Dewi Maut Jilid 45 ( TAMAT )
Mei Lan yang sedang menangisi kematian suhunya yang kini hanya menjadi abu, amat terkejut dan terheran-heran mendengar semua itu. Dengan mata masih bercucuran air mata, dia mengangkat muka memandang kepada kakek raksasa itu. Teringatlah dia akan penuturan ibunya bahwa ibunya adalah anak seorang pendeta Lama di Tibet yang amat sakti, dan bahwa kong-kongnya itu memang mengasingkan diri di Tibet, tidak pernah terjun ke dunia ramai dan tidak pernah menjenguk mereka. Kiranya pendeta raksasa inilah ayah dari ibunya itu! Dan sekarang akan menjadi gurunya! Kedukaan karena kematian Bun Hwat Tosu, kekagetan dan keheranan mendengar bahwa kakek raksasa ini kong-kongnya, dan ketegangan yang dirasakan dalam peristiwa hebat yang baru lalu dalam pertempuran itu, membuat dia bengong dan tidak dapat berkata-kata hanya menangis saja.
“Hayo katakan, kenapa kalian ayah dan anak menangis? Mengapa?” kembali terdengar suara Kok Beng Lama mengguntur.
Kun Liong menyusut air matanya. “Ketahuilah, gak-hu, bahwa Bun Hwat Tosu adalah guru saya pula. Baru sekarang saya mengetahui bahwa anak saya telah menjadi murid beliau. Mengapa kami ayah dan anak, murid-murid beliau menangis mendengar akan kematiannya? Mengapa orang menangisi orang yang mati? Banyak sekali jawabannya, tentu saja sesuai dan tergantung dengan keadaan masing-masing orang. Akan tetapi bagi saya, gak-hu, dan saya yakin juga bagi Mei Lan, kami menangis karena kami merasa berduka ditinggalkan oleh seorang tua yang bijaksana dan berbudi mulia, kami menangis karena ditinggalkan oleh seorang yang telah melimpahkan banyak kebaikan kepada kami tanpa kami berkesempatan untuk membalasnya.”
“Ho-ho, jadi bukan menangisi dia? Jadi kalian menangisi diri sendiri?”
“Sebenarnyalah, gak-hu. Bagaimana kami akan menangisi suhu yang tidak kami ketahui bagaimana keadaannya sekarang? Kami menangisi diri sendiri yang ditinggalkan oleh seorang yang kami junjung tinggi dan hormati.”
“Ha-ha, bagus! Engkau adalah seorang yang jujur, Kun Liong. Memang, menangisi orang mati sesungguhnya hanyalah menangisi diri sendiri, karena iba diri, dan sama sekali bukan menangisi si mati karena kalau demi cintanya terhadap yang mati, mungkin banyak sekali orang dapat bersyukur dan bergirang bahwa orang yang dicintanya itu sedikitnya terbebas dari segala derita hidup. Ha-ha! Eh, Mei Lan, setelah suhumu menjadi abu, mau kauapakan sekarang?”
Mei Lan kelihatan terkejut dan menoleh ayahnya. Akan tetapi Kun Liong sekali ini tidak mau mewakili anaknya menjawab. Mei Lan lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Kok Beng Lama dan berkata, suaranya gemetar bercampur isak, “Kong-kong... saya tidak sangka bahwa kong-konglah ayah dari ibu... saya serahkan abu ini kepada kebijaksanaan kong-kong mau diapakan juga, terserah...”
“Ha-ha-ha engkau mewarisi kejujuran ayahmu. Baik sekali, Mei Lan. Memang ini hanya abu! Bukan gurumu lagi! Dan andaikata engkau memeliharanya dan menyembahyanginya pula, tidak lain perbuatanmu itu tentu akan didorong untuk kepentingan dirimu sendiri, untuk mencari kesenangan dirimu sendiri, karena engkau dalam sembahyangmu tentu minta diberkahi, minta ini dan minta itu. Padahal memelihara abu guru atau nenek moyang dimaksudkan agar si pemelihara abu itu senantiasa teringat kepada nenek moyangnya dan dapat menjaga agar dia menjadi manusia yang benar dan tidak mencemarkan nama baik nenek moyangnya. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, pemeliharaan abu berubah menjadi semacam jimat pelindung dan tempat untuk dimintai berkah agar selamat, agar kaya, agar untung dan sebagainya. Kasihanlah kalau sudah menjadi abupun masih hendak diperalat demi kesenangan dari kita sendiri! Nah, abu tinggal abu, tiada bedanya dengan tanah dan sebaiknya kalau diserahkan kembali kepada tanah. Bagaimana?”
“Terserah kepada kong-kong,” jawab Mei Lan.
“Kausimpanlah. Kelak akan kita sebarkan abu ini di tempat yang baik. Nah, Cia-taihiap, karena urusan keluargamu itu menyangkut diri muridku yang pertama, Cia Bun Houw, aku berhak untuk mengetahui bagaimana selanjutnya keputusan terhadap dia dan In Hong,” Kakek raksasa itu kembali menghadapi Cia Keng Hong.
Sejak tadi Keng Hong mengerutkan alisnya dan kini dia menjawab, “Locianpwe telah membuka mata saya untuk melihat betapa sesungguhnya dasar dari semua sikap saya adalah mementingkan diri pribadi. Oleh karena itu, saya tidak menghendaki Bun Houw bertindak guna kepentingan diri pribadi pula. Kalau dia bertekad untuk berjodoh dengan In Hong, bukankah hal itu merupakan tindakan pementingan diri pribadi dan dia sama sekali tidak mengingat akan keadaan Souw Kwi Eng dan orang tuanya? Ikatan jodoh antara mereka telah dilakukan, mana mungkin diputuskan begitu saja? Hal ini tentu akan merupakan penghinaan bagi keluarga Souw Kwi Eng. Apa yang harus kita lakukan? Mohon bantuan locianpwe untuk mempertimbangkan.”
Kok Beng Lama mengerutkan alisnya dan beberapa kali dia menggeleng kepala dan menghela napas. “Hemm... benar juga...! Betapa hidup kita ini sudah terikat dengan belitan-belitan hukum yang amat membatasi gerak kita.”
Tiba-tiba Souw Kwi Beng yang sejak melihat kemesraan antara dara yang dicintanya, yaitu In Hong, dengan Bun Houw, bersikap diam dan menundukkan kepala terbenam dalam kedukaannya, kini mendengar tentang adik kembarnya, dia cepat menghadap Cia Keng Hong dan menjura dengan penuh hormat. “Harap locianpwe sudi memaafkan saya yang lancang mencampuri bicara dalam urusan ini karena menyangkut keadaan adik saya dan keluarga saya. Orang tua saya mempunyai pandangan yang amat luas mengenai perjodohan, terutama sekali ayah saya. Setelah saya melihat dan mendengar semua, sudahlah jelas bahwa Cia Bun Houw taihiap sama sekali tidak ada hubungan cinta kasih dengan saudara saya, Kwi Eng. Dan sudah menjadi keyakinan kami sekeluarga bahwa perjodohan haruslah didasari dengan saling mencinta. Oleh karena itu, biarlah saya yang akan menyadarkan adik saya Kwi Eng karena diapun tentu menyadari bahwa cinta sepihak hanya menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan suami isteri. Agaknya ada banyak kesalahsangkaan dalam urusan ini, yaitu saya... eh, adik saya, menyangka bahwa orang yang dicintanya itupun membalas cintanya. Saya yakin bahwa saya akan dapat menyampaikan kepada adik saya agar dia menyadari kenyataan pahit dan berpisah dari tunangannya, karena hal ini jauh lebih baik daripada kelak menjadi suami isteri yang menderita karena cinta sepihak.”
Cia Keng Hong memandang kepada pemuda tampan itu dengan wajah membayangkan keharuan. “Betapa baiknya keluarga Yuan de Gama, sebaliknya, betapa hal itu makin menyeret keluarga kami ke jurang kehinaan! Ahh, bagaimana aku dapat membiarkan keluarga kami menyakiti perasaan keluarga Souw Li Hwa?”
“Ayah, harap ayah sudi mengingat akan semua pengalamanku sehingga dapat bersikap bijaksana dalam memutuskan urusan adik Bun Houw.” Tiba-tiba Giok Keng yang sejak tadi memeluk Lie Seng, kini bangkit dan menghadapi ayabnya. “Tentu ayah masih ingat betapa karena sikapku sendiri yang tidak mau memperdulikan perasaan dan keadaan orang lain, yang dahulu selalu menuruti kebenaran sendiri, kebenaran yang kaku, kuno dan berdasarkan kebiasaan yang ditanamkan oleh nenek moyang, maka sikap itu mendatangkan banyak sekali malapetaka. Ayah, kalau benar ayah mencinta Bun Houw seperti yang saya percaya demikian, apakah ayah tidak ingin melihat dia berbahagia? Dan kalau kebahagiannya itu hanya dapat dirasakan apabila dia berjodoh dengan In Hong, tegakah ayah untuk menghalanginya dan menghancurkan kebahagiaan mereka?”
“Aih, betapa tepatnya apa yang kaukatakan semua itu, sumoi!” terdengar Kun Liong berkata perlahan sambil menarik napas panjang. “Betapa kita semua, selama ini hanya mementingkan diri pribadi, mencari kesenangan diri pribadi, hendak memperalat seluruh manusia dan semua isi alam demi memenuhi keinginan kita untuk bersenang hati dan karenanya menciptakan malapetaka dan kesengsaraan hidup...”
Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar dan mungkin karena kegagahannya itulah yang membuat dia agak keras kepala, tidak mudah tunduk oleh apa pun juga. Diam-diam dia memikirkan isterinya yang tentu akan menentang semua ini. Tentu akan terjadi pertentangan antara dia dan isterinya kalau dia membiarkan Bun Houw memutuskan tali pertunangannya dengan Souw Kwi Eng dan kalau dia membiarkan Bun Houw menikah dengan In Hong, dan dia tidak berani menghadapi peristiwa itu. Kalau Bun Houw pulang ke Cin-ling-san bersama In Hong, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi karena dia tahu betapa keras hati isterinya kadang-kadang.
“Aku tidak akan melarang, akan tetapi bagaimanapun juga, aku tidak dapat pula memberi persetujuan...” katanya sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang, wajahnya kelihatan tiba-tiba saja menjadi beberapa tahun lebih tua!
Dengan sepasang mata basah oleh air mata, Bun Houw yang masih berlutut lalu memberi hormat kepada ayahnya. “Kalau begitu... ampunkan aku, ayah... terpaksa aku akan pergi bersama Hong-moi... ke mana saja asal kami dapat hidup berdua...” Dia lalu bangkit dan menggandeng tangan In Hong yang juga mencucurkan air mata hendak pergi dari situ.
“Houw-te...!” Giok Keng menghampiri dan mereka berangkulan. “Adikku, ke mana engkau hendak pergi? Bagaimana aku dapat bertemu kembali denganmu?” Kakak yang merasa terharu ini menangis.
Bun Houw menepuk-nepuk bahu kakaknya. “Enci Keng, biarkanlah kami pergi, entah ke mana dan kalau Thian menghendaki, tentu kelak kita dapat saling bertemu kembali.”
“Hong-moi, kenapa engkau tidak mengajak Bun Houw tinggal di Leng-kok saja?” Kun Liong juga berkata kepada adiknya. “Tinggallah di sana sambil menanti sampai supek Cia Keng Hong dan supek-bo kelak dapat merestui kalian.”
Akan tetapi In Hong yang masih basah kedua pipinya itu tersenyum dan menoleh ke arah Bun Houw, lalu menjawab, “Kakakku yang baik, mulai saat ini aku menyerahkan jiwa ragaku ke tangan dia, dan terserah dia hendak pergi ke mana, ke neraka sekalipun aku akan ikut dengan dia.”
“Ahh... kau benar... kau benar...” Kun Liong hanya dapat berkata lemah.
“Nah, selamat tinggal semuanya dan maafkan semua kesalahan kami,” kata Bun Houw sambil melambaikan tangan. “Adik Kwi Beng, sampaikan hormatku dan maafku kepada seluruh keluargamu.”
Kwi Beng hanya mengangguk dan dua orang muda yang masih bergandengan tangan itu pergi dari situ, diikuti pandang mata semua orang dan ada dua titik air tergantung di sudut mata Pendekar Sakti Cia Keng Hong, namun dengan kekerasan hatinya, dua titik air mata itu ditahannya dan tidak juga mau jatuh.
Sementara itu, atas pertanyaan Mei Lan dan Kun Liong, kakek raksasa ini lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Bun Hwat Tosu. Betapa mereka berdua bermain catur sampai dua hari dua malam dan saling bertaruh untuk menyerahkan semacam ilmu kepada murid lawan jika dikalahkan dalam satu pertandingan. Akhirnya, mereka itu saling menang tiga kali dan kalah tiga kali dan pada keesokan harinya yang ketiga, sambil tersenyum terdengar Bun Hwat Tosu berkata lemah, “Aku puas sudah... memperoleh lawan seperti engkau...” Dan kakek tua renta itu tidak bergerak lagi. Ketika Kok Beng Lama memeriksanya, ternyata kakek itu telah menarik napas terakhir dengan biji-biji catur masih digenggamnya!
“Wah, sunggub licik! Engkau masih hutang tiga macam ilmu untuk muridku!” Kok Beng Lama berteriak penasaran dan membuka tangan yang menggenggam biji-biji catur itu. Gerakan ini membuat tubuh kakek tua renta itu tertarik dan roboh dan sebuah kitab terjatuh pula keluar dari jubahnya. Kok Beng Lama girang bukan main ketika memeriksa kitab itu dan melihat bahwa kitab itu mengandung tiga macam ilmu.
“Sahabatku yang baik, maafkan pinceng, kiranya engkau seorang yang memegang janjimu dengan baik,” kata Kok Beng Lama kepada jenazah itu dan teringatlah dia akan semua percakapan yang mereka lakukan selama mereka berdua bermain catur. Dalam percakapan dua hari dua malam itu, antara lain tosu itu menyatakan betapa baiknya bagi orang yang telah meninggal dunia untuk dibakar. Teringat akan percakapan itu, Kok Beng Lama tidak merasa ragu-ragu lagi dan dibakarlah jenazah itu, kemudian abunya dibungkus dalam kain dan dibawa pergi ke Lembah Naga ketika dia mendengar suara ribut-ribut di tempat itu.
“Nah, dengan kematian tosu itu, maka berarti Mei Lan juga menjadi muridku karena aku berhutang tiga macam ilmu kepadanya, sesuai dengan pertaruhan itu. Siapa kira, ternyata dia adalah cucuku sendiri, ha-ha-ha!” Kok Beng Lama berkata pada akhir penuturannya.
Yap Kun Liong sudah mengenal baik siapa kakek ini yang menjadi ayah mertuanya, yang selain memiliki kesaktian hebat juga amat bijaksana. Biarpun Mei Lan bukan anak kandung dari Hong Ing, namun oleh mendiang isterinya itu dianggap sebagai anak sendiri maka boleh dibilang juga masih cucu dari Kok Beng Lama. Tentu saja dia rela menyerahkan puterinya untuk digembleng oleh kakek itu.
“Mei Lan, lekas berlutut menghaturkan terima kasih kepada suhumu yang juga adalah kong-kongmu, karena beliau ini adalah ayah kandung dari mendiang ibumu.”
Mendengar ucapan ayahnya, Mei Lan terkejut sekali dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama, namun mukanya menoleh kepada ayahnya dan air matanya bercucuran ketika dia bertanyat “Ibu... ibu... kenapa, ayah?”
Kun Liong menarik napas panjang, dan hanya berkata, “Kelak kau dapat mendengar tentang kematian ibumu dari kong-kongmu.”
“Tapi... tapi...” Mei Lan sesenggukan dan pada saat itu, Giok Keng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia melepaskan puteranya dan menghampiri Mei Lan. Melihat Giok Keng, Mei Lan mengerutkan alisnya dan wajahnya kelihatan tidak senang. Akan tetapi Giok Keng tetap saja merangkulnya dan berkata halus, “Mei Lan, aku pernah bersalah kepada ibumu dan kepadamu akan tetapi aku telah merasa menyesal sekali dan harap kau dapat melupakan sikapku dahulu itu. Ketahuilah, ibumu telah dibunuh oleh seorang iblis wanita bernama Yo Bi Kiok, akan tetapi iblis itu telah tewas pula di tangan ayahmu.”
“Ahhh, ibu...!” Mei Lan menjerit dan tangisnya mengguguk.
“Mei Lan, diam kau!” Tiba-tiba terdengar bentakan Kok Beng Lama dengan suara menggeledek, mengejutkan semua orang dan Mei Lan sendiri juga terkejut dan mengangkat muka, memandang wajah kakeknya yang bengis itu.
“Sudah kukatakan tadi, apa gunanya menangisi orang yang sudah mati? Ketika aku mendengar ibumu dibunuh orang, aku sampai menjadi gila dan hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya, malah mendatangkan kekacauan belaka. Anakku itu sudah mati, dan pembunuhnya telah terbalas, tidak ada apa-apa lagi yang perlu ditangisi. Hayo kau ikut bersamaku pergi. Lie Seng, hayo kita pergi!”
Mei Lan menoleh kepada ayahnya dan Lie Seng menoleh kepada ibunya. Dua orang anak ini memang suka sekali untuk menjadi murid Kok Beng Lama yang lihai, akan tetapi baru saja mereka bertemu dengan orang tua mereka dan belum melepaskan kerinduan hati mereka.
Giok Keng dan Kun Liong saling pandang dan pendekar ini dapat menduga apa yang dipikirkan oleh Giok Keng, maka dia lalu berkata kepada Kok Beng Lama, “Gak-hu, tentu saja kami berdua merasa bersyukur dan berterima kasih bahwa gak-hu sudi membimbing mereka. Akan tetapi hendaknya gak-hu ingat bahwa dengan perginya mereka, baik saya maupun Cia-sumoi hidup sebatangkara. Oleh karena itu, kami harap gak-hu tidak lebih dari tiga tahun membimbing mereka berdua dan mengembalikan mereka kepada kami.”
Kok Beng Lama mengangguk. “Baik, setelah lewat tiga tahun aku akan mengantar mereka ke tempat tinggal kalian masing-masing.” Setelah berkata demikian, Kok Beng Lama mengangguk kepada Cia Keng Hong dan menggandeng Mei Lan dan Lie Seng dengan kedua tangannya, lalu pergi dari tempat itu dengan cepat sekali.
Cia Keng Hong menarik napas panjang dan memandang ke arah para perajurit yang sejak tadi sibuk menggali lubang dan mengubur para jenazah teman-teman mereka yang tadi roboh menjadi korban pertempuran, dipimpin oleh komandan mereka. Kemudian dia memandang kepada puterinya, dan berkata, “Giok Keng, kalau engkau merasa kesepian, mari ikut bersamaku ke Cin-ling-san.”
Giok Keng menggeleng kepala. “Aku hendak kembali ke Sin-yang, ayah. Nanti sewaktu-waktu aku akan berkunjung ke sana.”
“Kalau begitu, aku akan kembali lebih dulu.” Lalu pendekar ini mengangguk kepada semua orang yang berada di situ dan pergi membawa pedang pusaka Siang-bhok-kiam, kembali ke Cin-ling-san.
Tio Sun juga pergi bersama Kwi Beng. Pemuda peranakan Portugis ini sudah cepat dapat menguasai kekecewaan hatinya. Bahkan ketika dia mendengar percakapan antara Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama tadi, terbuka pula mata batinnya dan dia maklum bahwa memang In Hong lebih cocok untuk menjadi jodoh Bun Houw. Dia merasa malu kepada diri sendiri, merasa betapa bodohnya dia. Dan kini diapun dapat mengerti akan keadaan Tio Sun, maka dia mengajak Tio Sun untuk pergi bersama dia ke Yen-tai.
“Engkau harus membantuku, twako, membantuku untuk memberi penjelasan kepada ibu dan kepada Kwi Eng,” demikian dia berkata kepada Tio Sun ketika dia membujuk agar Tio Sun suka menemani dia pulang. Padahal dia ingin untuk mempertemukan pemuda perkasa ini dengan Kwi Eng dan sekarang tidak ada lagi halangannya setelah jelas bahwa pertunangan antara Kwi Eng dan Bun Houw telah putus. Dan memang diam-diam timbul pula harapan di hati Tio Sun setelah melihat betapa Bun Houw memilih In Hong sebagai jodohnya, timbul harapan di hatinya terhadap Kwi Eng yang membuatnya setiap malam bermimpi!
Kini tinggallah Giok Keng dan Kun Liong di tempat itu. Sejenak mereka saling pandang tanpa kata-kata. Akhirnya Giok Keng menundukkan mukanya dan berkata lirih, “Selamat berpisah, suheng. Sebaiknya kita berpisah di sini.”
“Kurasa sebaiknya begitulah, sumoi, Biarlah kita saling mendoakan dan dengan mengingat bahwa anak-anak kita berkumpul menjadi satu di bawah bimbingan ayah mertuaku, hal itu akan menolong banyak untuk melawan kesunyian kita. Aku akan selalu tetap ingat kepadamu, sumoi.”
“Dan aku selamanya takkan melupakan engkau, suheng.”
Mereka kembali saling pandang dan sinar mata mereka penuh dengan kasih sayang dan perasaan iba karena mereka merasa senasib sependeritaan, merasakan dengan jelas betapa cinta kasih di dalam hati mereka yang dulunya seolah-olah terpendam kini tumbuh dengan suburnya, namun kesadaran mereka menjauhkan cinta kasih itu dari pengotoran nafsu berahi. Mereka saling mencinta, sebagai suheng dan sumoi, sebagai pria dan wanita, sebagai sahabat senasib sependeritaan, tanpa adanya hasrat untuk saling memiliki sungguhpun mereka ingin sekali untuk saling menghibur dan meringankan beban derita batin masing-masing. Akhirnya mereka berpisah, Kun Liong kembali ke Leng-kok di mana dia hidup tenteram menanti kembalinya puterinya, dan Giok Keng kembali ke Sin-yang, juga hidup menjanda dan menyepi menanti kembali puteranya.
Pasukan Kim-i-wi yang mengubur semua jenazah telah selesai pula dengan pekerjaan mereka lalu mereka berbaris pergi, kembali ke kota raja. Lembah Naga ditinggal sunyi. Tidak ada seorangpun manusia di situ. Sunyi menyeramkan karena tempat itu baru saja menjadi gelanggang pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan orang manusia, sungguhpun kini yang nampak hanya bekas-bekasnya saja, ceceran darah di sana-sini, tumbangnya pohon-pohon dan rusaknya rumput yang terinjak-injak. Akan tetapi, malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seorang diri di lembah itu, berjalan sambil menundukkan muka dan menangis. Wanita ini adalah Liong Si Kwi, murid mendiang Hek I Siankouw yang sudah buntung tangan kirinya, wanita yang cantik namun bernasib malang.
Cintanya terhadap Bun Houw ditolak oleh pemuda itu, padahal dia telah menyerahkan kehormatannya, menyerahkan dirinya dan dia merasa di dalam lubuk hatinya bahwa perbuatannya itu tentu akan mendatangkan akibat! Kini gurunya telah tiada, hidupnya seorang diri, kehilangan tangan kiri dan kehilangan semangat dan hati yang dibawa terbang pergi oleh bayangan Bun Houw. Maka dia tidak mau meninggalkan Lembah Naga dan mengambil keputusan untuk tinggal selamanya di situ, di tempat di mana dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Bun Houw, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dicintanya.
***
“Ke mana kita sekarang, Hong-moi?”
“Terserah kepadamu, koko.”
“Aku tidak mempunyai tujuan.”
“Kalau begitu kita membuat tujuan bersama.”
“Ke mana?”
“Ke manapun kau pergi, aku harus selalu bersamamu, Houw-koko.”
“Aku tidak dapat kembali ke Cin-ling-san.”
“Kalau begitu jangan ke Cin-ling-san.”
“Habis ke mana?”
“Sesukamulah, biar ke neraka sekalipun, aku ikut denganmu. Selamanya kita tidak boleh berpisah lagi, aku tidak mau berpisah lagi dari sampingmu.”
Mereka berjalan berdampingan di dalam hutan itu dan kini Bun Houw berhenti, memegang kedua lengan In Hong. Mereka berdiri berhadapan, saling menatap wajah masing-masing di bawah sinar matahari senja yang kemerahan.
“Hong-moi, biarpun telingaku sudah mendengar sendiri akan pengakuanmu di depan ayah, akan tetapi aku masih belum puas karena kata-katamu tidak kautujukan kepadaku. Hong-moi, benarkah bahwa engkau cinta padaku?”
Bibir itu tersenyum manis dan sepasang pipi yang halus itu menjadi merah sekali. Tatapan sinar mata Bun Houw membuat In Hong merasa malu. “Ihhh, pandang matamu begitu... mengerikan, koko!”
Bun Houw tertawa. “Katakanlah, moi-moi, katakanlah.”
“Aku cinta padamu, Houw-koko. Aku cinta padamu sejak pertama kali bertemu denganmu!”
Bun Houw merangkulnya dan mereka berpelukan dengan ketat. Bun Houw berbisik di dekat telinga kekasihnya, “Hong-moi, akupun cinta padamu, aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dengan seluruh hati dan sukmaku.”
“Aku tahu, koko.”
“Akan tetapi...” Suara Bun Houw mengejutkan In Hong dan dia melepaskan pelukannya, menarik tubuh ke belakang agar dapat memandang wajah kekasihnya.
Dia memandang penuh selidik dan makin terkejutlah hatinya ketika dia melihat wajah kekasihnya itu kelihatan berduka dan penuh kekhawatiran.
“Ada apakah, koko? Sejak meninggalkan Lembah Naga, kau pendiam dan kelihatan ada sesuatu mengganggumu. Aku dapat merasakannya itu dan dapat kulihat dari kerut di antara matamu. Houw-koko, di antara kita tidak boleh ada rahasia. Kita sudah merupakan dua badan satu hati, kebahagiaan dan penderitaan kita menjadi satu, kita nikmati dan kita pikul bersama.”
“Hong-moi...” Bun Houw memeluk dan dengan terharu dia mendekatkan mukanya. Biarpun jantungnya berdebar keras penuh rasa malu dan ketegangan, namun In Hong menyambutnya dengan bibir tersenyum, setengah terbuka, menanti apa yang akan dilakukan oleh kekasihnya itu terhadap dirinya penuh keikhlasan.
In Hong memejamkan mata dengan jantung berdebar tegang ketika merasa betapa bibirnya tersentuh bibir Bun Houw, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu menarik diri dan ketika In Hong membuka matanya, dia melihat pemuda itu mengerutkan alisnya dan kelihatan cemas sekali.
“Houw-koko, ada apakah?” dia bertanya merasa khawatir juga.
“Moi-moi, aku tidak berhak menyentuhmu sebelum kau mengetahui segalanya!” kata Bun Houw.
“Sudah kuduga tentu ada sesuatu, koko, maka ceritakanlah kepadaku. Tidak boleh ada rahasia menghalang di antara kita.”
Bun Houw melepaskan pelukannya dan dia lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. In Hong juga duduk di atas batu di depannya. Sampai lama In Hong menanti, namun pemuda itu diam saja, mukanya agak pucat. Setelah berulang-ulang dia mendesak, barulah Bun Houw bicara.
“Betapa sukarnya menceritakan hal itu kepadamu, Hong-moi. Peristiwa terkutuk itu terjadi ketika kita berdua terpengaruh oleh racun perangsang itu, ketika kita berada dalam tahanan...”
“Ahhhh...!” In Hong teringat semua itu dan wajahnya makin merah. Dia masih merasa malu dan jengah kalau teringat betapa di bawah pengaruh racun, dia telah bersikap luar biasa sekali, sikap yang membuatnya malu bukan main. “Akan tetapi... mengapa hal itu sekarang membuatmu risau, koko? Bukankah kita berdua telah berhasil melawan pengaruh racun, berkat keteguhan hatimu?”
“Bukan berkat keteguhan hatiku, melainkan berkat kemurnian hatimu, moi-moi. Sedangkan aku... ah, aku manusia lemah!”
“Tapi kita tidak melakukan pelanggaran, koko!”
“Benar, denganmu memang tidak karena engkau seorang dara yang suci dan hatimu bersih. Aku masih berterima kasih kepadamu karena keteguhan dan ketahanan hatimu di waktu itu. Akan tetapi, ahhh...!” Bun Houw menarik napas lagi. Sungguh berat rasanya untuk menceritakan peristiwa itu kepada kekasihnya.
“Ceritakanlah, koko. Ingat, di antara kita tidak boleh ada rahasia.”
“Benar, aku harus menceritakan kepadamu, betapapun berat dan sukarnya. Dengarlah, di waktu engkau terlena dalam keadaan pingsan akibat pengaruh racun itu, tiba-tiba di sudut ruangan itu nampak lubang dan ternyata pembuat lubang itu adalah Liong Si Kwi, gadis murid Hek I Siankouw itu. Ingatkah kau?”
In Hong mengangguk. “Aku ingat padanya. Nah, lalu bagaimana?”
“Dia muncul dari dalam lubang dan ternyata lubang itu digalinya dari kamarnya sampai menembus ke tempat tahanan kita. Maksudnya membuat lubang itu adalah untuk menolongku, menyelamatkan aku...”
“Hemm, rupanya dia jatuh cinta kepadamu sampai berlaku begitu nekat dan berbahaya, koko.”
“Demikianlah agaknya. Dia memondongku dan membawaku melalui lubang itu dan sampai di dalam kamarnya. Maksudnya memang hendak membebaskan aku, akan tetapi... ah, keparat racun itu... dan dia... dia berbeda dengan engkau, Hong-moi... dalam keadaan seperti itu, dia malah merayuku... dan aku... aku tidak sadar sama sekali dan aku... tidak kuat bertahan dan...” Bun Houw tidak melanjutkan ceritanya, menutupi mukanya dengan kedua tangan, tidak berani memandang wajah kekasihnya.
Berkerut kedua alis In Hong. Sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, hatinya dibakar oleh api cemburu, napasnya agak memburu. Akhirnya, perlahan-lahan sinar matanya melembut kembali, napasnya teratur lagi dan dia bertanya, suaranya agak gemetar dan tersendat, “Jadi kau... kau dan dia... telah... bermain cinta?”
Bun Houw mengepal kedua tangannya.
“Hong-moi, harap jangan gunakan istilah itu. Memang kami telah melakukan hubungan kelamin, kau tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta kepadanya, akan tetapi di bawah pengaruh racun yang amat kuat itu... dan ditambah rayuan wanita tak tahu malu itu...” Bun Houw membuka matanya yang menjadi merah.
“Kalau tidak ada suhu dan ayah, tentu sudah kubunuh wanita itu!”
“Hushhh... jangan bicara sembarangan saja, koko. Dia cinta padamu, dia sudah mengorbankan tangan kirinya. Kita patut merasa kasihan kepadanya.”
Bun Houw menoleh kepada In Hong dengan mata terbelalak. “Apa...? Kau... kau tidak marah...?”
In Hong mengangguk dan tersenyum.
“Tentu saja hatiku penuh iri dan cemburu dan marah, akan tetapi aku dapat memaklumi keadaanmu dan aku maafkan engkau, Houw-koko.”
“Hong-moi... terima kasih, Hong-moi...!”
Mereka berangkulan dan kini dua mulut pemuda yang saling mencinta itu bertemu dalam satu ciuman yang amat mesra, ciuman yang mengandung getaran hati mereka sepenuhnya, seolah-olah dua perasaan hati bertemu menjadi satu lewat ciuman itu, bertaut dan tidak akan terpisah lagi. Mereka seperti lupa diri, masing-masing melimpahkan kemesraan tanpa mengenal bosan dan matahari senja agaknya cepat-cepat menyingkir untuk memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berasyik mesra.
“Hong-moi...” Bun Houw berbisik sambil mengelus-elus rambut hitam panjang dan halus itu.
“Hemmm...” In Hong berbisik kembali dari atas dada kekasihnya di mana dia menyandarkan kepalanya setelah debar jantungnya agak tenang sehabis diamuk badai kemesraan tadi.
“Engkau masih ingat kepada Liok Sun?”
“Heh? Liok Sun? Siapakah dia?”
“Yang berjuluk Kiam-mo (Pedang Setan), pemilik perjudian Hok-pokoan di Kiang-shi.”
“Ah, di mana engkau dahulu menjadi pengawalnya? Majikanmu itulah?”
“Hushh, jangan menghina aku!” Bun Houw menghardik dan mencubit pipi kekasihnya dengan mesra. “Kau tahu bahwa aku bukanlah pengawalnya, melainkan hanya menyamar sebagai pengawalnya untuk menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa.”
“Aku tahu, koko. Nah, ada apa dengan dia?”
“Dia telah tewas, moi-moi, dan betapapun juga, dia adalah seorang yang mempunyai setia kawan dan seorang sahabat yang baik. Sebelum dia mati, dia telah meninggalkan pesan kepadaku, pesan yang sudah kusanggupi.”
“Heh, kau memang terlalu baik hati, Houw-ko. Apa itu kesanggupanmu?”
“Dia meninggalkan pesan sebelum tewas bahwa dia menitipkan anaknya kepadaku, anaknya bernama Sun Eng, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang ditinggalkan di Kiang-shi.”
“Dia bershe Liok, kenapa anaknya she Sun?” In Hong bertanya heran.
“Sebenarnya namanya dahulu adalah Sun Bian Ek, nama Liok Sun hanya nama penyamaran saja untuk menyembunyikan diri.”
“Hemm, belum juga menjadi isterimu sudah harus mempunyai seorang anak perempuan yang berusia sepuluh tahun!” In Hong mengomel. “Sedangkan kita belum menikah belum mempunyai rumah.”
“Bukan anak, moi-moi, melainkan... yah, anggap saja seorang murid. Tidak mungkin aku mengingkari janji kepada seorang yang telah mati.”
In Hong menghela napas panjang, sengaja untuk menggoda kekasihnya. “Baiklah... baiklah... memang sudah nasibku, menjadi jodoh seorang yang belum mempunyai tempat tinggal tertentu akan tetapi telah dibebani seorang anak yang besar. Hehh, enaknya menjadi jodoh pendekar sakti Cia Bun Houw!”
Bun Houw menjadi gemas dan menggelitik leher dan lambung kekasihnya. In Hong terkekeh kegelian, meronta akan tetapi kedua lengan Bun Houw sudah merangkulnya, dan ketika dia mencium mulut yang terbuka itu, In Hong menghentikan gerakannya meronta dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan melingkari leher pemuda itu.
Sampai di sini, pengarang menyudahi cerita “Dewi Maut” ini dengan permintaan maaf apabila terdapat kejanggalan-kejanggalan dan kesalahan-kesalahan dalam cerita ini, dan disertai harapan mudah-mudahan cerita ini dapat sekedar menghibur hati para pembaca sebagai pengisi waktu terluang dan mengandung manfaat. Selamat berpisah dan sampai jumpa di lain cerita.
T A M A T
Lanjut ke PENDEKAR LEMBAH NAGA
<--kembali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar