Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 41

Dewi Maut Jilid 41

<--kembali

“Benar, suhu. Setelah suhu menolong saya dari iblis betina itu dan menyembuhkan saya dari luka akibat pasir beracun.”

Kok Beng Lama kini bangkit berdiri dan menjura ke arah Bun Hwat Tosu. “Aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, sobat. Aku tidak akan melupakan budimu.”

Bun Hwat Tosu cepat balas menjura, lalu duduk bersila kembali dan mengomel, “Lama yang baik, aku tidak melepas budi apa-apa dan tidak minta balasan apa-apa. Asalkan engkau suka menemani aku main catur dengan taruhan seperti yang sudah dikatakan oleh murid-murid kita tadi, cukup senanglah hatiku. Hayo, kaumulai dan jangan banyak main sungkan-sungkan dan hutang-pihutang budi lagi!”

Kok Beng Lama memandang tosu itu dan tertawa girang. “Aha, tidak mudah di dunia bertemu dengan seorang luar biasa seperti engkau, sahabat. Baiklah, mari kita buktikan, siapa yang lebih unggul mempermainkan biji-biji catur.”

Mulailah dua orang kakek itu bermain catur dan mulai pulalah dua orang anak itu menjadi tidak tenang dan bosan. Mereka memang ingin sekali melihat guru masing-masing menang agar bisa mendapatkan pelajaran ilmu silat tinggi, akan tetapi menonton mereka bermain catur begitu lambat, dua orang anak ini merasa bosan. Kadang-kadang sampai hampir satu jam lamanya seorang di antara dua kakek yang bergiliran jalan, hanya termenung memandang papan caturnya, tidak juga menggerakkan biji catur. Akan tetapi di samping kebosanan mereka, dua orang anak itu tidak berani mengganggu guru masing-masing, maka mereka hanya duduk gelisah, hanya kadang-kadang saja memandang ke arah papan catur, akan tetapi lebih sering mereka memandang ke kanan kiri, dan beberapa kali mereka saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata.

Ketika matahari telah condong ke barat, dua orang bocah itu sudah tidak lagi nonton guru-guru mereka yang bermain catur. Sampai matahari condong ke barat, sudah setengah hari mereka bermain catur, namun belum juga ada yang kalah atau menang, satu permainan juga belum habis!

Kini dua orang anak itu sudah duduk berhadapan, tak jauh dari tempat guru-guru mereka bermain catur. Karena merasa dikesampingkan dan tidak diperhatikan lagi oleh guru-guru mereka, otomatis dua orang anak itu saling memperhatikan. Ketika Mei Lan memetik setangkai bunga merah, Lie Seng berkata, nada suaranya mencela, “Sayang sekali bunga itu dipetik.”

Mei Lan memandang kepadanya, memegang setangkai bunga itu dan mencium baunya yang harum. Bunga itu adalah bunga mawar hutan.

“Kenapa sayang?” tanyanya.

“Bunga itu sudah baik-baik tumbuh di tangkainya, mengapa dipetik? Kalau dipetik bukankah akan cepat layu dan mati?”

“Hemm, memang bunga sepatutnya dipetik dan dinikmati, dan aku suka sekali kepada bunga. Anak-anak perempuan sudah biasa suka memetik bunga.”

Lie Sang tidak membantah lagi. Dia menoleh kepada suhunya yang masih tenggelam bersama lawannya dalam dunia tersendiri, dunia perang catur yang amat mengasyikkan bagi mereka berdua.

“Gurumu suka sekali bermain catur,” kata Lie Seng pula.

“Gurumu juga,” jawab Mei Lan.

“Biasanya, guruku tidak pernah main catur, juga membicarakan soal caturpun tidak pernah. Heran sekali mengapa dia ternyata suka sekali bermain catur. Apakah kau bisa main catur?”

Mei Lan mengangguk, “Aku bisa akan tetapi aku tidak begitu suka, tidak enak menanti lawan berlama-lama memikirkan jalan berikutnya, sampai kesal hati menunggu. Lebih senang bermain silat. Apa kau bisa main catur?”

Lie Seng menggeleng. “Tidak. Akan tetapi aku juga senang bermain silat.”

Mereka berdua sampai lama tidak berkata-kata lagi dan ternyata mereka menjadi makin kesal. Mereka sudah lelah dan lapar, akan tetapi dua orang kakek itu terus saja bermain catur tanpa memperdulikan dua orang anak itu, bahkan mereka itupun sama sekali tidak kelihatan lelah atau lapar atau mengantuk.

Ketika hari berganti malam dan cuaca sudah terlalu gelap untuk dapat bermain catur, dua orang kakek itu menyuruh murid-murid mereka untuk mencari kayu dan daun-daun kering dan agar mereka membuatkan dua api unggun di kanan kiri dua orang kakek yang terus melanjutkan permainan mereka itu.

Setelah membuatkan api unggun untuk guru-guru mereka, Mei Lan dan Lie Seng lalu membuka bungkusan bekal mereka, yaitu roti kering dan air minum, dan tanpa menawarkan kepada guru-guru mereka yang asyik bermain catur itu karena tidak berani mengganggu mereka, dua orang anak ini makan minum sendiri!

Dan ternyata, dua orang kakek itu tanpa makan atau minum atau mengaso, melanjutkan permainan catur mereka sampai semalam suntuk! Tentu saja Mei Lan dan Lie Seng menjadi kesal sekali dan mereka tidur di atas rumput di dekat api unggun. Dua orang kakek itu melanjutkan permainan mereka dan kadang-kadang menambahkan kayu yang ditumpuk sebagai persediaan oleh dua orang murid mereka itu ke dalam api unggun sehingga api unggun di kanan kiri itu bernyala sampai pagi.

Setelah matahari naik dan sinarnya mulai menyusup di antara celah daun pohon, Mei Lan dan Lie Seng terbangun oleh suara Kok Beng Lama yang amat nyaring. Mereka bangun dan duduk dengan kaget, lalu memandang ke arah dua orang kakek itu yang masih saling berhadapan dan mereka kini mulai mengatur lagi biji-biji catur, tanda bahwa baru saja mereka menyelesaikan satu permainan dan hendak mulai lagi dengan permainan berikutnya. Kok Beng Lama kelihatan girang bukan main.

“Ha-ha-ha! Kekalahanku semalam tertebus dengan kemenangan ini, tosu! Semalam engkau mengalahkan aku dan aku berjanji akan memberikan ilmu pedangku yang tidak ada keduanya di dunia. Sekarang, setelah engkau kalah, ilmu apa yang akan kauberikan kepada muridku?”

Bun Hwat Tosu kelihatan gembira sekali pula, akan tetapi wajahnya kelihatan tegang dan juga lelah, sungguhpun semua itu tertutup oleh kegembiraan yang terpancar dari pandang matanya dan senyumnya. “Permainan caturmu hebat, Lama, dan sesuai dengan janji taruhan, biarlah untuk kekalahanku ini aku akan memberikan ilmu tongkat yang tiada duanya di jagad ini, yaitu Siang-liong-pang-hoat.”

“Bagus, bagus! Aku percaya bahwa tua bangka seperti engkau ini tentu menyimpan banyak ilmu yang hebat-hebat. Memang sudah nasib muridku yang baik. Dalam permainan berikutnya, engkau tentu akan kalah terus dan semua ilmumu terkuras habis dalam pertaruhan ini, tosu.”

“Belum tentu, Lama. Pertandingan kita masih ramai, baru satu-satu. Kita lihat saja nanti!”

Dan mereka berdua sudah bermain lagi dengan asyiknya. Mula-mula, mendengar akan kemenangan guru masing-masing satu kali, dua orang murid itu menjadi tertarik dan beberapa lamanya mereka menonton. Masing-masing mengharapkan agar gurunya menang terus agar mereka memperoleh tambahan ilmu silat tinggi sebanyak mungkin. Akan tetapi menonton permainan itu tidaklah begitu menyenangkan seperti kalau mendengar kemenangannya. Dua orang kakek itu seperti arca-arca yang sama sekali tidak bergerak, seluruh perhatian ditujukan ke atas papan catur. Mereka itu bersikap seolah-olah dunia di sekitar mereka tidak ada dan mereka seperti sudah pindah ke dunia di atas permukaan papan catur itu. Tentu saja hal ini kembali mendatangkan kebosanan pada Mei Lan dan Lie Seng.

Mei Lan mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan melangkah pergi. Melihat ini, Lie Seng juga bangkit dan cepat mengejarnya. “Kau hendak pergi ke mana?”

Mei Lan menoleh. Dalam keadaan kesepian dan seperti tidak diperdulikan lagi oleh gurunya itu, dia memang membutuhkan seorang kawan, dan anak laki-laki inipun lumayan untuk dijadikan teman.

“Mau mandi.”

“Mandi? Di mana ada air di sini?”

“Di depan sana. Kemarin ketika suhu dan aku berjalan ke sini, aku melihat ada anak sungai kecil di sana, airnya jernih.”

Lie Seng memandang girang. “Ah, suhu membawa aku datang begitu cepat sehingga aku tidak sempat melihatnya. Mari kita pergi, akupun ingin mandi.”

Sambil berjalan, mereka memandang ke kanan kiri di mana tumbuh rumput dan ilalang yang amat luasnya.

“Di bawah pohon di depan itulah tempatnya,” kata Mei Lan menuding ke depan. Mereka mempercepat jalan ke arah pohon itu dan tak lama kemudian setelah tiba di situ, benar saja di situ terdapat anak sungai yang airnya bersih, mengalir sunyi namun gembira dengan dendangnya sambil bermain-main dengan batu-batu yang diterjangnya. Anak sungai itu mengalir menuju ke perkampungan Padang Bangkai dan di daerah ini memang merupakan daerah sebelah selatan Padang Bangkai yang belum berbahaya.

“Kautunggulah dulu di bawah pohon dan jangan melihat ke sini. Aku akan mandi dulu,” kata Mei Lan sambil menuruni tebing sungai yang tidak begitu curam.

“Eh, kenapa? Air itu cukup banyak dan tempatnya juga cukup lebar!” Lie Seng membantah.

Sepasang pipi itu menjadi kemerahan dan mulut Mei Lan cemberut. “Kau bocah laki-laki tahu apa? Mana boleh wanita mandi bersama dengan seorang laki-laki? Hayo kau tunggu dulu di situ, jangan bergerak. Setelah aku selesai, baru engkau yang turun mandi dan aku akan menanti di situ.”

Lie Seng bersungut-sungut akan tetapi lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar tanah. “Baiklah, kalau tidak ingat bahwa engkau yang menemukan sungai ini, tentu aku tidak mau mengalah dengan peraturanmu yang aneh ini!”

Mei Lan hanya tersenyum mendengar ini. Bocah kecil tahu apa engkau, pikirnya. Agaknya biarpun usianya sudah tiga belas tahun, pikiran Lie Seng masih terlalu polos sehingga dia merasa heran mengapa anak perempuan itu tidak mau mandi bersama, bahkan diapun dilarang melihat!

Setelah Mei Lan melihat bahwa Lie Seng benar-benar duduk membelakangi sungai dan sama sekali tidak pernah menengok, dia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan turun ke dalam air yang setinggi paha, lalu dia duduk sehingga tubuhnya terbenam sampai ke leher.

“Aihh, dinginnya...!” Mei Lan berseru dan ketika dia melihat betapa kepala Lie Seng yang kelihatan dari situ sebatas dada itu hendak menoleh, dia cepat berseru, “Awas, tidak boleh menoleh dan melihat ke sini!”

Lie Seng mendengus dan karena hatinya keras, dia sama sekali tidak sudi menoleh. “Akupun tidak ingin melihat engkau mandi!” katanya marah.

Makin meradang lagi rasa hati Lie Seng ketika dia menanti sampai lama. Apa saja sih yang dilakukan bocah itu, pikirnya. Mandi sampai begitu lama belum juga selesai!

“Heii, masa belum juga selesai?” teriaknya tanpa menoleh karena hatinya sudah kesal menanti.

“Sebentar lagi! Aihh, betapa tidak sabaran engkau!”

“Habis, lama benar sih! Memangnya engkau mau berendam di situ sampai sehari penuh?”

Mei Lan tidak menjawab, akan tetapi mempercepat mencuci rambutnya yang hitam panjang itu. Setelah selesai dan berpakaian, dia lalu naik ke atas, rambutnya masih terurai dan dikibas-kibaskannya agar kering. Wajahnya segar kemerahan karena digosok-gosoknya tadi, seperti sekuntum bunga yang sedang mulai mekar.

“Nah, ambillah olehmu seluruh air sungai itu!” katanya kepada Lie Seng yang cemberut.

Lie Seng bangkit dan memandang marah. “Mandi saja sampai berjam-jam, dasar anak perempuan!”

“Huh, dan kau menunggu begitu saja tidak sabar, dasar anak laki-laki!” Mei Lan membalas. Lie Seng tidak menjawab, menuruni tebing dan menanggalkan semua pakaiannya lalu masuk ke dalam air. Mandinya mendatangkan suara bising, berkecipak di dalam air. Dia tidak pernah menengok apakah anak perempuan itu masih berada di tepi sungai atau tidak, dan memang dibandingkan dengan waktu yang dipergunakan oleh Mei Lan untuk mandi tadi, Lie Seng hanya menggunakan waktu singkat saja.

Ketika dia sudah berpakaian dan naik ke tepi sungai dengan rambut basah, dia melihat Mei Lan masih duduk di bawah pohon sambil menyisiri rambutnya.

“Eh, kau masih di sini?” tanya Lie Seng, rasa mengkal hatinya agaknya sudah lenyap, larut oleh air sungai atau sudah menjadi dingin oleh air.

“Tentu saja. Bukankah aku tadi berjanji akan menunggu di sini sampai kau selesai?”

Hati Lie Seng menjadi girang. Kiranya anak perempuan ini baik juga, bersahabat dan memegang janji. Maka ketika Mei Lan menyerahkan sisirnya, dia menyambut tanpa berkata-kata, menyisiri rambutnya. Dan kiranya Mei Lan sudah mengeluarkan roti kering yang tadi dibawanya, mengajak Lie Seng untuk sarapan roti kering, Lie Seng duduk di atas akar pohon dan mereka makan roti kering.

“Siapa namamu?” tanya Mei Lan.

“Namaku Lie Seng, dan kau?”

“Mei Lan. Berapa usiamu?”

“Tiga belas tahun.”

“Dan aku lima belas tahun.”

“Kalau begitu kau lebih tua dari aku, enci Mei Lan.”

“Tentu saja! Semua orangpun dapat melihatnya.”

“Oh, belum tentu. Aku tidak kalah tinggi olehmu.”

“Benar, karena kau laki-laki. Akan tetapi kau masih kanak-kanak.”

“Hemm, dan kau sudah tua, ya?”

“Setidaknya, lebih tua daripada engkau.”

Lie Seng tidak dapat membantah. Hening sejenak sampai mereka selesai makan roti kering yang tentu saja tidak enak di mulut karena setiap hari mereka memakannya, akan tetapi berguna bagi perut mereka yang lapar.

“Mengapa kau ikut bersama hwesio aneh itu?”

Lie Seng memandang. “Tentu saja. Dia guruku dan... dia yang telah menolongku dari bahaya. Kau sendiri, mengapa ikut bersama kakek yang sudah amat tua itu?”

“Sama denganmu. Karena dia guruku. Di mana orang tuamu?” tanya Mei Lan.

Ditanya demikian, Lie Seng mengerutkan alisnya dan sepasang matanya penuh dengan sinar kedukaan, wajahnya menjadi muram dan dia menggeleng kepala, tidak menjawab.

Mei Lan menarik napas panjang. “Maafkan aku, adik Seng. Agaknya di dunia ini banyak terdapat anak-anak seperti kita... yang terlantar...”

“Eh, apakah engkau sendiri tidak berayah ibu lagi?”

Mei Lan menggeleng kepala juga. “Pertanyaan itu tak dapat kujawab...” Tiba-tiba gadis cilik itu memegang lengan Lie Seng dan berbisik, “Ssttt, di sana ada dua orang mendatangi tempat ini...!”

Lie Seng cepat memandang dan diapun melihat dua orang datang dari selatan, dua orang laki-laki yang bersikap gagah dan berjalan sambil memandang ke kanan kiri. Seorang di antara mercka bertubuh jangkung, berpakaian sederhana dengan warna kuning, sedangkan yang seorang lagi amat mengherankan hati Lie Seng karena pemuda itu memiliki rambut yang agak keemasan tertimpa sinar matahari, dan setelah dekat, dia melihat bahwa matanyapun agak kebiruan!

Dua orang pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun dan Souw Kwi Beng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang ini sengaia mencari Yap In Hong dan mereka baru saja meninggalkan benteng Raja Sabutai di mana mereka mendapatkan petunjuk dan bahkan menerima petunjuk rahasia dari Permaisuri Khamila. Kemudian, mereka bertemu dengan Liong Si Kwi, wanita yang bernasib malang itu dan memperoleh petunjuk yang amat penting, yaitu tentang jalan rahasia menyeberangi Padang Bangkai yang amat berbahaya itu. Karena itu, maka mereka memasuki daerah ini dengan hati-hati dan menoleh ke kanan kiri, tidak berani bersikap sembrono karena dari Si Kwi mereka memperoleh keterangan betapa bahayanya memasuki Padang Bangkai.

Ketika mereka melihat ada seorang dara remaja dan seorang anak laki-laki berada di bawah pohon, yang memandang mereka dengan sikap heran dan penuh curiga, tentu saja dua orang pemuda ini mengira bahwa tentu dua orang anak itu adalah anak-anak dari penghuni Padang Bangkai! Menurut penuturan Si Kwi, di tempat berbahaya itu tidak ada orang luar, yang ada hanya anggauta-anggauta Padang Bangkai yang semua sudah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan sebagian melarikan diri ke Lembah Naga. Maka, adanya dua orang anak di situ tentu saja menimbulkan kecurigaan mereka dan mereka menyangka bahwa dua orang anak itu tentulah anggauta-anggauta Lembah Naga atau Padang Bangkai.

“Kita tangkap mereka untuk menunjukkan jalan, twako,” kata Kwi Beng.

“Jangan sembrono, Beng-te. Kita tanya dulu...” kata Tio Sun yang memang selalu berhati-hati dalam sepak terjangnya.

Akan tetapi Kwi Beng sudah mendekati dan memandang dua orang anak itu penuh perhatian. Dia merasa heran mengapa anak-anak dari para penjahat begitu tampan dan cantik, terutama sekali dara remaja itu. Begitu cantik manis dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh keberanian, sungguhpun bajunya tambalan. Dan anak laki-laki itupun jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang anak biasa saja.

“Siapa kalian dan di mana adanya orang-orang Lembah Naga?” Kwi Beng bertanya, nada suaranya tidak manis karena tentu saja menghadapi anak-anak dari fihak musuh dia tidak bisa bersikap manis.

Mei Lan dan Lie Seng memandang tajam, kemudian Mei Lan menggandeng tangan Lie Seng sambil berkata, “Huh! Mari, Seng-te, jangan layani orang sinting ini!” Setelah berkata demikian, Mei Lan lalu menarik tangan Lie Seng dan lari meninggalkan Kwi Beng yang menjadi bengong sejenak.

“Heiii, hendak lari ke mana kalian?” Kwi Beng mengejar.

“Hati-hati, Beng-te, jangan-jangan ini merupakan pancingan!” Tio Sun berseru dan juga mengejar.

Ketika Mei Lan dan Lie Seng sudah tiba di tempat yang tidak jauh dari tempat guru mereka bertanding catur dan sudah kelihatan dari situ, kemudian mendapatkan kenyataan bahwa dua orang itu mengejar, mereka lalu berhenti.

“Engkau ini orang jahat mau apa mengejar kami?” Mei Lan membentak marah.

Kwi Bang mengerutkan alisnya. Anak perempuan ini galak sekali, dan tentu memiliki kepandaian juga, sebagai anak dari tokoh-tokoh sesat di tempat itu.

“Bocah sesat, kami hanya ingin bertanya jalan kepadamu!”

“Kami tidak tahu. Hayo lekas pergi, laki-laki ceriwis dan jangan menggangguku!” Mei Lan mengusir, telunjuk kirinya menuding ke depan dan tangan kanannya menolak pinggang, sikapnya angkuh sekali, angkuh dan juga cantik!

“Sombong!” Kwi Beng membentak dan dia sudah menerjang untuk menangkap dara remaja yang galak itu.

“Haiiittt...!Ahh!”

Kwi Beng terkejut bukan main karena selain anak perempuan itu dapat mengelakkan tubrukannya dengan cepat dan mudah, juga sambil mengelak ke kiri, anak perempuan itu langsung saja mengirim tendangan ke arah lambungnya. Gerakan tendangan itupun cepat dan kuat sehingga dia terkejut dan cepat meloncat mundur. Kemudian, dengan penasaran dia sudah menerjang lagi dengan cepat, disambut oleh Mei Lan dengan tangkisan, elakan dan serangan balasan yang secara kontan dan bertubi-tubi dia lancarkan, membuat Kwi Beng untuk kedua kalinya terkejut dan cepat dia merobah gerakan menyerang menjadi gerakan bertahan dan melindungi dirinya karena ternyata olehnya betapa serangan-serangan gadis itu bukannya tidak berbahaya.

“Beng-te, jangan berkelahi...!” Tio Sun meloncat ke depan, maksudnya hendak melerai perkelahian itu, karena dia melihat gerakan-gerakan aneh dan hebat dari gadis itu. Akan tetapi pada saat dia meloncat ke depan, dari samping berkelebat bayangan yang langsung menyerangnya.

“Ehh...!” Dia berseru kaget melihat bahwa yang menyerangnya adalah anak laki-laki tadi, dan bukan main kagetnya melihat bahwa pukulan anak laki-laki itupun hebat bukan main sehingga terpaksa dia menangkisnya.

“Dukkkk!” Tubuh Lie Seng terpental, akan tetapi Tio Sun juga merasa betapa lengannya tergetar.

“Hebat...!” Otomatis dia memuji karena seorang bocah sekecil itu dapat membuat lengannya tergetar, hal ini sudah amat luar biasa. Akan tetapi sebelum dia sempat mencegah, Lie Seng yang menganggap bahwa dua orang itu tentu orang-orang jahat, sudah menerjang lagi dengan pukulan-pukulan yang hebat, karena baru saja dia melatih pukulan Thian-te Sin-ciang yang biarpun masih mentah dan tenaga sin-kangnya belum kuat, namun berkat ilmu mujijat itu, ternyata sudah membuat Tio Sun terheran-heran dan terkejut.

Terjadilah pertandingan yang seru antara Mei Lan dan Kwi Beng yang makin lama makin menjadi penasaran karena dia tidak mampu mendesak dara remaja itu. Dan tentu saja Lie Seng bukanlah lawan Tio Sun, sungguhpun pendekar ini tentu saja enggan untuk menjatuhkan tangan kejam terhadap seorang anak yang usianya belum dewasa itu.

Tio Sun cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan Lie Seng, dipegangnya keras-keras pergelangan tangan itu dan dia mengerahkan sedikit tenaga Ban-kin-kang yang amat kuat. Dipegang dengan tenaga itu, Lie Seng tidak mampu bergerak lagi, sungguhpun dia sudah meronta-ronta dan pada saat itu, tiba-tiba Tio Sun berseru lirih dan pegangannya terlepas sehingga Lie Seng dapat meloncat jauh ke belakang! Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa tadi ada batu kecil menyambar lengannya dan membuat lengan itu lumpuh. Dia cepat menoleh ke arah dua orang kakek yang sedang asyik main catur, agaknya tidak memperdulikan pertempuran itu, akan tetapi yakinlah dia bahwa batu kerikil itu datang dari arah dua orang kakek itu.

Pada saat itu, Kwi Beng juga mengeluh dan terhuyung, terpincang-pincang kakinya dan terpaksa dia menjauhi Mei Lan. Ada batu kerikil menyambar mata kakinya, dan biarpun kakinya dilindungi kaos kaki dan sepatu, namun tetap saja terasa nyeri bukan main sehingga dia terpincang dan menjauhi Mei Lan.

Mei Lan dan Lie Seng juga mengerti bahwa diam-diam mereka dibantu oleh guru mereka, maka mereka menjadi girang sekali. Sebaliknya, Kwi Beng makin marah bukan main. Dia memandang ke arah dua orang kakek yang bermain catur, maklum bahwa dua orang kakek itulah yang membantu lawannya tadi dan dia menduga bahwa pasti mereka itu adalah tokoh-tokoh jahat dari tempat itu, kawan-kawan dari mereka yang menculik In Hong. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia mencabut enam hui-to dan melontarkan enam batang pisau terbang itu ke arah dua orang kakek yang bermain catur sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum bahwa tentu dua orang kakek itu memiliki kepandaian tinggi.

“Jangan...!” Tio Sun berseru, namun terlambat dan karena diapun menduga bahwa dua orang kakek itu tentulah fihak musuh, maka diapun akhirnya diam saja, memandang ke arah mereka yang diserang oleh enam batang pisau terbang itu sambil mendekati Kwi Beng.

“Sing-sing-singgg...!” Enam batang pisau terbang itu meluncur dengan cepat, berubah menjadi sinar berkilauan ditimpa sinar matahari pagi menuju ke arah tubuh dua orang kakek itu.

“Mengganggu saja!” terdengar Bun Hwat Tosu berkata dan kakek ini menggunakan ranting kecil di tangan kirinya untuk menyampok.

“Menjemukan!” Kok Beng Lama juga menyampok dengan ranting kecil. Tiga batang pisau terbang yang menyambar ke arah Bun Hwat Tosu kena disampok ranting kecil di tangan tosu itu, runtuh ke atas tanah dan patah-patah. Sedangkan ketika Kok Beng Lama menyampok dengan rantingnya, tiga batang pisau terbang lainnya membalik dan kini meluncur dengan kecepatan kilat menuju ke arah dua orang pemuda itu, yang satu menyambar ke arah Tio Sun sedangkan yang dua batang ke arah Kwi Beng!

“Celaka...!” Tio Sun berseru kaget sekali melihat sinar-sinar berkelebatan yang demikian cepatnya. Dia meloncat ke atas, menendang dari samping pisau yang menyambar ke arahnya dan menggunakan tangannya menyampok pisau yang menyambar ke arah Kwi Beng, sedangkan pisau ketiga dielakkan oleh Kwi Beng yang juga kaget itu dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan bergulingan! Ternyata, nyaris saja Kwi Beng dimakan oleh senjatanya sendiri!

“Berbahaya... kita pergi, Beng-te...!”

Tio Sun lalu menarik tangan Kwi Beng, diajak pergi dari situ, melanjutkan perjalanan, karena pendekar tinggi kurus ini maklum bahwa mereka sama sekali bukanlah lawan dua orang kakek yang masih tekun bermain catur itu.

Untung ketika mereka menengok, dua orang kakek itu masih terus bermain catur, agaknya tidak memperdulikan mereka dan sama sekali tidak mengejar. Mereka tidak tahu bahwa ada dua bayangan kecil yang membayangi mereka, menyusup-nyusup di antara rumpun alang-alang yang tinggi.

“Bukan main...” kata Tio Sun setelah mereka pergi jauh. “Dua orang kakek itu memiliki kesaktian yang amat luar biasa.”

“Heran sekali, siapakah mereka? Kalau musuh, mengapa membiarkan kita pergi? Kalau bukan musuh, kenapa di tempat ini?” tanya pula Kwi Beng.

“Akupun tidak tahu dan tidak dapat menduga, Beng-te. Yang jelas, kita berada di tempat berbahaya dan jangan sembarangan turun tangan. Mudah-mudahan saja dua orang kakek itu bukan orang-orang fihak Lembah Naga, karena kalau fihak musuh mempunyai orang-orang seperti mereka, agaknya tidak mudah untuk mengharap dapat menolong nona Yap In Hong yang tertawan di sini.”

“Aku tidak takut! Kita harus dapat menyelamatkan dia!” Kwi Beng berkata dengan kukuh.

Tio Sun tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya. “Tentu saja akan kita usahakan sedapat mungkin, saudaraku. Kalau tidak, masa kita berada di tempat berbahaya ini?”

Agaknya Kwi Beng sadar akan kata-katanya, maka cepat dia menjura dan memberi hormat kepada pemuda tinggi itu. “Maafkan aku, twako. Aku terlalu memikirkan keselamatan dia, sehingga lupa akan keselamatan orang lain. Keselamatanku sendiri tidak ada artinya bagiku, akan tetapi keselamatanmu, twako. Kau sudah memasuki bahaya besar di sini karena hendak membantuku menolongya...”

“Ah, sudahlah. Perlu apa hal itu dibicarakan lagi, Beng-te? Tanpa kauminta sekalipun mendengar bahwa Yap-lihiap tertawan orang jahat, tentu aku akan berusaha sedapatku untuk menolongnya.” Dia berhenti sebentar, lalu menyambung, “Apalagi setelah mendengar dari nona Liong Si Kwi bahwa Cia-taihiap tertawan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong mereka, betapapun bahayanya.”

Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali, meneliti seluruh tempat dan menuruti petunjuk yang diberikan oleh Si Kwi. Dan memang mereka tidak bertemu dengan seorangpun manusia sampai mereka berhasil melewati perkampungan Padang Bangkai. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa dari jauh, Mei Lan dan Lie Seng terus mengikutinya dengan mengambil jalan yang mereka lewati tadi sehingga dua orang anak inipun terbebas dari malapetaka yang terdapat di sepanjang perjalanan itu!

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Cia Giok Keng, puteri ketua Cin-ling-pai yang sejak berpisah dari Yap Kun Liong tidak pernah kita ikuti itu. Dalam pertemuannya yang terakhir dengan Kun Liong, dia merasa betapa semua peristiwa yang menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya dimulai dengan sikapnya terhadap Yap In Hong. Dia merasa menyesal sekali karena seolah-olah dia melihat betapa tangannya sendirilah yang menyalakan api pertama yang kemudian membakar keluarga Kun Liong dan keluarganya, yang menyebabkan Kun Liong kematian isterinya dan kehilangan puterinya, dan kemudian menyebabkan pula sebagai rangkaiannnya, dia kematian suaminya dan kehilangan Lie Seng, puteranya. Karena penyesalan ini, dia dapat membayangkan betapa sengsaranya hati Kun Liong dan dia bertekad untuk mencari pembunuh Pek Hong Ing isteri Kun Liong dan terutama sekali mencari jejak Yap Mei Lan yang lenyap melarikan diri itu.

Untuk mencari jejak Yap Mei Lan, akhirnya Giok Keng menuju ke Leng-kok, tempat tinggal Kun Liong dari mana anak perempuan itu mula-mula lenyap. Pada suatu hari dia berjalan seorang diri di lereng pegunungan sebelah selatan Leng-kok. Berjalan seorang diri di tempat sunyi itu dengan melamun. Padahal, matahari tersenyum dengan cerahnya, menghidupkan semua yang berada di permukaan bumi, bermain-main dengan kelompok bunga dan pucuk daun, menimbulkan bayang-bayang aneh dan luar biasa di bawah-bawah pohon, menciptakan suasana gembira dan pemandangan indah yang abadi dan selalu berubah setiap saat. Namun, Giok Keng berjalan sendirian seperti tidak melihat semua itu. Matanya memandang jauh tanpa menangkap apa-apa karena pikirannya melayang-layang jauh di masa lampau.

Dia seorang janda yang usianya sudah tiga puluh enam tahun, seorang wanita yang matang dan belum dapat dibilang terlalu tua untuk menyendiri. Di dalam perjalanan selama ini, kadang-kadang timbul perasaan rindu yang amat mendalam terhadap suaminya, Lie Kong Tek yang telah meninggal dunia, dan kadang-kadang pula, secara mendadak, seperti cahaya halilintar menerangi mendung gelap, timbul pula bayangan wajah Yap Kun Liong. Akan tetapi setiap kali dia teringat kepada Kun Liong, cepat diusirnya lagi bayangan itu. Dia seorang janda, dan dia tahu bagaimana kedudukan dan keadaan seorang janda di jamannya. Akan rusaklah nama seorang janda apabila dia membiarkan dirinya berdekatan dengan seorang pria. Apalagi dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Akan cemar namanya, akan ternoda pula nama keluarga Cin-ling-pai.

Giok Keng mengepal tinjunya erat-erat. Tidak, dia harus dapat menahan hatinya, dia harus mematikan perasaan hatinya. Sebagai seorang janda, sudah tertutup baginya untuk berhubungan dengan seorang pria, apalagi untuk memadu kasih! Dia sudah mati, mati kebahagiaannya, mati bersama mati suaminya. Yang terpenting baginya sekarang adalah menebus kesalahannya, dia harus dapat menemukan Mei Lan kembali!

Tiba-tiba teidengar suara tangis wanita. Buyar semualah lamunan Giok Keng dan dia menghentikan langkahnya, memasang telinga untuk mendengarkan lebih teliti. Ternyata suara tangis itu terdengar dari jauh, di sebelah kiri, maka diapun lalu menggerakkan kedua kakinya menuju ke tempat itu. Setelah dekat, dia melihat seorang wanita tua dipegangi oleh seorang laki-laki tua yang membujuk dan menghiburnya.

“Tidak, biarkan aku mati saja!” Wanita itu meronta dan agaknya dia hendak melempar dirinya ke dalam jurang di depannya.

“Ah, mengapa engkau begini? Belum tentu anak kita celaka, mengapa engkau berputus asa? Tidak ingatkah kau kepadaku, kepada suamimu?”

Wanita itu memandang kepada laki-laki tadi dan mereka saling rangkul dan menangis sedih sekali. Giok Keng merasa tertarik dan cepat dia menghampiri. Melihat ada orang datang, dua orang itu saling melepaskan rangkulan dan dengan masih terisak-isak mereka memandang kepada wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah penuh wibawa itu. Melihat ada pedang tergantung di punggung wanita cantik itu, si nenek cepat menjatuhkan diri berlutut.

“Lihiap, mohon lihiap menolong kami...”

“Bangunlah, lopek. Apakah yang terjadi? Mengapa isterimu hendak membunuh diri? Apa yang terjadi dengan anakmu?”

Kakek yang usianya lima puluh tahun lebih itu lalu berkata, “Lihiap, kami hanya mempunyai seorang anak perempuan saja yang kami harapkan akan dapat menyambung keturunan dan dapat membahagiakan kami di hari tua. Akan tetapi, tiga hari yang lalu anak kami itu lenyap.”

“Lenyap? Apa yang terjadi?”

“Anak saya diculik siluman keparat itu, lihiap!” kini nyonya tua itu berkata dengan nada suara penuh kebencian.

“Siluman? Apa maksud kalian?” Giok Keng bertanya heran.

“Begini, lihiap. Di kota kami sudah kurang lebih satu bulan ini terjadi hal-hal yang aneh. Beberapa orang gadis lenyap di waktu malam, juga banyak hartawan kehilangan hartanya. Anehnya, gadis-gadis yang hilang itu semua adalah gadis yang cantik. Dan karena belum pernah ada yang melihat maling itu, maka dia dijuluki siluman. Katanya ada yang melihat bayangan siluman itu, dan bahkan para hwesio di Kuil Ban-hok-tong juga mengatakan bahwa ada hawa siluman di kota kami.”

Giok Keng merasa tertarik sekali. Tentu saja dia dapat menduga bahwa yang dianggap siluman itu adalah seorang maling yang berkepandaian tinggi, dan selain maling agaknya penjahat itu juga merangkap seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Jantungnya berdebar keras. Tidak jauh dari Leng-kok terdapat jai-hoa-cat! Jangan-jangan Yap Mei Lan menjadi korban pula!

“Di mana kota kalian?” Dia bertanya penuh gairah karena dia ingin cepat-cepat dapat menangkap penjahat itu, bukan hanya untuk menolong penduduk kota ini, akan tetapi terutama sekali untuk menyelidiki kalau-kalau Mei Lan menjadi korban penjahat itu!

“Kota Heng-tung tak jauh dari sini, di sebelah utara itu, lihiap.”

“Baik, jangan kalian khawatir dan jangan putus asa, aku akan pergi menangkap siluman itu.” Setelah berkata demikian, Giok Keng meloncat dan mempergunakan kepandaiannya berlari cepat sehingga dalam sekejap mata saja dia telah lenyap dari depan dua orang suami isteri tua itu.

Suami isteri itu terkejut dan mereka menjatuhkan diri berlutut, lalu mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk menghaturkan terima kasih kepada para dewa, karena mereka percaya bahwa yang muncul tadi tentulah utusan Kwan Im Pouw-sat, seorang dewi untuk menangkap siluman jahat!

Memang agak mengherankan hati Giok Keng bahwa di Leng-kok, atau setidaknya di dekat Leng-kok, ada seorang penjahat berani muncul di kota besar. Padahal nama Yap Kun Liong di Leng-kok amat terkenal sehingga sampai jauh di sekeliling daerah itu tidak ada penjahat berani melakukan operasi mereka. Akan tetapi janda ini tidak tahu bahwa keadaanya telah berubah banyak. Semenjak peristiwa perebutan kedudukan kaisar di kota raja, yaitu ketika Kaisar Ceng Tung ditawan oleh pasukan liar di utara, keamanan di kota raja memang telah dapat dipulihkan kembali dengan pulangnya Kaisar Ceng Tung dan dengan diangkatnya dia menjadi kaisar kembali. Para thaikam yang tadinya memegang kekuasaan mutlak, telah banyak berkurang kekuasaan mereka, bahkan amat dibatasi. Suasana tertib dapat dipulihkan. Akan tetapi ketertiban ini hanya terdapat di lingkungan istana, atau paling besar hanya terasa di kota raja saja. Di luar kota raja, apalagi di kota-kota yang jauh dari kota raja, para pembesar kehilangan wibawa mereka dan para penjahat mulai berani beroperasi secara terbuka. Bahkan banyak penjahat yang menggunakan pengaruh uang, memikat para pejabat sehingga ada semacam “kerja sama” di antara mereka! Tentu saja kalau hal seperti ini sudah terjadi, rakyat yang menjadi korban dan hal itu berarti bahwa kewibawaan pemerintah telah mulai surut.

Malam hari itu, Giok Keng melakukan penyelidikan. Dengan pakaian ringkas, dia menggunakan kepandaiannya, berloncatan di atas genteng-genteng rumah dan akhirnya dia memilih daerah rumah-rumah gedung tempat tinggal orang-orang kaya dan mendekam di balik wuwungan, melakukan pengintaian dari tempat yang dipilihnya sebagai tempat paling tinggi di sekitar tempat itu. Dia mengintai dan menanti dengan sabar dan menjelang tengah malam, di bawah sinar bintang-bintang di langit, dia melihat ada bayangan hitam berkelebatan di sebelah depan.

“Hemm, itu dia silumannya!” pikir Giok Keng dengan jantung berdebar tegang. Dia merunduk di balik wuwungan-wuwungan, berloncatan dengan hati-hati dan membayangi sosok bayangan di depan itu. Karena cuaca yang agak suram, hanya diterangi sinar bintang-bintang, dia tidak dapat melihat jelas muka orang, hanya dapat menduga bahwa bayangan itu adalah bayangan seorang laki-laki yang tubuhnya kurus namun gerakannya gesit sekali, yang berloncatan dari rumah ke rumah dan agaknya mencari-cari. Akhirnya, dia melihat maling itu meloncat turun ke dalam taman sebuah rumah besar.

“Bagus! Dia tentu akan merampok harta atau menculik wanita. Biar kutunggu di sini dan kutangkap basah dia!” pikir Giok Keng yang menanti di atas rumah itu dan bersikap waspada.

Tak lama kemudian, kelihatan kembali bayangan itu berkelebat dari bawah, meloncat ke atas genteng dan kini tangan kirinya memanggul sebuah bungkusan yang berat. Giok Keng merasa kagum juga. Ternyata maling ini adalah seorang yang telah ahli, buktinya dalam waktu singkat saja dia telah berhasil menyikat harta dari pemilik gedung di bawah.

“Maling rendah! Kiranya engkau orangnya?” Giok Keng membentak dan tampak jelas betapa maling itu tersentak kaget dan cepat membalikkan tubuhnya. Giok Keng tercengang melihat bahwa maling itu seorang laki-laki yang usianya lima puluh tahun lebih, dan pakaiannya seperti pakaian sasterawan, kepalanya ditutup topi lucu.

“Heh-heh, sampai kaget setengah mati aku!” Maling itu berseru dan sikapnya demikian aneh dan lucu sehingga Giok Keng merasa geli. Mengapa maling yang disohorkan sebagai siluman ini sikapnya begitu pengecut dan penakut?, “Ah... aku bukan...”

“Pengecut!” Giok Keng menerjang dengan pukulannya, tangan kirinya menghantam langsung dari depan ke arah dada maling itu.

“Ehhh...?” Maling itu cepat menghindarkan diri dengan meloncat ke belakang. Giok Keng mendesak dengan pukulan tangan kanan disambung hantaman dari samping dengan tangan kirinya. Wanita cantik ini sekarang jauh bedanya dengan dahulu. Kalau dahulu, Giok Keng selalu berhati keras dan setiap orang musuhnya tentu langsung akan menghadapi serangan-serangan maut dari pendekar wanita itu. Akan tetapi, semenjak peristiwa hebat yang menimpa keluarganya, dia berubah banyak. Kini dia tidak lagi sembrono dan tidak menggunakan pedangnya, juga tidak menggunakan sabuknya yang lihai atau pukulan-pukulan maut, melainkan hanya menyerang dengan pukulan-pukulan San-in-kun-hoat yang amat lincah untuk menundukkan maling ini dan untuk ditanyanya tentang para gadis itu, terutama tentang Yap Mei Lan.

Bertubi-tubi Giok Keng menyerang dan biarpun maling itu berusaha untuk mengelak, tetap saja pundaknya kena disambar jari tangan kiri Giok Keng.

“Aduhh...!” Maling itu terguling di atas genteng dan ketika Giok Keng hendak menyusul dengan tendangan, tiba-tiba maling itu berseru, “Ampunkan saya, lihiap. Lihiap sebagai puteri ketua Cin-ling-pai tentu tidak membunuh orang seperti saya...”

Tentu saja Giok Keng terkejut bukan main. Maling ini telah mengenalnya sebagai puteri ketua Cin-ling-pai! Sementara itu, di dalam gedung telah terdengar suara ribut-ribut, tanda bahwa tuan rumah telah terbangun dan agaknya telah tahu bahwa ada maling bertanding di atas genteng.

“Hayo kau ikut bersamaku!” Giok Keng berkata dan meloncat ke depan.

“Baik, lihiap!” Maling itu berkata dan mengikuti Giok Keng, berlompatan dari genteng ke genteng dan akhirnya tiba di tempat yang sunyi di luar kota itu. Giok Keng berhenti dan maling itupun berhenti, memandang dengan sinar mata takut.

“Nah, hayo ceritakan siapa kau dan bagaimana engkau mengenal aku!” bentaknya.

“Sudah beberapa kali saya melihat lihiap, dan pernah kita saling bertemu di tempat pesta Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han.”

Segera Giok Keng teringat! Ketika itu, dia juga menerima undangan dari piauwsu tokoh Go-bi-pai itu dan dia datang bersama mendiang suaminya, Lie Kong Tek dengan membawa sumbangan berharga. Akan tetapi, bungkusan sumbangannya itu ditukar oleh seorang maling tua, dan itulah orangnya!

“Ah...! Jadi engkaulah orangnya dahulu itu yang menukar barang sumbanganku?”

Maling itu cepat menjura dengan penuh hormat. “Sampai sekarang saya menyesal sekali kalau teringat akan kelancangan saya yang dimaksudkan untuk main-main itu, lihiap, sehingga menimbulkan bentrokan antara lihiap dan Yap In Hong lihiap,” Dia berhenti karena tiba-tiba melihat wajah yang cantik itu berubah, sinar matanya berapi-api. Maling itu bukan lain adalah Can Pouw, maling tunggal yang terkenal di daerah Tai-goan, berpakaian sasterawan dan bertopi, maling yang jenaka dan cerdik sekali dan yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw (Maling Sakti Berjari Seribu)! Seperti telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, maling tua ini pernah menjadi teman seperjalanan Yap In Hong dan menggegerkan pesta dari Phoa Lee It.

Akan tetapi, kemarahan Giok Keng hanya sebentar. Memang tadi dia marah sekali karena teringat bahwa awal segala peristiwa dimulai di pesta itu! Di tempat itulah dia bentrok untuk pertama kalinya dengan In Hong sehingga menimbulkan kemarahannya yang mengakibatkan hal-hal yang amat hebat menimpa keluarga Kun Liong dan keluarganya. Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah matang digembleng peristiwa-peristiwa hebat, dia dapat teringat bahwa sesungguhnya maling tua ini tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu dan bahwa sesungguhnya dia sendirilah yang tidak dapat menguasai kemarahannya sehingga terjadi hal-hal yang hebat. Dia menarik napas panjang dan wajahnya kembali biasa. Hal ini menyenangkan hati Can Pouw karena sejak tadi dia memperhatikan dengan hati kebat-kebit. Kalau sampai nyonya pendekar ini marah, dia sudah siap untuk mengambil langkah seribu, sudah mencari tempat-tempat gelap di sekitar situ untuk bersembunyi, karena untuk melawan mana dia mampu?

“Saya memang Can Pouw, lihiap. Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan...”

“Hayo katakan di mana kau menyembunyikan semua harta yang kaucuri itu dan di mana pula kausembunyikan gadis-gadis yang kauculik!” Tiba-tiba Giok Keng membentak dan “sratttt...!” tahu-tahu ada kilat berkelebat dan sebelum Can Pouw tahu apa yang terjadi, tahu-tahu ujung pedang bersinar perak telah ditodongkan di depan dadanya! Dia tidak melihat kapan nyonya itu mencabut pedangnya dan tahu-tahu ujung pedang sudah menodong dada, terasa olehnya ujung runcing itu menembus baju menyentuh kulitnya! Dia bergidik, karena kalau sudah begini, laripun akan percuma saja.

“Eh... ohhh... maaf, lihiap... saya bukan maling dan penculik itu...”

“Hemm... aku mendengar ada siluman yang mencuri dan menculik gadis-gadis di kota Heng-tung, ketika aku menyelidiki, aku melihat engkau mencuri dari gedung itu. Setelah jelas aku menangkap basah, engkau masih hendak menyangkal?” Ujung pedang itu makin keras menyentuh kulit dadanya, tepat di tempat jantungnya berdenyut. Kedua kaki Can Pouw menjadi lemas dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut dan mengangkat kedua tangannya ke atas.

“Ya ampunnn... lihiap, ada kesalahfahaman di sini! Sungguh lihiap telah salah sangka. Kalau lihiap baru sekarang menyelidiki, saya sudah lebih dari satu minggu menyelidiki maling yang disebut siluman itu! Dan malam ini saja melakukan pencurian hanya untuk memancing dia keluar. Sungguh mati, saya mau bersumpah tujuh turunan...”

Pedang itu ditarik kembali akan tetapi masih dipegang di tangan kanan nyonya pendekar itu. “Ceritakan yang jelas!” bentak Giok Keng sambil memandang tajam karena dia tidak percaya sepenuhnya kepada orang tua yang pandai bicara ini.

“Saya akui bahwa saya memang maling, dan di Tai-goan nama saya cukup dikenal. Akan tetapi, lihiap, saya adalah seorang maling yang terhormat! Haram bagi saya untuk menculik orang, apalagi perawan-perawan cantik! Coba lihiap periksa baik-baik, apakah tampang saya ini tampang seorang jai-hoa-cat? Biarpun saya maling, akan tetapi saya seorang siucai (sasterawan) gagal, lihiap, dan saya mampu membaca susi ngo-keng!”

Giok Keng menahan senyumnya. Maling ini benar-benar seorang yang lincah bicaranya, dan juga lucu. Betapapun juga, sikapnya menimbulkan kepercayaan.

“Tidak perlu banyak ngoceh. Ceritakan sejelasnya tentang siluman itu!”

“Begini, lihiap. Saya mendengar tentang gangguan siluman itu. Saya menjadi marah karena perbuatan siluman itu sungguh melanggar kehormatan dan kesopanan dunia kang-ouw (kode ethik permalingan?)! Maling ya maling saja, masa pakai menculiki perawan-perawan cantik pula! Itu namanya merendahkan dan mencemarkan nama maling-maling terhormat seperti saya. Tentu saja saya tidak mau terima begitu saja dan mulailah saya menyelidiki di kota Heng-tung. Akan tetapi sial dangkalan, sampai seminggu saya setiap malam menyelidiki, tidak pernah maling siluman itu muncul, sampai mata saya bengkak-bengkak karena seminggu tidak pernah tidur! Maka saya lalu mencari akal. Dan dalam hal mencari akal, Jeng-ci Sin-touw adalah gudangnya, lihiap! Saya lalu mengambil keputusan untuk memancing siluman itu keluar, yaitu dengan melakukan pencurian di rumah seorang hartawan. Dengan pencurian itu, tentu siluman tadi akan merasa tersinggung karena bukan dia yang mencuri akan tetapi sudah pasti perbuatan itu dijatuhkan atas namanya, dan dia pula yang dituduh melakukan pencurian lagi. Biasanya, hal ini akan membikin marah orangnya dan dia pasti akan muncul untuk mencari saingannya itu. Siapa kira, bukan dia yang muncul, melainkan lihiap yang menyangka saya siluman itu, sebaliknya, saya menyangka lihiap siluman itu pula kalau saja saya tidak cepat mengenal wajah lihiap yang terhormat.” Dia menjura dengan dalam sehingga kembali hati Giok Keng merasa geli. Mulai dia percaya akan cerita ini, akan tetapi dia masih ragu-ragu dan memandang wajah tua itu dengan tajam.

“Hemm... ceritamu amat menarik, terlalu menarik sehingga aku mana bisa percaya begitu saja? Bagaimana kalau kau membohong?”

Tiba-tiba maling tua itu membusungkan dadanya, kelihatan penasaran. “Lihiap, di dunia ini hanya ada seorang saja Jeng-ci Sin-touw dan saya tidak sembarangan saja membohong! Terhadap pendekar-pendekar sakti seperti lihiap, bagaimana saya berani membohong? Kalau saya orang pembohong rendah, mana mungkin seorang pendekar wanita seperti Yap-lihiap mau bersahabat dengan saya? Ahhh, sungguh kasihan sekali... sungguh menyedihkan sekali, mendengar sahabat baik itu mengalami bencana namun saya tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya.”

Giok Keng makin tertarik. “Apa maksudmu? Apakah terjadi sesuatu dengan Yap In Hong?”

Can Pouw mengerutkan alisnya. “Mengingat bahwa lihiap pernah bentrok dengan dia, agaknya lihiap akan girang mendengar berita ini, akan tetapi sungguh mati saya berduka sekali, lihiap. Baru beberapa hari ini saya datang dari kota raja dan mendengar bahwa Yap-lihiap telah diculik oleh guru-guru dari Raja Sabutai, dibawa ke utara di luar tembok besar. Nah, bukankah itu menyedihkan sekali? Apa yang dapat dilakukan seorang macam saya menghadapi penculik-penculik keji itu?” Kakek itu menghela napas panjang, dengan sungguh-sungguh dan bukan pura-pura.

Giok Keng juga terkejut sekali, akan tetapi diapun merasa bahwa dia tidak dapat berbuat sesuatu, apalagi dia kini sedang menyelidiki lenyapnya Yap Mei Lan yang dianggapnya jauh lebih penting daripada urusan In Hong. “Can Pouw, aku masih belum percaya benar akan ceritamu tentang siluman itu.”

“Kalau begitu, mari kita bersama menyelidiki dan menangkapnya, lihiap! Akan saya buktikan bahwa saya bukanlah siluman penculik perawan, melainkan seorang maling terhormat!”

“Hemmm, bagaimana caranya? Kalau kau membohong, tentu engkau akan lari bersama uang curianmu itu!” dengan pedangnya Giok Keng menuding ke arah bungkusan berat yang oleh maling itu diletakkan ke atas tanah.

“Biarlah saya tidak akan meninggalkan lihiap, agar lihiap dapat mencegah saya melarikan diri. Dan besok malam, mulai kita menyelidiki. Siluman itu pasti keluar setelah mendengar ada orang menyainginya dan mencuri sejumlah uang yang banyak sekali.” Can Pouw menepuk-nepuk kantong itu dan terdengar suara berkerincingnya uang emas di dalamnya.

“Baik, kalau begitu kau ikut dengan aku ke rumah penginapan.”

Can Pouw menurut dan pergilah mereka berdua ke rumah pengingapan di mana Giok Keng menyewa kamar. Mereka memasuki kamar melalui jendela dan tidak ada orang lain yang mengetahui. Setelah tiba di kamar, Giok Keng lalu menotok roboh maling itu dan melemparkan tubuhnya di atas dipan kecil di sudut kamar, kemudian diapun rebah di atas pembaringan, menutupkan kelambunya dan tidur!

Can Pouw mengomel panjang pendek, akan tetapi dia tidak mampu bergerak dan akhirnya diapun memejamkan mata dan tidur, atau pura-pura tidur. Pada keesokan harinya, Giok Keng membebaskan totokannya. Kemudian mereka keluar untuk mencari keterangan tentang perbuatan Can Pouw semalam dan legalah hati mereka karena berita tentang pencurian itu sudah tersebar luas dan seperti yang mereka harapkan, tentu saja yang dituduh adalah “siluman” itu.

Setelah melihat sikap Can Pouw, Giok Keng mulai percaya kepada maling tua ini, maka, dia lalu mengajak Can Pouw kembali ke penginapan di mana dia menyewa lagi sebuah kamar di samping kamarnya sendiri untuk Can Pouw. Kemudian, malam itu mereka berdua meninggalkan kamar masing-masing dengan melalui jalan jendela dan melompat ke atas genteng, mulai dengan penyelidikan mereka. Seperti malam yang lalu cuaca remang-remang karena di langit hanya diterangi oleh sinar redup bintang-bintang. Mereka melakukan penyelidikan dengan hati-hati dan dengan diam-diam, dan dalam penyelidikan ini, Giok Keng menurut saja kepada Can Pouw yang dianggapnya lebih pengalaman dalam hal mencari jejak maling!

Dengan hati kesal Giok Keng mendapat kenyataan bahwa sampai tengah malam, tidak ada bayangan orang lain di atas genteng-genteng rumah di kota Heng-tung kecuali bayangan mereka berdua. Mulailah dia melirik ke arah Can Pouw karena timbul pula kecurigaannya bahwa jangan-jangan dia dipermainkan oleh Can Pouw yang sesungguhnya adalah sang siluman itu sendiri!

“Aku akan pancing dia!” pikir Giok Keng dan mulailah pendekar wanita ini menjauhi Can Pouw, sikapnya seolah-olah menyelidik ke sana-sini, akan tetapi sesungguhnya tidak pernah dia melepaskan bayangan maling tua itu dari sudut matanya. Akan tetapi, Can Pouw malah cepat mengikuti dan mendekatinya dan terdengar Can Pouw berkata, “Lihiap, mari kita menanti di gedung hartawan Gui di sebelah barat. Selain kaya raya, dia juga kabarnya mempunyai seorang anak gadis yang cantik.”

“Giok Keng mengangguk dan mereka lalu menuju ke gedung besar itu, dan kembali Giok Keng sengaja menjauh untuk dapat mengawasi gerak-gerik Can Pouw lebih baik dan memberinya kesempatan untuk “melakukan sesuatu”. Dan saat yang dinanti-nantinya itu tiba! Mendadak dia mendengar maling itu mengeluh den tubuhnya roboh bergulingan di atas genteng rumah gedung itu.

Nah, si maling tua sudah mulai memperlihatkan dirinya, pikirnya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia mendengar Can Pouw berteriak. “Tolong, lihiap...!” dan Giok Keng melihat bayangan hitam yang menggunakan sebatang pedang sedang menyerang Can Pouw yang menghindarkan diri dengan terus bergulingan di atas genteng!

Giok Keng cepat mencabut Gin-hwa-kiam dan meloncat ke arah bayangan hitam itu, sambil meloncat dia terus menikam dengan gerakan cepat bukan main karena pendekar wanita itu telah menggunakan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut ciptaan ayahnya.

“Ehhh...?” Bayangan hitam itu terkejut ketika ada angin dahsyat menyambar dan melihat sinar perak berkilat menikam dadanya. Dia cepat menarik kembali pedangnya yang dipakai menyerang Can Pouw, lalu menangkis keras.

“Tranggg...!”

Orang itu terhuyung dan pedang Giok Keng terus menghujankan serangan kilat.

“Ahhh...!” Orang itu kembali berseru dan cepat meloncat ke belakang. Gerakannya cepat akan tetapi gerakan Giok Keng lebih cepat lagi sehingga dia sudah menyusul dan menyerang lagi.

“Cring-trang-triinggg...!” Kembali orang itu terhuyung-huyung. Orang itu kuat sekali, akan tetapi menghadapi serangan-serangan kilat itu agaknya dia terkejut dan agak jerih.

“Siluman, hendak lari ke mana kau?” Giok Keng membentak dan cepat mengejar ketika dia melihat bayangan hitam yang ternyata memakai topeng hitam dan hanya kelihatan dua matanya di balik dua lubang itu melarikan diri.

Can Pouw merayap bangun, mukanya pucat dan dadanya bergelombang. Hampir saja dia mampus, pikirnya. Cepat dia bangkit, mencari-cari sepatunya yang copot sebelah ketika dia menghindarkan bacokan-bacokan pedang siluman itu tadi sambil bergulingan, dengan kedua tangan menggigil mengenakan lagi sepatunya, mencari topinya yang juga terjatuh, memakai topi lalu ikut pula mengejar, akan tetapi dia sudah kehilangan bayangan siluman dan Giok Keng yang mengejarnya. Dia menjadi bingung, mencari ke sana-sini tidak berhasil. Dengan hati cemas dia lalu kembali ke hotel dan menanti di dalam kamarnya dengan hati kebat-kebit.

Ke manakah perginya Giok Keng? Ketika siluman itu lari dengan kecepatan tinggi pendekar wanita inipun menggunakan gin-kangnya melakukan pengejaran terus. Lawannya itu agaknya sudah hafal akan keadaan di atas rumah-rumah penduduk sehingga dapat bergerak lebih leluasa dan akhirnya, ketika bayangan itu berkelebat meloncat ke atas wuwungan sebuah kuil besar yang letaknya berada di sudut kota, bayangan siluman itu lenyap.

lanjut ke Jilid 42-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar