Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 33

Dewi Maut Jilid 33

<--kembali

“Ketika aku pergi kepada Yok-mo di Gunung Cemara untuk mencari obat, di sana aku bertemu dengan anak laki-laki yang hampir mati karena terluka oleh Siang-tok-swa. Aku lalu mengobatinya dan dia sembuh, dia tidak mati. Aku yakin bahwa dia itulah anak yang kaumaksudkan, koko.”

Kun Liong menjadi girang sekali. “Bagaimana dia bisa berada di sana? Dan bagaimana pula secara kebetulan kau berada di tempat itu, moi-moi? Ceritakanlah!”

“Aku... aku pergi mencarikan obat...” gadis itu menunduk.

“Dia mencarikan obat untuk aku yang hampir mampus, suheng,” tiba-tiba Bun Houw menjawab cepat. “Aku menderita luka-luka parah oleh Bayangan Dewa dan kalau tidak ada adikmu ini, agaknya sekarang aku sudah mati.”

“Ahhh...!” Kun Liong makin girang dan memandang adiknya yang menjadi merah mukanya.

“Bohong! Dia memang terluka dan aku mencarikan obat kepada Yok-mo. Di sana aku bertemu dengan seorang pendeta yang datang membawa anak laki-laki yang luka-luka oleh Siang-tok-swa itu. Kami berebutan untuk memperoleh pertolongan Yok-mo. Pendeta itu lihai bukan main dan aku lalu menukar obatku untuk menyembuhkan anak itu dengan pelajaran Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang...”

“Hehh...?” Tiba-tiba Bun Houw meloncat ke atas mengejutkan In Hong dan Kun Liong. “Kalau begitu dia adalah suhu!”

Kini Kun Liong juga kaget. “Apa? Gak-hu (ayah mertua)?”

In Hong menjadi bingung mendengar Bun Houw menyebut guru kepada pendeta itu dan kakaknya menyebut ayah mertua. Hal ini sama sekali tidak disangka-sangkanya. “Dia seorang pendeta Lama berjubah merah, bertubuh tinggi besar dan...”

“Dia suhu!” Bun Houw berseru.

“Jelas, dia adalah gak-hu. Aih, sungguh kejadian yang kebetulan sekali!” Kun Liong berkata dengan wajah girang. “Kalau begitu, putera encimu itu berada di tangan gak-hu dan keselamatannya terjamin, sute.”

Bun Houw mengangguk dan memandang kepada In Hong, kemudian berkata, “Kalau begitu, engkau terhitung adalah sumoiku sendiri.”

In Hong menggeleng kepala. “Dia berpesan bahwa aku tidak boleh mengaku dia sebagai guru, dan memang demikianlah perjanjiannya.” Diam-diam gadis ini kagum sekali. Pantas saja Cia Bun Houw ini demikian lihainya, kiranya pemuda putera ketua Cin-ling-pai ini adalah murid pendeta Lama sakti itu!

“Urusan encimu audah beres, sute, sekarang aku harus pergi untuk mencari anakku. Anakku melarikan diri ketika ibunya terbunuh dan sampai kini tidak kuketahui ke mana perginya. Engkau pulanglah ke Cin-ling-pai untuk melaporkan soal Siang-bhok-kiam kepada ayahmu dan sampaikan pula berita pengakuan Yo Bi Kiok kepada keluargamu, jangan lupa beritakan tentang Lie Seng yang sudah berada di tangan gak-hu itu kepada ibumu. Aku sendiri akan mencari jejak puteriku, dan... kalau kau suka, adikku, marilah kau ikut bersamaku...” Dia memandang kepada adiknya dengan sinar mata penuh kasih. Isterinya telah tewas, puterinya telah hilang dan kini dia menemukan kembali adiknya yang agaknya telah kembali ke jalan benar.

Akan tetapi In Hong menggeleng kepalanya. “Aku masih mempunyai urusan, koko. Biarlah kalau urusanku sudah selesai, aku pasti akan pergi ke Leng-kok dan selanjutnya aku akan hidup di sana bersama kakakku.”

Kun Liong melangkah maju dan memegang kedua tangan adiknya, digenggamnya kedua tangan adiknya dengan mesra. “In Hong, adikku. Keadaan telah memaksa kita saling berpisah. Kakakmu ini telah mengalami banyak penderitaan hidup. Mudah-mudahan saja engkau tidak akan seperti kakakmu. Hanya pesanku, jangan terlalu menurutkan perasaan, adikku, bersikaplah bijaksana dan mudah-mudahan kalau sekali waktu cinta menguasai dirimu, semoga cintamu itu bukan seperti cinta kasih mendiang Bi Kiok kepada kakakmu. Mengertikah engkau, adikku?”

In Hong terharu. Ingin dia merangkul kakak kandungnya itu, akan tetapi dia menggigit bibir mengeraskan hatinya, lalu mengangguk.

Kun Liong melepaskan tangan adiknya. “Nah, kalau begitu, selamat tinggal, selamat berpisah sampai jumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik lagi.”

Pendekar ini sekali lagi menengok ke arah gundukan tanah kuburan Yo Bi Kiok, menghela napas panjang lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata sepasang orang muda itu.

***

Mereka berdiri, saling berhadapan dan sejenak mereka saling pandang penuh selidik, bahkan kemudian pandang mata In Hong dibayangi rasa marah dan penasaran.

“Kau...”

“Kau...”

Keduanya terdiam karena kata itu keluar dengan berbareng.

“Hemm, kiranya engkau Cia Bun Houw!” In Hong kemudian berkata dan membuang pandang mata ke atas, ke arah daun pohon di ujung yang dikibarkan oleh angin.

“Ya...”

“Engkau putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal di seluruh dunia itu!”

“Ya...”

“Engkau pura-pura menyamar sebagai pengawal pemilik rumah judi untuk menyelidiki keadaan Bayangan Dewa.”

“Ya...”

“Engkau berpura-pura bodoh dan tidak memiliki kepandaian sampai akupun tertipu.”

“Ya... tapi...”

“Sungguh cerdik sekali!”

“Hemm...”

“Kiranya yang terhormat putera ketua Cin-ling-pai, seekor harimau berpakaian kulit domba.”

“Ahh...”

“Dan pendekar muda sakti putera ketua Cin-ling-pai itu memberikan pedang pusakanya kepada...”

“Kepada seorang dara pendekar yang lihai...”

“Seorang Dewi Maut yang kejam, yang membunuh gadis dusun yang tidak berdosa!”

“Eh, aku salah lihat... eh, salah duga...”

“Seorang putera ketua Cin-ling-pai yang berpandangan tajam mana mungkin salah lihat? Karena memang gadis itu dianggapnya kejam, ganas dan tidak berperi kemanusiaan!”

“Eh, dengar dulu...”

“Jadi Cia Bun Houw si pendekar muda sakti itu adalah murid pendeta Lama...”

“Ya, suhu Kok Beng Lama.”

“Pendeta Lama yang sakti dari Tibet?”

“Ya...”

“Dan Cia Bun Houw si pendekar sakti itu adalah seorang pemuda perayu wanita, seorang hidung belang yang mata keranjang!”

“Heiii...”

“Cia Bun Houw itu adalah seorang laki-laki yang tidak setia, yang mudah berganti kekasih!”

“Eh, nanti dulu! Hong-moi, jangan kau menuduh yang bukan-bukan.”

“Seorang pendekar sakti yang menggunakan kepandaiannya merayu untuk menjatuhkan hati seorang gadis dusun yang bodoh...”

“Heiii, aku tidak merayu gadis dusun she Ma itu. Dialah yang... ah, sudahlah. Hong-moi, mengapa engkau menuduhkan semua itu kepadaku?”

“Siapa menuduh? Aku hanya membicarakan kenyataan, bukan seperti engkau yang sebelum jelas perkaranya sudah menuduhku membunuh orang tak berdosa.”

“Hong-moi, aku mengaku salah. Aku memang tadinya menyangka engkau yang melakukan pembunuhan kejam itu terhadap gadis she Ma karena agaknya bukti-bukti tadinya menunjukkan demikian. Kiranya subomu yang melakukan hal itu dan maafkanlah aku. Harap saja kesalahanku itu tidak menyakitkan hatimu terus sehingga engkau membenci dan menuduhku yang bukan-bukan.”

“Sekali lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak menyangkal bahwa engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan dia, bahkan menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kaulihat selamanya?”

“Ehhh...?” Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima yang manis, yang ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong tahu akan hal itu dan diapun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapapun juga. Peristiwa dengan Yalima dianggapnya sudah lewat dan merupakan masa kanak-kanak baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sesungguhnya tidak ada ikatan cinta kasih di dalam batinnya terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan cinta, agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya karena saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja. “Hong-moi, harap kau jangan menuduh yang bukan-bukan.”

Sinar mata In Hong membayangkan rasa kemarahan dan penasaran. “Cia Bun Houw! Apakah kau berani menyangkal bahwa engkau melupakan gadis dusun dan secara tak tahu malu menerima ikatan jodoh dengan seorang gadis lain?” Wajah In Hong menjadi merah. Tentu saja dara ini merasa penasaran dan marah. Sudah jelas pemuda ini meninggalkan dan melupakan Yalima, lalu mengikatkan diri dengan dia sebagai calon isteri, dan sekarang pemuda ini hendak menyangkal.

Akan tetapi dengan wajah sungguh-sungguh dan sinar mata jujur Bun Houw menjawab, “Tentu saja aku menyangkalnya, Hong-moi. Aku tidak menerima ikatan jodoh dengan gadis manapun dan tentang gadis yang kaukatakan kurayu dan kutinggalkan dan lupakan...”

“Hemm, sungguh berani mati. Tidak perlu banyak berbantahan, kalau memang kau berani, mari bersamaku pergi ke Cin-ling-san.” In Hong menantang.

Bun Houw makin terheran dan terkejut. “Cin-ling-san?” Tentu saja dia terkejut. Cin-ling-san adalah tempat tinggalnya, mau apa gadis ini mengajak dia ke sana?

“Ya, ke Cin-ling-san. Ke Cin-ling-pai...”

“Eh, kaumaksudkan menjumpai ayah dan ibuku?” Bun Houw tentu saja menjadi girang sekali.

“Ya dan engkau akan tahu sendiri bahwa aku sama sekali tidak menuduhmu yang bukan-bukan dan ingin aku mendengar jawabmu!”

Bun Houw menjadi girang sekali. “Baik, mari kita pergi. Aku memang ingin kembali ke Cin-ling-san untuk melaporkan pada ayah tentang Siang-bhok-kiam dan syukurlah engkau suka ikut bersamaku ke sana, Hong-moi. Tahukah engkau bahwa ayah bundamu dahulu adalah sahabat-sahabat terbaik dari orang tuaku, bahkan antara ibumu dan ayahku masih ada hubungan saudara seperguruan? Ayah dan ibu tentu akan girang sekali menerima kedatanganmu.”

“Hemmm, aku telah bertemu dengan mereka. Akan tetapi kepergianku ke Cin-ling-pai ini bukan untuk bertemu dengan ayah dan bundamu, melainkan...” In Hong tidak melanjutkan kata-katanya dan dia teringat akan Yalima dan hatinya menjadi panas lagi.

“Melainkan... apa, Hong-moi?”

“Kaulihatlah saja nanti!” In Hong berkata kaku dan dingin lalu membuang muka, membuat Bun Houw makin terheran-heran akan sikap gadis ini. Akan tetapi betapapun juga, hatinya gembira bukan main karena dia akan melakukan perjalanan ke Cin-ling-san bersama dengan gadis ini.

Akan tetapi, perjalanan itu ternyata tidaklah begitu menyenangkan seperti yang dibayangkannya. Benar dia melakukan perjalanan bersama In Hong, akan tetapi gadis itu selalu menjauhkan diri dan betapapun dia berusaha untuk menyelami isi hati gadis itu, untuk membuka rahasia apa yang tersembunyi di balik tuduhan-tuduhan gadis itu, usahanya sia-sia belaka karena In Hong tidak mau bicara, hanya menjawab singkat bahwa pemuda itu akan tahu segalanya setelah tiba di Cin-ling-san. Sikap yang dingin kaku dari gadis ini dan yang agaknya bersungguh-sungguh dalam tuduhan-tuduhnya membuat Bun Houw merasa khawatir dan tidak enak juga dan mulailah dia menduga-duga yang ada hubungannya dengan Yalima. Apakah Yalima datang menyusulnya ke Cin-ling-san? Akan tetapi pertanyaan ini dibantahnya sendiri. Yalima adalah seorang gadis lemah, seorang gadis dusun di Tibet, mana mungkin bisa berada di Cin-ling-san? Tidak mungkin sekali gadis dusun itu melakukan perjalanan sejauh itu. Pula, tidak mungkin Yalima berani selancang itu menyusulnya ke Cin-ling-san. Pula, sesungguhnya, selain sedikit kemesraan, tidak ada ikatan apa-apa antara dia dan Yalima. Hanya suatu peristiwa cinta remaja yang masih hijau dan mentah, betapapun juga, melihat sikap In Hong yang amat serius dan melihat dara itu benar-benar seperti orang marah dan penasaran kepadanya, hati Bun Houw menjadi tidak enak dan ingin dia cepat-cepat tiba di Cin-ling-san agar persoalan itu segera menjadi terang.

Ketika pada suatu pagi mereka tiba di Pegunungan Cin-ling-san, otomatis perjalanan yang tadinya dilakukan dengan cepat itu menjadi lambat! Hal ini karena terjadi keraguan di hati masing-masing. In Hong yang teringat akan kunjunganya yang lalu, sikapnya yang kasar terhadap keluarga Cia, kekurangajarannya, merasa tidak enak hati untuk bertemu dengan ayah bunda pemuda itu. Sebaliknya, Bun Houw yang menduga bahwa tentu ada sesuatu yang luar biasa terjadi di sini melihat sikap In Hong, juga merasa khawatir. Tanpa bicara mereka melanjutkan perjalanan itu dengan jalan kaki biasa mendaki lereng Gunung Cin-ling-san.

Mereka tidak tahu bahwa kedatangan mereka itu tampak oleh Kwee Siong, seorang pemuda remaja adik dari Kwee Tiong. Melihat kedatangan Bun Houw, Kwee Siong menjadi terkejut dan ketakutan. Dia sudah tahu bahwa kakaknya, Kwee Tiong, telah merampas Yalima, kekasih putera ketua Cin-ling-pai itu dan kini Bun Houw pulang. Diam-diam Kwee Siong lalu berlari-lari naik ke puncak dan mengabarkan kepada kakaknya tentang kedatangan Bun Houw.

“Twako... twako... celaka, twako...!” Kwee Siong yang berusia lima belas tahun itu berkata, napasnya terengah-engah ketika dia bertemu dengan kakaknya.

“Eh, adik Siong, ada apakah?” Kwee Tiong bertanya khawatir. “Apa yang terjadi?”

“A Siong, kau kenapakah?” kakak iparnya, Yalima juga bertanya melihat wajah adik ipar yang pucat dan ketakutan itu.

“Twako... twaso... celaka, aku melihat... Cia-taihiap datang...”

Ahhh...!”

“Ihhh...!”

Suami isteri itu terkejut sekali karena berita itu amat tiba-tiba, akan tetapi Kwee Tiong segera tenang kembali. Dia memegang tangan isterinya dan berkata, “Isteriku, engkau tahu bahwa aku bertanggung jawab atas perbuatan kita ini. Maka biarlah aku akan menyambut kedatangannya dan mengabarkannya tentang kita. Kautunggu saja di sini.”

“Tidak... tidak...! Yang berbuat adalah kita berdua, yang bertanggung jawab kita berdua pula! Aku tahu bahwa dia adalah seorang yang berbudi mulia, tentu akan dapat memaafkan kita.”

“Jangan, aku tidak kuat melihat engkau dimarahi...” cegah sang suami.

“Dan hatikupun tidak akan tenteram membayangkan engkau sendirian menghadapi kemarahannya. Suamiku, pendeknya, apapun yang akan terjadi, kita akan menghadapi bersama! Kita hidup bertiga dan matipun bertiga!”

“Bertiga...?” Kwee Tiong menoleh ke arah Kwee Siong karena dia tidak ingin menyeret adiknya itu dalam urusannya dengan Yalima, akan tetapi dia melihat isterinya mengelus perutnya yang gendut, maka mengertilah dia. Dengan terharu dia merangkul isterinya dan berkata halus, “Marilah kalau begitu.”

Kwee Tiong dan Yalima sambil bergandeng tangan dan berbesar hati lalu menuruni puncak untuk menyambut kedatangan Bun Houw, diikuti pandang mata Kwee Siong penuh kekhawatiran. Kemudian pemuda remaja ini lalu lari ke gedung tempat tinggal ketua Cin-ling-pai untuk melapor, karena dia mengkhawatirkan keselamatan kakaknya berdua.

“Hong-moi, mengapa engkau menyiksa hatiku seperti ini?” terdengar suara Bun Houw memecah kesunyian ketika dia dan In Hong berjalan mendaki lereng gunung melalui lorong itu.

“Aku tidak merasa menyiksa hati siapapun,” jawaban In Hong kaku dan dingin karena makin dekat dengan Yalima, makin tak senang hatinya. Akan tetapi dara ini di dalam perjalanan sering melamun dan merasakan betapa rasa tidak senang di hatinya itu kini sama sekali berobah. Bukan lagi condong ke arah ketidaksenangan karena Bun Houw mempermainkan Yalima, melainkan tidak senang mengapa pemuda ini mencinta Yalima, rasa tidak senang oleh cemburu.

“Mengapa engkau tidak berterus terang saja, Hong-moi? Apakah sebetulnya segala rahasia sikapmu ini? Engkau mengajak aku ke sini, ke tempat tinggalku, ada urusan apakah?”

In Hong hanya mengerling dan menjawab pendek, “Engkau akan melihat sendiri nanti...”

“Enci In Hong...!”

“Cia-taihiap...!”

Bun Houw dan In Hong yang sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing, terkejut dan mengangkat muka memandang. Ketika mereka melihat Kwee Tiong dan terutama sekali Yalima datang menuruni lorong itu, keduanya otomatis menghentikan langkah dan memandang dengan mata terbelalak. Bun Houw yang sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Yalima di situ, terbelalak heran, dan In Hong yang melihat Yalima datang bergandeng tangan bersama seorang pemuda tampan, juga terbelalak heran.

Kwee Tiong yang masih menggandeng tangan isterinya itu segera menarik isterinya dan mereka berlutut di depan kaki Bun Houw! Tentu saja pemuda ini terkejut bukan main sampai melangkah mundur dua tindak. “Eh... apa yang kalian lakukan ini?”

“Cia-taihiap, kami berdua menyerahkan jiwa raga kami kepada taihiap!”

“Heii, Kwee Tiong koko, apakah kalian sudah gila?”

“Cia-taihiap, kami... telah menjadi suami isteri...”

“Bagus!” Bun Houw berseru girang sekali, merasa seolah-olah batu sebesar gunung dilepaskan dari hatinya yang tertindih. “Biarpun agak terlambat, aku mengucapkan selamat kepada kalian!”

“Terima kasih, taihiap...” Kwee Tiong berkata terharu.

“Terima kasih... aku tahu bahwa engkau adalah seorang yang berbudi mulia, taihiap, sedangkan aku... aku hanya seorang bodoh...” Yalima terisak dan menutupi mukanya, air matanya mengalir turun.

“Yalima! Apa artinya ini? Engkau... sudah mengandung malah?” Terdengar In Hong berseru, suaranya mengandung kemarahan.

“Enci In Hong...aku...aku telah menikah...dengan suamiku ini...beberapa bulan yang lalu...”

“Singgg...!” Tampak sinar berkelebat. “Keparat kau, perempuan tidak setia dan memalukan!”

Bun Houw terkejut bukan main dan secepat kilat dia meloncat dan berdiri di depan In Hong, menghadang antara In Hong dan Yalima. “Hong-moi, apa yang hendak kaulakukan ini?”

“Harus kubunuh perempuan tidak setia itu!” bentak In Hong. Kwee Tiong sudah bangkit pula untuk melindungi isterinya.

“Hong-moi, engkau tidak berhak berbuat demikian! Kepada siapakah Yalima tidak setia?”

“Kepadamu! Dia mengaku telah saling mencinta denganmu, akan tetapi mengapa dia sekarang...”

“Hong-moi, waktu itu kami masih seperti kanak-kanak. Yalima mengira dia mencintaku sebelum dia bertemu dengan Kwee Tiong koko yang benar-benar dicintanya. Aku sendiri tidak merasa dikhianati, tidak menganggap bahwa Yalima tidak setia. Kenapa engkau yang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini menjadi marah dan hendak membunuhnya? Hong-moi, apa sih sebenarnya arti perbuatanmu yang aneh ini?”

Mereka saling berhadapan, saling pandang, In Hong dengan muka merah padam dan mata berapi-api, Bun Houw dengan muka agak pucat dan mata penuh keheranan. Akhirnya pedang yang tergetar di tangan In Hong, pedang Hong-cu-kiam itu bergerak, akan tetapi bukan menyerang siapa-siapa, melainkan meluncur ke atas tanah.

“Cappppp...!” Pedang itu menusuk tanah sampai amblas ke gagangnya. Terdengar suara isak ditahan, dan In Hong lalu membalikkan tubuhnya dan meloncat lalu lari pergi dengan cepat sekali.

“Hong-moi...!” Bun Houw berseru memanggil akan tetapi dara itu sama sekali tidak menoleh lagi dan sebentar saja lenyap dari pandang mata.

“Hong-moi...!” Bun Houw hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar suara lirih, suara Yalima yang mengandung tangis.

“Taihiap, harap ampunkan aku...”

Bun Houw menarik napas panjang, tidak jadi mengejar karena dia maklum betapa anehnya watak dara itu sehingga kalau dia kejar dan desak, tentu hanya akan menimbulkan kemarahan yang makin hebat di dalam hati In Hong. Maka dia lalu menoleh lagi.

“Berdirilah dan ceritakanlah semuanya. Bagaimana Yalima tahu-tahu bisa berada di sini, dan mengapa pula In Hong mengenalmu dan kini marah-marah?”

Kwee Tiong menarik isterinya bangkit dan dialah yang menjawab, karena isterinya masih menangis sesenggukan. “Taihiap, karena isteriku telah menceritakan segalanya kepadaku, maka bolehkah saya yang bercerita kepada taihiap?”

“Silakan, Kwee-koko, sama saja.”

“Yalima dipaksa oleh orang tuanya, akan diberikan kepada seorang yang berkuasa di Tibet. Dia lalu melarikan diri ke timur, dengan maksud untuk pergi menyusul dan mencari taihiap karena taihiap satu-satunya orang yang dapat diharapkan akan menolongnya. Akan tetapi dia terjatuh ke tangan seorang datuk kaum sesat, yaitu Go-bi Sin-kouw...”

“Ahhh...!” Bun Houw terkejut sekali.

“Biar aku yang melanjutkan,” tiba-tiba Yalima berkata kepada suaminya. “Taihiap, aku tentu sudah celaka dan mungkin sudah tewas kalau saja tidak muncul enci In Hong yang menolongku dari tangan orang-orang jahat itu. Karena pertolongan itu, maka aku lalu berterus terang menceritakan riwayatku, juga tentang... taihiap. Sungguh mati aku sama sekali tidak tahu bahwa antara taihiap dan dia... bahwa kalian telah saling bertunangan...”

“Eh, bohong itu! Siapa bilang begitu?” Bun Houw berseru kaget.

“Agaknya taihiap telah ditunangkan dengan enci In Hong oleh ayah bunda taihiap di luar tahumu, dan hal itu telah disampaikan kepada enci In Hong. Oleh karena itu dia menjadi marah sekali mendengar bahwa antara kita...eh, terdapat semacam hubungan. Enci In Hong lalu memaksaku pergi bersama ke Cin-ling-pai dan dengan terang-terangan dia lalu berkata kepada Cia-locianpwe berdua bahwa hubungan jodoh antara dia dan taihiap putus sudah, dan bahwa taihiap adalah tunanganku. Itulah sebabnya dia tadi marah-marah melihat aku telah berjodoh dengan Kwee-koko dan...entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, taihiap. Kami berdua tadinya khawatir bahwa engkaulah yang akan marah-marah, siapa tahu, engkau dapat memaafkan kami, malah sebaliknya enci In Hong yang hampir membunuhku...”

Bun Houw menjadi bengong dan melamun. Sungguh sukar dimengerti sikap In Hong tadi. Dia mencabut pedang Hong-cu-kiam dan hatinya tiba-tiba terasa kosong dan sunyi sekali. Dipungutnya sarung pedang Hong-cu-kiam yang tadi dilemparkan ke atas tanah oleh In Hong yang marah, lalu disimpannya pedang itu Dia teringat akan burung hong kemala di dalam saku bajunya dan otomatis tangannya meraba benda itu dan hatinya makin terasa sedih.

“Sungguh aneh... sungguh tak mengerti aku...” Hatinya berbisik dan pada saat itu terdengar seruan nyaring, “Houw-ji (anak Houw)...!”

Bun Houw mengangkat muka memandang dan melihat ayah dan ibunya turun dari puncak dengan cepat. Mereka tadi mendengar pelaporan Kwee Siong tentang kedatangan putera mereka itu dan karena khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu antara Bun Houw dan Kwee Tiong berdua Yalima, mereka cepat-cepat turun.

“Ayah! Ibu!” Bun Houw memberi hormat dan ibunya merangkulnya dengan hati lapang. Terutama sekali ibunya merasa lega melihat puteranya kelihatan tidak marah sungguhpun pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa Yalima baru saja menangis dan wajah Kwee Tiong masih pucat, tanda bahwa mereka berdua baru saja mengalami guncangan batin yang hebat.

“Bukankah kau tadi datang bersama In Hong?” Cia Keng Hong yang tadi menerima laporan Kwee Siong bertanya heran, matanya memandang ke kanan kiri mencari-cari.

“Dia sudah pergi, ayah.” jawab Bun Houw dengan lesu dan keadaan puteranya ini tidak terlepas dari pandang mata ayahnya.

“Lebih baik kalau begitu. Bocah galak itu membikin ribut saja.” kata Sie Biauw Eng yang menggandeng tangan puteranya dan mengajaknya naik ke puncak. Beramai mereka naik ke puncak Cin-ling-san, menuju ke markas Cin-ling-pai yang barada di lereng dekat puncak. Nenek Sie Biauw Eng kelihatan gembira bukan main dan menghujani puteranya dengan pertanyaan-pertanyaan.

Setelah tiba di dalam rumah, Bun Houw lalu lebih dulu menceritakan soal pembunuh isteri Kun Liong yang menjadi pokok dan penyebab semua peristiwa menyedihkan antara keluarga Kun Liong itu. “Ayah dan ibu, sekarang pembunuh isteri Yap-suheng telah diketahui.”

Tentu saja suami isteri pendekar itu menjadi terkejut dan juga girang. “Siapa dia?”

“Dia adalah seorang wanita bernama Yo Bi Kiok, ketua dari Giok-hong-pang. Dia lihai sekali karena sebetulnya dialah yang dahulu memperoleh bokor emas pusaka dari Panglima The Hoo, Ayah.”

“Ahhh...!” Cia Keng Hong terkenang akan keributan puluhan tabun yang lalu ketika pusaka bokor emas itu diperebutkan orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw.

“Di mana sekarang keparat itu? Biar kucari dan kubunuh iblis betina yang menjadi gara-gara itu!” kata nenek Sie Biauw Eng yang masih belum juga kehilangan kegalakannya setiap kali menghadapi kejahatan.

“Dia sudah tewas di tangan Yap-suheng sendiri, ibu. Yo Bi Kiok itu dahulunya adalah seorang sahabat baik dari Yap-suheng sendiri, malah wanita itu... dia adalah guru dari adik Yap In Hong.”

“Ahhh...!” Suami isteri pendekar itu berseru kaget, lalu mereka mendengarkan penuturan puteranya tentang peristiwa di dalam benteng Raja Sabutai dan tentang kematian Yo Bi Kiok yang mengaku sebagai pembunuh Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong karena iri!

Mendengar penuturan puteranya itu, suami isteri yang sudah tua itu menggeleleng kepalanya. “Jadi kembali gara-gara cinta...” Nenek Sie Biauw Eng berbisik. “Betapa hanya mendatangkan malapetaka belaka.”

“Hemm, jangan berkata demikian, isteriku. Hanya cinta palsu saja yang mendatangkan malapetaka. Buktinya, di antara kita berdua yang ada hanyalah kebahagiaan dan belas kasihan, baik dalam keadaan apapun juga.”

Sie Biauw Eng menjadi terharu dan menyentuh tangan suaminya. Ingin rasanya dia menangis kalau suaminya bersikap dan berkata seperti itu.

“Jadi engkau telah berhasil membunuh sisa Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang itu, Bun Houw?” Cia Keng Hong bertanya.

“Benar, ayah.”

“Dan Siang-bhok-kiam...”

“Itulah yang membikin jengkel, ayah. Siang-bhok-kiam itu oleh Bayangan Dewa diserahkan kepada Raja Sabutai yang kemudian memberikannya kepada gurunya, yaitu Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dan mereka tidak mau menyerahkan pedang pusaka kita kepadaku.”

“Eh, mengapa? Mau apa dua orang iblis jantan dan betina itu?” Ibunya membentak.

“Ada sebabnya, ibu. Mereka itu ternyata adalah musuh-musuh yang menaruh dendam kepada mendiang Panglima The Hoo dan karena mereka tidak dapat lagi membalas dendam mereka kepada Panglima The Hoo yang sudah tidak ada, maka mereka menimpakan dendamnya kepada Cin-ling-pai. Mendengar bahwa pedang itu milik ayah, dan karena mereka tahu bahwa ayah dahulu adalah sahabat dan pembantu yang baik dari mendiang Panglima The Hoo, maka mereka menahan pedang itu.”

“Keparat!” Sie Biauw Eng memaki.

“Hemm, sudah setua ini masih dicari orang untuk bermusuhan.” Cia Keng Hong mengomel.

“Mereka itu menantang kepada ayah untuk datang ke Lembah Naga jika ayah menghendaki kembalinya pedang pusaka kita Siang-bhok-kiam.”

Kembali Cia Keng Hong menarik napas panjang. “Aku bukan anak kecil, bukan pula orang muda yang berdarah panas. Untuk apa susah payah dan jauh-jauh pergi hanya untuk berkelahi memperebutkan pedang?”

“Akan tetapi kita harus menjaga nama! Pedang Siang-bhok-kiam adalah pusaka dari lambang kebesaran Cin-ling-pai. Kalau jatuh ke tangan orang dan mereka menentang, lalu kita diam saja, tentu kita akan diketawai orang sedunia!” bantah isterinya.

“Huh, kalau ada yang mau mentertawakan kita, biarlah mereka itu tertawa sampai robek mulutnya, perduli apa kita?” Cia Keng Hong membantah.

“Tapi...” bantah isterinya.

“Isteriku, hidup kita tidak ditentukan oleh pendapat orang lain, bukan? Ingat, pendapat orang-orang itu tidaklah sama dan kalau kita mengandalkan pendapat-pendapat orang lain, bagaimana macamnya kehidupan yang kita tempuh?”

“Akan tetapi, suamiku. Memang kita sendiri secara pribadi tidak perlu memikirkan omongan orang lain, namun kita sebagai pendiri dan pimpinan Cin-ling-pai bertanggung jawab untuk menjaga nama dan kehormatan Cin-ling-pai! Setelah sudah berhasil jerih payah Bun Houw membasmi Lima Bayangan Dewa, apakah kini gangguan dua orang iblis keparat itu harus didiamkan saja? Kalau kau enggan pergi, biarlah aku sendiri yang akan pergi mencari mereka ke Lembah Naga!”

“Ayah dan ibu harap suka bersabar. Urusan Siang-bhok-kiam tentu saja dapat kita rundingkan kemudian dan aku sendiripun merasa bertanggung jawab dan aku yang akan mewakili ayah dan ibu demi menjaga kehormatan Cin-ling-pai. Akan tetapi ada berita yang lebih menyenangkan untuk disampaikan... eh, di manakah enci Giok Keng? Dia yang terutama akan senang mendengar berita ini.”

Ibunya mengerutkan alis. “Encimu belum pulang sampai sekarang. Sungguh malang sekali nasib encimu, Houw-ji.”

“Kalau begitu biarlah ayah dan ibu mendengarnya lebih dulu. Lie Seng telah dapat diketahui berada di mana.”

“Ahh! Di mana cucuku itu?” Cia Keng Hong bertanya girang.

“Ternyata dia telah tertolong oleh suhu. Hampir saja dia tewas di tangan wanita kejam Yo Bi Kiok itu, terkena racun Siang-tok-swa, akan tetapi baiknya masih dapat tertolong oleh adik In Hong.”

Lalu diceritakanlah oleh Bun Houw tentang Lie Seng seperti yang didengarnya dari In Hong. Tentu saja dua orang tua itu merasa girang dan lega sekali. Kalau cucu mereka itu sudah berada di tangan Kok Beng Lama, tentu saja akan terlindung.

“Hanya aku khawatir sekali... melihat keadaan gurumu itu...” Teringatlah Cia Keng Hong akan sikap Kok Beng Lama yang seolah-olah tidak kuat menahan guncangan hatin karena kematian anaknya yaitu Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong. Akan tetapi sebagai seorang bijaksana, dia tidak mau menyiksa diri dengan bayang-bayang khayal yang buruk.

“Sudahlah, semua urusan itu telah lewat dan ternyata semua hal yang membingungkan telah terbongkar. Lima Bayangan Dewa telah terbasmi dan biang keladi kehancuran rumah tangga Giok Keng dan Kun Liong telah pula ditewaskan. Sekarang kami ada berita yang amat menyenangkan untukmu, anakku,” kata Sie Biauw Eng sambil tersenyum. Aneh tapi nyata, Sie Biauw Eng yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itu setelah tersenyum masih jelas nampak bekas-bekas kecantikannya!

Bun Houw memandang ibunya dengan wajah berseri, girang melihat ibunya begitu gembira. Cia Keng Hong yang hendak menjawab, akan tetapi dengan tangannya, Sie Biauw Eng mencegahnya dan pada saat itu, pelayan-pelayan mereka datang menghidangkan makanan dan minuman. Percakapan tertunda sebentar, setelah para pelayan itu pergi, Sie Biauw Eng yang agaknya tidak sabar lagi untuk segera menyampaikan berita itu kepada puteranya, melanjutkan, “Beberapa pekan yang lalu, ketika ayahnya baru saja tiba di sini, pulang dari kota raja, di sini kedatangan tamu yang sama sekali tidak kami sangka-sangka.” Dia berhenti dan kelihatan girang sekali melihat puteranya memandang dengan penuh perhatian dan penuh keinginan tahu.

“Siapa, ibu?”

“Kau tentu tidak dapat menduganya. Dia adalah murid mendiang Panglima The Hoo dan...”

“Ah, aku tahu...! Tentu ibu Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng si kembar itu!”

Suami isteri pendekar itu saling pandang dan tersenyum.

“Kau benar, dan mereka berdua ikut datang bersama ibu mereka,” kata pula Sie Biauw Eng.

“Eh, sayang aku tidak dapat berjumpa dengan mereka!” kata Bun Houw membayangkan dua orang kakak beradik kembar itu, terutama Kwi Eng, yang memiliki kecantikan yang khas dari seorang berdarah campuran, dengan matanya yang biru dan rambutnya yang hitam agak keemasan!

“Kwi Eng itu cantik bukan main, anakku!” Tiba-tiba ibunya berkata dan karena pada saat itu Bun Houw sedang membayangkan wajah Kwi Eng, tentu saja dia menjadi terkejut dan wajahnya menjadi merah sekali.

Ibunya tertawa. “Dan engkau sudah mengenalnya, Houw-ji.”

“Benar, ibu. Kami telah berkenalan dan bahkan Kwi Eng dan Kwi Beng membantuku menghadapi dua orang Bayangan Dewa dan para pembantu mereka yang lihai.”

“Dara itu sudah menceritakan semuanya kepada kami. Dia memang cantik jelita, belum pernah aku bertemu dengan seorang gadis yang seperti itu cantiknya, dan dia cerdas sekali, juga gagah perkasa seperti ibunya, selain itu dia juga pada dasarnya lemah lembut, sopan, tidak seperti... eh, misalnya Yalima yang lemah dan... si In Hong yang liar itu...”

“Ibu, kenapa ibu menceritakan semua kepadaku?” Bun Houw memotong karena hatinya tidak senang mendengar In Hong dibawa-bawa dan disebut liar.

Di sini ayahnya turun tangan mencampuri. “Sebenarnya, Bun Houw, kedatangan nyonya Yuan de Gama atau Souw Li Hwa itu, selain untuk mengunjungi sebagai murid mendiang Panglima The Hoo, mempererat persahabatan, juga untuk mengajukan usul atau permohonan agar diadakan ikatan jodoh...”

“Ehh? Ikatan jodoh...?” Hati Bun Houw berdebar keras.

“Ya, antara engkau dan Kwi Eng, anakku! Aku girang sekali, aku sudah cocok dan suka kepada anak itu, aku senang mempunyai mantu dia!”

“Ibu...!” Dan Bun Houw lalu menundukkan mukanya, memejamkan matanya, karena dia merasa pening dan bingung. Cia Keng Hong mengedipkan mata kepada isterinya, mencegah isterinya bicara dan memberi kesempatan kepada puteranya untuk menenangkan diri. Bun Houw yang memejamkan matanya itu melihat bayangan Kwi Eng, terbayang olehnya betapa dahulu ketika dia menolong Kwi Eng menyelamatkan dara jelita itu dari perkosaan Gu Lo It, melihat Kwi Eng dalam keadaan tanpa pakaian, kemudian... kemudian teringatlah dia betapa mereka berciuman ketika dia memondong gadis itu. Membayangkan itu, Bun Houw merapatkan matanya dan diam-diam dia merasa menyesal, mengapa dia melakukan hal itu, mengapa dia selalu ingin mendekap dan mencium dara-dara cantik! Dan terbayanglah dia akan wajah In Hong, dan pikirannya menjadi makin bingung.

Houw-ji...!” Terdengarlah suara ayahnya yang tenang dan dia membuka matanya, sadar kembali akan keadaannya.

“Maaf, ayah dan ibu...”

“Bun Houw, ayah dan ibumu melihat engkau sudah cukup dewasa, tahun ini usiamu sudah dua puluh tahun lebih, dan ayah ibumu sudah makin tua, ingin menimang cucu dalam sebelum menutup mata,” kata Sie Biauw Eng dan nada suaranya terharu.

“Bun Houw, tadinya kami berdua bersepakat untuk menjodohkan engkau dengan In Hong, bahkan kami telah merundingkan hal ini dan mendapat persetujuan Yap Kun Liong. Akan tetapi, terjadi peristiwa dengan Yalima itu dan In Hong sendiri yang memutuskan tali perjodohan itu...”

Bun Houw mengangguk dan hatinya terasa perih. Dia sudah mendengar akan hal itu dari Yalima dan kini mengertilah dia mengapa setelah In Hong tahu bahwa dia adalah Cia Bun Houw, dara itu berubah sikapnya dan menjadi dingin. Mengertilah dia mengapa In Hong memakinya sebagai seorang perayu wanita yang tidak setia! Tentu In Hong merasa penasaran mengapa dia yang dianggapnya sudah “bertunangan” dengan Yalima, mau dijodohkan dengan In Hong dan hal ini oleh dara yang berhati keras itu dianggapnya sebagai suatu penghinaan!

“Kemudian kami mencari-cari dan memilih-milih,” sambung Sie Biauw Eng melanjutkan penjelasan suaminya. “Dan ketika kami melihat Kwi Eng, dan mendengar permohonan ibunya, kami berdua dengan hati bulat menyetujuinya.”

“Ibu...!” Kembali Bun Houw berseru, kaget sekali.

“Hemm, kenapakah, Bun Houw? Apakah kau tidak setuju dengan Kwi Eng? Kulihat dari gerak-gerik dara itu, dia sudah jatuh cinta padamu,” sambung pula ibunya.

“Bun Houw, katakanlah, apa yang menyebabkan engkau keberatan dan tidak menyetujui pilihan ayah bundamu?” Keng Hong berkata dengan tenang mendesak.

“Ayah dan ibu, sesungguhnya sama sekali bukan karena saya tidak suka kepada adik Kwi Eng, akan tetapi aku... aku belum ingin terikat oleh tali perjodohan.”

“Ha-ha, mengapa begitu saja dirisaukan amat?” Ayahnya mencela. “Ikatanmu dengan Kwi Eng barulah pertunangan saja, sedangkan tentang pernikahannya, hemmm... sesungguhnya kami ingin segera melihat engkau menikah, akan tetapi kalau kau masih belum suka, dapat diundur beberapa lamanya karena Kwi Eng juga baru berusia enam belas tahun lebih.”

“Akan tetapi jangan lama-lama, anakku,” kata Biauw Eng. “Aku sudah ingin sekali mempunyai cucu dalam dan dilayani mantu perempuan!”

Bun Houw merasa hatinya bingung dan tertindih oleh desakan-desakan ayah bundanya. Tiba-tiba dia memperoleh pandangan, seolah-olah ada sinar terang memasuki hatinya.

“Ayah dan ibu, kita masih menghadapi urusan, Siang-bhok-kiam masih berada di tangan orang lain. Aku hendak mencari dan merampas kembali pusaka itu, barulah kita bicarakan urusan perjodohan. Dan aku harus cepat-cepat pergi ke Lembah Naga, karena kalau dibiarkan terlalu lama, aku khawatir akan makin sukarlah pusaka kita itu dapat dirampas kembali. Kalau saja dua orang iblis itu tidak berada di benteng Raja Sabutai ketika mereka menguasai Siang-bhok-kiam, tentu sudah kuserang mereka dan kurampas pedang pusaka kita itu.”

“Eihh, baru saja kau datang, jangan tergesa-gesa pergi lagi, Houw-ji!” ibunya berseru dan memegang pundak puteranya. “Engkau hampir tidak pernah berkumpul dengan kami. Sejak kecil berguru kepada Lama itu Tibet sampai bertahun-tahun, begitu pulang kau terus pergi mencari Lima Bayangan Dewa. Sekarang, baru saja datang hendak pergi lagi merampas kembali Siang-bhok-kiam di Lembah Naga yang begitu jauh di utara. Tidak, kau tidak boleh cepat-cepat pergi!”

“Ibumu benar, Bun Houw. Kau harus beristirahat dulu dan nanti kalau kau pergi, kami akan titip surat untuk keluarga Souw atau keluarga de Gama di pelabuhan Yen-tai. Kami sudah tua, tidak sempat membalas kunjungan mereka, maka kaulah yang mewakili kami membalas kunjungan mereka di Yen-tai. Selain itu, kaupun harus menyerahkan suratku kepada kaisar di kota raja. Sesudah kauselesaikan tugas itu, baru kau boleh mencari dua orang tua yang merampas Siang-bhok-kiam itu di Lembah Naga.”

Bun Houw tidak dapat membantah lagi dan dengan berkeras ibunya menahannya sehingga baru satu bulan kemudian dia meninggalkan Cin-ling-san, membawa dua buah surat dari ayahnya, yang satu untuk diserahkan kepada Yuan de Gama dan keluarganya di Yen-tai, dan yang satu lagi untuk dihaturkan kepada kaisar di kota raja.

In Hong bersandar pada batang pohon di dalam hutan itu, memejamkan matanya dan mengatur kembali napasnya yang agak terengah-engah. Kepalanya terasa pening dan biarpun matanya dipejamkan, namun nampak bayangan beberapa orang berputaran, yaitu bayangan wajah Bun Houw dan Yalima. Ingin dia menjerit dan menangis untuk memberi pelepasan kepada perasaan hatinya yang berdesakan dan penuh dengan segala macam perasaan yang saling bertentangan. Dia suka kepada Bun Houw, hal ini tak mungkin dapat dibantahnya lagi! Bahkan, sejak pertama kali dia melihat pemuda itu dengan gagahnya menolak bujuk rayu wanita-wanita itu, dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada Bun Houw. Anehnya, ketika dia memperoleh kenyataan pahit bahwa pemuda itu adalah tunangannya sendiri yang telah ditolaknya, ketika dia mendapat kenyataan bahwa Bun Houw adalah seorang pemuda yang luar biasa lihainya, yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya, rasa kagum dan suka makin meresap di dalam hatinya! Dan kalau tadinya dia menganggap seorang yang bernama Cia Bun Houw itu dengan pandangan rendah karena dianggap tidak setia kepada Yalima, setelah dia tahu bahwa Cia Bun Houw adalah pemuda yang telah memberi pedang pusaka kepadanya, yang telah diberi Giok-hong-cu olehnya, pandangan tidak setia kepada Yalima berobah cemburu dan iri terhadap Yalima! Bahkan ketika dia melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai, biarpun dia selalu bersikap diam dan dingin kaku, namun diam-diam dia merasakan sesuatu yang indah di dalam hatinya, sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan!

Dan ketika dia melihat Yalima ternyata telah menikah dengan orang lain, saking malunya terhadap Bun Houw dia ingin membunuh Yalima! Akan tetapi di balik itu semua, harus dia akui bahwa dia merasa girang bukan main melihat Yalima telah menjadi isteri orang lain.

“Aku telah gila... aku telah gila...!” Dia berbisik dan menjambak rambutnya sendiri

Houw-koko...!” Keluh hatinya dan dia merasa betapa hidupnya sunyi dan sendiri, betapa dia merindukan kehadiran Bun Houw di sampingnya, di dekatnya, biarpun tidak usah berdekatan dan bersikap baik, asal ada nampak Bun Houw di situ dia tidak akan merasa tersiksa seperti sekarang ini. Dia merasa rindu sekali dan otomatis tangannya meraba pinggang. Dia terkejut, memandang ke arah pinggangnya dan baru teringat dia bahwa Hong-cu-kiam telah ditinggalkannya di Cin-ling-san! Dia mengeluh panjang dan merasa makin sunyi dan sepi, merasa kehilangan!

“Houw-ko...!” Kembali bibirnya mengeluh, jantungnya seperti diremas rasanya dan ingin dia menjerit-jerit memanggil nama pemuda yang dirindukannya itu.

In Hong mengepal tinju dan membuka matanya. Kekerasan hatinya yang dulu timbul lagi dan matanya menjadi beringas. Dia cepat membalik seolah-olah diserang orang dari belakangnya, dan tangannya yang dikepal itu menghantam batang pohon.

“Dessss... krakkkkk!” Batang pohon itu patah dan kepalan tangannya berdarah karena saking marahnya dan saking gelisahnya dia tadi menghantam tanpa melindungi tangan dengan sin-kang. Terasa nyeri sekali tangannya yang berdarah dan dia mencucupi darahnya sendiri di tangan itu, wajahnya agak terang dan dia berterima kasih kepada rasa nyeri di tangannya, karena rasa nyeri itu mengurangi rasa nyeri yang lebih mendalam dan menyiksa tadi.

“Persetan dengan Cia Bun Houw...!” Dia membentak lalu dara ini lari secepatnya keluar dari hutan itu dan mendaki lereng gunung di depan.

Ketika dia keluar dari hutan dan tiba di jalan raya kasar yang diapit-apit padang rumput, dia mendengar derap kaki kuda dan melihat serombongan orang berkuda, pakaian mereka seragam mendatangi dengan cepat. Karena hatinya lagi risau In Hong tidak perduli dan terus saja dia mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga dia berpapasan dengan rombongan belasan orang itu tanpa memperhatikan sama sekali.

“Heiii...!” Tiba-tiba terdengar seruan dari rombongan penunggang kuda itu dan In Hong masih tetap berlari terus. Akan tetapi kini dia mendengar derap kaki kuda dari belakangnya dan agaknya rombongan penunggang kuda tadi telah membalikkan arah kuda mereka dan kini mengejar In Hong.

“Lihiap...! Perlahan dulu...!”

Setelah tiga kali mendengar seruan ini, barulah In Hong sadar bahwa ada orang-orang mengejarnya dan bahwa panggilan itu ditujukan kepadanya, maka dia lalu berhenti berlari dan menanti di pinggir jalan sambil memandang tajam penuh perhatian, hatinya sudah mulai panas karena merasa bahwa perjalanannya diganggu orang! Kalau serombongan orang laki-laki itu hendak berlaku kurang ajar kepadanya, awas, pikirnya! Aku takkan mengampunkan kalian!

Kini rombongan yang terdiri dari lima belas orang berpakaian seragam gemerlapan karena disulam benang emas itu berhenti pula di situ dan seorang di antara mereka, yang bertubuh tegap dan bersikap gagah, usianya empat puluhan tahun, meloncat dengan gesitnya dari atas kuda lalu menghampiri In Hong yang berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang depan dada.

Laki-laki yang ternyata adalah komandan dari pasukan itu, menjura dan mengeluarkan sehelai kain bergambar, dipandangnya kain itu, kemudian dia menatap wajah In Hong penuh selidik dan bertanya, “Maafkan saya, lihiap. Bukankah lihiap ini yang bernama Yap In Hong?”

Tangan dara itu bergerak cepat seperti kilat menyambar. Komandan pasukan itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang komandan atau perwira dari pasukan Kim-i-wi yaitu pasukan pengawal istana yang berpakaian seragam keemasan atau yang dinamakan Pasukan Baju Emas. Kepandaiannya sudah cukup tinggi, kalau tidak tentu saja dia tidak akan terpilih menjadi perwira. Melihat gerakan dara itu, dia terkejut sekali dan cepat mengelak sambil menarik kembali tangannya yang memegang lukisan.

“Prrrttt...!” Betapapun cepatnya perwira itu mengelak, tetap saja gambar itu telah berpindah tangan dan kini dengan tenang, tanpa merobah kedudukan tubuhnya, In Hong yang masih cemberut itu memandang gambar di tangannya. Dia kaget dan heran sekali melihat lukisan yang indah di atas kain itu, lukisan seorang wanita muda yang bukan lain adalah dirinya sendiri!

In Hong mengerutkan alisnya dan pandang matanya ke arah wajah perwira itu seperti todongan ujung pedang yang amat runcing sehingga perwira itu kembali terkejut dan otomatis mundur selangkah ke belakang.

“Hayo katakan, siapa yang melukis ini dan apa maksudnya semua ini?” Suaranya dingin sekali dan nadanya mengancam sehingga terasa pula oleh semua anggauta pasukan pengawal Kim-i-wi yang mendengarnya.

Akan tetapi, pasukan pengawal Kim-i-wi adalah terkenal sebagai pasukan yang gagah berani dan setia, semacam pasukan pengawal istana yang telah disumpah untuk setia sampai mati! Perwira itupun lalu menjawab dengan tabah, “Maafkan saya, lihiap. Demi tugas kami, maka sebelum lihiap menjawab apakah benar lihiap yang bernama Yap In Hong, kami tidak dapat menerangkan apapun.”

In Hong memandang dengan marah, akan tetapi ketika dia bertemu pandang dengan perwira itu, dia merasa kagum. Perwira ini benar-benar berani, akan tetapi tidak kurang ajar, dan tidak sombong pula. Kekagumannya membuat dia agak lunak.

“Aku benar Yap In Hong. Nah, sekarang terangkan semua, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajar kalian semua karena gangguan ini!”

Wajah perwira itu menjadi berseri gembira dan juga anak buahnya menjadi girang sekali nampaknya. “Wah, maaf... eh, betapa girang hati kami, lihiap. Susah payah kami mencari lihiap. Ketahuilah, kami adalah pasukan Kim-i-wi dari istana kaisar dan ratusan orang anggauta kami disebar di seluruh pelosok untuk mencari lihiap dan ini merupakan perintah dari sri baginda kaisar sendiri! Setiap pasukan diberi gambar seperti ini agar lebih mudah mengenal lihiap. Ketika tadi kita saling berpapasan, saya segera mengenal lihiap maka kami melakukan pengejaran.”

Akan tetapi pandang mata In Hong masih belum melenyapkan kecurigaannya. “Apa sebabnya istana mengerahkan pasukan pengawal untuk mencari aku?”

“Lihiap, saya hanya seorang pemimpin pasukan kecil saja, mana saya bisa mengetahui akan kehendak sri baginda kaisar? Yang saya ketahui hanya bahwa pasukan-pasukan pengawal menerima perintah keras dari sri baginda kaisar untuk mencari lihiap sampai jumpa...”

“Dan kalau sudah jumpa?”

“Agar dipersilakan ke istana untuk memenuhi undangan kaisar.”

In Hong berpikir sejenak. Tidak mungkin ada sesuatu yang buruk di belakang undangan kaisar ini, pikirnya. Dia tahu bahwa kaisar yang muda itu adalah seorang yang baik dan gagah. Dia sudah menolong kaisar lolos dari benteng Sabutai, tidak mungkin kaisar yang kini sudah menduduki tahtanya lagi itu berniat buruk terhadap dirinya. Menarik juga undangan kaisar ini, menjanjikan pengalaman-pengalaman baru untuknya, dan pada saat seperti itu, selagi hatinya diliputi gundah, pergi kepada kakaknya di Leng-kokpun tidak ada gunanya. Lebih baik ke kota raja memenuhi undangan kaisar dan hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan oleh kaisar terhadap dirinya.

“Baik, aku akan ikut dengan kalian ke istana,” katanya.

Wajah perwira itu berseri-seri dan girangnya bukan main. Juga anak buahnya semua tersenyum girang karena kalau pasukan mereka ini yang menemukan pendekar wanita itu, tentu berarti mereka akan menerima pujian dan ganjaran besar! “Saya akan memberi isyarat kepada semua pasukan Kim-i-wi!” katanya dan tak lama kemudian dia melepaskan panah ke udara, anak panah berapi yang menyalakan kembang api berwarna biru di udara.

lanjut ke Jilid 34-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar