Jumat, 31 Januari 2014

Si Tangan Sakti Jilid 4

Si Tangan Sakti Jilid 4

4

Seperti anak-anak ayam yang mencari perlindungan kepada induknya, mereka semua memandang ke arah joli dan si pemegang bendera segera berkata dengan suara lantang, jelas dimaksudkan agar didengar oleh semua orang karena kalau hanya ditujukan kepada penumpang joli, tidak perlu dia berteriak selantang itu.
“Nona yang mulia! Pihak tuan rumah telah datang menyambut, silakan Nona yang mulia keluar untuk bicara dengan dia!”
Tentu saja semua orang menjadi semakin tertarik. Siapakah yang mereka sebut sebagai nona yang mulia itu? Dengan penuh perhatian mereka semua kini memandang ke arah joli yang sejak tadi tidak bergerak, dan yang oleh para pemikulnya sudah diturunkan ke atas tanah. Tirai itu pun sejak tadi tidak pernah bergoyang. Ketika empat orang penggotong joli tadi menurunkannya, nampaknya begitu ringan seolah penumpang joli itu teramat ringan, ataukah empat orang pemanggul itu yang amat kuat?
Kini tirai dari sutera hijau itu bergoyang sedikit dan agaknya ini merupakan isyarat bagi empat orang gadis pendamping joli untuk cepat menghampiri depan joli. Mereka menyingkap tirai itu dan ketika melakukan ini, mereka berempat membungkuk sampai dalam dan yang berpakaian kuning berkata penuh hormat. “Silakan, Siocia (Nona Muda)!”
Semua orang memandang dan ternyata yang duduk di joli itu adalah seorang wanita muda yang cantik dan bersikap agung. Gadis ini mengenakan pakaian berkembang dan cerah, dan ia nampak anggun dan cantik. Ia duduk dengan tegak seperti seorang puteri atau seorang ratu dan sedikit pun tidak merasa gentar atau canggung walaupun banyak pasang mata yang tajam dan mencorong mengamatinya. Usianya sukar diketahui dengan pasti karena pembawaannya menunjukkan bahwa ia bukan remaja lagi, cukup dewasa dan tentu sudah ada dua puluh tahun. Rambutnya yang digelung tinggi di atas kepala, dan rambut itu dihias sebuah tiara kecil yang berkilauan karena terhias intan permata.
Matanya yang tajam seolah dapat menembus dan menjenguk isi dada orang. Akan tetapi kecantikannya itu amat dingin. Keanggunannya mengandung keangkuhan. Dingin dan angkuh ini nampak di sudut-sudut bibirnya yang tersenyum sinis. Tangan kirinya memegang sebuah hudtim (kebutan) yang biasa dipegang seorang pendeta atau pertapa, kebutan pengusir lalat dan nyamuk. Akan tetapi kebutan ini indah, dengan gagang terbuat daripada emas dan kebutan itu sendiri terbuat dari benang yang mengkilap, entah benang apa, berwarna kemerahan seperti ternoda darah.
Setelah menyapu ruangan itu dengan lirikan matanya yang tajam, ia kini memandang kepada Kao Cin Liong dan bibirnya bergerak, senyumnya semakin merekah dan semakin sinis. Lalu kakinya melangkah turun dari joli, dengan gerakan sopan seperti seorang puteri yang menjaga setiap gerakan agar nampak anggun dan sopan. Setelah ia turun dari joli dan berdiri berhadapan dengan Kao Cin Liong, nampak tubuhnya yang ramping, dengan pinggang yang kecil seperti pinggang lebah hitam, dan pinggulnya yang besar menonjol. Ia berdiri dengan tegak dan anggun seperti seorang ratu dihadap para hulu balangnya.
“Kiranya Jenderal Kao Cin Liong yang menjadi wakil.” katanya, suaranya lembut akan tetapi terasa begitu dingin dan datar tanpa nada dan irama. Seperti igauan orang dalam mimpi!
Namun, kalimat pendek ini mengejutkan semua orang, terutama sekali kakek itu.
Bagaimana gadis yang sama sekali tidak dikenalnya ini tahu bahwa dia pernah menjadi panglima?
“Hemmm, sekarang tidak lagi menjadi jenderal, Nona. Siapakah Nona?” Kakek ini sudah merasa kalah penampilan, karena gadis itu sudah mengenal namanya akan tetapi dia sama sekali belum mengenalnya, bahkan bertemu pun baru sekali ini.
“Aku biasa dipanggil Siocia (Nona), tak pernah memiliki nama. Biarpun sekarang engkau bukan lagi jenderal, akan tetapi engkau pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu, bukan?” Jelas sekali bagi para anggauta keluarga besar yang berkumpul di situ bahwa ketika mengucapkan kata Mancu, gadis itu nampak menghina sekali. Mereka pun tidak merasa heran karena biarpun belum pernah berurusan dengan orang-orang Pao-bengpai yang selalu bergerak secara rahasia, mereka pernah mendengar bahwa partai itu adalah partai yang menentang pemerintah Mancu.
“Sudahlah, tidak perlu kita mempersoalkan apakah aku pernah menjadi panglima, juga apakah Nona mempunyai nama atau tidak. Yang penting sekarang, apa maksud kedatangan Nona sebagai utusan Pao-beng-pai? Seperti kami katakan tadi, kami tidak pernah mempunyai urusan dengan Pao-beng-pai, maka apa maksud kunjungan Nona ini?” kata kakek Kao Cin Liong dengan suara yang tetap tenang penuh kesabaran.
Sebagian anggauta keluarga itu sudah ada yang melotot dan marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani mengganggu kakek Kao Cin Liong yang mewakili mereka.
Gadis itu menggerakkan tangan kirinya dan ujung kebutannya bergerak seolah ia mengusir lalat yang datang mendekatinya, lalu kembali senyumnya mekar penuh ejekan.
“Apa maksud kunjunganku? Panglima Kao Cin Liong, sudah lama sekali Pao-beng-pai mendengar bahwa tiga keluarga besar Pulau Es, Gurun Pasir, dan Lembah Naga memiliki banyak pendekar yang pandai, yang tidak memandang sebelah mata kepada kelompok dan aliran lain di dunia persilatan. Juga bahwa ketiga keluarga itu berwatak tinggi hati, suka mencampuri urusan aliran lain, tidak segan menggunakan kepandaian mengalahkan kelompok lain, dan yang lebih tidak menyenangkan lagi, mereka menjadi antek-antek bangsa Mancu yang berarti membantu kekuasaan para penjajah. Nah, karena itulah Pao-beng-pai ingin sekali membuktikan sendiri apakah berita tentang kegagahan mereka itu benar, atau hanya omong kosong saja.”
Mendengar ucapan itu, Kao Hong Li dan Tan Sian Li sudah bergerak maju sambil mengepal tinju, akan tetapi Tan Sin Hong yang sejak tadi sudah waspada melihat keadaan isteri dan puterinya, yang dia tahu keduanya memiliki watak keras dan galak, cepat menangkap lengan mereka dan memberi isyarat dengan geleng kepala.
“Ayah mewakili kita semua, jangan diganggu,” bisiknya. Kao Hong Li teringat, demikian pula Sian Li maka ibu dan anak ini menahan kemarahannya dalam hati. Sebagai pihak pemilik rumah yang kedatangan tamu, tidak pantas kalau mereka maju mengganggu Kao Cin Liong yang mewakili mereka semua.
Kakek Kao Cin Liong tersenyum memandang ucapan gadis yang berani itu. Diam-diam dia terheran dan terkejut. Bagaimana seorang gadis semuda ini berani mengeluarkan kata-kata keras mencela tiga keluarga besar, padahal para anggauta keluarga lengkap berada di situ? Biar semua datuk persilatan di dunia kang-ouw, para datuk sesat sekalipun tidak mungkin akan berani senekat itu! Andaikata Pao-beng-pai mengirim seluruh pimpinan berikut anak buahnya sekalipun, menghadapi seluruh keluarga ini mereka akan sama dengan ombak samudera ganas yang menghantam bukit karang, akan hancur lebur dengan sendirinya. Apakah gadis ini miring otaknya, ataukah sudah bosan hidup dan mencari cara membunuh diri yang dapat dianggap gagah? Dia mengelus jenggotnya yang sudah putih semua.
“Bu-beng Sio-cia (Nona Tanpa Nama), kalau Pao-beng-pai ingin membuktikan sendiri berita tentangan kegagahan keluarga kami, lalu apa yang kaukehendaki dengan kunjungan ini?”
“Aku mewakili Pao-beng-pai sepenuhnya, dan atas nama Pao-beng-pai aku menantang tokoh yang paling tinggi ilmu kepandainnya dari ketiga keluarga untuk mengadu kepandaian. Aku tahu, bahwa aku mendatangi gua penuh singa dan naga, dan kalian semua bisa maju dan membunuhku. Akan tetapi hal itu hanya akan membuktikan bahwa kalian hanyalah para pengecut, bukan orang gagah....”
“Tutup mulutmu yang busuk, iblis betina tanpa nama!” Tiba-tiba Kao Hong Li yang terkenal galak itu sudah meloncat maju ke depan wanita itu. “Berani engkau mengeluarkan kata-kata menghina ayahku dan seluruh keluarga kami? Bocah sombong macam engkau hendak menantang kami? Majulah, aku yang akan mewakili semua keluarga untuk menghajarmu!”
Gadis muda itu tersenyum mengejek, lalu mengeluarkan dengus dari hidung, memandang rendah. “Engkau ini puteri Panglima Kao Cin Liong? Tentu engkau yang bernama Kao Hong Li. Bibi muda, kepandaianmu masih terlalu rendah. Kenapa tidak menyuruh suamimu saja, Si Bangau Putih Tan Sin Hong ini, untuk mewakilimu? Aku ingin bertanding dengan tokoh paling tangguh dari tiga keluarga besar, bukan dengan orang yang ilmu kepandaiannya masih tanggung-tanggung.”
Kembali semua orang terheran. Wanita muda ini agaknya mengenal para anggauta tiga keluarga besar itu. Tidak salah lagi, pikir mereka, tentu gadis sombong itu sebelumnya telah mempelajari keadaan mereka, wajah dan nama mereka, dan mungkin sekali mendapat keterangan jelas tentang ilmu yang mereka miliki masing-masing. Sikap gadis itu telah membakar hati para pendekar wanita yang berada di tempat itu.
“Biarkan aku saja yang menghadapinya!” terdengar bentakan nyaring dan nampak bayangan berkelebat ketika Can Bi Lan meloncat ke dekat Kao Hong Li.
Gadis itu memandang penuh perhatian.
“Hemmm, engkau tentu yang bernama Can Bi Lan berjuluk Siauw-kwi (Setan Kecil). Sebaiknya kalau suamimu yang maju, bukan engkau. Kulihat suamimu Pendekar Suling Naga Sim Houw juga berada di sini. Kalau dia barulah ada harganya untuk melawan aku!”
“Wah, bocah sombong, agaknya otakmu tidak waras!” terdengar bentakan dan tubuh Kam Bi Eng berkelebat cepat mendekati gadis itu. “Hayo engkau cepat menggelinding pergi dari sini, atau aku yang akan menghancurkan mulutmu yang lancang!”
Gadis itu memandang kepada Kam Bi Eng penuh perhatian, lalu menoleh dan memandang kepada Suma Ceng Liong.
“Bagus, bibi Kam Bi Eng keturunan keluarga Suling Emas dan Naga Siluman! Lebih baik lagi kalau suamimu yang maju karena sudah lama aku mendengar nama besar Suma Ceng Liong, keturunan langsung dari Pendekar Sakti Pulau Es!”
“Ibu, biarkan aku yang menghajarnya!” Suma Lian meloncat dekat pula dengan mata mencorong marah.
“Tidak, sebaiknya aku saja yang menghadapinya!” terdengar teriakan yang dibarengi berkelebatnya bayangan merah dan Sian Li sudah pula berada di situ. Nyonya Gak atau Souw Hui Lian, Suma Hui, yang sudah tua, bahkan juga Gangga Dewi dan para murid perempuan yang hadir di situ, semua maju, mempersiapkan diri untuk melawan tamu yang kurang ajar itu.
Gadis itu kini tertawa. Tawanya lepas dan tidak menutupi mulutnya sehingga nampak deretan giginya yang rapi dan bersih.
“Ha-ha-ha, agaknya para pendekar wanita tiga keluarga besar masih memiliki semangat dan galak-galak. Akan tetapi aku tetap menghendaki orang terkuat yang maju menandingiku karena aku hanya akan menantang seorang saja, kecuali tentu saja kalau kalian hendak mengeroyokku.”
“Jahanam sombong, sambutlah seranganku!” Suma Lian sudah menerjang dengan dahsyat ke arah gadis itu. Ia tidak dapat menahan kemarahannya lagi, maka begitu berteriak memberi tanda penyerangan, ia sudah menyerang dengan totokan jari tangannya. Terdengar suara bersuitan ketika tangannya bergerak, menunjukkan betapa kuatnya tangan yang melakukan serangan totokan itu. Itulah ilmu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang amat lihai.
“Hemmm, bagus!” Gadis itu berseru lembut dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat dan ia sudah melayang ke belakang, ke tempat terbuka yang lebih luas sambil tadi menghindarkan diri dari totokan maut. “Di sini lebih luas, mari kita main-main sebentar. Engkau tentu yang bernama Suma Lian, bukan? Namamu cukup terkenal, pantas untuk menjadi lawanku. Mari!”
Suma Lian yang berusia empat puluh tahun itu adalah puteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Selain telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, juga bersama Pouw Li Sian ia pernah digembleng oleh Bu Beng Lo-kai atau Gak Bun Beng. Agaknya di antara semua anggauta keluarga wanita yang hadir di situ pada saat itu, Suma Lian merupakan orang yang paling tangguh. Si Bangau Merah Tan Sian Li pun masih belum setinggi ia tingkat kepandaiannya dan agaknya hal ini diketahui pula oleh gadis tamu yang aneh itu maka ia suka menerima Suma Lian menjadi lawannya.
Suma Lian meloncat ke depan gadis itu dan semua orang memandang dengan hati tegang dan penuh perhatian karena biar gadis itu tidak mau memperkenalkan nama dan mengaku tidak bernama, namun dari gerakan silatnya, para pendekar itu ingin mengenal alirannya.
Mereka tahu bahwa Pao-beng-pai merupakan partai pemberontak yang menentang pemerintah seperti halnya Thian-li-pang, Pat-kwa-pai, Pek-lian-kauw dan yang lain, akan tetapi Pao-beng-pai bukan perkumpulan silat maka para tokohnya memiliki ilmu silat dari bermacam aliran.
Dua orang wanita itu kini saling berhadapan dalam keadaan siap-siaga. Suma Lian, dalam usia empat puluh tahun, masih nampak cantik dan ramping, dan selama ini ia tidak pernah bosan untuk berlatih silat bersama suaminya. Karena ia pun seorang pendekar wanita yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa gadis yang bersikap sombong berani menentang para anggauta tiga keluarga besar, tentu mempunyai kepandaian yang dapat diandalkan. Oleh karena itu, ia pun bersikap hati-hati dan diam-diam ia pun sudah mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) ke dalam kedua lengannya.
Gadis itu bersikap tenang, kini tidak mengeluarkan kata-kata lagi, matanya mencorong memandang lawan, mulutnya masih tersenyum dingin dan sinis, namun jelas nampak bahwa ia pun tidak berani main-main. Agaknya ia memang telah memperoleh keterangan yang cukup mengenai para anggauta keluarga, dan ia maklum bahwa yang dihadapinya adalah pendekar wanita anggauta keluarga Pulau Es yang amat tangguh.
Gadis itu bersikap tenang sekali. Melihat lawan bertangan kosong, ia pun melemparkan kebutannya kepada gadis baju kuning yang tadi mengawalnya. Kebutan itu meluncur bagaikan anak panah ke arah gadis baju kuning, mengejutkan semua orang karena seolah-olah gadis itu menyerang pembantunya sendiri! Akan tetapi, gadis baju kuning dengan tenang namun sigap menjulurkan tangan dan ia sudah berhasil menjepit gagang kebutan itu dengan jari telunjuk dan jari tengah! Diam-diam para pendekar menjadi semakin heran. Kalau si baju kuning itu, yang agaknya hanya merupakan pelayan, memiliki kemampuan seperti itu, mudah diduga bahwa nona majikannya tentu jauh lebih lihai.
Gadis itu kini membetulkan ikat sabuk sutera di pinggangnya, menggulung kedua lengan baju sampai ke siku sehingga nampak kedua lengannya yang kecil panjang dan berkulit halus.
“Suma Lian, aku sudah siap. Keluarkan semua kepandaianmu!” Gadis itu menantang.
“Iblis betina sombong, engkau yang datang, engkau yang menantang, engkau pula yang boleh bergerak lebih dulu!” Suma Lian membentak dengan pasangan kuda-kuda tegak dengan kedua lengan menyilang di depan dada, sepasang matanya mencorong di antara kedua tangan yang dibuka jari-jarinya.
“Awas, aku mulai menyerang, ha-ha-hi-hi-hi....!” Gadis itu tertawa dan suara tawanya makin lama semakin meninggi. Dua belas orang pengawalnya dan empat orang pelayan wanitanya mengambil sesuatu dan menyumbat sepasang telinga masing-masing dengan benda kecil itu.
Suma Lian terkejut ketika merasakan getaran yang amat kuat menyusup ke dalam tubuhnya. Tahulah keturunan keluarga Pulau Es ini bahwa gadis itu bukan sekedar tertawa, melainkan telah melakukan penyerangan seperti yang dikatakan tadi, penyerangan melalui getaran suara tawa! Ilmu macam ini, menggunakan getaran suara untuk menyerang lawan, merupakan ilmu yang hanya mampu dilakukan oleh orang yang telah memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat. Suma Lian sendiri adalah puteri Suma Ceng Liong, keturunan Pulau Es yang selain lihai ilmu silatnya, juga memiliki ilmu sihir dari nenek moyangnya. Tentu saja Suma Lian sudah pernah mempelajari ilmu ini dan menguasai kekuatan sihir. Maka, menghadapi serangan lawan melalui getaran suara tawa, ia cepat mengerahkan tenaga melindungi diri dan “menutup” pendengarannya dari dalam, memandang gadis yang tertawa itu dengan senyum mengejek. Para anggauta keluarga para pendekar yang hadir di situ, juga mengerahkan sin-kang dan mereka semua mampu menangkis getaran suara tawa itu. Akan tetapi, belasan orang tetangga yang masih hadir sebagai tamu, tersiksa sekali. Mereka mencoba untuk menutupi telinga dengan kedua tangan, namun agaknya getaran itu menembus tangan yang menutupi telinga dan di antara mereka sudah ada yang terjungkal pingsan. Melihat ini, Suma Lian membentak dengan suara lantang penuh wibawa, mengerahkan kekuatan sihirnya.
“Iblis betina, hentikan tawamu yang tidak ada gunanya itu!”
Dan suara tawa itu pun terhenti. Si gadis nampak kaget dan maklum bahwa tawanya tidak mempengaruhi lawan maupun para anggauta keluarga lainnya, hanya merobohkan orang-orang yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga itu.
“Kamu anak kecil sombong! Kaukira dengan sedikit ilmu hitam itu engkau akan dapat menakut-nakuti kami?” bentak Suma Lian dan nyonya ini pun membalas dengan serangan tamparan tangan kiri. Terdengar bunyi angin menyambar dahsyat dan gadis itu cepat mengelak, lalu membalas dengan pukulan ke arah dada Suma Lian. Pukulan ini dielakkan pula oleh Suma Lian dan segera terjadi perkelahian seru antara kedua orang wanita cantik itu.
Semua pendekar menonton dengan penuh keheranan. Mereka semua tahu betapa lihainya Suma Lian. Wanita ini sudah mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan dahsyat.
Ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es ditambah ilmu-ilmu dari Lembah Naga Siluman. Dan tidak tanggung-tanggung Suma Lian mengeluarkan ilmu-ilmu itu. Ia sudah mengeluarkan beberapa jurus dari ilmu silat Hong-in Bun-hoat (Silat Sastra Angin dan Awan), Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), bahkan menggunakan ilmu totokan Coa-kut-ci dan Toat-beng-ci (Jari Penembus Tulang dan Jari Pencabut Nyawa) namun anehnya, gadis itu seolah-olah mengenal semua jurus itu dan mampu mengelak atau menangkis. Ketika para pendekar memperhatikan dasar gerakan yang dipergunakan gadis cantik wakil Pao-beng-pai itu, mereka merasa heran. Gerakan silat gadis itu sukar dikenal dasarnya karena mengandung dasar banyak macam aliran silat. Yang jelas kekokohan kuda-kuda Siauw-lim-pai terdapat di situ, juga kelincahan gerakan silat Bu-tong-pai. Akan tetapi, gerakan kedua tangan ketika mengelak dan balas menyerang, jelas bukan dari kedua aliran itu, dan cara penyerangan yang tiba-tiba dan licik berbahaya itu menunjukkan adanya pengaruh ilmu dari golongan sesat! Namun, ternyata gadis itu lihai bukan main. Ilmu silatnya yang campuran sukar dikenal, dan agaknya sedikit banyak ia telah mengenal jurus-jurus silat yang dipergunakan Suma Lian untuk menyerangnya sehingga ia mampu mengelak atau menangkis dengan tepat. Sementara itu, dalam hal tenaga sin-kang dan keringanan tubuh, ia tidak berada di bawah tingkat Suma Lian! Hal ini saja sudah amat mengagumkan dan mengherankan hati para pendekar yang berada di situ.
Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong dan Suma Ceng Liong, dan juga Pendekar Suling Naga Sim Houw, tiga orang di antara para pendekar yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara mereka semua, diam-diam merasa heran dan terkejut. Pada jaman itu, kiranya sukar mencari seorang gadis muda yang akan mampu menandingi ilmu kepandaian Suma Lian. Bahkan Tan Sian Li yang disebut Si Bangau Merah oleh semua anggauta keluarga, yang dikagumi sebagai anggauta keluarga termuda yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, agaknya masih belum dapat menandingi Suma Lian.
Akan tetapi, gadis muda yang hanya dikenal sebagai Nona Tanpa Nama itu bukan saja mampu menandingi, bahkan kini mulai mendesak Suma Lian dengan ilmu silat yang aneh. Ia melakukan dorongan-dorongan atau pukulan jarak jauh yang amat dahsyat, yang mendatangkan angin seperti gelombang samudra sedang membadai. Suma Lian mengerahkan tenaga dari Pulau Es untuk menahan dorongan-dorongan itu, namun agaknya ia masih kalah kuat sedikit sehingga setiap kali terjadi bentrokan tenaga sakti, jelas bahwa pasangan kuda-kuda kaki Suma Lian tergeser ke belakang sedikit, sedangkan kuda-kuda kaki gadis cantik itu masih tetap teguh.
“Haiiiiittttt....!” Tiba-tiba gadis itu menyerang lagi dengan kedua tangan didorongkan, akan tetapi kini ia mengubah kuda-kuda kakinya dan menekuk kedua lutut sehingga tubuhnya merendah seperti berjongkok, pinggulnya yang besar menonjol dan hampir menyentuh tanah. Gerakan ini aneh sekali, akan tetapi dari kedua tangannya menyambar angin dahsyat ke arah perut Suma Lian.
Suma Lian yang sudah cukup pengalaman itu dapat mengenal serangan dahsyat yang berbahaya. Akan tetapi kalau ia mengelak terus, hal itu akan membuktikan bahwa ia tidak berani mengadu tenaga dan membuat ia nampak terdesak. Maka, wanita yang keras hati dan pemberani itu tidak mau mengalah. Ia pun mengerahkan tenaga gabungan dari Tenaga Sakti Inti Api dan Tenaga Sakti Inti Salju dari Pulau Es. Biarpun kepandaiannya dalam pengerahan sin-kang ini belum setingkat ayahnya, namun dibandingkan tokoh-tokoh wanita keturunan keluarga Pulau Es, Suma Lian sudah merupakan yang terkuat. Ia mengerahkan tenaga gabungan itu dan menyambut serangan lawannya dengan dorongan kedua tangannya pula.
Benturan dahsyat antara dua tenaga sakti tak dapat dihindarkan pula. Tidak nampak oleh mata memang, dan dua pasang tangan itu terpisah tidak kurang dari dua meter, namun keduanya seperti mendorong dinding yang kokoh kuat. Tubuh Suma Lian nampak terguncang, sedangkan gadis itu masih tak bergerak, bahkan bibirnya mengembangkan senyum mengejek. Keduanya tak pernah mengendurkan tenaga, dan sebentar saja nampak betapa Suma Lian berkeringat dan dari kepalanya mengepul uap.
Melihat ini, semua orang merasa tegang dan khawatir. Sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka maklum bahwa adu tenaga sin-kang itu sudah mencapai titik yang gawat.
Seorang di antara mereka akan terancam maut, dan agaknya Suma Lian yang berada di fihak terancam. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan melerai, karena hal itu bahkan amat berbahaya bagi kedua orang wanita perkasa yang sedang mengadu tenaga itu.
Akan tetapi, seorang yang memiliki tingkat lebih tinggi seperti Suma Ceng Liong, melihat bahaya maut mengancam puterinya, segera meloncat ke depan, mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya untuk melerai.
Kakek perkasa berusia enam puluh tahun ini menggunakan gerakan yang disebut Mendorong Bukit Kanan Kiri, kedua tangannya dikembangkan dan didorongkan dari samping ke arah tengah-tengah di antara dua orang wanita yang sedang mengadu tenaga sin-kang itu.
Bagaikan angin badai meniup dua batang pohon yang kokoh, tenaga itu membuat kedua orang yang sedang bertanding itu terdorong dan kehilangan keseimbangan. Tenaga mereka yang tadi saling tekan itu terlepas, dan akibatnya Suma Lian terpelanting dan gadis itu terdorong ke belakang. Suma Lian cepat menggulingkan tubuhnya dan ia dapat meloncat bangun dengan muka agak pucat dan napas terengah, sedangkan gadis itu ketika terdorong ke belakang, membuat gerakan jungkir-balik yang indah sampai tiga kali, baru tubuhnya melayang turun dan berdiri tegak. Suma Lian terbebas dari ancaman bahaya, namun dari akibat dorongan kekuatan sin-kang Suma Ceng Liong yang melerai, semua orang tahu bahwa dalam adu tenaga sakti tadi, Suma Lian berada di pihak yang terdesak.
Gadis itu menatap wajah Suma Ceng Liong dengan sinar mata mencorong, kulit wajahnya memerah karena marah, mulutnya tersenyum sinis dan tangan kanan bertolak pinggang, telunjuk tangan kiri diluruskan menuding ke arah muka pendekar itu.
“Pendekar besar Suma Ceng Liong tidak malu melakukan pengeroyokan?” Ia berkata mengejek.
Di waktu mudanya, Suma Ceng Liong adalah seorang yang lincah gembira dan bahkan agak ugal-ugalan. Akan tetapi kini dia sudah berusia enam puluh tahun tentu saja tidak seperti dahulu, walaupun dia masih berwatak gembira. Melihat sikap gadis itu yang menuduhnya melakukan pengeroyokan dia hanya tersenyum.
“Bu-beng Sio-cia, aku tidak melakukan pengeroyokan, hanya melerai. Puteri kami Suma Lian sudah kalah olehmu. Nah, sekarang engkau mau apa lagi? Masih penasaran dan ingin menantang seorang di antara kami?” Biarpun kata-kata itu membuat pengakuan akan kekalahan Suma Lian, namun juga mengandung penawaran kalau-kalau gadis itu masih mau menantang lagi, dan semua orang juga tahu bahwa menghadapi Suma Lian, gadis itu hanya lebih unggul sedikit. Jelas kalau melawan Suma Ceng Liong atau lain tokoh yang setingkat, ia tidak akan mampu menang.
“Seperti kukatakan tadi, aku datang mewakili Pao-beng-pai untuk membuktikan kehebatan nama besar para pendekar tiga keluarga Pulau Es, Lembah Naga, dan Gurun Pasir. Aku hanya bertanding satu kali saja, kecuali kalau kalian hendak mengeroyokku! Aku hanya ingin meninggalkan pesan bahwa Pao-beng-pai adalah perkumpulan para patriot yang tidak rela melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh orang-orang biadab Mancu. Sebaliknya, tiga keluarga besar kalian hanya terdiri dari antek dan penjilat penjajah asing! Selamat tinggal!” Gadis itu membalikkan tubuh, dengan sikap angkuh sekali hendak memasuki jolinya, sedangkan dua belas orang laki-laki dan empat orang gadis cantik sudah siap di kanan kiri joli seperti pasukan pengawal.
Ia pun menerima kembali kebutannya dari tangan gadis pakaian kuning yang menyerahkan kebutan itu sambil memberi hormat. Sikap gadis itu tiada ubahnya seorang puteri istana, sedangkan para pengikutnya amat menghormatinya.
Sejak tadi, Tan Sian Li sudah terbakar hatinya. Kalau saja tidak ditahan ayah ibunya, sudah sejak tadi sebelum Suma Lian maju, ia sendiri sudah menerjang gadis itu. Kini, mendengar ucapan gadis itu yang dianggapnya amat menghina tiga keluarga besar, mana mungkin Sian Li mampu menahan diri? Dadanya seperti meledak rasanya, dan sebelum ayah ibunya melarangnya, ia sudah meloncat ke atas dan bagaikan seekor burung bangau merah, tubuhnya meluncur ke arah gadis depan joli itu dan mulutnya membentak garang,
“Iblis betina sombong! Sambut seranganku!”
Akan tetapi gadis itu memberi isyarat dan empat orang gadis cantik yang menjadi pengawalnya itulah yang menyambut Sian Li. Mereka berempat maju bersama dan tangan mereka menyambut dorongan tangan Sian Li dari atas.
“Dukkk!” Sian Li terpaksa berjungkir balik untuk mematahkan daya dorongan tenaga empat orang yang digabung itu, dan ia pun melayang turun. Hatinya semakin panas.
Gadis sombong itu menyuruh empat orang pelayan mewakilinya, seolah-olah gadis itu menganggap ia tidak cukup berharga untuk menjadi lawannya!
“Jangan mengganggu nona kami yang mulia!” kata si baju kuning yang agaknya merupakan pemimpin dari mereka berempat. Mereka sudah mengepung Sian Li dan menghadang Sian Li, melindungi nona mereka. Melihat ini, Sian Li marah bukan main.
“Minggir! Apakah kalian sudah bosan hidup?” bentak Sian Li galak.
“Sian Li, jangan membunuh orang!” Ayahnya memperingatkan.
Tiba-tiba gadis cantik di depan joli itu tertawa renyah. Suara tawanya merdu sehingga nampak aneh dan mengerikan karena suara tawa seperti itu sepatutnya dikeluarkan oleh wajah yang ramah dan periang, bukan oleh wajah yang biarpun cantik namun dingin itu.
“Heh-heh-heh, ingin kulihat apakah engkau mampu membunuh empat orang pelayanku?”
Ditantang seperti itu, Sian Li membentak,
“Iblis betina, engkau boleh sekalian maju mengeroyokku, akan kurobohkan kalian semua!” Setelah berteriak demikian, Sian Li menerjang ke depan, disambut oleh empat orang gadis pelayan yang berpakaian menyolok masing-masing mewakili satu warna itu.
Setelah bergebrak, barulah Sian Li dan semua pendekar mengetahui bahwa empat orang gadis pelayan itu bukanlah pelayan biasa saja, melainkan empat orang yang telah menguasai ilmu silat tinggi dan menjadi lawan yang amat tangguh! Mereka itu, terutama sekali si baju kuning, memiliki gerakan yang cepat seperti empat ekor burung walet, dan rata-rata memiliki sin-kang yang cukup kuat.
Ternyata gadis tanpa nama wakil Pao-beng-pai itu tidak membual ketika menertawakan Sian Li. Empat orang pelayannya memang lihai bukan main. Mereka adalah gadis-gadis berbakat yang agaknya telah digembleng secara khusus. Hal ini tidaklah aneh karena mereka berempat adalah empat orang pilihan dari pasukan wanita Pao-beng-pai, mewakili empat dari tujuh kelompok warna yang ada.
Diam-diam Sian Li juga terkejut dan merasa kecelik. Tadi ia memang memandang rendah kepada empat orang pelayan itu, walaupun ia tidak berani memandang rendah kepada gadis cantik Pao-beng-pai yang tadi ia lihat sendiri mampu menandingi bibinya, Suma Lian. Kini, ia sendiri merasa repot ketika empat orang pengeroyoknya, bergerak cepat sehingga nampak mereka itu menjadi empat macam bayangan dengan warna menyilaukan mata berkelebatan di sekeliling dirinya. Mereka pun melakukan serangan bertubi-tubi secara teratur sekali, bergiliran dan setiap kali Sian Li membalas serangan mereka, kalau mereka tidak mampu mengelak, maka mereka mempersatukan tenaga untuk menangkisnya! Dengan demikian, serangan Sian Li selalu gagal dan ia pun dihujani serangan yang membuat ia cukup repot. Dan yang lebih menyakitkan hatinya, suara tawa merdu itu sering terdengar olah gadis Pao-beng-pai itu memperhatikan jalannya pertandingan dan menertawakannya!
Panaslah rasa hati Sian Li. Kalau sejak tadi ia belum mampu mendesak empat orang pengeroyoknya dan memperoleh kemenangan, hal itu adalah karena peringatan ayahnya agar ia tidak membunuh orang. Maka, ia pun menahan diri, menahan sebagian tenaganya dan tidak pula mengeluarkan semua kepandaiannya. Kini, mendengar suara tawa itu, tiba-tiba ia mengubah gerakannya dan mulai memainkan ilmu andalannya, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah). Tubuhnya melayang ke atas dan bagaikan seekor burung bangau, ia menyambar turun dan menyerang empat orang pengeroyoknya dengan gerakan indah, seindah gerakan burung bangau dan karena pakaiannya serba merah, maka memang tepat sekali ia dijuluki Si Bangau Merah kalau memainkan ilmu itu. Ilmu yang amat indah gerakannya ini mengandung kekuatan dahsyat dan kini empat orang pelayan wanita Pao-beng-pai itu nampak terkejut. Mereka berusaha menahan diri dengan menggabungkan tenaga, namun tetap saja mereka kalah kuat dan empat orang itu pun terpelanting seperti diserang angin badai dan mereka terbanting roboh. Mereka tidak tewas, tidak pula terluka parah, akan tetapi dari sudut bibir mereka nampak darah, tanda bahwa mereka telah menderita luka-luka dalam walaupun tidak parah. Hal ini adalah karena tadi Sian Li masih menahan tenaganya, mengingat akan pesan ayahnya tadi.
Dengan senyum mengejek kini Sian Li menghadapi gadis Pao-beng-pai dan menantangnya. “Iblis betina, sekarang engkau majulah kalau memang engkau memiliki keberanian!”
Gadis itu mendengus.
“Huh, aku sudah satu kali bertanding, cukuplah. Lain kali masih banyak waktu untuk memberi hajaran kepada bocah sombong macam kamu!” Setelah berkata demikian, gadis itu memasuki joli dan memberi isyarat kepada para pengawalnya. Empat orang pemikul joli segera mengangkat joli itu dan pergi dari situ dikawal oleh delapan orang pria yang lain bersama empat orang pelayan wanita yang terluka berat setelah tadi kalah oleh Sian Li.
“Heiii, tunggu kau iblis betina!” Sian Li hendak mengejar.
“Sian Li, tahan....!” Sin Hong berseru dan gadis itu terpaksa menahan diri dan tidak jadi mengejar, membiarkan rombongan itu pergi dengan cepatnya. Karena merasa kecewa dan penasaran, ia pun menoleh untuk memandang kepada ayahnya. Semua orang juga memandang ke arah rombongan yang menjauh. Ketika ia menengok memandang ayahnya itulah Sian Li melihat wajah Suma Lian yang pucat dan agak kehijauan. Sebagai seorang ahli pengobatan, murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) pertapa di bukit Liong-san, sekali pandang saja Sian Li terkejut.
“Bibi Suma Lian, engkau keracunan....!” katanya sambil menghampiri wanita perkasa itu.
Semua orang menengok dan memandang, terkejut melihat wajah Suma Lian. Akan tetapi Suma Lian tidak merasakan sesuatu.
“Celaka, ini tentu akibat adu tenaga dengan gadis tadi!” kata Suma Ceng Liong.
“Biar kukejar gadis itu untuk minta obat pemunah racunnya!” kata Gu Hong Beng yang mengkhawatirkan keadaan isterinya.
“Jangan!” cegah Suma Lian, maklum bahwa kalau ia sendiri tidak mampu menandingi gadis itu, apalagi suaminya yang tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi darinya.
“Harap Bibi jangan khawatir, aku dapat mengobati Bibi.” kata Sian Li setelah ia memegang nadi tangan Suma Lian. “Mari kita ke kamar, Ibu, aku minta Ibu suka membantu dan memperkuat tenaga sin-kangku.” katanya kepada ibunya, Kao Hong Li.
Tiga orang wanita ini lalu memasuki rumah, masuk ke kamar.
Setelah membuka baju atasnya, Suma Lian duduk bersila di atas pembaringan dan Sian Li bersila di belakangnya, bersama ibunya. Atas petunjuk Sian Li, ibunya membantunya dengan menempelkan tangan di punggung Suma Lian, bersama anaknya mengerahkan sin-kang dan menyalurkan ke dalam tubuh Suma Lian. Setelah beberapa lama getaran tenaga ibu dan anak ini menyusup ke dalam tubuh Suma Lian melalui punggungnya, Sian Li berbisik lirih.
“Bibi, gerakkan kedua lenganmu melakukan jurus Sepasang Tangan Menyangga Langit, kerahkan tenaga sin-kang keluar melalui telapak kedua tangan Bibi.”
Suma Lian yang merasa betapa hawa yang hangat dan kuat memasuki tubuhnya melalui punggung, segera mengikuti petunjuk Sian Li. Ia menggerakkan kedua lengannya dan mendorong ke atas dengan kedua telapak tangan terbuka. Ada angin pukulan yang keluar dari kedua telapak tangannya. Sampai tiga kali, atas anjuran Sian Li, ia melakukan gerakan itu dan Sian Li menghentikan penyaluran tenaganya, minta ibunya melepaskan tangannya pula.
Ketika Kao Hong Li memandang ke arah wajah Suma Lian, ia girang sekali melihat wajah itu tidak lagi pucat kehijauan, melainkan sudah kembali kemerahan. Akan tetapi sepasang alis Suma Lian berkerut karena sekarang ia merasakan sedikit kenyerian pada dadanya. Ketika ia memberitahukan ini kepada Sian Li, gadis itu tersenyum.
“Itulah bekas pengaruh hawa beracun, Bibi. Akan tetapi sekarang hawa beracun itu sudah keluar dan bahaya sudah lewat. Kalau Bibi menelan tiga butir pil ini, tentu rasa nyeri itu akan lenyap.” Sian Li mengeluarkan sebuah botol dan mengambil tiga butir pil dari dalam botol, menyerahkannya kepada Suma Lian yang tanpa ragu segera menelannya.
“Hebat, obatmu manjur sekali, Sian Li.” katanya tak lama kemudian sambil merangkul Sian Li.
“Mari kita keluar, mereka semua tentu sedang menanti dengan khawatir, Bibi.” kata Sian Li.
Semua orang bergembira melihat Suma Lian keluar dari kamar dalam keadaan sehat dan sudah sembuh. Mereka memuji ilmu pengobatan Sian Li yang manjur. Sebetulnya, hampir semua di antara mereka akan mampu menyembuhkan Suma Lian yang tidak terluka parah. Akan tetapi cara yang mereka pergunakan hanya cara seorang ahli silat, bukan cara seorang ahli pengobatan seperti Sian Li. Cara seorang ahli silat dapat dikata hanya ngawur, mengandalkan kekuatan sin-kang untuk mengusir racun dalam tubuh orang yang terluka. Hal ini bahkan kadang dapat membahayakan si penderita.
Pesta ulang tahun itu dilanjutkan, dan para tetangga yang menjadi tamu juga merasa lega bahwa gangguan rombongan gadis cantik tadi dapat diatasi. Suasana menjadi gembira kembali. Akan tetapi setelah pesta selesai dan para tamu meninggalkan tempat itu, keluarga itu sendiri masih berkumpul dan mereka membicarakan gadis wakil Pao-beng-pai yang lihai tadi.
Mereka semua merasa heran dan penasaran mengapa Pao-beng-pai, yang selama ini tidak pernah ada urusan dengan mereka, kini tiba-tiba memperlihatkan sikap memusuhi mereka.
Melihat semua anggauta tiga keluarga besar merasa penasaran, Kao Cin Liong mengangkat kedua tangan minta agar mereka semua diam. Kemudian dia berkata.
“Mungkin aku dapat menerangkan mengapa Pao-beng-pai bersikap seperti itu.”
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, dan Kao Cin Liong lalu menceritakan dugaannya.
“Sesuai dengan namanya, Pao-beng-pai (Partai Pendukung Terang) muncul setelah Kerajaan Beng jatuh dan kekuasaan diganti oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang sekarang. Seperti yang kuketahui dan dengar, mula-mula Pao-beng-pai terdiri dari para patriot, orang-orang gagah yang tidak rela melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu yang mendirikan Dinasti Ceng sekarang ini. Mereka berjuang untuk mendirikan kembali Kerajaan Beng, dan berusaha untuk memberontak dan menjatuhkan pemerintah Ceng. Pada mulanya, gerakan ini dipimpin oleh orang-oreng pandai, bekas keluarga kaisar Kerajaan Beng dan para pejabatnya. Namun, berkali-kali gerakan itu gagal dan dihancurkan oleh pasukan pemerintah Ceng yang jauh lebih kuat. Akhirnya, tidak terdengar lagi gerakan Pao-beng-pai dan dianggap bahwa partai itu telah hancur dan telah mati.”
“Akan tetapi kenapa sekarang muncul lagi Pao-beng-pai yang memusuhi kita?” tanya Suma Hui, isterinya dan semua orang mengangguk karena pertanyaan itu muncul pula dalam hati mereka.
“Aku sendiri baru tahu sekarang, akan tetapi sikap mereka itu agaknya mudah diduga. Kita semua tahu bahwa tiga keluarga kita selalu merupakan golongan yang menentang para penjahat atau golongan sesat. Kalau sekarang Pao-beng-pai memusuhi kita, padahal dahulu, ketika masih dipimpin para patriot Heng tidak, hal ini berarti bahwa sekarang Pao-beng-pai bangkit kembali dipimpin oleh golongan sesat. Dan ada kemungkinan lain melihat betapa gadis tadi memaki kita sebagai antek pemerintah penjajah Mancu, yaitu bahwa di samping memiliki pimpinan dari golongsn sesat, juga Pao-beng-pai yang sekarang masih menentang pemerintah Mancu dan mereka menganggap kita sebagai musuh, bukan hanya karena kita menentang golongan sesat, akan tetapi juga karena tak dapat disangkal lagi, keluarga kita pernah membantu pemerintah Kerajaan Ceng.” Kao Cin Liong berhenti dan menghela napas panjang.
“Akan tetapi, di antara kita sekarang tidak ada yang membantu pemerintah!” Gak Ciang Hun berseru penasaran.
“Memang benar, akan tetapi kita harus mengakui bahwa keluarga kita pernah terlibat dengan pemerintah Mancu sekarang ini. Kita tahu bahwa pendiri keluarga Pulau Es, yaitu mendiang kakek Suma Han, walaupun tidak pernah membantu pemerintah Mancu, namun beliau menikah dengan puteri Mancu sehingga keturunan beliau sekarang ini berdarah campuran dan masih dapat dikata keturunan ibu Mancu. Kenyataan ini agaknya yang membuat keluarga Pulau Es dianggap sebagai antek Mancu oleh Pao-beng-pai.”
Mereka yang merasa sebagai keturunan keluarga Pulau Es, saling pandang dan tidak dapat membantah kenyataan itu, walaupun dalam hati mereka merasa penasaran. Biarpun nenek mereka seorang puteri Mancu, namun mereka tidak pernah membantu pemerintah penjajah Mancu!
“Sekarang tentang keluarga Gurun Pasir,” kata pula Kao Cin Liong melanjutkan.
“Memang keluarga Gurun Pasir tidak ada pula yang membantu Kerajaan Ceng sekarang ini, akan tetapi dahulu, ketika aku masih muda, aku pernah menjadi seorang panglima Kerajaan Mancu. Hal yang membuat aku sampai kini merasa menyesal walaupun tugasku dahulu meredakan pemberontakan di daerah perbatasan yang dilakukan oleh suku-suku bangsa lain. Akan tetapi, kemudian aku menyadari tidak baiknya pekerjaanku itu dan aku mengundurkan diri. Semenjak itu, tidak ada lagi keturunan kita yang bekerja pada pemerintah Mancu. Tentu saja kita selalu menentang golongan sesat, dan mungkin sekali inilah yang menyebabkan Pao-beng-pai memusuhi kita.”
“Pendapat paman Kao Cin Liong memang masuk di akal,” kini Cu Kun Tek berkata.
Pendekar yang tinggi besar dan gagah ini dahulu berwatak keras sekali, akan tetapi sekarang, setelah dia menjadi suami Pouw Li Sian dan usianya juga sudah empat puluh lima tahun, dia bersikap tenang. “Akan tetapi mengapa pula Pao-beng-pai tadi menyinggung keluarga kami?”
Kao Cin Liong memandang kepada pendekar dari Lembah Naga Siluman itu lalu berkata.
“Keluarga Lembah Naga Siluman memang tidak pernah ada yang membantu pemerintah Ceng, akan tetapi anggauta keluarga ini memiliki kaitan dan hubungan yang erat melalui pernikahan dan perguruan dengan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, juga selain itu, para anggauta keluarga Lembah Naga Siluman juga selalu menentang golongan sesat. Tidak mengherankan kalau dimasukkan dalam daftar musuh oleh Pao-beng-pai.”
“Kalau begitu, Pao-beng-pai hanyalah perkumpulan penjahat yang memakai kedok perjuangan, seperti halnya Peklian-kauw dan lain-lain!” kata Kao Hong Li.
Ayahnya menghela napas panjang.
“Ini baru dugaan saja, belum ada buktinya. Melihat gadis tadi, ia seperti bukan seorang penjahat, akan tetapi jelas bahwa ilmu silatnya lihai dan ia tentu murid orang-orang yang pandai, yang agaknya sedikit banyak telah meneliti keadaan ilmu keluarga kita semua.”
Demikianlah, para pendekar itu ramai membicarakan Pao-beng-pai yang berani mati membikin kacau pesta mereka. Para pendekar yang muda merasa penasaran, akan tetapi mereka yang lebih tua bersikap tenang, bahkan menasihati yang muda agar tidak tergesa mengambil tindakan.
---lanjut ke jilid 5---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar