Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 70

Petualang Asmara Jilid 070

<--kembali

Kun Liong menghentikan kata-katanya karena pandang matanya bertemu dengan pandang mata Hong Ing yang membuatnya terkejut setengah mati. Pandang mata Hong Ing seperti ujung pedang runcing yang menusuk matanya! Teringatlah dia sekarang betapa tadi dia bicara mengeluarkan isi hatinya seperti bicara kepada diri sendiri, membicarakan dan mencela wanita di depan Hong Ing, seorang wanita pula, bahkan seorang wanita remaja yang amat cantik jelita! Baru dia teringat betapa dia telah kelepasan bicara, telah melepaskan kata-kata keras yang terdorong oleh rasa penasaran di hatinya terhadap Giok Keng puteri supeknya yang selain telah bersama-sama Liong Bu Kong, juga telah mengeroyoknya tadi.

“Yap Kun Liong...”

Panggilan nama lengkapnya ini membuat hati Kun Liong berdebar, namanya disebut lengkap dengan suara yang begitu dingin! Dari dada Hong Ing keluar isak tertahan dan tiba-tiba dara itu membuang muka, mengalihkan pandang matanya ke air di luar perahu, kemudian kedua tangannya menyapu-nyapu air laut seolah-olah dia bicara dengan lautan. “Yap Kun Liong pemuda yang gagah perkasa dan terpelajar itu bicara seperti seorang kakek tua renta tentang wanita... padahal segala ilmu silatnya dia dapat dari guru-gurunya, segala ilmu sastranya dia dapat dari kitab-kitab, semua itu dia hanya menjiplak saja dan sekarang... dengan kesombongan yang melebihi halilintar dia mengutuk wanita, seolah-olah wanita disamakannya dengan isi keranjang sampah!”

“Hong Ing...” Kun Liong mengeluh, menyesali kata-katanya tadi.

“Seolah-olah dialah satu-satunya pria yang paling hebat... yang terlampau tinggi bagi mahluk wanita yang lemah dan hina...”

“Hong Ing... aku tidak bermaksud begitu...”

“Yap Kun Liong pemuda pongah, pemuda sombong itu... pantasnya berada di kahyangan tanpa wanita... dan baginya, agaknya hanya neraka sajalah tempat tinggal wanita... begitu hebat dia memandang rendah wanita sampai dia lupa bahwa neneknya dan ibunya pun seorang wanita...”

“Hong Ing...!” Kun Liong membentak, mukanya menjadi pucat. Mengapa dara itu begitu berlebih-lebihan menambah-nambah ucapannya tadi?

Akan tetapi Hong Ing sudah memalingkan muka, membelakanginya dan dara itu merapikan kain putih penutup kepalanya yang terbuka oleh angin, kemudian gadis ini bersenandung!

Kun Liong tenganga bengong. Suara Hong Ing amat merdunya, jernih melebihi air di luar perahu peti mati dan halus mengimbangi hembusan angin, nyanyiannya lirih namun kata-katanya terdengar jelas, diiringi suara air laut memercik pada peti yang mendatangkan irama kacau namun pada saat itu merupakan latar belakang nyanyian yang menambah keindahan nyanyiannya itu.

Mula-mula Kun Liong terpesona oleh suara yang merdu sekali itu, menjadi istimewa karena dinyanyikan di tempat seperti itu, di saat seperti itu pula. Akan tetapi, alisnya berkerut dan matanya terbelalak ketika dia mulai memperhatikan kata-kata yang diucapkan dalam nyanyian itu. Hong Ing bernyanyi tentang... cinta! Dan setelah dia mengikuti isi nyanyian, teringatlah dia bahwa yang dinyanyikan itu merupakan sajak kuno yang ditulis oleh seorang sastrawan di jaman Kerajaan Han, ratusan tahun yang lalu. Dia merasa kagum sekali, kagum dan heran. Kagum karena tidak disangkanya dara ini selain memiliki suara merdu juga mengenal sajak itu, dan heran mengapa dara murid Go-bi Sin-kouw yang sejak kecil berada di puncak gunung ini demikian pandai bernyanyi.

“Cinta adalah Kehidupan
tanpa cinta hidup sama dengan
mati
Cinta adalah Cahaya
tanpa cinta hidup gelap gulita
Cinta adalah Suci
tanpa cinta hidup bergelimang
dosa
Hanya orang bijaksana saja
mengenal Cinta
si dungu hanya mengejar
nafsu!”

“Suaramu indah sekali!”

Akan tetapi Hong Ing tidak menjawab, menoleh pun tidak, hanya mengulang lagi nyanyiannya. Kun Liong merasa seolah-olah disindir hebat oleh nyanyian itu, terutama sekali baris terakhir yang mengatakan bahwa si dungu hanya mengejar nafsu, maka dia menjadi mendongkol juga. Karena pujiannya tidak dipedulikan, dia lalu mencari bahan untuk menggoda dara itu. Akhirnya dia memperoleh akal dan berteriak keras melawan angin, agar mengatasi suara nyanyian dara itu.

“Hai lucunya! Ada nikouw kok menyanyi!”

Pancingannya berhasil. Hong Ing menoleh dan dengan mata berkilat penuh penasaran dia menjawab, “Nikouw juga manusia yang mempunyai mulut dan suara! Apa salahnya nikouw menyanyi?”

Girang hati Kun Liong melihat bahwa dia telah berhasil memancing kemarahan Hong Ing itu sehingga membantahnya. Lebih baik melihat dara ini marah-marah dan memaki-makinya sekali daripada melihat dia didiamkan dan tidak diacuhkan seperti patung.

Kun Liong tertawa. “Tentu saja semua nikouw boleh bernyanyi, akan tetapi biasanya nikouw hanya menyanyikan lagu doa untuk liam-keng, bukan menyanyikan lagu tentang cinta!”

Sepasang mata yang bening itu makin mendelik marah. “Aku bukan nikouw! Aku bukan nikouw aseli, melainkan nikouw palsu, nikouw terpaksa! Sekarang aku bukan nikouw lagi!” Berkata demikian, Hong Ing lalu merenggut lepas kain putih penutup kepalanya sehingga tampaklah kepalanya yang gundul dan licin mengkilap, bersih dan bentuknya bulat.

Melihat kepala ini, tak dapat ditahan lagi Kun Liong tersenyum lebar dan matanya memandang kepala itu. Melihat betapa mata pemuda itu ditujukan kepada kepalanya, baru Hong Ing teringat bahwa kepalanya gundul pelontos. Mukanya menjadi merah sekali, dia merasa seolah-olah kepalanya berada dalam keadaan “telanjang”, maka dengan tergesa-gesa ditutupkannya kembali kain putih ke atas kepalanya. Tentu saja gerakan dan sikap dara ini membuat Kun Liong menjadi makin geli dan dia mencela, “Heii, mengapa ditutup kembali?”

In Hong tentu saja tidak mau mengatakan malu karena kepalanya “telanjang”, dan dengan cemberut dia berkata, “Siapa melarang aku menutupi kepalaku? Matahari amat teriknya, kepalaku menjadi panas terkena sinar matahari.”

Kun Liong tidak mau menggoda lebih jauh lagi. Dia sudah merasa girang bahwa Hong Ing sudah mau bicara dengan dia. Maka dia berkata, “Hong Ing, kaumaafkanlah semua kata-kataku yang tidak karuan. Harap kau tidak marah lagi kepadaku.”

Hong Ing menjawab tidak acuh, “Siapa marah? Aku tidak marah.”

“Ahh, kau tadi mengatakan aku pongah dan sombong...”

“Kau juga mengatakan bahwa wanita amat buruk dan hinanya...!”

Kun Liong makin tidak mengerti akan sikap wanita pada umumnya dan dara ini pada khususnya. Akan tetapi karena dia tidak mau bermusuhan dengan satu-satunya kawan seperahu yang senasib sependeritaan dengannya di saat itu, dia diam saja. Dia murung dan betapapun dia menekan perasaannya, tetap saja mulutnya cemberut.

Sampai lama mereka berdiam diri. Kun Liong mengatur arah perahu, terus ke timur dan kemudian membelok ke utara. Dia sengaja tidak mau bicara dan tidak memandang kepada Hong Ing, khawatir kalau-kalau mendatangkan keributan lagi. Heran dia mengapa setelah terlepas dari bencana dan menghadapi bencana baru yang tidak berketentuan ini, dia dan Hong Ing selalu berbantahan. Tiba-tiba terdengat suara dara itu, “Kun Liong...” Suaranya begitu merdu dan ketika dia menengok, dia melihat wajah dara itu berseri. Bukan main manisnya!

“Hemmm...?” Kun Liong juga tersenyum, terseret oleh senyum dara itu.

“Lihat ini...”

Tangan kanan dara itu memegang seekor ikan sebesar betis, ikan segar yang masih menggelepar dan berusaha meronta terlepas dari pegangan tangan kecil yang amat kuat itu. “Aku menyambarnya ketika dia berenang dekat perahu. Kupanggang dia, ya?”

“Wah, tentu enak sekali!” kata Kun Liong dan mereka tertawa-tawa gembira, lupa akan percekcokan mereka tadi. Karena di situ tidak terdapat bahan bakar, terpaksa Hong Ing menggunakan tenaganya untuk mematahkan sedikit ujung tiang layar dan mengambil sedikit kayu dengan menghancurkan pinggir tutup peti, kemudian dengan menggosok-gosokkan kayu kering dia berhasil membuat api dan memanggang ikan itu. Akan tetapi setelah mereka makan daging ikan yang lezat itu, mereka bingung karena mereka tidak dapat minum. Mereka merasa haus sekali dan memandang sedih ke arah air laut. Demikian banyaknya air di sekeliling mereka, terlampau banyak, namun mereka tidak dapat minum sama sekali! Air laut berlimpah tinggal ambil namun tiada gunanya, yang mereka butuhkan hanyalah seteguk air tawar! Setelah mengalami hal ini, barulah dengan amat terkejut keduanya sadar bahwa mereka terancam bahaya maut yang mengerikan di tengah laut! Dan mereka tadi sempat bercekcok!

“Hong Ing, kita harus segera dapat mendarat di sebuah pulau yang ada airnya. Kalau tidak, celakalah kita.”

Hong Ing mengangguk dan dara ini lalu membantu Kun Liong memegang tali-temali layar. Angin bertiup kencang dan keduanya melihat-lihat ke empat jurusan, mencari-cari dengan pandang mata disertai penuh harapan akan melihat bayangan sebuah pulau dari jauh. Akan tetapi, di empat penjuru yang tampak hanya air dan air sampai ke kaki langit, air yang tiada tepinya!

Menjelang senja, perahu peti itu sudah berlayar jauh sekali. Angin makin kencang dan tiba-tiba dari langit yang tertutup awan hitam itu turunlah air bertitik-titik besar. Kedua orang muda itu dengan girang dan lega memuaskan dahaga mereka dengan air hujan. Akan tetapi hujan segera turun dengan lebatnya, angin bertiup amat kencangnya sehingga mereka cepat-cepat menurunkan layar. Angin badai mengamuk!

“Celaka...! Kita tutup peti ini...!” Kun Liong berkata dan dengan cepat mereka berdua menutupkan peti setelah membuang air keluar dari peti. Peti itu mulai diombang-ambingkan gelombang yang dahsyat dan tak lama kemudian, Kun Liong dan Hong Ing terbanting-banting dan saling berpelukan di dalam peti yang kini tidak hanya diombang-ambingkan, melainkan dilempar ke atas dan diguling-gulingkan! Di dalam peti yang gelap itu, Kun Liong mendengar suara dahsyat dari badai dan di antara suara dahsyat ini, terdengar tangis Hong Ing yang lemah, tangis ketakutan. Dia memeluk tubuh dara itu, mendekapnya dan dengan seluruh jiwa raganya dia berniat melindunginya. Akan tetapi apa dayanya? Mereka berada di dalam sebuah peti mati tertutup, peti yang kecil sehingga mereka tidak mampu bergerak, peti yang dipermainkan oleh badai dan setiap saat dapat saja peti itu ditenggelamkan atau dihempaskan hancur lebur di batu karang sehingga riwayat mereka akan habis sampai di situ saja. Hong Ing menangis dan merintih-rintih saking takutnya, sedangkan Kun Liong sendiri yang selama ini tidak pernah mengenal takut, kini merasa ngeri juga sehingga tanpa disadarinya, timbul kembali pengalaman di waktu dia masih kanak-kanak dan tak terasa lagi dia meneriakkan panggilan kepada ayah bundanya seperti seorang anak kecil yang menderita ketakutan.

Tiba-tiba Kun Liong merasa terguncang hebat dan berbareng dengan suara keras sekali tubuhnya terlempar dan keadaan menjadi gelap. Ketika terlempar itu dia seperti mendengar suara wanita memanggil namanya, “Kun Liong...!” Akan tetapi dia tidak tahu pasti apakah itu suara ibunya, ataukah suara Hong Ing karena dia sudah tidak ingat apa-apa lagi.

Ketika Kun Liong membuka kedua matanya, dia mendapatkan dirinya sudah rebah menggeletak di atas pasir. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, setiap gerakan kaki atau tangan mendatangkan rasa nyeri sekali. Dia mengeluh, akan tetapi begitu teringat akan Hong Ing, dia cepat bangkit dan duduk, sama sekali tidak lagi merasakan rasa nyeri-nyeri tubuhnya. Malam masih gelap dan suara badai masib menggelora. Akan tetapi dia selamat! Dia telah berada di daratan. Dengan tangan kaki meraba-raba dia bangkit berdiri, melangkah maju. Kiranya dia berada di pantai yang penuh dengan batu-batu karang dan pasir. Untung dia terhempas di pasir, kalau terhempas di batu-batu, tentu tubuhnya sudah hancur lebur. Kembali dia teringat kepada Hong Ing!

“Hong Ing...!” Dia memanggil dengan pengerahan khi-kangnya. Suaranya dihembus pergi oleh angin badai, akan tetapi dia terus memanggil-manggil sambil meraba ke kanan kiri dalam kegelapan.

Tidak ada yang menjawabnya! Dia berteriak lagi, melangkah maju tersaruk-saruk, kadang-kadang jatuh, bangkit lagi dan memanggil lagi. Akhirnya, setelah suaranya habis dan serak, setelah untuk berjam-jam dia memanggil tanpa ada jawaban, dia menjatuhkan diri berlutut di atas pasir, berpegang kepada batu karang dan menangis! Baru sekali ini Kun Liong menangis seperti itu, menangis sesenggukan karena terbayang di depan matanya betapa tubuh dara itu tentu hancur lebur dihempaskan di atas batu-batu karang. Baru sekali ini dia merasakan kedukaan yang amat hebat. Merasakan kebimbangan yang membuat hidupnya sekaligus terasa sunyi dan hampa.

Sambil menangis dia akhirnya duduk bersandarkan batu karang. Hatinya mengutuk badai, mengutuk batu karang, mengutuk lautan, mengutuk Kok Beng Lama yang melontarkan mereka ke laut, mengutuk semua orang yang mengeroyok mereka, mengutuk dunia dan mengutuk alam! Dia tidak merasakan lagi tubuhnya yang sakit-sakit.

Namun dia masih belum hilang harapan. Sekali-kali dia memekik memanggil nama Hong Ing tanpa ada jawaban. Dia terus duduk di situ, menanti sampai pagi. Dia menanti sampai cuaca menjadi terang agar dia dapat mencari Hong Ing, hidup atau mati. Sambil menanti, telinganya dibuka lebar-lebar, mendengarkan kalau-kalau ada suara Hong Ing memanggilnya. Akan tetapi yang terdengar hanyalah lengking panjang suara badai yang mengiuk-ngiuk, diseling suara air berdeburan dan adakalanya air meledak bergemuruh ketika menghantam batu karang, didasari suara air laut yang mendidih dan mengerikan hati. Di dalam semua keributan suara badai, seolah-olah terdengar suara segala macam hantu dan setan yang muncrat dari dalam lautan, suara mereka yang tertawa-tawa dan menangis melolong-lolong bercampur aduk menjadi satu.

Menjelang pagi, badai berhenti, akan tetapi cuaca masih gelap. Betapapun juga, Kun Liong sudah merangkak-rangkak di antara batu karang, telinganya dibuka lebar dan matanya terbelalak dalam usahanya menembus kegelapan malam, mencari-cari Hong Ing. Mulutnya mulai lagi memekikkan nama dara ini dengan pengerahan khi-kang sekuatnya.

“Hong Ing...!”

Sampai matahari terbit, Kun Liong berkeliaran di pantai, merangkak-rangkak melalui pasir dan batu karang yang tajam, mencari-cari. Akhirnya, di bawah batu karang yang menonjol, dia melihat peti mati yang menjadi perahu mereka itu. Sudah hancur dan pecah berantakan! Cepat dia merangkak mendekati, menuruni batu karang, tidak merasa lagi betapa tangan kakinya yang telanjang itu pecah-pecah kulitnya tertusuk batu karang. Akan tetapi setelah dekat, yang ada hanya pecahan-pecahan peti mati itu saja, berikut layar yang sudah robek-robek. Tidak ada Hong Ing di sekitar tempat itu. Bekasnya pun tidak ada!

Kun Liong lemas dan kembali air matanya bercucuran. Tentu Hong Ing telah dimakan ikan! Betapa ngerinya!

“Hong Ing...!” Dia mengeluh dan seperti orang gila, kembali dia merangkak ke sana-sini, memanggil-manggil.

Tiba-tiba matanya terbelalak memandang ke depan. Ada sebuah benda putih terapung di air! Cepat dia menghampiri dan lari ke pantai yang sedalam lutut. Dia menyambar benda itu dan memandang dengan mata terbelalak. Kain penutup kepala Hong Ing!

“Hong Ing...!” Kun Liong menjerit, kain itu dipeluknya, ditangisi dan diciuminya, terhuyung-huyung dia kembali ke darat sambil menangis, kemudian dia terguling roboh di atas pasir dan pingsan! Kain itu masih dicengkeramnya!

Kita tinggalkan dulu Kun Liong yang pingsan dan marilah kita menengok keadaan di Cin-ling-san. Di pegunungan ini, Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, dengan hidup tenteram, aman dan penuh kebahagiaan di samping kedua orang anak mereka, yaitu Cia Giok Keng dan Cia Bun Houw. Sebagai seorang ketua perkumpulan Cin-ling-pai yang sudah mulai terkenal itu, tentu saja pendekar ini hidup serba cukup dan terjamin, dilayani para anggauta yang juga menjadi murid-muridnya. Giok Keng telah menjadi seorang dara remaja yang sudah mereka tunangkan dengan Yap Kun Liong, dan Bun Houw sudah berusia hampir lima tahun, merupakan seorang anak laki-laki yang tampan dan bertubuh sehat. Apalagi yang dikehendaki? Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar yang dihormati dan disegani orang, bahkan namanya dihormati sampai ke kota raja, dianggap sebagai orang yang berjasa terhadap pemerintah, hidup serba cukup, dan keluarganya sehat sejahtera. Tentu akan dianggap sebagai seorang yang berbahagia hidupnya.

Akan tetapi benarkah demikian? Benarkah Cia Keng Hong merasa dirinya berbahagia? Biasanya hanya orang lain sajalah yang menganggap seseorang itu bahagia. Orang yang tidak mempunyai uang akan menganggap bahwa si pemilik uang berbahagia. Orang yang sedang sakit menganggap bahwa si sehat itu berbahagia. Orang yang sedang cekcok dengan isterinya menganggap bahwa suami isteri yang rukun itu berbahagia. Dan demikian selanjutnya. Akan tetapi benarkah bahwa semua itu dapat dijadikan ukuran seseorang apakah dia hidup bahagia atau tidak?

Selama orang masih memiliki keinginan untuk mendapatkan sesuatu, mungkinkah dia berbahagia? Selama orang masih melakukan perbandingan, tentu akan timbul iri dan kecewa yang melahirkan pertentangan-pertentangan dalam batin yang kemudian meledak keluar. Mungkinkah orang berbahagia kalau masih ada pertentangan, baik lahir maupun batin?

Bahagia tidak terletak pada harta, kedudukan, kewarasan, kesenangan, kehormatan. Bahagia haruslah lengkap dan bulat, tidak terpecah-pecah. Bahagia tidak mungkin dapat dikejar dan dijangkau, tidak mungkin dapat dicari dan dipaksakan untuk memiliki! Bahagia adalah suatu keadaan yang datang sendiri tanpa dipanggil, tanpa dikehendaki, tanpa dirasakan! Bahagia tidak mengenal susah senang, suka duka, puas kecewa dan segala macam keadaan berkebalikan yang memenuhi kehidupan manusia dan karenanya mendatangkan segala pertentangan itu. Kebahagiaan berada di atas segala itu.

Demikianlah, maka hanya menjadi harapan dan mimpi setiap orang saja jika kita bicara tentang bahagia yang seolah-olah ada dan nampak namun selalu hampa kalau diraih. Semua orang mencari jalan menuju kebahagiaan, seolah-olah kebahagiaan merupakan suatu tujuan yang tertentu dan mati sehingga kita tersesat tanpa obor, seperti orang yang mencari sumbernya angin, mencari ujungnya piring!

Kehidupan Cia Keng Hong bersama keluarganya di Cin-ling-san juga hanya kelihatannya saja hidup bahagia dalam pandang mata orang-orang tertentu. Untuk melihat apakah benar-benar mereka berbahagia, mari kita mengikuti pengalaman mereka selanjutnya dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka. Bukankah hidup ini merupakan perubahan setiap saat, merupakan pergerakan yang terus-menerus dan tidak pernah sama?

Pada pagi hari itu, setelah melakukan latihan pagi, Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, duduk bercakap-cakap menghadapi sarapan pagi di dalam taman bunga mereka yang cukup indah dan luas di sebelah belakang rumah. Bun Houw yang berusia empat tahun lebih dan tak pernah mau diam itu berada di taman pula, mengejar-ngejar kupu-kupu yang banyak beterbangan di sekeliling bunga-bunga yang sedang mekar mengharum.


“Giok Keng sudah cukup dewasa,” terdengar Pendekar Cia Keng Hong berkata kepada isterinya. “Bahkan sudah agak terlambat untuk menikah, maka sekembalinya nanti, kita harus cepat-cepat membuat persiapan untuk merayakan pernikahannya dengan Kun Liong. Karena puteri kita hanya seorang itu, maka kita harus mengundang semua dan biarlah perayaan itu diadakan sebesarnya sesuai dengan kemampuan kita.” Berkata demikian, wajah pendekar itu berseri dan hatinya gembira membayangkan betapa dia akan menjadi ayah mertua yang berbahagia, menerima ucapan selamat dari sahabat-sahabatnya, para tokoh besar di kota raja dan di dunia kang-ouw.

Sie Biauw Eng mengerutkan alisnya. Biarpun usianya sendiri sudah empat puluh tahun lebih, nyonya ini masih kelihatan muda dan cantik sekali.

“Aku pun gembira dapat memperoleh mantu putera mendiang Yap Cong San dan Gui Yan Cu yang bernasib malang itu. Akan tetapi... apakah keputusan ini sudah kaupikir dengan matang? Apakah sudah cukup bijaksana? Kita tahu bahwa pernikahan baru akan berhasil apabila dua orang yang bersangkutan sudah menyetujuinya. Mengapa kau tidak menanyakan dulu kepada Keng-ji untuk mengetahui isi hatinya?”

“Ahhh, kurasa tidak perlu, dan Keng-ji sendiri juga sudah tahu siapa dan orang macam apa adanya Kun Liong! Adakah pemuda lain yang lebih hebat dan lebih memuaskan daripada dia? Dia keturunan orang baik-baik, bahkan masih sahabat baik kita sendiri, ibunya masih sumoiku sendiri. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan Thi-khi-i-beng hanya diberikan kepada dia seorang. Juga melihat sepak terjangnya, dia memiliki watak yang gagah perkasa dan budiman, biarpun agak lemah dan terlalu mudah memaafkan orang, terlalu mengalah. Pula kalau dipikir secara mendalam, perjodohan atas pilihan orang tua belum tentu selamanya buruk.”

“Hemmm, mengapa kau tidak ingat akan keadaan kita sendiri? Perjodohan harus didasari cinta kasih kedua pihak yang bersangkutan. Hanya kasih sayang kedua pihaklah yang penting, selebihnya tidak ada artinya lagi. Orang tua hanyalah melaksanakan saja.”

“Hemm, ucapanmu memang benar. Akan tetapi kupikir, bagi orang muda yang belum berpengalaman, pilihan jodoh mereka bisa saja meleset dan gagal! Orang muda yang masih hijau hanyalah melihat keindahan muka dan mendengar kemanisan kata-kata! Banyak terjadi ketika saling mengenal, mereka bersumpah saling menyatakan cinta, akan tetapi setelah menikah, timbul perpecahan karena tidak cocok watak mereka. Bagaikan membeli barang, orang muda hanya memperhatikan keindahan lahirnya saja, sama sekali tidak memperhatikan mutu dalamnya, hanya melihat kulit tidak mempedulikan isi. Maka setelah menikah, baru menyesal...”

“Belum tentu! Buktinya kita yang berjodoh karena saling mencinta sampai sekarang berjalan baik. Juga Cong San dan Yan Cui. Orang tua mana bisa disamakan orang muda? Apa yang dianggap baik oleh pandang mata orang tua, belum tentu baik bagi mata orang muda. Pula, yang hendak menikah bukan orang tuanya, melainkan orang mudanya! Merekalah yang akan menanggung akibatnya selama hidup, maka mereka pula yang berhak memilih.”

“Siapa bilang orang tua tidak ikut menanggung akibatnya? Kalau anaknya hidup bahagia dengan mantunya, orang tua hanya ikut bersyukur, akan tetapi kalau melihat kehidupan rumah tangga anaknya hancur, orang tua lebih berduka daripada si anak sendiri. Karena itu, kita harus berhati-hati dan menurut pandanganku, pilihanku terhadap Kun Liong sudah tepat.”

“Aku tidak mengatakan bahwa pilihanmu tidak tepat, dan aku pun suka kepada pemuda itu. Hanya aku katakan bahwa kita belum bertanya kepada Keng-ji. Kalau memang dia juga mencinta Kun Liong, tentu saja hatiku akan merasa puas dan lega...”

Perdebatan antara suami isteri ini, perdebatan yang merupakan lagu lama antara suami isteri dan antara orang tua dan orang muda, tentu akan berkepanjangan kalau saja pada saat itu tidak tampak datang pembantu utama atau murid kepala mereka yang bernama Kwee Kin Ta. Mereka menghentikan perdebatan itu dan memandang kepada Kin Ta yang berdiri dengan sikap hormat kepada suhu dan subonya.

“Harap Suhu dan Subo memaafkan teecu yang datang menghadap tanpa dipanggil. Teecu hendak melaporkan bahwa teecu melihat Sumoi pulang bersama...” Sampai di sini murid itu berhenti bicara. Cia Keng Hong dan isterinya yang menjadi gembira mendengar kedatangan puteri mereka itu memandang dengan heran.

“Bersama siapa?” Keng Hong mendesak karena tidak biasanya murid kepala yang biasa bersikap tenang itu kelihatan bingung dan ragu-ragu.

“Bersama... pemuda yang dahulu pernah datang ke sini dan membikin kacau beberapa waktu yang lalu...”

“Siapa...?” Biauw Eng membentak marah.

“Putera... putera Kwi-eng Niocu Ketua Kwi-eng-pang...”

“Apa...?” Keng Hong meloncat bangun, mukanya berubah, akan tetapi dia saling pandang dengan isterinya, menekan perasaannya dan berkata, “Kin Ta, kauajak Bun Houw bermain-main di luar dan kalau Keng-ji datang, suruh mereka berdua menghadap kami di taman ini.”

Kwee Kin Ta mengangguk, lalu mengajak Bun Houw pergi dari situ dengan menjanjikan permainan bagus kepada anak itu. Setelah murid kepala ini membawa putera mereka pergi, Keng Hong dan Biauw Eng duduk kembali saling pandang dan alis mereka berkerut, tidak mengeluarkan kata-kata karena hati mereka penuh dengan dugaan yang tidak-tidak.

“Tenanglah, kita belum tahu apa yang terjadi,” akhirnya Biauw Eng berkata kepada suaminya, khawatir kalau-kalau suaminya tidak dapat menahan kesabarannya dan marah kepada puteri mereka.

Keng Hong mengangguk. “Tentu terjadi sesuatu yang aneh dan hebat....” katanya, menarik napas panjang. “Apa pun yang terjadi, agaknya tidak mungkin Keng-ji mau berbaik dengan putera seorang datuk sesat.”

“Harap tenang dan bersabar, tentu ada alasannya,” isterinya membela puteri mereka. Percakapan terputus karena pada saat itu tampak Giok Keng dan Liong Bu Kong sudah muncul dari pintu dan langsung kedua orang muda itu memasuki taman dan melangkah cepat tanpa ragu-ragu menghampiri mereka.

Memang sebelumnya Giok Keng yang cerdik itu telah mengaturnya bersama kekasihnya, bagaimana kalau mereka bertemu dengan ayah bundanya. Maka kini keduanya langsung menghadap dan menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti dan isterinya itu. Dengan sikap hormat sekali Bu Kong berlutut dan tidak berani mengangkat muka, sedangkan Giok Keng setelah menyebut “ayah dan ibu” lalu mencabut keluar pedangnya dan berkata kepada ayahnya dengan suara penuh ketegangan, “Ayah, harap Ayah periksa pedangku ini.”

Benar saja perhatian Keng Hong dan Biauw Eng segera tertarik. Kalau tadinya mereka berdua ini menatap wajah Bu Kong dengan pandang mata heran dan penuh pertanyaan, kini sekaligus mereka mengalihkan pandang dan melihat pedang yang diberikan oleh Giok Keng kepada ayahnya itu. Pedang itu adalah pedang Gin-hwa-kiam pemberian Cia Keng Hong kepada puterinya, sebatang pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi begitu melihat pedang yang terhunus itu, Keng Hong dan Biauw Eng terkejut bukan main. Di badan pedang itu tampak jelas bekas jari tangan orang, seolah-olah pedang itu terbuat dari tanah liat yang basah saja sehingga garis-garis jari tangan itu terlukis di batang pedang! Hal itu menandakan bahwa ada orang memiliki tenaga sin-kang mujijat yang telah berani menangkis atau melawan Gin-hwa-kiam dengan jari tangannya! Seorang yang memiliki kepandaian sehebat itu benar-benar belum pernah mereka temukan.

“Siapa yang melakukan ini?” Sebagai seorang pendekar sakti yang sukar dicari tandingannya, tentu saja Cia Keng Hong tertarik sekali untuk mengetahui siapa orangnya yang mampu menangkis pedang Gin-hwa-kiam dengan tangan kosong itu.

Memang inilah yang dikehendaki Giok Keng dengan mencabut dan memperlihatkan Gin-hwa-kiam kepada ayahnya. Dia ingin mengalihkan perhatian ayah bundanya sehingga urusannya dengan Bu Kong dapat diceritakan melalui jalan terputar dan tidak secara langsung.

lanjut ke Jilid 071-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar