Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 74

Petualang Asmara Jilid 074

<--kembali

Kun Liong masig duduk di pasir. Bengong terlongong memandang ke arah pondok, hatinya bingung sekali. Akhirnya dia menarik napas panjang, menekan penyesalan hatinya. Mengapa dia harus menyesal melihat Hong Ing marah-marah? Biarlah, kalau dara itu merasa sakit hati, dia telah menguras isi hatinya, telah mengemukakan pendapatnya tentang wanita. Dia tidak akan jatuh cinta seperti pria-pria tolol itu, seperti Pangeran Han Wi Ong, seperti Yuan, dan yang lain-lain. Dia ingin terus bebas!

Kembali dia menarik napas panjang. Betapa sunyinya setelah Hong Ing pergi ke pondok. Betapa menjemukan keadaan sekelilingnya. Cahaya bulan tidak gemilang seperti sinar keemasan lagi, melainkan mendatangkan kepucatan yang hampa! Mengapa dia menyesal telah menyakitkan hati Hong Ing? Bukankah dara itu malah yang menyakitkan hatinya? Mula-mula mengatakannya tidak waras alias gila! Kemudian apa yang dikatakannya dalam kalimat-kalimat terakhir ketika marah tadi? Bahwa dia adalah seorang pria yang “sombong sesombong-sombongnya, tolol setolol-tololnya” dan bahwa dia “memualkan perutnya”!

“Hemmm...!” Keluhan ini keluar dari dadanya menyesak kerongkongannya. Dia menengadah. Bulan purnama tersenyum mengejek kepadanya, seperti senyum Hong Ing yang tadi mengejeknya. Dia memandang marah. Ingin dia dapat melumuri muka bulan dengan pasir di tangannya. Akan tetapi awan membantunya. Awan putih tebal merayap lewat, menyembunyikan bulan yang kini hanya tampak sebagai bulatan yang pucat tak berdaya. Seperti Hong Ing! Dara itu menderita hebat, di pulau kosong. Hanya bersama dia dan apa yang dia lakukan? Menyakitkan hatinya! Ah, betapa kejamnya dia! Biarpun dia tidak mau jatuh cinta kepada wanita manapun juga, akan tetapi tidak selayaknya dia menyakitkan hati Hong Ing seperti itu!

Mulailah dia merasa menyesal, bukan menyesal karena pendiriannya tentang wanita seperti yang telah diucapkannya itu, melainkan menyesal terdorong oleh rasa iba kepada nasib Pek Hong Ing yang tidak semestinya dia tambah lagi dengan kata-kata yang membuatnya sakit hati. Teringatlah dia akan sekumpulan batu bulat putih yang telah dikumpulkannya secara diam-diam selama beberapa hari ini, yang didapatnya di dasar laut yang jernih dan dangkal di sudut pulau ketika dia mencari ikan. Batu-batu seperti mutiara besar itu dikumpulkannya dengan maksud untuk kelak setelah cukup banyak diuntai menjadi kalung dan akan diberikan kepada Hong Ing! Kini, mengingat betapa dara itu mungkin menangis di dalam pondok, perasaan menyesal membuat Kun Liong teringat akan benda yang akan dihadiahkannya kepada gadis itu. Maka dia lalu cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sudut pulau dan di bawah penerangan bulan pumama, mulailah dia dengan tekun mengumpulkan batu-batu bulat putih yang berkilauan. Dia melupakan hawa dingin, menanggalkan semua pakaiannya yang hanya berupa celana semacam cawat lebar, menyelam ke dalam air dan mencari batu-batu itu sampai semalam suntuk! Dia sama sekali tidak tahu bahwa dari tempat yang agak jauh, Hong Ing bersembunyi di balik batu karang dan mengintai, berulang kali dara ini menghela napas panjang akan tetapi tidak berani mendekat atau memanggil karena melihat betapa pemuda itu bertelanjang bulat! Akhirnya Hong Ing meninggalkan tempat persembunyiannya, menggeleng-geleng kepalanya dan terdengar berkata seorang diri, lirih, “Orang aneh dia... apa-apaan malam-malam begini mandi seorang diri dan menyelam sampai begitu lama!”

Hubungan diantara kedua orang muda itu agak renggang semenjak pertengkaran di malam bulan pumama itu. Hong Ing bersikap menunggu keramahan Kun Liong, agaknya tidak mau tunduk dan tidak mau atau enggan untuk “berbaik dulu”. Sebaliknya, Kun Liong merasa malu akan sikap dan kata-katanya di malam hari itu, maka dia seolah menghindari percakapan dengan dara itu. Mereka hanya tampak berdua di waktu Kun Liong menyerahkan ikan atau burung yang ditangkapnya, dengan beberapa ikat daun yang telah dipilihnya dan yang ternyata dapat dimasak dan dimakan. Atau mereka berkumpul hanya pada waktu Hong Ing sudah selesai memanggang daging atau memasak sayur menggunakan panci-panci tanah yang dibuat oleh Kun Liong. Namun mereka keduanya seolah-olah membatasi percakapan mungkin juga khawatir kalau-kalau mereka terpancing dan bentrok lagi dalam perbantahan.

Akan tetapi pada malam hari itu, sepekan setelah mereka seolah-olah saling menjaga diri, Kun Liong menghampiri Hong Ing yang duduk seorang diri di luar pondok dan memandangi bulan yang sudah tidak bulat lagi, tapi yang masih mampu menerangi permukaan laut dan pulau itu, membuat pasir kelihatan putih dan di sana-sini ada kerlipan pasir yang seperti menyembunyikan permata-permata kecil.

“Hong Ing...”

Dara itu terkejut. Kun Liong datang menghampirinya tanpa suara tadi, dan agaknya dia tidak menyangka-nyangka pemuda itu akan menghampirinya dan memanggilnya.

“Eh, ada apa...?”

Kun Liong menghela napas panjang, duduk di depan dara itu dan mengulurkan tangan kanan yang memegang seuntai kalung hatu putih yang berkilauan. Batu-batu itu sudah terkumpul dan sudah diasah sehingga rata dan sama, dilubangi dan diuntai dengan serat kulit pohon yang kuat, merupakan seuntai kalung batu putih yang indah.

“Aku membuatkan kalung ini untukmu. Terimalah...”

Wajah itu berseri, sepasang mata itu terbelalak ketika tangannya menerima kalung itu, mulutnya tersenyum lebar dan hati Kun Liong berbunga! “Aihhh... bagus sekali kalung ini...! Eh, jadi selama berhari-hari ini kau tampak murung dan diam, kiranya kau sibuk membuat kalung ini, Kun Liong?”

“Ya... begitulah.”

“Ah, kusangka kau marah-marah.”

“Kenapa mesti marah?”

“Aku telah memarahkanmu malam itu, mengatakan sombong dan tolol...”

“Dan bahwa aku memualkan perutmu. Mengapa, Hong Ing?”

“Masih adakah perempuan yang kauangan-angankan itu?”

“He... hemmm...”

“Jangan kausebut-sebut lagi dia, atau perutku akan mual lagi.”

“Maaf...”

“Kun Liong...”

“Hemm...?”

“Kau terlalu... terlalu canggung! Kau laki-laki jantan yang lemah! Kau... orang muda yang berpikiran tua! Kau... pria pandai yang tolol!”

“Hemm... maaf..” Kun Liong gagap dan bingung, tak tahu harus berkata apa.

“Dan kau...” Hong Ing melanjutkan, matanya sayu menatap wajah Kun Liong seperti mengintai dari balik bulu mata yang hampir saling bertemu bagian atas dan bawahnya, suaranya agak tergetar akan tetapi bibirnya tersenyum mesra, “kau... akan melihat kelak bahwa perempuan khayalmu itu, yang tanpa cacad, akan hancur lebur, membuyar seperti awan tipis tersapu angin, kalau sudah muncul seorang wanita dari darah daging yang hangat lembut, yang akan membuatmu bertekuk lutut, yang akan membuatmu suka mencium tapak kakinya...”

“Hemmm, tak mungkin!” Kun Liong menghardik, ditujukan kepada diri sendiri.

“Lihat sajalah kelak...!” Hong Ing tertawa kecil dan bersenandung, senandung yang dahulu itu, tentang cinta. Suaranya merdu sekali, lirih dan seolah-olah bukan dari mulutnya suara itu mengalun, melainkan dari tengah lautan, datang menunggang angin yang bertiup silir semilir.

“Cinta adalah Kehidupan
tanpa cinta hidup sama dengan mati
Cinta adalah Cahaya
tanpa cinta hidup gelap gulita

Cinta adalah suci
tanpa cinta hidup bergelimang dosa
hanya orang bijaksana saja mengenal
Cinta
si dungu hanya mengejar nafsu!”

Dahulu ketika Hong Ing menyanyikan lagu cinta ini di atas perahu peti mati, dia hanya mengagumi suara Hong Ing dan memandang rendah isi nyanyian itu yang dianggapnya sebagai pantun seorang buta, memuji-muji setangkai bunga. Akan tetapi sekali ini, isi nyanyian itu seperti menyindirnya, terutama sekali baris terakhir “si dungu hanya mengejar nafsu!” Entah mengapa, karena dia tidak mengakui cinta suci, dia merasa seolah-olah dialah yang dimaki “si dungu” dalam nyanyian itu! Otomatis, seolah-olah tadi Hong Ing bukan bernyanyi, melainkan menuduh dan memakinya, dia menjawab, “Memang aku dungu!”

“Heiiihhh... mengapa, Kun Liong?”

Ketika melihat wajah pemuda itu muram dan bersungut-sungut, Hong Ing tertawa geli sambil menutupi mulutnya. “Kau... ngambek (murung) lagi?”

“Tidak!”

Akan tetapi jawaban itu jelas menunjukkan kejengkelan hatinya, jawaban yang disentakkan dan pendek keras seperti batu karang! Hong Ing tertawa terkekeh, dan berkata. “Kau sama sekali tidak dungu! Betapa bodohnya merasa diri dungu!”

Mulut Kun Liong makin cemberut. Seenak perutnya sendiri saja! Dia memaki di dalam hati. Mengatakan tidak dungu akan tetapi memaki bodoh!

“Kum Liong...”

Tadinya dia tidak ingin menjawab, begitu marahnya hatinya. Akan tetapi panggilan itu begitu merdu, terasa olehnya seperti mengelus hatinya, maka mau tidak mau dia menjawab, “Apa?” Jawaban yang masih kaku.

“Maukah engkau menolongku?”

Kun Liong menoleh, memandang dan mereka saling pandang.

“Menolong apa, Hong Ing?” Lenyap sama sekali kemurungan dari wajah Kun Liong yang mengira bahwa dara itu tentu mengalami suatu kesulitan.

“Tolong kaukalungkan ini di leherku.”

Sepasang mata Kun Liong terbelalak. Kalau saja tidak begitu girang hatinya dan begitu berdebar jantungnya, ingin dia menolak mentah-mentah untuk memperlihatkan kemarahannya. Akan tetapi dia girang sekali dan tanpa menjawab dia menerima kalung itu. Kalung yang begitu panjang, masa perlu dibantu untuk mengalungkannya? Diterimanya kalung, didekatinya Hong Ing dan dikalungkannya benda itu melalui kepala yang berambut pendek itu, dikalungkan ke lehernya. Karena gerakan ini, kedua lengan Kun Liong seolah-olah hendak merangkul leher Hong Ing. Dia menunduk, Hong Ing menengadah. Muka mereka saling berdekatan, begitu dekatnya sehingga terasa oleh Kun Liong hembusan napas hangat di dagunya. Sepasang mata yang indah itu terpejam, bulu mata yang panjang lentik itu menebal karena merangkap, mulut itu sedikit terbuka. Hampir Kun Liong tidak kuat menahan. Kalau bukan Hong Ing dara itu, tentu dia takkan dapat bertahan lagi untuk tidak mendekap tubuh itu, mencium bibir itu. Akan tetapi dengan sentakan tiba-tiba dia menarik kedua tangannya dan melangkah mundur.

Hong Ing membuka matanya, tersenyum. “Terima kasih, kau baik sekali, Kun Liong,”

“Hemm, aku seorang yang bodoh dan kasar, Hong Ing.”

“Tidak! Akulah yang suka menggodamu, aku gadis tidak tahu budi orang. Kaumaafkan aku, ya? Dan kaumaafkan pula kesalahan-kesalahanku yang akan datang, mau kan?”

Kun Liong menjedi gemas, akan tetapi melihat wajah itu berseri dan tersenyum nakal, dia terpaksa tersenyum juga. Kiranya Hong Ing hanya pura-pura saja ketika marah, ketika diam, dan lain-lain. Hanya untuk menggodanya!

“Hong Ing, mari kita mencari telur.”

“Ih, kau tahu aku tidak suka telur.”

“Bukah untuk kau. Aku paling doyan telur. Aku kemarin melihat kura-kura besar sekali mendarat. Tentu akan bertelur. Senang sekali mencari telur kura-kura, seperti mencari pusaka saja. Kalau kita tepat menggali dan melihat telur di bawah pasir, aku tanggung kau akan menari kegirangan! Marilah!”

Keduanya berlari-larian seperti anak-anak di sepanjang pantai. Bahkan Kun Liong yang sudah terobati kemerahannya, memegang tangan Hong Ing. Mereka bergandeng tangan sambil berlari dan terdengar Hong Ing tertawa-tawa. Suasana memang amat romantis dan menggembirakan. Pasir yang lemas dan bersih. Laut yang tenang. Sinar bulan yang sejuk lembut.

Akan tetapi, tak jauh dari pondok itu Kun Liong sudah berhenti. “Di sinilah.”

“Ah, begini dekat? Kukira jauh!”

“Aku melihat ada kura-kura malam kemarin mendarat di sini.”

“Akan tetapi beberapa hari yang lalu aku melihat binatang seperti ular merayap, hitam dan panjang. Ihh, aku masib ngeri kalau mengingatnya.”

“Ular? Di sini? Benarkah itu?” Kon Liong bertanya, heran. “Mengapa kau tidak bilang padaku?”

Hong Ing tersenyum lebar dan memicingkan sebelah matanya. “Habis, kau lagi ngambek sih! Aku tidak berani bicara padamu!”

Kun Liong tertawa. “Aah, mungkin hanya belut atau ular laut yang terdampar dan terbawa oleh ombak ke darat. Hayo kita mencari telur kura-kura.”

Kembali mereka bergembira, lari ke sana-sini, menggali-gali pasir dengan kaki dan tangan, seperti orang berlumba ingin lebih dulu menemukan telur kura-kura. Tidak mudah mencari telur kura-kura hanya dengan mengira-ngira seperti iiu. Biasanya orang mudah mencari telur kura-kura dengan jalan mengintai kalau ada kura-kura mendarat dan bertelur. Akan tetapi kalau tidak tahu di mana binatang itu bertelur, tidak ada terdapat tanda-tanda di mana tempat telur-telur itu. Pasir sudah rata kembali, diratakan oleh binatang yang mempunyai kebiasaan yang cerdik untuk menyembunyikan telur mereka terdorong naluri untuk menjaga lancarnya perkembangbiakan mereka itu.

“Heii... Hong Ing...! Lihat ini...!”

Hong Ing yang sedang mencari di bagian yang agak jauh, datang berlari-lari rmnghampiri Kun Liong ketika mendengar teriakan pemuda itu.

“Ahh, kau sudah menemukannya...!” teriaknya sambil berlari. Kalung panjang itu bergoyang-goyang, rambutnya yang pendek bergerak-gerak dan kedua tangannya memegangi ujung kain yang menutupi tubuhnya agar tidak terbuka ketika dia berlari itu.

“Ya, lihat ini. Banyak sekali telur dan... dan lihat apa yang kudapatkan di bawah telur-telur ini...!”

“Eh...?” Sepasang mata yang indah itu terbelalak lebar. “Sebuah peti? Mengapa...? Bagaimana...?”

“Entahlah, Hong Ing. Mari bantu aku mengumpulkan telur-telur ini. Aku akan mengangkat petinya. Yang jelas, tempat ini dahulu pernah didatangi orang sebelum kita, buktinya peti ini terpendam di sini.”

Hong Ing mengumpulkan telur-telur itu dan memandang peti yang tidak berapa besar yang diangkat oleh Kun Liong dari dalam lubang itu. “Apa isinya?”

“Kita bawa ke pondok dan kita buka di sana,” kata Kun Liong.

Setelah mengangkat peti itu ke depan pondok, Kun Liong menanti sampai Hong Ing menyimpan telur-telur itu ke dalam pondok dan keluar lagi. Kemudian mereka berdua membuka peti yang dipaku kuat-kuat itu. Namun dengan pengerahan tenaganya, mudah saja bagi Kun Liong untuk membuka penutup peti yang terbuat dari kayu yang tua dan kuat. Tutup peti terbuka, hati mereka tegang, dan mata mereka menjadi silau oleh cahaya berkeredepan ketika isi peti itu tampak.

“Aihh..., harta pusaka yang amat banyak...!” Hong Ing berseru kaget, heran dan gembira. “Emas, perak, permata..., ah, kau menjadi orang kaya raya, Kun Liong!”

Akan tetapi Kun Liong tidak segembira Hong Ing. “Hemmm, untuk apa semua ini? Aku tidak butuh, dan yang menemukan adalah kita berdua. Biarlah semua ini untukmu, Hong Ing. Ambillah.”

Hong Ing sudah memeriksa benda-benda itu, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri. Tentu saja dia senang sekali melihat benda-benda itu yang amat indah dan merupakan perhiasan-perhiasan yang biasa dipakai oleh puteri-puteri kerajaan! Dia tidak memperhatikan ucapan Kun Liong tadi, berkali-kali dia menggeleng kepala dan mengeluarkan pujian sambil meneliti benda-benda itu berganti-ganti.

“Sayang...!”

Ucapan Kun Liong ini mengejutkan dan menyadarkan Hong Ing. Dia mengangkat muka dan memandang wajah pemuda gundul itu. “Apa? Mengapa kau mengatakan sayang setelah menemukan harta pusaka yang tak ternilai harganya ini?”

“Di sini, benda-benda ini tidak ada harganya sama sekali, Hong Ing. Aku akan lebih bergembira kalau isi peti ini berupa alat-alat seperti gergaji, linggis, catut, golok dan lain-lain. Aku lebih membutuhkannya. Akan tetapi perhiasan...” Dia mengeluarkan benda itu satu demi satu dan ternyata di sebelah bawah masih terdapat tumpukan uang emas yang terukir aneh dan belum pernah mereka melihatnya. Kun Liong terus mengeluarkan semua benda itu dan tiba-tiba dia tertarik sekali dan mengambil sebuah benda yang terletak paling bawah, di dasar peti dan tadi tertutup oleh segala benda yang berkilauan itu. Sebuah kitab! Kitab yang sampulnya hitam dan sudah tua sekali.

Melihat betapa wajah Kun Liong berseri dan matanya bercahaya ketika melihat kitab tua yang butut itu, Hong Ing tertawa. “Waaah, dasar kutu buku menemukan sebuah kitab kuno! Hemm, sudah kubayangkan betapa engkau nanti tentu takkan pernah berhenti membaca.”

Namun Kun Liong tidak mempedulikan kata-kata Hong Ing. Dengan jantung berdebar tegang dia sudah membalik sampul dan membaca judul kitab itu yang tertulis tangan dengan huruf yang amat kuat coretannya. Seolah-olah bukan tinta lagi yang membuat coretan itu dapat dibaca karena warna tinta hitam ini mulai meluntur, akan tetapi jelas tampak guratan-guratan yang kuat dan dengan kagum Kun Liong dapat melihat betapa tapak mauwpit (pensil bulu) meninggalkan guratan pada kertas seperti ukiran, sehingga andaikata tinta itu lenyap sama sekalipun, huruf-hurufnya masih dapat dibaca dengan jelas! Judul itu hanya terdiri dari empat huruf yang berbunyi KENG LUN TAI PUN. Baru membaca judul ini saja, Kun Liong sudah harus memutar otaknya, alisnya berkerut den dia berusaha untuk memecahkan artinya. Huruf-huruf ini memiliki arti yang kalau dipecahkan banyak sekali, akan tetapi dia mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan Keng Lun adalah mengurai den mengumpulkan yang dapat diartikan dengan menyelidiki atau menyusun setelah mengerti benar. Adapun Tai Pun adalah pokok dasar atau aselinya!

Mulailah dia membuka-buka dan membalik-balik lembaran kitab itu dan betapa kaget den girangnya ketika mendapatkan keterangan di sebelah delamnya bahwa kitab itu adalah kitab ilmu peninggalan dari Raja Bun Ong yang sakti dan bijaksana! Tepat seperti yang dikatakan oleh Hong Ing, segera Kun Liong lupa akan segala sesuatu dan “tenggelam” di dalam kitab kuno itu!

Karena maklum akan kesukaan Kun Liong membaca kitab, yang diketahui dari percakapan-percakapan dengan pemuda itu. Hong Ing tidak mau mengganggunya. Setelah menaruh kembali benda-benda berharga dalam peti dan menyimpan peti itu dalam kamarnya, tanpa berkata apa-apa Hong Ing lalu merebus sepuluh butir telur untuk Kun Liong. Setelah telur-telur itu masak, disuguhkannya kepada Kun Liong tanpa berkata apa-apa karena dia tidak mau mengganggu. Akan tetapi Kun Liong menurunkan kitab itu dan memandang, tersenyum, dan berkata, “Aihh... sudah kaurebus matang? Engkau juga harus makan telur, Hong Ing, baik untuk kesehatan.”

Hong Ing tersenyum. “Tidak, aku tidak lapar, dan aku masih ingin menikmati dan mengagumi benda-benda pusaka tadi. Kauteruskanlah membaca kitab. Kitab apa sih itu?”

“Kitab kuno yang sukar sekali dimengerti isinya. Akan tetapi makin sukar dimengerti, makin menarik. Kitab kuno mempunyai sifat seperti wanita...” Kun Liong tertegun dan berhenti bicara, merasa telah kelepasan kata-kata.

“Hemmm, pendapatmu selalu aneh-aneh. Jadi kauanggap wanita itu sama dengan kitab kuno, makin sukar dimengerti makin menarik? Apakah aku sukar dimengerti, Kun Liong?”

Kun Liong tertawa. “Maaf, aku tidak bermaksud menyindir dirimu, Hong Ing. Wah, sedap baunya telur ini. Benarkah kau tidak mau mencicipi?” Kun Liong mengupas kulit telur yang masih panas itu.

Hong Ing menggerakkan pundaknya. “Ihhh, aku selalu merasa tidak enak kalau menghadapi telur, apalagi harus dimakan. Dan telur ini... mengapa agak lonjong dan ada bintik-bintiknya? Bukankah telur kura-kura bulat bentuknya? Jangan-jangan telur ular...”

“Ha-ha, telur apa pun sama saja, sama enaknya. Asal jangan telur manusia!”

“Ihh! Jorok kau...!” Hong Ing mendengus lalu lari ke pondok, mengeluarkan perhiasan dari dalam peti dan mengaguminya di bawah sinar bulan. Kun Liong tertawa-tawa, melanjutkan makan telur yang terasa enak sekali sampai tahu-tahu sepuluh butir telur telah habis, pindah semua ke dalam perutnya!

Tengah malam telah lewat. Sinar bulan tinggal remang-remang karena tertutup awan. Akan tetapi Kun Liong masih belum memasuki pondok. Sudah sejak tadi Hong Ing rebah di atas dipan, tidak lagi mengagumi benda-benda berharga. Dia merasa heran mengapa Kun Liong belum juga memasuki pondok. Untuk membaca kitab di luar tak mungkin lagi karena sinar bulan terlalu suram. Dia lalu turun dari pembaringannya dan membuka pintu kamar, keluar pondok.

“Ahhh, benar-benar kutu buku.” pikirnya ketika melihat Kun Liong rebah terlentang di atas pasir. Dia cepat menghampiri dan betapa herannya melihat Kun Liong tidak lagi membaca kitab, melainkan rebah terlentang, tertidur dengan kitab itu terletak di atas dadanya yang telanjang.

“Hemm, tertidur di sini, angin begini keras bertiup. Bisa masuk angin engkau! Kun Liong, bangunlah!”

Akan tetapi Kun Liong yang biasanya amat peka itu kini sama sekali tidak bergerak.

“Kun Liong...!”

Tetap saja pemuda itu tidak menjawab, bergerak pun tidak.

“Kun Liong..., bangunlah!” Hong Ing menyentuh lengan pemuda itu, dan dia terkejut bukan main. Lengan pemuda itu panas sekali! Celaka, pikirnya, tentu dia sakit, masuk angin den terserang demam.

“Kun Liong...!” Dia memanggil dengan suara nyaring, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak sadar, biarpun telah diguncang-guncang tubuhnya.

“Wah, dia pingsan...!” Hong Ing menjadi gelisah sekali. Diamblinya kitab itu, diselipkan di dadanya di balik kain, kemudian dia mengerahkan tenaga dan memondong tubuh Kun Liong yang sama sekali tidak bergerak, tubuhnya panas dan mukanya merah seperti orang mabuk kebanyakan minum arak!

Semalam itu Kun Liong tidak sadar. Tidak tahu betapa Hong Ing menjaga dan duduk di sebelahnya dengan muka pucat den penuh kekhawatiran. Hampir gadis ini menangis saking bingungnya. Diguncang-guncangnya tubuh Kun Liong, dipanggilnya nama Kun Liong berkali-kali, dibasahinya muka pemuda itu dengan air, namun semalam suntuk Kun Liong tidak sadar, tenggelam ke dalam kepulasan yang amat dalam.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, barulah Kun Liong siuman. Dia membuka mata dan tiba-tiba mengeluh, “Aduhhh... gatalnya.. bukan main...!”

Bermacam perasaan mengaduk hati Hong Ing. Lega karena melihat pemuda itu siuman, mendongkol karena dia sampai harus menderita kekhawatiran semalam suntuk, dan juga geli mendengar keluh yang aneh itu!

Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya dengan sepuluh kuku jari tangannya sampai terdengar suara “kroook-krookk!” seolah-olah kuku jari tangannya akan mengupas kulit kepalanya! Akan tetapi tiba-tiba dia meloncat turun dari pembaringan dan memandang kepada Hong Ing dengan mata terbelalak. “Aihhh...! Kau... kenapa berada di kamarku? Eh,dan aku kenapa di sini, tidak di luar pondok?” Dia masih menggaruk-garuk kepalanya yang gatal-gatal akan tetapi matanya memandang Hong Ing penuh selidik.

Dara itu cemberut! “Hemm, kau tidak merasakan susah payahnya orang lain! Aku melihat kau pingsan di luar sana, terpaksa kupondong kau ke dalam kamarmu dan aku tak dapat tidur semalam suntuk, gara-gara engkau yang seperti orang mati! Seluruh tubuhmu panas-panas dan kau sama sekali tidak dapat dibangunkan. Apa sih yang terjadi?”

Kun Liong melongo. “Eh, mana kitabku?”

“Kitab...?” Tiba-tiba Hong Ing teringat dan dengan muka merah dia mengeluarkan kitab yang saking gelisahnya, semalam suntuk kitab itu masih menyelip di balik kainnya, menempel di dadanya!

Kun Liong menerima kitab itu, merasakan betapa kitab itu hangat, maka mukanya pun menjadi merah, akan tetapi dia segera berkata, “Sungguh aneh. Aku sendiri tidak ingat. Ketika aku membaca kitab sambil makan telur, tiba-tiba aku merasa kepalaku pening dan mataku mengantuk. Tak tertahankan lagi kantuknya maka aku rebah di pasir dan... tidak tahu apa-apa lagi sampai sekarang ini, tahu-tahu sudah berada di sini. Jadi aku pingsan...?”

“Hemm, tentu ada sesuatu dalam kitab itu!” Hong Ing berkata.

Kun Liong membalik-balik lembaran kitab dan menggeleng kepala. “Kurasa tidak ada apa-apanya yang aneh, sungguhpun kitab ini adalah sebuah kitab yang mujijat! Kitab yang mengandung pelajaran tentang hidup, tentang perbintangan, dan latihan gerakan kaki tangan untuk membuat tubuh sehat dan panjang umur. Juga ada latihan pernapasan akan tetapi tidak mungkin membacanya membuat aku pusing dan mengantuk.”

“Wah, jangan-jangan telur-telur itu...!”

Kun Liong teringat dan mengangguk-angguk. “Hemm, mungkin saja, siapa tahu, tapi... tubuhku terasa enak, hanya kepalaku ini, wah... gatalnya!” Dia menggaruk-garuk lagi.

“Biar kubuang saja telur-telur itu! Mungkin telur ular yang kulihat kemarin dulu.”

“Eh, jangan! Jangan dibuang, Hong Ing. Buktinya aku tidak apa-apa. Telur itu enak sekali, menyehatkan badan.”

“Kau benar-benar tidak apa-apa? Tidak panas lagi tubuhmu?”

“Tidak, aku merasa sehat segar.”

“Hemm... syukurlah, aku lelah dan mengantuk, mau tidur...” Hong Ing lalu meninggalkan kamar itu.

lanjut ke Jilid 075-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar