu dengan tangan pemuda yang memiliki tenaga dahsyat sekali. Akan tetapi gerakan tangan itu, dan kedahsyatan tenaga yang menggetar-getar itu, membuat dia terbelalak karena dia mengenal gerakan tangan sakti itu. Pernah dia dan Pek-hiat Mo-ko hampir celaka oleh gerakan tangan seperti itu, ketika mereka merantau sampai ke Tibet.

“Apa hubunganmu dengan Kok Beng Lama...?” bentaknya dan mendengar bentakan ini, Pek-hiat Mo-ko juga menunda gerakannya menyerang Cia Keng Hong dan ikut memandang ke arah pemuda itu.

Bun Houw tersenyum. “Kok Beng Lama adalah suhuku, mau apa kau tanya-tanya?”

Mendengar ini, kakek dan nenek itu terkejut bukan main, lalu si nenek mengeluarkan kata-kata dalam bahasa asing, kemudian kakek dan nenek itu menggerakkan tangan dan segumpal uap putih dan hitam menyambar ke arah Cia Keng Hong dan Cia Bun Houw. Serangan ini hebat sekali, karena selain uap itu mengandung racun berbahaya, juga di dalamnya terdapat senjata rahasia berbentuk jarum-jarum halus yang meluncur ganas dan tersembunyi.

“Houw-ji, awas...!” Keng Hong berseru, maklum akan bahayanya senjata rahasia itu. Akan tetapi, seperti juga ayahnya, dengan mudah saja Bun Houw menghindarkan diri dari serangan uap hitam dengan miringkan tubuh dan menggunakan pukulan tangan yang mengeluarkan angin dahsyat meruntuhkan uap hitam dan jarum-jarum di dalamnya.

“Hendak lari ke mana kalian?” Bun Houw membentak.

“Houw-ji, jangan kejar. Biarkan mereka pergi!” Keng Hong mencegah puteranya dan Bun Houw tidak melanjutkan pengejarannya.

Keng Hong yang sudah mendengar tentang puteranya ini dari penuturan Cia Giok Keng yang pulang ke Cin-ling-pai, kini menceritakan kepada pemuda itu tentang kaisar yang ditawan musuh dan tentang usahanya untuk menyelamatkan kaisar. Dia merasa girang mendengar bahwa Tio Sun yang gagah perkasa itu adalah putera Tio Hok Gwan sahabat baiknya.

Mendengar betapa beberapa kali usaha pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu dalam menyelamatkan kaisar gagal, Bun Houw dan Tio Sun menyatakan hendak membantu.

“Cia-locianpwe, biarlah saya dan adik Bun Houw menyelundup ke benteng musuh untuk menyelamatkan sri baginda kaisar,” kata Tio Sun penuh semangat. Sebagai putera seorang bekas pengawal kaisar yang setia, tentu saja pemuda ini ingin sekali membuktikan dharma baktinya terhadap kaisar.

Bun Houw juga menyetujui usul Tio Sun ini, akan tetapi Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. “Berbahaya sekali...” orang tua sakti ini berkata perlahan.

“Ayah, kami tidak takut menghadapi bahaya untuk menyelamatkan kaisar!” Bun Houw berkata nyaring.

“Hemm, aku tahu. Akan tetapi bahayanya bukan hanya mengancam kalian berdua kalau kalian menyelundup ke sana, melainkan terutama sekali mengancam keselamatan nyawa kaisar.”

“Eh, mengapa begitu?” Bun Houw bertanya kaget.

“Apa maksud locianpwe?” Tio Sun juga bertanya karena merasa heran.

“Menurut penyelidikanku, biarpun menjadi tawanan musuh, kaisar mendapat pelayanan baik dan selama ini tidak pernah diganggu keselamatannya. Besar kemungkinan Sabutai hendak mempergunakan kaisar sebagai sandera, atau hendak membujuk kaisar agar dengan suka rela menyerahkan tahta kerajaan kepadanya. Maka, kalau dia melihat kalian mengancam, bukan tidak mungkin dia akan merobah sikapnya terhadap kaisar.”

Tio Sun dan Bun Houw mengangguk-angguk. “Habis, bagaimana baiknya, ayah? Tidak mungkin pula kita mendiamkan saja kaisar menjadi tawanan gerombolan liar.”

“Satu-satunya jalan hanya menyerbu secara terbuka. Akan tetapi kekuatan pasukan yang berhasil kukumpulkan tidak berapa besar dan kita masih menanti datangnya bala tentara kerajaan yang tak kunjung datang. Sementara itu, kembali kita kehilangan beberapa orang, termasuk Yalu, yang tewas dalam tangan kakek dan nenek iblis itu. Tak kusangka bahwa Sabutai mempunyai guru-guru yang demikian lihainya. Pantas dia berani mengadakan pemberontakan dan menawan kaisar.”

Dua orang pemuda itu maklum bahwa kalau mereka bertindak secara lancang, selain mereka sendiri terancam bahaya, juga mereka belum tentu dapat menolong kaisar, malah mungkin membahayakan nyawa kaisar. Oleh karena itu, mereka menyerahkan siasat kepada ketua Cin-ling-pai dan menyatakan hendak membantu sekuat tenaga. Tentu saja Cia Keng Hong merasa girang sekali memperoleh bantuan puteranya dan Tio Sun, hatinya menjadi besar, semangat dan harapannya timbul kembali untuk menyelamatkan kaisar.

***

Memang benar seperti dikatakan oleh Cia Keng Hong kepada puteranya dan Tio Sun bahwa Kaisar Ceng Tung mendapat pelayanan baik sekali oleh Sabutai. Bahkan lebih dari itu, kaisar memperoleh kebebasan di dalam gedung kecil yang dikelilingi taman indah, hanya dijaga oleh pasukan penjaga secara ketat di sekeliling taman itu sehingga tidak ada orang luar yang dapat masuk. Akan tetapi, kaisar sendiri dapat berjalan-jalan di dalam taman, dan apapun yang dibutuhkannya dapat segera terlaksana karena banyak terdapat pelayan-pelayan wanita yang selalu siap melaksanakan perintahnya.

Malam itu bulan purnama gilang-gemilang memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang sejuk. Kaisar Ceng Tung nampak duduk seorang diri di dalam taman, duduk di atas bangku sambil termenung menghadapi bunga-bunga yang mekar dan semerbak harum bermandikan sinar bulan purnama. Hatinya merasa lengang, sunyi dan merana karena malam yang indah dan sunyi ini mengingatkan dia akan kekasihnya, Azisha yang telah tewas. Malam yang seindah itu mengingatkan dia akan keindahan wajah kekasihnya, kemerduan suaranya dan kehangatan serta kelembutan tubuhnya, membuat dia merasa rindu sekali. Kaisar yang baru berusia dua puluh tiga tahun ini, yang masih amat muda, tersiksa oleh kerinduan akan belaian dan kasih sayang wanita. Memang benar bahwa para pelayan yang disediakan oleh Sabutai untuk melayaninya terdiri wanita-wanita muda yang cantik-cantik, akan tetapi sebagai seorang kaisar yang berkedudukan tinggi dan mulia, jauh lebih tinggi daripada kedudukan Sabutai sebagai raja gerombolan liar itu, Kaisar Ceng Tung tidak sudi merendahkan dirinya dengan para pelayan itu. Pula, setelah selama ini dia setiap malam terbuai dalam pelukan seorang wanita secantik Azisha, mana mungkin dia tertarik oleh kecantikan biasa para pelayan itu?

Sinar bulan purnama secara ajaib menyulap keadaan di dalam taman yang setiap hari telah dilihatnya itu menjadi semacam taman impian yang luar biasa, mandi cahaya keemasan yang redup den sejuk menghijau, menimbulkan bayang-bayang tipis yang aneh namun indah mempesonakan. Rasa rindunya terhadap Azisha makin menekan dan kaisar yang muda ini diam-diam merintih di dalam batinnya. Dia telah kehilangan segala-galanya. Kehilangan kedudukannya, kehilangan kekasihnya, bahkan hampir kehilangan harapan karena sampai berbulan lamanya tidak ada usaha datang dari kota raja untuk membebaskannya. Baru sekarang dia dapat melihat kenyataan, baru terbuka matanya betapa dia selama ini telah pulas dalam pelukan Azisha, telah terlena dalam kepalsuan Wang Cin yang kini menjebloskannya. Menyesallah hati kaisar muda ini dan diam-diam dia bersumpah bahwa andaikata umurya masih panjang dan dia dapat memperoleh kembali kedudukannya, dia akan menebus semua kesalahannya terhadap rakyatnya, dia akan menjadi seorang kaisar yang baik.

Azisha...! Biarpun dia mendengar bahwa kekasihnya itu tewas karena hendak merayu Sabutai, dan biarpun dia sudah sadar bahwa wanita itu adalah kaki tangan Wang Cin yang sengaja diumpankan oleh Wang Cin untuk menundukkannya, namun tak mungkin baginya untuk melupakan wanita itu. Nama itu saja sudah mengandung kemesraan hebat, mengingatkan dia akan saat-saat penuh dengan kebahagiaan dan cinta kasih, penuh dengan kenikmatan dan harus diakuinya bahwa dia pernah jatuh cinta mati-matian kepada Azisha.

Tiba-tiba kaisar muda itu menggerak-gerakkan cuping hidungnya karena hidungnya mencium keharuman yang lain daripada keharuman bunga di sekelilingnya. Keharuman semerbak yang halus dan menyegarkan, yang mengingatkan dia akan keharuman yang keluar dari tubuh Azisha. Cepat dia menoleh ke kiri dan kaisar itu menahan napas, jantungnya berdebar dan matanya terbelalak. Di dalam sinar bulan yang kuning emas kehijauan itu dia melihat sesosok bayangan orang. Bayangan Azisha! Tak salah lagi! Tubuh yang ramping itu, lenggang yang lemah gemulai, wajah yang bersinar-sinar itu, siapa lagi kalau bukan Azisha?

Azisha...!” Kaisar berseru lirih dan mengulurkan kedua tangannya, jantungnya berdebar penuh kerinduan. Sesaat dia lupa bahwa wanita yang bernama Azisha telah tewas, dan bahwa tidak mungkin Azisha datang kepadanya malam hari ini.

Sosok bayangan wanita itu kini telah tiba di depannya, sejenak wanita ini berdiri dan memandang dengan sinar mata bercahaya dan bibir manis menahan senyum, kemudian ketika kaisar mengulangi panggilannya, dia menjatuhkan diri berlutut.

“Azisha...!”

Wanita itu menghela napas panjang, lalu terdengar suaranya halus, lembut, “Harap paduka maafkan, hamba bukanlah Azisha.”

Kaisar Ceng Tung terperanjat, lalu sadar bahwa memang tidak mungkin kalau wanita ini Azisha. Azisha sudah mati dan tidak mungkin arwahnya yang datang menggodanya. Biarpun dari tubuh yang berlutut itu keluar keharuman semerbak, akan tetapi keharuman yang berbeda dengan keharuman yang keluar dari tubuh Azisha, dan biarpun suara tadi halus merdu, namun logatnya berbeda dengan logat suara Azisha yang berdarah Mongol. Ah, tentu suasana malam terang bulan purnama telah membuat dia seperti gila, pikir kaisar itu dengan hati merasa malu. Wanita ini tentu hanya seorang di antara para pelayan. Kembali dia memandang penuh perhatian lalu menggeleng kepala, membantah suara hatinya sendiri. Tidak mungkin kalau pelayan, pikirnya. Pakaiannya bukan seperti pelayan, dan dandanan rambut yang panjang halus itu, hiasan rambutnya, pakaiannya, gerak-geriknya. Bukan, pasti bukan pelayan biasa!

“Siapa namamu?” perlahan dia bertanya sambil memandang kepala yang menunduk sehingga tidak nampak mukanya itu.

“Nama hamba Khamila,” jawab wanita itu lirih pula. Suaranya halus dan mengandung getaran penuh perasaan sehingga mengharukan bagi Kaisar Ceng Tung.

“Engkau seorang pelayan?”

Wanita itu menggelengkan kepalanya. Tepat, seperti dugaanku, pikir kaisar. Dia bukan pelayan. Habis, siapa? Dan mau apa?

“Kalau begitu, apa keperluanmu masuk ke taman ini?” Pertanyaan kaisar mulai mengandung kecurigaan dan penyelidikan.

“Ampunkan hamba, hamba sengaja datang untuk... melayani paduka...” Gemetar suara itu sekarang.

Kaisar Ceng Tung mengerutkan alisnya, tidak mengerti. “Melayani aku? Melayani bagaimana maksudmu?”

“Hamba ingin melayani paduka, apapun juga yang paduka kehendaki dari hamba, akan hamba lakukan dengan segala kerendahan dan kebahagiaan hati hamba.” Kini suara itu mulai agak lebih berani sehingga timbul keheranan kaisar dan dia ingin tahu lebih banyak.

“Akan tetapi, Sabutai telah menyediakan banyak sekali pelayan dan segala kebutuhanku telah dicukupi. Sudah ada pelayan begitu banyak, perlu apa engkau hendak melayani aku?”

“Mereka itu tidak akan mampu merawat paduka dalam kesepian paduka, tidak akan dapat mengobati kesengsaraan hati paduka yang merana...”

Kaisar Ceng Tung terkejut, menahan kemarahannya dan memandang heran penuh kecurigaan. “Perempuan muda, kalau engkau mengira bahwa dengan kecantikan engkau akan dapat menggoda dan menundukkan aku, engkau keliru. Siapa yang menyuruhmu datang menemuiku di sini?”

Dengan muka masih menunduk wanita itu menjawab, “Yang menyuruh hamba adalah perasaan hati hamba sendiri, hamba bersumpah bahwa tidak ada siapapun yang menyuruh hamba, harap paduka tidak menaruh kecurigaan karena niat hamba ini tulus ikhlas dan tidak menyembunyikan sesuatu.”

Kaisar Ceng Tung makin terheran. Kata-kata yang keluar dengan halus dan tenang itu sama sekali tidak mengandung keraguan dan kebohongan, juga kata-katanya teratur baik tanda bahwa wanita ini terpelajar, sungguhpun ada logat asing dalam kata-katanya. Timbullah keinginan tahunya dan dia berkata, “Kalau begitu, apakah yang mendorongmu menemui aku dan hendak melayaniku?”

“Yang mendorong hamba adalah rasa kagum dan iba. Hamba kagum akan kegagahan dan kejantanan paduka yang sedikitpun tidak mau menyerah, tidak merasa takut biarpun telah berada di dalam cengkeraman harimau, dan hamba merasa iba melihat nasib paduka, maka hamba datang ingin menghibur paduka...”

Jantung kaisar muda itu mulai berdebar, hatinya tertarik sekali karena menganggap hal ini amat mustahil dan luar biasa anehnya. “Bangkitlah dan ke sinilah!” perintahnya.

Wanita itu bangkit berdiri dan tegaklah tubuh yang langsing itu, tubuh muda yang penuh dengan lekuk-lengkung menggairahkan di balik pakaiannya yang terbuat dari sutera halus. Dengan langkah-langkah lemah-gemulai seperti seorang penari, wanita itu datang mendekat dan berdiri dekat sekali di depan kaisar yang juga telah bangkit berdiri, menundukkan kepalanya.

Kaisar memandang rambut kepala yang halus hitam dan panjang itu dan hidungnya mencium keharuman yang aneh. “Angkat mukamu...” katanya perlahan

Wanita itu mengangkat mukanya perlahan dan bukan main kagetnya kaisar ketika melihat wajah seorang wanita muda yang amat cantik jelita! Sepasang mata yang bersinar-sinar, yang tanpa sembunyi-sembunyi memandangnya dengan cinta kasih yang jelas nampak di dalam sinar matanya, dengan bibir merah tipis tersenyum malu-malu, raut muka yang amat cantik, sikap yang menantang.

“Kau... kau cantik sekali...” Kaisar Ceng Tung berbisik lirih, suaranya agak gemetar.

Wanita itu tersenyum, jelas bahwa dia kelihatan girang oleh pujian ini. “Terima kasih, dan hamba...hamba siap dengan segala kerelaan hati untuk melayani paduka, menghibur paduka...” Suara wanita itu gemetar, tanda bahwa saat itu diapun merasa tegang dan berdebar jantungnya. Jelas bahwa dia bukanlah seorang wanita yang sudah biasa merayu pria, bukan seorang wanita yang sudah biasa bermain gila dengan sembarang pria yang dijumpainya, bukan seorang wanita cabul penjaja cinta. Makin heranlah hati Kaisar Ceng Tung dan sampai lama dia yang mulai terpesona itu menatap wajah yang amat cantik itu, wajah seorang wanita yang usianya masih amat muda, kurang lebih delapan belas tahun!

Bulan purnama bercahaya sepenuhnya memenuhi taman itu. Menurut dongeng, Dewi Asmara memang bertempat tinggal di bulan, dan setiap bulan purnama, Dewi Asmara mengirimkan kekuasaan mujijatnya melalui sinar bulan purnama ke permukaan bumi. Sinar bulan yang sudah mengandung kekuasaan mujijat ini akan mempengaruhi setiap mahluk di atas bumi, memperkuat daya tarik antara lawan kelamin, mendorong rangsangan berahi karena memang sudah menjadi tugas Dewi Asmara untuk memperlancar semua mahluk untuk berkembang biak. Demikianlah dongengnya.

Dongeng itu entah benar atau tidak, terserah. Akan tetapi yang jelas, melihat wajah cantik jelita tertimpa cahaya bulan purnama yang keemasan, Kaisar Ceng Tung terpesona. Dia baru berusia dua puluh tiga tahun, masih amat muda dan sedang dalam keadaan duka merana dan penuh kerinduan karena kehilangan Azisha, kekasihnya. Kini, menghadapi seorang wanita yang kecantikannya tidak kalah oleh Azisha, yang datang-datang menyerahkan diri kepadanya, tentu saja dia terpesona dan tanpa disadarinya lagi, kedua tangannya bergerak dan di lain saat wanita itu telah didekapnya dengan ketat dan dua jantung berdetak keras.

“Kau...kau cantik jelita...” kata Kaisar Ceng Tung setelah dia mencium wanita itu, yang dibalas oleh wanita itu dengan gerakan malu-malu namun jelas memperlihatkan bahwa wanita itu benar-benar kagum dan suka kepada kaisar muda ini. “Akan tetapi...kalau ternyata engkau disuruh oleh Sabutai untuk merayuku...aku akan berobah benci padamu...”

Wanita itu membalik dan merangkul leher Kaisar Ceng Tung, memandang dengan sepasang matanya yang bening lembut lalu berkata, “Mengapa peduka masih tidak percaya? Hamba datang atas kehendak hamba sendiri, hamba berani bersumpah...”

“Khamila, siapakah engkau yang begini berani memasuki taman ini untuk bertemu dengan aku? Kalau Sabutai mengetahui...”

“Tidak akan ada yang berani mengganggu hamba, apalagi para penjaga itu, bahkan Sabutai sendiripun tidak akan mengganggu hamba...”

“Bagaimana engkau begitu yakin? Siapakah engkau ini yang begitu besar kekuasaannya?”

“Apakah paduka belum dapat menduga? Hamba adalah isteri Sabutai...”

“Ahhh...!” Kaisar Ceng Tung mendorong dengan kedua tangannya sehingga tubuh Khamila terhuyung ke belakang dan hampir saja roboh terjengkang. Wanita itu memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, akan tetapi dia melangkah maju lagi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaisar itu.

“Harap paduka maafkan hamba...sesungguhnya hamba melakukan ini bukan sebagai penyelewengan melainkan dengan penuh kesadaran dan juga sepengetahuan suami hamba, Sabutai...”

“Apa...?” Kaisar Ceng Tung makin terkejut dan heran, juga amat tertarik. Melihat wanita itu berlutut dan memandang kepadanya dengan mata sayu, timbul rasa iba di hatinya, apalagi ketika dia teringat betapa mesra sikap wanita itu tadi dalam pelukannya dan betapa dia telah mendorongnya hampir roboh. “Ke sinilah, Khamila, dan ceritakan sebenarnya.”

Khamila bangkit berdiri dan tak lama kemudian dia telah dipangku dan dipeluk oleh kaisar yang duduk di atas bangku. Dengan suara lembut wanita cantik itu lalu menceritakan keadaannya, bahwa dia menjadi isteri Sabutai karena dipaksa, dan bahwa dia sama sekali tidak mencinta suaminya itu.

“Akan tetapi, dia sangat mencinta hamba dan dia menyayangkan bahwa sampai sekarang hamba belum mempunyai keturunan. Saking cintanya kepada hamba, dia tidak mau mengambil isteri lain, bahkan dia merencanakan untuk menyuruh hamba tidur dengan pria lain secara diam-diam, semata-mata agar hamba dapat memperoleh keturunan.”

“Ahhh...?” Kaisar Ceng Tung terkejut dan merasa heran sekali mendengar ini.

“Hamba tidak cinta kepadanya, mana mungkin hamba dapat melahirkan keturunannya? Dan hamba ngeri kalau harus melayani pria lain. Setelah hamba melihat paduka yang menjadi tawanan, begini gagah perkasa, begini tampan dan halus, seketika hamba jatuh cinta dan hamba berterus terang kepada Sabutai bahwa kalau hamba diharuskan melayani pria lain agar memperoleh keturunan, hanya padukalah orangnya yang hamba pilih. Dia setuju, bahkan merasa terhormat karena paduka adalah seorang raja yang jauh lebih besar daripada dia.”

Kaisar Ceng Tung mengangguk-angguk dan membelai leher yang halus itu. Gairahnya berkobar ketika wanita ini terang-terangan menyatakan cintanya. Tak lama kemudian, kaisar memondong tubuh yang ringan itu memasuki gedungnya, dan Khamila hanya merangkulkan lengan ke leher kaisar itu, menyembunyikan muka di dadanya dengan jantung berdebar. Dia tidak mau menceritakan bahwa kalau hubungan di antara mereka tidak menghasilkan keturunan, dia akan dibunuh oleh Sabutai!
Dengan penuh kemesraan, mulai malam hari itu, setiap malam Khamila datang mengunjungi Kaisar Ceng Tung dan baru kembali ke istana menjelang pagi. Kaisar Ceng Tung merasa terhibur dan diam-diam dia jatuh cinta kepada isteri Sabutai ini, demikian pula dengan Khamila yang baru pertama kali itu menyerahkan cinta kasihnya kepada seorang pria.

Kurang lebih satu bulan kemudian, Khamila tidak muncul lagi! Kaisar Ceng Tung menjadi gelisah dan sampai tiga malam lamanya dia menanti-nanti di taman dengan hati penuh kerinduan. Pada malam hari ketiga, ketika dia duduk melamun di atas bangku, tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Cepat dia menoleh dengan wajah girang, mengira bahwa Khamila yang muncul. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia melihat bahwa yang datang adalah Sabutai!

Cepat kaisar berdiri dengan sikap angkuh, memandang kepada musuhnya yang muncul sendirian itu. Sedikitpun Kaisar Ceng Tung tidak merasa takut, hanya kecewa melihat bahwa yang datang bukanlah Khamila yang ditunggu-tunggui, melainkan musuhnya ini.

Sabutai tersenyum lebar dan menjura dengan hormat. “Saya datang untuk mengucapkan terima kasih!”

Kaisar Ceng Tung mengerutkan alisnya. “Apa maksudmu?” tanyanya tenang.

“Karena paduka maka isteri saya kini mengandung dan akan melahirkan seorang anak, keturunan saya! Dan karena peristiwa ini pula maka isteri saya tidak akan mati, juga saya merasa makin hormat kepada paduka.”

Kaisar Ceng Tung memandang dengan mata terbelalak. “Dia... dia tidak akan mati? Apa maksudmu?”

Kembali Sabutai tersenyum. “Tidak tahukah paduka bahwa dia mendatangi paduka dengan taruhan nyawa? Kalau dia tidak berhasil, tidak mengandung dalam waktu satu bulan, dia akan saya bunuh sebagai seorang isteri yang melakukan jina, dan mungkin paduka tidak akan terbebas dari hukuman pula. Betapapun juga, syukur dia telah mengandung. Sekali lagi, terima kesih.” Sabutai menjura lagi, kemudian pergi dari situ dengan langkah lebar dan wajah berseri.

Beberapa saat lamanya Kaisar Ceng Tung berdiri seperti patung, kemudian dia menjatuhkan diri di atas bangku dengan tubuh lemas. Berkali-kali dia menghela napas panjang, merasa hatinya kosong dan berduka. Rasa cintanya terhadap Khamila makin mendalam. Wanita itu telah mengandung keturunannya! Betapa mesra dan lembut perasaan hatinya terhadap wanita itu. Akan tetapi dia tahu bahwa tidak ada kemungkinan lagi baginya untuk bertemu dengan wanita itu. Sabutai tentu akan melarang keras. Dan dia tidak dapat berbuat sesuatu! Memperjuangkan haknya sebagai ayah kandung dari anak yang berada dalam kandungan Khamila? Tidak mungkin, karena hal ini hanya akan mencemarkan nama Khamila dan dia sendiri. Tak terasa lagi, dua tetes air mata membasahi pipi kaisar ini.

***

“Huh, engkau sudah menjadi gila agaknya...” Dia meremas tangannya sendiri. Suaranya lirih dan mengandung kegemasan. Sejak tadi dia duduk di bawah pohon di dalam hutan lebat itu, seorang diri saja dan kadang-kadang termenung, kadang-kadang berbisik-bisik seorang diri seperti orang yang gila.

Dia seorang gadis yang amat cantik jelita. Usianya paling banyak dua puluh tahun, karena biarpun melihat wajahnya masih kelihatan seperti seorang dara remaja yang tidak akan lebih dari lima belas tahun, namun di balik sinar matanya dan lekuk mulutnya terbayang kematangan seorang gadis yang telah dewasa. Sepasang matanya tajam dan bening, agak lebar dan dihias bulu mata yang panjang lentik dan yang membentuk bayang-bayang di pipi atasnya. Hidungnya kecil mancung, amat serasi dengan mulutnya yang indah bentuknya, dengan sepasang bibir yang tipis merah dan amat lunak, namun bibir yang seperti buah masak itu membayangkan kekerasan hati terutama sekali lekuk dagunya. Rambutnya hitam panjang dan halus, digelung ke atas seperti bentuk bunga teratai dan ujung rambutnya dibiarkan terurai di belakang punggungnya. Panjang sekali rambut itu, karena biarpun sudah digelung, sisanya masih mencapai punggung. Agaknya kalau gelung dilepas, rambut itu akan mencapai bawah pinggul panjangnya. Pakaiannya sederhana potongannya, juga terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mahal, jahitannyapun kasar, akan tetapi setelah menempel di tubuhnya, menjadi patut dan manis sekali. Hal ini adalah karena bentuk tubuhnya memang amat indah, padat dan dengan lekuk lengkung sempurna, bagian atas dan bawah yang padat agaknya dipisahkan dan dibatasi oleh pinggang yang ramping sekali. Sebatang pedang panjang tergantung di pinggang kirinya dan pedang ini menambah kegagahan di samping kecantikannya yang aseli tanpa bantuan bedak dan gincu. Seorang dara yang cantik jelita, manis, dan gagah perkasa.

Dia adalah Yap In Hong! Pada saat itu, In Hong yang sudah sejak tadi duduk termenung di bawah pohon, nampak kesal dan beberapa kali mengepal tinju, meremas tangan sendiri dan bersungut-sungut memaki diri sendiri.

Dia merasa marah kepada diri sendiri karena semenjak pertemuannya dengan Bun Houw dia merasa tidak sewajarnya, tidak seperti dulu-dulu lagi dan betapapun dia berusaha untuk melupakan pemuda itu, namun setiap saat dia teringat lagi, teringat akan semua peristiwa yang dialaminya bersama pemuda itu, terbayang akan wajahnya, sinar matanya, senyum dan kata-katanya! Di lubuk hatinya ada perasaan mesra dan kerinduan untuk berdekatan dengan pemuda itu, dan inilah yang membuat dia marah kepada diri sendiri sampai dia memaki dirinya sendiri gila. Memang tanpa disadarinya sendiri, dia telah tergila-gila, telah jatuh cinta kepada pemuda itu. Pemuda itu merupakan suatu kekecualian. Selama ini, sejak kecil telah ditanamkan di dalam hatinya akan kepalsuan kaum pria, akan kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap kaum wanita sehingga ada dasar tidak suka di dalam hatinya terhadap kaum pria. Akan tetapi, begitu bertemu dengan Bun Houw, melihat sikap pemuda itu yang gagah perkasa, yang jauh daripada mempermainkan wanita, bahkan menolak bujuk rayu wanita, yang bersikap baik, halus dan sopan kepadanya, maka jatuhlah hatinya! Akan tetapi dia berusaha menyangkal hal ini dan selalu melawan perasaan hatinya. Celakanya, makin dilawan, makin beratlah rasa hatinya, makin kuat dorongan hasratnya untuk selalu berdekatan dengan Bun Houw.

Maka terjadilah perang di dalam hatinya sendiri dan akibatnya membuat gadis ini seperti orang bingung. Kadang-kadang dia menjauhi, akan tetapi tak lama kemudian kembali dia mendekati dan diam-diam membayangi perjalanan Bun Houw.

Bahkan dari jauh dia melihat Bun Houw yang bertemu dengan orang-orang gagah, kemudian dia berkesempatan pula menyelamatkan Souw Kwi Beng dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim dan membunuh orang keempat dari Lima Bayangan Dewa itu. Akan tetapi dia selalu cepat menghindarkan pertemuan dengan Bun Houw, karena dia merasa malu kalau sampai ketahuan oleh pemuda itu bahwa dia selama ini membayangi pemuda itu! Apalagi ketika dari jauh dia melihat Cia Giok Keng puteri ketua Cin-ling-pai, kemudian melihat pula Yap Kun Liong kakak kandungnya, In Hong terkejut dan cepat menjauhkan diri tidak berani mendekat.

Betapapun juga, perasaan rindunya dan ingin berdekatan dengan Bun Houw membuat dia mengintai lagi dan akhirnya dia membayangi Bun Houw yang melakukan perjalanan ke utara bersama Tio Sun. Setelah Bun Houw dan Tio Sun membantu Cia Keng Hong mengusir dua orang kakek dan nenek yang amat lihai, dua orang pemuda itu masuk ke dalam perkemahan pasukan orang Mancu dan Khitan itu dan sampai berhari-hari lamanya tidak meninggalkan tempat itu.

“Bodoh kau!” Kembali In Hong mengomeli dirinya sendiri. Betapa dia tidak akan merasa jengkel dan gemas terhadap dirinya sendiri yang selama ini selalu berkeliaran di dalam hutan di sekitar perkemahan itu, menanti-nanti munculnya Bun Houw! Dia telah membiarkan dirinya tersiksa hidup berhari-hari di dalam hutan liar dan lebat, tanpa kawan, dengan hati penuh rasa rindu dan kejengkelan. Beberapa kali dia ingin memasuki perkemahan itu untuk bertemu dengan Bun Houw, akan tetapi rasa malu membuat dia mundur kembali. Dia telah melakukan penyelidikan sekedarnya dan telah mendengar bahwa kaisar menjadi tawanan Sabutai dan bahwa kelompok orang Mancu dan Khitan yang dipimpin oleh ketua Cin-ling-pai itu berniat untuk menyelamatkan kaisar, akan tetapi selalu terpukul mundur oleh pasukan Sabutai yang jauh lebih banyak dan kuat.

“Kalau begini terus, aku bisa gila benar-benar!” Akhirnya In Hong bangkit berdiri dan mengepal tinju, mengambil keputusan bahwa dia akan menemui Bun Houw! Dia sudah mempunyai alasan untuk mengatasi rasa malunya, yaitu bahwa dia akan membantu pemuda itu untuk menolong kaisar yang tertawan musuh!

Akan tetapi In Hong tidak ingin bertemu dengan orang-orang lain, apalagi dengan ketua Cin-ling-pai! Orang tua sakti itu pernah hendak menjodohkan dia dengan puteranya, ingin mengambil mantu padanya. Tentu saja dia merasa malu kalau kelihatan oleh ketua itu bahwa dia ingin membantu Bun Houw dan merasa senang kalau berdekatan dengan pemuda she Bun itu, seorang pemuda biasa saja! Kecuali kalau pemuda itu sudah menerimanya, kalau kemudian terpaksa bertemu dengan siapapun, tidak mengapa. Yang penting, dia harus bertemu dulu dengan Bun Houw untuk menyatakan keinginannya membantu usaha pemuda itu menolong kaisar.

Dia masih harus menanti sampai tiga hari, barulah pada suatu senja In Hong melihat Bun Houw keluar seorang diri dari daerah perkemahan itu. Dengan girang dia lalu muncul dari atas pohon, meloncat seperti seekor burung garuda ke depan Bun Houw yang memandang dengan kaget sekali, akan tetapi segera wajah pemuda ini berseri ketika dia mengenal siapa yang meloncat turun menghadang di depannya dari atas pohon itu.

“Hong-moi...!” Seruan yang keluar dari mulut Bun Houw ini mengandung getaran karena memang selama ini seringkali dia mengenangkan dara itu dengan penuh kerinduan hatinya, maka pertemuan yang tidak disangka-sangkanya ini secara tiba-tiba membuat dia terkejut dan girang bukan main. Hati yang penuh kerinduan membuat matanya melihat gadis itu lebih cantik dan gemilang daripada yang dibayangkan selama ini, membuat jantungnya berdebar penuh kagum, dan membuat dia lupa akan segala hal lain mengenai diri In Hong yang dikenalnya sebagai seorang gadis cantik jelita dan berilmu tinggi dan yang mengaku bernama Hong saja.

Hati gadis itupun girang sekali dan melihat wajah Bun Houw, mendengar suaranya, mendatangkan perasaan aneh di dalam dadanya, membuat jantungnya berdebar tegang dan ada perasaan malu-malu yang aneh sekali, yang membuat wajahnya menjadi merah dan tidak kuat dia menentang pandang mata itu. “Bun-twako... sudah berhari-hari aku menanti kesempatan ini... akhirnya kau muncul sendirian...” katanya lirih sambil menundukkan pandang mata, akan tetapi segera diangkatnya kembali mukanya dan dia memandang dengan sinar mata tajam berseri.

“Berhari-hari menanti...? Kenapa kau tidak langsung saja masuk ke perkemahan dan menemui aku?”

“Aku tidak ingin bertemu dengan yang lain-lain, terutama dengan ketua Cin-ling-pai, aku mau bicara dulu denganmu, Bun-twako.”

“Engkau sudah tahu keadaan kami...” Tiba-tiba Bun Houw teringat dan alisnya berkerut, wajahnya yang tadinya berseri itu berobah muram.

“Tentu saja aku tahu semua karena selama ini aku mengikutimu dari jauh, twako.”

“Hemm... aku tahu... engkau telah menyerang dan hampir membunuh Souw Kwi Eng...”

“Aku tidak kenal siapa itu Souw Kwi Eng, akan tetapi aku memang telah membunub Hui-giakang Ciok Lee Kim dan monolong Souw Kwi Beng...” kata In Hong terheran.

Bun Houw mengangguk-angguk, hatinya mulai panas karena teringat akan perbuatan kejam gadis ini. Tentu dia tidak mau mengakui perbuatan keji itu, pikirnya. “Aku tahu semua itu... sekarang engkau menemui aku ada keperluan apakah?”

In Hong makin terheran melihat perobahan sikap dan wajah pemuda itu. “Aku telah mendengar bahwa kaisar ditawan musuh dan aku tahu bahwa engkau hendak menolongnya, Bun-twako. Maka aku hendak menawarkan bantuanku, aku ingin membantumu.”

“Tidak...! Aku tidak mau...!” Bun Houw menggeleng kepala, suaranya kasar karena dia membayangkan gadis she Ma yang tewas secara mengerikan di dalam kamarnya, tewas oleh seorang wanita lihai yang tentu saja gadis cantik yang berdiri di depannya inilah orangnya!

Saking kaget dan herannya melihat sikap pemuda itu, In Hong melangkah maju mendekat, menatap wajah itu dengan penuh selidik lalu dia bertanya, “Bun-twako, engkau kenapakah?”

“Aku tidak membutuhkan bantuanmu!”

Bun Houw makin panas hatinya karena terdorong oleh rasa kecewa. Dia amat tertarik oleh dara perkasa ini, dia amat kagum kepada dara ini, bukan hanya kagum oleh kecantikannya yang luar biasa, juga terutama sekali oleh kepandaiannya, akan tetapi rasa kagumnya itu hancur oleh kekejaman gadis ini yang seperti iblis. “Engkau... engkau Dewi Maut, cantik jelita dan berilmu tinggi akan tetapi ganas dan kejam seperti iblis!”

“Twako...!” In Hong mengerutkan alisnya dan pandang matanya mulai mengeras. Seketika lenyaplah semua perasaan mesra di hatinya oleh sikap dan kata-kata Bun Houw itu. “Engkau boleh saja menolak bantuanku akan tetapi engkau tidak berhak memaki aku seperti itu!” bentaknya.

“Aku tidak memaki, hanya berkata sebenarnya. Engkau kejam dan ganas, dan aku tidak sudi kau bantu!”

“Orang she Bun yang sombong!” In Hong sudah naik darah dan kedua tangannya dikepal. “Kau kira aku ini siapa boleh kauhina begitu saja?”

Bun Houw juga marah. Kekecewaan hatinya melihat kenyataan bahwa dara yang dipujanya, yang diam-diam telah mencuri hatinya secara aneh ternyata adalah seorang iblis betina, membuat dia marah sekali. “Kau hendak membunuhku juga? Ha-ha, majulah, jangan mengira aku takut padamu!”

“Keparat...!” In Hong sudah hendak menyerang dan Bun Houw sudah siap melawan, akan tetapi tiba-tiba In Hong melangkah mundur dua tindak, mukanya pucat dan mulutnya yang berbentuk indah itu tersenyum, senyum yang menutupi hati yang terasa sakit. “Tidak... tidak sekarang... aku akan membiarkan kau hidup sementara untuk membuka matamu agar kau melihat betapa tololnya engkau yang telah menuduhku yang bukan-bukan...”

“Bukan menuduh melainkan kenyataannya kau telah membunuh gadis dusun itu secara kejam! Selain membunuh gadis dusun yang tak berdosa, engkaupun telah menyerang dan hampir membunuh Souw Kwi Eng! Kau tidak perlu mungkir lagi.”

“Hemm, betapa mudahnya sekarang aku menggerakkan tangan membunuhmu untuk menghentikan ocehanmu yang penuh kepalsuan ini. Akan tetapi tidak, biar kau melihat kenyataan dan kau menyesali fitnah ini, baru aku akan mencabut nyawamu!” Setelah berkata demikian, In Hong berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon.
Bun Houw hendak mengejar, akan tetapi cuaca sudah mulai gelap dan dia berdiri seperti patung di bawah pohon, hatinya masih panas dan dadanya bergelora, akan tetapi ada penyesalan menyelinap di dalam dadanya. Diam-diam dia menyesal bukan main. Gadis itu datang menawarkan bantuan, betapa baik niat hatinya. Akan tetapi, bagaimana dia dapat menerimanya, bagaimana dia dapat bekerja sama dengan gadis yang berwatak seperti iblis itu? Hanya karena cemburu, dan ini sudah jelas sekali, gadis itu hampir saja membunuh Kwi Eng, dan secara kejam membunuh gadis she Ma yang sama sekali tidak berdosa! Biarpun diam-diam dia amat kagum kepada gadis itu, namun mengingat akan kenyataan yang mengerikan ini dia harus mengeraskan hati dan memutuskan hubungan antara mereka!

Jauh di sebelah dalam hutan itu, di antara kegelapan malam yang hampir tiba, In Hong berdiri menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon besar, kedua tangannya mengepal tinju, matanya terpejam dan pipinya basah oleh beberapa butir air mata. Akan tetapi, setiap ada butiran air mata turun dari matanya, kepalan tangannya mengusapnya dengan keras. Dia tidak harus menangis! Ingin dia berteriak untuk memberi jalan keluar hatinya yang bergelora, yang menindih. Dia telah dihina orang! Dihina seorang laki-laki dan celakanya, laki-laki itu adalah laki-laki yang disangkanya pria yang istimewa, yang merupakan kekecualian, yang tidak sama bahkan kebalikan dari para pria yang dikutuk oleh gurunya. Hatinya sakit bukan main. Bun Houw telah menolak bantuannya, bahkan memakinya sebagai seorang wanita kejam seperti iblis! Bahkan telah berani menantangnya!

“Si keparat...!” desisnya di antara isak yang keluar dari dadanya. Orang macam dia berani menantang? Kalau dia tadi turun tangan, dalam beberapa jurus saja tentu akan dapat dibunuhnya laki-laki itu! Akan tetapi mengapa tidak dilakukannya hal itu? Padahal, kalau ada laki-laki lain bersikap kasar sedikit saja kepadanya, tentu dia tidak segan-segan untuk menurunkan tangan besi dan membunuhnya. Tidak, dia tidak akan turun tangan begitu mudah terhadap Bun Houw. Biar laki-laki itu terbuka matanya, bahwa semua tuduhannya itu bohong belaka, bahwa dia bukanlah iblis betina yang melakukan semua tuduhan itu, dan baru setelah laki-laki itu menyesal dan terbuka matanya, dia akan membunuhnya. Teringat akan itu semua, teringat betapa dia tersiksa batinnya karena rindu dan ingin berdekatan dengan Bun Houw, kemudian betapa sikap pemuda itu menghancurkan hatinya, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan merasa makin sakit. Apalagi kalau dia teringat betapa dia telah bersusah payah menolong pemuda itu ketika Bun Houw disiksa dan hampir mati di tangan dua orang Bayangan Dewa. Kalau tidak dia datang menolong, tentu pemuda itu kini sudah tewas. Dan pemuda itu membalas kebaikan itu dengan makian dan penghinaan!

“Orang she Bun! Kaulihat saja pembalasanku nanti!” kembali In Hong mengepal tinju, akan tetapi dia terbayang akan kemesraan antara mereka, ketika mereka bercakap-cakap sambil makan, menukar pedang dengan giok-hong, dan tinjunya kembali harus menghapus dua titik air mata yang tiba-tiba saja meloncat keluar. Terngiang di telinganya tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Bun Houw kepadanya. Dia menyerang dan hampir membunuh wanita yang bernama Souw Kwi Eng? Dia tidak mengenal nama itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa wanita itu agaknya masih ada hubungan saudara dengan Souw Kwi Beng, pemuda tampan bermata biru yang diselamatkannya dari tangan Hui-giakang Ciok Lee Kim itu. Dan kemudian katanya dia membunuh seorang gadis desa yang tidak berdosa? Sama sekali dia tidak mengerti siapa gadis ini. Semua itu fitnah belaka. Bohong belaka dan sekali waktu dia harus dapat membuka mata Bun Houw untuk melihat bahwa semua tuduhannya itu kosong. Baru kemudian dia akan membunuhnya.

Hati yang panas dan sakit membuat In Hong pergi meninggalkan hutan itu dengan hanya satu saja niat di hatinya, yaitu membantu fihak yang dimusuhi Bun Houw! Dia ingin bertemu dalam pertempuran melawan pemuda itu, bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk mengejeknya, karena dia baru akan membunuh kalau pemuda itu sudah melihat bahwa tuduhannya tadi kosong. Dia tidak mau dibantu? Baik, kalau pemuda itu tidak mau dibantu dia akan membantu fihak musuhnya! Benteng pasukan pemberontak yang dipimpin Sabutai tidak jauh dari tempat itu.

Akan tetapi In Hong bukanlah seorang yang ceroboh. Sama sekali tidak. Semenjak kecil dia hidup bersama gurunya dalam keadaan penuh dengan kesukaran dan kekerasan, dan semua pengalaman itu membuat dia amat berhati-hati. Dia tidak akan memasuki tempat berbahaya yang belum dikenalnya begitu saja. Gurunya dahulu sudah sering memberi peringatan kepadanya agar dia jangan mudah menaruh kepercayaan kepada siapapun juga, apalagi kepada kaum pria. Dan benteng pasukan yang dipimpin Sabutai itu merupakan tempat yang penuh bahaya. Betapapun tinggi kepandaiannya, tentu dia tidak akan berdaya menghadapi kekuatan pasukan yang ribuan orang banyaknya itu, apalagi kalau di situ terdapat pula banyak orang pandai. Oleh karena itu, pada pagi hari itu, ketika keadaan masih gelap, In Hong berhasil menculik seorang penjaga yang melakukan tugas menjaga dan meronda di luar benteng, memukulnya roboh pingsan dan menyeretnya ke dalam hutan yang masih gelap. Kemudian dia mengancam dan memaksa penjaga yang ketakutan dan mengira bahwa dirinya diserang dan diculik setan penjaga hutan, agar orang itu menceritakan keadaan di dalam benteng Sabutai.

Dari orang inilah In Hong mendengar bahwa kaisar masih menjadi seorang tawanan terhormat dan dalam keadaan sehat, sedangkan Wang Cin masih menjadi tamu yang tidak bebas, bersama para pembantunya yang lihai. Ketika In Hong mendengar bahwa di antara para pembantu Wang Cin itu terdapat nenak Go-bi Sin-kouw di samping tiga orang Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang. Dia tahu betapa kuatnya keadaan di dalam benteng dengan adanya para kakek dan nenek yang sakti itu, akan tetapi diapun melihat adanya kesempatan baginya untuk memasuki benteng itu dengan terang-terangan karena dia telah mengenal mereka, terutama Go-bi Sin-kouw sehingga dia dapat berpura-pura membantu nenek itu!

Biarpun dia berhasil mengorek keterangan dari penjaga itu, namun dengan cerdik In Hong melakukan pertanyaan dan ancaman sambil bersembunyi dan merobah suaranya menjadi besar sehingga orang itu sama sekali tidak tahu siapa yang menculik dan mengajukan semua pertanyaan dan ancaman itu. Kemudian, kesempatan itupun tidak membuat In Hong kekurangan kewaspadaannya. Dia baru muncul di depan pintu benteng itu pada malam harinya. Dia memilih malam hari dengan maksud bahwa andaikata dia diterima dengan todongan senjata dan dia tidak mampu mengatasi begitu banyaknya orang pandai, dia akan lebih mudah menyelamatkan diri daripada kalau siang hari.

“Berhenti! Siapa di situ?” Tiba-tiba beberapa orang penjaga muncul dan dengan tombak ditodongkan mereka menghampiri In Hong yang berhenti dan berdiri tegak di bawah lampu di pintu gerbang. Ketika enam orang penjaga melihat bahwa yang menghampiri pintu gerbang adalah seorang gadis yang cantik sekali, mereka terkejut, terheran, dan juga menjadi lega, bahkan tersenyum gembira karena penjagaan di tempat sunyi membuat mereka menjadi kesal dan munculnya seorang wanita yang begini cantik tentu saja merupakan hal yang amat menghibur.

“Heii, nona manis, siapakah engkau malam-malam begini muncul di sini dan apa kehendakmu?” tegur kepala jaga sambil menyeringai, sedangkan enam pasang mata laki-laki seperti orang kehausan melihat air jernih menjelajahi seluruh tubuh In Hong dari kepala sampai ke sepatunya. Teguran itu diucapkan dalam Bahasa Mongol dan In Hong tidak mengerti artinya, maka dia hanya tersenyum dan menjawab dengan gelengan kepala saja.

Seorang di antara para penjaga itu dapat berbahasa Han, maka dia lalu menjadi juru bahasa, menterjemahkan pertanyaan kepala jaga itu dengan suara yang kaku.

“Aku adalah kenalan baik Go-bi Sin-kouw yang berada di dalam benteng, dan aku ingin bertemu dengan dia dan rombongannya,” jawab In Hong terpaksa menahan kesabarannya karena dia tidak ingin memancing keributan di tempat berbahaya ini.

Mendengar keterangan ini, semua penjaga yang berjumlah dua belas orang dan kini sudah berkumpul di situ, saling memandang dengan curiga. Memang semua pengikut Sabutai menaruh curiga kepada rombongan Pembesar Thaikam Wang Cin itu. Kepala jaga lalu menyuruh seorang anak buahnya untuk melapor ke dalam, bukan langsung kepada Wang Cin melainkan kepada Sabutai! Jelaslah bahwa rombongan pembesar itu sebenarnya bukan lagi dianggap sebagai tamu agung, melainkan sebagai tawanan yang tidak ada bedanya dengan kaisar sendiri.

Ketika itu Sabutai sedang bersenang-senang di dalam kamarnya, makan minum bersama Khamila untuk merayakan kandungan Khamila sebagai hasil hubungan wanita cantik ini dengan Kaisar Ceng Tung! Dapat dibayangkan betapa perih rasa hati wanita itu karena sesungguhnya diam-diam dia jatuh cinta kepada kaisar yang ditawan itu. Akan tetapi diam-diam dia juga merasa girang bahwa dia dapat mengandung keturunan kaisar itu. Ngeri dia kalau membayangkan betapa andaikata tidak ada Kaisar Ceng Tung, dia diharuskan menyerahkan diri kepada seorang pria lain yang diharuskan bertugas mewakili Sabutai menidurinya agar dia memperoleh keturunan! Kenyataan ini merupakan hiburan dan Khamila dapat juga berwajah girang ketika suaminya mengajaknya merayakan peristiwa yang dianggapnya menggirangkan itu. Adapun Sabutai benar-benar merasa girang. Sedikitpun dia tidak merasa cemburu kepada Kaisar Ceng Tung. Dia kagum kepada kaisar muda itu, kagum akan kegagahannya yang diperlihatkannya ketika menjadi tawanan, maka kini dia merasa terhormat untuk menjadi ayah kandung dari keturunan kaisar besar itu! Kalau pria lain yang menjadi ayah kandung dari anak yang berada di dalam kandungan isterinya, tentu dia akan membunuh pria itu agar rahasia ini tidak diketahui siapapun. Akan tetapi, karena yang menjadi ayah sejati adalah Kaisar Ceng Tung, maka dia tidak akan membunuh kaisar itu karena dia yakin bahwa rahasia itu akan tersimpan rapat dan Kaisar Ceng Tung tentu tidak akan membuka rahasia yang mencemarkan namanya sendiri itu.

Tiba-tiba datang penjaga yang melaporken tentang munculnya seorang gadis cantik di depan pintu gerbang yang mengaku sebagai sahabat Go-bi Sin-kouw. Sabutai menjadi tertarik sekali dan tentu saja menaruh curiga. Diam-diam dia lalu menyampaikan berita kepada kedua orang gurunya, dan mengerahkan pasukan pengawal, mendatangi pembesar Wang Cin. Dia sendiri yang menyampaikan berita kedatangan seorang “sahabat” dari Go-bi Sin-kouw itu dan memerintahkan agar nona itu dipersilakan masuk.

Wang Cin dan para pembantunya menanti di ruangan besar itu dengan hati tidak enak, terutama Go-bi Sin-kouw. Nenek ini menduga-duga dan maklum bahwa fihak Raja Sabutai mencurigai mereka dan mencurigai orang yang katanya datang hendak bertemu dengannya.

Tak lama kemudian muncullah In Hong yang diantar oleh belasan orang pengawal bersenjata lengkap. Gadis ini melangkah dengan tenang biarpun di dalam hatinya dia maklum bahwa dia telah berada di tempat yang amat berbahaya. Dia melihat betapa benteng itu amat kuat dan penjagaan dilakukan ketat sekali. Sepintas lalu ketika dia dipersilakan masuk, dia melihat keadaan penjagaan di sepanjang tembok benteng dan biarpun dia akan dapat memasuki benteng ini dan keluar lagi melalui tembok yangg tidak berapa tinggi itu, namun dia akan menghadapi bahaya besar. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan sikap jerih dan melangkah dengan pandang mata ke depan, tangan kiri tertumpang di gagang pedangnya yang tergantung di pinggang.

Ketika gadis itu memasuki ruangan besar yang dipasangi penerangan cukup, semua mata menyambutnya dengan pandang penuh selidik. Sabutai memandang dengan mata mengandung keheranan dan kekaguman. Dia tahu bahwa Bangsa Han di selatan banyak memiliki jago-jago silat yang berkepandaian tinggi sekali, akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang gadis muda cantik jelita yang bersikap demikian gagahnya, memasuki tempat seperti bentengnya itu dengan sikap demikian tenang dan penuh keberanian. Juga sekali pandang saja dia meragukan apakah benar gadis cantik ini merupakan sahabat dari nenek tua itu, seorang di antara kaki tangan pembesar Wang Cin yang berjiwa khianat.

Para tokoh lihai yang menjadi pembantu Wang Cin, terutama sekali Go-bi Sin-kouw, yang pernah bertemu dengan In Hong, kini memandang dara itu dengan alis berkerut dan hati penuh kecurigaan. Go-bi Sin-kouw menjadi tidak senang hatinya. Dia memang mengenal gadis ini sebagai seorang gadis yang amat lihai dan berwatak keras sekali dan aneh, akan tetapi sungguh lucu kalau gadis itu mengaku sebagai sahabatnya. Jauh daripada itu, bahkan antara dia dan gadis itu terdapat rasa benci dan saling mencurigai yang besar. Dan sekarang gadis ini datang mengaku sebagai sahabatnya! Tentu saja Go-bi Sin-kouw merasa curiga sekali dan sebelum yang lain membuka mulut, dia sudah melompat maju dan membentak, “Kiranya engkau yang datang mengaku sahabatku? Sri Baginda Raja Sabutai, jangan percaya, dia ini tentu mata-mata dari Kerajaan Beng!” Dia menoleh kepada teman-temannya karena untuk menghadapi gadis lihai itu sendirian saja, dia merasa agak jerih. “Teman-teman, mari bantu aku menangkap gadis setan ini!”

Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw yang sudah tahu bahwa gadis lihai ini memang hanya mendatangkan kesulitan saja, sudah melangkah maju. Juga tiga orang Bayangan Dewa sudah saling pandang, karena mereka telah mendengar akan kematian Toat-beng-kauw Bu Sit dan Hui-giakang Ciok Lee Kim, dan menurut pendengaran mereka, Ciok Lee Kim terbunuh oleh seorang gadis cantik yang agaknya gadis inilah karena memang mereka tahu akan kelihaian Yap In Hong.

Melihat gelagat tidak baik ini, In Hong hanya tersenyum saja. Dia seorang yang amat tabah dan ketenangannya itu membuat dia lebih dapat menguasai keadaan dan sekali pandang saja dia sudah dapat menduga yang mana adanya Raja Sabutai yang terkenal itu. Maka cepat dia menoleh ke arah raja ini yang kebetulan memang sejak tadi memandangnya penuh selidik, dan In Hong lalu menjura dengan hormat ke arah raja yang bersikap gagah itu dan berkata, “Kedatangan saya untuk menawarkan bantuan kepada sri baginda raja melalui Go-bi Sin-kouw yang telah saya kenal, akan tetapi ternyata kedatangan saya tidak diterima sebagaimana patutnya.”

Sejenak pandang mata mereka saling bertemu, bertaut dan akhirnya Sabutai tersenyum. Raja inipun bukan seorang biasa, melainkan murid dua orang sakti Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Maka dia sudah dapat menyelami sikap gadis cantik itu yang kini jelas mengharapkan bantuan darinya untuk bersikap gagah. Maka raja ini lalu bangkit berdiri ketika melihat beberapa orang kakek dan nenek pembantu Wang Cin sudah bangkit dengan sikap mengancam untuk mengeroyok gadis itu, dan dia berkata nyaring.
“Tahan dulu...!” Mendengar seruan ini, tentu saja Go-bi Sin-kouw dan teman-temannya lalu mundur kembali, menoleh dan memandang dengan alis berkerut, sedangkan Wang Cin sendiri memandang dengan sinar mata tidak senang. Namun Sabutai tidak memperdulikan semua itu, dia tersenyum lebar dan melanjutkan kata-katanya, “Setiap orang yang berani memasuki benteng ini, haruslah diketahui lebih dulu dengan jelas maksud kedatangannya baru diambil keputusan sikap apa yang akan kami ambil. Mengeroyok seorang gadis muda di depanku, sungguh merupakan hal yang amat memalukan dan merendahkan nama sendiri!”

Wajah Go-bi Sin-kouw menjadi merah dan dia cepat memberi hormat kepada raja itu sambil berkata, “Harap paduka sudi memaafkan, akan tetapi gadis ini...”

“Cukup!” Sabutai membentak. “Ingat bahwa cu-wi sekalian hanya tamu dan akulah tuan rumahnya dan akulah yang berhak menerima dan memeriksa tamu yang datang memasuki bentengku!” Ucapan ini cukup keras nadanya dan Go-bi Sin-kouw menunduk, melirik ke arah Wang Cin yang memberi isyarat agar nenek itu mundur.

Sabutai bersikap seolah-olah dia tidak melihat itu semua dan kini dia menggapai ke arah In Hong sambil berkata, “Majulah ke sini, nona!”

Dengan langkah gagah dan tenang, namun membayangkan keluwesan dan kepadatan tubuh seorang gadis dewasa, In Hong menghampiri raja itu, lalu menjura dan berdiri dengan sikap hormat. Melihat gadis itu tidak mau berlutut, dua orang pengawal sudah maju dan hendak menghardiknya, akan tetapi pandang mata Sabutai melarang mereka dan raja ini lalu menyambar sebuah bangku di sebelah kanannya, kemudian tersenyum dan berkata kepada In Hong, “Terimalah bangku ini untuk tempat dudukmu, nona! Tidak enak bicara sambil berdiri saja!”

Setelah berkata demikian, Raja Sabutai yang pada saat itu masih diliputi kegembiraan karena isterinya mengandung itu lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya, dan bangku itu melayang ke atas, berputaran seperti seekor burung hidup dan tiba-tiba bangku itu melayang turun ke arah kepala In Hong! Dara ini terkejut juga, tidak mengira bahwa raja kaum pemberontak liar itu ternyata memiliki kepandaian yang cukup hebat! Akan tetapi dia tidak menjadi gentar, bahkan ikut pula terbawa oleh kegembiraan Sabutai yang tersenyum ramah itu. In Hong mengerahkan tenaga gin-kangnya dan sambil mengeluarkan seruan tinggi tubuhnya mencelat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas bangku yang masih melayang turun dan ketika bangku itu tiba di atas lantai, dia masih duduk, sedikitpun tidak terguncang tubuhnya seolah-olah dia tadi dibawa terbang oleh bangku yang telah “dijinakkan” itu.

“Terima kasih atas keramahan paduka.” In Hong menjura dari tempat duduknya ke arah Sabutai yang menjadi kagum. Dia tadi memperlihatkan tenaga dalamnya dan gadis itu mengimbangi dengan mendemonstrasikan gin-kang yang luar biasa!

“Ha-ha-ha, benar dugaanku. Tamu kami seorang yang lihai sekali. Nona, siapakah namamu?”

“Nama saya... hanya Hong saja.” In Hong memperkenalkan dirinya dengan setengah hati karena memang dia tidak ingin memperkenalkan diri selengkapnya.

“Apakah benar engkau sahabat Go-bi Sin-kouw?”

“Saya tidak pernah bersahabat dan tidak pemah mengaku bersababat dengan dia,” jawab In Hong sambil melirik ke arah nenek itu. “Kepada para penjaga benteng tadipun saya hanya mengatakan bahwa saya kenal baik dengan Go-bi Sin-kouw dan hal itu saya lakukan agar saya diperbolehkan masuk ke sini. Sebenarnya saya ingin bertemu dengan paduka untuk menawarkan tenaga bantuan saya.”

“Harap paduka jangan percaya!” Tiba-tiba Go-bi Sin-kouw berseru. “Dia tentu mata-mata musuh dan tentu dia datang untuk menyelidiki keadaan kita!”

Sabutai memandang In Hong dengan pandang mata tajam penuh selidlk, kemudian dia bertanya, “Nona Hong, benarkah apa yang dituduhkan oleh Go-bi Sin-kouw itu bahwa engkau seorang mata-mata Kerajaan Beng?”

lanjut ke Jilid 28-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar