Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 72

Petualang Asmara Jilid 072

<--kembali

“Ouhhh...!” Kok Beng Lama jatuh terduduk, mukanya pucat sekali dan matanya terpejam, alisnya berkerut, wajahnya kelihatan berduka sekali. Terbayang di dalam ingatannya semua peristiwa yang terjadi belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu di Tibet!

Ketika itu, dia merupakan seorang di antara tokoh-tokoh golongan Lama Jubah Merah yang terdapat di Tibet. Golongan Lama Jubah Merah ini adalah segolongan pendeta yang menganut Agama Buddha yang dicampur dengan Agama Hindu, maka di samping memuja pelajaran Buddha, juga mereka masih memuja para dewa Agama Hindu. Golongan Lama Jubah Merah terutama sekali memuja Dewa Syiwa yang dipujanya sebagai dewa pembasmi den penghancur, karena itu amat ditakuti dan telah menjadi tradisi di golongan mereka untuk setiap tahun, pada hari ulang tahun dewa itu, mereka menyerahkan korban-korban, diantaranya korban seorang dara cantik yang masih perawan.

Golongan yang fanatik ini menanam banyak permusuhan dengan golongan lain, bahkan perbuatan mereka memaksa gadis menjadi korban tiap tahun mendatangkan permusuhan pula dengan banyak orang yang terdiri dari rakyat jelata. Namun karena golongan Lama Jubah Merah ini memiliki banyak tokoh yang berilmu tinggi sekali, tidak ada golongan lain yang berani berterang menentang mereka. Ada beberapa orang gagah, diantaranya ada yang datang dari Tiongkok, yang mencoba untuk menentang pengorbanan anak perawan tiap tahun, namun mereka ini seorang demi seorang dikalahkan dan ditewaskan oleh para tokoh Lama Jubah Merah.

Diantara tokoh kang-ouw yang terbunuh dalam usaha ini adalah seorang pendekar bernama Pek Jwan Ki yang gagah perkasa. Setelah pendekar ini tewas, puterinya yang baru berusia delapan belas tahun, bernama Pek Cu Sian, menyerbu markas Lama Jubah Merah untuk membalas dendam. Akan tetapi, betapa pun lihainya dara ini tertawan dan kemudian melihat bahwa dia amat cantik dan masih perawan, dia dipilih untuk menjadi calon korban, hendak dipersembahkan kepada Dewa dalam pesta pemujaan tahun depan! Pemujaan itu dilakukan dengan membakar anak perawan itu dalam keadaan telanjang bulat, dengan demikian jiwa raganya akan diterima oleh Dewa pujaan mereka!

Ketika Pek Cu Sian yang cantik menjadi tawanan inilah terjadi peristiwa hebat yang menggegerkan Tibet, terutama di lingkungan kaum Lama Jubah Merah. Kok Beng Lama, seorang diantara para tokoh Lama Jubah Merah yang bertingkat dua, sebagai orang ke dua yang terlihai di antara mereka, seorang pendeta yang baru berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tampan dan gagah perkasa, tergila-gila dan jatuh cinta ketika melihat Pek Cu Sian! Maka dengan kecerdikan dan kelihaiannya, diam-diam Kok Beng Lama menolong perawan itu, mengeluarkannya dari dalam tempat tahanan, kemudian menyembunyikannya di dalam kamar rahasia.

Pek Cu Sian yang telah berada di ambang maut yang mengerikan itu, merasa berhutang budi dan timbul pula kagum dan sukanya kepada penolong yang gagah perkasa ini, biarpun penolong itu usianya sudah setengah tua dan pantas menjadi ayahnya. Kalau dua orang insan, pria dan wanita sudah saling suka, maka terjadilah hal yang lumrah, yaitu keduanya saling mendekati dan karena Pek Cu Sian tidak mempunyai orang lain yang dapat dipercaya, maka kepercayaannya tercurah kepada Kok Beng Lama. Keduanya melakukannya hubungan rahasia di dalam kamar di mana perawan itu di sembunyikan. Semua berjalan rapi tanpa ada yang mengetahuinya, dan dara itu oleh para tokoh Lama Jubah Merah dianggap hilang atau berhasil melarikan diri. Akan tetapi sebetulnya, Pek Cu Sian hidup sebagai suami isteri dengan Kok Beng Lama, bahkan setahun kemudian Pek Cu Sian melahirkan seorang anak perempuan di dalam kamar rahasianya. Wanita tua yang membantu berlangsungnya kelahiran ini, setelah tenaganya tidak dibutuhkan lagi, dibunuh oleh Kok Beng Lama agar rahasia mereka tidak membocor keluar!

Akan tetapi, betapa pun rapatnya mereka menyimpan rahasia, akhirnya terbuka juga. Anak perempuan itu mereka beri nama Pek Hong Ing, dan pada suatu hari, seorang pendeta Lama melihat anak berusia lima tahun itu keluar dari kamar rahasia. Dan terbukalah rahasia yang selama hampir enam tahun itu disimpan oleh Kok Beng Lama dan Pek Cu Sian!

Akibatnya, Kok Beng Lama ditangkap dan Pek Cu Sian melarikan diri bersama puterinya, dikejar-kejar oleh para Lama Jubah Merah. Selama enam tahun, Pek Cu Sian telah mempelajari ilmu silat tinggi dari kekasihnya, maka dia melakukan perlawanan gigih dan berhasil membunuh beberapa orang pendeta Lama Jubah Merah. Namun dia sendiri terluka parah dan biarpun akhirnya dia berhasil melarikan diri meninggalkan Tibet, ketika tiba di Go-bi-san, dia roboh dan tewas. Baiknya pada waktu peristiwa pengejaran itu terjadi, Kok Beng Lama tidak tahu karena dia sedang “diadili”, maka tidak terjadi hal yang lebih hebat lagi.

Kok Beng Lama dijatuhi hukuman sepuluh tahun lamanya oleh ketua golongan Lama Jubah Merah. Selama sepuluh tahun di dalam kamar tahanan ini, Kok Beng Lama memperdalam ilmu kepandaiannya sehingga ketika hukumannya sudah habis, dia memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Bahkan dia telah mempunyai khi-kang yang luar biasa kuatnya, juga sin-kangnya membuat kedua tangannya kebal dan berani melawan senjata pusaka yang bagaimanapun juga ampuhnya!

Akan tetapi, ketika dia keluar dari hukuman dan mendengar bahwa kekasihnya dan puterinya pergi melarikan diri, dia menjadi marah sekali. Didatanginya ketua golongan dan dimintanya pertanggungan jawabnya.

“Pinceng telah menerima dosa dan telah menanggung semua kesalahan dengan menerima hukuman sepuluh tahun tanpa membantah. Mengapa Pek Cu Sian dan puteri kami yang tidak berdosa dikejar-kejar? Tentu mereka telah kalian bunuh!” teriaknya marah.

Dengan kepandaiannya, dia menangkap seorang Lama dan menyiksanya sampai Lama itu mengaku betapa Pek Cu Sian dan puterinya melarikan diri dan dikejar, dikeroyok sampai luka-luka parah dan biarpun dapat melarikan diri, akan tetapi luka-luka yang amat hebat yang dideritanya tentu tidak akan dapat ditahannya.

Mendengar ini, Kok Beng Lama mengamuk dan ketua golongan Lama Jubah Merah tewas di tangannya! Masih banyak lagi Lama Jubah Merah yang tewas oleh Kok Beng Lama yang mengamuk itu, kemudian dia melarikan diri dari Tibet dengan niat untuk mencari tahu perihal kekas1h dan puterinya. Kedukaan hatinya mendengar akan nasib kekasihnya membuat dia seperti gila, dan karena dia sudah lama mendengar nama-nama besar dari Sin-jiu Kiam-ong, Bun Hwat Tosu, Tiang Pek Hosiang, dan yang terdekat adalah Go-bi Thai-houw, maka di sepanjang jalan dia menantang empat orang ini. Dia percaya bahwa dengan tingkat kepandaiannya sekarang, dia akan mampu mengalahkan empat orang tokoh besar itu!

Demikianlah riwayat singkat dari Kok Beng Lama. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tanpa disangka-sangkanya, dia mendengar tentang kekasihnya itu dari Go-bi Sin-kouw! Apalagi ketika dia mendengar bahwa kekasihnya, Pek Cu Sian, seperti yang dikhawatirkannya selama ini, telah meninggal dunia akibat luka-lukanya, dia menjadi demikian berduka sampai hampir pingsan. Sampai lama dia duduk bersila, memejamkan kedua matanya dan ketika kedua matanya itu akhirnya dibukanya kembali, sinar matanya menjadi suram dan layu.

“Bagaimana matinya?” Ucapan apa yang menjadi pesan terakhirnya? Bagaimana dengan Puteri Pinceng?” Suara pendeta Lama yang biasanya gembira dan tenang itu kini terdengar parau dan tidak jelas.

“Kok Beng Lama! Pertama-tama yang disebut adalah namamu, maka begitu mendengar kau menyebutkan namamu di Pantai Pohai aku segera mengenalmu. Akan tetapi, sebelum aku melanjutkan ceritaku, kau harus berjanji dulu bahwa selanjutnya engkau tidak akan memusuhi atau mengganggu lagi kepada Go-bi Sin-kouw.”

Kakek itu dengan tidak sabar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah, aku Kok Beng Lama berjanji takkan mengganggu Go-bi Sin-kouw.”

“Dan kau harus menyetujui aku menggantikan kedudukan Kim Seng Siocia di sini memimpin semua wanita ini.”

“Baik, baik. Memang sudah selayaknya, engkau yang telah menemukan Cu Sian.”

Berseri wajah Go-bi Sin-kouw. Yang lain-lain dia tidak takut, apalagi anak buah Kim Seng Siocia tentu akan tunduk kepadanya. Dia hanya jerih menghadapi pendeta Lama ini karena dia maklum bahwa pendeta ini hebat bukan main, sama sekali bukan tandingannya!

“Kalau begitu, sebagai majikan dari markas ini, aku mempersilakan kau masuk ke istanaku di mana kita dapat bicara dengan tenang, Kok Beng Lama.”

Pendeta yang sudah ingin sekali mendengar cerita tentang kekasihnya dan puterinya itu, mengangguk dan mereka berdua lalu memasuki rumah besar yang megah bekas tempat tinggal Kim Seng Siocia setelah Go-bi Sin-kouw dengan suara lantang memerintahkan “anak buahnya” untuk mengurus jenazah Kim Seng Siocia, Acui, Amoi dan empat orang gadis yang menjadi korban kelihaian Kok Beng Lama.

Setelah duduk berhadapan dan minum arak yang disuguhkan oleb anak buah yang kini memperoleh majikan baru itu, Go-bi Sin-kouw talu bercerita, “Aku sedang melakukan perjalanan bersama muridku yang bemama Lauw Kim In ketika aku bertemu dengan Pek Cu Sian. Dia menggeletak tak berdaya, kehabisan darah yang keluar dari luka-lukanya, sedangkan seorang anak perempuan berusia lima tahun nenangis di sampingnya. Aku berusaha mengobatinya, namun percuma karena dia telah kehabisan darah. Sebelum dia meninggal dunia, dia menyerahkan kalung ini dan mengatakan bahwa kalau aku bertemu dengan seorang bernama Kok Beng Lama, agar supaya aku menyerahkkan benda ini dan anak perempuan yang bernama Pek Hong Ing.”

Kok Beng Lama menciumi kalung itu dan dua titik air mata membasahi pipinya, kemudian dia bertanya penuh gairah, “Budi pertolonganmu amat besar, Go-bi Sin-kouw. Aku berterima kasih sekali. Dan di mana sekarang adanya anakku itu? Di mana puteriku Pek Hong Ing...?”

Go-bi Sin-kouw menarik napas panjang, “Itulah yang menyusahkan hatiku. Anak itu kupelihara dan kudidik sampai menjadi dewasa. Kemudian hendak kujodohkan dengan seorang pangeran. Dengar baik-baik! Dengan seorang pangeran putera Kaisar! Akan tetapi, dia malah melarikan diri, agaknya terbujuk oleh seorang pemuda berkepala gundul yang lihai! Engkau malah sudah bertemu dengan puterimu itu, Kok Beng Lama.”

“Hehhh...?” Mata yang lebar itu terbelalak makin lebar. “Di mana? Yang mana?”

“Ingatkah engkau ketika engkau muncul di Pantai Pohai? Ada seorang pemuda gundul dan seorang nikouw muda yang kami keroyok untuk kami tangkap, bahkan kau telah membantu mereka melarikan diri.”

“Yaaaa, dan mana puteriku?”

“Nikouw muda itulah!”

“Aihhh...!” Pendeta Lama itu mencelat ke atas dan matanya menjadi liar dan ganas sekali memandang kepada Go-bi Sin-kouw sehingga nenek ini menjadi terkejut, bersiap sedia dan dengan cepat dia berkata,

“Ingat, kau tidak akan memusuhi aku, Kok Beng Lama.”

Kakek itu mengepal kedua tinju tangannya yang besar kemudian menghardik, “Go-bi Sin-kouw, kenapa kau memusuhi puteriku yang katanya menjadi muridmu?”

“Ahhh, duduklah baik-baik dan dengarkan dengan tenang,” Go-bi Sin-kouw membujuk dan kakek itu duduk kembali dengan sikap kasar karena hatinya masih marah.

“Sudah kukatakan bahwa Pek Hong Ing, puterimu atau muridku itu, hendak kujodohkan dengan Pangeran Han Wi Ong yang mencintanya. Bukankah aku bermaksud baik dan mengangkat derajatnya setinggi mungkin? Bayangkan, kau akan menjadi ayah mertua seorang pangeran, putera Kaisar! Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? Hong Ing kena dibujuk oleh seorang pemuda, Si Gundul itu sehingga Hong Ing melarikan diri mencukur rambutnya seperti nikouw, bahkan kemudian bersama pemuda itu melawan kami dan tidak mau menyerah ketika hendak ditangkap. Maksudku hanya menangkap mereka dan menyerahkan kepada pengadilan, dan membujuk Hong Ing agar suka menjadi isteri pangeran. Sayang, sebelum mereka tertangkap, engkau muncul dan membikin kacau, engkau malah membantu pemuda yang hendak mencelakakan puterimu itu.”

“Brakkkk!” Meja itu terbuat daripada batu putih yang amat keras, akan tetapi tidak kuat menahan kepalan tangan Kok Beng Lama, retak-retak dan nyaris hancur lebur! “Siapa pemuda gundul itu?”

“Namanya Yap Kun Liong dan dia lihai sekali!”

“Tak peduli betapa lihainya, dia akan kuhancurkan kepalanya seperti meja ini!”

“Tapi dia kabarnya memiliki Ilmu Thi-khi-i-beng, dan menurut kabar orang-orang kang-ouw, dia murid keponakan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan dia pula yang tahu di mana adanya pusaka bokor emas milik Panglima The Hoo.”

Berkerut alis Kok Beng Lama. “Apa itu Thi-khi-i-beng?”

“Ahh, seorang selihai engkau masih belum mengenal Thi-khi-i-beng? Ilmu yang amat dahsyat dan mujijat, sin-kang yang dapat menyedot tenaga dalam lawan, yang tadinya hanya dimiliki oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong!”

“Huh, siapa itu Cia Keng Hong?”

“Dialah murid tunggal orang yang kau cari-cari, Sin-jiu Kiam-ong.”

“Bagus! Di mana dia?”

“Dia menjadi Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san. Dan bokor emas milik Panglima The Hoo yang dijadikan rebutan seluruh orang dunia kang-ouw, kabarnya juga hanya diketahui tempatnya oleh pemuda itu. Dan sekarang, puterimu dibawa olehnya, entah ke mana.”

“Keparat! Akan kucari mereka semua!” Tiba-tiba kakek itu meloncat dan sekali berkelebat dia lenyap dari dalam gedung itu, membuat Go-bi Sin-kouw menahan napas saking kagumnya. Akan tetapi dia tidak mempedulikan lagi kepada pendeta Lama yang amat lihai itu, karena dia sudah sibuk mengatur tempat tinggalnya yang baru! Dia mengumpulkan semua anak buahnya yang empat puluh orang lebih jumlahnya, dan mulai saat itu, Go-bi Sin-kouw menjadi majikan tempat itu, tinggal di dalam gedung yang mewah dan megah, dan diterima sebagai ketua oleh bekas anak buah Kim Seng Siocia. Tentu saja dia merasa girang sekali. Biarpun dia kehilangan dua orang muridnya, akan tetapi sebagai gantinya dia memperoleh empat puluh orang murid lebih, dan memperoleh tempat tinggal yang indah. Hanya sedikit kecewa hatinya mendengar bahwa bekas kekasih Kim Seng Siocia, pemuda asing bermata biru yang bernama Marcus, telah melarikan diri sambil membawa kitab-kitab pusaka peninggalan Go-bi Thai-houw berikut banyak harta berupa emas dan perak! Akan tetapi karena yang masih berada di situ jauh lebih banyak, maka nenek ini tidak ambil peduli. Pula, dia tidak menginginkan kitab pusaka karena merasa bahwa ilmu kepandaiannya tidak kalah oleh Kim Seng Siocia.

Kun Liong sadar dari pingsannya. Sejenak dia nanar dan matanya silau oleh sinar matahari yang langsung menimpa kepala dan mukanya. Akan tetapi ketika dia bangkit duduk dan melihat kain putih di tangannya, dia teringat dan mengeluh, lalu mendekap kain itu dan diciuminya.

“Hong Ing.... ahhh, Hong Ing...!” demikian keluh hatinya. Dia hampir merasa yakin bahwa dara itu tentu telah tewas, menjadi korban badai yang mengamuk ganas semalam. Akan tetapi karena yang ditemukannya hanya kain penutup kepala gadis itu, hatinya masih penasaran dan sehari penuh tiada hentinya dia berkeliaran di sepanjang pantai mengelilingi pulau kecil itu untuk mencari kalau-kalau jenazah dara itu terdampar di pantai.

Namun hasilnya sia-sia. Akhirnya dengan tubuh lemas dan sakit-sakit, dengan hati kosong dan tertekan hebat, Kun Liong terpaksa harus melihat kenyataan bahwa dara yang dicari-carinya itu memang tidak ada. Tentu sudah ditelan lautan yang mengganas semalam, atau ditelan ikan besar. Dia berdiri tegak memandang ke arah lautan, giginya berkerot, kedua tangan dikepal dan matanya menyinarkan penasaran dan kebencian ke arah lautan. Kalau lautan merupakan makhluk, tentu akan diserangnya pada saat itu!

Kemudian dia sadar bahwa tidak baik menenggelamkan dirinya ke dalam kedukaan yang tidak ada gunanya. Jelaslah kenyataannya bahwa Pek Hong Ing telah lenyap! Dan dia masih hidup! Teringat akan dirinya sendiri, masih terasalah nyeri di seluruh tubuhnya dan ketika dia melihat keadaannya, baru dia sadar bahwa pakaiannya sudah koyak-koyak tidak karuan, juga sepasang sepatu yang dipakainya. Dan terasa pula betapa perutnya amat lapar. Maka dia lalu meninggalkan pantai yang kosong sunyi itu, sekosong dan sesunyi hatinya, dan dia menuju ke tengah pulau untuk melakukan penyelidikan dan mencari pengisi perutnya yang juga kosong dan terasa amat lapar itu. Sedapat mungkin dia mengusir bayangan Hong Ing yang selalu mengganggu pikirannya, dan kadang-kadang dia harus menyusut air mata yang meloncat keluar setiap kali dia teringat kepada dara itu.

Jelas ternyata setelah diselidikinya bahwa pulau itu adalah sebuah pulau kecil yang kosong. Di tengah pulau terdapat sebuah bukit kecil yang penuh dengan pepohonan. Akan tetapi, kecuali belasan ekor jenis burung laut yang beterbangan di atas pulau, tidak ada seekor pun binatang di pulau itu. Dan tetumbuhan yang berada di bukit itu pun terdiri dari jenis tetumbuhan yang tidak dapat dimakan. Diantaranya terdapat pohon-pohon besar yang sudah amat tua, dengan batang yang besar-besar. Hutan kecil itu liar dan gelap, dan di situ terdapat banyak batu-batu karang yang merupakan guha-guha besar. Namun dia tidak ingin menyelidiki tempat yang buruk dan sukar didatangi karena banyaknya semak-semak belukar itu.

Terpaksa, untuk mengisi perutnya yang kelaparan, Kun Liong menangkap seekor burung besar dengan jalan menyambitnya dengan pecahan batu karang. Dipanggangnya daging burung itu dan biarpun rasanya tidak terlalu sedap, lumayan untuk mengatasi kelaparan.

Akan tetapi, makan daging burung panggang ini mengingatkan dia kepada Pek Hong Ing ketika mereka berdua makan ikan panggang di dalam perahu peti mati! Teringat akan ini, teringat pula akan kemungkinan besar kematian dara itu secara menyedihkan, leher Kun Liong seperti dicekik rasanya. Daging yang dimakannya berhenti di kerongkongan dan dia tidak dapat melanjutkan makannya. Sambil minum air tawar yang didapatnya di dekat rimba di tengah pulau, dia membuang sisa daging burung panggang ke laut, kemudian menghela napas dan dengan tubuh lemas dia mencari tempat teduh di belakang sebuah batu karang besar, menjatuhkan diri di atas pasir dan tak lama kemudian dia sudah jatuh pulas. Matahari sudah naik tinggi dan beberapa jam kemudian sinar matahari telah melewati batu karang itu dan menimpa tubuh Kun Liong. Namun pemuda yang telah mengalami kelelahan lahir batin yang amat hebat itu seperti sudah mati, tidak merasakan lagi sengatan sinar matahari, tidur dengan nyenyaknya, sedikit pun tidak pernah bergerak.

Akan tetapi sesungguhnya hanya tubuhnya saja yang tidur dan tidak bergerak, karena pemuda yang dihimpit oleh penderitaan batin ini, yang dengan kekuatan batinnya menahan kedukaan hebat, setelah tertidur diterbangkan ke alam mimpi oleh perasaan bawah sadarnya yang kini setelah dia tidur memperoleh kesempatan untuk timbul. Mimpi hanya datang mengganggu seseorang yang di waktu siangnya diamuk oleh pikirannya sendiri, pikiran yang mendatangkan pertentangan di dalam batin. Orang yang pikirannya terbebas dari segala macam ingatan masa lalu, yang tidak terpengaruh oleh suatu peristiwa, tidak menyimpan dalam pikirannya suatu pengalaman, tentu akan tidur nyenyak tanpa mimpi!

Di alam mimpinya, Kun Liong melihat beberapa orang dara cantik melayang-layang mendekatinya dan mereka menari-nari, seperti dewi-dewi kahyangan di sekelilingnya, tersenyum simpul dan mengerling tajam kepadanya, seolah-olah mereka itu berlumba untuk memikat hatinya. Dan dia mengenal dara-dara itu karena mereka itu bukan lain adalah wanita-wanita yang selama ini telah dijumpainya dalam hidupnya. Yo Bi Kiok dengan sepasang matanya yang amat indah seperti mata bintang kejora itu, Souw Li Hwa dengan lehernya yang panjang putih dan dagunya yang meruncing amat manisnya, Cia Giok Keng dengan hidungnya yang amat indah bentuknya, Lim Hwi Sian dengan mulutnya yang menggairahkan, Yuanita de Gama dengan matanya yang biru dan rambutnya yang seperti benang sutera emas, Nina Selado yang cantik genit dan panas, Lauw Kim In yang cantik pendiam dan dingin namun memikat hati, Kim Seng Siocia yang gendut dan lucu, dan akhirnya tampak juga Pek Hong Ing yang baginya tidak mempunyai keistimewaan tertentu karena segala sesuatu yang ada pada Hong Ing amat menarik hatinya! Para wanita ini menari-nari dan Hong Ing berada di belakang sendiri, kadang-kadang nampak kadang-kadang tidak. Akan tetapi dia hanya memandang mereka itu sepintas lalu saja, akhirnya dia mencari-cari dengan matanya ke arah Hong Ing. Ingin sekali dia agar dara yang berkepala gundul itu mendekat namun apa daya, dia sendiri tidak dapat menggerakkan kaki tangannya.

Tiba-tiba datang angin besar bertiup dan dara-dara jelita yang menari-nari itu terhembus angin melayang-layang pergi sambil melambaikan tangan kepadanya, dan tersenyum manis. Akan tetapi hanya Hong Ing seorang yang melawan hembusan angin, gadis itu tidak seperti yang lain terbang melayang menunggang angin. Hong Ing meronta dan melawan. menjulurkan kedua lengan ke arahnya, seperti minta bantuan dan terdengar jeritnya, “Kun Liong...!”

“Kun Liong...!”

Kun Liong tersadar tanpa membuka matanya. Hemm, dia tertidur enak sekali, dan semua itu ternyata hanya mimpi. Hanya mimpi kosong. Dia menarik napas panjang tanpa membuka mata, menikmati tubuh yang mengaso. Tidak perlu memikirkan mimpi, demikian suara berbisik di kepalanya yang berbantal gundukan pasir. “Mengapa tidak perlu?” bantah suara di dadanya, “Mimpi ada artinya, apalagi yang muncul adalah wanita-wanita yang selama ini mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Pasti ada artinya mimpi tadi!”

“Aahhh, celoteh nenek bawel!” bantah suara di kepalanya. “Mimpi hanya kembangnya orang tidur! Tidak ada artinya, kalau pun ada, maka artinya itu direka-reka dan dicari-cari, dibuat dan dipaksakan.”

“Sombong! Si dungu berlagak pintar!” Hatinya memaki. “Pasti ada artinya. Bukankah para wanita itu pergi dengan senyum dan sebaliknya Hong Ing meronta dan minta pertolongannya? Itu tandanya cinta?”

“Cinta hidungmu!” bantah pula suara di kepala. “Tidak ada cinta yang murni, semua cinta palsu! Betapa banyaknya orang menderita karena cinta. Hanya orang tolol saja yang membiarkan dirinya terjerat cinta! Hanya orang totol yang akhirnya akan nenderita karena cinta. Dia suka kepada wanita, kepada semua wanita yang cantik dalam mimpi tadi, dia suka kepada mereka seperti suka akan bunga yang indah dan harum, seperti suka akan makanan yang lezat, suka akan pemandangan alam yang permai. Akan tetapi cinta...? Huhhhh!”

“Sombong! Kalau tidak cinta, mengapa kau menderita setengah mampus karena kehilangan Hong Ing? Itu tandanya cinta, tahukah kau, sombong?” Hatinya menjerit marah.

“Hemm, apa sih artinya, cinta? Aku memang kasihan kepadanya, aku berduka teringat akan nasibnya yang buruk. Apa salahnya itu?” Suara di kepalanya melemah, namun masih membantah dan meragu.

“Kun Liong...!”

Terkejutlah dia. Suara itu demikian jelas sekarang, diantara suara angin ribut. Angin ribut? Mimpikah dia tadi? Kun Liong membuka matanya dan cepat menutupkannya kembali karena ada debu pasir menyerangnya. Maklumlah dia bahwa sekali ini dia tidak mimpi. Memang benar ada angin ribut mengamuk! Dia cepat meloncat bangun, dengan kedua tangannya meraba batu karang lalu berjalan setengah merangkak memutari batu karang, berlindung di balik batu sehingga tidak terserang debu pasir lagi. Dia membuka mata. Gelap!

Kun Liong termangu-mangu. Sudah malam? Dia mengingat-ingat. Tadi dia makan daging burung panggang ketika matahari telah naik tinggi, dan dia mulai merebahkan diri berlindung di balik batu karang setelah matahari mulai condong ke barat. Dan sekarang sudah gelap! Demikian lamakah dia tertidur? Sampai setengah hari lebih! Dan semua itu tadi hanya mimpi. Termasuk suara orang memanggil namanya. Seperti suara Hong Ing! Hemm, tak mungkin suara Hong Ing yang sesungguhnya, kecuali hanya dalam mimpi. Hong Ing sudah tewas. Hal ini sudah jelas, karena dia sudah mencari di sekeliling pulau.

“Kun Liong...!”

Kun Liong terperanjat dan meloncat ke atas. Itu suara Hong Ing! Mungkinkah?

Bulu tengkuknya meremang. Suara Hong Ing? Tentu suara arwahnya! Aduh kasihan Hong Ing...! Kun Liong memandang ke kanan kiri, jantungnya berdegup aneh, tengkuknya terasa tebal. Dia sudah siap untuk melihat roh dara itu memperlihatkan diri, seperti asap, seperti yang pernah didengarnya dalam cerita dongeng. Apakah yang menjumpainya dalam mimpi tadi juga roh para gadis itu? Dan memang Li Hwa sudah mati, juga Hong Ing, akan tetapi yang lain-lain bukankah masih hidup?

“Kun Liong...! Ahh... Kun Liong...!” Suara itu merupakan jerit melengking, disusul rintihan dan isak tangis, lapat-lapat terdengar lalu lenyap lagi. Datang terbawa angin! Dari tengah pulau!

“Hong Ing...!” Kun Liong meloncat. Tidak peduli lagi akan kegelapan, dia berlari terus ke depan, ke arah suara tadi, ke arah tengah pulau, tidak peduli dia tersaruk-saruk, jatuh bangun beberapa kali. Tidak peduli lagi apakah yang menjerit itu setan ataukah iblis. Yang jelas, itu adalah suara Hong Ing! Dan Hong Ing menangis! Dia harus menolong Hong Ing, baik Hong Ing yang masih hidup atau Hong Ing yang sudah menjadi roh. Jelas bahwa Hong Ing memanggilnya, membutuhkan pertolongannya.

“Hong Ing...!” Dia berteriak-teriak memanggil ketika dia sudah berada di atas bukit, di dalam hutan yang kecil namun lebat itu, menghadapi guha-guha di batu karang yang membukit.

“Kun Liong...!”

Biarpun hatinya girang bukan main mengenal suara dara itu, namun meremang juga bulu tengkuk Kun Liong. Suara setankah yang menirukan suara Hong Ing? Atau roh gadis itu yang menjadi penasaran berkeliaran di pulau dan menemukan tempat tinggal di dalam guha itu?

“Hong Ing...!” Dia memanggil lagi sambil melangkah mendekati guha.

“Kun Liong...!”

Kun Liong meloncat masuk. Tidak peduli suara setan atau iblis, suara roh atau arwah, yang jelas itu adalah suara Hong Ing memanggilnya. Dia masuk dan kakinya tersandung batu. Dia terjatuh dan tangannya menyentuh benda lunak dan hangat, dan tiba-tiba dua buah lengan merangkulnya mendekap kepalanya dan di antara suara terengah-engah dan isak tangis, jelas terdengar suara Hong Ing, “Kun Liong... ahhh, Kun Liong...!”

“Hong Ing...!” Mereka saling berdekapan, lupa akan segala, yang ada hanya keharuan, kegembiraan.

“Hong Ing... kau... kau masih hidup...! Ya Tuhan, syukurlah...!”

“Kun Liong... ahhh, alangkah lamanya menantimu di sini. Sampai serak suaraku memanggil-manggilmu... kukira kau sudah mati... aku tidak mempunyai harapan lagi... kakiku terkilir, tak dapat berjalan, tubuhku nyeri semua, perutku lapar bukan main...!”

“Ya Tuhan...!” Kun Liong kembali berseru dan air matanya turun bercucuran. Untung di dalam gelap, kalau tidak tentu dia akan merasa malu kepada Hong Ing. Dan teringat betapa dia memeluki tubuh itu, bahkan kalau tidak salah ingat dia tadi menciumi muka itu, mengecupi air mata yang asin itu, dia merasa malu dan cepat dia melepaskan rangkulannya.

“Hong Ing, kau suka... makan... daging burung laut?”

Biarpun keadaan gelap di situ, namun terasa oleh Kun Liong betapa Hong Ing terbelalak heran, dan dia girang sekali. “Daging burung laut?” Gadis itu bertanya, suaranya ragu-ragu seolah-olah dia sangsi apakah pemuda itu waras pikirannya.

“Ya, daging burung laut dipanggang! Aku telah makan daging itu siang tadi. Kalau kau suka, aku akan menangkap seekor untukmu.”

Hong Ing menghela napas panjang, jelas terdengar oleh Kun Liong, mengingatkannya bahwa di luar guha angin ribut mengamuk. Mengingatkannya betapa canggung dan lucu penawarannya tadi. Malam gelap begitu, angin ribut pula, bagaimana mungkin menangkap seekor burung untuk Hong Ing? Mengapa orang yang berada dalam kegirangan besar, seperti dalam kedukaan besar, bicaranya lalu menjadi kacau tidak karuan?

“Besok sajalah, Kun Liong. Aku belum mati kelaparan, hanya kakiku... aughh...!”

lanjut ke Jilid 073-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar