Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 11

Dewi Maut Jilid 11

<--kembali

Mei Lan berusaha untuk mengerahkan tenaga membebaskan diri dari belenggu itu, namun sia-sia belaka. Belenggu yang mengikat kedua kaki dan tangannya itu terbuat dari kulit kerbau yang amat kuat sehingga memaksanya putus sama dengan melukai kulit kaki tangannya. Maka dia bersikap tenang dan memutar leher memandang ke ruangan itu. Ruangan itu luas sekali dan tak jauh dari situ, di tengah ruangan, dia melihat beberapa orang duduk mengitari meja besar dan bercakap-cakap. Mereka terdiri dari lima orang, agaknya merupakan pimpinan dari perkumpulan manusia setan itu. Kakek tua bermuka putih yang tadi memimpin anak buah menangkapnya juga duduk di situ, bersama tiga orang yang lain menghadap seorang kakek yang membuat Mei Lan menggigil karena ngeri. Kakek ini memang luar biasa sekali. Tubuhnya bongkok, punggungya menonjol, pakaiannya serba putih dan mukanya mengerikah sekali. Kepalanya gundul, matanya hanya tampak putihnya saja, tidak ada manik matanya, hidungnya bengkok dan mulutnya yang tidak bergigi lagi itu kelihatan mengejek, mukanya sudah penuh keriput dan dia kelihatan sudah tua sekali, terlalu tua untuk hidup! Dan ternyata bahwa kakek gundul ini adalah ketua mereka, karena terdengar kakek bermuka putih bertanya. “Pangcu, apa yang akan kita lakukan terhadap gadis cilik yang liar itu?”

Kakek gundul itu menoleh ke arah Mei Lan dan kembali Mei Lan menggigil. Setelah kini kakek itu menoleh dan wajahnya nampak jelas, benar-benar amat menjijikkan dan menyeramkan. Mata itu benar-benar tidak ada hitamnya, putih semua dan bergerak-gerak. Mata dan wajah seperti itu tidak pantas menjadi wajah manusia, pantasnya menjadi wajah setan di neraka! Akan tetapi jangan-jangan dia memakai topeng seperti anak buahnya, pikir Mei Lan.

“Heh-heh, kalian tidak tahu. Bocah seperti inilah yang selalu kucari-cari. Kebetulan sekali kalian menemukan dia di hutan pada saat kita hendak mengadakan upacara sembahyang di bulan purnama. Selain dia ini seorang perawan yang berdarah bersih, juga tubuhnya terlatih dan hawa murni yang dilatih mengitari tubuhnya membuat darahnya lebih bermanfaat lagi. Tunggu saja kalian malam nanti, beberapa tetes darahnya akan memperkuat tenaga batin kalian dan akan meningkatkan kekuatan sihir kalian.”

Mereka tertawa-tawa dengan girang sambil menoleh ke arah Mei Lan. Mendengar percakapan itu, tentu saja Mei Lan menjadi terkejut dan juga takut sekali. Mereka itu bukan manusia! Mereka adalah iblis-iblis yang ingin menghisap darahnya!

“Lepaskan aku...!” Mei Lan tiba-tiba menjerit dengan keras.

Lima orang itu bangkit dari bangku mereka dan memandang ke arah Mei Lan yang meronta-ronta. Kakek gundul berkata. “Biarkan dia mengerahkan tenaganya, itu baik sekali untuk memperkuat jalan darahnya sehingga kita akan memperoleh darah segar malam nanti.”

Makin takutlah hati Mei Lan. Wajah lima orang kakek itu benar-benar menyeramkan sekali, dan membayangkan betapa darahnya akan disedot oleh iblis-iblis ini, dia merasa ngeri dan tak tertahankan lagi dia menjerit dengan pengerahan khi-kangnya. Jerit melengking yang terdengar sampai jauh dan bergema di seluruh bukit. Ketua itu terkejut dan sekali dia meloncat, tubuhnya sudah melayang dekat Mei Lan, tangan yang kasar dan seperti penuh koreng dan penyakit gatal, kemerahan dan bernanah itu bergerak menotok jalan darah di leher Mei Lan. Seketika gadis itu kehilangan suaranya dan dia memandang penuh kengerian kepada kakek ini, kemudian memejamkan mata karena tidak tahan saking jijiknya.

Kakek itu lalu berjalan kembali ke meja di tengah ruangan dan berkata, “Malam nanti kumpulkan semua anggauta. Setelah upacara sembahyang kita berpesta semeriah mungkin untuk menghormati para arwah yang kita undang malam nanti. Apakah untuk keperluan hidangan dan lain-lain sudah cukup semua?”

“Sudah, pangcu. Para hartawan di Liong-si-jung sekali ini menyumbang sepuluh ekor babi di samping uang untuk segala keperluan makanan, sedangkan lurah dan hartawan dusun Beng-nam-jung di sebelah utara bukit menyumbangkan uang secukupnya dan lima puluh guci besar arak wangi.”

“Bagus...tidak percuma kita melindungi kedua dusun itu.” Kakek gundul berkata dan selanjutnya mereka bercakap-cakap mengatur rencana pesta malam nanti, akan tetapi Mei Lan sudah tidak mendengarkan lagi karena gadis ini sibuk dengan kekhawatirannya sendiri. Dia adalah seorang gadis yang pemberani, akan tetapi sekali ini, berada di dalam cengkeraman manusia-manusia seperti iblis itu, dia merasa ngeri dan takut sekali. Air matanya mengalir dan diam-diam dia menyesal mengapa dia telah meninggalkan rumah ayahnya yang aman dan tenteram. Hatinya kini menjerit-jerit memanggil ayah dan ibunya, dan kenyataan bahwa ibunya bukanlah ibu kandungnya tidak teringat lagi pada saat seperti itu. Kalau ada ayahnya dan ibunya, iblis-iblis ini tentu akan dibasmi habis dan dia akan dapat diselamatkan!

“Ayah...! Ibu...! Tolonglah aku... tolonglah...!” hatinya menjerit-jerit karena mulutnya sudah tidak dapat mengeluarkan suara lagi.

Orang-orang macam apakah yang mendirikan perkumpulan aneh ini? Kakek gundul itu adalah seorang bekas tokoh dari perkumpulan rahasia Pek-lian-kauw. Semua tokoh Pek-lian-kauw mempelajari ilmu sihir dan kakek ini tadinya juga seorang tosu Pek-lian-kauw yang diusir dari perkumpulan kebatinan itu karena dia telah menyeleweng dari peraturan Pek-lian-kauw dan menggunakan kepandaian demi keuntungan diri pribadi. Setelah terusir dari Pek-lian-kauw dan tidak diakui lagi, tosu ini lain menggunduli rambut kepalanya dan dia lalu menggunakan kepandaian silat dan sihirnya untuk mendirikan perkumpulan baru, perkumpulan kebatinan yang memuja roh-roh dan melatih sihir yang katanya akan membuat batin menjadi kuat dan dengan bantuan roh-roh itu kelak akan dapat memperoleh tempat yang menyenangkan setelah mati! Dengan kepandaian silat dan sihirnya, bekas tokoh Pek-lian-kauw yang kini menggunakan nama julukan Jeng-hwa Sian-jin (Manusia Dewa Beribu Bunga) itu dapat mengelabui rakyat di dusun-dusun sehingga banyaklah yang menjadi murid dan anak buahnya, banyak pula suami isteri dari dusun-dusun yang suka menyumbangkan segala milik mereka untuk mengalami kenikmatan “sorga dunia” di bawah pimpinan kakek yang kini mukanya seperti iblis itu. Sebetulnya, sebelum keluar dari Pek-lian-kauw, tokoh ini telah dihukum oleh para pimpinan Pek-lian-kauw sehingga mukanya menjadi rusak, punggungnya bongkok dan kedua matanya buta. Akan tetapi, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia masih dapat menggunakan keburukan mukanya ini sebagai modal sehingga menimbulkan kepercayaan kepada orang-orang yang selalu mengejar keanehan-keanehan di dunia ini.

Sedikit pelajaran sihir dan sulap, juga ilmu silat, membuat para anggotanya makin tunduk dan percaya kepada kakek ini yang membentuk perkumpulan yang diberi nama Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Seribu Bunga). Satu di antara kepercayaan yang disebarkan oleh Jeng-hwa Sian-jin adalah bahwa untuk dapat “bersahabat” dengan para roh, setan dan iblis yang kelak akan menjadi pembantu-pembantu mereka, muka para anggota itu harus menggunakan topeng yang seburuk-buruknya, makin buruk makin baik sehingga para iblis dan setan tidak merasa rendah bercampuran dengan manusia-manusia yang mukanya buruk itu. Inilah sebabnya maka semua anggauta yang aktip membantu kakek itu, semua memakai topeng setan dan si ketua sendiri karena memang mukanya sudah buruk, tanpa topeng pun sudah paling jelek dan menakutkan diantara mereka semua. Dan memang sebab terutama yang menggerakkan ketua itu mengeluarkan kepercayaan aneh ini adalah untuk mengangkat harga dirinya yang dirasa menurun karena mukanya yang buruk.

Akan tetapi, bukan hanya karena sekedar menerima ilmu-ilmu sihir dan sulap saja yang menarik hati para anggauta pembantu dan anggauta luar yang terdiri dari orang-orang dusun. Berbondong-bondong mereka datang dan masuk menjadi anggauta, bukan hanya sendirian melainkan membawa pula isteri-isteri mereka. Yang amat menarik hati mereka adalah setiap kali diadakan pesta di waktu bulan purnama, sebulan sekali pesta berlangsung setelah diadakan upacara sembahyang kepada para roh dan dewa termasuk iblis-iblis yang berkeliaran di permukaan bumi. Pesta itulah yang menarik hati mereka karena dalam saat-saat pesta berlangsung, mereka benar-benar merasakan “sorga dunia” yang amat luar biasa. Pesta yang bagi orang-orang biasa tentu dianggap mesum dan kotor akan tetapi bagi mereka yang melakukan semua itu di luar kesadaran mereka karena mereka sudah berada di bawah pengaruh sihir mujijat, sama sekali bukan mesum dan kotor, melainkan merupakan tanda betapa roh-roh itu benar-benar telah menjadi sahabat-sahabat mereka dan mereka merasa terjamin kelak setelah merekapun menjadi roh-roh tanpa jasmani lagi. Di dalam pesta itu, setelah mereka semua berada dalam keadaan tidak sadar, roh-roh itu “meminjam” tubuh mereka untuk bersenang-senang dan terjadilah kemesuman di antara mereka, di tempat terbuka dan terjadi permainan cinta yang kotor, bertukar isteri dan suami begitu saja tanpa ada yang merasa tersinggung, tanpa ada rasa malu karena yang melakukan itu adalah “roh-roh” yang bersenang-senang dan mereka itu hanya “meminjamkan” tubuh mereka saja untuk menyenangkan roh-roh dan setan-setan itu agar kelak mereka suka membantu mereka sesudah mereka meninggal dunia!

Malam itu bulan purnama muncul dengan cerahnya, tanpa ada awan yang menghalang, dan sinarnya sejuk menerangi seluruh ruangan terbuka yang menjadi tempat pesta dari perkumpulan Jeng-hwa-pang itu. Mei Lan masih terikat kaki tangannya dan kini dia dibaringkan terlentang di atas dipan yang diletakkan di pinggir lapangan terbuka itu. Ketua Jeng-hwa-pang telah duduk di atas sebuah kursi, tersenyum-senyum dan wajahnya yang putih pucat itu bersinar-sinar, kelihatan girang sekali, akan tetapi dalam pemandangan Mei Lan kelihatan makin mengerikan. Para pembantu kakek itu, si kakek muka putih dan beberapa belas orang yang mukanya bermacam-macam warnanya, sudah hadir pula di situ, jumlah mereka ada tujuh belas orang. Ada beberapa orang yang memukul tambur dan canang dan sebagian dari mereka membereskan meja-meja yang penuh dengan hidangan dan minuman arak. Dari luar datang berbondong-bondong anggauta-anggauta luar, yaitu para penduduk dua buah dusun di selatan dan di utara bukit yaitu dusun Liong-si-jung di selatan dan dusun Beng-nam-jung di utara. Tentu saja tidak semua penduduk yanq tertarik dan memasuki perkumpulan kebatinan ini, akan tetapi mereka yang tidak setuju tidak berani menentang setelah tahu bahwa Jeng-hwa-pang yang hanya terdiri dari belasan orang pimpinan itu ternyata mempunyai ketua yang amat lihai. Lebih-lebih lagi setelah para penjahat di kedua dusun itu semua ditundukkan oleh Jeng-hwa-pang, maka tidak ada orang yang berani menentangnya.

Lebih dari tiga puluh pasang suami isteri, sebagian besar masih muda-muda karena orang-orang yang terlalu tua tidak diperkenankan menjadi anggauta, kini berbondong datang. Muka mereka semua tertutup topeng sehingga mereka itu tidak saling mengenal dan inipun merupakan akal dari Jeng-hwa Sian-jin karena dengan muka bertopeng, mereka dapat melakukan perbuatan mesum tanpa malu-malu atau takut akan dikenal oleh tetangga atau teman-teman sedusun mereka! Kalau pesta yang gila sudah memuncak dan tidak ada tubuh yang tertutup pakaian sedangkan semua wajah barsembunyi di balik topeng yang sama anehnya, siapakah yang akan saling mengenal? Biarkan para “roh” yang menguasai mereka dan memilih pasangan masing-masing! Dan dalam kesempatan itu, tentu saja tujuh belas anggauta pembantu Jeng-hwa Sian-jin kebagian pasangan dalam pesta gila ini, karena mereka semua akan melakukan perbuatan mesum secara bergantian dan berapa kali saja sepuas hati mereka. Hanya Jeng-hwa Sian-jin yang tidak ikut-ikut dalam pesta mesum ini, karena dia sendiri sudah tidak lagi tertarik melakukan kemesuman itu, lebih senang menonton sambil memanfaatkan keadaan itu untuk mengumpulkan hawa mujijat dari semua kemesuman yang tiada taranya itu, di mana membubung tinggi hawa-hawa mujijat dari kemaksiatan yang dapat ditampungnya dan dipergunakan untuk memperkuat ilmu hitamnya.

Setelah semua orang berkumpul dan duduk bersila di atas lantai yang luas itu, semua menghadap ke arah Jeng-hwa Sian-jin yang duduk di atas bangkunya, kakek gundul ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengan ke atas. Berhentilah semua suara, para pemukul tambur dan canang juga berhenti dan mereka semua menekuk tubuh ke depan memberi hormat kepada ketua mereka yang kini berdiri dengan punggung bongkok seperti iblis itu.

Mei Lan menoleh dan memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Kakek gundul itu mengucapkan kata-kata yang tidak dimengertinya, yang merupakan kata-kata rahasia perkumpulan itu sebagai isyarat kepada para anggauta untuk memuja atau bersembahyang kepada dewa bulan. Kini semua orang mengangkat kedua lengan dengan tangan terbuka dan telapak tangan menghadap bulan purnama, kemudian mereka semua mengeluarkan nyanyian yang pendek dan aneh, dengan jari-jari tangan digerak-gerakkan. Mei Lan terbelalak memandang jari-jari tangan yang menyeramkan itu dan melirik ke arah bulan. Kebetulan ada awan putih lewat di bawah bulan dan entah mengapa pemandangan ini amat menyeramkan, seolah-olah awan yang berbentuk aneh itu muncul tidak sewajarnya, seolah-olah ada hubungannya dengan gerak jari-jari tangan dan suara nyanyian pujian itu! Suasana menjadi penuh hikmat dan orang-orang yang berlutut sambil bernyanyi memuja bulan itu seperti orang-orang kesurupan, tubuh mereka mulai menggigil dan jari-jari tangan mereka seperti hidup di luar kekuasaan mereka. Wajah-wajah bertopeng menyeramkan menambah suasana menjadi makin aneh.

Sang ketua menurunkan kedua lengannya sambil berseru keras dan semua orang kini juga menurunkan lengang mereka kini kembali merighadap dan memandang kakek gundul itu.

“Anak-anakku semua...!” Suara kakek itu halus dan perlahan, akan tetapi karena dikeluarkan dengan dorongan tenaga khi-kang maka terdengar jelas oleh mereka semua dan suara itu menjadi penuh kekuatan yang bergetar. “Pada malam hari ini kita semua patut bergembira karena malam ini para dewa dan roh-roh halus telah menurunkan berkahnya yang berlimpah kepada kita. Tandanya, lihat betapa dewi bulan tersenyum ramah kepada kita dan kedua, roh-roh halus yang mencintai kita malam ini telah sengaja mengirim seorang anak dara yang berdarah murni kepada kita.”

Kakek itu menuding ke arah Mei Lan dan semua mata memandang kepada gadis ini. Banyak di antara mereka, terutama yang pria, bersorak gembira, akan tetapi ada beberapa orang, sebagian besar wanita, kelihatan meragu dan memandang dengan mata mengandung kegelisahan.

“Anak-anakku yang tercinta, harap jangan khawatir.” Jeng-hwa Sian-jin yang entah bagaimana dengan kedua matanya yang seperti buta itu dapat mengerti akan kekhawatiran ini, berkata pula. “Roh-roh halus yang menjadi sahabat-sahabat kita selalu senang dengan korban, dan sekali ini mereka telah memilih sendiri korban yang berupa dara cantik jelita dan darahnya murni ini. Darah anak ini akan mengangkat kalian setingkat lebih tinggi dan lebih dekat dengan roh-roh halus yang malam ini pasti akan berdatangan dengan bahagia.”

“Akan tetapi... saya takut dengan pembunuhan...” Terdengar suara seorang wanita di antara mereka itu.

“Saya juga takut...” Dan dua tiga orang wanita mengeluarkan suaranya yang semua menyatakan ngeri dan takut.

Jeng-hwa Sian-jin tertawa dan mengangkat kedua lengannya ke atas. “Apa artinya mati dan hidup bagi roh-roh halus dan bagi kita yang telah bersahabat baik dengan mereka? Ahh, apakah selama ini menerima ajaran-ajaranku kalian masih belum mengerti? Tidak ada yang membunuh atau dibunuh...anak dara ini hanya menyumbangkan darahnya kepada kita. Andaikata dia kemudian menjadi roh halus juga, jasanya besar dan dia akan memperoleh tempat baik dan kelak juga akan menjadi sahabat kita di antara roh-roh halus lainnya. Nah, bersyukurlah untuk kemurahan roh-roh halus itu!”

Tujuh belas orang anak buah Jeng-hwa Sian-jin bersorak dan segera diikuti oleh mereka semua. Agaknya jalan pikiran orang-orang dusun itu sudah demikian dikuasai oleh Jeng-hwa Sian-jin sehingga apapun yang diucapkan oleh kakek itu mudah saja mereka telan dan percaya bulat-bulat.

“Sekarang marilah kita mulai dengan mengundang roh-roh yang kita cintai untuk berpesta malam ini.”

Ucapan kakek ini disambut dengan sorak gembira oleh mereka semua. Dengan bantuan beberapa orang anggota dalam, kakek itu lalu memasang lilin di empat penjuru sebuah meja yang sudah dipersiapkan, kemudian memasang dupa dan bersembahyang. Setelah menaruh hio (dupa) di atas tempat dupa di meja itu, delapan orang pembantunya duduk mengelilingi meja dan menaruh tangan mereka di atas meja. Kakek gundul itu membaca mantera berulang-ulang, mengacungkan kedua tangan ke atas dan delapan orang pembantunya itu memejamkan mata. Tak lama kemudian, meja itu mulai bergerak-gerak, keempat kakinya tergetar dan perlahan-lahan mulai terangkat dari atas lantai!

Seorang pembantu lain, kakek berambut dan bermuka pucat yang merupakan pembantu utama dari Jeng-hwa Sian-jin, maju sambil membawa sebuah keranjang yang sudah diperlengkapi seperti kalau orang membuat jailangkung. Keranjang itu sudah dipasangi kayu melintang seperti dua lengan, diberi baju dan di tengahnya dipasangi sebatang pensil bulu.

Jeng-hwa Sian-jin mengambil keranjang ini dan meletakkan keranjang di atas meja yang sudah bergerak-gerak itu, kemudian dia menyalakan dupa, bersembahyang dan menancapkan dupa di bagian atas keranjang. Dua orang pembantu maju memegangi keranjang dari kanan kiri dan setelah mereka membaca mantera, keranjang itupun mulai bergoyang-goyang!

Para anggota memandang semua ini dengan sinar mata penuh takjub dan kagum, dan kini mereka diperbolehkan maju seorang demi seorang untuk minta kepada setan keranjang itu memanggilkan roh seorang yang mereka cintai, yaitu orang-orang yang telah mati. Ada yang memanggil roh ayahnya, ibunya atau saudara atau teman-teman mereka yang sudah mati. Setiap kali seorang anggauta memanggil roh, keranjang itu bergerak-gerak, pensil di tengahnya ikut bergerak dan setelah dicelupkan tinta lalu pensil itu menuliskan sebuah nama, yaitu nama roh orang yang dipanggil, ke atas kain putih yang sudah disediakan di depannya!

Kini sudah dipanggil berpuluh-puluh roh halus dan mulailah ada yang kesurupan. Ada yang tiba-tiba jatuh dan berkelojotan, ada yang tertawa-tawa dan keadaan di situ tak lama kemudian menjadi amat menyeramkan bagi Mei Lan yang sejak tadi menonton sambil terlentang. Semua orang itu telah kesurupan atau kemasukan roh! Kacau-balau di situ, tingkah laku mereka seperti orang-orang gila.

“Dipersilakan sahabat-sahabat roh halus yang hadir untuk menikmati hidangan!” Terdengar Jeng-hwa Sian-jin berseru dan mulailah para anggota itu menyerbu hidangan-hidangan di atas meja-meja tadi dengan tingkah laku kasar, seolah-olah mereka itu sudah lama sekali tidak pernah makan. Mereka makan dengan lahap, menuang arak ke dalam mulut dan tempat itu menjadi kacau tidak karuan.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring seorang laki-laki. “Penjahat-penjahat keji, bebaskan gadis itu!”

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang gagah perkasa gerakannya, berpakaian sederhana berwarna kuning, dan pemuda ini langsung melangkah ke arah Mei Lan yang terikat di atas dipan.

“Berhenti!” Tiba-tiba para pembantu Jeng-hwa Sian-jin bergerak dan sudah menghadang di depan pemuda itu. Delapan orang sudah mengurungnya dipimpin oleh kakek berambut putih, karena para pembantu yang lain masih berada di sekeliling meja tadi dalam keadaan tidak sadar.

“Siapakah engkau berani mengotori tempat upacara kami yang suci?” Bentak kakek berambut putih tadi sambil memandang dengan mata melotot kepada pemuda itu.

“Aku siapa bukan soal penting. Akan tetapi kalian telah menawan seorang gadis yang tidak berdosa dan aku mendengar tadi hendak dijadikan korban dalam upacara sembahyang setan ini. Lepaskan dia, kalau tidak terpaksa aku akan turun tangan dan membasmi perkumpulan setan ini!”

“Tangkap dia!” Tiba-tiba Jeng-hwa Sian-jin yang sejak tadi hanya menonton, kini berteriak marah.

Delapan orang itu menubruk maju akan tetapi terdengar suara mereka mengaduh berturut-turut dan tubuh mereja terlempar ke belakang ketika pemuda itu sudah menggerakkan kaki tangannya, cepat dan kuat bukan main gerakannya sehingga dalam segebrakan saja delapan orang itu telah mendapat bagian pukulan atau tendangan. Kemudian dia meloncat mendekati dipan di mana Mei Lan rebah terlentang.

“Bocah lancang...!” Terdengar suara kakek berambut putih dan tubuhnya menerjang maju.

Mendengar datangnya angin pukulan yang dahsyat juga, pemuda itu membalik, lalu menggunakan tangan menangkis pukulan kakek itu.

“Dukkkk!” Kakek itu terkejut karena tangan itu kuat sekali, dan si pemuda sudah cepat menggerakkan kaki menendang, akan tetapi dapat ditangkis pula oleh si kakek rambut putih. Sementara itu, delapan orang yang tadi roboh sudah bangun kembali dan bahkan mereka yang tadi bertugas memanggil roh telah disadarkan oleh ketua mereka dan kini ikut mengepung pemuda itu. Bahkan mereka telah memegang senjata masing-masing dengan sikap mengancam. Anehnya, para penduduk dusun laki-laki dan wanita melihat ini seperti tidak perduli atau tidak melihat saja dan mereka itu masih makan minum dengan gembira dan dengan sikap kasar seperti orang-orang yang tidak waras lagi otaknya.

“Tahan... jangan bunuh dia...!” Tiba-tiba Jeng-hwa Sian-jin berseru dan dengan beberapa loncatan saja dia sudah tiba di tempat itu, membuka kepungan dan menghadapi pemuda itu.

Sejenak kedua orang itu saling pandang dan jelas bahwa wajah kakek itu membuat si pemuda perkasa menjadi ngeri dan jijik.

“Orang muda, aku adalah Jeng-hwa Sian-jin, ketua dari Jeng-hwa-pang yang saat ini sedang mengadakan upacara sembahyangan. Siapa engkau orang muda yang berani mengganggu upacara suci kami?” tanyanya, suaranya halus dan penuh wibawa.

“Namaku Tio Sun dan aku kebetulan saja lewat di tempat ini. Pangcu, aku sama sekali tidak akan mencampuri urusan orang lain, apalagi mengganggu upacara sembahyanganmu betapapun anehnya itu. Akan tetapi melihat bahwa engkau telah menawan seorang gadis, tentu saja aku tidak dapat mendiamkannya dan aku menuntut agar gadis ini dibebaskan sekarang juga!”

“Ha-ha-ha, engkau tidak tahu, orang muda. Eh, Tio Sun, ketahuilah bahwa gadis ini memang dipilih oleh roh-roh halus untuk menjadi korban, dan engkau sendiri, Tio Sun, kedatanganmu ini adalah atas kehendak roh-roh halus yang malam ini datang sebagai undangan kami. Engkau seorang pemuda perkasa, seorang perjaka murni yang tentu akan menggembirakan roh-roh wanita yang malam ini hadir.”

Pemuda itu mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang tajam. “Apa...apa maksudmu...?” Dia bertanya bingung dan melihat kakek itu kini menggerakkan kedua tangan ke atas, dengan jari-jari tangan bergerak cepat den mulut berkemak-kemik, dia bertanya lagi, “Apa... yang kaulakukan itu...?”

Pemuda itu boleh jadi seorang yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, akan tetapi agaknya dia belum berpengalaman menghadapi ahli-ahli sihir seperti Jeng-hwa-pang ini. Tanpa disadarinya, perhatiannya itu membuat dia terjebak dalam perangkap kakek lihai itu.

“Tio Sun...berlututlah...engkau pemuda pilihan roh-roh halus...berlututlah, karena engkau tak mungkin melawan kekuatan roh-roh halus yang memancar melalui sinar bulan purnama... berlututlah engkau...!”

Sungguh luar biasa sekali. Pemuda itu menjatuhkan dirinya berlutut! Melihat ini, Mei Lan yang tadinya sudah merasa girang karena ada orang datang hendak menolongnya, tiba-tiba menjerit, “Jangaaannn...!” Akan tetapi terlambat karena pemuda itu telah tunduk dan dicengkeram kekuatan gaib yang pada saat itu memenuhi suasana tempat itu.

“Tio Sun, engkau tidak akan melawan, engkau telah dipilih untuk menyenangkan hati para roh halus. Engkau layani mereka bersenang-senang dan engkau tidak ingat apa-apa lagi kecuali hanya menjadi pelayan mereka...” Suara ketua yang berkepala gundul itu penuh getaran. “Engkau mengerti...?”

Tio Sun yang masih berlutut menjawab dengan anggukan, “Aku mengerti...” Jeng-hwa Sian-jin tertawa dan meninggalkan Tio Sun yang masih berlutut di tempat itu. “Dia tidak berbahaya lagi dan akan menambah kemeriahan pesta nanti.” katanya kepada anak buahnya. Pesta makan minum dilanjutkan sampai habis semua masakan dan minuman di atas meja.

Atas isyarat ketua gundul itu, dua orang anak buahnya menabuh tambur dan canang, dan dengan mata terbelalak Mei Lan melihat mereka semua kini bangkit dan menari-nari! Tarian lenggak-lenggok tidak karuan, hanya mengikuti irama tambur dan canang, akan tetapi makin lama makin bersemangat mereka menari-nari, dan sebagian besar menari dengan mata terpejam. Kemudian mulailah baju-baju beterbangan karena mereka itu mulai menanggalkan baju mereka sambil menari terus dan terdengar suara ketawa cekikikan ketika beberapa orang wanita yang hampir telanjang menghampiri Tio Sun yang masih berlutut, kemudian lima enam orang wanita itu sambil tertawa cekikikan mengeroyok pemuda ini, ada yang menciumi, memeluk dan ada yang mulai merenggut-renggut pakaian pemuda itu. Dan yang lain-lain juga sudah memilih pasangan masing-masing dan terjadilah hal-hal mengeriken di tempat itu. Mei Lan tidak kuat memandang terus karena mereka itu ada yang mulai menanggalkan seluruh pakaiannya bertelanjang bulat tanpa malu-malu lagi dan di atas semua kebisingan suara mereka, terdengar suara ketawa Jeng-hwa Sian-jin!

“Siancai...siancai...betapa kotornya tempat ini...! Hai manusia-manusia tersesat, ingatlah akan kemanusiaan kalian...!” Ucapan yang tiba-tiba terdengar ini disusul pekik melengking yang amat dahsyat, yang mengejutkan semua orang bahkan membuat mereka roboh terguling seperti disambar petir.

Tio Sun juga terkejut dan lebih kaget lagi ketika dia baru sekarang sadar akan keadaannya, di-“keroyok” oleh enam orang wanita yang setengah telanjang, bahkan ada yang telanjang bulat sama sekali, sedangkan dia sendiripun hampir telanjang.

“Aihhhh...!” Dia berteriak keras dan enam orang wanita itu terjangkang ke kanan kiri ketika pemuda itu meronta dan mendorong, kemudian sambil membereskan pakaiannya, Tio Sun meloncat dan menyambar pedangnya yang tadi menggeletak tak jauh dari situ.

Ketika pemuda itu menoleh ke arah gadis yang tadi terbelenggu di atas dipan, dia melihat seorang kakek tua renta berpakaian putih, rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, menghampiri dipan itu. Dia dapat menduga bahwa tentu kakek aneh inilah yang tadi mengeluarkan teriakan-teriakan dahsyat itu. Dia melihat betapa kakek gundul Jeng-hwa Sian-jin, mengeluarkan seruan keras sekali menerjang kakek berpakaian putih, sambil menggerakkan tongkat ular di tangannya.

“Plakk...krekkk...desssss!” Kakek berpakaian putih ini hanya mengangkat lengannya menangkis dan tongkat ular itu patah-patah dan Jeng-hwa Sian-jin terlempar ke belakang.

“Si keparat laknat!” Jeng-hwa Sian-jin berseru dan kini dia berdiri berhadapan dengan kakek berpakaian putih yang kelihatan tenang-tenang saja itu.

“Sababat, kau insyaflah betapa kedua kakimu sudah berada di lumpur kesesatan! Masih belum terlambat bagi siapapun untuk keluar dari lumpur kesesatan, kembali ke jalan kebenaran,” kakek itu berkata, suaranya halus dan lembut.

Akan tetapi Jeng-hwa Sian-jin mengeluarkan suara gerengan, seperti seekor srigala terluka. “Manusia sombong, lihatlah ini...dan engkau akan mati menjadi setan penasaran!”

Tio Sun mengeluarken seruan kaget dan Mei Lan menjerit ketakutan ketika dari kedua tangan kakek itu kini muncul seekor binatang seperti naga, matanya bercahaya, mulutnya mengeluarkan api bernyala-nyala dan naga itu menerkam ke arah si kakek yang menghadapinya dengan tenang. Kembali kakek itu hanya mengangkat tangannya menangkis, menyambut naga yang dahsyat itu sambil berseru, “Siancai...! Segala kepalsuan akan menghancurkan diri sendiri, orang murtad!”

“Darrr...!” Naga itu meledak dan lenyap, dan Jeng-hwa Sian-jin terbanting ke atas tanah, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah dan dia berkelojotan seperti orang sekarat! Kakek itu menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan sekali raba saja belenggu kaki dan tangan Mei Lan patah semua.

“Lociainpwe, teecu Yap Mei Lan menghaturkan terima kasih...” Dara remaja itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang memandangnya dengan tersenyum.

Sementara itu, orang-orang dusun yang tadi sekaligus sadar kembali dan seolah-olah semua ibils dan roh jahat yang memasuki tubuh mereka lari minggat terusir oleh pekik dahsyat dari kakek tadi, kini kelihatan panik, mencari pasangan atau suami isteri masing-masing, menyambar pakaian mereka dan lari pontang-panting meninggalkan tempat itu untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.

Setelah berada dalam keadaan sadar, tentu saja mereka menjadi ketakutan melihat pertempuran tadi. Apalagi ketika anak buah Jeng-hwa-pang yang tujuh orang itu kini sudah berteriak-teriak marah melihat ketua mereka roboh dan dengan senjata di tangan mereka sudah maju untuk menerjang kakek berpakaian putih itu.

Bahagia hanya dapat dirasakan oleh orang yang bebas dari segala ikatan, baik ikatan lahir maupun ikatan batin. Bukan berarti bahwa kita harus acuh atau tidak perduli, sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya, orang yang bebas dari segala ikatan memperhatikan apapun yang terjadi di luar dan dalam dirinya tidak dapat memilih-milih dan pilih kasih. Orang yang bebas dari ikatan adalah orang yang sendirian, bukan berarti mengasingkan diri. Ikatan hanya memperbudak diri.

Cia Giok Keng tinggal di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Pegunungan Tapie-san, bersama suaminya, Lie Kong Tek den dua orang anaknya. Mereka mempunyai dua orang anak, yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Lie Seng, sedangkan yang kedua adalah seorang perempuan yang diberi name Lie Ciauw Si. Lie Seng barusia dua belas tahun sedangkan adiknya berusia sepuluh tahun.

Selama belasan tahun berumahtangga, suami isteri ini hidup dengan rukun dan tenteram di kota itu. Lie Kong Tek bekerja sebagai pedagang kayu bangunan yang banyak terdapat di Tapie-san dan seringkali mengirimkan kayu-kayu balok melalui Sungai Huai ke kota-kota lain. Kebidupan keluarga Lie ini tenteram dan cukup, dan barulah timbul gelombang dalam kehidupan mereka ketika mereka menerima undangan tokoh Go-bi-pai, yaitu Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han. Di tempat ini, tanpa disangka-sangka, Giok Keng bentrok dengan Yap In Hong, adik Kun Liong yang telah bersikap keras dan dianggap menghina adik kandungnya di depan umum. Maka sepulangnya dari kota itu, Giok Keng yang memang berwatak keras itu segera pergi ke Leng-kok dengan maksud mengunjungi Kun Liong den menegur adik pendeker ini. Akan tetapi Kun Liong kebetulan tidak ada dan terjadilah peristiwa hebat di rumah pendekar itu yang mengakibatkan kematian Hong Ing.

Ketika Kun Liong, Kok Bang Lama, dan dua orang pembantu rumah tangga Kun Liong tiba di depan rumah mereka, Giok Keng den suaminya cepat keluar menyambut. Wajah Giok Keng merah sekali tanda bahwa dia merasa terguncang hatinya karena dia maklum bahwa tentu Kun Liong datang untuk menegurnya yang pernah marah-marah kepada isterinya, bahkan telah memukul pingsan isteri Kun Liong di dalam pertempuran antara mereka. Akan tetapi karena hatinya masih panas teringat akan sikap adik pendekar ini di dalam pesta, dia tidak merasa menyesal, bahkan begitu berjumpa dia lantas menudingkan telunjuknya kepada Kun Liong sambil berkata. “Yap Kun Liong, bagus sekali ya perbuatan adikmu yang bernama In Hong itu...!”

Akan tetapi sebelum Kun Liong menjawab, Kok Beng Lama sudah melangkah maju dan berkata dengan suara nyaring, matanya terbelalak lebar, “Apakah engkau yang bernama Cia Giok Keng?”

Giok Keng terkejut, memandang pendeta berbaju Lama berwarna merah ini, meragu, kemudian bertanya, “Siapakah locianpwe ini?”

“Dia adalah ayah mertuaku, Kok Beng Lama...”

“Guru Bun Houw...?” Giok Keng terkejut dan memberi hormat, juga suaminya memberi hormat.


Tidak perlu banyak penghormatan yang palsu itu. Cia Giok Keng, engkau tentu pernah mendengar bahwa Pek Hong Ing adalah anakku, bukan?” Pendeta itu bertanya, suaranya kaku dan dingin.

Giok Keng mengangguk dan tahulah dia sekarang mengapa kakek yang dia dengar adalah guru dari Bun Houw, seorang pendeta Lama di Tibet yang sakti ini, datang bersama Kun Liong. Agaknya kakek inipun hendak mencampuri urusan itu!

“Cia Giok Keng, demi Tuhan dan segala dewa, mengapa engkau membunuh anakku?”

Giok Keng terkejut sekali dan menoleh kepada Kun Liong dengan penuh pertanyaan. Juga Lie Kong Tek yang sejak tadi hanya mendengarkan, mendengar bentakan kakek itu menjadi kaget sekali dan dia sudah melangkah maju dan bertanya kepada Kun Liong. “Saudara Kun Liong, apa artinya semua itu? Siapa membunuh siapa?”

Kun Liong menjawab sambil memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh selidik. “Yang terbunuh adalah isteriku, Hong Ing. Dan yang membunuh agaknya adalah Giok Keng...”

“Ihhh...!” Giok Keng berseru kaget sekali, matanya terbelalak memandang Kun Liong.

“Ahhh...?” Lie Kong Tek sebaliknya kini menoleh dan memandang isterinya dengan alis berkerut. Isterinya telah menceritakan kepadanya tentang kunjungannya ke Leng-kok dan tentang percekcokannya dengan isteri Kun Liong. Isterinya yang jujur menceritakan segalanya, betapa dalam kemarahannya dia membuka rahasia Mei Lan sehingga nyonya Kun Liong marah dan mereka bertanding sampai akhirnya dia merobohkan Hong Ing sehingga pingsan bersama dua orang pelayannya. Untuk itu, Lie Kong Tek telah menegur isterinya dengan keras den dia bersedia untuk minta maaf kepada Kun Liong. Siapa tahu sekarang kenyataannya bahkan lebih hebat lagi. Isteri Kun Liong tewas den yang disangka menjadi pembunuhnya adalah Giok Keng.

“Bukan agaknya lagi!” Kok Beng Lama berkata. “Jelas bahwa nyonya muda yang keras hati inilah yang membunuh anakku. Cia Giok Keng, hayo jawab mengapa engkau membunuh anakku?”

“Tidak...! Tidak...! Aku tidak membunuhnya!” Wajah Giok Keng menjadi pucat sekali karena dia tidak mengira bahwa Hong Ing akan dibunuh orang pada malam hari itu juga setelah dia pergi meninggalkan rumahnya.

“Hemm, membohongpun tidak ada gunanya, lebih baik berterus terang!” Kok Beng Lama berkata lagi dengan nada penuh ancaman.

Melihat ayah mertuanya kelihatan tak sabar lagi itu, Kun Liong merasa khawatir dan dia cepat berkata, “Giok Keng, di antara kita semua terdapat hubungan yang amat erat, bahkan ayah mertuaku adalah guru dari adikmu. Oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau ceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi antara engkau dan mendiang isteriku.”

Lie Kong Tek melihat kebijaksanaan ini, maka diapun menjura ke arah Kok Beng Lama sambil berkata, “Harap locianpwe dan saudara Kun Liong suka duduk di dalam agar dapat kita membicarakan urusan ini dengan baik.”

Akan tetapi dengan mata melotot dan lambaian tangan tidak sabar, Kok Beng Lama membentak, “Tidak perlu! Hayo cepat ceritakan!”

Giok Keng adalah seorang wanita yang berhati keras dan tidak mengenal takut. Melihat sikap kakek itu, diapun menjadi penasaran dan segera dia menceritakan tentang pertemuannya dengan Yap In Hong di tempat pesta dari Phoa Lee It. Setdah menuturkan peristiwa itu panjang lebar, dia mengakhiri dengan ucapan marah kepada Kun Liong, “Kaupikir saja, Kun Liong. Adikmu menghina aku di muka umum, menghina Bun Houw seperti itu. Kalau tidak ada suamiku yang mencegah, tentu antara aku dan adikmu sudah terjadi pertempuran di tempat pesta itu! Hati siapa yang tidak menjadi marah? Adikku, Cia Bun Houw direncanakan akan dijodohkan dengan adikmu, akan tetapi adikmu itu menghina adikku di muka umum. Maka aku lalu mengunjungimu di Leng-kok dengan maksud untuk menegur agar kau dapat menghukum adikmu yang lancang mulut itu. Akan tetapi engkau tidak ada, dan aku dalam kemarahanku memaki-maki engkau dan adikmu. Isterimu membela dan kami bertempur.”

“Hemmm... dan kau mengandalkan kepandaianmu membunuh anakku!” Kok Beng Lama membentak.

“Tidak, aku tidak membunuhnya!” Giok Keng membalik, menghadapi kakek itu dan balas membentak.

“Giok Keng, dua orang pelayan ini menjadi saksi betapa engkau dan Hong Ing bertanding, bahkan merekapun roboh pingsan kaupukul... dan anakku, Mei Lan, mengapa pula dia lari dan sampai sekarang belum kembali?” Kun Liong menuntut.

Giok Keng teringat akan hal itu. Dia merasa bersalah akan tetapi dengan terus terang dia berkata lantang, “Karena hatiku panas sekali dan engkau yang manjadi orang yang kucari tidak ada, maka ketika anakmu itu hendak membela ibunya, aku terlanjur mengeluarkan kata-kata bahwa dia bukanlah anak kandung isterimu. Anak itu lalu melarikan diri...”

“Ahhh...!” Kun Liong berseru dan mukanya menjadi merah. “Kau sungguh keterlaluan sekali, Giok Keng! Anak itu tidak bersalah apa-apa dan isterikupun tidak berdosa, mengapa engkau...”

“Aku tidak membunuhnya! Dia memang roboh dan pingsan, aku lalu pergi... aku tidak membunuhnya.”


Dia bohong...!” Khiu-ma menudingkan telunjuknya. “Tidak ada orang lain di rumah itu, dan setelah kami berdua pingsan, begitu kami sadar kami melihat nyonya telah tewas...! Siapa lagi kalau bukan dia yang membunuhnya? Engkau wanita kejam sekali!” Khiu-ma lalu menangis.

“Cia Giok Keng, engkau telah membunuh anakku, maka sudah selayaknya kalau aku sekarang membunuh engkau!”

“Locianpwe, harap jangan sembarangan menuduh! Aku memang telah merobohkannya sampai pingsan, akan tetapi aku tidak membunuh Hong Ing! Sampai matipun aku tidak akan mengaku, karena aku memang tidak membunuhnya.”

Kok Beng Lama sudah bergerak ke depan, akan tetapi Kun Liong cepat menghadang di depan ayah mertuanya itu sambil berkata, “Harap gak-hu bersabar...”

“Keparat! Anakku dibunuh orang dan kau minta aku bersabar?”

“Gak-hu, saya percaya bahwa gak-hu tidak akan bertindak ceroboh dan mempersulit persoalan ini. Biarpun saksi-saksi memberatkan dan keadaannya seolah-olah Giok Keng yang membunuh isteri saya, akan tetapi Giok Keng tidak mengaku dan buktipun tidak ada. Kalau sekarang gak-hu membunuh dia, bukankah keadaan menjadi berlarut-larut? Ingatlah, dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai...”

“Aku tidak takut! Biar ketua Cin-ling-pai dan senenek moyangnya maju, aku tidak takut membalas kematian anakku!”

“Gak-hu, ingatlah. Locianpwe Cia Keng Hong adalah seorang yang berjiwa besar, seorang pendekar yang terkenal bijaksana dan budiman. Sedangkan Bun Houw adalah murid gak-hu sendiri, bagaimana gak-hu kini akan membunuh kakaknya begitu saja? Sebaiknya kita besikap bijaksana, mengajak Giok Keng untuk menghadap ke Cin-ling-pai. Di sana kita minta keadilan dan saya pereaya bahwa Cia-locianpwe tentu akan memberi keputusan yang seadil-adilnya.”

Reda juga kemarahan Kok Beng Lama. Dia mangangguk dan menarik napas panjang. “Omonganmu benar juga. Hayo kita bersama ke Cin-ling-pai menuntut keadilan.”

“Giok Keng, kuharep engkau suka ikut bersama kami ke Cin-ling-pai menghadap ayahmu agar persoalan ini dapat diputuskan dengan seadil-adlinya.” Kun Liong berkata kepada Glok Keng.

Akan tetapi Giok Keng memandang kepadanya dengan marah. “Tidak sudi, aku tidak bersalah, dan aku tidak sudi menjadi tawanan. Aku akan menghadap sendiri kepada ayah kalau perlu!”

“Giok Keng, kalau begitu engkau tidak ingin membereskan persoalan!”

“Kun Liong, yang mati adalah isterimu, maka engkaulah yang mempunyai persoalan. Aku tidak membunuh isterimu, aku tidak mempunyai persoalan apa-apa!”

“Hemm, perempuan galak ini harus dipaksa!” Kok Bang Lama membentak marah. Memang watak Kok Bang Lama dan Cia Giok Keng sama kerasnya, maka jika keduanya dipertemukan sebagai flhak yang bertentangan, tentu saja terjadi geger.

“Bagus! Hendak kulihat siapa yang akan berani memaksaku!” Giok Keng sudah meloncat ke belakang sambil menghunus pedangnya. Pedang Gin-hwa-kiam mengeluarkan sinar putih berkilat ketika dicabut.

“Bocah sombong dan keras kepala!” Kok Beng Lama menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya. Giok Keng, yang sudah marah cepat menyambuthya dengan pedang dkelebatkan.

“Giok Keng, jangan...!” Kun Liong sudah mencegah, akan tetapi terlambat karena wanita itu dengan penuh kemarahan sudah menyerang dengan pedangnya, menyambut terjangan Kok Beng Lama dengan sinar pedang bergulung-gulung.

Akan tetapi Giok Keng tidak tahu akan kesaktian kakek raksasa itu. Biarpun usia kakek ini sudah delapan puluh tahun lebih namun tenaganya tidak menjadi berkurang, bahkan tubuhnya menjadi kebal. Pedang Gin-hwa-kiam yang merupakan pedang pusaka tajam dan ampuh itu disambut begitu saja dengan tangannya sehingge Giok Keng menjadi terkejut sekali.

“Tak-tak... plakkk!”

Giok Keng terhuyung ke belakang ketika pedangnya tertangkis oleh lengan tangan Kok Bang Lama. Tangannya yang memegang pedang tergetar hebat dan dia terkejut bukan main. Pada saat itu Kun Liong yang khawatir kalau-kalau ayah mertuanya yang keras hati itu membunuh Giok Keng, sudah mendahului Kok Beng Lama, meloncat ke arah Giok Keng, dan mencengkeram ke arah pundak wanita itu.

“Kun Liong, berani engkau menghinaku!” Giok Keng membentak dan pedangnya berkelebat membabat kearah lengan pendekar itu. Namun itulah yang dikehendaki oleh Kun Liong. Cengkeramannya tadi hanya merupakan pancingan saja agar wanita itu menangkis, dan menggerakkan pedang. Begitu pedang berkelebat, Kun Liong sudah menggerakkan tangannya dengan cepat sekali, lebih cepat dari pedang itu, dengan tenaga Pek-in-ciang dia menggetarkan siku kanan Giok Keng sehingga wanita itu menjerit dan pedangnya terlepas karena lengannya mendadak menjadi lumpub, kemudian sebelum dia dapat megelak, Kun Liong telah menotok pundaknya dan Giok Keng menjadi lemas tentu roboh kalau saja tidak cepat disambut oleh tangan Kun Liong.

Lepaskan isteriku!” Lie Kong Tek yang melihat isterinya dirobohkan, sudah mencabut pedang Gin-hong-kiam yang juga bersinar perak, melompat dan menerkam ke arah Kun Liong dengan tusukan pedangnya. Akan tetapi dari samping menyambar angin dahsyat. Kiranya Kok Beng Lama sudah menggunakan kekuatan sin-kangnya untuk mendorong dari samping. Pukulan ini biarpun hanya dilakukan dari jarak jauh, tapi sedemikian hebatnya sehingga tubuh Lie Kong Tek terlempar dan pedangnya terlepas, orangnya terbanting dan pingsan!

“Mari kita pergi!” Kok Beng lama barkata. Kun Liong memondong tubuh Giok Keng dan pergilah dia bersama Kok Beng Lama, diikuti oleh Khiu-ma dan Giam Tun dua orang pelayannya itu.

“Ayah...!”

“Ibu...! Ibu ke mana...?”

Dua orang anak kecil, Lie Song dan Lie Ciauw Si, berlari-lari keluar dari dalam rumah dan melihat ayahnya menggeletak di atas tanah di pekarangan depan, mareka lalu berlutut dan mengguncang-guncang tubuh ayahnya sambil memanggil-manggil. Tak lama kemudian para pelayan dan tetangga mereka berlarian keluar dan segera mengangkat tubuh Lie Kong Tek masuk ke dalam rumahnya.

Setelah siuman dari pingsannya, Lie Kong Tek hanya menggeleng kepala terhadap pertanyaan para pelayan dan tetangga. Dia merasa khawatir sekali akan keselamatan isterinya. Maka setelah dia menyerahkan kedua orang anaknya dalam asuhan para pelayan, suami yang gelisah ini lalu membawa pedangnya dan berangkat menyusul ke Cin-ling-san!

***

Hukum karma merupakan sebab dan akibat yang saling membelit, merupakan mata rantai atau lingkaran setan yang tiada habisnya jika kita melibatkan diri ke dalamnya. Suatu peristiwa yang oleh kita dianggap sebab tentu menimbulkan akibat, dan kalau kita terseret di dalamnya, akibat inipun menjadi sebab dari akibat lain pula yang akan datang! Sebab dan akibat bersambung terus tak ada habisnya, seperti masa lalu bersambung ke masa kini memasuki masa depan, terus bersambung karena kita sendiri yang menyambungnya! Kita sendiri yang menghubungkannya. Suatu peristiwa adalah suatu peristiwa, apakah dia menjadi sebab ataukah akibat, tergantung dari kita yang menilainya. Segala sesuatu tentu saja menjadi ada kalau kita mengadakannya, menjadi persoalan atau problem kalau kita mempersoalkannya. Betapa akan bahagianya kalau kita dapat menghadapi setiap peristiwa apapun, menyenangkan atau sebaliknya, seperti apa adanya dan selesai pada seat itu juga! Bukan sebab, bukan pula akibat, melainkan hanya suatu peristiwa, suatu kejadian, suatu kewajaran yang tidak meninggalkan bekas apa-apa.

Cin-ling-san masih diliputi keadaan berkabung, masih diliputi suasana duka nestapa semenjak peristiwa pencurian pedang Siang-bhok-kiam dan kematian tujuh orang anggauta Cap-it Ho-han dan seorang anak murid. Cia Keng Hong, pendekar sakti yang menjadi ketua Cin-ling-pai, bersama isterinya, tinggal di Cin-ling-san dengan hati penuh keprihatinan, menanti-nanti datangnya berita dari putera mereka, Cia Bun Houw, bersama empat orang murid kepala yaitu empat orang dari Cap-it Ho-han yang secara terpisah melakukan penyelidikan, mencari Lima Bayangan Dewa yang telah melakukan pencurian pedang dan pembunuhan itu.

Isteri ketua Cin-ling-pai itu, yang bernama Sie Biauw Eng biarpun sudah barusia enam puluh tahun, namun masih ada sisa kekerasan hatinya dan merasa tidak puas mengapa suaminya tidak bersama dia melakukan penyelidikan sendiri, melainkan membiarkan putera mereka yang belum berpengalaman itu pergi melakukan penyelidikan.

“Isteriku, tidak semestinya kalau kita berdua yang sudah tua mencari permusuhan.” Cia Keng Hong menghibur isterinya.

“Siapa mencari permusuhan? Kita tinggal dengan tenteram di sini, orang lain yang datang membunuh anak murid kita dan mencuri pedang pusaka! Merekalah yang mencari permusuhan,” bantah isterinya.

Cia Keng Hong menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. “Aku tahu, akan tetapi aku mempunyai perasaan bahwa Lima Bayangan Dewa itu tentulah ada hubungannya dengan musuh-musuh yang telah kita basmi di masa yang lalu. Kalau tidak ada dendam sakit hati, tidak mungkin mereka itu tanpa suatu sebab melakukan perbuatan keji itu. Aku sudah merasa menyesal sekali mengapa di waktu muda dahulu aku terlalu mengandalkan kepandaian, menanam bibit permusuhan dengan banyak orang sehingga kini setelah tua, aku dimusuhi orang.”

“Hemm, apakah setelah tua engkau menjadi penakut?” isterinya menegur.

“Sama sekali tidak. Kalau aku seorang yang dimusuhi, hal itu sudah lumrah dan akan kuhadapi dengan tabah karena memang sudah semestinya kalau aku yang menanam dan sekarang aku pula yang memetik buahnya. Akan tetapi celakanya, murid-murid yang tidak tahu apa-apa terseret ke dalam akibat dari perbuatanku di waktu dahulu...”

“Sudahlah, suamiku, yang penting adalah bahwa kita sejak muda dahulu sampai tua sekarang, berada di fihak yang benar! Kita membasmi orang-orang jahat, biar mereka itu akan mendendam sakit hati dan melakukan pembalasan, akan tetapi sampai matipun kita akan terus menentang kejahatan. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang pendekar?”

Kembali ketua Cin-ling-pai itu menghela napas panjang dan mengelus jenggotnya. “Memang demikianlah pendirian kita. Kita menganggap diri sendiri benar. Akan tetapi sayangnya, orang lainpun, termasuk orang-orang yang kita musuhi, juga menganggap mereka benar. Siapakah yang benar kalau kedua fihak sudah merasakan kebenaran masing-masing? Kita semua hanya terseret oleh kekacauan dunia yang melahirkah semua perbuatan yang jahat, isteriku. Tidak mungkin kejahatan di dunia ini dapat dibasmi dengan kekerasan, karena sebab-sebab timbulnya kejahatan itu masih ada. Seribu macam kejahatan boleh dibasmi, akan tetapi seribu macam kejahatan yang lain lagi akan timbul, seperti halnya penyakit. Penyakit yang sudah timbul dapat diobati dan disembuhkah, namun penyakit-penyakit lain akan bermunculan dan perang terhadap penyakit tidak akan pernah habis, seperti juga perang terhadap kejahatan. Tidak, isteriku, kejahatan tidak akan pernah habis selama kejahatan itu dapat memasuki hati siapapun juga. Yang hari ini baik, mungkin besok menjadi jahat, sebaliknya yang hari ini jahat, besok mungkin menjadi baik. Kejahatan seperti penyakit, orang yang melakukan kejahatan seperti orang yang sedang sakit, tentu saja orang sakit bisa sembuh, sebaliknya, yang waraspun sewaktu-waktu bisa saja jatuh sakit!”

Jadi engkau hendak mengatakan bahwa orang-orang seperti kita inipun sekali waktu bisa saja jatuh sakit, maksudmu menjadi jahat?”

“Mengapa tidak, isteriku? Kejahatan hanya suatu penyelewengan, bukan milik orang-orang tertentu, seperti juga penyakit, siapapun bisa saja terkena kalau tidak waspada. Siapapun bisa menyeleweng dari kebenaran kalau terdorong oleh sebab-sebab dari kejahatan.”

“Dan apakah sebab kejahatan, suamiku? Engkau bicara seperti bukan seorang pendekar saja, seperti seorang pendeta!”

“Aihh, pendekar maupun pendetapun hanya manusia-manusia biasa saja yang tidak akan terluput daripada ancaman penyakit itu. Penyebab semua kejahatan sumbernya berada di dalam diri sendiri, isteriku, didorong oleh nafsu-nafsu berupa kebencian, kemarahan, iri hati, dendam yang kesemuanya menyeret kita ke dalam lembah pertentangan dan permusuhan, maka timbul perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain dan karena ini oleh yang dirugikan disebutlah kejahatan. Oleh karena itu, baik ia pendekar maupun pendeta, setiap saat dapat saja kejangkitan penyakit itu kalau dia tidak waspada setiap saat terhadap dirinya sendiri.”

Percakapan mereka terpaksa berhenti ketika seorang anak murid Cin-ling-pai dengan sikap tegang melaporkan bahwa di luar terdapat tamu-tamu yang ingin bertemu dengan ketua Cin-ling-pai dan isterinya! Melihat sikap anak murid yang mukanya agak pucat dan sinar matanya mengandung ketegangan itu, Cia Keng Hong cepat berkata kepada isterinya, “Mari kita keluar!”

Sie Biauw Eng sudah mengenal benar sikap suaminya, maka begitu suaminya mengeluarkan kata-kata itu, diapun menjadi waspada karena tentu ada sesuatu yang menegangkan hati suaminya. Tanpa banyak cakap diapun mengikuti suaminya keluar menyambut tamu yang sudah berada di ruangan depan dan agaknya telah dipersilakan duduk oleh anak murid Cin-ling-pai yang menjaga di luar.

Begitu mereka kduar, Kun Liong telah membebaskan totokan pada tubuh Giok Keng dan nyonya ini terhuyung-huyung menyebut ayah bundanya, menjatuhkan diri berlutut, dan berkata dengan suara terisak, “Ayah... ibu... mereka telah menghinaku...!”

Melihat puterinya berlutut dan menangis, Biauw Eng terkejut sekali. Nenek ini juga berlutut dan merangkul puterinya. “Keng-ji, apa yang terjadi...?” Akan tetapi Giok Keng tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena dia sudah menangis tersedu-sedu.

Cia Keng Hong yang melihat bahwa yang datang adalah Yap Kun Liong dan Kok Beng Lama bersama dua orang yang kelihatannya sebagai pelayan biasa, menjadi terkejut dan juga terheran-heran. Cepat dia menjura dengan hormat kepada Kok Beng Lama sambil berkata, “Kiranya losuhu Kok Beng Lama yang datang dan engkau Kun Liong. Agaknya ada urusan yang amat penting sekali sehingga mengejutkan kami. Apakah yang telah terjadi...?”

Kun Liong tidak mampu menjawab. Berhadapan dengan pendekat sakti yang dihormat dan dijunjungnya tinggi itu, dia menjadi sungkan sekali dan tidak berani bicara. Kok Beng Lama yang berkata, “Hemm... urusan yang amat buruk, Cia-taihiap. Harap kautanyakan kepada puterimu itu saja.”

Makin terkejutlah hati Cia Keng Hong melihat sikap Kun Liong dan mendengar jawaban Kok Beng Lama itu, dan diapun menoleh kepada Giok Keng yang masih menangis di pundak ibunya.

“Giok Keng, apa yang telah terjadi? Hayo jawab!” Keng Hong berkata kepada puterinya yang masih menangis.

“Ayah...” Giok Keng menjawab tanpa mengangkat mukanya dari pundak ibunya. “Mereka telah menghinaku, mereka telah menawanku dengan kekerasan, membawaku ke sini dengan kekerasan dan dengan paksa. Mereka menotokku dan menyeretku ke sini, ayah... mereka benar-benar telah menghinaku dan menuduh aku menjadi pembunuh...!” Giok Keng menangis lagi.

Mendengar ini, seketika Sie Biauw Eng bangkit berdiri dan melepaskan rangkulan puterinya. Mukanya menjadi merah, matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api dan dia memandang berganti-ganti kepada Kun Liong dan Kok Beng Lama seolah-olah hendak ditelannya kedua orang itu.

“Keparat...!” Sie Biauw Eng sudah berseru dengan kemarahan meluap. “Sungguh tidak memandang sebelah mata kepada ayah dan ibu Cia Giok Keng, berani benar bersikap sewenang-wenang dan menghina anakku! Kok Beng Lama, apa artinya ini? Kun Liong, apakah engkau hendak menantang kami?” Nyonya tua itu sudah marah sekali dan kalau saja lengannya tidak dipegang oleh suaminya, agaknya dia sudah menerjang maju dan menyerang kedua orang itu.

“Supek...dan supekbo (uwa guru)...saya...isteri saya...” Kun Liong tidak mampu melanjutkan karena dia menjadi gugup sekali. Memang dia tahu bahwa perbuatan mereka memaksa Giok Keng ke Cin-ling-pai merupakan penghinaan, akan tetapi hal itu dilakukannya untuk mencegah. Kong Beng Lama membunuh Giok Keng. Memang sukar bagi dia menghadapi Kok Beng Lama yang keras hati dan kini menghadapi ibu Giok Keng yang tidak kalah galaknya.

“Hayo katakan! Mengapa kalian menghina Giok Keng? Apa hubungannya dengan isterimu?” Sie Biauw Eng membentak, makin marah.

“Isteri teecu... mati terbunuh...”


Cia Keng Hong terkejut sekali mendengar itu dan mukanya berubah, pandang matanya ditujukan kepada Kun Liong dengan penuh iba dan alisnya berkerut. Akan tetapi Sie Biauw Eng yang baru saja mengalami kedukaan karena delapan orang anak muridnya dibunuh orang dan pedang pusaka dicuri orang, kini masih marah oleh keadaan Giok Keng, maka tanyanya dengan suara masih ketus, “Isterimu mati dibunuh orang, apa hubungannya dengan Giok Keng? Mengapa kau menghinanya?”

“Toanio, kami datang minta keadilan. Anakku Pek Hong Ing itu dibunuh oleh anak nyonya ini.”

Ucapan Kok Beng Lama itu membuat Cia Keng Hong menjadi makin terkejut sekali, dia mengeluarkan seruan keras dan meloncat ke belakang, menoleh dan memandang kepada puterinya dengan mata terbelalak. Juga Sie Biauw Eng terkejut bukan main, akan tetapi ibu ini tentu saja membela anaknya dan dia cepat mendekati Giok Keng sambil bertanya, “Keng-ji, benarkah engkau membunuh isteri Kun Liong? Dan kalau benar, apa sebabnya?” Jelas bahwa membunuh atau tidak, Sie Biauw Eng siap untuk membela anaknya itu!

“Ohhh, ibuuu...!” Kembali Giok Keng menubruk dan merangkul kaki ibunya, menangis.

“Aku tidak membunuhnya, ibu. Aku tidak membunuhnya!”

“Cukup! Hentikan tangismu, tenanglah! Biar setanpun, akan kulawan kalau dia berani menuduhmu yang bukan-bukan. Hayo, bangkit dan berdirilah!” Sie Biauw Eng membentak dan Giok Keng lalu bangkit berdiri, kepalanya menunduk, Sie Biauw Eng kini melangkah ke depan, menghadapi Kun Liong dan Kok Beng Lama, hidungnya kembang-kempis, matanya seperti mengeluarkan api saking marahnya.

“Hemm, kalian sungguh tidak tahu aturan! Kalian menggunakan kepandaian untuk menghina anakku, memaksanya dan menawannya seolah-olah dia seorang penjahat! Aku yang menjadi ibunya tidak terima akan perlakuan dan penghinaan ini!”

“Omitohud...! Kasih seorang ibu memang membuta, biar anaknya berdosa sekalipun, tetap akan dibelanya. Anakmu telah membunuh anakku, dan aku minta diganti dengan nyawa!”

lanjut ke Jilid 12-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar