Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 39

Kisah Si Bangau Merah Jilid 39

39

"Kamilah yang seharusnya minta maaf sobat," kata Yo Han dengan sikap sopan. "Kami telah lancang memasuki pekarangan ini, bukan dengan niat buruk di hati, melainkan karena keinginan tahu siapa penghuni rumah di tempat yang sunyi ini. Saya bernama Yo Han dan adik ini bernama Tan Sian Li."
Pemuda tinggi besar itu menerima perkenalan dengan ramah.
"Namaku Gak Ciang Hun, dan ini adalah ibuku. Baru beberapa bulan kami memilih tempat ini sebagai tempat tinggal yang baru. Kami kira tempat ini tenteram dan penuh kedamaian, siapa kira, baru sebulan yang lalu di kaki bukit kami bertemu dengan orang-orang jahat yang mengeroyok sehingga biarpun kami berhasil mengusir mereka, aku menderita luka dan ibu menjadi pemarah, selalu mencurigai setiap orang asing."
"Apakah orang-orang jahat itu para Lama berjubah hitam, ataukah orang Nepal, atau pengemis-pengemis bertongkat hitam?" tanya Sian Li.
Gak Ciang Hun memandang kepada Sian Li dengan mata terbelalak lebar. Baru sekarang dia memandang gadis itu sepenuhnya dan diam-diam dia merasa kagum dan terpesona.
Gadis ini bukan saja lincah jenaka, akan tetapi mampu menyambut dua kali pukulan ibunya, dan ternyata amat cantik jelita dan juga nampaknya cerdik bukan main.
"Nona, bagaimana Nona bisa mengetahuinya dengan tepat? Memang di antara para pengeroyok, terdapat tiga macam orang itu!"
"Tentu saja aku tahu!" kata Sian Li sambil tersenyum dan membusungkan dada yang sudah menonjol itu. "Bahkan aku tahu lebih banyak lagi! Setidaknya, aku tahu bahwa Bibi Gak ini tentu pernah mempelajari ilmu Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari keluarga pendekar Pulau Es."
Wanita itu mengeluarkan seruan kaget dan dengan gerakan cepat sekali ia telah meloncat mendekati Sian Li, sepasang matanya seperti berapi ketika ia memandang kepada gadis itu.
"Hemm, bagaimana kau tahu tentang ilmu-ilmu dari Pulau Es? Hayo cepat katakan!"
Sian Li sendiri adalah seorang gadis yang galak dan pemberani. Ia tersenyum mengejek.
"Bibi, engkau terlalu galak! Aku bukan apa-apamu, kenapa main bentak saja? Kalap seperti ini sikapmu dalam bertanya, aku pun tidak jadi menjawab. Nah, kau mau apa?"
Sebelum ibunya marah-marah, pemuda tinggi besar itu cepat menengahi dan berkata,
"Harap Nona suka memaafkan Ibuku. Seperti kukatakan tadi, Ibu menjadi pemarah karena gangguan orang-orang jahat itu. Akan tetapi, sungguh kami berdua merasa terkejut dan heran sekali mendengar Nona mengenal ilmu-ilmu dari Pulau Es. Bagaimanakah Nona dapat mengetahui bahwa Ibuku mempelajari ilmu-ilmu Pulau Es?"
Sian Li tersenyum.
"Apa sukarnya? Ibumu tadi menamparku dengan Swat-im Sin-kang, kemudian tamparan ke dua menggunakan tenaga Hui-yang Sin-kang. Setahuku, para murid pendekar Pulau Es tidaklah jahat dan galak, main bentak dan main pukul saja."
Mendengar ini, Gak Ciang Hun cepat memberi hormat.
"Kalau begitu, Nona adalah murid keluarga pendekar Pulau Es?"
"Katakan dulu, dari siapakah ibumu mempelajari ilmu Pulau Es? Baru aku akan menerangkan tentang diriku," kata Sian Li dengan sikap "jual mahal" untuk melepaskan kedongkolan hatinya karena tadi diserang dan dibentak-bentak oleh ibu pemuda itu.
"Nona Tan Sian Li, ketahuilah bahwa kami mempelajari ilmu keluarga Pulau Es dari mendiang kakek kami," jawab Ciang Hun.
"Siapa nama mendiang kakekmu itu?"
"Mendiang kakek adalah Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama)."
Kini Sian Li terbelalak.
"Aihh....? Bukankah Locianpwe itu yang berhama Gak Bun Beng?" Ia teringat akan cerita paman kakeknya, yaitu Suma Ceng Liong yang memperkenalkan nama para pendekar yang mempunyai hubungan dengan keluarga Pulau Es dan yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.
"Benar, Nona. Kedua orang Ayahku, Beng-san Sian-eng, juga telah meninggal dunia pula kurang lebih setahun yang lalu Setelah Ayah meninggal, Ibu tidak betah lagi tinggal di Beng-san, maka kami pergi meninggalkan Beng-san dan merantau sampai ke sini, lalu memilih tempat sunyi ini sebagai tempat tinggal sementara."
Kini Sian Li tidak berani main-main dan tidak berani bersikap galak lagi. Ia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada wanita setengah tua yang masih cantik namun galak itu.
"Kalau begitu, maafkanlah aku, bibi yang baik. Kiranya bibi bukan orang lain dan di antara kita masih ada hubungan yang cukup dekat...."
"Hemm, cukuplah bermaaf-maafan ini," kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lan "Engkau sudah mengetahui Siapa kami, akan tetapi kami belum tahu siapa engkau dan apa hubunganmu dengan keluarga Pulau Es."
"Bibi, aku dapat dikatakan murid Pulau Es, akan tetapi juga keluarga Pulau Es. Nenekku bernama Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan aku pun diambil murid oleh Paman Kakekku sendiri, yaitu Kakek Suma Ceng Liong."
Wanita itu membelalakkan matanya dan wajah yang tadinya masam itu kini menjadi cerah berseri. "Ahhh.... kiranya engkau cucu Enci Suma Hui dan bahkan murid pendekar benar Suma Ceng Liong? Kalau begitu, sama sekali tidak aneh kalau engkau mengenal dua tamparanku tadi! Engkau benar, kita masih ada ikatan yang dekat. Maafkan sikapku tadi, Sian Li. Kakakmu Ciang Hun benar, aku menjadi pemurung dan pemarah, bukan hanya karena sikap orang-orang jahat di kaki bukit, melainkan sejak kedua pamanmu meninggal dunia...."
Sian Li sudah mendengar dari paman kakeknya bahwa wanita ini bernama Souw Hui Lian dan menikah dengan dua orang suami, yaitu pendekar kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera Gak Bun Beng.
"Sudahlah Bibi. Yang sudah meninggal tidak perlu disedihkan. Kita semua pun akan mengalaminya, dan kata Paman Kakek Suma Ceng Liong, kematian hanya merupakan perjalanan pulang yang abadi, setelah orang merantau di dunia yang penuh sengketa ini. Kalau Bibi terlalu bersusah hati, akibatnya hanya akan mengganggu kesehatan sendiri."
"Bukan main!" Ciang Hun yang biasanya tenang dan lembut itu kini berseru dengan mata bersinar-sinar. "Masih begini muda namun telah memiliki pengertian demikian mendalam tentang kematian. Dan siapakah saudara Yo Han ini? Apakah juga murid atau anggauta keluarga Pulau Es?"
"Ciang Hun, sekarang engkau yang kurang sopan. Kenapa dua orang tamu terhormat diajak bicara di pekarangan saja? Anak-anak yang baik, marilah kita bicara di dalam pondok. Silakan masuk!" kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lian. Sian Li tertawa dan mereka pun memasuki pondok.
Siapakah ibu dan anak itu? Nyonya itu dahulu bernama Souw Hui Lian, murid dari sepasang pendekar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Kemudian, murid itu jatuh cinta kepada kedua orang gurunya, dan demikian sebaliknya, maka ia menjadi isteri kedua orang pendekar itu. Dari perjodohan yang agak ganjil ini, yaitu seorang isteri dengan dua suami, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Gak Ciang Hun. Sepasang Pendekar Gak yang kemudian berjuluk Beng-san Sian-eng (Sepasang Pendekar dari Beng-san) itu adalah putera tinggal Gak Bun Beng, seorang pendekar yang pernah digembleng oleh Pendekar Super Sakti sehingga mewarisi ilmu tenaga sakti dari Pulau Es, dan yang setelah tua berjuluk Bu Beng Lokai. Pada akhir hayatnya, Bu Beng Lokai ini masih sempat mengoperkan tenaga sakti Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang kepada cucunya, yaitu Gak Ciang Hun yang kini telah menjadi seorang pemuda perkasa berusia dua puluh delapan tahun dan belum menikah. Keluarga ini tinggal di Pegunungan Beng-san. Setelah dua orang pendekar kembar itu meninggal dunia karena usia tua, Souw Hui Lian menjadi sedih sekali, tidak betah lagi tinggal di Beng-san dan mengajak puteranya merantau sampai ke barat, dan memilih bukit itu sebagai tempat tinggal.
Mereka kini duduk di dalam pondok, di mana terdapat bangku-bangku batu buatan Ciang Hun sendiri. Sederhana namun kokoh.
"Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu, Saudara Yo Han. Engkau she (bermarga) Yo, tentu bukan keluarga Pulau Es. Apakah murid Pulau Es pula?"
Yo Han menggeleng dan saling pandang dengan Sian Li. Gadis ini maklum akan perasaan hati Yo Han.
"Han-ko, Bibi Gak dan Kakak Ciang Hun ini bukan orang lain. Kurasa sebaiknya kalau engkau berterus terang saja, bahkan kita dapat saling bantu dengan mereka menghadapi gerombolan jahat itu."
Mendengar ucapan Sian Li Itu, Yo Han mengangguk-angguk. Dia dikenal sebagai pendekar bertopeng atau yang selalu menyembunyikan muka dan disebut Sin-ciang Tai-hiap, bukan karena sengaja. Dia merantau dan berkeliaran di daerah perbatasan Tibet ini karena menunaikan tugas, mentaati pesan mendiang gurunya, Kakek Ciu Lam Hok, yaitu mencari dan merampas kembali mustika mutiara hitam. Karena bertahun-tahun dia tidak dapat menemukan pusaka itu, maka sepak terjangnya menentang kejahatan membuat nama Sin-ciang Tai-hiap terkenal. Kalau mustika itu sudah dapat dirampasnya, tentu dia akan meninggalkan daerah itu dan Sin-ciang Tai-hiap pun akan lenyap bersama dia.
Terhadap orang orang segolongan sendiri, memang tidak perlu menyembunyikan rahasianya itu, apalagi saat ini dia sedang menghadapi ancaman musuh yang selain lihai, juga banyak jumlahnya dan mungkin mereka akan melakukan kecurangan. Dia tidak khawatir akan diri sendiri, melainkan khawatir karena Sian Li terlibat. Kalau ada dua orang Ibu dan anak ini yang juga berkepandaian tinggi dapat saling bantu dengan mereka, tentu keselamatan Sian Li lebih terjamin.
"Bibi dan Saudara Gak Ciang Hun, sesungguhnya saya tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan keluarga Pulau Es yang terhormat dan yang berilmu tinggi. Akan tetapi di waktu saya kecil, saya pernah menerima pertolongan orang tua Adik Tan Sian Li, bahkan saya yang sudah yatim piatu ditampung oleh mereka. Saya diaku sebagai murid, maka hubungan saya dengan Adik Sian Li seperti saudara saja." Dia berhenti, tidak tahu harus menceritakan apalagi. Melihat ini, Sian Li membantunya.
"Kakak Yo Han ini tiga belas tahun yang lalu berpisah dariku, Bibi. Dia mengorbankan diri, menggantikan aku menjadi tawanan seorang iblis betina, dan sejak itu kami saling berpisah. Ketika itu usiaku baru empat tahun. Sekarang, tiga belas tahun kemudian, kita saling bertemu di tempat ini! Bukankah hal itu amat mengherankan dan membahagiakan?”
Souw Hui Lian mengangguk-angguk.
"Sungguh mengherankan sekali. Kalian yang keduanya datang dari timur, bagaimana dapat secara aneh saling jumpa di sini? Tentu menarik sekali ceritanya!"
"Nanti dulu, Ibu. Sebaiknya Saudara Yo Han menceritakan dulu siapa gurunya kalau bukan keluarga Pulau Es," kata Ciang Hun.
"Ah, guru saya seorang yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri, dan saya tidak dapat dibandingkan dengan para murid Pulau Es...." kata Yo Han merendah.
Sikap ini membuat Sian Li mengerutkan alisnya.
"Bibi, Gak-toako (Kakak Gak) belum lama tinggal di sini, akan tetapi dalam perjalanan ke barat, kurasa pernah mendengar nama Sin-ciang Tai-hiap, bukan? Ataukah belum pernah?"
"Pendekar yang penuh rahasia itu, yang bersikap lembut terhadap para penjahat, yang menundukkan banyak tokoh dan datuk jahat itu? Kami pernah mendengarnya, dan tak mengetahui siapa sebetulnya pendekar itu karena selalu menyembunyikan mukanya di balik tirai caping lebarnya," kata Ciang Hun.
"Nah, inilah orangnya!" kata Sian Li dengan bangga sambil menunjuk kepada Yo Han. Pemuda ini mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan.
"Saya tidak sengaja menggunakan nama julukan seperti itu...." katanya. “Dan saya mohon Jiwi setelah mendengar pembukaan rahasia dari Adik Sian Li, akan menyimpannya sebagai rahasia. Saya tidak ingin dikenal sebagai Sin-ciang Tai-hiap."
Ibu dan anak itu tercengang. Mereka sudah mendengar bahwa pendekar yang penuh rahasia itu memiliki kesaktian yang luar biasa, dan kini orangnya berada di depan mereka, seorang pemuda yang sederhana, ramah bahkan pemalu! Kalau bukan Sian Li yang memberitahu, tentu mereka tidak akan percaya.
Ciang Hun cepat bangkit dan memberi hormat kepada Yo Han.
"Ah, kiranya kami berhadapan dengan seorang pendekar besar, maafkan kami dan terimalah hormatku, Taihiap!"
Yo Han cepat membalas.
"Gak-toako, harap jangan bersikap seperti itu kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) menghendaki bersahabat dengan saya."
"Gak-toako, bersikaplah biasa saja. Biarpun Han-ko ini memiliki ilmu silat yang tinggi, namun dia tidak suka ditonjolkan. Itulah sebabnya dia menyembunyikan keadaan dirinya dan selalu menutupi muka dengan tirai caping dan rambut. Dan biarpun dia penentang kejahatan yang gigih, namun dia tidak suka akan kekerasan. Apalagi membunuh manusia, membunuh seekor ayam pun dia tidak tega!"
"Ih, Li-moi, jangan goda aku," kata Yo Han. Ibu dan anak itu memandang penuh kagum.
"Sekarang, ceritakan apa yang membawa kalian ke bukit ini, dan bagaimana kalian dapat saling jumpa di tempat terasing ini," kata Nyonya Gak.
"Bibi, aku bersama seorang Suhengku, murid Paman Kakek Suma Ceng Liong bernama Sian Lun...."
"Ah, kakakmu?" tanya Ciang Hun.
"Bukan, Toako, biarpun namanya mirip. Dia bernama Liem Sian Lun dan menjadi suhengku. Kami berdua ikut Paman Kakek Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi pergi ke Bhutan."
"Aku tahu Suma Ciang Bun, akan tetapi siapa Gangga Dewi?" tanya Nyonya Gak.
"Nenek Gangga Dewi adalah puteri mendiang Kakek Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi." Sian Li menjelaskan.
"Aihhh...! Kiranya begitu? Menarik sekali. Lalu, di mana sekarang suhengmu itu?"
"Inilah persoalan yang kami hadapi, Bibi Gak. Aku dan Suheng, dalam perjalanan dari Bhutan hendak kembali ke timur, bertemu dengan gerombolan persekutuan orang Nepal, orang-orang Hek I Lama dan para anggauta pengemis tongkat hitam. Kami bentrok dengan mereka, dan Suheng tertawan. Kalau tidak muncul Sin-ciang Tai-hiap yang kemudian kukenal sebagai Han-ko ini, tentu aku pun telah mereka tawan."
"Wah, kalau begitu kita harus cepat menolong suhengmu itu! Kita harus membebaskannya dari tangan mereka!" seru Ciang Hun dan mendengar ini, diam-diam Yo Han merasa girang dan kagum. Gak Ciang Hun ini seorang pemuda yang gagah berani.
"Benar, kita harus cepat membebaskan suhengmu, Sian Li!" kata pula Nyonya Gak.
"Itulah persoalannya, Bibi," kata Sian Li sambil menghela napas. "Jumlah mereka banyak sekali, merupakan persekutuan, dan di antara para pimpinan Hek I Lama terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi."
Mendengar suara gadis itu penuh kegelisahan, Yo Han merasa iba dan dia semakin yakin bahwa gadis yang ketika kecil diasuhnya dan digendongnya ini agaknya memang jatuh cinta kepada suhengnya sendiri.
"Li-moi, jangan khawatir. Aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan suhengmu," katanya dengan nada suara penuh keyakinan.
"Kebetulan kita dapat saling jumpa di sini," kata pula Nyonya Gak. "Mari kita serbu sarang mereka. Dengan tenaga kita berempat, kita paksa mereka membebaskan suhengmu itu, Sian Li."
"Terima kasih atas uluran tangan Bibi dan Gak-toako. Akan tetapi, Ketua Hek I Lama telah menantang Sin-ciang Tai-hiap untuk mengadu ilmu di puncak bukit ini, dengan taruhan bahwa kalau dia kalah, dia akan membebaskan Suheng dan menyerahkan mutiara hitam milik guru Han-ko. Sebaliknya kalau Sln-ciang Tai-hiap kalah, dia harus membantu perjuangan gerombolan itu menentang penjajah Mancu."
"Ah, jadi mereka akan datang ke puncak ini?" tanya Ciang Hun.
"Benar, Toako. Han-koko memilih puncak ini untuk tempat mengadu kepandaian, tentu saja kami tidak tahu bahwa Bibi dan Toako berada di sini. Dan untuk menghadapi Ketua Hek I Lama, Han-koko akan menyamar sebagai Sin-ciang Tai-hiap."
"Kapan pertandingan itu diadakan?" tanya Nonya Gak.
"Hari ini juga. Kami sengaja mendahului mereka untuk melihat keadaan di sini, jangan sampai kami terjebak dan terkepung."
Nyonya Gak bangkit dari bangkunya dan ia nampak penuh gairah dan semangat, seolah lenyap semua bayangan duka dan kemuraman dari wajahnya, bagaikan seorang pemimpin mengatur siasat, ia berkata kepada puteranya yang juga sudah bangkit berdiri dan siap siaga.
"Ciang Hun, cepat kau periksa keadaan sekeliling puncak dan persiapkan tangga tali yang kita buat itu di tepi jurang! Kau tahu apa yang harus kaulakukan!"
"Baik, Ibu!" kata Ciang Hun dan pemuda tinggi besar itu sekali melompat sudah keluar dari dalam pondok untuk melaksanakan perintah ibunya.
"Kita harus siap siaga, bukan hanya bagaimana harus melawan mereka, akan tetapi juga mempersiapkan diri agar dapat terhindar dari bahaya. Ciang Hun sudah membuat persiapan sehingga sewaktu-waktu kita dapat meloloskan diri dari bahaya," wanita gagah itu menerangkan.
"Aih, Bibi Gak, kenapa begitu? Han-ko dan aku tidak akan melarikan diri! Memalukan sekali kalau harus melarikan diri, apalagi kita sudah berjanji bahwa ini sebuah pertandingan dengan taruhan. Yang ada bagi kami hanyalah kalah atau menang. Kalau menang, suheng akan dibebaskan dan mutiara hitam diberikan kepada Han-ko, kalau kalah, terpaksa kami harus memenuhi atau membayar kekalahan kita dengan menepati janji untuk membantu perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu."
Wanita itu terbelalak.
"Akan tetapi mana mungkin itu? Kalian adalah keturunan atau murid-murid pendekar sakti, kalian adalah pendekar yang harus menentang kejahatan. Bagaimana mungkin kalian akan bekerja sama dengan orang-orang jahat dan sesat itu? Bukankah hal itu berarti kalian akan mencemarkan nama baik leluhur dan guru-guru kalian?"
Sian Li menoleh kepada Yo Han.
"Bibi Kakak Yo Han yang sudah menentukan syarat atau taruhan itu."
"Memang benar, Bibi yang baik. Akan tetapi taruhan saya adalah kalau saya kalah, saya akan membantu perjuangan melawan atau menentang penjajah Mancu bukan bekerja sama dalam hal melakukan kejahatan! Kalau mereka melakukan kejahatan dan saya mengetahuinya, tentu akan saya tentang kejahatan mereka itu! Dan saya kira, berjuang melawan penjajah Mancu bukanlah perbuatan jahat. Karena itulah saya menerima taruhan itu. Mereka hanya mengatakan membantu perjuangan menentang penjajah, bukan bekerja sama melakukan kejahatan."
Sian Li tersenyum.
"Bagus! Aku pun memang berpendapat demikian, maka aku menyetujui taruhan itu. Nah, Bibi Gak, tidak ada permasalahan lagi dan tidak perlu lagi kita mempersiapkan diri untuk lari, bukan?"
"Hemm, kalian memang cerdik, akan tetapi kalian masih kurang pengalaman dan tidak cukup berhati-hati maka suhengmu sampai dapat tertawan. Di dalam dunia kang-ouw, kalian akan bertemu dengan orang-orang yang bukan saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan licik bukan main, penuh tipu muslihat dan kecurangan. Menghadapi orang-orang macam ini, tidak dapat kalian hadapi hanya dengan mengandalkan ilmu silat saja. Harus kita hadapi dengan siasat pula."
"Akan tetapi, Bibi, bukankah pendapat itu bertentangan dengan kehormatan seorang pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan? Seorang pendekar lebih baik tewas sebagai seekor harimau yang melawan dengan gagah berani daripada hidup sebagai seekor babi yang menguik-nguik melarikan diri dengan pengecut! Kami akan menghadapi lawan sampai kalah atau mati, tidak akan melarikan diri. Bukankah begitu, Han-ko?"
"Memang benar begitu, Li-moi, akan tetapi sebaiknya dengarkan pendapat Bibi Gak yang terhormat ini," kata Yo Han yang melihat betapa nyonya setengah tua itu memandang dengan sinar mata berkilat.
"Pendapatmu itu memang benar. Apa kaukira aku tidak memiliki kegagahan dan sudi melarikan diri seperti seekor anjing digebuk atau, seekor babi yang hendak disembelih? Engkau salah sangka, Sian Li. Kalau bertanding secara jantan dan gagah, memang seorang pendekar pantang melarikan diri dan akan melawan sampai kalah atau tewas. Akan tetapi, kalau pihak lawan menggunakan kecurangan, misalnya menjebakmu atau mengeroyokmu dengan jumlah yang besar dan tak mungkin kautandingi, maka berlaku nekat melawan sampai mati hanya merupakan perbuatan tolol, akan mati konyol dan sama sekali bukan perbuatan gagah! Menyelamatkan diri dari ancaman lawan yang menggunakan kecurangan, bukan pertandingan jantan, menandakan kecerdikan, bukan ketakutan atau sikap pengecut. Engkau harus dapat membedakan kedua hal itu!"
Sian Li mengerutkan alisnya. Ia seorang gadis yang cerdik, maka tentu saja ia dapat mengerti, dan ia pun mengangguk-angguk.
"Ah, benar sekali pendapat Bibi itu. Menghadapi kecurangan musuh dengan nekat sampai mati, hanya menunjukkan ketololan dan juga kesombongan yang sia-sia belaka. Baiklah Bibi, terima kasih atas persiapan itu. Mudah-mudahan saja Ketua Hek I Lama tidak menggunakan kecurangan agar kita tidak perlu melarikan diri."
Sian Li teringat bahwa Yo Han juga mengajaknya melarikan diri ketika dikeroyok oleh gerombolan itu dan Yo Han terluka. Andaikata mereka gagah-gagahan dan nekat melawan terus sampai mati, maka akan sia-sialah kegagahan mereka itu, mereka akan mati konyol dan suhengnya tentu tidak ada yang akan menolongnya lagi.
Tiba-tiba Ciang Hun masuk ke pondok dan wajahnya nampak tegang.
"Ibu, mereka sudah naik ke puncak!"
"Apa yang kaulihat?" tanya nyonya itu.
"Ada dua orang pendeta jubah hitam bersama seorang pemuda naik ke sini melalui jalan depan."
"Hanya itu? Kau tidak menyelidiki kemungkinan lain?"
"Dari jalan kiri dan jalan kanan nampak puluhan orang naik secara sembunyi dan menyusup-nyusup."
"Jahanam!" Sian Li mengepal tinju. "Ternyata mereka memang hendak melakukan kecurangan!"
Nyonya Gak bersikap tenang.
"Sudah kuduga demikian. Ingat, kalau mereka mulai memperlihatkan kecurangan, hendak mengeroyok dengan jumlah besar, kalian harus lari ke belakang pondok, lurus saja dan kalian akan tiba di tepi jurang. Di sana sudah terpasang tangga tali dan kita dapat melarikan diri dari situ tanpa dapat dikejar musuh. Sekarang biar Sin-ciang Tai-hiap yang keluar menandingi Ketua Hek I Lama sesuai dengan perjanjian. Kita bertiga akan turun tangan apabila mereka bersikap curang. Kita bersembunyi dalam pondok untuk membuat mereka terkejut dan kacau kalau kita muncul tiba-tiba nanti. Yo Han, kausambut mereka di pekarangan pondok di mana engkau tidak mungkin diserang secara menggelap."
Yo Han dan Sian Li kagum. Nyonya Gak memang seorang kang-ouw yang berpengalaman. Bersikap tenang dan dapat mengatur segalanya dengan teliti dan tegas.
Sementara itu, Yo Han sudah cepat mengurai rambut, mengenakan capingnya yang bertirai dan dia pun keluar dari pondok dengan langkah tenang, diikuti pandang mata penuh kagum dari ibu dan anak itu yang baru sekarang melihat kenyataan yang tadi membuat mereka hampir tidak dapat percaya. Inilah Sin-ciang Tai-hiap yang namanya menggetarkan dunia perbatasan itu!
Yang datang menuju ke pondok itu dari arah depan adalah Dobhin Lama yang berjalan dibantu tongkatnya, Lulung Lama, dan Cu Ki Bok. Biarpun Dobhin Lama berjalan dibantu tongkatnya yang panjang, namun ternyata mereka bertiga dapat tiba di pekarangan itu dengan cepat seolah mereka berlari saja! Dengan sikap tenang, Yo Han yang kini telah menjadi Sin-ciang Tai-hiap berdiri di tengah pekarangan, menanti kedatangan tiga orang itu.
Biarpun dia sudah menyamar sebagai Sin-ciang Tai-hiap, Yo Han tidak melupakan sikapnya yang selalu sopan dan menghormati orang lain. Apalagi yang muncul di depannya adalah Ketua Hek I Lama dan wakilnya, dua orang pendeta Lama yang sudah tua. Dia menyambut dengan kedua tangan depan dada, memberi hormat dan membungkuk.
"Selamat datang, Jiwi Locianpwe." Dia hanya memberi hormat kepada dua orang pendeta tua itu, tidak kepada Cu Ki Bok yang berdiri dengan sikapnya yang angkuh! Pemuda itu memandang ke arah pondok dan pandang matanya mencari-cari. Yo Han tahu bahwa pemuda itu mencari Sian Li dan dirinya, karena tentu mengira bahwa dia adalah Sin-ciang Tai-hiap!
Lulung Lama yang memegang dua buah gelang atau rada besar bersirip dengan tangan kirinya, tertawa bergelak dan dialah yang mewakili suhengnya bicara.
"Ha-ha-ha-ha! Omitohud, kiranya Sin-ciang Tai-hiap, selain lihai ilmu silatnya, juga mengenal aturan. Kami akan merasa bangga dan senang sekali kalau dapat bekerja sama denganmu!"
"Nanti saja kita bicara tentang kerja sama, Locianpwe. Sekarang, kita bicara tentang tantangan Ketua Hek I Lama kepadaku. Siapakah yang akan maju memberi pelajaran kepada saya?" Dia menatap ke arah wajah Dobhin Lama yang sudah tua itu. Kakek tinggi kurus yang usianya sudah tujuh puluh lima tahun ini nampaknya saja lemah, akan tetapi Yo Han dapat menduga bahwa di antara mereka semua, Ketua Hek I Lama inilah yang paling lihai sehingga dia harus berhati-hati kalau bertanding melawan kakek tua ini. Dan yang paling licik tentu saja Lulung Lama dan muridnya itu.
Pandang mata Sin-ciang Tai-hiap yang nampak di balik tirai itu mencorong dan jelas kelihatan betapa Cu Ki Bok menjadi gentar. Bahkan Lulung Lama yang sakti itu pun kelihatan tegang karena tokoh ini maklum bahwa menghadapi pendekar yang satu ini, dia tidak boleh memandang rendah sama sekali. Andaikata dia tidak kalah sekalipun, kiranya tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan pendekar itu, maka dia diam saja menanti perintah suhengnya.
Dobhin Lama yang tua ini memang ingin sekali menguji ilmu kepandaian Sin-ciang Tai-hiap. Tantangan ini merupakan siasat dari Lulung Ma, dan dia menyetujui pertandingan itu, bahkan memesan agar sutenya itu jangan melakukan apa-apa sebelum dia berkesempatan menguji kepandaian Sin-ciang Tai-hiap. Kini dia sudah berhadapan dengan pendekar aneh itu, dan timbul kegembiraannya. Sudah bertahun-tahun, Dobhin Lama tidak pernah pernah bertemu lawan yang dianggapnya cukup tangguh dan pantas menjadi lawannya. Bertahun-tahun dia tidak pernah turun tangan sendiri, merasa dirinya terlalu pandai dan terlalu tinggi untuk melawan orang-orang yang dianggapnya tidak patut menjadi lawannya. Dan kini, dia merasa gembira dan timbul semangatnya.
Pertandingan seperti ini, melawan musuh yang tangguh dan terkenal, membuat latihannya selama ini tidak sia-sia.
"Omitohud....!" Dobhin Lama berseru, suaranya lirih dan gemetar seperti suara seorang kakek tua pikun yang lemah. "Pinceng (Aku) yang menantangmu, Sin-ciang Tai-hiap. Nah, majulah dan mari kita main-main sebentar."
Yo Han melangkah maju menghadapi kakek bertongkat panjang itu dan dia pun memberi hormat. "Merupakan suatu kehormatan besar sekali bagi saya, Locianpwe, untuk dapat menerima pelajaran darimu. Akan tetapi sebelum kita mulai, saya ingin mendengar dulu janji Locianpwe bahwa kalau saya berhasil menang dalam adu kepandaian ini, Locianpwe akan membebaskan Liem Sian Lun dan menyerahkan kembali mutiara hitam yang Locianpwe terima dari Thong Nam itu kepada saya."
"Heh-heh, tentu saja. Akan tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah, orang muda?"
selanjutnya--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar