Jumat, 31 Januari 2014

Si Tangan Sakti Jilid 9

Si Tangan Sakti Jilid 9

9

“Saudara Yo Han, benarkah engkau yang berjuluk Sin-ciang Tat-hiap!” tanya ketua Pao-beng-pai itu.
Yo Han menghadapi pria tinggi besar yang gagah perkasa itu.
“Memang benar, Pangcu. Akan tetapi orang terlalu membesarkannya. Aku bukan seorang pendekar seperti tiga keluarga besar itu! Aku hanya ingin menyadarkan orang-orang kang-ouw yang tersesat mengganggu rakyat, agar mereka itu tidak memusuhi rakyat melainkan memusuhi pemerintah Mancu dan antek-anteknya. Pernahkah Pangcu mendengar aku membunuh seorang kang-ouw? Seperti yang dilakukan para angauta tiga keluarga besar itu?. Tidak, yang kumusuhi bukanlah orang-orang kang-ouw melainkan pemerintah Mancu dan antek-anteknya. Karena itulah maka aku sengaja datang ini untuk bekerja sama dengan orang-orang seperjuangan dan sehaluan.”
Banyak di antara para tamu, orang-orang kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang Sin-ciang Tai-hiap, senyambut ucapan itu dengan gembira. Hanya mereka yang merasa dekat dengan keluarga para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Naga saja yang memandang dengan wajah muram. Pemuda itu sungguh merupakan bahaya bagi para pendekar, terutama mereka yang tidak menentang pemerintah Mancu.
Sedangkan Siangkoan Kok merasa gembira bukan main. Inilah orang yang akan menjadi sekutu yang amat berguna baginya.
“Yo-sicu (orang gagah Yo), sudah lama kami mencari seorang sekutu yang baik dan agaknya engkaulah orangnya. Hayo aku masih merasa penasaran kalau tidak mengukur sendiri kekuatanmu, walaupun tadi engkau telah memperlihatkan tenagamu yang dahsyat. Kami akan suka sekali menjadi kawan seperjuanganmu, Sicu, akan tetapi lebih dahulu aku ingin menguji kekuatanmu. Bersediakah engkau?”
“Hemmm, aku mendapatkan kehormatan besar sekali kalau Pangcu dari Pao-beng-pai suka memberi petunjuk kepada aku yang muda dan bodoh,” kata Yo Han. “Nah, Pangcu, aku sudah siap.”
“Bagus, aku pun hanya ingin mengukur tenagamu saja, Sicu. Sambutlah doronganku ini!”
Berkata demikian, ketua Pao-beng-pai itu menekuk kedua lututnya dengan kaki terpentang, lalu kedua lengannya melakukan dorongan lurus ke dapan yang dimulai dari bawah pangkal lengan, kedua tangan terbuka, jari-jari tangan agak ditekuk dan dari kedua telapak tangannya itu menyambar hawa pukulan dahsyat yang mengeluarkan bunyi berciut dan mengandung hawa dingin!
Maklum bahwa dia menghadapi serangan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat dan berbahaya, Yo Han Juga cepat menekuk kedua lutut dan seperti tadi ketika menyerang dua orang pendeta, dia pun mengerahkan tenaga dari Bukek Hoat-keng dan dari kedua telapak tangannya menyambar hawa pukulan yang tidak kalah hebatnya.
Dua tenaga yang tidak nampak bertemu di antara mereka dan nampak tubuh mereka tergetar hebat. Yo Han sengaja tidak menyerang, hanya mempertahankan ketika tenaga lawan mendorongnya, dan ketua Pao-beng-pai itu merasa betapa dorongannya bertemu dengan perisai yang kokoh kuat seperti batu karang! Dia kagum bukan main, lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mendorong dan dari mulutnya terdengar suara menggereng. Yo Han tetap mempertahankan. Biarpun tenaga lawan itu kuat sekali, kalau dia menggunakan Bu-kek Hoatkeng dan balas menyerang, dia merasa yakin akan mampu mengatasi lawan. Namun bukan itu yang dikehendakinya. Maka, dia pun hanya mempertahankan dan biarpun kedua kakinya tetap memasang kuda-kuda, namun tubuhnya terdorong dan kedua kaki itu tergeser ke belakang sampai tiga kaki!
Melihat ini, ketua Pao-beng-pai semakin kagum. Jarang ada tokoh persilatan mampu menahan dorongannya itu, dan melihat betapa pemuda itu tidak sampai mengangkat kaki, tidak terjengkang melainkan hanya kedua kakinya tergeser ke belakang dalam keadaan kuda-kuda yang sama, hal ini saja membuktikan betapa kuatnya pemuda itu. Dia pun segera berseru,
“Cukup!” dan keduanya menarik tenaga masing-masing. Siangkoan Kok agak terengah karena tadi dia mengerahkan seluruh tenaga. Yo Han cepat membuat pernapasannya memburu agar jangan diketahui orang bahwa dia lebih kuat.“Hebat, engkau masih muda sudah memiliki tenaga yang hebat, Sicu! Cukuplah, biar lain kali saja kita berlatih silat. Engkau cukup berharga untuk menjadi sekutu kami. Mari Yo-sicu, silakan duduk di atas bersama kami. Dan engkau juga, Cia-sicu. Engkau pun sudah mampu menandingi puteri kami, bararti engkau juga cukup berharga dan layak untuk duduk di tampat kehormatan dan semeja dangan kaluarga kami!” Ketua itu gembira bukan main bahwa di antara para tamunya tardapat dua orang pemuda sepertu Cia Ceng Sun dan Yo Han. Tinggal pilih saja untuk menjadi calon mantu. Keduanya sama tampannya dan sama gagahnya. Yo Han tentu saja lebih kuat, akan tetapi Cia Ceng Sun lebih berwibawa dan terpelajar.
Pesta pertemuan itu pun dimulai dengan meriah. Yang duduk di atas sebagai tamu-tamu kehormatan adalah tokoh besar dunia kang-ouw termasuk para tokoh Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Gobi-pai dan Bu-tong-pai. Akan tetapi mereka itu duduk di meja lain, sedangkan Yo Han dan Cia Ceng Sun duduk semeja dengan Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya. Kalau sikap Cia Ceng Sun sopan santun dan sungkan seperti seorang pemuda yang diharuskan duduk semeja dengan nyonya dan nona rumah, Yo Han menyesuaikan diri dengan perannya sebagai seorang berandalan kang-ouw. Dia acuh saja, bahkan bersikap agak dingin! Sikap seorang pemuda kang-ouw yang tinggi hati.
Mula-mula Siangkoan Eng juga kagum bukan main melihat kelihaian Yo Han, apalagi nama besarnya sebagai Pendekar Tangan Sakti, akan tetapi karena sikapnya itu, maka perhatian gadis itu lebih banyak tertuju kepada Cia Ceng Sun yang bersikap ramah, manis dan pandai membawa diri. Bahkan ibunya pun lebih suka kepada Cia Ceng Sun daripada kepada Yo Han.
Karena mereka duduk semeja, mau tidak mau Yo Han terpaksa berkenalan pula dengan Cia Ceng Sun. Ketua Paobeng-pai sambil makan minum dan mendengarkan musik dan nyanyian, mencoba untuk mengorek keterangan tentang riwayat kedua orang pemuda yang menarik hati itu.
Cia Ceng Sun menceritakan bahwa dia seorang yatim piatu yang menerima harta warisan yang banyak dari mendiang orang tuanya yang hartawan di utara, dan sejak kecil dia suka mempelajari ilmu silat dari siapa saja sehingga tidak mempunyai guru tertentu.
“Guru saya banyak sekali, akan tetapi bukan guru tetap. ilmu silat apa saja saya pelajari, dan untuk itu saya telah menghamburkan hampir semua harta peninggalan ayah.” Tentu saja dia berbohong. Yang tidak bohong adalah bahwa dia memang mempelajari ilmu-ilmu silatnya dari banyak guru, tanpa ada guru tetap.
“Sampai sekarang pun, saya merantau untuk menambah pengetahuan dan meluaskan pengalaman.” tambahnya.
Ketika Yo Han ditanya, dia mengaku bahwa dia juga yatim piatu seperti telah diceritakannya tadi. Tentang ilmu silat, dia katakan bahwa dia mewarisi ilmu-ilmu ibunya, dan juga dia mempelajari ilmu silat dari para tokoh Thian-li-pang di Bukit Naga.
“Tadinya, aku dipilih untuk menjadi ketua, akan tetapi karena aku tidak suka terikat, aku lalu menyerahkan kedudukan itu kepada suhengku Lauw Kang Hui.” Dia mengakhiri ceritanya.
Siangkoan Kok memandang kagum.
“Jadi Lauw Kang Hui adalah suhengmu? Pantas saja engkau lihai. Kami pernah mendapat kehormatan bertemu dengan dua orang tokoh Thian-li-pang yang sakti, yaitu Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tokong “
Yo Han mengangguk.
“Mereka adalah guru-guruku dan kini. mereka sudah meninggal dunia.”
Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan tidak mengherankan kalau sebentar saja, nampak keakraban antara Cia Ceng Sun dan Siangkoan Eng. Kebetulan Cia Ceng Sun duduk di sebelah gadis itu, dan Siangkoan Eng juga bukan seorang gadis pemalu, sehingga mereka pun becakap-cakap membicarakan ilmu silat. Dari sikap dan pandang mata gadis itu, Yo Han saja dapat mengerti bahwa gadis itu tertarik kepada Cia Ceng Sun yang tampan dan gagah. Apalagi orang tua gadis itu, mereka tentu saja mengetahui.
Dalam pesta perjamuan itu, selain memperkenalkan diri, Pao-beng-pai juga menawarkan kerja sama dengan semua pihak yang menentang penjajah Mancu, tidak peduli mereka itu dari golongan hitam atau putih, dari kelompok mana pun.
“Untuk mengusir penjajah dari tanah air, satu-satunya cara adalah bersatu padu di antara seluruh golongan. Kalau kita bersatu padu, kita akan menjadi kuat dan pemerintah penjajah pasti dapat kita tumbangkan!” demikian antara lain ketua Pao-beng-pai berkata kepada para tamunya. Pertemuan itu dibubarkan dengan kesan yang baik bagi para tamu.
Pao-beng-pai mereka akui, bahkan semua orang tahu bahwa Pao-beng-pai dipimpin oleh keluarga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Semua tamu meninggalkan rumah besar di perkampungan Pao-beng-pai di Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Setan) itu. Kecuali Yo Han dan Cia Ceng Sun! Dua orang pemuda ini menerima undangan khusus dari pihak pimpinan Pao-beng-pai untuk tinggal selama beberapa hari di situ dengan alasan agar perkenalan semakin menjadi akrab. Tentu saja hal ini amat menggembirakan hati Yo Han karena dia memang ingin sekali memperoleh keterangan tentang penculik puteri bibinya yang dia harapkan dapat mendengar dari perkumpulan itu. Juga Cia Ceng Sun merasa girang. Dia melihat bahwa Pao-beng-pai merupakan bahaya besar bagi pemerintahan kakeknya, maka sebagai seorang pangeran, dia berkewajiban untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam agar dia memperoleh bahan untuk membuat pelaporan sehingga pemerintah dapat diselamatkan dan para pemberontak ini dapat dibasmi. Hanya ada sebuah hal yang membuat hati pangeran ini gelisah. Yaitu Siangkoan Eng! Dia merasa menyesal sekali mengapa seorang gadis seperti itu menjadi puteri kepala pemberontak! Dua orang pemuda itu masing-masing memperoleh sebuah kamar di bagian belakang, kamar yang cukup mewah. Dan biarpun mereka mendapatkan kamar sendiri, namun kedua pemuda itu maklum bahwa diam-diam pihak keluarga tuan rumah selalu mengikuti gerak-gerik mereka. Beberapa orang selalu memasang mata kalau mereka berada di dalam kamar. Hal ini membuat keduanya berhati-hati dan tidak berani sembarangan bertindak, juga mereka maklum bahwa betapapun ramahnya sikap keluarga tuan rumah, namun agaknya mereka masih belum percaya benar.
***
Mereka duduk berdua saja, di ruangan depan pada senja hari itu. Yo Han dan Siangkoan Kok. Sudah dua hari Yo Han tinggal di rumah keluarga Siangkoan Kok dan dia mulai mengenal ketua itu sebagai seorang yang mempunyai cita-cita besar, yaitu menumbangkan pemerintah Mancu. Juga ketua itu mulai mengaku bahwa dia adalah keturunan keluarga Kerajaan Beng yang telah dijatuhkan pasukan Mancu seratus tahun lebih yang lalu. Ketua Pao-beng-pai ini bercita-cita untuk membangun kembali Kerajaan Beng! Yo Han melihat kenyataan bahwa yang dinamakan “perjuangan” oleh Siangkoan Kok ini pada hakekatnya tiada lain hanyalah suatu usaha balas dendam dan ambisi pribadi. Betapa banyaknya orang yang menggunakan kedok perjuangan, demi rakyat, demi bangsa dan sebagainya, yang pada hakekatnya menyembunyikan kepentingan pribadi. Siangkoan Kok bukan berjuang melihat penderitaan rakyat, melainkan bercita-cita untuk merampas kembali kerajaan dan tentu dia bercitacita menjadi raja kalau dia berhasil membangun kembali Kerajaan Beng. Perjuangan itu baru aseli kalau dilakukan oleh seluruh rakyat sebagai akibat penderitaan atau penindasan. Perjuangan yang mengutamakan rakyat tanpa mengikutsertakan rakyat sendiri, masih diragukan kemurniannya. Siangkoan Kok tidak mengajak rakyat, melainkan mempunyai anak buah sendiri, dan merangkul orang-orang dari dunia persilatan, baik golongan hitam maupun putih. Akan tetapi bagaimana dengan rakyat jelata? Benarkah mereka itu kini dalam keadaan tertindas. Yang dia tahu, biarpun Kaisar Kian Liong seorang Mancu, namun dia dikenal sebagai seorang kaisar yang bijaksana, membangun dan berusaha memakmurkan rakyat, bukan dengan jalan penindasan. Karena itu, nama kaisar itu harum di kalangan rakyat, bukan sebagai kaisar penindas.
Yo Han setuju kalau pemerintah dipegang oleh bangsa sendiri, bukan oleh bangsa Mancu. Akan tetapi, dia tidak setuju kalau untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah penjajah itu diadakan pemberontakan-pemberontakan kecil di sana sini yang bukan lain berambisi pribadi dari pemimpin-pemimpin kelompok yang tidak puas dan yang mencari kekuasaan bagi diri sendiri. Pemberontakan kecil macam itu hanya akan menyengsarakan rakyat belaka. Seperti yang sudah-sudah, gerombolan pemberontak itu selalu mengganggu rakyat pula. Seperti Peklian-pai, Pat-kwa-pai, bahkan Thian-lipang juga pernah menyeleweng. Kalau perkumpulan yang bertujuan menumbangkan penjajah itu dimasuki orang-orang dari golongan sesat, sudah pasti akan terseret ke dalam kejahatan dan mengganggu rakyat dengan dalih perjuangan! Dan dia tidak setuju sama sekali!
Kalau ada pemimpin sejati yang dapat membangkitkan rakyat untuk menentang penjajah, maka dia siap untuk berdiri di barisan terdepan! Akan tetapi karena kehadirannya di Pao-beng-pai bukan untuk urusan pemberontakan, melainkan dalam usahanya mencari jejak penculik puteri bibinya, dia pun tidak banyak membantah ketika mendengarkan ketua itu bicara penuh semangat tentang gerakannya.
“Nah, bagaimana pendapatmu, Yo-sicu? Setelah engkau mendengarkan semua cita-cita dan rencanaku, bersediakah engkau bekerja sama dengan kami, baik engkau pribadi maupun engkau sebagai pimpinan Thian-Li-pang? Kita berjuang bahu-membahu, menumbangkan penjajah dan kelak kita bersama pula yang akan memetik buahnya, kita yang akan menikmati hasilnya.”
Nah, tersembul sedikit setan itu, pikir Yo Han. Kita yang akan memetik buahnya, menikmati hasilnya! Jadi, apa yang dinamakan perjuangan itu hanya merupakan suatu cara untuk dapat mendatangkan atau menghasilkan buah yang dapat dinikmati! Dia menahan diri untuk tidak mengucapkan suara hatinya yang ingin membantah dan mencela.
“Pangcu (Ketua)....”
”Aih, setelah kita bergaul begini akrab sebagi kawan seperjuangan, tidak perlu lagi engkau menggunakan sebutan yang asing itu. Sebut saja paman kepadaku, Yo Han!”
Hemmm, orang ini memang pandai mempergunakan orang lain, pandai memanfaatkan tenaga orang lain dengan sikap yang amat menyenangkan.
“Terima kasih, Paman Siangkoan Kok. Pengangkatan ketua di Thian-li-pang sendiri kutolak, bukan karena aku tidak suka kedudukan, melainkan karena aku ingin bebas agar aku dapat melakukan balas dendam atas kematian ayah ibuku. Mereka tewas karena dijerumuskan oleh Setan Cilik (Siauw Kwi) Can Bi Lan! Dan sebaiknya aku dalam keadaan bebas dan tidak terikat dalam usahaku membalas dendam ini. Setelah aku berhasil membunuh Can Bi Lan dan suaminya, mungkin barulah aku akan memimpin Thianli-pang dan aku akan bekerja sama denganmu.”
Siangkoan Kok mengangguk-angguk, lalu kedua matanya menatap tajam wajah pemuda itu.
“Yo Han, demikian besarkah kebencianmu terhadap Can Bi Lan dan Sim Houw?”Yo Han balas memandang, memperlihatkan heran dan alisnya berkerut.
“Paman, kenapa Paman masih bertanya lagi? Kalau tidak karena ulah Can Bi Lan dan suaminya, dan seluruh anggauta keluarga Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga, tentu sampai kini ibuku masih menjadi seorang tokoh kang-ouw yang disegani! Hemmm, kalau saja aku bisa mendapatkan seorang teman yang dapat dipercaya dan yang memiliki kepandaian yang boleh diandalkan, ingin sekali aku mengajaknya untuk mendatangi suami isteri itu dan membunuh mereka!”
Ketua Pao-beng-pai itu tersenyum.
“Heh-heh-heh, Yo Han, begitu mudahnya engkau bicara! Mungkin kalau hanya Can Bi Lan atau Siauw Kwi, aku atau engkau akan mampu menandingi bahkan mengalahkannya. Akan tetapi Sim Houw? Dia adalah Pendekar Suling Naga, dengan suling pedangnya yang terkenal di seluruh dunia dan sukar dicari bandingnya! Sungguh berbahaya sekali menghadapinya!”
“Aku tidak takut, Paman. Pernah aku berusaha menyerbu mereka, akan tetapi aku seorang diri tidak mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, kalau saja aku dapat bertemu dengan seseorang yang kucari-cari dan sampai sekarang sayang sekali belum kutemukan, bersama dia rasanya sanggup aku membasmi keluarga Sim itu!” kata Yo Han penuh semangat.
“Hemmm, siapakah orang itu, Yo Han?”
“Namanya aku tidak tahu, Paman, bahkan aku tidak tahu apakah dia pria ataukah wanita. Yang kuketahui adalah bahwa dia pada dua puluh tahun yang lalu telah menculik puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan! Apakah Paman mengetahui siapa penculik itu?”
“Hemmm, apakah engkau datang ke sini sengaja hendak mencari penculik itu?”
“Memang sudah lama aku mencarinya, Paman. Aku mengunjungi pertemuan yang Paman adakan untuk mencari tahu tentang penculik itu, dan juga untuk mencari teman sehaluan.”
“Kenapa engkau mencari penculik itu!”
“Karena, kalau dia sudah berani menculik puteri suami isteri itu, berarti dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan juga amat membenci mereka. Nah, dengan orang seperti itu, kiranya aku akan dapat mengajaknya untuk membalas dendam. Apakah Paman mengetahui siapa orangnya dan di mana aku dapat bertemu dan bicara dengannya?” Yo Han sengaja menahan diri dan tidak bertanya tentang anak yang diculik, seolah dia tidak peduli dan tidak tertarik tentang anak itu, yang diperlukan adalah si penculik untuk diajak kerja sama!
Ketua Pao-beng-pai mehggeleng kepalanya.
“Tentang penculikan itu pun baru sekarang aku mendengar darimu, Yo Han. Bahkan aku pribadi tidak pernah mempunyai urusan langsung dengan Sim Houw dan Can Hi Lan.”
Yo Han mengerutkan alisnya, kecewa.
“Kalau Paman tidak tahu, aku akan segera pergi dari sini untuk bertanya kepada tokoh-tokoh kang-ouw lainnya....”
“Nanti dulu, Yo Han. Engkau bilang bahwa kalau engkau sudah berhasil menemukan penculik itu dan kau ajak menyerang musuh-musuhmu, engkau akan memimpin Thian-li-pang dan bekerja sama dengan kami? Kalau benar demikian, mungkin saja aku dapat membantumu. Anak buahku banyak, dan kami mempunyai hubungan baik dengan dunia kang-ouw. Kalau kusebar mereka untuk melakukan penyelidikan, kiraku dalam waktu beberapa hari saja aku bisa menemukan siapa penculik itu.”
“Terima kasih, Paman! Sebetulnya aku pun sudah mempunyai pikiran seperti itu, akan tetapi mana berani aku membikin repot Paman? Kalau Paman suka membantuku, sungguh aku merasa berterima kasih sekali dan aku pasti akan membalas budi itu dengan kerja sama!”
“Baiklah, aku akan membantumu dan sekarang juga akan kuperintahkan anak buah Pao-beng-pai untuk mencari tahu dan menyelidiki siapa adanya orang yang telah menculik anak dari Pendekar Suling Naga. Engkau tunggu saja dan tinggal di sini selama beberapa hari lagi sampai kita mendapatkan hasilnya. Nah, mari kita minum, Yo Han!” Mereka lalu minum arak dan tak lama kemudian Siangkoan Kok memanggil para pembantunya dan memerintahkan mereka menyebar anak buah untuk mecari berita tentang penculik anak Pendekar Suling Naga.
Sementara itu, pada senja hari itu, di dalam taman yang luas dari perkampungan Pao-beng-pai, nampak Siangkoan Eng berjalan-jalan bersama Cia Ceng Sun. Tidak ada seorang pun anggauta Pao-beng-pai berani mengganggu atau mendekati dua orang muda yang nampak berjalan-jalan di taman sambil bercakap-cakap nampak akrab sekali itu.
Memang kedua orang muda ini saling tertarik dan saling mengagumi. Siangkoan Eng adalah seorang gadis yang hidup di tengah keluarga kang-ouw. Biarpun ayahnya seorang bekas bangsawan dan berusaha sekuatnya untuk hidup seperti seorang bangsawan, namun karena lingkungannya adalah orang-orang kang-ouw yang menjadi anak buah ayahnya, maka ia sudah biasa hidup bebas tanpa ikatan segala macam peraturan. Maka, kini ia dapat bergaul dengan Cia Ceng Sun dengan bebas tanpa rikuh dan sungkan, bahkan ayah ibunya juga membiarkannya saja karena kedua orang tua ini tidak keberatan kalau puteri mereka bergaul dengan seorang pemuda yang demikian baik seperti Cia Ceng Sun.
Setelah tiba di dekat kolam ikan yang indah, mereka duduk di atas bangku panjang.
Tempat itu memang indah dan romantis. Bunga-bunga beraneka warna mekar semerbak.
Di sana-sini sudah dinyalakan lampu-lampu gantung beraneka warna pula dan di pohon dekat kolam itu tergantung dua buah lampu berwarna kemerahan sehingga dalam keremangan senja, kedua orang muda itu nampak seperti diselimuti cahaya kemerahan.
“Kongcu, setelah engkau berada di sini, selama dua hari dua malam ini, bagaimana pendapatmu tentang keluarga kami, perkumpulan kami dan tempat ini?” Siangkoan Eng yang oleh ayah ibunya disebut Eng Eng dan oleh semua anak buahnya disebut Siocia (Nona) itu bertanya sambil menatap wajah pemuda yang tampan itu.
“Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, bagaimana kalau engkau tidak menyebut aku kongcu (tuan muda) lagi? Terdengarnya begitu asing dan tidak sepantasnya kalau seorang gadis seperti engkau menyebut aku kongcu.”
Eng Eng tersenyum.
“Hemmm, engkau sendiri menyebut aku siocia (nona), tentu saja aku menyebutmu kongcu. Habis, kalau tidak menyebut kongcu, harus menyebut bagaimana?”
“Sebut saja kakak, dan aku akan menyebutmu adik. Bagaimana pendapatmu?”
“Tidakkah itu terbalik? Kurasa aku lebih tua darimu!”
“Tidak mungkin. Usiaku sudah dua puluh tiga tahun!”
“Kalau begitu sama, aku pun dua puluh tiga tahun. Baiklah, mulai sekarang, aku akan menyebutmu toa-ko (kakak), Sun-toako.”
“Dan aku akan menyebutmu Eng-moi (adik Eng).”
“Sun-toako....”
“Eng-moi....” Keduanya saling pandang dan tertawa gembira.
“Nah, sekarang kita merasa seperti adik kakak, bukan? Eng-moi, kini aku tidak merasa sungkan lagi untuk menanyakan hal-hal yang lebih bersifat pribadi, dan harap kau tidak marah kepadaku.”
“Tanyalah, Toako”
“Engkau seorang gadis yang cantik jelita, pandai dan gagah perkasa, puteri seorang ketua pula, dan usiamu sudah dua puluh tiga tahun. Akan tetapi kulihat engkau masih sendiri, belum berkeluarga sendiri. Kenapa, Eng-moi?”
Karena pandainya Cia Ceng Sun mengatur pertanyaan itu dengan sikap bersaudara dan kata-kata yang halus, Eng Eng tidak merasa tersinggung, walaupun kedua pipinya berubah kemerahan juga. “Aih, itukah? Bagaimana aku dapat membangun rumah tangga sendiri kalau aku belum bertemu dengan orang yang cocok, Toako? Banyak memang pinangan berdatangan terhadap diriku, akan tetapi selama ini aku belum bertemu dengan seorang yang berkenan di hatiku. Kalau sudah bertemu yang cocok, mengapa tidak? Dan engkau sendiri, bagaimana, Toako? Tentu engkau sudah berkeluarga dan mempunyai satu dua orang anak.”
“Ha-ha-ha, dugaanmu keliru, Eng-moi. Seperti juga engkau, aku masih hidup sebatang kara, belum mendapatkan jodoh. Mungkin karena selama ini juga belum ada yang cocok bagiku seperti keadaanmu.”
Hening sejenak, seolah keduanya tenggelam dalam lamunan masing-masing sementara senja mulai ditelan keremangan menjelang malam tiba. Kemudian terdengar Eng Eng bicara lirih seperti kepada dirinya sendiri,
“Betapa serupa keadaan kita....” kemudian ia menghela napas panjang dan melanjutkan sambil memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah sinar matanya hendak menembus cuaca yang semakin remang. “Toako, wanita seperti apakah yang kiranya dapat kau anggap cocok untuk menjadi jodohmu?”
Mendengar pertanyaan ini dan melihat sikap gadis itu, berdebar rasa jantung Cia Ceng Sun. Dia merasa seperti ditodong dan rasanya sukar untuk mengelak atau menangkis, sukar untuk tidak mengaku terus terang. Sejak dia melihat gadis ini, dia sudah terpesona, apalagi setelah melihat sepak terjang gadis itu, kemudian sampai mereka mengadu ilmu, dia telah tergila-gila, dia telah jatuh cinta! Dengan kuat sekali perasaan ini menekannya dan terasa benar olehnya. Biarpun dia tidak melupakan pesan ayahnya agar dia jangan jatuh cinta kepada wanita lain karena dia sudah ditunangkan dengan Si Bangau Merah, namun tetap saja dia tidak mampu menolak gelora hatinya, tidak dapat menipu diri sendiri. Dia jatuh cinta kepada Siangkoan Eng. Padahal, gadis ini adalah puteri seorang pemimpin pemberontak, keturunan keluarga kaisar Kerajaan Beng!
“Eng-moi, aku mau berterus terang saja, harap engkau tidak marah.”
“Eh? Kenapa aku harus marah kalau engkau bicara terus terang tentang seorang wanita yang menurut pendapatmu cocok untuk menjadi jodohmu?”
“Eng-moi, setelah aku tiba di sini, bertemu denganmu, maka tahulah aku bahwa gadis yang kucari-cari untuk menjadi jodohku itu adalah.... yang seperti engkau inilah....”
“Seperti aku? Apa maksudmu, Sunko?”
“Maksudku.... eh, mana ada gadis yang sama denganmu. Maksudku, bahwa yang kucari-cari itu adalah engkau! Engkaulah gadis yang kuidam-idamkan menjadi jodohku. Eng-moi, tentu saja kalau engkau sudi menerimaku.”
“Hemmm, engkau hendak meminangku? Kenapa? Karena aku seperti gadis dalam mimpimu?”
“Bukan begitu maksudku, eh.... ah, terus terang saja, semenjak aku bertemu denganmu, aku terpesona dan aku jatuh cinta padamu, Eng-moi. Nah, aku sudah berterus terang, terserah kepadamu.”
Hening pula, sekali ini agak lama dan keduanya menundukkan muka. Seolah lenyap semua kegagahan dan keberanian mereka. Untuk mengangkat muka dan saling pandang pun merupakan hal yang bagi mereka membutuhkan keberanian besar sekali pada saat seperti itu. Akhirnya, setelah beberapa kali meragu karena mendengar gadis itu berulang kali menghela napas panjang, Cia Ceng Sun memberanikan diri berkata,
“Eng-moi, harap kau suka memaafkan aku kalau aku menyinggung perasaanmu.” Memang sungguh aneh sekali pengaruh cinta terhadap diri seseorang. Cia Ceng Sun adalah Pangeran Cia Sun, cucu kaisar! Padahal, dalam kedudukannya sebagai pangeran, dengan kegagahan dan ketampanannya, biasanya seorang pangeran seperti dia tinggal menunjuk saja gadis mana yang disukainya dan gadis itu akan datang kepadanya, baik dengan suka rela maupun atas kehendak orang tua si gadis. Dan sekarang, dia bersikap seperti seorang pemuda yang malu-malu dan gelisah ketika menyatakan cintanya kepada seorang gadis biasa, bukan puteri bangsawan, bukan puteri istana! Dan sikapnya ini bukan sekali-kali disesuaikan dengan penyamarannya sebagai pemuda biasa, memang sesungguhnya dia merasa lemah tak berdaya menghadapi Siangkoan Eng!
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Toako. Sesungguhnya, aku sendiri merasa bahwa sekarang setelah bertemu denganmu, aku pun telah menemukan pria yang selama ini kuharapkan....” Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya dan menundukkan mukanya yang berubah merah. Biarpun Eng Eng seorang gadis yang gagah perkasa dan wataknya dingin dan aneh, namun sekali ini ia merasa sedemikian malu dan salah tingkah sehingga jantungnya berdebar keras dan seluruh tubuhnya seperti panas dingin kedua kakinya gemetar!
“Eng-moi....!” Bukan main girangnya rasa hati Cia Ceng Sun mendengar pengakuan itu.
Dia bukanlah seorang pemuda yang sama sekali belum pernah bergaul dengan wanita, walaupun dia bukan tergolong pemuda yang mata keranjang dan suka pelesir seperti para pangeran lainnya. Mendengar pengakuan Siangkoan Eng yang sama sekali tidak pernah disangkanya, dia lalu menggeser duduknya dan memegang kedua tangan gadis itu.
Mereka saling berpegang tangan, dan gadis itu mengangkat mukanya dan pandang matanya sayu, bahkan seperti hendak menangis. Empat buah tangan yang saling berpegangan itu menggigil dan menggetar.
“Eng-moi, terima kasih, Eng-moi! Aihhh, engkau membuat aku berbahagia sekali. Aku cinta padamu, Eng-moi.”
Biarpun Eng Eng amat mengharapkan kata-kata itu namun setelah diucapkan, ia merasa lucu dan ia tersenyum.
“Sun-ko, kita baru dua hari berkenalan dan sudah saling mengaku cinta.”
“Apa salahnya? Kita saling mencinta, baru bertemu sedetik pun apa bedanya? Aku akan mengirim wali untuk meminangmu kepada orang tuamu, Eng-moi.”
“Aku hanya akan menunggu, Sunko....”
Hening kembali sejenak dan mereka masih saling berpegang tangan. Akan tetapi tiba-tiba Cia Ceng Sun melepaskan tangannya dan menunduk, seperti orang melamun dengan alis berkerut.
“Kenapa, Koko?” Eng Eng bertanya, khawatir.
“Ada satu hal yang mengganjal hatiku, Eng-moi. Yaitu cita-cita ayahmu. Biarpun sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat, akan tetapi aku tidak pernah dan tidak suka bermusuhan. Aku tidak ingin terlibat pemberontakan terhadap pemerintah, juga tidak ingin bermusuhan dengan siapapun, maka tidak mungkin aku dapat membantu keluargamu. Aku lebih suka berterus terang, Eng-moi, daripada berpura-pura dan palsu.”
---lanjut ke jilid 10---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar