Rabu, 19 Februari 2014

Petualang Asmara 64

Petualang Asmara Jilid 064

<--kembali

Aduh manjanya! Kun Liong bengong dan ingin menampar kepala gundulnya sendiri mengapa dia terpaksa harus melayani wanita seperti ini. Sudah tubuhnya seperti gajah, usianya tentu sudah tiga puluhan tahun, masih manja seperti seorang kanak-kanak, atau seperti seorang wanita cantik yang dipuja-puja seorang pria yang tergila-gila kepadanya! Bukan main! Akan tetapi karena khawatir kalau-kalau wanita ini menjadi marah benar-benar, dia cepat berkata, “Baiklah, aku akan menurut, akan tetapi aku tidak tahu sebutan apa yang harus kupakai.”

“Ihhh... hi-hik, suamiku masih bodoh! Eh, kau tentu mesih perjaka tulen, ya? Hi-hik, kau sebut aku Moi-moi!”

Ampun! Demikian jerit hati Kun Liong. Pantas menjadi bibinya dan dia disuruh menyebut moi-moi (adinda)!

“Baiklah, Moi-moi!” Kun Liong mengucapkan sebutan ini dengan suara sumbang karena baru pertama kali itulah dia menyebut wanita dengan sebutan adinda!

Tiba-tiba Kim Seng Siocia menangis! Menangis terisak-isak dan memegang kedua tangan Kun Liong. Pemuda ini makin kaget dan heran, mengira bahwa dia tentu telah melakukan kesalahan lagi diluar pengetahuannya.

“Hu-huu-hukkk... sungguh kasihan engkau, Koko... hu-huuk, dan sungguh sial sekali aku... belum apa-apa sudah kematian ayah dan ibu mertuaku...”

Disinggung tentang kematian ayah bundanya, kalau dalam keadaan biasa tentu sedikitnya hati Kun Liong akan merasa terharu juga. Akan tetapi sikap wanita ini keterlaluan, pakai menangis segala! Hanya anehnya, wanita ini menangis sungguh-sungguh, air matanya bercucuran, bukan dibuat-buat. Diam-diam Kun Liong merasa makin ngeri karena menduga bahwa tentu ada gejala-gejala tidak beres pada otak wanita ini.

Karena Kun Liong memang tidak mau banyak bicara, akhirnya Kim Seng Siocia menceritakan semua riwayatnya sendiri kepada Kun Liong yang didengarkan oleh pemuda ini penuh perhatian. Penuturan wanita itu begitu menarik hatinya sehingga dia tidak mempedulikan dan tidak merasa lagi betapa tangan Kim Seng Siocia yang besar itu kadang-kadang membelai tangannya dengan mesra, bahkan kadang-kadang tangan yang berjari besar itu merayap naik dan mengelus kepalanya yang gundul!

Memang cerita wanita itu menarik hatinya. Dia sudah pernah mendengar penuturan ibunya tentang seorang datuk wanita yang berjuluk Go-bi Thai-houw, yang menurut ibunya memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, akan tetapi datuk ini adalah seorang yang miring otaknya. Ibunya bercerita betapa datuk wanita gila itu telah menimbulkan kekacauan besar, bahkan hampir saja berhasil merusak penghidupan ayah bundanya sendiri dan penghidupan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, yaitu Sie Biauw Eng. Betapa kemudian, berkat kesaktian Cia Keng Hong, akhirnya datuk wanita yang merupakan nenek iblis itu telah dapat dibinasakan oleh Cia Keng Hong.

Dan sekarang Kim Seng Siocia mengaku bahwa dia adalah bekas pelayan kecil dari Go-bi Thai-houw yang tersayang dan yang dijadikan ahli waris oleh nenek iblis itu!

“Thai-houw amat sayang kepadaku, Koko. Semua pusaka warisannya disimpan di tempat rahasia dan hanya aku yang diberi tahu. Oleh karena itu, hanya akulah yang dapat mewarisi kepandaiannya dan aku menjadi pemimpin di bekas istananya ini. Akan tetapi... u-hu-huuu... dia dibunuh mati orang, Koko!” Kembali Kim Seng Siocia menangis.

Kun Liong makin tertarik. “Jadi... apa yang kau kehendaki, Sio... eh, Moi-moi?”

“Apalagi? Tentu membalas dendam kematian Thai-houw! Aku mendapatkan semua ini dari Thai-houw dan dia dibunuh orang!”

“Kalau begitu, dengan kepandaianmu yang tinggi, mengapa kau tidak sejak dahulu membalas dendam, Moi-moi”

“Aku... aku takut...”

“Eh...?” Kun Liong benar-benar terheran mengapa wanita aneh ini mempunyai rasa takut juga, maka dia melanjutkan pancingannya, “Begitu lihaikah musuhmu yang telah membunuh Go-bi Thai-houw?”

“Aku tidak takut kepadanya! Hemm, biar dia memiliki Thi-khi-i-beng sekalipun! Dahulunya memang aku tidak berani mengingat akan ilmunya itu, akan tetapi setelah aku mempelajari kitab peninggalan Thai-houw, dengan menggunakan cambuk ini, aku dapat membuat Thi-khi-i-beng tidak ada artinya! Kaulihatlah, Koko!” Setelah berkata demikian, wanita ini meloncat dari bangkunya, menyambar cambuknya dan menuding ke atas, ke arah dinding di mana terdapat dua ekor cecak yang sedang bercumbuan dan saling berkejaran. “Lihat dua ekor cecak itu!” katanya pula dan tiba-tiba terdengar suara meledak-ledak beberapa kali bersama sinar hitam menyambar-nyambar dan ketika Kun Liong memandang, ternyata dua ekor cecak itu telah terpotong-potong tubuhnya menjadi empat dan jatuh ke atas meja, sedangkan di dinding itu tidak nampak sedikit pun darah! Diam-diam Kun Liong terkejut. Ternyata wanita ini tidak menyombong kosong tadi ketika mengatakan babwa dengan cambuknya dia amat lihai. Kalau dalam pertempuran tadi Kim Seng Siocia menggunakan cambuk seperti itu, dia tentu akan repot menghadapinya! Dan dia harus mengakui bahwa dengan senjata cambuk seperti itu, Thi-khi-i-beng tidak akan dapat dipergunakan karena tidak mungkin untuk menempel ujung cambuk dan menyedot sin-kang lawan melalui cambuk lemas yang panjang itu!

“Wah, kau hebat sekali, Moi-moi...” Kun Liong menekan hatinya karena dia bergidik melihat bangkai dua ekor cecak yang telah menjadi masing-masing empat potong itu di atas meja. “Dengan kepandaianmu itu, tentu engkau akan dapat menang melawan musuhmu, akan tetapi mengapa tidak juga kaulakukan?”

“Sudah kukatakan tadi, aku takut, aku takut gagal. Aku mau yakin akan kemenanganku, oleh karena itu... bertahun-tahun aku berdoa kepada Thian untuk mendapatkan jodoh seorang yang lihai dan yang akan dapat membantuku menghadapi musuhku yang sakti. Dan... hari ini aku telah mendapatkan jodoh yang kutunggu-tunggu itu, Koko yang tampan!”

Wanita itu hendak merangkulnya. Cepat-cepat Kun Liong mundur dan berkata, “Moi-moi, belum kaukatakan siapakah musuhmu itu, dia yang sanggup membunuh seorang lihai seperti Go-bi Thai-houw?”

“Dia? Dia adalah si keparat Cia Keng Hong, yang kabarnya sekarang menjadi Ketua Cin-ling-pai di Cin-ling-san! Kau tunggulah, si keparat Cia Keng Hong! Tunggulah saat kematianmu kalau Kim Seng Siocia dan suaminya Yap Kun Liong datang membalas dendam! Koko, dengan bantuanmu, aku yakin bahwa kita akan dapat membunuh Cia Keng Hong. Aku melihat gerakan-gerakanmu tadi hebat sekali. Orang seperti engkau inilah yang kutunggu-tunggu!” Kembali Kim Seng Siocia hendak merangkul dan Kun Liong sudah bingung. Tiba-tiba datang pertolongan ketika pintu kamar terbuka dan dua orang pelayan tadi datang membawa hidangan yang masih panas dan serba mewah dan lezat. Dengan senyum manis dua orang pelayan itu menurunkan piring mangkok dan manci ke atas meja, juga seguci arak wangi.

“Harap singkirkan bangkai cecak ini...” kata Kun Liong kepada dua orang pelayan itu.

“Eihhh, mengapa? Dua ekor eceak itu merupakan lalap yang sedaaap!” kata Kim Seng Siocia yang mengusir kedua orang pelayannya dengan gerakan tangan. Mereka pergi dan kembali menutupkan pintu kamar.

Kun Liong hampir muntah. Bangkai cecak dipakai lalap? Biasanya orang lalap dengan sayur segar dan mentah! Akan tetapi dia tidak mencela karena dia mulai bersikap hati-hati sekali terhadap wanita ini setelah diketahuinya bahwa wanita ini adalah musuh besar Cia Keng Hong dan berniat menggunakan dia sebagai teman untuk membunuh pendekar sakti yang masih terhitung supeknya sendiri bahkan yang telah mengajarkan Thi-khi-i-beng kepadanya itu! Dengan menekan perasaannya, dia menemani wanita itu makan minum. Hanya dengan kekuatan luar biasa saja dia dapat bertahan ketika Kim Seng Siocia menggunakan sumpit menjepit bangkai cecak dan melalapnya dengan bunyi “kriuk! kriuk!” ketika giginya yang kuat mengunyah bangkai itu berikut tulang-tulangnya. Yang lebih menjijikkan lagi ketika Kim Seng Siocia menyumpit ekor cecak yang masih bergerak-gerak menggeliat itu, memasukkan benda yang masih hidup itu ke dalam mulut lalu mengunyahnya!

Tahulah dia bahwa wanita ini benar-benar tidak waras otaknya! Namun Kun Liong makan sampai kenyang tanpa bicara, hanya diam-diam dia mengasah otaknya mencari jalan keluar dari bahaya ini, terutama sekali bagaimana dia akan dapat menolong Hong Ing yang keselamatannya terancam bahaya maut. Bukan hanya dari Kim Seng Siocia datangnya bahaya mengancam yang sewaktu-waktu dapat membunuh Hong Ing, melainkan juga dari Marcus yang jelas adalah seorang laki-laki yang tidak baik.

Setelah selesai makan minum yang bagi Kim Seng Siocia amat menggembirakan itu, wanita ini bertepuk tangan dan dua orang pelayan itu cepat muncul. Mereka disuruh membersihkan meja dan pada waktu itu, hari telah mulai menjadi petang. Seorang di antara mereka menyalakan lampu untuk menerangi kamar yang sudah mulai gelap. Setelah dua orang pelayan itu selesai membersihkan meja, menyalakan lampu dan membereskan pembaringan, menyapu lantai kamar, Kim Seng Siocia sambil tersenyum-senyum berkata kepada mereka, “Sekarang panggil Acui dan Amoi ke sini, sementara itu, Pek Nikouw harus dijaga oleh selosin orang penjaga yang siap turun tangan membunuhnya begitu ada tanda rahasia dariku.”

Dua orang pelayan itu mengangguk, mengundurkan diri setelah mengerling dan tersenyum geli ke arah Kun Liong yang duduk seperti arca di atas bangunan. Kim Seng Siocia duduk kembali.

“Koko, hanya Acui dan Amoi itulah pelayan-pelayanku yang paling boleh kuandalkan dan kupercaya. Juga mereka yang menjadi pembantu, juga muridku. Mereka yang memandikan aku, menggantikan pakaian, pendeknya, hanya mereka yang kupercaya. Karena itu, pada malam pengantin ini... hi-hi-hik, aku pun hanya mau dilayani oleh mereka...”

Kun Liong hanya mengangguk-angguk, padahal dia tidak mengerti apa yang dikehendaki dan dimaksudkan oleh “isterinya” itu, isteri paksaan. Sementara itu, di bagian lain dari istana itu, Marcus sedang membujuk-bujuk kepada Acui dan Amoi.

“Kenapa kalian melindunginya? Serahkan dia kepadaku, sebentar saja dan aku akan bersikap manis kepadamu, Acui dan Amoi.”

“Hushh! Pergilah! Kalau ketahuan Siocia, apakah kau masih dapat menyelamatkan kepalamu yang berambut kuning itu?” Acui membentak sedangkan Amoi tersenyum-senyum genit kepada pemuda asing yang tampan itu.

“Eh, Marcus, apakah kau 1upa kepada lima orang teman-temanmu? Apakah kau ingin pula dilempar kepada anak buah yang merupakan serigala-serigala kelaparan itu,” kata Amoi mengejek, akan tetapi di balik ejekannya itu, sinar matanya memandang ke arah tubuh yang tegap dan kuat itu dengan penuh gairah.

Marcus merasa ngeri kalau mengingat kepada lima orang itu. Mereka telah mati konyol, mati dengan tubuh mengering kehabisan darah, seperti matinya lima ekor lalat yang sudah dihisap habis semua darahnya oleh laba-laba yang banyak itu! Akan tetapi dia cerdik dan tidak memperlihatkan kengeriannya, bahkan dia tertawa, “Ahhh, seperti kalian tidak tahu saja! Siocia suka kepadaku dan memang kemarin aku tidak berani main gila dengan wanita lain, betapa pun rindu dan inginku kepada kalian berdua yang cantik jelita ini! Akan tetapi sekarang, Siocia telah mendapatkan seorang kekasih baru, tentu aku menjadi bebas pula untuk bermain cinta dengan siapa juga. Acui dan Amoi, nikouw ini tidak urung akan dibunuh juga, maka apa salahnya kalau membiarkan aku mempermainkannya sebentar?”

Amoi melangkah ke depan. “Hemm, apa sih menariknya perempuan gundul ini? Eh Marcus, apakah kami berdua kalah cantik oleh nikouw gundul ini?”

Marcus tersenyum lebar. “Tentu saja tidak, dan aku berjanji, kalau kalian suka memberikan nikouw itu kepadaku sebentar, setelah aku selesai dengan dia, aku akan menemui kalian berdua bersenang-senang. Bagaimana?”

“Huh! Kautemani kami dulu, baru kami berikan dia kepadamu.”

“Baiklah, aku memang sudah lama rindu kepada kalian. Mari!”

“Enci Acui, kau bersenanglah dulu, biar aku yang menjaganya,” kata Amoi.

Acui yang masih khawatir kalau-kalau Siocia akan marah, mengerutkan alisnya akan tetapi hatinya pun tertarik sekali. Sudah terlalu lama bagi dia dan Amoi tak pernah dirayu oleh seorang pria, apalagi pria semuda dan setampan Marcus yang memiliki ketampanan khas pula sebagai seorang berkulit putih.

“Engkau saja dulu, Amoi, biar aku yang menjaganya.”

Amoi tersenyum genit dan mengangguk kepada Marcus yang tertawa-tawa dan merangkulnya dan hendak menariknya pergi dari tempat penjagaan rahasia itu. Akan tetapi pada saat itu, muncullah dua belas orang penjaga yang bersenjata lengkap, dipimpin oleh dua orang pelayan yang diperintah oleh Kim Seng Siocia tadi. Mereka berkata dengan suara nyaring bahwa Acui dan Amoi dipanggil oleh Kim Seng Siocia dan bahwa dua belas orang itu ditunjuk untuk menggantikan dua orang pelayan kepercayaan itu untuk menjaga tawanan.

Amoi kelihatan kecewa, akan tetapi dia melepaskan Marcus sambil berkata, “Kau tidak boleh di sini. Keluarlah dulu dan menunggu kami. Awas, sebelum kami kembali, kau tidak boleh menyentuhnya. Hai, para penjaga! Selama kami berdua pergi, jaga tawanan baik-baik dan jangan membolehkan siapapun juga, termasuk dia ini, menyentuh tawanan. Mengerti?”

Para penjaga itu menyatakan taat kepada Amoi yang menjadi kepercayaan majikan mereka dan Marcus yang kecewa juga tidak berani membantah lalu pergi keluar. Dia akan sabar menanti.

Acui dan Amoi memasuki kamar majikan mereka dan keduanya terkekeh genit ketika melihat Kun Liong duduk seperti arca di atas bangkunya, sedangkan Siocia kelihatan begitu gembira, mukanya kemerahan tanda bahwa dia sudah banyak minum arak wangi.

“Acui... Amoi..., aihhh, aku menjadi gugup di malam pengantin ini. Kalian bantulah aku...” kata Kim Seng Siocia sambil tersenyum. “Bagaimana sih baiknya? Sin-liang (pengantin pria) kelihatan malu-malu... ihhh, dia memang masih perjaka tulen...”

Acui dan Amoi cekikikan. “Benarkah, Siocia? Ah, kalau begitu kau bahagia sekali, Siocia. Kionghi (selamat)!” kata Amoi. Keduanya lalu menghampiri Kun Liong dan berkata,

“Kongcu (Tuan Muda), mengapa Kongcu belum juga menanggalkan pakaian luar? Sudah waktunya sepasang pengantin tidur, maka harap Kongcu tidak malu-malu lagi, karena hal itu bisa mendatangkan kesalahpahaman bagi pengantin wanita, dapat dianggap bahwa pengantin pria menolak dan ini merupakan penghinaan besar,” kata Acui.

“Benar itu, Kongcu. Mari kami membantumu menanggalkan pakaian...” kata Amoi genit dan keduanya lalu menyerbu, menanggalkan pakaian luar Kun Liong sehingga pemuda ini menjadi bingung dan malu. Untuk melawan tentu saja dia dapat, akan tetapi teringat akan keselamatan Hong Ing, dia diam saja. Akhirnya semua pakaian luarnya termasuk sepatu nya telah ditanggalkan dan dia dituntun setengah paksa duduk di tepi tempat tidur yang lebar panjang dan berbau harum itu. Kaki den tubuh atasnya menjadi segundul kepalanya, dan hanya sebuah celana dalam panjang yang tipis saja yang masih menutup tubuhnya. Kini matanya terbelalak memandang ke depan di mana Kim Seng Siocia sedang dibantu oleh dua orang pelayannya itu menanggalkan pakaian luar. Agak sukar juga bagi wanita gendut itu untuk menanggalkan pakaian luarnya dan pekerjaan ini mereka lakukan bertiga sambil tertawa cekikikan.

Setelah banyak sekali kancing yang ketat itu dilepaskan, mulailah pakaian luar itu diperosotkan dari atas dan mulailah tampak tubuh yang kini hanya dibungkus pakaian dalam yang tipis sekali itu. Dengan pakaian luar menutupi tubuhnya, bentuk tubuh Kim Seng Siocia masih tertolong, masih terlindung oleh pakaian luar yang lebar, akan tetapi setelah kini pakaian luar itu merosot dari atas sedikit demi sedikit, mata Kun Liong juga menjadi makin lebar dan makin lebar, tubuhnya menggigil seperti orang diserang demam malaria, sampai kedua bibirnya pun ikut bergerak-gerak seperti orang kedinginan. Mulailah tampak tubuh Kim Seng Siocia, mula-mula lehernya, lalu pundaknya yang tampak di balik pakaian dalam yang amat tipis sehingga tembus pandangan itu, kemudian mulai tampak tonjolan dadanya yang... aduhai! Dua onggok daging yang bergumpal besar sekali, sebuah saja sudah sebesar dua kali kepala Kun Liong! Makin merosot ke bawah pakaian luar itu, makin ngerilah hati Kun Liong, matanya terbelalak, mulutnya celangap dan jari tangannya menahan bibirnya yang gemetaran keras. Sambil cekikikan, akhirnya atas isyarat majikan mereka, Acui dan Amoi meninggalkan kamar dan menutupkan pintu kamar rapat-rapat.

Kini sambil tersenyum Kim Seng Siocia melangkah perlahan menghampiri pembaringan den setiap langkah terasa oleh Kun Liong seolah-olah seluruh kamar itu tergetar dan terjadi gempabumi!

Setelah kini tampak kedua buah kaki wanita itu, Kun Liong merasa serem bukan main. Kaki gajah! Kaki yang besarnya ada empat kali kakinya sendiri! Apalagi ketika kaki itu melangkah, selurub tubuh yang merupakan gumpalan-gumpalan daging yang bertumpuk menjadi satu itu bergoyang-goyang semua! Kun Liong hampir pingsan ketika wanita' itu akhirnya berdiri dekat sekali di depannya, dan hidungnya mencium bau minyak wangi yang terlalu keras sehingga membuat dia sukar bernapas.

“Hi-hik, Koko... jangan malu-malu, suamiku... aku cinta padamu...”

Cepat luar biasa, tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya, Kim Seng Siocia sudah menubruk sehingga Kun Liong terjengkang dan terlentang di atas pembaringan, lenyap tertindih bukit daging itu! Kun Liong megap-megap tak dapat bernapas, hanya kedua kakinya yang kelihatan bergerak-gerak dan kedua lengannya yang terpentang.

“Eh... ohh... nanti dulu... eh, Siocia... eh, Moi-moi...” Dia gelagapan ketika Kim Seng Siocia menutupi mukanya dengan ciuman-ciuman kasar sehingga hampir seluruh muka Kun Liong basah oleh ciumannya.

Ketika merasa betapa wanita itu menjadi makin ganas dan mulutnya yang besar itu menutupi separuh mukanya, Kun Liong cepat menggerakkan jari tangannya menotok pundak wanita itu, menotok jalan darah hong-hu-hiat-to untuk membuat wanita itu lemas. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika merasakan jari tangannya menotok daging yang demikian tebalnya sehingga jari tangan itu tidak dapat mencapai jalan darah! Mengertilah dia bahwa wanita ini menjadi kebal bukan main karena jalan darah di tubuhnya terlindung oleh ketebalan dagingnya! Dia kaget, akan tetapi Kim Seng Siocia juga terkejut. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Liong, dia menggigit bibir wanita itu untuk mencegahnya berteriak, dan mengerahkan Thi-khi-i-beng ketika wanita itu menggunakan kedua tangan mencengkeram pundaknya.

“Iiihhh... oooohhh...!” hanya keluhan ini yang keluar dari mulut Kim Seng Siocia yang bibirnya masih tergigit oleh Kun Liong ketika dia merasa betapa sin-kangnya memberobot keluar, membanjir melalui kedua telapak tangan, tersedot oleh hawa mujijat dari dalam tubuh pemuda itu.

Memang kesempatan inilah yang dinanti-nanti Kun Liong, yang sejak tadi diasah dalam benaknya. Dia maklum akan kelihaian wanita ini, dan kalau wanita itu berada dalam keadaan siap siaga, apalagi dengan cambuk sakti yang ditaruh di atas meja itu, dia tidak akan mampu menolong Hong Ing. Tidak akan mampu mengalahkan wanita ini dan membuatnya tak berdaya tanpa mampu berteriak. Tadinya, menurut rencana, dia akan menotoknya begitu wanita itu menerkamnya di tempat tidur. Akan tetapi ternyata totokannya gagal, maka terpaksa dia menggunakan Thi-khi-i-beng sambil “menahan” mulut Kim Seng Siocia agar jangan berteriak, dengan jalan mengigigit bibirnya!

Makin lama makin pengap rasanya Kun Liong karena onggokan daging membukit itu makin menghimpitnya, makin panas rasa tubuhnya karena kemasukan sin-kang dan makin lemah pula tubuh Kim Seng Siocia! Kun Liong tidak bermaksud membunuhnya, maka begitu melihat bahwa wanita itu sudah tidak mampu meronta lagi karena sin-kangnya sudah hilang setengahnya lebih, dia lalu menggunakan ujung bantal untuk menyumpali mulut yang lebar itu, kemudian menggunakan alas tempat tidur untuk mengikat kaki tangannya. Dia maklum bahwa kalau wanita itu bertenaga sepenuhnya, tentu ikatan itu tidak ada artinya. Akan tetapi dalam keadaan sin-kangnya tersedot terlampau banyak, membuat wanita itu seperti tidur, atau setengah pingsan dan mendengkur keras seperti seekor babi, Kun Liong sudah merasa cukup. Dia lalu meloncat dari tempat tidur. Maksudnya hendak meloncat dan berpakaian, akan tetapi hampir dia menjerit ketika loncatannya itu membuat tubuhnya melayang ke atas! Dia lupa bahwa penambahan tenaga sin-kang di tubuhnya membuat tenaganya menjadi berlebihan dan tubuhnya terasa seperti bola karet yang penuh hawa, merasa seolah-olah tubuhnya menjadi sebesar tubuh Kim Seng Siocia!

“Dukkkk!” Kepalanya yang gundul terbentur pada langit-langit kamar itu sehingga langit-langit itu ambrol dan pecah! Dia terkejut, baru teringat maka cepat dia mengatur tenaga yang liar menjelajahi seluruh tubuh itu sesuai dengan petunjuk Cia Keng Hong. Biarpun terasa masih sesak dadanya dan panas tubuhnya, namun dapat juga dia mengenakan pakaiannya. Dia maklum bahwa tenpa mengurangi hawa yang disedotnya dari Kim Seng Siocia itu, dia seperti orang mabuk dan sukar menguasai tenaga yang berlebihan, maka dia lalu meloncat, menerobos melalui langit-langit yang jebol tadi, menggunakan gin-kangnya yang menjadi berlipat ganda itu berkelebat keluar dari istana. Dia memasuki hutan yang gelap dan setelah merasa yakin di situ tidak terdapat orang lain, mulailah dia menghamburkan tenaga kelebihan dari tubuhnya itu untuk memukul batu dan pohon besar. Dalam waktu singkat, lima buah batu besar hancur dan tujuh batang pohon besar tumbang! Barulah terasa enak tubuhnya, ringan dan tidak mabuk seperti tadi. Dia lalu melesat kembali menuju ke istana hendak menolong Hong Ing sebelum Kim Seng Siocia dapat melepaskan diri atau sebelum para pembantu wanita itu ada yang tahu. Kalau dia mengenangkan pengalamannya dalam kamar Kim Seng Siocia tadi dia bergidik ngeri. Memang dia bukanlah perjaka lagi, dan dia sudah berenang di lautan cinta dengan Hwi Sian, akan tetapi hal itu dilakukan oleh keduanya atas dasar suka rela. Akan tetapi tadi? Bukan main ngerinya! Dan dia tidak dapat membayangkan apa akan jadinya dengan dirinya kalau saja dia tidak memiliki Thi-khi-i-beng!

Dengan tergesa-gesa namun hati-hati sekali Kun Liong memeriksa seluruh bagian istana dan akhirnya dia dapat menemukan tempat rahasia di mana Hong Ing ditahan. Tempat itu merupakan bagian belakang istana, rapat terkurung dinding baja dan di bagian depan terjaga oleh belasan orang wanita. Dengan sigap dan cepat sekali Kun Liong meloncat tanpa diketahui mereka ke atas genteng tempat tahanan itu, kemudian membuka atap dan mengintai ke bawah. Dilihatnya pemandangan yang mengherankan. Hong Ing masih seperti tadi, dibelenggu kaki tangannya dengan tali hitam, yang dapat mulur dan sukar dipatahkan itu, dijaga oleh Acui yang memegang pedang dan menodongkan pedang itu ke tubuh Hong Ing, siap sewaktu-waktu untuk menusuk tubuh tawanan itu apabila majikannya memberi tanda! Benar-benar amat berbahaya keadaan Hong Ing karena andaikata tadi Kim Seng Siocia sempat mengeluarkan jeritan mencurigakan sedikit saja tentu pedang di tangan Acui itu sudah menembus jantungnya!

Selagi dia yang bersikap hati-hati itu mencari-cari di mana adanva Amoi, dia mendengar suara tertawa pelayan genit itu dan muncullah Amoi bersama Marcus bergandeng tangan dari sebuah kamar di samping tempat tahanan itu. Wajah Amoi berseri kemerahan dan rambutnya kusut

“Enci Acui, sekarang giliranmu. Biarlah aku menjaganya!”

Acui tersenyum, memberikan pedangnya kepada Amoi dan dia sendiri lalu dirangkul oleh Marcus dan keduanya memasuki kamar sebelah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Kun Liong. Cepat dia menyambar turun sebelum Amoi yang nampak kelelahan itu sempat menodongkan pedangnya kepada Hong Ing.

Amoi terkejut mendengar suara angin bertiup dari atas. Dia membalik namun terlambat karena tubuh Kun Liong yang menukik turun sudah menyambar, sekali tangannya bergerak pedang itu telah terampas olehnya dan sebuah tamparan perlahan ke pundak Amoi membuat gadis ini menjerit dan terguling.

Mendengar jeritan ini, Acui bertanya dari dalam kamar, “Amol, ada apakah?”

“Enci Acui, tolong...!”

Acui dan Marcus berloncatan kcluar dari kamar dalam keadaan setengah telanjang. Melihat betapa Kun Liong telah menyambar dan memondong tubuh Hong Ing, Acui cepat menubruk dan memukul. Akan tetapi sekali ini Kun Liong tidak menaruh sungkan atau kasihan lagi karena keadaan Hong Ing terancam. Dia mendahului gadis itu dengan sebuah tendangan yang mencium lutut kiri gadis ini sehingga Acui terkejut, berteriak dan terjungkal. Kun Liong tidak mempedulikan lagi, lebih-lebih karena Acui dan Amoi sudah mulai berteriak-teriak memanggil kawan-kawannya. Dia memondong tubuh Hong Ing dan meloncat melalui atas atap. Baru saja tubuhnya muncul ke atas genteng, dia telah disambut oleh lima orang gadis penjaga yang bersenjata tombak. Lima buah mata tombak menusuknya dari lima penjuru. Namun tubuh Kun Liong sudah mencelat ke atas, menukik cepat sekali ke kiri dan menyambar sebatang tombak sebelum pemiliknya sempat melihat jelas apa yang terjadi.

“Krekkk!” Ujung tombak yang runcing dipatahkan oleh Kun Liong, kemudian dengan jurus Ilmu Tongkat Siang-liong-pang, akan tetapi hanya mainkan sebatang tongkat saja karena lengan kirinya mengempit tubuh Hong Ing, dia menyerang. Terdengar empat kali suara nyaring dan empat batang tombak pengeroyoknya patah semua. Kun Liong membuang tongkatnya dan meloncat turun, bukan ke atas tanah di bawah di mana telah menanti puluhan orang gadis bersenjata lengkap, melainkan meloncat ke sebuah pohon dan dari situ, menggunakan gin-kangnya yang bertambah karena penyedotan sin-kang dari Kim Seng Siocia tadi, dia meloncat lagi ke atas pohon di depan, kemudian menghilang ke dalam gelap.

Sampai lama sekali Kun Liong melarikan diri dengan hati-hati karena malam itu gelap sekali dan hanya diterangi oleh bintang-bintang di langit. Dia menuruni puncak dengan hati-hati, kadang-kadang harus meraba-raba dulu dengan kakinya, sampai dia jauh meninggalkan istana Kim Seng Siocia. Akan tetapi dia maklum bahwa anak buah Kim Seng Siocia terus melakukan pengejaran, maka dia tidak mau berhenti berjalan dan mulai menuruni puncak dengan hati-hati. Di tengah jalan dia melepaskan ikatan kaki tangan Hong Ing dan tiba-tiba dara itu berkata,

“Lepaskan aku! Aku bukan bayi yang harus dipondong. Aku bisa jalan sendiri!”

Kun Liong terkejut dan heran. Susah payah dia menolong gadis ini, bahkan melalui pengalaman yang mengerikan ketika dia dihimpit oleh gumpalan daging menggunung, dan sekarang begitu bisa bicara, Hong Ing mengeluarkan kata-kata yang keras! Akan tetapi dia menurunkan gadis itu dan mereka lalu bergerak perlahan melanjutkan perjalanan mereka menjauhi istana Kim Seng Siocia.

Makin bertambah keheranan hati Kun Liong ketika dia melihat betapa Hong Ing melakukan perjalanan dengan sikap diam, tak pernah bicara, dan kadang-kadang kalau dia dapat memandang wajah itu di bawah sinar bintang yang remang-remang, dia melihat wajah itu cemberut. Ingin sekali dia bertanya mengapa gadis itu menjadi tak senang hati, bahkan seperti orang marah, akan tetapi karena mereka sedang melarikan diri dari kejaran anak buah Kim Seng Siocia, dia pun tidak banyak bertanya.

Ketika mereka dipaksa berhenti oleh keadaan jalan yang amat berbahaya, selain cuaca makin gelap karena halimun menutupi cahaya bintang yang hanya sedikit itu, dan banyak jurang melintang di depan menghadang perjalanan mereka, dan mereka telah berlindung di bawah sebuah bukit batu yang berlubang merupakan guha kecil dengan api unggun menghangatkan badan mereka, barulah Kun Liong bertanya.

“Hong Ing, kenapa kau kelihatan seperti orang berduka dan tidak senang hati?”

Sambil duduk membelakangi Kun Liong, kemudian malah merebahkan diri miring, Hong Ing menjawab dengan sikap acuh tak acuh dan suara yang datar, “Mengapa aku harus tidak senang hati? Aku telah ditolong, bukan? Tidak, aku tidak apa-apa, hanya ingin tidur karena lelah.”

Jawaban ini tentu saja tidak memuaskan hati Kun Liong, akan tetapi dia pun mengeraskan hatinya. Kalau tidak mau mengaku, sudahlah, bukan urusannya. Maka dia pun menjawab datar, “Kalau begitu, kau tidurlah, biar aku yang menjaga di sini sampai pagi.”

Mendongkol juga hati Kun Liong karena dara itu tidak menjawab, melainkan menggeser tubuhnya lebih dekat dengan api unggun agar hawa dingin tidak terlalu mengganggunya. Hemm, sikapnya begitu tidak acuh, begitu sombong! Sombongkah Hong Ing? Seingatnya tidak, tetapi mengapa sekarang...? Hemm, dan mengapa pula dia menjadi tidak enak hati, tidak senang melihat sikap dara itu tidak pedulian kepadanya?

lanjut ke Jilid 065-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar