Jumat, 21 Februari 2014

Dewi Maut Jilid 29

Dewi Maut Jilid 29

<--kembali

In Hong memandang terbelalak, namun hatinya girang bukan main. Kiranya gurunya ini di depan Raja Sabutai hanya bersiasat saja, sebenarnya tidak ingin membunuh kaisar, malah hendak menyelamatkannya. Akan tetapi saking herannya dia bertanya, “Tapi, subo...”

“Hushhh...!” ketua Giok-hong-pang itu mencela muridnya yang membantah, “kita tidak boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan. Kalau Sabutai berhasil, itu baik sekali, kalau tidak, kita dapat mencari kedudukan melalui kaisar itu.”

Hati In Hong kecewa lagi dan diam-diam dia mulai mengenal watak gurunya yang ternyata amat mementingkan dirinya sendiri sehingga untuk membela dia yang dianggapnya telah jatuh cinta kepada Bun Houw, gurunya tidak segan-segan membunuh gadis dusun yang dikira mencinta pemuda itu, dan kini kaisarpun hanya dijadikan jalan untuk mencapai kepentingannya pribadi. Diam-diam di dalam hati gadis ini timbul rasa tidak suka dan penentangan, akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan dengan terang-terangan. Hanya dia merasa heran, mengapa sebelum ini dia menganggap gurunya sebagai satu-satunya orang yang baik, yang semua tindakannya dia anggap benar belaka. Mengapa sekarang dia melihat hal-hal yang dianggapnya tidak patut dan tidak benar dalam tindakan gurunya? Mulailah hati In Hong merasa bimbang. Mulailah dia memikirkan dan mencari akal untuk dapat menyelamatkan kaisar, dari tangan Sabutai dan dari tangan subonya sendiri. Dan dia menggantungkan harapannya kepada Khamila, isteri Raja Sabutai. Wanita cantik jelita itu berwajah ramah, sinar matanya lembut.

Dua hari kemudian, mulailah Raja Sabutai yang telah mengerahkan pasukannya itu bergerak ke selatan. Sebagai pimpinan Suku Bangsa Nomad, dan karena khawatir akan keselamatan isterinya, dalam penyerbuan ini, Khamila dan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawananpun dibawa dan selalu berada di bagian belakang di dalam pasukan perbekalan yang juga bertugas mengatur ransum para anak buah pasukan. Yang bertugas menjaga keselamatan Khamila dan menjaga agar kaisar tawanan tidak sampai lolos adalah In Hong, dibantu oleh dua losin pengawal.

Ketika fihak kerajaan mendengar akan gerakan pasukan Sabutai ini, tentu saja merekapun lalu bergerak mengirim bala tentara. Di perbatasan, para komandan pasukan kerajaan bertemu dengan pasukan kecil yang dipimpin oleh Cia Keng Hong dan puteranya, dan dengan gemas Cia Keng Hong dan puteranya mengerti bahwa kerajaan sama sekali tidak memperdulikan nasib Kaisar Ceng Tung, bahkan sama sekali tidak ada pengiriman pasukan dari kerajaan untuk menyelamatkan kaisar yang tertawan. Tahulah pendekar ketua Cin-ling-pai itu bahwa terjadi pergolakan dan perebutan kekuasaan di kota raja, apalagi ketika dia mendengar bahwa bukan saja tidak ada usaha menyelamatkan Kaisar Ceng Tung, bahkan kini para pembesar mengangkat seorang kaisar baru dan seolah-olah menganggap Kaisar Ceng Tung sudah mati! Dan kini, setelah Sabutai bergerak mengancam kerajaan, barulah bala tentara dikerahkan!

Sebetulnya, di dalam hati, Cia Keng Hong marah kepada para pembesar di kota raja. Akan tetapi karena diapun melihat bahaya dari Sabutai yang bergerak ke selatan, dan karena dia tidak ingin mencampuri pula urusan perebutan tahta kaisar, maka pendekar inipun mengerahkan pasukannya untuk membantu bala tentara kota raja menghadapi musuh. Yang penting baginya adalah membela negara menghadapi musuh Bangsa Mongol yang hendak menjajah itu!

Bentrokan pertama antara pasukan Sabutai dengan pasukan kerajaan terjadi di perbatasan. Dan biarpun mendapai bantuan Cia Keng Hong, Cia Bun Houw, Tio Sun dan orang-orang Mancu dan Khitan, pasukan kerajaan terdesak mundur dan mengalami pukulan hebat! Di dalam perang besar seperti itu, kepandaian perorangan dari Cia Keng Hong, Cia Bun Houw dan Tio Sun tidak begitu besar artinya. Apalagi di fihak musuh juga banyak sekali terdapat orang pandai seperti tiga orang tokoh Bayangan Dewa, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sinkouw, Bouw Thaisu dan terutama sekali Yo Bi Kiok, Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko. Fihak kerajaan terlalu memandang rendah kepada Sabutai sehingga bala tentara yang dikirimkan itu jauh daripada mencukupi, kalah banyak jumlahnya dan memang kalah kuat para perajuritnya. Pasukan Sabutai terdiri dari perajurit-perajurit gemblengan yang selain terlatih kehidupan yang keras dan sukar, juga bersemangat besar untuk menegakkan kembali kerajaan bangsa mereka, Bangsa Mongol yang pernah menjadi bangsa yang jaya.

Memang hebot gerakan Sabutai dan ternyata tidak kecewa dia mengaku sebagai keturunan Jenderal Sabutai yang pernah menjadi tokoh militer di jaman kejayaan Kerajaan Goan-tiauw, yaitu ketika Bangsa Mongol menguasai seluruh Tiongkok. Dia menggunakan siasat yang amat hebat sehingga pasukannya bergerak seperti kilat ke selatan, merobohkan semua rintangan sehingga semua pertahanan pasukan Kerajaan Beng terus-menerus dipukul mundur sampai akhirnya pasukan-pasukan pemberontak Mongol ini berhasil tiba di benteng pertama Kota Raja Peking!

Cia Keng Hong prihatin sekali melihat keadaan ini dan dia bersama puteranya dan Tio Sun telah membantu mati-matian, merobohkan dan membunuh entah berapa banyak pasukan musuh. Namun mereka tidak berdaya karena fihak Mongol memang jauh lebih kuat daripada jumlah pasukan kerajaan yang bertahan. Hal ini adalah karena kerajaan sedang kacau dan para pembesar militerpun telah terpecah-pecah oleh suasana perebutan kekuasaan.

Baru setelah bala bantuan datang, yaitu pasukan-pasukan yang ditarik dari semua jurusan, kekuatan pasukan kerajaan terkumpul dan terpusatkan dalam pertahanan, maka gerakan pasukan Sabutai dapat dibendung, bahkan mulai dihalau mundur dari daerah lingkungan kota raja. Dan di dalam pasukan bala bantuan yang kuat ini muncul pula banyak tokoh kang-ouw yang gagah perkasa yang selalu dalam saat negara terancam bahaya tentu muncul meninggalkan tempat-tempat persembunyian mereka untuk menyumbangkan jiwa raganya tanpa pamrih untuk kepentingan diri pribadi. Dan di antara para orang gagah ini terdapat pula Yap Kun Liong! Biarpun pendekar ini tadinya sibuk dengan urusan pribadinya sendiri, menyelidiki dan mencari hilangnya Yap Mei Lan, puterinya, juga mencari hilangnya Lie Seng, putera Cia Giok Keng, di samping menyelidiki kematian isterinya, mencari pembunuhnya, akan tetapi begitu mendengar bahwa pasukan Mongol menyerbu ke selatan dan telah tiba di benteng pertama pertahanan Kota Raja Peking, pendekar inipun segera melupakan semua urusan pribadinya dan terus saja menggabungkan diri dengan pasukan kerajaan yang datang dari berbagai jurusan itu, menyumbangkan tenaganya melawan musuh.

Berkali-kali Sabutai mengalami kekalahan sehingga akhirnya dia menarik mundur sisa pasukannya yang hanya tinggal separuhnya! Dia mundur sampai di luar perbatasan kota raja dan membuat pertahanan kokoh di sebuah benteng yang telah dirampasnya ketika dia menyerbu ke sclatan.

Sementara itu, In Hong telah menjadi sahabat baik dari Khamila. Dia tahu bahwa ada sesuatu di antara isteri Raja Sabutai itu dengan Kaisar Ceng Tung yang menjadi tawanan. Hal ini diketahuinya ketika kaisar muda itu jatuh sakit karena cemas memikirkan betapa pasukan Mongol makin mendekati kota raja, Khamila memperlihatkan perhatian luar biasa, bahkan dengan perantaraan In Hong minta agar mengirimkan buah-buah segar kepada kaisar itu. Tentu saja In Hong menjadi heran dan akhirnya dia dapat menduga bahwa isteri Sabutai itu merasa simpati kepada kaisar.

“Kasihan sekali sri baginda kaisar,” pada suatu petang In Hong sengaja memancing di depan Khamila. “Dia menjadi tawanan yang tak berdaya dan hanya mendengar betapa kerajaannya terancam keruntuhan.”

Mendengar ucapan In Hong ini, Khamila memandang tajam, kemudian bertanya lirih, “Hong-lihiap, engkau adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan berilmu tinggi. Bagaimanakah pendapatmu tentang Kaisar Ceng Tung itu? Dia telah tertawan, akan tetapi dia tidak pernah sudi menyerah, tidak pernah mau tunduk dan sama sekali tidak takut mati.”

Jelas terasa oleh In Hong betapa kekaguman besar terkandung dalam kata-kata ini, maka dia menjawab, “Dia memang seorang kaisar yang besar, seorang jantan yang mengagumkan.” In Hong memandang tajam, lalu melanjutkan, “Sayang dia menjadi tawanan yang tidak berdaya. Seorang gagah seperti beliau itu sepatutnya tidak menjadi tawanan.”

“Maksudmu... sepatutnya dia bebas?”

In Hong memandang. Dua orang wanita yang sama cantik jelitanya akan tetapi jelas memiliki sifat yang berlawanan itu, yang seorang penuh kelembutan dan kelemahan, yang seorang keras dan gagah, akan tetapi keduanya cantik jelita menggairahkan itu, untuk beberapa lamanya saling pandang. Akhirnya Khamila membuka mulut berkata, “Kalau begitu, engkau yang menjaganya, engkau yang mengepalai para pengawal di sini, kenapa engkau tidak membebaskannya?”

In Hong tidak kaget mendengar pertanyaan aneh ini. Memang tidak aneh kalau isteri dari Raja Sabutai yang menawan kaisar itu bertanya demikian. Dia sudah menduga bahwa wanita itu suka kepada kaisar, sungguhpun mimpipun tidak pendekar wanita ini bahwa kandungan dalam perut ratu yang hamil muda ini adalah keturunan kaisar yang menjadi tawanan itu!

“Bagaimana saya dapat membebaskan beliau? Para penjaga tentu akan mencegah dan pula... sungguhpun saya tidak takut menghadapi mereka, saya masih harus menjaga keselamatan paduka...”

“Kaubebaskanlah beliau biar aku yang menanggung kalau sampai terjadi apa-apa...” kini wajah puteri itu merah, dan matanya sayu.

“Bagaimana kalau paduka juga ikut lolos?”

“Ehhh...?” Sepasang mata yang lebar dan indah itu terbelalak. “Apa maksudmu...?”

“Saya kira, kaisar hanya dapat diselamatkan kalau paduka suka membantu. Kalau paduka yang keluar dari benteng ini, dikawal oleh saya dan seorang pembantu saya, yaitu kaisar yang menyamar, tentu tidak akan ada pengawal yang berani mencegah atau bercuriga. Kemudian, kalau saya sudah berhasil mengantar kaisar dengan selamat ke kota raja, saya pasti akan membawa paduka kembali kepada Raja Sabutai.”

“Ahhh...!” Sejenak sepasang mata itu berseri dan bersinar mengingat bahwa dia akan berkesempatan dekat dengan kaisar yang dicintanya, dengan ayah dari anak yang dikandungnya, akan tetapi dia masih ragu-ragu karena, betapapun juga, dia tidak dapat meninggalkan Sabutai yang menjadi suaminya yang amat baik hati itu. “Tapi... bagaimana kalau suamiku mencegahnya? Suhu dan subonya seperti iblis-iblis mengerikan, belum lagi para pembantu Wang Cin itu...”

“Kita harus cerdik, dan kita bergerak kalau mereka itu keluar dari benteng menyambut musuh.”

Akhirnya Khamila dapat terbujuk juga karena wanita ini ingin sekali memperlihatkan bukti cintanya kepada ayah dari anak yang dikandungnya itu, bukti yang mutlak tentang cintanya sebelum mereka saling berpisah, mungkin untuk selamanya. Dia setuju dan kedua orang wanita yang sifatnya berlawanan ini menjadi akrab dan sama-sama mengatur siasat.

Kemudian In Hong yang sudah memperkenalkan diri sebagai seorang yang berpura-pura berfihak kepada Sabutai untuk menolong kaisar itu membicarakan kepada kaisar tentang rencananya dengan Ratu Khamila. Tentu saja kaisar menjadi girang dan terharu sekali, dan dia segera sembuh dari sakitnya mendengar bahwa terbuka kesempatan baginya untuk lolos dari tawanan.

Saat yang dinanti-nanti oleh In Hong, Khamila, dan Kaisar Ceng Tung tiba tidak lama kemudian. Bala tentara Kerajaan Beng yang telah menyelidiki bahwa musuh membuat pertahanan di dalam benteng yang kokoh itu, datang menyerbu. Sabutai mengerahkan pasukannya yang tinggal separuhnya, dan melakukan pertahanan di benteng itu, ada pula sebagian yang menjaga pintu-pintu benteng sehingga tidak mudah bagi bala tentara Beng untuk membobolkan benteng yang amat kuat itu.

Kesempatan baik inilah yang ditunggu-tunggu oleh In Hong. Lewat senja, setelah cuaca mulai gelap dan seluruh benteng sedang sibuk menghadapi musuh, suara bising terdengar di luar dan sekeliling benteng besar itu, tampak Ratu Khamila dengan pakaian ringkas tergesa-gesa keluar dari ruangan-ruangan yang menjadi tempat tinggalnya, dikawal oleh In Hong dan seorang pengawal muda yang gagah dan berpakaian sebagai pengawal pribadi sang ratu. Para penjaga di luar yang melihat sang ratu naik kereta joli keluar, apalagi dikawal sendiri oleh In Hong yang mereka kenal sebagai kepala pengawal pribadi, tidak memperhatikan pengawal pria itu yang mereka anggap tentulah seorang pengawal biasa, seorang perajurit biasa. Tidak ada seorangpun berani membantah atau menentang dan hanya kepala jaga yang bertanya ke mana In Hong hendak mengantar sang ratu pergi dalam keadaan berbahaya seperti itu.

Justeru karena keadaan bahaya maka Sri Baginda Sabutai mengutus aku untuk menyelamatkan ratu ke tempat aman di luar benteng!” jawab In Hong dan kepala penjaga itu tidak berani membantah lagi.

Dengan mudah saja In Hong dan “perajurit pengawal” yang bukan lain orangnya adalah Kaisar Ceng Tung itu lalu mengawal Khamila keluar dari benteng melalui pintu darurat atau pintu rahasia yang berada di tempat tersembunyi di belakang benteng itu. Para penjaga memberi hormat dan membukakan pintu kecil itu, kemudian setelah tiga orang itu menyelinap keluar, pintu itu lalu ditutup kembali dan tidak kelihatan ada pintu di dinding tebal itu, baik dilihat dari luar maupun dari dalam. Dan para penjaga menjaga lagi seperti biasa.

“Cepat kita lari ke hutan itu...!” In Hong berbisik kepada kaisar dan sang ratu. Kaisar yang menyamar seperti perajurit itu menarik kereta joli yang diduduki oleh Ratu Khamila dan mereka menyelinap di antara pohon-pohon memasuki hutan yang gelap.

“Heiiii...! Tunggu...!” Tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang. In Hong cepat menoleh dan terkejutlah dia ketika melihat selosin orang perajurit dipimpin oleh kepala jaga tadi!

“Sri baginda, cepat ajak ratu bersembunyi di dalam semak-semak!” In Hong berbisik dan Kaisar Ceng Tung lalu menarik tangan kekasihnya itu, dan segera mereka lenyap di balik semak-semak belukar di mana mereka saling rangkul dengan hati tegang namun dengan perasaan bahagia bahwa mereka berdua yang saling mencinta itu masih sempat mengalami bahaya bersama-sama! Kereta joli mereka gulingkan ke dalam jurang untuk menghilangkan jejak mereka.

“Hemm, kalian mau apa?” In Hong membentak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang dan sikap marah menantang.

“Lihiap, kami mendapat laporan bahwa tawanan telah lenyap!” kata kepala jaga sambil memandang dengan penuh kecurigaan dan obor-obor yang dibawa oleh para perajurit diangkat tinggi-tinggi untuk meneliti keadaan di sekitar tempat itu.

“Tawanan siapa?” In Hong berkata dengan nyaring dan disengaja agar kaisar yang sedang bersembunyi itu dapat mendengarnya dan berhati-hati.

“Kaisar itu! Dia telah lenyap.”

“Hemm, biarpun aku bertugas menjaganya di sana, akan tetapi engkau tahu bahwa aku tidak ada di sana ketika dia lolos. Kesalahan kalian semualah itu. Perlu apa mengejar aku?”

“Lihiap... eh, tadi aku kurang teliti. Lihiap mengawal sang ratu keluar benteng, bersama seorang perajurit pengawal... dan sekarang baru aku ingat bahwa tidak ada perajurit pengawal seperti itu di dalam benteng. Di manakah mereka? Di mana perajurit itu dan sang ratu?”

“Kurang ajar! Kau menuduh aku...?”

“Bukan menuduh. Akan tetapi demi keselamatan, kuharap lihiap suka memperlihatkan surat perintah sri baginda!”

“Ini perintah lisan, tanpa surat! Kalian tentu mata-mata musuh yang hendak mencegah aku menyelamatkan ratu!”

“Hemm, sikap lihiap sungguh mencurigakan! Di mana sang ratu? Dan di mana pula tawanan itu kausembunyikan?” Kepala jaga itu memberi isyarat sambil melangkah maju dan selosin perajurit itu lalu mengurung In Hong.

“Ratu menjadi tanggung jawabku! Kalian ini yang mencurigakan, tentu kalian adalah mata-mata musuh yang hendak mencelakakan ratu!” berkata demikian, In Hong yang tahu bahwa rahasianya mulai bocor, cepat mencabut pedangnya dan sekeli berkelebat, pedangnya telah meluncur menjadi sinar yang menyilaukan mata, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam dan terdengarlah pekik susul-menyusul ketika dalam segebrakan saja empat orang perajurit telah roboh dan tewas! Kepala penjaga itu menjadi marah dan cepat bersama sisa orangnya maju mengeroyok. Golok dan pedang menyambar-nyambar ke arah tubuh In Hong. Namun kini In Hong yang maklum bahwa kalau dia tidak bertindak cepat dan dikejar oleh pasukan besar, tentu kaisar akan celaka, bergerak seperti seekor harimau betina yang haus darah. Pedang Hong-cu-kiam yang tipis bersinar emas itu mengaum seperti bunyi singa marah, sinarnya bergulung-gulung dan para pengeroyok itu berjatuhan. Pekik kesakitan susul-menyusul du dalam waktu singkat saja semua pengeroyok yang berjumlah tiga belas orang itu roboh dan tewas!

In Hong cepat meloncat ke balik semak-semak belukar tadi sambil menginjak obor-obor yang masih bernyala. “Ssstttt... sri baginda...! Ke sini...!” serunya perlahan ke arah semak-semak itu.

Mereka keluar dari balik semak-semak, dan melihat di dalam keremangan malam betapa keisar tawanan itu merangkul leher Khamila sedangkan ratu itu merangkul pinggang kaisar. In Hong mengerutkan alisnya. Apa-apaan yang dilihatnya ini?

Timbul perasaan tidak senang di dalam hatinya. Khamila adalah seorang ratu, isteri dari Raja Sabutai yang gagah Perkasa. Biarpun ada baiknya kalau ratu ini bersimpati kepada kaisar yang dia tahu memang seorang yang berwatak agung dan gagah, namun tidaklah sepatutnya kalau mereka bersikap seperti sepasang kekasih yang begitu mesra!

“Kita pergi sekarang dengan cepat memasuki hutan,” katanya singkat dan dia mendahului mereka melangkah masuk ke dalam hutan itu, membawa sebatang obor yang diambilnya dari obor-obor yang tadi dibawa oleh para perajurit penjaga.

Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan semalam itu bagi sang ratu. Dia adalah seorang puteri yang halus, yang tidak pernah melakukan perjalanan jauh, dan kini dia terpaksa harus melakukan perjalanan di waktu malam gelap, melalui sebuah hutan lebat lagi! Dan dia sedang mengandung!

Akan tetapi, karena di situ terdapat Kaisar Ceng Tung, yang dengan penuh kasih sayang menuntunnya, menghiburnya dan merangkulnya, ratu ini dapat juga melanjutkan perjalanan dan baru pada keesokan harinya, setelah matahari mengusir kegelapan malam, In Hong mengajak mereka berhenti di dalam hutan.

“Aduh... seperti mau patah-patah rasanya kakiku...” Khamila mengeluh dan dia duduk di atas rumput, kakinya dipijati oleh Kaisar Ceng Tung.

Melihat ini, In Hong membuang muka dan wajahnya menjadi merah sekali. Kurang ajar, pikirnya. Orang-orang bangsawan ini sungguh tak tahu malu! Kalau dia tidak ingat bahwa yang berada di depannya itu adalah Kaisar Kerajaan Beng dan ratu dari Raja Sabutai, tentu dia sudah menghajar mereka, atau setidaknya meninggalkan pergi tanpa memperdulikannya lagi! Untuk menutupi rasa marahnya dan muaknya, dia tanpa menoleh berkata, “Kita terpaksa melakukan perjalanan hanya di waktu malam, kalau siang kita beristirahat di dalam tempat-tempat tersembunyi.” Suaranya dingin dan datar.

Hening sejenak dan tiba-tiba In Hong mendengar suara langkah kaki mendekatinya, akan tetapi dia tidak perduli dan
dia tidak mau menoleh ke arah mereka. Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Dia menoleh dan ternyata Khamila yang duduk di sebelahnya dan merangkulnya.

“Hong-lihiap... eh, sebaiknya engkau kupanggil enci saja karena aku sudah menganggapmu sebagai saudara sendiri. Enci Hong, kau... kaumaafkanlah kami berdua...”

In Hong mengerutkan alisnya dan membuang muka. “Urusan kalian tidak ada sangkut pautnya dengan aku!” katanya lirih dan dingin.

Khamila menarik napas panjang. “Tentu engkau akan menganggap bahwa kami tidak sopan atau tidak mengenal kesusilaan. Akan tetapi ketahuilah, di antara beliau dan aku... kami sudah saling mencinta sejak lama...”

“Ehhh? Bagaimana...?” In Hong terkejut juga mendengar ini.

“Dan suamiku juga tahu akan hal itu, enci. Tidak perlu kubuka lebih lebar rahasia keluarga kami, akan tetapi ketahuilah bahwa aku cinta kepada kaisar, dan sebaliknya beliaupun cinta kepadaku. Dan hubungan kami bukanlah hubungan gelap, seperti kukatakan tadi, suamiku juga tahu dan... dan menyetujuinya. Hanya ini yang dapat kukatakan, enci Hong. Karena cintakulah maka aku mau berkorban seperti ini, untuk membebaskannya, kemudian... aku akan ikut denganmu kembali kepada suamiku.” Suaranya menjadi berduka sekali.

“Hemmm...” In Hong tak dapat berkata apa-apa lagi karena dia merasa heran, kaget, dan juga terharu. Dia menoleh kepada kaisar yang masih duduk dan melihat In Hong memandangnya, kaisar mengangguk-angguk dan memandang kepada Khamila dengan sinar mata yang mesra, penuh cinta kasih.

“Hemmm... biarlah aku mencari bahan makanan...” kata In Hong dan dia lalu bangkit dan pergi meninggalkan orang-orang yang sudah saling peluk lagi itu.

Sampai dua hari dua malam, mereka melakukan perjalanan yang lambat sekali. Selama ini, In Hong melihat betapa mereka itu berkasih-kasihan dengan mesra sehingga dia menjadi malu sendiri dan selalu mienjauhkan diri, akan tetapi setelah jauh, dia duduk termenung dan terbayanglah wajah... Bun Houw! Membayangkan dia dan Bun Houw berkasih-kasihan seperti halnya kaisar dan Khamila, membuat dara ini berulang kali menarik napas panjang dan berulang kali pula mencela dan memaki diri sendiri. “Tidak tahu malu kau!” bentaknya dalam bisikan kepada diri sendiri setiap kali dia membayangkan dirinya dan Bun Houw bermesraan.

Pada hari ketiga, ketika mereka baru saja berhenti dari perjalanan semalam suntuk yang amat melelahkan, dan In Hong sedang membuat api unggun, dibantu oleh kaisar dan Khamila, yang mengumpulkan daun-daun kering, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari balik batang-batang pohon berlompatan keluarlah beberapa orang yang membuat In Hong terkejut sekali dan pendekar wanita ini melepaskan ranting yang dipegangnya. Di depannya telah berdiri Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu, empat orang sakti yang membantu pembesar Thaikam Wang Cin itu!

Akan tetapi In Hong sama sekali tidak menjadi gentar dan dia malah bersikap tenang memandang mereka seorang demi seorang dengan sinar matanya yang tajam dingin lalu terdengar dia berkata, suaranya datar dan penuh tantangan, “Kalian orang-orang tua datang menyusul kami mau apa?”

“Heh-heh-heh, Yap In Hong, engkau masih bertanya kepada kami? Bukankah pertanyaan itu sebaiknya diajukan kepadamu? Mau apa engkau mengajak tawanan dan Ratu Khamila ke tempat seperti ini?”

Sebelum In Hong menjawab, tiba-tiba kaisar yang sudah bangkit berdiri sambil menggandeng tangan Khamila itu berkata dengan lantang, “Kami lihat bahwa kalian adalah orang-orang Han yang menjadi kaki tangan si pengkhianat Wang Cin! Apakah sampai sekarang kalian tidak menyadari bahwa Wang Cin menyeret kalian orang-orang tua ke lembah penghinaan, hendak menjual negara kepada bangsa lain dan bahwa sekarang usaha Wang Cin sudah mengalami kegagalan dan di ambang kehancuran? Dengan suka rela kami ikut melarikan diri bersama nona Hong. Kalian mengejar ini mau apa? Hayo jawab!”

Kaisar yang muda itu memang memiliki wibawa yang hebat. Pandang matanya, sikapnya, kata-katanya semua mengandung wibawa besar sehingga sejenak empat orang tua itu tidak mampu menjawab. Bahkan Go-bi Sin-kouw yang biasa pandai bicara, kini menunduk dengan muka merah. Akan tetapi, segera nenek ini dapat menguasai dirinya lagi dan dengan suara yang kurang galak dia berkata, “Kami mengejar untuk membawa kaisar dan ratu kembali ke benteng.”

Kaisar menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tua itu, gerakan yang juga mengandung wibawa kemudian katanya lanteng, “Dengarlah, hai para pengkhianat bangsa! Aku lebih percaya kepada seorang musuh seperti Raja Sabutai daripada kepada pengkhianat-pengkhianat seperti kalian! Kalau Sabutai yang datang menyusul, aku akan menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi aku tidak sudi menjadi tawanan kalian, dan lebih baik mati. Nona, beranikah engkau melawan mereka?”

In Hong mengangkat dadanya yang sudah membusung itu sehingga makin menonjol karena dia merasa kebanggaannya timbul dapat melindungi kaisar yang begini gagah sikapnya. “Tentu saja hamba berani!” jawabnya tegas.

“Nah, aku perintahkan engkau untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat bangsa seperti mereka itu, nona!” kata pula kaisar dan dengan sikap tenang dia lalu menggandeng tangan Khamila, diajaknya duduk di bawah sebatang pohon agar wanita muda itu tidak kepanasan, duduk di atas rumput hijau sambil siap untuk menonton pertandingan. Biarpun dia yang terancam bahaya, namun kaisar bersikap tenang saja seolah-olah dia yakin akan kemenangan In Hong, atau seolah-olah dia tidak perduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.

“Enci Hong, hati-hatilah...!” Ratu Khamila juga berseru ke arah In Hong.

In Hong menoleh dan memandang ke arah ratu yang cantik itu dengan senyum terima kasih. Dia makin bangga. Kaisar itu muda dan gagah berani, ratu itu cantik jelita dan manis budi, sungguh tidak percuma membela orang-orang seperti mereka. Apalagi dia sendiri memang sejak dahulu merasa tidak suka kepada empat orang ini, terutama kepada Go-bi Sin-kouw karena dia masih teringat akan kematian kakak iparnya, isteri dari kakak kandungnya, Yap Kun Liong, yaitu wanita cantik yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu. Sampai sekarang, dia mempunyai dugaan keras bahwa nenek inilah yang telah membunuh isteri kakak kandungnya itu.

In Hong melangkah maju menghadapi empat orang itu, sinar matanya menyambar-nyambar, kemudian dia berkata, “Aku tahu bahwa tiga orang locianpwe, Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu hanyalah terbawa-bawa saja oleh Lima Bayangan Dewa dan yang menjadi perantara adalah Go-bi Sin-kouw! Kalau sam-wi locianpwe masih dapat menyadari kesalahan, boleh meninggalkan tempat ini dan kembali ke tempat masing-masing, akan tetapi kalau hendak menemani Go-bi Sin-kouw mati di sini, silakan!”

Hebat sekali ucapan gadis muda ini, karena biarpun kata-kata yang halus itu ditujukan kepada tiga orang tokoh yang merupakan datuk-datuk golongan hitam itu, namun jelas bahwa dia merendahkan Go-bi Sin-kouw dan juga membayangkan bahwa dia tidak takut menghadapi pengeroyokan mereka berempat!

“Heh-heh-heh, sungguh lancang mulutmu, bocah setan! Kaukira menghadapi kami akan semudah itu? Kaukira membunuh kami akan semudah kau membunuh isteri Yap Kun Liong yang tidak berdaya itu? Heh-heh, jangan mimpi!”

Kata-kata Go-bi Sin-kouw ini membuat seseorang yang sejak tadi bersembunyi di balik sebatang pohon besar hampir saja berseru kaget. Mukanya berobah dan dia mengintai dengan hati-hati dan perhatiannya makin tercurah karena hatinya tertarik sekali. Dia seorang laki-laki tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan sikapnya masih gagah sekali. Tiba-tiba laki-laki tua ini menyelinap, gerakannya cepat bukan main dan tahu-tahu dia telah lenyaip ke dalam semak-semak belukar. Yang menyebabkan dia menghilang ini adalah karena dia melihat berkelebatnya seorang lain yang baru datang, seorang yang juga seperti dia, menyelinap dan mengintai ke depan dan kini orang itu, seorang wanita cantik, dengan gerakan ringan sekali telah meloncat ke atas sebatang pohon besar dan dari cabang ke cabang dia berloncatan seperti seekor tupai saja, mendekati tempat In Hong menghadapi empat orang tua itu.

In Hong dan empat orang tua yang dihadapinya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka sedang dalam keadaan siap untuk bertanding, dalam keadaan tegang dan perhatian mereka tercurah kepada lawan yang berada di depan masing-masing. Andaikata tidak sedang demikian, betapapun ringan dan cepat gerakan laki-laki tua dan wanita cantik itu, agaknya mereka berempat tentu akan dapat melihatnya atau setidaknya dapat menimbulkan kecurigaan mereka akan adanya orang yang mengintai.

Mendengar ucapan Go-bi Sin-kouw itu, In Hong menjadi merah mukanya, matanya menyorotkan sinar berkilat dan dia tersenyum mengejek. “Memang engkau seorang yang rendah, Go-bi Sin-kouw. Sejak dulu aku tahu bahwa engkau seorang pengecut yang suka memutarbalikkan kenyataan! Kau mengatakan bahwa aku membunuh isteri kakakku itu, akan tetapi tuduhanmu itu hanya untuk menutupi perbuatanmu yang hina! Tidak ada alasan bagiku mengapa aku harus membunuh isteri kakakku, sungguhpun aku tidak berhubungan dengan kakakku. Sebaliknya, isteri kakakku itu adalah bekas muridmu, dan sejak dahulu kau tidak setuju muridmu itu menjadi isteri kakakku. Kau memang nenek tua bangka hina...”

“Bocah setan, makanlah tongkatku!” teriak Go-bi Sin-kouw yang sudah marah sekali dan tongkatnya yang butut dan berwarna hitam itu sudah meluncur digerakkan oleh tangannya, mengirim serangan kilat ke arah perut In Hong.

“Huh!” In Hong mendengus dengan nada mengejek, lalu dia mengelak dengan mudah dan di detik berikutnya, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam telah menyambar ganas ke arah leher Go-bi Sin-kouw.

“Tranggg...!” Bunga api berpijar ketika tongkat nenek itu menangkis pedang akan tetapi nenek itu terhuyung dan hampir jatuh. Go-bi Sin-kouw sudah terlalu tua, usianya sudah tujuh puluh lima tahunan, tenaganya sudah banyak berkurang maka biarpun dia masih lihai dan ilmu pedangnya yang dimainkan dengan tongkat, yaitu Pek-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Garuda Putih) amat berbahaya namun karena sudah mulai lemah maka benturan tongkat dengan pedang In Hong yang masih memiliki tenaga sepenuhnya membuat dia hampir roboh.

Kembali kakek yang mengintai dari dalam semak-semak belukar itu membelalakkan matanya ketika melihat pedang di tangan In Hong yang tadinya dipakai sebagai sabuk. Dia memandang heran dan juga kagum, apalagi ketika kini tanpa banyak cakap Hwa Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu maju mengeroyok! Kakek yang bersembunyi itu mengerutkan alisnya dan seluruh urat di tubuhnya menegang. Dia melirik ke arah kaisar dan kakek ini menggeleng-geleng kepala dengan kagum. Kaisar muda itu menonton dengan tenang, sedikitpun tidak khawatir dan dia masih merangkul leher Khamila yang cantik itu dengan amat mesra, kadang-kadang mencium rambut atau muka wanita itu sekilas dengan gerakan penuh kasih sayang!

“Gila... sungguh gila!” Kakek yang bersembunyi itu mengomel seorang diri. “Gila dan aneh.” Akan tetapi perhatiannya kembali tercurah ke tempat pertempuran di mana In Hong menghadapi pengeroyokan empat orang tua itu dari empat penjuru.

Gadis itu memang hebat sekali. Tubuhnya sampai lenyap terbungkus sinar pedang keemasan yang bergulung-gulung menyelimuti dirinya, bahkan kadang-kadang sinar pedang yang bergulung-gulung itu mencuat ke sana-sini menyambar ke arah empat orang pengeroyoknya secara yang tidak tersangka-sangka dan dengan kecepatan kilat.

Go-bi Sin-kouw menggerakkan tongkat butut hitam dengan penasaran. Dia masih berusaha mendapatkan kembali ketangkasannya puluhan tahun yang lalu, namun percuma, karena memang tenaganya sudah banyak berkurang, padahal Pek-eng Kiam-sut membutuhkan gin-kang hebat dan kecepatan seperti seekor burung garuda. Hwa Hwa Cinjin memainkan kebutannya yang terbuat dari bulu monyet salju yang hanya hidup di kutub utara dan kebutan ini amat kuat. Karena maklum bahwa gadis itu tidak boleh dipandang ringan, tosu ini tidak malu-malu untuk ikut mengeroyok dengan senjata di tangan, ditemani pula oleh Hek I Siankouw yang sudah menyerang pula dengan pedang hitamnya yang berbahaya. Akan tetapi, yang paling berbahaya di antara ketiga orang tua itu adalah Bouw Thaisu. Biarpun pertapa ini hanya mempergunakan lengan baju kanan kiri, akan tetapi ternyata sambaran lengan bajunya sedemikian kuatnya sehingga mengejutkan hati In Hong. Dia dapat menangkis semua senjata yang tiga macam itu dengan baik, bahkan setiap kali bertemu senjata, Go-bi Sin-kouw dan Hek I Siankouw selalu terhuyung atau terpental senjata mereka, dan Hwa Hwa Cinjinpun dengan susah payah dapat mengimbangi tenaganya, akan tetapi setiap kali pedangnya bertemu dengan lengan baju Bouw Thaisu, dia merasa betapa telapak tangannya tergetar!

Lima puluh jurus telah lewat dan tetap saja empat orang tua itu belum dapat merobohkan In Hong. Jangankan merobohkan, mendesakpun tidak mampu dan dara itu dapat membalas setiap serangan lawan dengan serangannya yang tidak kalah ampuhnya. Bahkan ujung baju Go-bi Sin-kouw telah putus terbabat pedang dan paha Hwa Hwa Cinjin tercium ujung sepatu In Hong, merobek celana tosu itu dan membuat pahanya terasa nyeri. Marahlah Hwa Hwa Cinjin dan dia memberi tanda kepada partnernya, yaitu Hek I Siankouw dan mereka mulai bergerak dengan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun! Dengan ilmu ini, gerakan mereka berdua menjadi otomatis dan saling melindungi, dan mereka berdua benar-benar merupakan pasangan yang amat tangguh setelah menggunakan ilmu ini. Bouw Thaisu sendiri juga merasa malu bahwa sampai demikian lamanya dia dan teman-temannya belum juga mampu mengalahkan dara muda ini, maka dia berseru melengking nyaring dan gerakan sepasang lengan bajunya meniadi lebih antep dan kuat.

In Hong terkejut. Melihat pedang hitam menyambar dari kanan dan tongkat hitam menyambar dari depan, dia cepat mengelebatkan pedangnya. “Cring-cring... singggg...!” Sekaligus pedangnya menangkis pedang dan tongkat, dan terus meluncur ke arah Bouw Thaisu.

“Wuuttt... plakkk!” Pedang di tangan In Hong terpukul sampai terpental dan membuat tubuh dara itu miring. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwa Hwa Cinjin yang cepat “memasuki” lowongan itu dengan totokan kebutannya. Hudtim yang terbuat dari rambut monyet yang lemas itu digerakkan dengan pengerahan sin-kang keras, sehingga rambut itu menjadi kaku sehingga hudtim itu seolah-olah berobah menjadi sebatang pedang yang menotok ke arah ulu hatinya! Terkejutlah In Hong karena pada saat itu, pedangnya sudah diputarnya lagi untuk menghalau sinar hitam dari pedang di tangan Hek I Siankouw sehingga tidak mungkin dipakai menangkis hudtim yang mengancam ulu hati, sedangkan untuk mengelak, kedudukan tubuhnya tidak mengijinkan. Otomatis tangan kirinya bergerak dan otomatis pula dia telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang yang pernah dia terima sebagal “hadiah” dari Kok Beng Lama.

“Wuuuttt...plakkk...dessss...! Aughhhhh...!” Tubuh Hwa Hwa Cinjin melayang dan terhuyung seperti sebuah layang-layang putus talinya karena tadi begitu dapat menangkis hudtim, tangan yang digerakkan secara aneh itu dan mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang, terus meluncur dan berhasil menggempur dada kakek itu. Tubuh Hwa Hwa Cinjin terbanting ke atas tanah dan tak dapat bergerak lagi, mulutnya mengeluarkan banyak darah dan agaknya nyawanya hampir putus di saat itu juga. Tubuhnya yang sudah tua tidak kuat menerima gempuran Thian-te Sin-ciang!

Melihat ini, Hek I Siankouw menjerit dan bersama Go-bi Sin-kouw dia sudah menyerang dengan nekat, pedang hitamnya mengeluarkan bunyi mendesing-desing ketika menyerang In Hong secara bertubi-tubi, diseling oleh totokan-totokan maut yang dilakukan Go-bi Sin-kouw dengan tongkat hitamnya.

In Hong yang juga tergetar ketika melakukan serangan tangan kiri dengan Thian-te Sin-ciang tadi kini cepat memutar pedangnya menangkis. Dia harus cepat-cepat menggerakkan pedang kerena dua orang nenek itu kini benar-benar nekat dan marah sekali, dan dia sampai terdesak ke belakang, akan tetapi dengan mengeluarkan suara berdencingan nyaring, pedangnya berhasil juga menghalau dua senjata nenek itu.

Akan tetapi pada saat itu, Hwa Hwa Cinjin yang sudah sekarat, tiba-tiba menggerakkan hudtimnya. Dari tempat dia rebah, bulu-bulu hudtim itu meluncur seperti anak panah menuju ke arah tubuh In Hong! Setelah bulu-bulu hudtim itu melesat cepat, barulah kakek itu terkulai dan tewas.

In Hong terkejut bukan main, tidak mengira bahwa kakek yang disangkanya sudah tewas itu dapat menyerang sedemikian hebatnya. Cepat dia menjejak tanah dan tubuhnya mencelat ke atas, pedangnya masih sempat diputar menangkis senjata dua orang nenek yang lagi-lagi sudah menyerangnya. Akan tetapi pada saat itu, Bouw Thaisu yang penasaran dan agaknya sudah menanti-nanti kesempatan itu, membentak keras, kedua tangannya bergerak dan dua lengan bajunya menyerang dengan amat hebatnya!

Karena tubuh In Hong masih di udara, dia berusaha menghindarkan serangan maut ini dengan elakan, dan tangan kirinya menyambar, menangkis dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang, gerakan untung-untungan karena dia tahu bahwa ujung lengan baju kakek itu kuat seperti senjata pusaka, dan dia menangkis dengan tangan kosong saja! Akan tetapi dia teringat akan pesan Kok Beng Lama bahwa Thian-te Sin-ciang cukup kuat melindungi tangan kosong untuk menangkis senjata pusaka, maka daripada tubuhnya di“makan” senjata ujung lengan baju, lebih baik dia mencoba tangan kirinya.

“Desss...! Plakk...!” Tubuh Bouw Thaisu berputar dan terhuyung. Kakek ini kaget setengah mati karena tangan kiri dara itu ternyata dapat menangkis dan mengembalikan lengan baju kirinya dengan tenaga yang sedemikian dahsyatnya sehingga tubuhnya ikut berputar, akan tetapi In Hong mengeluh dan pundaknya kena diserempet ujung lengan baju kanan sehingga dia terlempar dan cepat dia berjungkir-balik untuk menghindarkan serbuan musuh.

In Hong menggigit bibirnya. Pundaknya yang kiri terkena sabetan ujung lengan baju dan nyerinya bukan main. Biarpun tulang-tulangnya tidak patah, akan tetapi pundak kiri itu terasa panas dan nyeri sehingga tangan kirinya menjadi setengah lumpuh!

Bouw Thaisu dan dua orang nenek itu menerjang lagi, akan tetapi tiba-tiba dari atas pohon terdengar seruan, “Tua bangka-tua bangka pengecut!” Sesosok bayangan wanita menyambar turun dan tahu-tahu Yo Bi Kiok telah berada di situ! “Kalian hanya berani mengeroyok seorang kanak-kanak seperti muridku. Inilah gurunya, majulah kalau kalian sudah bosan hidup!”

Hek I Siankouw sudah marah sekali, marah karena berduka melihat sababatnya, juga kekasihnya semenjak mereka masih sama muda itu kini telah menggeletak tewas, maka tanpa memperdulikan munculnya ketua Giok-hong-pang yang dia tahu amat lihai itu, dia sudah membentak lagi dan melanjutkan serangannya kepada In Hong!

Melihat ini, Bouw Thaisu dan Go-bi Sin-kouw juga menerjang maju menghadapi Yo Bi Kiok ketua Giok-hong-pang yang telah mencabut keluar Lui-kong-kiam di tangan kanan dan menghadapi mereka berdua dengan senyum mengejek. Terjadilah kini pertandingan dua rombongan yang amat seru. In Hong hanya menghadapi seorang lawan, tentu saja lawan ini amat lunak baginya, akan tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri kalau digerakkan dan tangan kirinya masih agak lumpuh, maka tentu saja ketangkasannya menurun banyak dan dia hanya mengandalkan gerakan pedangnya saja. Dalam keadaan seperti itu, keadaannya menjadi seimbang juga dengan Hek I Siankouw dan mereka saling menyerang secara mati-matian.

Biarpun Yo Bi Kiok amat lihai dan memandang rendah kedua orang lawannya, akan tetapi pertandingan antara dia dan dua orang tua itupun hebat den seru sekali. Boleh jadi tingkat Go-bi Sin-kouw masih jauh kalah olehnya, akan tetapi tingkat Bouw Thaisu tidak berselisih banyak dengan ketua Giok-hong-pang ini. Dia hanya menang cepat dan juga memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi yang murni, warisan dari Panglima The Hoo si manusia sakti. Juga pedang Lui-kong-kiam di tangannya adalah pedang kilat yang amat hebat sehingga setelah bertanding lima puluh jurus, ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu kena dibabat buntung!

Bouw Thaisu kaget dan marah, membentak beberapa kali dengan pengerahan khi-kang dan kedua tangannya melakukan pukulan jarak jauh. Angin dahsyat menyambar ganas ke arah ketua Giok-hong-pang itu, akan tetapi Yo Bi Kiok tertawa, mengelak dan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat itu menghantam ke arah Go-bi Sin-kouw yang cepat menangkis.

“Trakkk!” Tongkat butut hitam itu patah menjadi dua dan Go-bi Sin-kouw cepat meloncat jauh ke belakang. Tiba-tiba nenek yang curang ini meloncat lagi dan tahu-tahu dia sudah berada di belakang kaisar dan Khamila, menodongkan sisa tongkatnya yang tinggal sepotong dan membentak, “Tahan senjata! Kalau tidak, akan kubunuh kaisar!”

“Subo, harap mundur...!” In Hong berteriak kaget dan dia sendiri cepat mundur meninggalkan Hek I Siankouw yang sudah didesaknya tadi.

“Jangan mundur, kalian basmi saja pengkhianat-pengkhianat itu kemudian nenek iblis ini. Biarlah kalau dia mau membunuh kami!” Kaisar berkata, sedikitpun tidak takut biarpun tongkat itu sudah menodong kepalanya.

“Subo... harap mundur...!” kembali In Hong berteriak dan dengan ketawa mengejek Yo Bi Kiok meloncat, mundur meninggalkan Bouw Thaisu yang kini dapat bernapas lega. Dia sudah terdesak hebat tadi, nyaris tewas oleh sinar pedang kilat yang bergulung-gulung.

“Hemm, tua bangka curang!” Yo Bi Kiok berseru. “Akan tetapi memang cukup berharga kalau sri baginda kaisar ditukar dengan nyawa anjing kalian bertiga!”

“Sri baginda akan kubunuh kalau kalian tidak mau membiarkan kami pergi,” kata Go-bi Sin-kouw. “Yo-pangcu, sebagai ketua Giok-hong-pang, kau berjanjilah bahwa kau akan membiarkan kami pergi kalau aku melepaskan kaisar! Hayo berjanji!”

Yo Bi Kiok kembali tersenyum mengejek. Melihat betapa Go-bi Sin-kouw yang sudah ketakutan itu bisa saja berlaku nekat dan membunuh kaisar dan Khamila, In Hong berkata, “Subo, berjanjilah! Nyawa beliau terlalu berharga untuk dikorbankan!”

Yo Bi Kiok mendengus, kemudian dengan gemas dia berkata, “Nenek iblis tua bangka, biarlah sekarang aku berjanji akan membiarkan kalian bertiga pergi kalau kau membebaskan kaisar. Akan tetapi lain kali, begitu bertemu dengan aku, kepalamu yang sudah tua bangka itu akan kuhancurkan!”

“Nona In Hong, kaupun berjanji yang sama?” Go-bi Sin-kouw bertanya lagi, ditujukan kepada In Hong. Gadis ini mendongkol sekali. Nenek itu ternyata amat cerdik, karena kalau saja dia tidak disuruh berjanji, begitu kaisar dibebaskan tentu dia akan menyerang nenek itu! Karena nenek itu ternyata cerdik dan menanyanya, terpaksa dia mengangguk. “Aku berjanji akan membiarkan kalian bertiga pergi asal sri baginda dibebaskan.”

Tiba-tiba nenek dari Go-bi itu terkekeh girang, “Bagus, kalian tentu orang-orang yang memegang janji, bukan manusia hina. Khamila, engkaulah yang menjadi gara-gara sampai kaisar dapat lolos, maka aku takkan mengampunimu!” Dia mengangkat tongkatnya, hendak memukul ratu itu.

“Go-bi Sin-kouw! Kau sudah berjanji...!” Akan tetapi In Hong menjadi pucat karena dia teringat bahwa janji tadi hanya mengenai diri kaisar, sama sekali tidak menyebut nama Khamila!

“Heh-heh, siapa berjanji untuk wanita yang tidak setia ini?” Dia mengangkat tongkatnya. Yo Bi Kiok hanya memandang dengan senyum mengejek, sedangkan In Hong berdiri terlalu jauh untuk dapat menyelamatkan nyawa Khamila.

“Mampuslah kau!” Go-bi Sin-kouw menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah kepala Khamila. Pada saat itu, tiba-tiba dari balik semak-semak berkelebat bayangan putih dan orang itu adalah kakek yang tadi bersembunyi, tangannya diangkat menangkis dengan pengerahan tenaga.

“Plakkk... krakkkk!” Tubuh Go-bi Sin-kouw terguling roboh dan kepalanya pecah karena ternyata tangkisan kakek itu sedemikian kuatnya sehingga pukulan tongkat itu membalik mengenai kepalanya sendiri sampai pecah!

In Hong memandang dengan mata terbelalak. Dia mengenal kakek yang amat lihai itu, yang bukan lain adalah Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai! Adapun kaisar sendiri menjadi girang bukan main melihat betapa kekasihnya selamat, maka dia lalu merangkul Khamila yang menangis dalam pelukannya. Kaisar yang sejak muda dahulu sudah tahu akan sepak terjang kakek ini, mengenal pendekar sakti itu, maka dia lalu berkata girang, “Ahh, kiranya Cia-taihiap ketua Cin-ling-pai yang telah menyelamatkan nyawa Ratu Khamila! Sungguh kami merasa girang sekali, Cia-taihiap!”

Cia Keng Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar itu dan memberi hormat. Kaisar menggerakkan tangan menerima penghormatan itu dan menyuruh pendekar sakti itu berdiri lagi.

Sementara itu, Yo Bi Ktok menjadi marah karena kemunculan Cia Keng Hong itu seolah-olah menonjolkan pendekar itu dan menaruh dia di belakang, karena nyatanya pendekar sakti itulah yang sempat menyelamatkan nyawa Khamila. Dengan marah dia lalu menggerakkan pedangnya, menuding ke arah muka Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw.

“Kalian ini anjing-anjing tua harus mampus!”

Bouw Thaisu dan Hek I Slankouw terkejut, akan tetapi mereka berdua siap menghadapi wanita sakti yang galak itu.

“Subo, kita sudah berjanji melepaskan mereka tadi!” In Hong memperingatkan.

Yo Bi Kiok meragu, dan tiba-tiba Cia Keng Hong, kakek itu yang diam-diam merasa kagum akan sepak terjang Yap In Hong, lalu kini tahu mengapa gadis puteri sahabat baiknya itu menjadi seorang gadis yang demikian dingin dan ganas sepak terjangnya. Kiranya yang menjadi biang keladi adalah wanita yang menjadi gurunya ini! Dia di dalam pengintaiannya tadi dapat mengenal dasar watak In Hong yang baik, tidak seperti gurunya ini yang benar-benar merupakan Dewi Maut yang tak mengenal ampun. Maka diapun berkata, suaranya berwibawa. “Orang yang tidak memegang janjinya adalah orang yang rendah wataknya!”

Yo Bi Kiok seperti disambar petir. Dia membalik dan memandang ketua Cin-ling-pai itu dengan mata berapi-api. Sementara itu, In Hong yang sudah mengenal watak gurunya yang amat keras, cepat menggunakan kesempatan itu berkata kepada Bouw Thaisu dan Hek I Siankouw, “Ji-wi locianpwe harap segera pergi dan membawa jenazah mereka.”

Bouw Thaisu sejenak memandang kepada Cia Keng Hong, kemudian berkata, “Kiranya engkau yang bernama Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai.” Dia mengangguk-angguk. “Pinto ada peninggalan pesanan dari mendiang Thian Hwa Cinjin, biarlah lain kali saja pinto sampaikan, sekarang tidak ada waktu.” Dia lalu melangkah pergi, menyambar jenazah Hwa Hwa Cinjin, diikuti oleh Hek I Siankouw yang juga memanggul jenazah Go-bi Sin-kouw. Sebentar saja bayangan kedua orang kakek dan nenek yang lihai itu sudah lenyap dari tempat itu.

Yo Bi Kiok sejak tadi memandang kepada ketua Cin-ling-pai dengan mata mendelik dan muka merah. Dia tidak memperdulikan lagi kakek dan nenek yang melarikan diri itu. Ketika Cia Keng Hong yang merasa akan pandang mata itu menoleh kepadanya, Yo Bi Kiok tersenyum mengejek, wajahnya dingin sekali.

Melihat ini, berdebar jantung In Hong. Dia telah mengenal gurunya dengan baik dan tahu benar bahwa saat ini gurunya marah bukan main dan tentu akan terjadi hal yang hebat. Akan tetapi yang dihadapi gurunya adalah Cia Keng Rong, kakek ketua Cin-ling-pai yang sudah terkenal di seluruh dunia akan kesaktiannya. Maka diapun tidak berani mencegah keduanya dan dia hanya mendekati kaisar dan Khamila yang masih duduk di tempat tadi dengan sikap tenang.

“Hemmm, kiranya inikah yang telah terkenal di seluruh dunia, ketua dari Cin-ling-pai yang pernah diobrak-abrik oleh Lima Bayangan Dewa!” Terdengar Yo Bi Kiok berkata, suaranya mengandung penuh ejekan.

Cia Keng Hong tersenyum. Dia adalah searang pendekar sakti, pendekar besar, ketua perkumpulan yang telah terkenal akan kegagahannya, maka diapun bukan seperti kanak-kanak yang mudah dibakar hatinya. Mendengar ucapan itu, dia memandang Bi Kiok seperti memandang seorang anak nakal. “Dan kiranya engkaulah yang telah merusak anak sahabat baikku, Yap In Hong adik Yap Kun Liong ini...”

”Aku merusak keluarga Kun Liong atau akan membikin mampus padanya, kau perduli apa? Apakah kau hendak membela Yap Kun Liong?” Yo Bi Kiok membentak makin marah karena dia diingatkan kepada Kun Liong, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dan selalu dicintanya, akan tetapi yang telah menyakitkan hati karena menolaknya.

Cia Keng Hong menggeleng kepalanya. “Aku tidak hendak membela siapa-siapa, hanya sayang bahwa engkau telah menyeleweng, padahal engkaulah kiranya yang telah mewarisi pusaka bokor emas milik mendiang Panglima Besar The Hoo itu.”

Yo Bi Kiok tertawa. “Tak kausangka, ya? Engkau sama bodohnya dengan para datuk yang pernah memperebutkannya. Dan dengan kepandaian yang kuperoleh ini, dengan mudah aku akan dapat mengalahkan engkau, orang she Cia!”

“Subo, harap subo bersabar. Apa perlunya mencari keributan lagi?” In Hong yang merasa betapa sikap gurunya itu keterlaluan sekali, tak dapat tinggal diam lagi dan menegur dengan halus.

Yo Bi Kiok menoleh kepadanya. “Huh, kau penakut! In Hong, mari kita bawa tawanan itu kembali kepada Raja Sabutai.” Sambil berkata demikian, tanpa menghiraukan lagi kepada kakek itu, dia menghampiri Kaisar Ceng Tung.

Akan tetapi tiba-tiba Cia Keng Hong melangkah maju dan menghadang di depan Yo Bi Kiok. “Pangcu dari Giok-hong-pang, engkau tidak boleh membawa pergi kaisar karena aku akan mengantar beliau kembali ke kota raja!”

Tiba-tiba Bi Kiok menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya dengan sikap penuh ancaman kepada Cia Keng Hong. “Orang tua...” geramnya. “Mengingat akan nama baikmu, aku masih berlaku sabar dan tidak menyerangmu! Akan tetapi sekarang engkau malah menantangku!”

“Tidak ada siapa-siapa yang kutantang, akan tetapi sri baginda kaisar telah berhasil lolos dari tawanan. Itu baik sekali dan aku akan mengawalnya ke kota raja.”

“Enak saja kau bicara! Akulah yang menentukan dia hendak dibawa ke mana! Dan aku akan membawanya kembali kepada Raja Sabutai.”

“Tidak! Terpaksa aku akan menentangmu, Yo-pangcu.”

“Subo, biarlah sri baginda kaisar dikawal ke kota raja oleh Cia-locianpwe, dan kita mengantar Ratu Khamila kembali,” In Hong berkata dan Cia Keng Hong menoleh ke arah gadis itu dengan pandang mata senang.

Akan tetapi, pada saat itu dia mendengar sambaran angin yang dahsyat sekali, dari arah Yo Bi Kiok berdiri. Tahulah pendekar sakti ini bahwa ketua Giok-hong-pang itu telah menyerangnya. Dia tadi sudah menyaksikan gerak-gerik Yo Bi Kiok dan mengenal sebagian dari gerakan yang bersumber pada ilmu kepandaian Panglima The Hoo, maka dia segera menduga bahwa tentu wanita inilah yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari bokor emas itu.

Yo Bi Kiok telah menyerang dengan pukulan kilat yang bertubi-tubi, juga mengandung tenaga sakti yang hebat sekali, Cia Keng Hong tidak berani memandang rendah, juga pendekar ini mengerahkan tenaga saktinya, menggerakkan kedua tangannya menangkis.

“Wuuuutttt... plak-plak-duk-duk-dukk!”

Berkali-kali kedua pasang lengan yang sama-sama mengandung tenaga sakti itu bertemu dan akibatnya kedudukan kaki Yo Bi Kiok tergeser mundur sampai dua langkah jauhnya! Wanita itu terkejut bukan main. Ketua Cin-ling-pai itu hanya menangkis saja berkali-kali, namun tenaga tangkisan itu telah membuat dia terdorong ke belakang. Padahal baru menangkis, belum menyerang!

“Orang she Cia yang sombong, lihat pedangku ini!”

“Singggg...!” Tampak sinar kilat ketika Lui-kong-kiam dicabut.

Cia Keng Hong lalu memungut sebatang ranting dari atas tanah, sebatang ranting yang panjangnya tidak melebihi lengannya. “Yo-pangcu, bukankah itu Lui-kong-kiam yang dahulu pernah menjadi milik Liong Bu Kong?” tanyanya sambil memandang pedang bersinar kilat yang berada di tangan ketua Giok-hong-pang itu.

Yo Bi Kiok tersenyum mengejek. “Dia mampus di tanganku seperti juga engkau akan mati di tanganku sekarang, orang she Cia. Hayo kaukeluarkan pedangmu Siang-bhok-kiam yang terkenal itu!”

Cia Keng Hong menghela napas panjang. Dia merasa betapa wanita ini seperti seorang anak kecil saja. “Yo Bi Kiok, sembarang rantingpun cukuplah untuk menghadapi pedangmu itu.”

Tentu saja Yo Bi Kiok menjadi marah sekali. Selama ini, kecuali ketika bertemu dengan pendeta Lama tinggi besar yang seperti setan itu, dia tidak pernah menemui tandingan. Kini, kakek Cin-ling-pai ini menghadapi pedangnya dengan hanya sebatang ranting! Tentu saja dia merasa dipandang rendah dan dihina sekali.

Sambil berteriak mengeluarkan suara lengkingan tajam tinggi dan panjang, tubuhnya menerjang ke depan, pedang kilatnya menjadi sinar bergulung-gulung. In Hong memandang dengan khawatir. Dia tahu akan kelihaian ketua Cin-ling-pai itu, akan tetapi hanya menggunakan ranting menghadapi pedang subonya, benar-benar merupakan bunuh diri!

Tampak sinar hijau di antara sinar kilat itu, sinar hijau yang meluncur dan membelit-belit di antara sinar kilat, disusul suara berdencingan dan tiba-tiba terdengar jeritan Yo Bi Kiok yang meloncat ke belakang dan dia mengusap lengan kanannya yang kena disabet oleh ranting itu, sakitnya bukan kepalang dan menimbulkan goresan panjang, padahal lengan bajunya tidak robek!

Yo Bi Kiok memandang terbelalak, hidungnya kembang-kempis dan kemarahannya memuncak. Kemudian dia menjerit dan menyerang lebih hebat daripada tadi.

“Suboooo... jangan...!” In Hong yang melihat kehebatan serangan ini, serangan maut yang juga merupakan serangan mengadu nyawa karena dalam serangan ini, seluruhnya dicurahkan kepada penyerangan tanpa memperhatikan pertahanan sama sekali.

“Cringgg... ceppppp!!” Ranting di tangan Cia Keng Hong patah menjadi dua, akan tetapi, pedang Lui-kong-kiam itu terlepas dari tangan pemiliknya dan menancap di atas tanah di depan kaki Yo Bi Kiok.

Sejenak wanita itu terbelalak, hampir tidak mempercayai pandangan matanya sendiri bahwa pedangnya benar-benar sampai dapat terpukul lepas dari tangannya. Tahulah dia bahwa pendekar di depannya ini benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa, maka dia menjadi malu sekali. Dia menyambar pedangnya, kemudian lari dari situ dan dari tenggorokannya keluar suara yang sukar ditentukan apakah itu suara ketawa ataukah suara menangis!

Cia Keng Hong menghela napas dan menoleh kepada In Hong yang memandangnya dengan penuh kagum. “Gurumu itu tinggi sekali ilmunya, sayang dia dikuasai oleh watak yang ganas dan aneh, mendekati kegilaan,” katanya.

“Memang dia mendekati kegilaan oleh perasaan hatinya yang gagal karena ditolak oleh Kun Liong koko,” kata In Hong.

“Ahhhhh... begitukah...?” Cia Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya. Dia tidak merasa heran karena dia tahu bahwa akibat cinta gagal banyak mendatangkan bencana pada manusia, sejak jaman gurunya masih muda (baca cerita Siang-bhok-kiam) sampai pengalamannya sendiri.

“In Hong,” katanya teringat kepada orang tua gadis itu dan memanggil nama gadis itu dengan mesra. “Kau telah melakukan perbuatan baik sekali dengan melindungi sri baginda. Sekarang, aku akan mengawal sri baginda kaisar kembali ke kota raja.”

In Hong mengangguk. Dia tunduk dan kagum kepada kakek ini sekarang, tidak hanya kagum akan kepandaiannya yang benar-benar hebat, akan tetapi juga kagum akan sikapnya. “Baiklah, locianpwe. Saya akan mengantar ratu kembali ke benteng Raja Sabutai.”

Cia Keng Hong menghampiri sri baginda dan menjura dengan hormat. “Marilah, sri baginda, hamba mengawal paduka kembali ke kota raja.”

Kaisar Ceng Tung saling pandang dengan Khamila dan wanita cantik itu sudah bercucuran air mata. Mereka saling pandang, juga kaisar itu kelihatan berduka dan terharu sekali. Kemudian, Khamila mengeluarkan suara jerit lirih dan mereka saling rangkul. In Hong menundukkan kepala dan Keng Hong membalikkan tubuhnya dengan alis berkerut. Tentu saja dia tidak tahu apa yang terjadi antara dua orang ini, seorang tawanan dan seorang isteri dari si penawan. Akan tetapi hal itu bukan urusannya dan dia tidak ingin mengetahuinya, akan tetapi telinganya tetap saja mendengar isak tangis Khamila.

“Sri baginda... terpaksa... terpaksa saya harus meninggalkan paduka...” terdengar Khamila terisak.

“Khamila, tidak bisakah... kau ikut dengan aku untuk selamanya?” suara kaisar penuh kelembutan dan permohonan seperti suara seorang pemuda biasa merayu dan membujuk kekasihnya.

“Tidak mungkin, paduka juga tahu... betapa baiknya Sabutai... sudah menjadi kewajibanku untuk kembali kepadanya... selamat tinggal, sri baginda.”

“Khamila... ah, perpisahan ini... mungkinkah pertemuan ini yang penghabisan? Bila kita dapat berjumpa kembali...?”

lanjut ke Jilid 30-->

<--kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar