Jumat, 21 Februari 2014

Pendekar Sadis Jilid 009

Pendekar Sadis Jilid 009

<---Kembali

Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat tak mengenal lelah, akhirnya pada suatu senja tiga hari kemudian tibalah Thian Sin di sarang Jeng-hwa-pang yang berada di dekat dan di luar Tembok Besar. Dia bertindak hati-hati sekali, teringat akan cerita ayah angkatnya tentang perkumpulan ini.

Menurut penuturan ayah angkatnya, Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat, dan para anggautanya adalah ahli-ahli racun yang lihai dan berbahaya. Dahulu sekali, Jeng-hwa-pang ini mengalami masa jaya sebagai perkumpulan yang ditakuti dan disegani. Pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang tokoh Pek-lian-kauw yang kenamaan dan berilmu tinggi. Nama Jeng-hwa-pang diambil dari racun jeng-hwa (bunga hijau) dan sarang mereka berada di daerah Tembok Besar. Ketuanya, belasan tahun yang lalu adalah Gak Song Kam, murid Jeng-hwa Sian-jin yang saking lihainya dan pandainya tentang racun memakai julukan Tok-ong (Raja Racun). Akan tetapi Tok-ong Gak Song Kam ini tewas di tangan mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong.

Oleh karena itu terdapat dendam yang besar pada perkumpulan itu terhadap Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Dan Thian Sin sudah mengerti mengapa Jeng-hwa-pang ikut menyerbu ayah bundanya, dan kini diapun tahu bahwa semua kekacauan yang dilakukan Jeng-hwa-pang di dusun-dusun itu adalah untuk membalas dendam mereka terhadap Cia Sin Liong.

Maka sekali ini tugasnya selain membalaskan kematian ayah bundanya, membalaskan kematian Hwi Leng, juga untuk membasmi musuh ayah angkatnya. Dia akan bertindak dengan waspada, tidak ceroboh menghadapi lawan yang dia tahu kuat dan berbahaya itu. Akan tetapi Thian Sin tidak tahu bahwa sudah terjadi perubahan besar pada perkumpulan itu. Kini perkumpulan itu dihidupkan kembali oleh seorang murid Jeng-hwa Sian-jin yang lebih lihai dibandingkan dengan Gak Song Kam yang tewas di tangan ayah kandung dan ayah angkatnya. Tokoh ini adalah murid utama Jeng-hwa Sian-jin yang bernama Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Dari julukannya, yaitu Tok-ciang (Tangan Beracun) sudah dapat dimengerti bahwa diapun merupakan seorang ahli racun yang berbahaya.

Dan bukan hanya tokoh ini yang kini memimpin Jeng-hwa-pang, juga dia dibantu oleh dua orang sahabatnya yang lihai sekali, yaitu dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memakai nama julukan Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu, dua orang kakek berpakaian dan berambut seperti model tosu, nampaknya seperti pendeta-pendeta alim dan memiliki kepandaian yang hanya sedikit selisihnya dibandingkan tingkat kepandaian Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam sendiri! Dan mungkin karena Ciu Hek Lam sendiri adalah murid seorang tokoh Pek-lian-kauw, sedangkan kedua orang pembantunya itu juga merupakan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, maka kini agaknya Jeng-hwa-pang condong kepada urusan politik seperti halnya Pek-lian-kauw, diam-diam mengadakan persekutuan dengan Raja Agahai di utara.

Thian Sin tidak mau sembarangan menyerbu ke dalam dan malam itu dia bersembunyi di dalam gua sebuah bukit tak jauh dari sarang Jeng-hwa-pang itu. Baru pada keesokan harinya, setelah semalam suntuk dia berlatih siulian untuk mengumpulan hawa murni, dia berjalan dengan langkah lebar menuju ke pintu gerbang perkampungan Jeng-hwa-pang itu. Udara pagi itu cerah, hawanya sejuk segar dan pemuda yang berusia tujuh belas tahun ini berjalan dengan langkah bebas, dadanya terasa lapang dan dia menghirup hawa udara yang bersih itu sampai sepenuh paru-parunya. Rasa lapar perutnya sudah lenyap oleh sarapan pagi berupa daging burung yang dijatuhkannya dengan sambitan batu kemudian dipanggang dagingnya di dalam gua. Hatinya dan pikirannya dingin dan tidak sepanas kemarin sebelum dia membunuhi semua penjahat yang dapat disusulnya di tengah jalan.

Kini dia dapat berpikir dengan jernih dan tidak terdorong oleh perasaan marah. Dia akan membalas dendam kematian ayah bundanya, kematian Hwi Leng, dan membasmi musuh-musuh ayah angkatnya dengan pikiran jernih dan dingin, dengan perhitungan matang. Dia menghadapi lawan tangguh dan banyak, maka dia harus menggunakan kecerdikan dan tidak hanya menuruti perasaan dendam belaka.

Maka para penjaga pintu gerbang juga tidak menaruh curiga, hanya memandang heran ketika melihat munculnya seorang pemuda remaja yang amat tampan, gagah dan sopan pada pagi hari itu di depan pintu gerbang. Tentu saja para penjaga sudah menghadangnya dan memandang dengan penuh perhatian.

"Heiii, orang muda, siapakah engkau dan mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?" tanya kepala jaga sambil memandang heran.

Dari pakaiannya, dia tahu bahwa pemuda remaja ini tentulah seorang berbangsa Han, dan dari pakaian dan sikap itu pula dia tahu bahwa pemuda ini bukanlah seorang penghuni dusun biasa, melainkan lebih patut kalau dia seorang pelajar yang halus budi.

Wajah yang ramah dan tampan itu tersenyum dan Thian Sin menjura dengan sikap hormat dan lemah lembut, sikap seorang pelajar tulen. "Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan kalau saya mengganggu. Akan tetapi saya memang sengaja datang untuk bertemu dengan yang terhormat para pimpinan Jeng-hwa-pang. Bukankah di sini merupakan markas perkumpulan Jeng-hwa-pang yang terkenal dan besar?"

"Benar, akan tetapi mau apa engkau hendak bertemu dengan para pimpinan? Siapakah engkau?" Kepala jaga dan kawan-kawannya mulai memandang dengan sinar mata curiga..

"Nama saya Thian Sin dan saya perlu bertemu dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang terhormat karena ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada mereka. Sudah lama sekali saya mendengar akan nama besar Jeng-hwa-pang, dan sudah lama saya amat mengagumi Jeng-hwa-pang. Sekarang, dengan girang saya berhasil tiba di markas Jeng-hwa-pang, maka saya harap cu-wi suka memberi kesempatan kepada saya untuk menghadap para pimpinan Jeng-hwa-pang untuk menyampaikan hal yang amat penting itu."

Para penjaga itu berkurang kecurigaan mereka dan kepala jaga memandang kepada pemuda remaja itu sambil tersenyum. "Orang muda, memang Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar sekali dan kuat. Akan tetapi tidaklah mudah bagimu untuk minta bertemu dengan para pimpinan. Kalau ada urusan, sampaikan kepada kami dan kami akan melaporkan kepada pimpinan kami. Nah, katakanlah, urusan apa yang ingin kausampaikan kepada pimpinan Jeng-hwa-pang?"

Thian Sin menggeleng kepala. "Maaf, twako. Urusan ini menyangkut dia pribadi para pimpinan Jeng-hwa-pang dan saya hanya dapat mengatakannya kepada mereka sendiri. Urusan yang amat penting sekali."

Para penjaga itu merasa penasaran akan tetapi juga semakin tertarik. Mereka tidak dapat marah karena sikap Thian Sin yang sopan dan baik serta ramah itu, apalagi karena pemuda remaja ini mengaku datang membawa berita yang amat penting untuk disampaikan sendiri kepada para pimpinan mereka. Mereka tidak berani bersikap lancing atau ceroboh, karena siapa tahu pemuda ini benar-benar mempunyai urusan yang amat penting, maka, kalau benar demikian, tentu mereka akan menerima hukuman berat dari para pemimpin mereka kalau mereka mengganggu pemuda ini.

"Baiklah," akhirnya kepala jaga berkata. "Kau tunggulah di sini dulu, biar kami melaporkannya kepada pimpinan. Siapakah namamu tadi?"

"Nama saya Thian Sin..." Thian Sin tidak mau memperkenalkan she-nya yang sesungguhnya karena she Ceng tentu akan menimbulkan kecurigaan mereka berhubung dengan nama Ceng Han Houw, ayah kandungnya, yang amat dikenal oleh mereka. Biarlah mereka mengira aku she Thian, pikirnya. Dia harus hati-hati, karena kalau dia memperkenalkan diri begitu saja lalu dikeroyok, tipis harapannya untuk dapat membalaskan dendamnya terhadap para pimpinan Jeng-hwa-pang. Dia harus dapat membunuh para pimpinannya lebih dulu, karena untuk menghadapi anak buahnya
amatlah mudah.

Sementara itu, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, tokoh Jeng-hwa-pang yang kini dapat dikatakan menjadi ketua Jeng-hwa-pang karena dialah yang membangun kembali Jeng-hwa-pang yang telah dibasmi oleh mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong itu, tengah duduk menghadapi sarapan pagi bersama dua orang pembantunya yang diandalkan, yaitu Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu. Mereka sedang membicarakan pasukan Jeng-hwa-pang yang mereka utus ke dusun di daerah Lembah Naga untuk menjatuhkan hukuman kepada Loa Hwi Leng. Ketika ketua Jeng-hwa-pang ini mendengar laporan Loa Song, kepala pasukan yang diperintahkannya untuk mengacau dusun dan yang pulang dengan lengan kiri buntung itu tentang dihajarnya pasukan itu oleh dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga, dan mendengar tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh puteri Loa Song yang bernama Loa Hwi Leng, dia menjadi
marah sekali.

Pasukan itu, ditambah oleh beberapa orang yang menjadi muridnya dan yang memiliki kepandaian cukup tinggi, lalu diutusnya untuk kembali ke dusun itu dan membunuh Loa Hwi Leng sebagai hukuman, juga dengan perbuatan itu pasukan itu diharapkan akan memancing datangnya Pendekar Lembah Naga, musuh besarnya, ke markas Jeng-hwa-pang.

Pagi hari itu, dia bersama dua orang pembantunya sarapan pagi, sambil membicarakan pasukan yang mereka utus itu, karena menurut perhitungan, hari ini pasukan itu tentu tiba kembali.

Ketika datang laporan bahwa di luar ada seorang tamu, seorang pemuda "pelajar" yang ramah dan sopan bernama Thian Sin hendak menyampaikan berita penting sekali kepada para pimpinan Jeng-hwa-pang, ketua Jeng-hwa-pang itu saling pandang dengan dua orang pembantunya. Sebagai orang-orang kang-ouw yang banyak pengalaman, tentu saja mereka tidak memandang rendah kepada laporan adanya "pemuda pelajar" itu dan mereka merasa curiga. Akan tetapi dengan tenang Ciu Hek Lam lalu memberi perintah agar menyuruh pemuda itu masuk saja ke ruangan itu di mana dia melanjutkan sarapan paginya bersama dua orang pembantunya. Membiarkan tamu masuk ke dalam jauh lebih menguntungkan daripada menemui tamu di luar. Apalagi tamunya hanya seorang pemuda remaja, yang tidak cukup pantas kiranya untuk disambut di luar.

Tak lama kemudian, masuklah Thian Sin diantar oleh dua orang penjaga ke ruangan itu. Melihat tiga orang kakek duduk menghadapi meja santapan dan memandang kepadanya penuh perhatian, Thian Sin segera melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.

"Harap sam-wi locianpwe sudi memaafkan kalau saya datang mengganggu sam-wi," katanya dengan ramah dan sikap sopan sehingga begitu melihat wajah tampan dan ramah ini tiga orang kakek itu sudah merasa tertarik dan senang.

Diam-diam Thian Sin menyapu tiga orang kakek itu dengan pandang matanya. Dia melihat kakek yang duduk di kepala meja adalah seorang kakek yang usianya sudah tua, tentu ada tujuh puluh tahun, seorang kakek tinggi kurus yang mukanya pucat seperti tak berdarah, matanya sipit sekali dan jubahnya berwarna kuning. Dia menduga bahwa agaknya kakek inilah ketua Jeng-hwa-pang dan dugaannya memang benar karena kakek itu adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Kemudian dia juga memandang kepada dua orang tosu yang duduk di samping kakek pertama itu. Kim Thian Seng-cu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun, kurus dan mukanya hitam, sedangkan Gin Thian Seng-cu, sutenya, berusia dua tiga tahun lebih muda, gemuk dan bermuka kuning, wajahnya berseri.

Karena tamunya hanya seorang pemuda belasan tahun, maka tentu saja Tok-ciang Sian-jin tidak bangkit dari tempat duduknya, melainkan tersenyum dan berkata, "Orang muda, menurut laporan penjaga, engkau bernama Thian Sin dan datang ingin bertemu dengan pimpinan Jeng-hwa-pang! Nah, sekarang engkau telah berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang, katakan, apakah yang hendak kausampaikan kepada kami?"

Thian Sin merasa jantungnya berdebar tegang, akan tetapi wajahnya masih tersenyum manis ketika dia bertanya. "Apakah saya berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang? Bolehkah saya mengetahui nama sam-wi locianpwe (tiga orang tua gagah) yang terhormat?"

Karena pemuda itu memiliki wajah yang amat tampan dan sikapnya juga amat sopan menyenangkan, Tok-ciang Sian-jin mengelus jenggotnya dan menjawab sambil tersenyum.

"Orang muda yang baik, ketahuilah bahwa aku adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, ketua Jeng-hwa-pang. Dan mereka ini adalah pembantu-pembantuku."

"Pinto adalah Kim Thian Seng-cu."

"Pinto Gin Thian Seng-cu."

Dua orang tosu itu juga amat tertarik dan suka kepada Thian Sin maka merekapun masing-masing memperkenalkan diri.

"Sekarang katakanlah, apa keperluanmu ingin bertemu dengan kami," Tok-ciang Sian-jin bertanya mendesak.

"Sam-wi Locianpwe, sudah lama sekali saya mendengar nama besar dan kehebatan Jeng-hwa-pang sehingga saya merasa kagum bukan main dan baru hari ini saya berkesempatan untuk menyaksikan dengan mata sendiri kebesaran Jeng-hwa-pang. Terus terang saja, saya datang untuk mencari guru!"

"Ha-ha-ha, engkau mencari guru? Maksudmu guru silat atau guru sastera?" Gin Thian Seng-cu bertanya sambil tertawa. "Kalau mau belajar silat, tentu kau boleh masuk menjadi anggauta Jeng-hwa-pang, akan tetapi kalau ingin belajar sastera... wah, siapa bisa mengajarmu?"

"Orang muda, apakah engkau ingin belajar silat?" Ketua Jeng-hwa-pang itu pun bertanya sambil tersenyum karena dia merasa suka sekali kalau dapat mempunyai murid setampan ini.

"Memang benar, saya ingin mencari guru silat dan kabarnya Jeng-hwa-pang adalah gudangnya jago silat yang lihai, maka saya mencari ke sini."

"Ha-ha, kalau begitu benar seperti yang dikatakan oleh Gin Thian Seng-cu tadi, engkau boleh menjadi anggauta Jeng-hwa-pang dan aku sendiri yang akan melatihmu," kata Tok-ciang Sian-jin sambil mengelus jenggotnya.

Bagi seorang kakek seperti dia kini sudah agak jauh dari wanita dan dia akan lebih senang berdekatan dengan seorang pemuda yang setampan dan sehalus itu.

"Terima kasih atas kebaikan locianpwe, akan tetapi saya telah mengambil keputusan untuk berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya dalam ilmu silat."

Muka tiga orang kakek yang tadinya tersenyum-senyum itu tiba-tiba berubah dan mereka saling pandang karena timbul lagi kecurigaan hati mereka.

"Orang muda, apakah engkau pernah belajar silat?" tanya Tok-ciang Sian-jin atau Dewa Bertangan Racun itu.

"Saya sudah belajar dari banyak guru silat, akan tetapi akhir-akhir ini banyak guru yang menipu, hanya ingin mencari uang saja tanpa mempunyai ilmu yang tulen. Oleh karena itu, saya tidak mau dikecewakan lagi, dan saya hanya akan berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya."

Ketua Jeng-hwa-pang itu mengangguk-angguk. "Bagus, memang engkau cerdik sekali. Biarlah kami juga ingin melihat sampai di mana tingkatmu sehingga lebih mudah untuk membimbingmu kalau engkau belajar di sini." Tok-ciang itu lalu bertepuk tangan memanggil.

Pengawal-pengawal datang dan dia lalu menyuruh panggil seorang murid tingkat empat dari Jeng-hwa-pang. Seorang murid datang, dan dia ini seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan nampak kuat, gerak-geriknya gesit. Memang demikianlah, makin tinggi ilmu silat seseorang, makin tidak kentara nampak pada dirinya, sebaliknya yang tingkat ilmunya masih rendah selalu ingin menonjolkan dan memperlihatkan diri dengan bermacam lagak, baik melalui langkah-langkahnya yang dibikin cepat dan gesit, maupun melalui tonjolan-tonjolan uratnya dan sebagainya. Sekali pandang saja maklumlah Thian Sin bahwa orang ini hanya mempunyai kekuatan otot saja dan tidak atau belum memiliki ilmu silat yang tinggi.

"Nah, Thian Sin, coba engkau hadapi murid Jeng-hwa-pang tingkat empat ini," kata Tok-ciang sambil tersenyum dan cara dia memanggil nama itu seolah-olah dia memanggil seorang murid saja.

Diam-diam Thian Sin girang karena dia ternyata telah dapat memperoleh kepercayaan ketua Jeng-hwa-pang ini sekarang dia akan dapat menghadapi mereka secara halus, dengan bertanding satu lawan satu sehingga akan lebih mudah baginya untuk dapat merobohkan tiga orang ini tanpa harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang.

"Baik, locianpwe," katanya dan diapun melangkah ke tengah ruangan yang cukup luas itu.

"Kau boleh robohkan dia, akan tetapi jangan menggunakan pukulan maut," pesan Tok-ciang kepada murid Jeng-hwa-pang itu.

Kemudian sambil tersenyum dia berkata kepada Thian Sin. "Orang muda she Thian, kalau engkau sampai kalah, engkau tidak harus mengangkat dia menjadi guru, melainkan engkau akan menjadi muridku kalau memang kulihat engkau berbakat. Nah, mulailah kalian!"

Murid Jeng-hwa-pang itu telah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah sekali, dengan kedua kakinya memasang kuda-kuda terpentang setengah berjongkok, tangan kanan di depan pusar dan tangan kiri di depan dada. Otot-otot lengannya menonjol dan sepasang matanya memandang ke arah Thian Sin dengan sinar mata merendahkan.

Melihat ini, Thian Sin maklum bahwa sekali gebrakan saja dia akan mampu merobohkan bahkan membunuh lawannya, akan tetapi dia berpura-pura gentar dan memasang kuda-kuda biasa saja, kuda-kuda dengan kaki kanan di depan kaki kiri di belakang, kuda-kuda seorang yang baru belajar silat.

Murid Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan bentakan nyaring. "Haiiiiittt...!" dan tubuhnya sudah menyerang seperti seekor singa mengamuk. Dengan tenaga otot yang keras dia mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah tubuh Thian Sin dan pemuda remaja ini pura-pura kewalahan dan terdesak, namun dia dapat mengelak ke sana-sini, membuat kakinya agak kacau dan terhuyung, namun tak pernah pukulan lawan dapat mengenainya. Diapun sambil mengelak balas memukul sembarangan saja dan tentu saja pukulan-pukulannya dapat ditangkis atau dielakkan oleh lawannya.

Terjadilah pertandingan yang seru karena agaknya kedua fihak sama kuat. Ketika ketua Jeng-hwa-pang melihat pemuda remaja itu sanggup menghadapi murid ke empat dari Jeng-hwa-pang, biarpun kedudukan kakinya masih kurang kuat dan gerakan-gerakannya masih kaku, hati ketua ini cukup puas. Pemuda itu bukan seorang lemah dan dapat menjadi murid Jeng-hwa-pang yang baik, pikirnya.

Setelah lewat lima puluh jurus, Thian Sin merasa cukup. Apalagi dia mulai tidak kuat menahan bau keringat lawannya sungguh melebihi bau cuka yang paling keras dan kalau dia tidak bertahan, tentu dia sudah terbangkis-bangkis. Maka, ketika lawannya kembali menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia siap sedia untuk mengakhiri pertandingan itu.

"Haiiii... ekkk!" Bentakan orang tinggi tegap itu terhenti di tengah jalan karena perutnya kena disodok pukulan Thian Sin, sedangkan pemuda itu membiarkan pukulan lawan menyerempet pundaknya, membuat dia terdorong mundur sampai lima langkah akan tetapi lawannya sudah berjongkok sambil mmyeringai kesakitan, menekan-nekan perutnya yang menjadi mulas!

Terdengar Gin Thian Seng-cu tertawa. Tosu ini memang berwatak gembira dan melihat murid tingkat empat itu menekan-nekan perut sambil menyeringai, dia tidak dapat menahan geli hatinya dan diapun berkata, "Wah, usus buntumu terkena agaknya. Sudah, pergi sana, kau sudah kalah!"

Murid itu bangkit berdiri dengan kedua tangan masih menekan perut, lalu mundur dengan muka penuh keringat dingin.

"Bagus! Kau telah menang, kau boleh menjadi murid Jeng-hwa-pang, Thian Sin!" kata Tok-ciang dengan girang.

Biarpun gerakan pemuda itu masih kaku, namun jelas dia masih menang sedikit dibandingkan dengan murid tingkat ke empat tadi.

"Akan tetapi, locianpwe. Saya sudah mengambil keputusan untuk berguru kalau saya sudah dikalahkan," kata Thian Sin dengan sikap bandel, seperti sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh.

"Hemm, mengapa engkau berkeras harus dikalahkan dulu? Bukankah dikalahkan itu tidak enak dan menyakitkan? Melawan murid tingkat ke empat tadipun engkau nyaris kalah dan hanya dengan susah payah dapat menang. Kalau kami datangkan murid tingkat ke tiga, tentu engkau akan kalah."

"Biarlah saya kalah, karena hanya kalau sudah kalah saya mau mengangkat guru," jawab Thian Sin.

"Panggil saja murid tingkat ke tiga," Kim Thian Seng-cu memberi usul.

"Jangan," kata Tong-ciang "Murid tingkat tiga biarpun dapat menang, akan tetapi tentu tidak mudah dan hal itu berbahaya bagi pemuda ini, mungkin dapat celaka kalau terkena pukulan terlalu kuat baginya. Sebaiknya suruh Lim Seng saja maju dan kalahkan dia dengan mudah agar Thian Sin yakin bahwa kepandaiannya masih jauh dan dia perlu
berguru di tempat ini."

Yang disebut Lim Seng adalah murid kelas pertama dari Jeng-hwa-pang, yang tentu saja memiliki kepandaian yang tinggi karena dia adalah murid dari ketua sendiri, dan kedudukannya hanya di bawah dua orang tosu pembantu itu. Lim Seng dipanggil dan seorang kakek berusia hampir lima puluh tahun tiba di tempat itu.

"Lim Seng, anak itu adalah calon muridku. Kau boleh mengujinya dan boleh merobohkannya, akan tetapi jangan sampai dia terluka parah apalagi tewas. Ingat, dia ini calon sutemu yang termuda," kata Ketua Jeng-hwa-pang itu kepada muridnya.

Lim Seng yang bertubuh tinggi kurus itu memandang kepada Thian Sin dan alisnya berkerut. Mengapa gurunya menerima seorang murid baru secara langsung seperti ini? Akan tetapi melihat betapa pemuda remaja itu amat tampan, dengan kulit halus putih seperti kulit wanita, dengan wajah yang berseri dan ramah, mengertilah dia dan diapun tidak mau banyak cerewet lagi.

"Baik, suhu," Dan dia pun menghampiri Thian Sin yang sudah berada di tengah ruangan itu. "Orang muda, kaujagalah dirimu baik-baik dan lihat, aku sudah mulai menyerangmu!"

Berkata demikian, Lim Seng sudah melangkah maju dan tangannya menampar dari kiri, dan tamparan ini mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat, maka tahulah Thian Sin bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang "berisi", bukan pemamer otot seperti lawannya yang tadi. Cepat diapun mengelak sambil melangkah mundur dan balas memukul ke arah dada lawan agar tampak bahwa diapun melawan dengan "sungguh-sungguh". Padahal, tentu saja diapun seperti tadi hanya main-main saja, mengatur agar perlawanannya terhadap murid Jeng-hwa-pang itu kelihatan seimbang!

Para murid Jeng-hwa-pang, semenjak paling rendah, sudah mulai mempelajari racun yang merupakan keistimewaan dari perkumpulan itu, terutama racun bunga hijau. Akan tetapi, mereka itu hanya mulai mempelajari cara mempergunakan racun-racun itu, seperti dalam mencampurkannya dengan makanan, minuman, sebagai asap beracun atau bubuk beracun, atau cara merendam senjata dengan racun. Bahkan sampai murid tingkat duapun baru mempelajari penggunaan luar ini karena tingkat sin-kang mereka dianggap belum cukup untuk mempelajari ilmu pukulan beracun dengan jalan merendam dan melatih tangan dalam racun sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan serangan dengan pukulan yang mengandung hawa beracun. Akan tetapi Lim Seng, sebagai murid tingkat pertama, atau boleh dibilang murid kepala dari Jeng-hwa-pang, tentu saja diapun sudah mempelajari ilmu pukulan beracun yang oleh ketuanya dinamakan Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau).

Ilmu pukulan ini lihai sekali, karena kedua tangan sudah dilatih secara bertahun-tahun direndam dalam sari racun bunga hijau. Jangankan sampai tangan itu mengenai sasaran tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah mampu meracuni lawan! Dilihat dari tingkatnya ini, sesungguhnya Lim Seng sudah merupakan tokoh yang amat lihai, dan karena dia dipesan oleh suhunya agar merobohkan pemuda tampan ini tanpa melukainya sampai parah apalagi menewaskannya, maka dia bersilat dengan hati-hati dan tentu saja tidak mengeluarkan ilmu pukulan Jeng-hwa-ciang itu.

Betapapqn lihainya Lim Seng, dia bukanlah tandingan Thian Sin. Apalagi dia tidak mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Andaikata dia mengeluarkan seluruh kelihaiannya sekalipun, mana mungkin dia melawan murid tersayang dari pendekar sakti Cia Sin Liong yang terkenal sebagai Pendekar Lembah Naga?

"Hyaaaat!" Tiba-tiba Lim Seng membentak dengan nyaring, kedua tangannya sudah menyerang dengan cepat sekali, tangan kanan menyambar ke arah telinga kiri lawan sedangkan tangan kiri mencengkeram ke arah pusar. Serangan ini memang hebat dan cepat sekali, akan tetapi Thian Sin mengerti bahwa serangan yang hebat itu hanyalah gertakan belaka dan maklum bahwa serangan susulanlah yang menjadi inti serangan lawan. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu akan hal itu dan melihat serangan kedua tangan lawan itu, cepat dia mengelak dengan melangkah ke belakang persis seperti yang dikehendaki oleh Lim Seng. Melihat pemuda itu mengelak dengan kaget, Lim Seng tersenyum dan tiba-tiba saja kaki kanannya sudah menyambut dengan sapuan keras dan cepat. Sapuan kakinya itu tepat mengenai kedua kaki Thian Sin dan pemuda remaja inipun terpelanting.

Sebelumnya Lim Seng sudah dapat membayangkan betapa pemuda itu akan roboh terguling dan dia akan memperoleh kemenangan mudah, akan tetapi sungguh tak disangkanya bahwa tubuh yang terpelanting itu dapat berjungkir balik membuat salto dua kali dan turun lagi ke atas tanah dengan ringan, bahkan lalu mengirim tendangan berantai kepadanya, membuat dia terhuyung dan berusaha menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu dengan mengelak dan berloncatan ke belakang. Dengan demikian, bukan Thian Sin yang roboh kalah, melainkan Lim Seng yang kena didesak!

Melihat ini, Tok-ciang Sian-jin girang bukan main, dan juga kagum. Bocah yang hendak menjadi muridnya itu ternyata hebat dan lincah sekali! Tahulah dia sekarang bahwa dia telah memperoleh seorang calon murid yang baik sekali, bukan hanya masih muda remaja dan amat tampan seperti wanita cantik, akan tetapi juga memiliki bakat yang amat menonjol dalam ilmu silat!

"Bagus...!" dia memuji kagum ketika melihat betapa sebuah tendangan kaki kiri pemuda itu berhasil mencium pangkal paha sebelah kiri Lim Seng, membuat murid pertama dari Jeng-hwa-pang itu terhuyung.

Pujian ini mengingatkan Thian Sin, maka dia pun menahan diri dan membiarkan lawan mengirim serangan-serangan bertubi-tubi sehingga dialah kini yang didesak. Dia teringat bahwa dia harus tidak tergesa-gesa memenangkan pertandingan ini agar dia tidak dicurigai dan akhirnya dia dapat berhadapan dengan musuh-musuh besarnya itu secara leluasa, melalui pertandingan.

Terkena tendangan itu, biarpun tidak membuatnya menderita terlalu nyeri, akan tetapi membuat Lim Seng penasaran sekali. Belum ada sepuluh jurus dan dia sudah terkena tendangan balasan sebagai hasilnya menyapu kaki tadi!

Dengan demikian, keadaan mereka berdua masih sama kuatnya, belum ada yang roboh akan tetapi juga keduanya telah berhasil mengenai lawan masing-masing satu kali! Kalau dia tidak ingat pesan gurunya, tentu sudah dikeluarkan ilmu pukulannya yang beracun.

Agaknya Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi semakin tertarik ketika lewat tiga puluh jurus, pemuda remaja itu ternyata masih saja mampu menandingi murid kepala itu! Saking pandainya Thian Sin membawa diri, ketua Jeng-hwa-pang ini sampai tidak ingat betapa anehnya melihat pemuda yang tadinya hanya mampu mengalahkan murid ke empat dengan selisih sedikit saja itu kini mampu menandingi murid utama sampai begitu lamanya!

Begitu gembira dia sampai dia lalu berseru kepada Lim Seng, menganjurkan murid pertama ini untuk mempergunakan ilmu silat paling tinggi yang pernah diajarkannya kepada murid ini, "Lim Seng, pergunakan jurus-jurus Hui-liong Sin-kun!"

Ilmu silat ini adalah ciptaan Ciu Hek Lam sendiri dan melihat namanya saja Hui-liong Sin-kun (Silat Sakti Naga Terbang) dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat ini! Dan hati Lim Seng girang sekali mendengarkan ucapan suhunya karena tadinya dia merasa ragu-ragu untuk mempergunakan ilmu simpanan itu, apalagi karena ilmu itu mengandung daya serangan yang amat dahsyat, padahal dia takut untuk melukai murid baru yang agaknya disayang oleh gurunya itu. Akan tetapi kini gurunya sendiri yang memerintahkan, maka andaikata sampai bocah itu terkena pukulan dahsyat dan terluka, gurunya tidak dapat menyalahkan dia!

"Baik, suhu!" jawabnya dan tanpa membuang waktu lagi, diapun lalu merubah gerakannya dan kini dia melakukan penyerangan yang amat keras dan dahsyat sehingga setiap kali lengannya bergerak memukul, didahului oleh angin pukulan yang berdesir dahsyat, sedangkan tubuhnya berloncatan ke atas seperti seekor naga yang hendak terbang ke langit!

Melihat ini, Thian Sin sengaja mengeluarkan seruan-seruan kaget dan membiarkan dirinya terdesak hebat, bahkan dia membiarkan dirinya terhuyung-huyung, seolah-olah gerakan lawan membingungkannya. Ciu Hek Lam memandang dengan mata terbelalak. Dia memang menyuruhnya menggunakan ilmu itu, bukan ingin mencelakai Thian Sin, melainkan dia sendiri juga merasa penasaran dan kagum, maka dia ingin tahu sampai di mana tingkat murid baru itu. Selain itu diam-diam diapun merasa heran dan penasaran sekali mengapa sampai sekarang dia belum juga mampu mengenal dasar ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda remaja itu!

Kini pertandingan itu menjadi semakin hebat dan seru karena makin cepat Lim Seng bergerak makin cepat pula Thian Sin mengimbanginya, dan anehnya, hal ini hanya terasa oleh Lim Seng, betapa makin besar dia mempergunakan tenaga, ternyata semakin besar pula tenaga bocah itu ketika menangkisnya! Dan dengan ilmu yang amat diandalkannya ini, yaitu dengan Hui-liong Sin-kun, setelah lewat dua puluh jurus lagi, tetap saja dia belum mampu mengalahkan Thian Sin! Sementara itu, melihat bahwa sudah cukup lama dia mempermainkan lawannya, Thian Sin mulai mencari kesempatan untuk keluar sebagai pemenang.

Setelah dia tadi menghadapi serangan-serangan Lim Seng, dia tahu bahwa kalau dia menghendaki, dalam beberapa jurus saja dia tentu dapat merobohkan lawan! Dan dia mempergunakan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang sengaja dia campur-campur dengan gerakan lain untuk menyembunyikan keaselian ilmunya, maka tidaklah mengherankan kalau ketua Jeng-hwa-pang itu tidak mengenal ilmu silatnya. Andaikata dia terang-terangan mainkan Thai-kek Sin-kun sekalipun, belum tentu Tok-ciang mengenal ilmu itu, apalagi kalau dicampur-campur seperti itu!

"Plak!" Pipi kanan Lim Seng ditampar oleh tangan Thian Sin, cukup keras sehingga terasa panas dan pipi itu menjadi merah kehitaman.

Tentu saja Lim Seng menjadi marah dan malu sedangkan Tok-ciang dan dua orang pembantunya terbelalak keheranan. Murid kepala itu kena ditampar! Dan melihat betapa yang ditampar itu tidak roboh, dapat diketahui bahwa tenaga tamparan itu tidak besar, akan tetapi yang membuat mereka terheran, mengapa Lim Seng sampai kena ditampar? Padahal melihat gerakan-gerakannya, jelas bahwa Lim Sang masih menang cepat dan
menang kuat!

"Plakk!" Kembali tamparan Thian Sin mengenai pipi Lim Seng sehingga kedua pipi orang itu kini menjadi merah dan bengkak! Bukan tamparan Thian-te Sin-ciang tentu saja, karena kalau Thian Sin menggunakan ilmu pukulan itu, sekali tamparan saja tentu kepala itu akan pecah!

Betapapun juga, tamparan itu cukup memanaskan, terutama sekali memanaskan hati dan inilah yang dikehendaki oleh Thian Sin. Lawannya menjadi marah bukan main. Dengan suara menggereng hebat, Lim Seng memandang kepada lawan dengan mata melotot. Dia merasa malu sekali, apalagi karena kini secara diam-diam tempat itu ternyata telah penuh oleh murid-murid Jeng-hwa-pang yang merasa tertarik untuk menonton pertandingan itu.

Dia dihina di depan gurunya juga di depan banyak murid Jeng-hwa-pang! Maka dengan kemarahan meluap-luap, dia mehubruk ke depan dan menyerang Thian Sin dengan pukulan Jeng-hwa-ciang! Nama pukulan ini indah, yaitu Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau) akan tetapi sesungguhnya amat keji karena kedua tangan itu mengandung racun bunga hijau yang amat jahat. Kedua tangannya berubah menjadi hijau warnanya dan begitu tangan menyambar, tercium bau harum bercampur amis menyambar ke arah kepala Thian Sin!

"Lim Seng, jangan bunuh dia!" Tok-ciang Sian-jin berseru kaget melihat muridnya itu menggunakan pukulan beracun.

Akan tetapi seruannya itu terlambat sudah karena pukulan telah dilakukan dengan amat dahsyatnya. Semua orang menduga bahwa Thian Sin akan terkena pukulan itu akan roboh dan terluka hebat yang akan dapat disembuhkan oleh ketua Jeng-hwa-pang kalau belum mati oleh pukulan itu.

"Desssss...!" Pemuda remaja itu terhuyung ke belakang, akan tetapi Lim Seng sendiri terlempar ke belakang lalu terbanting keras, mencoba untuk bangkit akan tetapi roboh lagi dan hanya dapat bangkit duduk dan mengeluh panjang pendek sambil memegangi lengan kanannya yang ternyata menjadi salah urat dan menggembung pada pergelangan tangannya. Agaknya keselio.

Semua orang menjadi bengong, juga Tok-ciang terbelalak. Mana mungkin ini? Jelas bahwa muridnya menggunakan pukulan Jeng-hwa-ciang, akan tetapi mengapa sekali tangkis saja muridnya malah terlempar dan pergelangan tangannya terkelir atau terlepas sambungan tulangnya? Ilmu apa yang dipergunakan oleh pemuda remaja itu dan mengapa pemuda remaja itu sama sekali tidak nampak terluka oleh hawa beracun dari Jeng-hwa-ciang? Selagi dia terheran-heran, lima orang pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun sudah berloncatan ke depan dan melihat gerakan mereka yang sama dan teratur, dapat diduga bahwa mereka itu merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Dan mereka itu memang merupakan adik-adik seperguruan Lim Seng dan tingkat kepandaian mereka walaupun tidak setinggi Lim Seng namun tidak berselisih banyak dan mereka berlima itu terkenal dengan ilmu silat bersama yang dinamakan Ngo-heng-tin, yaitu semacam ilmu silat berlima yang teratur dengan amat baiknya.

"Suhu, biarkanlah teecu berlima menghadapinya!" kata orang pertama dari mereka.

Tok-ciang Sian-jin memandang kepada Thian Sin dan bertanya, "Thian Sin, apakah engkau tidak terluka?"

Thian Sin melangkah maju dan menjura dengan hormatnya. "Saudara Lim tadi memang hebat dan sungguh baik hati sekali suka mengalah."

"Thian Sin, engkau hebat dan aku suka menerimamu menjadi murid. Sudahlah, tidak perlu diadakan percobaan lagi," kata Ketua Jeng-hwa-pang itu, diam-diam merasa kagum sekali.

Thian Sin menggeleng kepala. "Maaf, locianpwe. Saya tidak biasa menarik kembali keputusan atau janji saya. Saya tidak akan berguru kalau belum dikalahkan."

"Hemm, jadi kalau aku ingin mengambilmu sebagai murid, aku harus lebih dulu mengalahkanmu?" Ketua Jeng-hwa-pang itu memandang tajam dan mengerutkan alisnya.

"Kalau locianpwe sudah mengalahkan saya, tentu dengan sepenuh hati saya tunduk kepada locianpwe dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengangkat locianpwe sebagai guru."

"Heemm, engkau berhati baja. Bagaimana kalau aku kesalahan tangan dan dalam pertandingan membunuhmu?"

"Kalau sudah begitu, apa yang perlu disesalkan? Barangkali nasib saya saja yang buruk."

Sementara itu, Lim Seng sudah dapat berdiri lagi dan dengan muka yang masih merah agak bengkak oleh tamparan-tamparan tadi, dan ia masih memegangi pergelangan tangannya yang salah urat dia berkata, "Suhu, dia itu mencurigakan sekali!"

Akan tetapi Tok-ciang Sian-jin yang sudah merasa suka kepada Thian Sin menghardiknya, "Masuklah dan obati tanganmu!"

"Suhu, biarlah teecu berlima mencobanya sebelum suhu sendiri turun tangan!" kata pula pimpinan dari Ngo-heng-tin.

Mendengar ini Tok-ciang Sian-jin tersenyum dan mendapat pikiran baik. Dia masih belum percaya benar bahwa Thian Sin mampu mengalahkan Lim Seng karena menang tinggi ilmunya. Mungkin saja hanya karena kebetulan atau karena Lim Seng keliru mempergunakan tenaganya.

Ngo-heng-tin adalah ilmu yang amat kuat, apalagi dimainkan oleh lima orang. Jauh lebih kuat dibandingkan dengan kepandaian Lim Seng. Sedangkan dia sendiri kalau melatih mereka dan harus menghadapi Ngo-heng-tin yang diciptakannya sendiri itu, tidak begitu mudah untuk melumpuhkan tin atau barisan itu. Maka dia yakin bahwa kalau Ngo-heng-tin maju, tentu seorang pemuda remaja seperti Thian Sin akan tidak berdaya dan sekali terkurung, tidak akan mampu melepaskan diri lagi tentu dapat diringkus dan dikalahkan.

"Thian Sin, sebelum menghadapi aku sendiri, coba kauhadapi Ngo-heng-tin dari lima orang muridku ini. Beranikah engkau?"

"Kalau locianpwe menghendaki, mengapa tidak berani? Saya datang untuk mencari guru yang pandai dan meyakinkan."

Tok-ciang mengangguk-angguk lalu memberi isyarat dengan gerakan kepalanya menyuruh lima orang murid itu maju menghadapi Thian Sin. Pemuda ini tahu bahwa menghadapi pengeroyokan lima orang bukan hal yang boleh dipandang ringan, maka sudah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya yang sejati. Lima orang anggauta Ngo-heng-tin itupun sudah berloncatan ke depan dan dengan gerakan kaki lincah mereka sudah berdiri mengurung Thian Sin dalam bentuk segi lima. Karena namanya juga Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) maka mereka berlima itu mewakili kedudukan Air, Api, Angin, Kayu dan Logam dan mereka itu dapat bergerak serentak dan saling membantu dan melindungi dengan baik sekali. Sesuai dengan isarat yang diberikan Tok-ciang, mereka berlima tidak mengeluarkan senjata dan hanya mempergunakan tangan kosong untuk mengalahkan pemuda remaja ini.

Lima orang anggauta Ngo-heng-tin itu tidak membuang banyak waktu lagi, setelah mereka mengurung, mereka lalu mulai melakukan penyerangan yang bertubi-tubi dan saling susul, saling bantu dengan kecepatan yang hebat! Thian Sin terkejut juga.
Biarpun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun dia kurang pengalaman sehingga mengalami pengeroyokan teratur dalam bentuk tin ini, dia menjadi terkejut dan merasa repot juga. Dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, mencoba untuk menerobos keluar, akan tetapi ke manapun dia meloncat, tetap saja lima orang itu terus-menerus membentuk segi lima yang mengurungnya dan terus menyerangnya dari segala jurusan.

Selagi Thian Sin hendak mengeluarkan kepandaiannya untuk balas menyerang, tiba-tiba terdengar suara teriakan orang, "Benar dialah itu! Dia adalah seorang di antara dua pemuda dari Istana Lembah Naga! Dialah yang membuntungi lenganku!"

Yang berteriak ini adalah Loa Song, anggauta Jeng-hwa-pang yang pernah memimpin orang-orang untuk membuat kekacauan di dusun daerah Lembah Naga. Ayah tiri Hwe Leng dan yang telah buntung lengan kirinya ketika melawan Thian Sin itu! Semua anak buahnya telah ikut dengan rombongan baru yang pergi menyiksa dan membunuh Hwi Leng dan Loa Song ini karena buntung lengannya dan masih dalam perawatan, maka dia tidak ikut.

Seperti kita ketahui, seluruh rombongan yang membunuh Hwi Leng itu dapat disusul oleh Thian Sin dan semuanya dibunuh oleh pemuda ini. Karena tidak ikut dalam rombongan itulah maka Loa Song tidak ikut terbunuh. Tadi dia masih berada dalam kamarnya karena buntungnya lengan itu tidak hanya membuatnya merasa sakit badannya, akan tetapi juga membuatnya berduka sekali. Ketika dia mendengar ribut-ribut bahwa ada seorang pemuda yang sedang dicoba oleh ketua Jeng-hwa-pang dan bahwa pemuda itu lihai bukan main, telah mengalahkan Lim Seng, dia merasa curiga dan tertarik, lalu menahan rasa sakit, dia keluar dari kamarnya untuk ikut nonton. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan marahnya ketika dia mengenal pemuda itu maka diapun lalu berteriak.

Di lain fihak, ketika Thian Sin melihat siapa adanya orang yang berteriak itu, kemarahan membuat mukanya berubah merah. Inilah ayah tiri Hwi Leng yang jahat itu dan orang inilah yang menjerumuskan Hwi Leng sampai dara itu tewas.

"Ha-ha, babi buntung, sekarang aku tidak dapat mengampunimu lagi!" Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah terlepas dari kurungan lima orang anggauta Ngo-heng-tin yang tidak dapat berbuat apa-apa karena pemuda itu sekali berkelebat telah lenyap!

Dan terdengarlah teriakan dan orang hanya melihat betapa tubuh Loa Song telah terlempar ke atas dan kedua kakinya tahu-tahu telah dipegang oleh Thian Sin! Orang yang buntung lengan kirinya ini berteriak-teriak minta tolong! Sedangkan Ngo-heng-tin cepat mencabut senjata masing-masing ketika ketua mereka sudah bangkit berdiri dan berteriak marah.

"Bunuh dia!" Tok-ciang marah sekali karena sama sekali dia tidak menyangka bahwa pemuda remaja yang amat disuka dan dikaguminya itu ternyata adalah musuh besar, pemuda dari Istana Lembah Naga.

Dia kecewa sekali dan menjadi marah! Akan tetapi Thian Sin yang sudah marah itu kini tidak mau berpura-pura lagi, dengan tubuh Loa Song sebagai "senjata" dia menyerbu, memutarkan tubuh yang dia pegang kedua kakinya itu menyambut Ngo-heng-tin! Terdengar bunyi "prak-prak!" berkali-kali dan orang-orang di situ tidak tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi tubuh lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut terpelanting roboh, dengan kepala pecah! Kemudian Thian Sin melemparkan pula tubuh Loa Song yang sudah menjadi mayat dengan kepala tidak karuan rupanya karena kepala Loa Song tadi telah dipakai oleh Thian Sin untuk menghantam kepala lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut.

Kalau lima orang itu roboh dengan kepala retak, tentu saja Loa Song tewas dengan kepala yang remuk-remuk karena lima kali diadu dengan kepala lima orang! Thian Sin kini berdiri di tengah ruangan, berdiri tegak dan mengangkat kepalanya dengan sikap angkuh.

Suasana menjadi sunyi karena semua orang masih terkejut dan ngeri menyaksikan sepak terjangnya tadi.

"Jeng-hwa-pang, dengarlah baik-baik! Aku memang datang dari Istana Lembah Naga dan ketahuilah bahwa namaku adalah Ceng Thian Sin! Aku datang bukan hanya atas nama Lembah Naga, melainkan juga untuk membalaskan kematian ayahku, Pangeran Ceng Han Houw dan ibuku!"

Mendengar ini, seketika wajah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi pucat. Juga kedua pembantunya, Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu sudah berdiri.

"Bunuh dia! Kepung, jangan sampai lolos!" bentak Ketua Jeng-hwa-pang itu.

Akan tetapi Thian Sin sudah mendahuluinya, meloncat dengan terjangan seperti seekor harimau muda kelaparan, menerjang dan menyerangnya dengan hebat, mempergunakan tamparan Thian-te Sin-ciang.

Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam tadi menangkis sambil mengerahkan tenaganya, menggunakan hawa beracun dari tangannya, akan tetapi begitu bertemu dengan pukulan Thian-te Sin-ciang, tubuhnya terlempar ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik dia dapat menyelamatkan diri dari bantingan keras. Diam-diam dia terkejut bukan main. Pemuda remaja itu ternyata memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya! Untung Tok-ciang bahwa dari kanan dan kirinya, kedua orang tosu Pek-lian-kauw yang menjadi pembantu-pembantunya telah menubruk ke depan dan menyerang Thian Sin. Kim Thian Seng-cu telah menyerang dengan pedangnya, sedangan Gin Thian Seng-cu menyerang dengan kebutan bajanya yang ampuh. Melihat serangan-serangan ini, Thian Sin meloncat ke belakang dan karena di belakangnya telah datang murid-murid Jeng-hwa-pang yang membawa bermacam-macam senjata, dia mengamuk. Kilatan-kilatan senjata yang seperti hujan menimpanya, dielakkannya dengan cekatan, dan setiap serangan yang dielakkannya itu tentu disambut dengan tamparan atau tendangan.

Demikian cepatnya gerakannya, demikian kuatnya sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, tentu tubuh seorang pengeroyok terlempar dan tak dapat bangun lagi! Kadang-kadang, dengan tangan telanjang saja dia menangkis golok atau pedang, lengan bajunya robek-robek dan hancur, akan tetapi berkat Ilmu Thian-te Sin-ciang, kulit lengannya menjadi kebal dan bukan kulit lengannya yang terluka, sebaliknya pedang dan golok itu yang patah atau terlempar jauh!

Melihat kelihaian pemuda itu, Tok-ciang lalu mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu pecut baja. Terdengar bunyi ledakan-ledakan ketika dia menggerakkan pecut bajanya dan ketua Jeng-hwa-pang ini menyerang dengan dahsyatnya. Pecut baja itu meledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin. Pemuda ini maklum akan bahaya maut ini, maka diapun mengelak dan berusaha menangkap ujung pecut. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangannya, Tok-ciang menarik kembali pecutnya dan dengan satu ujung pecut baja itu kini meluncur ke depan dan menotok ke arah jalan darah di ulu hati Thian Sin. Pada saat yang hampir berbareng, Kim Thian Seng-cu sudah menyerang pula dengan pedangnya dan disusul Gin Thian Seng-cu menyerang pula dengan kebutan bajanya. Melihat betapa tiga orang pemimpin Jeng-hwa-pang maju, tentu saja para murid Jeng-hwa-pang segera mundur dan membentuk lingkaran mengepung dan menjaga agar pemuda remaja itu tidak mungkin dapat melarikan diri dari tempat itu.

Dikeroyok tiga oleh ketua Jeng-hwa-pang dan dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, repot juga Thian Sin harus menghindarkan pengejaran tiga macam senjata itu. Ilmu silatnya memang sudah hebat sekali, akan tetapi dia masih belum berpengalaman, dan apalagi pada saat itu dia bertangan kosong harus menghadapi tiga macam senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Betapapun juga, dia tidak merasa gentar dan dia tetap tersenyum, senyum yang menyeramkan karena di baliknya terbayang kebencian yang hebat.

Sepasang matanya yang bagus itu mengeluarkan sinar dingin, dan tiga orang kakek itu merasa ngeri melihat kenyataan betapa kedua lengan pemuda remaja itu mampu menangkis tiga macam senjata itu tanpa terluka sedikitpun! Dan biarpun dia diserang secara bergantian dan didesak, Thian Sin kini mulai dapat melakukan serangan balasan yang cukup hebat! Dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan kaki dalam ilmu silat ini dia mampu menghindarkan diri dari semua serangan, dan sebagai pembalasan, dia menggunakan pukulan atau tamparan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan tiga macam senjata tiga orang kakek yang menjadi lawannya.

Karena dikeroyok tiga, untuk menghindarkan senjata lawan yang panjang dan yang menyerang bagian lemah dari tubuhnya, kadang-kadang Thian Sin harus meloncat ke pinggir dan dia sudah disambut oleh tusukan atau bacokan dari para murid Jeng-hwa-pang yang mengepung tempat itu. Akan tetapi, dengan tangkisan yang dilanjutkan tamparan, dia merobohkan satu dua orang dalam waktu cepat, untuk kemudian membalik untuk menghadapi desakan tiga orang kakek itu lagi! Melihat ini, Tok-ciang menjadi penasaran dan marah sekali. Pemuda remaja itu dalam waktu singkat telah membunuh belasan orang anak muridnya.

"Kurung dia dengan api!" teriaknya dan kini para murid Jeng-hwa-pang itu menyalakan obor dan tiap kali Thian Sin meloncat ke pinggir, dia tidak lagi disambut dengan senjata melainkan dengan obor menyala!

Tentu saja Thian Sin tidak berani menyambut api karena dia tidak kebal terhadap api, maka terpaksa dia mendesak lagi ke tengah dan menyambut tiga orang kakek itu dengan mati-matian.

"Mampuslah!" Tiba-tiba pecut baja itu berubah menjadi kaku seperti tombak dan menusuk ke arah dada Thian Sin.

Melihat ini, Thian Sin menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk mematahkan senjata itu. Akan tetapi pecut baja itu terbuat dari baja yang amat baik sehingga ketika ditangkis, ujungnya melentur dan tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pecut yang runcing itu menusuk pangkal lengan kiri Thian Sin. Dan pemuda itu merasa betapa pangkal lengannya panas sekali. Maklumlah dia bahwa ujung pecut baja itu tentu mengandung racun dan cepat dia mengerahkan sin-kang seperti yang pernah dipelajarinya dari Pendekar Lembah Naga. Memang hebat sekali karena begitu dia mengerahkan hawa sakti dari pusar itu menuju ke bagian yang terluka, dari luka kecil itu keluar darah dan semua racun yang dibawa ujung pecut dan mengotori luka itu terbawa keluar oleh darah!

"Ha-ha-ha!" Tok-ciang Sian-jin tertawa bergelak karena dia merasa yakin bahwa luka dengan ujung pecut itu satu kali saja sudah cukup dan dia merasa yakin bahwa dalam waktu satu dua menit lagi pemuda remaja itu akan roboh karena racun yang terkandung di ujung pecutnya itu amat ganas.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking keras dan tahu-tahu pemuda itu telah menerjang dan menubruknya seperti seekor burung elang rajawali menyambar seekor ular. Tok-ciang mengeluarkan seruan kaget, berusaha mengelak sambil memukulkan pecutnya. Thian Sin tidak berhasil memberi pukulan yang tepat, namun kakinya sempat menyambar dan mengenai paha lawan, membuat Tok-ciang terhuyung dan pemuda remaja itu dengan kecepatan kilat telah berhasil menangkap cambuk. Terjadi tarik-menarik dan hampir saja Tok-ciang tidak dapat mempertahankan cambuknya lagi. Akan tetapi pada saat itu, dua orang tokoh Pek-lian-kauw telah menyerang dari kanan kiri. Terpaksa Thian Sin melepaskan cambuknya, dilepaskannya dengan tiba-tiba sehingga cambuk itu melecut ke arah muka pemiliknya. Baiknya Tok-ciang sudah melempar tubuh ke samping, kalau tidak tentu dia menjadi korban senjatanya sendiri. Dia meloncat bangun dan wajahnya berubah agak pucat. Tak disangkanya pemuda itu sedemikian hebatnya, dan sungguh dia merasa heran bagaimana pemuda itu belum juga jatuh setelah pangkal lengannya terluka oleh pecut baja yang mengandung racun?

Thian Sin kini sudah marah sekali. Biarpun dia berhasil menghindarkan diri dari bahaya maut dengan mengeluarkan racun itu seketika dari pundaknya, namun luka di pangkal lengan dekat pundak itu cukup mendatangkan rasa nyeri. Ketika dia diserang oleh pedang dari kanan dan kebutan dari kiri, dia miringkan tubuh sehingga pedang itu lewat, kemudian cepat dia menangkap pergelangan tangan Kim Thian Seng-cu sambil mengerahkan tenaga Thi-khi-i-beng! Dia telah melanggar pantangan dan pesan ayah angkatnya agar tidak sembarangan mempergunakan ilmu ini.

"Heiii...?" Kim Thian Seng-cu berteriak aneh ketika tiba-tiba dia merasa betapa tenaga sin-kang dari tubuhnya mengalir keluar seperti air bah, tersedot melalui tangan pemuda remaja itu!

Dia belum pernah mendengar, apalagi merasakan hal seperti ini, maka dia terkejut bukan main. Gin Thian Seng-cu juga sudah menyerang dengan kebutannya yang memukul ke arah punggung Thian Sin. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak.

"Prattt!" Kebutan itu mengenai punggung, akan tetapi disusul teriakan aneh dari Gin Thian Seng-cu karena kebutannya itu melekat pada punggung dan tenaga sin-kangnya juga membanjir keluar.

Dia berusaha menarik kebutannya, akan tetapi makin kuat dia mengerahkan tenaga, makin banyak pula tenaga sin-kang yang mengalir keluar dari tubuhnya! Dia mengalami hal yang sama dengan Kim Thian Seng-cu, karena kakek inipun merasa betapa pergelangan tangannya yang dipegang lawan itu melekat dan semakin dia berusaha melepaskan diri, makin hebat pula tenaganya tersedot keluar.

Melihat ini, mula-mula Tok-ciang terkejut dan heran. Akan tetapi dia lalu teringat akan ilmu aneh yang kabarnya dimiliki oleh keluarga Cin-ling-pai, yaitu ilmu Thi-khi-i-beng yang dapat menyedot tenaga sin-kang lawan. Teringat akan hal ini, dia cepat menggerakkan pecutnya dan kini pecut itu menjadi kaku seperti tombak dan menyerang dengan tusukan-tusukan ke arah kedua mata pemuda remaja itu! Melihat ini, tentu saja Thian Sin terkejut dan tidak mungkin dia membuat matanya kebal terhadap tusukan pecut.

Terpaksa dia melepaskan dua orang lawan itu dan sambil menundukkan mukanya dia berusaha menangkap ujung pecut, akan tetapi Tok-ciang sudah menarik kembali pecutnya. Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu merasa lega ketika mereka terlepas. Sudah ada tenaga sin-kang mereka yang memberobot keluar, membuat mereka merasa agak pening kepala mereka. Dengan marah kini mereka menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi, akan tetapi juga dengan hati-hati sekali karena mereka tidak ingin mengalami hal seperti tadi, yang amat berbahaya akan tetapi juga amat mengerikan hati mereka.

"Siapkan jala langit!" tiba-tiba terdengar Tok-ciang Sian-jin berteriak sambil memperhebat serangannya, dibantu oleh dua orang kakek Pek-lian-kauw itu.

Thian Sin tidak tahu apa maksud perintah itu, akan tetapi karena dia diserang secara gencar oleh tiga macam senjata yang lihai, dia terpaksa harus mencurahkan perhatiannya dan mencari kesempatan bagaimana agar dia dapat mengalahkan tiga orang musuhnya ini.

Dia tidak tahu bahwa di atas langit-langit itu telah dipasang jala yang tadinya tergulung dan tersembunyi dan kini, dengan menarik beberapa tali-temali di bawah, jala itu telah terbentang di atas ruangan itu. Dia masih terus mengamuk ketika tiba-tiba dari atas menyambar turun sehelai jala dan pada saat itu, tiga orang lawannya telah berloncatan ke belakang. Dia tidak mungkin dapat menghindar karena tempat itu dikurung banyak orang yang memegang obor bernyala dan juga senjata-senjata yang menodongnya, maka jala itu tepat menimpa dan menyelimuti dirinya. Thian Sin menjadi semakin marah, meronta-ronta dan berusaha merobek-robek jala itu. Akan tetapi ternyata jala itu terbuat daripada benang-benang yang amat kuat, tidak dapat dibikin putus karena agak mulur dan ulet bukan main. Selagi dia meronta dan berusaha membebaskan dirinya, tiba-tiba jala itu ditarik naik dan tubuhnya yang sudah terbungkus jala itu terbawa naik pula! Thian Sin berusaha untuk melepaskan diri, namun sia-sia belaka dan tubuhnya sudah tergantung ke udara, terselimut jala yang amat kuat itu sedangkan para anggauta Jeng-hwa-pang bersorak-sorak dengan girang, memaki-maki dan mengejeknya.

Tok-ciang Sian-jin yang sudah menjadi amat marah melihat banyaknya anak buahnya yang tewas, menyambar sebatang tombak dari tangan seorang murid dan dengan tombak ini dia menyerang Thian Sin, melontarkan tombak itu ke arah tubuh yang terbungkus jala dan tergantung di atas itu. Tombak itu meluncur dengan amat cepatnya dan tepat mengenai punggung Thian Sin.

"Dukkk...!" Tombak itu seperti mengenai besi saja dan terpental, jatuh terbanting berkerontangan di atas lantai.

Semua orang terkejut. Pemuda remaja itu sungguh hebat, kekebalannya membuat serangan tombak itu tidak ada gunanya! Dan memang Thian Sin yang maklum bahwa dia tidak mampu menangkis atau mengelak, telah melindungi dirinya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang membuat tubuhnya menjadi kebal terhadap serangan senjata tajam atau runcing.

LANJUT KE JILID 010--->
<---Kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar