Jumat, 31 Januari 2014

Si Tangan Sakti Jilid 13

Si Tangan Sakti Jilid 13

13

“Tidak ada sangkut pautnya dengan aku. Kalau dia hendak membunuhmu, baru aku bangkit. Akan tetapi Sui Lan? Huh, aku tahu bahwa sudah lama Siangkoan Kok memandang kepadanya penuh berahi. Agaknya sekarang ini kesempatan baginya. Sui Lan bersalah, kalau aku mencegahnya sekalipun, tentu ia akan dibunuh gurunya. Biarlah, jangan ambil peduli!” Ibu itu menarik puterinya ke kamar Eng Eng yang berada agak jauh di samping kiri.
Eng Eng menangis karena merasa tidak berdaya.
“Lebih baik ia mati.... lebih baik ia mati....” Ia berulang-ulang berbisik, akan tetapi ibunya tidak mempedulikannya dan membawanya ke kamar.
Eng Eng mencoba untuk mengusir bayangan sumoinya yang meronta dalam pondongan pria yang selama ini dianggapnya ayahnya, ditaatinya dan disayangnya.
“Ibu, kenapa selama ini Ibu tidak pernah memberi tahu kepadaku bahwa dia itu bukan ayahku?” tanya Eng Eng ketika ibunya memeriksa tubuhnya, lalu menyalurkan tenaga sin-kang untuk menyembuhkan luka di dalam tubuhnya karena terguncang hawa pukulan Siangkoan Kok yang kuat. Kemudian ia pun minum obat yang diberikan ibunya. Setelah puterinya menelan obat, barulah ia menjawab.
“Untuk apa? Selama ini dia menyayangmu seperti anak sendiri. Baru setelah kalian bertentangan dalam urusan gerakan Pao-beng-pai, dia hampir membunuhmu. Engkau masih terlalu kecil ketika aku menjadi isterinya, maka kupikir sebaiknya tidak perlu kau tahu bahwa dia bukan ayahmu, sampai tadi ketika dia hampir membunuhmu.”
“Kalau begitu.... nama keluargaku bukan Siangkoan?”
“Tentu saja bukan!”
“Lalu siapa? Siapakah nama ayah kandungku dan di mana dia, Ibu?”
“Hemmm, dia sudah mati. Kalau engkau tidak suka nama marga Siangkoan boleh kaupakai nama keluargaku, yaitu Lauw. Namaku Lauw Cu Si dan kalau engkau tidak suka nama Siangkoan, boleh kauganti Lauw, jadi namamu Lauw Eng.”
“Tapi, siapa nama ayah kandungku, Ibu? Aku ingin menggunakan nama marganya!”
“Sudahlah aku tidak mau bicara tentang dia. Aku tidak suka mengingatnya!” Suara wanita itu mulai terdengar ketus sehingga Eng Eng merasa heran sekali.
“Akan tetapi, kenapa, Ibu? Kalau ayah kandungku sudah mati, kenapa Ibu tidak mau memberitahukan namanya? Dan di mana kuburannya? Aku ingin bersembahyang di depan kuburannya.”
“Cukup! Aku tidak sudi menyebut namanya. Aku sudah lupa namanya. Aku benci padanya!!” Suara itu semakin galak.
Eng Eng terkejut dan semakin heran.
“Tapi, dia sudah mati, Ibu....”
“Dia sudah mati atau masih hidup, aku paling benci padanya, sudah, kalau engkau bicara tentang dia lagi, aku akan marah sekali!”
Eng Eng tidak berani melanjutkan. Dia sudah kehilangan ayahnya, atau orang yang selama ini dianggap ayahnya yang disayangnya dan ditaatinya dan kini dia tidak ingin kehilangan ibunya pula. Pasti terjadi sesuatu yang hebat, sesuatu yang amat menyakitkan hati ibunya yang telah dilakukan ayah kandungnya maka ibunya begitu membencinya setengah mati. Kalau benar demikian, berarti ayah kandungnya telah melakukan sesuatu yang amat jahat. Hatinya terasa perih dan nyeri sekali. Orang yang selama ini dianggap ayahnya sendiri akan tetapi ternyata hanya ayah tiri itu seorang jahat, dan ayah kandungnya sendiri pun dahulunya orang jahat. Ketika ia terkenang kepada Pangeran Cia Sun, Eng Eng merasa jantungnya seperti ditusuk. Ia merasa rendah diri.
***
Dua orang pemuda itu berhasil meninggalkan Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Iblis) yang berada di bagian barat Kwisan (Bukit Iblis), bahkan turun dari bukit itu dan setelah jauh,
menjelang tengahari, mereka duduk beristirahat di bawah pohon besar dalam sebuah
hutan kecil yang sunyi.

Melihat betapa wajah Cia Sun agak murung, Yo Han berkata, “Mengapa engkau
kelihatan murung, Cia-te? Bukankah sepatutnya kita bersyukur karena telah terhindar
dari ancaman maut di sana?”

Pangeran itu memendang kakak angkatnya. “Yo-twako, aku takut. Aku khawatir sekali
apa yang akan terjadi dengan Eng-moi. Aku amat mencintanya....”

Yo Han tersenyum. “Engkau aneh sekali, Cia-te. Ketika engkau dan aku berada dalam
tahanan dalam keadaan tidak berdaya, setiap saat dapat saja kita dibunuh, engkau sama
sekali tidak merasa takut, bahkan selalu nampak gembira. Akan tetapi sekarang, setelah
terbebas dari bahaya, engkau malah takut.”

Cia Sun menghela napas panjang. “Biasanya aku tidak pernah takut, Yotwako. Akan
tetapi sekarang, aku gelisah sekali dan aku tidak tahu bagaimana caranya aku dapat
menghilangkan perasaan takut atau gelisah ini.”

“Tidak ada cara untuk menghilangkan takut, Cia-te. Takut adalah perasaan kita sendiri,
yang ingin menghilangkan itu pun perasaan kita sendiri. Takut timbul karena ulah
pikiran, dan keinginan menghilangkan juga ulah pikiran, Cia-te. Kalau kita tidur, pikiran
kita bekerja, maka takut pun tidak ada. Pikiran menimbulkan rasa takut, duka, dan
sebagainya. Namun, kesadaran akan rasa takut itu sendiri, tanpa adanya usaha
melenyapkan, akan mendatangkan perubahan, mendatangkan kesadaran dan dengan
sendirinya takut pun tidak nampak bekasnya.”
Apa yang dikatakan Yo Han bukan teori, melainkan pengalaman yang sudah dialami
sendiri oleh pemuda itu. Takut bersumber dari pikiran, dan pikiran bergelimang nafsu,
membentuk aku. Keakuan inilah yang menjadi sumber segala perasaan. Aku terancam,
pikiran membayangkan segala hal buruk yang dapat menimpa diriku, maka timbullah
takut. Aku yang mengaku-aku adalah pikiran bergelimang nafsu. Nafsu membuat kita
selalu ingin senang, tidak mau susah, maka membayangkan kesusahan yang akan
menimpa diri, menimbulkan rasa takut. Takut adalah ulah pikiran yang membayangkan
hal yang belum terjadi, membayangkan hal buruk yang mungkin menimpa kita. Yang
sehat takut sakit, kalau sudah datang sakit, bukan sakit lagi yang ditakuti, melainkan
mati, lalu takut akan keadaan sesudah mati dan selanjutnya. Membayangkan hal-hal yang
belum terjadi, itulah sebab rasa takut. Kalau pikiran tidak membayangkan hal-hal yang
belum terjadi, takut pun tidak ada.

Iblis menggoda kita manusia melalui nafsu-nafsu kita sendiri. Nafsu sesungguhnya
merupakan anugerah Tuhan, disertakan kepada kita sejak kita lahir. Nafsu diikutsertakan
untuk menjadi alat kita, menjadi budak kita yang membantu kita dalam kehidupan di
dunia lain. Tuhan Maha Murah, Tuhan Maha Asih. Dengan memiliki nafsu, kita dapat
menikmati kehidupan di dunia ini melalui panca-indera kita, melalui semua alat tubuh
kita lahir batin. Iblis melihat ketergantungan kita kepada nafsu, mempergunakan nafsu
untuk menyeret kita sehingga kita bukan lagi memperalat dan memperbudak nafsu,
melainkan kita yang diperalat dan diperbudak, dan kalau sudah begitu, kita tidak berdaya,
menjadi permainan nafsu yang akan menyeret kita ke dalam kesengsaraan, menjadi
seperti kanak-kanak yang diberi makanan enak, tak mengenal batas makan sebanyaknya
untuk kemudian menderita sakit yang menyengsarakan. Kalau sudah menderita akibat
menuruti nafsu, barulah timbul penyesalan, dan alat lain dalam tubuh memrotes, akal
sehat melihat betapa merugikan dan tidak menyenangkan akibat dari menuruti dorongan
nafsu tadi. Akan tetapi, usaha menghentikan pengaruh nafsu itu takkan berhasil, atau
sukar sekali mendatangkan hasil. Usaha itu datangnya dari hati akal pikiran pula, padahal
hati akal pikiran sudah bergelimang nafsu. Bagaimana mungkin nafsu meniadakan nafsu,
atau nafsu mengalahkan dirinya sendiri? Tidak mungkin! Bahkan akal pikiran yang sudah
dipengaruhi nafsu daya rendah itu membela pekerjaan nafsu.

Contohnya banyak kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan
kita ini. Adakah manusia yang tidak menyadari akan perbuatannya yang benar? Adakah
seorang pun pencuri yang tidak tahu bahwa mencuri itu buruk? Adakah seorang koruptor
yang tidak tahu bahwa korupsi itu jahat dan buruk? Semua tahu belaka! Seperti contoh
terdekat dan teringan, adakah seorang pun perokok atau pemabuk yang tidak tahu bahwa
merokok atau bermabukan itu tidak baik? Tentu tidak ada! Setiap orang tahu, akan tetapi
apa daya? Pengetahuan ini tidak mampu menghentikan ikatan pengaruh nafsu. Yang
berjudi, walau tahu benar bahwa berjudi itu tidak baik, tidak mampu menghentikan
kebiasaannya berjudi! Demikian pula dengan perokok, pencuri, koruptor dan sebagainya!
Kenapa begitu? Karena pengetahuan itu ada di pikiran, dan pikirannya pun sudah
bergelimang nafsu. Bahkan hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu membela
perbuatan-perbuatan itu. Seorang pencuri dibela pikirannya sendiri bahwa dia mencuri
karena terpaksa sebagainya. Seorang koruptor dibela oleh pikirannya sendiri bahwa dia korupsi karena
semua orang pun melakukannya, karena gajinya tidak mencukupi karena keluarganya
ingin hidup mewah, dan seribu satu macam alasan lagi.Kalau semua usaha gagal, lalu apa
yang harus kita lakukan untuk menanggulangi pengaruh nafsu kita sendiri? Dalam
pertanyaan ini sudah terkandung jawabannya. Selama kita berusaha melakukan sesuatu,
kita tidak akan berhasil, karena yang berusaha menundukkan nafsu adalah nafsu itu
sendiri. Kalau kita sudah ingin menundukkan nafsu, hanya waspada mengamati gejolak
nafsu kita, tanpa ada keinginan mengubahnya, maka akan terjadi perubahan! Tanpa
adanya siaku yang berusaha, tanpa adanya si-aku yang alias nafsu melalui pikiran yang
merajalela, nafsu bagaikan api yang tidak ditambah minyak. Kekuasaan Tuhan akan
bekerja! Dalam urusan kehidupan seharihari, mencari sandang pangan papan, hidup
sebagai manusia yang berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tentu saja
kita harus mempergunakan hati akal pikiran. Akan tetapi dalam urusan rohanian, alat-alat
jasmani kita tidak berdaya. Hanya kekuasaan Tuhan yang mutlak berkuasa. Maka, kita
hanya menyerah! Kekuasaan Tuhan yang akan mengembalikan nafsu-nafsu kita pada
kedudukan asalnya, yaitu menjadi peserta dan alat kita, bukan sebaliknya kita yang
diperalat.

“Yo-twako, sebenarnya, apa sih yang kita cari di dunia ini? Mengapa dalam kehidupan
ini selalu kita dipermainkan senang dan susah, puas dan kecewa? Bahkan apa yang
menyenangkan menjadi membosankan. Kenyataan hidup terlalu sering berlawanan
dengan apa yang kita idamkan dan harapkan. Sekelumit kesenangan segera diseling
segunung kesusahan. Bukankah kita manusia ini seperti selalu mencari-cari? Apa yang
kita cari? Kebahagiaan? Di mana dan apa kebahagiaan itu? Pertanyaan ini selalu
menggangguku dan sudah kutanyakan kepada banyak sekali orang-orang pandai, namun
tak pernah aku memperoleh jawaban yang meyakinkan dan memuaskan.”

Yo Han tersenyum lebar. “Pertanyaanmu itu agaknya telah menjadi pertanyaan dunia
sepanjang masa, pertanyaan seluruh manusia di permukaan bumi ini, Ciate. Kita mencari-
cari kebahagiaan, mengejar-ngejar kebahagiaan, namun tak pernah menemukannya.
Kalau ada kalanya merasa menemukan, ternyata dalam waktu singkat yang kita tadinya
anggap sebagai kebahagiaan itu berubah menjadi kesengsaraan. Kita mengejar dan
mencari terus selama kita hidup.”

“Akan tetapi, adakah orang yang benar-benar menemukan kebahagiaan itu, Twako? Dan
dimanakah sebenarnya kebahagiaan itu?”

“Cia-te. Mari kita selidiki bersama. Mungkinkah kita mencari sesuatu yapg tidak kita
kenal?”

“Tentu saja mustahil!” jawab sang pangeran tanpa ragu.

“Tepat. Karena itu, sebelum kita bertanya di mana adanya kebahagiaan yang kita cari.
Apakah kebahagiaan itu, Cia-te?”

“Kebahagiaan! Tentu saja kebahagiaan adalah suatu perasaan, yaitu perasaan bahagia!”
, karena tidak ada pekerjaan, karena ingin menghidupi keluarga, dan
“Kalau begitu pertanyaan yang menyusul. Apakah engkau pernah mengalami perasaan
bahagia itu, Cia-te?”

Pangeran Cia Sun tertegun dan mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. “Rasanya
pernah dan sering malah. Kalau aku merasa bebas dari kepusingan apa pun, merasa bebas
dan lega, seperti ketika aku berada seorang diri di tepi laut yang sunyi, seperti kalau aku
berada di puncak gunung yang sunyi pada suatu senja memandang matahari tenggelam,
seolah-olah aku melayang di antara sinar senja, ketika aku saling tatap dan bercakap-
cakap dengan Eng-moi, yah, seringkali aku merasakan itu mungkin aku selalu mencari-
cari saat atau detik-detik seperti itu....”

“Nah, itulah, Cia-te! Sekali saat kita merasa berbahagia seperti yang kau alami itu. Akan
tetapi nafsu menguasai hati akal pikiran. Karena nafsu selalu mengejar keenakan dan
kesenangan, maka nafsu di hati akal pikiran membuat kita ingin mengabadikan perasaan
bahagia di saat itu! Kita ingin memilikinya! Dan kita terseret oleh nafsu, yaitu
menjadikan saat indah dan suci itu menjadi semacam kesenangan. Jadi, yang kita cari
selama ini, yang dicari-cari oleh setiap orang manusia di dunia ini, hanyalah kesenangan
yang mengenakan topeng kebahagiaan. Yang dapat dikejar oleh kesenangan, Ciate.
Mudah saja mengejar kesenangan makanan nafsu itu, melalui mata, hidung, telinga,
mulut dan lain anggauta badan luar dan dalam. Kesenangan timbul dari kenangan, dari
pengalaman, diulang-ulang, karenanya mati dan selalu disusul kebosanan. Kebahagiaan
sudah ada dan selalu ada, hidup bagaikan awan berarak di angkasa, bagaikan gelombang
di samudera, tak dapat ditangkap dan dimiliki, tak dapat diulang-ulang, dirasakan saat
demi saat tanpa bayangan kenangan masa lalu.”

Pangeran Cia Sun tertawa dan memegangi kepala dengan kedua tangannya. “Aduh,
kepalaku yang pening, Twako. Apakah kalau begitu, menurut Twako, amat tidak baik
kalau dalam hidup ini kita bersenang-senang?"

Yo Han tertawa pula. “Wah, bukan begitu, Cia-te! Menikmati keenakan dan kesenangan
dalam hidup merupakan anugerah yang sudah sepatutnya kita nikmati. Kita berhak
menikmati keenakan dan kesenangan melalui panca-indra. Akan tetapi, diperhamba nafsu
lain lagi akibatnya. Kita lalu menjadi hamba, setiap saat hanya mengejar-ngejar dan
mencari-cari kesenangan dengan melupakan segala macam cara. Di sini perlunya kita
mempergunakan alat kita yang lain, yaitu akal budi, untuk mempertimbangkan,
kesenangan macam apa yang baik dan tidak baik, yang sehat dan tidak sehat. Engkau
tentu mengerti apa yang kumaksudkan.”

Pangeran itu mengangguk-angguk.”Sekarang, bagaimana baiknya, Twako? Aku
sebenarnya ingin sekali memperisteri Eng-moi, akan tetapi jelas bahwa ayahnya pasti
tidak akan menyetujuinya. Dia anti pemerintah, anti Mancu, sedangkan aku seorang
pangeran Mancu.”

“Memang keadaan kalian itu sulit sekali, Cia-te. Akan tetapi, aku tetap yakin bahwa lahir,
jodoh dan mati ditentukan dan sudah diatur oleh kekuasaan Tuhan. Maka, bersabarlah
dan sebaiknya sekarang engkau kembali dulu karena dipanggil keluargamu. Sebaliknya
kalau kauceritakan persoalanmu kepada orang tuamu. Mungkin mereka akan dapat
menemukan jalan sehingga akhirnya engkau akan dapat berjodoh dengan kekasihmu itu.”

Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih. “Agaknya mustahil kalau ayah
mengijinkan aku menikah dengan Eng-moi, kalau dia mengetahui bahwa Eng-moi adalah
puteri ketua Paobeng-pai yang menentang pemerintah.”

“Kalau begitu, lebih sulit lagi. Akan tetapi percayalah, Cia-te, betapapun sulit dan
mustahilnya suatu urusan bagi kita manusia, kalau Tuhan menghendaki, segala kesulitan
itu akan terlampaui dan perkara dapat diatasi dengan segala ikhtiarmu dengan penyerahan
kepada kekuasaanNya.”

“Dan sekarang, engkau sendiri hendak ke mana, Twako? Aku akan kembali ke kota raja.
Maukah engkau ikut denganku ke sana? Akan kuperkenalkan kepada ayah ibuku.”

Diam-diam Yo Han merasa ngeri. Ikut ke sana dan bertemu dengan Sian Li? Ah, tidak!
Dia tidak ingin membuat adik angkatnya ini menjadi terganggu kalau tahu bahwa dia
memiliki hubungan dekat sekali dengan gadis tunangannya itu. Juga dia tidak mau
membuat Sian Li menjadi rikuh. Di samping itu, dia pun tidak ingin menyiksa diri sendiri
dengan menyaksikan pertunangan antara adik angkatnya dengan gadis yang dicintanya.

“Terima kasih, Cia-te. Akan tetapi, aku harus melanjutkan pelaksanaan tugasku, yaitu
mencari puteri bibi guruku yang hilang sejak kecil itu.”

“Pekerjaan yang teramat sulit, Twako. Bagaimana mungkin mencari seorang yang belum
pernah kaukenal sama sekali? Apalagi ia hilang ketika berusia tiga tahun dan jarak
waktunya sudah dua puluh tahun. Ia sendiri mungkin tidak ingat lagi akan keadaan
dirinya ketika berusia tiga tahun.”

“Tidak ada perkara yang sulit, kalau saja aku dibimbing kekuasaan Tuhan, Cia-te.
Engkau tentu ingat kata-kataku tadi. Aku tidak akan putus asa dan akan terus mencari.
Setidaknya, aku mengetahui tanda pada tubuhnya ketika ia lahir, yaitu di pundak kirinya
dan di kaki kanannya.”

Pangeran itu tertawa geli. “Ha-haha, sekarang mengertilah aku mengapa gadis yang
mengirim surat Eng-moi kepadaku melalui jarum yang disambitkan padamu itu memaki-
makimu! Kiranya engkau pernah menyangka gadis itu sebagai gadis yang kaucari dan
engkau tentu membuka bajunya untuk melihat pundaknya, juga membuka sepatunya
untuk melihat kakinya. Pantas ia marahmarah!” Pangeran itu tertawa geli dan Yo Han
juga ikut tertawa dengan muka kemerahan. “Apalagi ketika engkau menjawabnya dengan
sikap kasar, aku sempat terheran-heran melihat sikapmu, Twako. Eh, kiranya engkau
bersandiwara dan tahu bahwa gadis itu tentu mempunyai maksud tertentu. Nyatanya ia
menyambitmu dengan jarum yang ada surat Eng-moi sehingga kita dapat siap
melaksanak “Memang itulah gadis yang disuruh Siangkoan Kok untuk menjebakku. Baru kemudian
kuketahui bahwa dia adalah murid terbaik dari ketua Pao-beng-pai itu. Nah, sekarang
sebaiknya kita saling berpisah di sini, Cia-te. Percayalah, kalau engkau memang berjodoh
dengan nona Siangkoan Eng, kelak engkau pasti dapat menjadi suaminya, dan kalau
tugasku selesai, kelak pada suatu hari aku pasti akan mengunjungimu di kota raja.”

Dua orang pemuda itu bangkit dan setelah saling memberi hormat dan saling rangkul,
mereka mengambil jalan masing-masing. Pangeran Cia Sun kembali ke kota raja
sedangkan Yo Han mengambil jalan yang belum dia ketahui menuju ke mana karena dia
pun tidak tahu ke mana harus mencari Sim Hui Eng. Dia akan melanjutkan ikhtiarnya itu
dengan menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat untuk
menyelidiki siapa pelaku penculikan atas diri puteri bibi gurunya itu.

***

Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun. Tubuhnya sedang namun tegap
dengan dada yang bidang dan kekar dengan otot-otot menggelembung sehingga nampak
jantan dan gagah. Wajahnya juga tampan dan bersih, alisnya tebal, hidungnya mancung
dan mulutnya memiliki bentuk yang manis, dengan dagu kokoh dan matanya mencorong
seperti bintang. Pakaiannya sederhana bentuknya, namun bersih, dan rambutnya pun
tersisir rapi. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Apalagi pada pagi hari itu, dia
berlatih silat seorang diri di bawah pohon besar itu dengan gerakan yang perkasa, cepat
tangkas dan mengandung tenaga yang amat kuat sehingga daun-daun pohon itu
bergoyang-goyang seperti dilanda angin.

Makin lama, gerakan pemuda itu semakin cepat dan tiba-tiba, sambil membalikkan
tubuhnya, tangannya bergerak memukul ke arah sebatang pohon sebesar paha orang.

Tangan itu tidak sampai menyentuh batang pohon, ada satu setengah meter jaraknya,
namun terdengar suara “kraaakkk!” dan batang pohon itu pun patah dan tumbang! Mulut
pemuda itu kini tertarik dan menyeringai aneh, dan pada saat itu, nampak berkelebat
seekor burung yang terkejut mendengar robohnya pohon kecil itu. Burung itu terbang
dekat pohon besar dan pemuda itu tibatiba saja meloncat ke atas dan tangannya bergerak
ke arah burung. Burung itu tiba-tiba terjatuh seperti sebuah batu dan disambar oleh
tangan pemuda itu yang juga melayang turun.

Sambil membuang bangkai burung itu, dia menengadah, lalu wajah yang tampan itu
menyerigai, dan dia pun tertawa bergelak seperti kesetanan! Lalu dia berjongkok,
memeriksa bangkai burung yang sudah menjadi hitam seluruh tubuhnya, keracunan.
Kembali dia tertawa, akan tetapi tawa ini aneh karena berhenti tiba-tiba seperti tercekik.
Dia lalu memandang ke sekeliling, seolah-olah takut kulau ada yang melihat atau
mendengarnya, kemudian dia pun meloncat dan menyelinap ke balik semuk belukar dan
tahu-tahu tubuhnya lenyap.

Kalau ada orang yang melihat dan mencarinya, menyingkap semak belukar, orang itu
tentu akan melihat adanya sebuah sumur yang amat dalam di balik semak belukar itu.
an sandiwara ketika Eng-moi datang membebaskan kita.”
“Memang itulah gadis yang disuruh Siangkoan Kok untuk menjebakku. Baru kemudian
kuketahui bahwa dia adalah murid terbaik dari ketua Pao-beng-pai itu. Nah, sekarang
sebaiknya kita saling berpisah di sini, Cia-te. Percayalah, kalau engkau memang berjodoh
dengan nona Siangkoan Eng, kelak engkau pasti dapat menjadi suaminya, dan kalau
tugasku selesai, kelak pada suatu hari aku pasti akan mengunjungimu di kota raja.”

Dua orang pemuda itu bangkit dan setelah saling memberi hormat dan saling rangkul,
mereka mengambil jalan masing-masing. Pangeran Cia Sun kembali ke kota raja
sedangkan Yo Han mengambil jalan yang belum dia ketahui menuju ke mana karena dia
pun tidak tahu ke mana harus mencari Sim Hui Eng. Dia akan melanjutkan ikhtiarnya itu
dengan menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat untuk
menyelidiki siapa pelaku penculikan atas diri puteri bibi gurunya itu.

***

Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun. Tubuhnya sedang namun tegap
dengan dada yang bidang dan kekar dengan otot-otot menggelembung sehingga nampak
jantan dan gagah. Wajahnya juga tampan dan bersih, alisnya tebal, hidungnya mancung
dan mulutnya memiliki bentuk yang manis, dengan dagu kokoh dan matanya mencorong
seperti bintang. Pakaiannya sederhana bentuknya, namun bersih, dan rambutnya pun
tersisir rapi. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Apalagi pada pagi hari itu, dia
berlatih silat seorang diri di bawah pohon besar itu dengan gerakan yang perkasa, cepat
tangkas dan mengandung tenaga yang amat kuat sehingga daun-daun pohon itu
bergoyang-goyang seperti dilanda angin.

Makin lama, gerakan pemuda itu semakin cepat dan tiba-tiba, sambil membalikkan
tubuhnya, tangannya bergerak memukul ke arah sebatang pohon sebesar paha orang.

Tangan itu tidak sampai menyentuh batang pohon, ada satu setengah meter jaraknya,
namun terdengar suara “kraaakkk!” dan batang pohon itu pun patah dan tumbang! Mulut
pemuda itu kini tertarik dan menyeringai aneh, dan pada saat itu, nampak berkelebat
seekor burung yang terkejut mendengar robohnya pohon kecil itu. Burung itu terbang
dekat pohon besar dan pemuda itu tibatiba saja meloncat ke atas dan tangannya bergerak
ke arah burung. Burung itu tiba-tiba terjatuh seperti sebuah batu dan disambar oleh
tangan pemuda itu yang juga melayang turun.

Sambil membuang bangkai burung itu, dia menengadah, lalu wajah yang tampan itu
menyerigai, dan dia pun tertawa bergelak seperti kesetanan! Lalu dia berjongkok,
memeriksa bangkai burung yang sudah menjadi hitam seluruh tubuhnya, keracunan.
Kembali dia tertawa, akan tetapi tawa ini aneh karena berhenti tiba-tiba seperti tercekik.
Dia lalu memandang ke sekeliling, seolah-olah takut kulau ada yang melihat atau
mendengarnya, kemudian dia pun meloncat dan menyelinap ke balik semuk belukar dan
tahu-tahu tubuhnya lenyap.

Kalau ada orang yang melihat dan mencarinya, menyingkap semak belukar, orang itu
tentu akan melihat adanya sebuah sumur yang amat dalam di balik semak belukar itu.
Sumur yang tua dan kalau dilihat dari atas, tidak nampak dasarnya, saking dalam dan
gelapnya. Dapat dibayangkan betapa besar bahayanya kalau orang berani menuruni
sumur itu, dengan tangga atau tali sekalipun, karena dia tidak tahu apa yang berada di
dasar sumur. Mungkin gas beracun, atau ular berbisa.

Orang itu tentu akan semakin heran dan kagum kalau melihat betapa pemuda tadi
memasuki sumur dengan cara merayap melalui dinding sumur. Gerakannya cepat seperti
seekor cicak saja yang merayap menuruni dinding! Dan kini, pemuda itu sudah berada di
ruangan bawah tanah yang mendapat sinar matahari dari celah-celah batu retak di atas.
Pemuda itu tertawa-tawa seorang diri, menghadapi sebuah dinding yang penuh dengan
coret-coretan huruf dan gambargambar yang sebagian sudah terhapus.“Ha-ha-ha-ha-ha,
susiok-kong (kakek paman guru) Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya itu
mencoba untuk melenyapkan Bu-kek-hoat-keng! Ha-ha-ha, arwahnya tentu sekarang
akan cemberut kalau melihat betapa usahanya itu tidak sempurna, dan bahwa ilmu Bu-
kek-hoatkeng akhirnya dapat dimiliki orang yang paling berhak, yaitu aku, Ouw Seng
Bu, ha-ha-ha!” Seperti orang sinting pemuda itu tertawa-tawa dan kini dia menggunakan
kedua tangannya menggaruk-garuk ke permukaan dinding batu. Sungguh hebat bukan
main. Gerakan jari-jari tangannya itu membuat dinding batu rontok bagaikan tepung saja,
seolah-olah dinding batu itu hanya merupakan tanah yang lunak. Sebentar saja,
terhapuslah sudah semua huruf dan gambar yang tercoret di dinding itu.

Siapakah pemuda itu. Seperti katakatanya tadi, dia bernama Ouw Seng Bu dan
merupakan seorang tokoh muda dari Thian-li-pang. Belasan tahun yang lalu, ketika dia
sendiri masih seorang anak laki-laki kecil berusia delapan atau sembilan tahun, Thian-li-
pang, perkumpulan orang-orang gagah anti penjajah Mancu itu dipimpin oleh mendiang
Ouw Ban sebagai ketuanya. Ouw Ban mempunyai dua orang putera, yang pertama adalah
Ouw Cun Ki yang diselundupkan ke istana untuk membunuh kaisar Mancu, akan tetapi
tertawan dan dihukum mati. Yang ke dua adalah Ouw Seng Bu yang ketika peristiwa itu
terjadi, masih kecil. Kemudian, terjadi perpecahan di kalangan para pimpinan Thian-li-
pang sehingga Ouw Ban tewas di tangan guru-gurunya sendiri, yaitu mendiang Ban-tok
Mo-ko dan Thian-te Tok-ong (baca kisah Si Bangau Merah). Kemudian, muncul Yo Han
yang secara kebetulan mewarisi ilmu kepandaian kakek yang buntung kaki tangannya di
dalam sumur rahasia, yaitu mendiang kakek Ciu Lam Hok, sute dari Ban-tok Mo-ko dan
Thian-te Tok-ong yang memiliki ilmu kesaktian hebat. Munculnya Yo Han
membersihkan Thian-li-pang dari pengaruh-pengaruh sesat dan jahat partai-partai lain
seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai dan kehadiran Yo Han menyerahkan pimpinan
Thian-li-pang, kepada Lauw Kang Hui sebagai ketuanya.

Lauw Kang Hui telah sadar dan membawa kembali Thian-li-pang ke jalan lurus, sebagai
perkumpulan orang gagah yang menentang penjajah Mancu. Juga dia merasa iba. kepada
Ouw Seng Bu, putera suhengnya dan mengajarkan ilmu silat kepada keponakannya
itu.Ouw Seng Bu berlatih dengan rajin. Di depan paman guru yang kini menjadi gurunya
dan di depan para tokoh Thianli-pang, dia memperlihatkan sikap sebagai seorang pemuda
yang gagah perkasa dan pendiam. Namun, pemuda ini tidak pernah melupakan pesan
mendiang ayahnya dahulu ketika dia masih kecil bahwa sekali waktu, dia harus berani
menyelidiki dan memasuki sumur di bawah tanah, mencari peninggalan kakek paman
gurunya yang sakti. Demikianlah, setelah dia memiliki ilmu kepandaian dan cukup
gagah, dalam usia delapan belas tahun, dia nekat mencari dan menemukan sumur di balik
semak belukar itu dan nekat memasukinya dengan tali yang panjang. Setelah mencari-
cari dan membongkar-bongkar batu besar di dalam gua dan terowongan di bawah tanah,
akhirnya dia menemukan dinding penuh coretan dan gambaran itu yang tadinya tertutup
batu besar. Agaknya kakek Ciu Lam Hok dahulu pernah membuat coretan dan gambaran
di dinding itu, kemudian menghapus sebagian dan menutupi dinding dengan batu besar.
Dia pun tahu bahwa itulah ilmu Bu-kek-hoat-keng yang merupakan ilmu rahasia kakek
buntung itu, maka dengan penuh ketekunan dia mulai mempelajari ilmu itu secara
rahasia. Selama lima tahun dia rajin belajar tanpa mengetahui bahwa karena ilmu yang
aneh itu tidak lengkap, maka dia pun menyimpang dari jalur yang semestinya. Tanpa
disadarinya, dia telah melakukan latihan yang salah, bahkan kadangkadang berlawanan.
Berkali-kali dia jatuh pingsan karena salah pengerahan tenaga sin-kang, akan tetapi
akhirnya, setelah lima tahun belajar dengan tekun dan rahasia, tanpa diketahui siapapun
juga, dia berhasil menguasai ilmu yang aneh dan dahsyat bukan main. Tanpa disadari,
penyelewengan cara latihan yang salah itu juga mendatangkan perubahan pada dasar
wataknya, pusat susunan syarafnya. Dia memang masih nampak pendiam dan lembut,
jujur dan baik di depan para pimpinan Thian-li-pang, akan tetapi pada saat-saat tertentu,
kalau dia sedang berada seorang diri, terutama sekali sehabis dia berlatih ilmu silat Bu-
kekhoat-keng yang tidak lengkap itu, dia menjadi seperti kesetanan, seperti sinting,
tertawa-tawa sendiri, kadang-kadang menangis sendiri, dan pandang matanya yang
biasanya lembut dan jujur itu mencorong penuh kecerdikan! Juga latihan yang salah itu
membuat dia berhasil menguasai pukulan yang mengandung hawa beracun yang dapat
membuat yang dipukulnya tewas dengan tubuh menghitam seperti menjadi hangus! Hal
ini diketahuinya ketika beberapa kali dia menguji kecepatannya, membunuh burung atau
binatang lain yang ditemuinya. Sekali pukul, binatang itu akan tewas dengan tubuh
hangus!

Pagi hari itu, dia merasa telah menamatkan ilmunya, maka dia menghapus semua coretan
di dinding itu dengan jari-jari tangannya yang memiliki kekuatan demikian dahsyatnya
sehingga sekali garuk saja permukaan dinding itu rontok dan semua coretan lenyap.

Setelah merasa puas karena di situ tidak terdapat apa pun juga yang dapat dipelajari orang
lain, Ouw Seng Bu lalu merayap keluar dari dalam terowongan gua bawah tanah melalui
sumur, menutupkan kembali sumur itu dengan semak belukar, kemudian dia pun berjalan
dengan santai kembali ke markas Thian-li-pang yang berada di dekat puncak Bukit Naga.
Matahari sudah mulai meninggi dan cuaca cerah sekali. Wajah pemuda itu kini kembali
menjadi lembut dan senyumnya ramah gembira, jauh berbeda dengan ketika dia berlatih
silat dan di dalam tanah tadi. Dia kini menjadi seorang pemuda yang nampak ramah dan
murah senyum, pendiam dan lembut menyenangkan!

Ketua Thian-li-pang yang bernama Lauw Kang Hui ini telah tua sekali, usianya sudah
tujuh puluh tiga tahun. Biarpun dia masih nampak tinggi besar dengan muka merah,
gagah dan berwibawa, namun bagaimanapun juga, usia tua membuat semangatnya
banyak menurun. Diam-diam Lauw Kang Hui sedang melihat-lihat siapa kiranya yang
pantas untuk dijadikan penggantinya. Dia sendiri tidak mempunyai keturunan, dan di
antara para anggauta Thian-li-pang dan murid-muridnya, hanya ada dua orang muridnya
yang agaknya cukup dapat dipercaya. Yang pertama adalah murid wanita yang telah
berusia empat puluh tahun, berwajah buruk dan berwatak kasar namun setia kepada
Thian-li-pang, bernama Lu Sek. Wanita ini sudah janda dan tidak mempunyai anak.
Suaminya tewas dalam pertempuran membela Thianli-pang. Bahkan, menurut penilaian
Lauw Kang Hui, di antara para muridnya, Lu Sek ini yang paling lihai, memiliki tingkat
yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan apa yang dicapai Ouw Seng Bu,
yaitu murid ke dua yang dipercayanya dan dianggap merupakan calon penggantinya. Dia
masih bimbang, apakah harus menunjuk Lu Sek ataukah Ouw Seng Bu untuk menjadi
penggantinya, menjadi ketua Thian-li-pang.

Lu Sek, biarpun wanita, berwibawa dan penuh semangat. Juga janda itu memiliki
hubungan dekat dengan Lauw Kin, duda yang berusia lima puluh tahun dan tidak
mempunyai anak pula. Lauw Kin masih keponakan Lauw Kang Hui sendiri, putera
tunggal adiknya yang mati muda. Hati ketua itu lebih condong memilih Lu Sek untuk
menjadi calon penggantinya. Ilmu silatnya yang paling tinggi di antara semua murid
Thian-li-pang, apalagi kalau dibantu Lauw Kin yang mungkin menjadi suaminya. Selain
itu, agak tidak enak hatinya kalau mencalonkan Ouw Seng Bu, karena bagaimanapun
juga, Seng Bu adalah putera mendiang suhengnya, Ouw Ban yang pernah menjadi ketua
Thian-li-pang, yang telah menyelewengkan Thian-li-pang ke jalan sesat.

Lauw-pangcu (Ketua Lauw) telah sarapan pagi dan duduk di ruangan depan ketika dia
melihat Seng Bu melangkah masuk dari luar. Kebetulan sekali, pikirnya. Dia harus lebih
dahulu memberitahu muridnya itu agar kalau pada suatu hari dia mengambil keputusan,
muridnya ini tidak merasa kecewa. Beberapa kali dalam sikap muridnya itu dia melihat
tanda bahwa Seng Bu mengharapkan kelak menjadi ketua Thian-li-pang, bahkan para
tokoh Thian-li-pang sebagian besar juga menduga bahwa pemuda yang pandai membawa
diri ini pantas menjadi calon penggantinya. Kalau saja di situ terdapat Pendekar Tangan
Sakti Yo Han, tentu tidak sukar baginya untuk mengambil keputusan berdasarkan
petunjuk pendekar muda yang sakti itu. Akan tetapi, sudah lima tahun lebih Yo Han yang
dianggap menjadi pemimpin besar atau penasihat Thian-li-pang tidak pernah terdengar
beritanya. Dia harus mengambil keputusan sendiri dan dia harus dapat bersikap bijaksana
demi keutuhan para tokoh Thian-li-pang. Dia berteriak memanggil nama muridnya itu.

Seng Bu cepat memasuki ruangan di mana gurunya duduk seorang diri, dan dia lalu
memberi hormat dan mengucapkan selamat pagi.

“Duduklah di sini, Seng Bu,” kata ketua yang sudah berusia lanjut itu sambil menunjuk
ke arah sebuah kursi di depannya, sebelum muridnya itu berlutut.

“Terima kasih, Suhu,” kata Seng Bu yang merasa heran dan tahu bahwa tentu ada urusan
penting maka suhunya mempersilakannya duduk di kursi, tidak membiarkan dia berlutut
seperti biasa. Dia duduk dan menundukkan muka dengan sikap siap mendengarkan dan
mentaati semua perintah gurunya.
---lanjut ke jilid 14---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar