Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 15

Kisah Si Bangau Merah Jilid 15

15

“Sst, Sian Li. Kakek dan nenekmu masih tidur. Biarkan mereka beristirahat dan bermainlah di luar.”
Sian Li memandang kepada kakek dan neneknya dan alisnya berkerut, mulutnya cemberut.
“Kakek dan Nenek tidak bisa lagi menemani aku bermain-main. Ini semua gara-gara gerombolan penjahat itu. Kelak aku akan membasmi mereka kalau aku sudah besar!” Setelah berkata demikian, Sian Li berlari keluar. Ayah dan ibunya saling pandang dan keduanya merasa lega. Puteri mereka itu sudah pasti kelak akan menjadi seorang pendekar wanita yang hebat, seperti yang mereka harapkan. Kalau dekat dengan Yo Han, tentu puteri mereka itu akan mengikuti jejak Yo Han, menjadi seorang wanita yang lemah.
Mereka lalu duduk di dekat pembaringan ayah ibu mereka dan dengan prihatin mereka melihat betapa keadaan mereka masih seperti malam tadi, dan kembali mereka berusaha untuk menyalurkan tenaga sin-kang mereka dengan telapak tangan mereka ditempelkan di punggung si sakit. Biarpun usaha ini belum dapat menyembuhkan, setidaknya dapat memperkuat hawa murni dalam tubuh ayah dan ibu mereka dan memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh pukulan beracun.
Dua orang yang terluka itu dalam keadaan tidur atau setengah pingsan. Wajah mereka pucat dan pernapasan mereka lemah. Sin Hong sudah memberi obat luka di lambung dan leher ibu mertuanya. Luka-luka itu tidak berat, akan tetapi racun yang terkandung di luka bagian leher amat berbahaya. Sedangkan pukulan kedua telapak tangan yang berbekas di punggung ayah mertuanya membuat keadaan ayah mertuanya itu lebih parah lagi.
“Hemm, keadaan mereka ini membuat aku menjadi sangsi,” katanya lirih kepada isterinya. “Aku mengenal Bu-tong-pai sebagai partai persilatan bersih, perkumpulan orang-orang suci dengan para tosu menjadi pimpinan. Murid-murid mereka adalah pendekar-pendekar gagah. Biarpun mereka memiliki pukulan ampuh yang mengandung sin-kang amat kuat, namun belum pernah aku mendengar mereka mempelajari ilmu pukulan beracun. Juga, belum pernah aku mendengar mereka menggunakan racun atau paku beracun seperti yang melukai leher ibumu.”
“Akan tetapi, mendiang Thian Kwan Hwesio dengan jelas menyerukan bahwa mereka adalah para tosu Bu-tong-pai,” kata isterinya dan Sin Hong menjadi bingung. Memang sukar dimengerti kalau seorang pendeta seperti ketua kuil Pao-teng itu berbohong. Apa manfaatnya berbohong. Akan tetapi, Thian Kwan Hwesio sudah tewas sehingga tidak mungkin, dapat diperoleh keterangan yang lebih jelas darinya.
“Kita harus bersabar. Surat yang kukirim kepada Ketua Bu-tong-pai itu sedikit banyak tentu akan dapat menerangkan kegelapan peristiwa semalam.”
Sementara itu, Sian Li berlari keluar rumah dengan hati kesal. Ketika ia datang ke rumah kakek dan neneknya, hatinya gembira karena kedua orang tua itu amat sayang kepadanya dan mengajaknya bermain-main. Sekarang, kakek dan neneknya hanya rebah dalam keadaan sakit. Apalagi bermain-main dengannya, bicara pun mereka itu tidak dapat lagi.
Semua itu gara-gara perbuatan penjahat yang menyerbu malam tadi. Hatinya kesal dan marah, dan ia pun keluar dari pekarangan rumah, bermaksud mencari teman bermain.
Ada beberapa orang pegawai yang biasanya membantu kedua orang tua itu berdagang rempa-rempa. Mereka, empat orang itu, telah mendengar bahwa kedua majikan mereka menderita luka oleh serbuan penjahat. Mereka membuka toko rempa-rempa mewakili majikan mereka dengan wajah khawatir.
Sian Li tidak mempedullkan mereka yang tidak dikenalnya, dan ia pun keluar dari pekarangan dan terus berjalan-jalan seorang diri di jalan raya. Hatinya tertarik melihat seorang kakek berdiri di tepi jalan, memandang ke arah rumah kakek dan neneknya. Ia pun menoleh dan ikut memandang. Belasan orang hwesio memasuki pekarangan itu, dan mereka ini adalah para hwesio dari kuil di kota itu, para murid Thian Kwan Hwesio yang sudah diberi kabar tentang tewasnya guru dan ketua mereka di rumah keluarga Kao. Tak lama kemudian mereka mengangkut peti mati untuk dibawa pulang ke kuil mereka. Sian Li melihat pula ayah dan ibunya mengantar sampai di luar rumah dan belasan orang hwesio itu meninggalkan pekarangan itu sambil memikul peti mati.
Sian Li mengepal kedua tangannya, memandang dan mengikuti perjalanan para hwesio yang mengikuti peti mati sambil membaca doa sepanjang jalan. Hatinya merasa kasihan dan juga penasaran kepada para penjahat yang bukan saja telah membunuh seorang hwesio, akan tetapi juga melukai kakek dan neneknya.
“Penjahat-penjahat kejam, tunggu saja kalian. Kalau kelak aku sudah besar, akan kubalaskan kematian hwesio itu dan lukanya Kakek dan Nenekku!”
Sian Li tidak tahu betapa kakek yang tadi berdiri memandang ke arah kesibukan para hwesio mengangkut peti mati, kini memandang kepadanya dengan sinar mata yang penuh selidik dan mulut tersenyum. Kakek ini berpakaian seperti seorang sastrawan, akan tetapi jelas bahwa dia miskin melihat betapa pakaian itu sudah penuh jahitan dan ada beberapa tambalan, walaupun nampaknya bersih. Dia mirip seorang sastrawan setengah jembel, dengan rambut yang bercampur dengan cambang, kumis dan jenggot yang sudah berwarna kelabu. Namun wajah masih nampak sehat kemerahan belum dimakan keriput, matanya masih terang dan senyumnya cerah walaupun mulut itu tidak bergigi lagi.
Rambut itu dibiarkan awut-awutan, sampai ke pundak. Tubuhnya jangkung kurus namun berdirinya tegak. Sebuah caping lebar tergantung di punggung, tangan kanan memegang sebatang tongkat butut dan tangan kirinya membawa sebuah keranjang obat, terisi beberapa macam akar-akaran dan daun-daunan.
“Nona kecil yang baik, apakah kakek dan nenekmu luka-luka?” Tiba-tiba kakek itu mendekat dan bertanya. Sian Li menoleh dan ia memandang kepada kakek itu penuh perhatian.
“Apakah engkau orang Bu-tong-pai?” tiba-tiba ia bertanya dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh selidik.
“Kalau betul, kenapa?” kakek itu balas bertanya sambil tersenyum.
“Kalau engkau orang Bu-tong-pai, akan kupanggilkan Ayah dan Ibu. Jangan lari, mereka tentu akan menghajarmu!”
“Kalau aku bukan orang Bu-tong-pai?”
“Kalau bukan, jangan mencampuri urusan kami. Engkau tidak akan dapat menolong, Kek!”
“Ha-ha-ha, anak baik, mengapa engkau mengatakan bahwa aku tidak akan dapat menolong?”
Sian Li memandang kepada orang itu dengan sinar mata penuh selidik.
“Engkau seorang kakek tua, miskin, dan nampak lemah. Andaikata engkau memiliki ilmu kepandaian pun, bagaimana engkau mampu menandingi orang-orang Bu-tong-pai yang lihai, sedangkan Ayah Ibuku saja tidak mampu melindungi Kakek dan Nenekku?”
Kakek itu memandang dengan kagum. Anak kecil ini baru berusia empat tahun, akan tetapi telah mampu mengolah pikiran seperti orang dewasa saja. Ini menandakan bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang yang cerdik bukan main.
“Anak yang baik, engkau tadi bilang tentang kakek dan nenekmu yang luka-luka. Kebetulan sekali aku mempunyai sedikit ilmu pengobatan. Aku mendengar bahwa ini rumah dari Pendekar Kao Cin Liong, bekas panglima besar yang amat terkenal itu. Bagaimana kalau aku mencoba kepandaianku untuk menyembuhkan kakek dan nenekmu?”
Mendengar ini, Sian Li menjadi girang sekali. Sejenak ia memandang ke arah keranjang obat di tangan kiri kakek itu, kemudian ia memegang tongkat kakek itu dan menariknya.
“Kalau begitu, mari cepat, Kek. Tolonglah Kakek dan Nenekku!” Dan ia pun menarik kakek itu berlarian memasuki pekarangan, langsung masuk ke dalam rumah. Empat orang pegawai toko rempa-rempa itu memandang heran, akan tetapi mereka tidak berani menegur.
Kakek itu yang merasa rikuh sendiri dan dia berhenti di ruangan depan.
“Anak baik, lebih dulu beritahukan orang tuamu bahwa aku datang, tidak sopan kalau aku terus masuk begitu saja.”
“Kakek, memang tidak sopan kalau engkau masuk sendiri. Akan tetapi aku yang membawamu masuk, jadi engkau tidak bersalah. Marilah!” Anak itu menariknya masuk dan Sian Li berteriak-teriak, “Ayah! Ibu! Aku datang bersama Kakek yang hendak mengobati Kakek dan Nenek!”
Mendengar teriakan anak mereka. Tan Sin Hong dan isterinya, Hong Li segera berlari keluar. Mereka melihat Sian Li menggandeng tangan seorang kakek tua yang memegang tongkat dan keranjang obat. Sebagai orang-orang yang berpengalaman, sekali pandang saja suami isteri ini mengenal orang luar biasa, akan tetapi mereka belum mengenal siapa dia maka keduanya memberi hormat dengan sopan dan Tan Sin Hong berkata dengan suara lembut.
“Selamat datang, Locianpwe. Kalau benar seperti yang dikatakan puteri kami maka kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe yang hendak mengobati Ayah dan Ibu kami.”
Kakek itu tertawa bergelak sehingga nampak rongga mulutnya yang sudah tidak punya gigi lagi. “Siancai.... sungguh bukan nama besar kosong belaka bahwa Pendekar Bangau Putih adalah seorang pendekar perkasa yang amat pandai membawa diri, rendah hati, dan sopan, ha-ha-ha!”
Sin Hong dan isterinya saling pandang lalu keduanya menatap wajah kakek jangkung itu.
“Maafkan kami yang tidak ingat lagi siapa Locianpwe, sebaliknya Locianpwe telah mengenal kami.”
“Ha-ha, tentu saja. Rumah ini adalah rumah Pendekar Kao Cin Liong, putera Si Naga Sakti Gurun Pasir, bekas panglima yang amat terkenal. Dan isterinya adalah seorang wanita sakti, she Suma masih cucu Pendekar Sakti Pulau Es! Begitu melihat nona cilik pakaian merah ini, aku sudah menduga bahwa tentu ia cucu Kao Cin Liong, dan karena kalian adalah ayah ibunya, siapa lagi kalian kalau bukan puteri dan mantu bekas panglima itu?”
“Wah, Kakek tidak adil!” tiba-tiba Sian Li berseru, “Kakek sudah mengenal Ayah Ibu dan Kakek, akan tetapi belum memperkenalkan diri. Mana adil kalau perkenalan hanya sebelah pihak saja?”
“Sian Li, jangan kurang ajar!” bentak ibunya.
“Ho-ho, namamu Sian Li, anak merah, Bagus, engkau memang seperti seorang sian-li (dewi) cilik. Tan-taihiap dan Kao-lihiap, saya ini orang biasa saja, bahkan orang yang kedudukannya amat rendah, setengah tukang obat, setengah pengemis, ha-ha-ha!”
Kembali suami isteri itu saling pandang. Biarpun suami isteri pendekar ini masih muda, namun mereka sudah mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw dan sudah mendengar akan nama besar banyak orang pandai walaupun belum pernah berjumpa dengan mereka. Setengah tukang obat dan setengah pengemis?
“Kalau begitu, Locianpwe ini tentu Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat)!” seru Kao Hong Li.
Kakek itu mengelus jenggotnya dan tersenyum.
“Nyonya muda sungguh berpemandangan luas!”
“Aih, maafkan kami berdua yang tidak tahu bahwa yang mulia Yok-sian (Dewa Obat) datang berkunjung!” kata Sin Hong kagum karena dia pun pernah mendengar akan nama besar tokoh ini yang jarang muncul di dunia kang-ouw.
“Ha-ha-ha, alangkah tidak enaknya mendengar nama sebutan Yok-sian (Dewa Obat). Aku lebih suka disebut Lo-kai (Pengemis Tua) saja. Aku mendengar akan keributan yang terjadi di rumah Taihiap Kao Cin Liong, maka sengaja hendak melihat apa yang terjadi. Kebetulan di luar tadi aku bertemu dengan anak ini! Sian Li menarik hatiku dan ternyata ia adalah cucu Taihiap Kao Cin Liong yang sudah kukenal baik. Nah, mari antar aku melihat dia dan isterinya yang kabarnya terluka.”
Bukan main girangnya hati Hong Li dan Sin Hong. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mengantar tamu itu memasuki kamar di mana Kao Cin Liong dan Suma Hui rebah. Sian Li mengikuti dari belakang.
Kakek itu menurunkan keranjang obat dan tongkatnya yang cepat disimpan oleh Sian Li ke sudut ruangan, kemudian dia menghampiri Kao Cin Liong, memeriksa denyut nadinya sebentar, kemudian memeriksa keadaan Suma Hui. Dia mengangguk-angguk.
“Kabarnya yang menyerang orang-orang Bu-tong-pai?” Tanyanya kepada Sin Hong.
“Begitulah menurut pengakuan mendiang Thian Kwan Hwesio yang malam tadi dikejar oleh mereka sampai ke sini. Agaknya hwesio itu hendak minta bantuan Ayah dan Ibu yang sudah menjadi sahabat baik,” kata Sin Hong.
Yok-sian Lo-kai mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
“Pukulan pada punggung Kao-taihiap ini adalah pukulan yang mengandung Hek-coa-tok (Racun Ular Hitam), agaknya tidak mungkin orang Bu-tong-pai, apalagi yang sudah tinggi tingkatnya, menggunakan pukulan keji macam itu. Juga jarum yang memasuki leher Suma Lihiap itu merupakan senjata rahasia yang biasa dipergunakan orang-orang golongan hitam. Sebaiknya kucoba mengeluarkan jarum-jarum itu lebih dulu, karena kalau dibiarkan terlalu lama, akan berbahaya. Tan Taihiap, engkau memiliki kekuatan sin-kang yang besar, marilah kaubantu aku. Kau tempelkan telapak tanganmu ke luka di luka di tengkuk dan menggunakan sin-kang untuk menyedot, aku akan menggunakan totokan dan urutan untuk mendorong keluar jarum-jarum itu. Jangan terlampau kuat agar tidak merusak jalan darah. Kalau telapak tanganmu sudah merasakan gagang jarum tersembul, hentikan.”
Lalu dia menoleh kepada Hong Li dan berkata,
“Lihiap, harap kaurebus sebutir telur, kalau sudah matang, bawa ke sini putihnya saja.”
Hong Li meninggalkan kamar itu untuk pergi ke dapur sedangkan Sin Hong lalu duduk bersila di atas pembaringan, lalu menempelkan tangan kanan ke tengkuk yang terluka jarum, mengerahkan sin-kang menyedot. Kakek itu sendiri duduk di tepi pembaringan jari tangan menotok di sekitar pundak dan tengkuk, lalu mengurut tengkuk itu sambil mengerahkan sin-kang pula. Sian Li yang duduk di atas kursi, diam saja dan memandang penuh perhatian.
Tak lama kemudian, Sin Hong merasakan dua batang jarum tersembul menyentuh telapak tangannya. Dia memberi tanda dan Yok-sian Lo-kai menghentikan urutan jari tangannya.
Setelah Sin Hong melepaskan tangannya, nampak gagang dua batang jarum tersembul dan kakek itu lalu mencabutnya. Bekas luka itu nampak hijau kehitaman dan pada saat itu, Kao Hong Li sudah datang membawa putih telur yang sudah dimasak. Yok-sian Lo-kai lalu mencampuri putih telur itu dengan obat bubuk, memupukkan campuran ini di atas dua lubang kecil bekas jarum, lalu membalutnya.
“Dalam waktu satu jam, obat itu boleh diambil dan semua racun sudah akan dihisap keluar,” katanya dan kini dia mulai mengobati Kao Cin Liong yang masih pingsan. Luka senjata tajam pada punggung Suma Hui tidak berbahaya dan sudah diobati oleh Sin Hong dengan obat luka.
Akan tetapi, pukulan tangan yang mengandung racun Hek-coa-tok memang berbahaya sekali. Yok-sian Lo-kai yang memiliki ilmu pengobatan dengan totokan dan tusuk jarum, lalu mulai bekerja. Dia menotok banyak jalan darah di seluruh tubuh Kao Cin Liong, terutama di seputar tempat luka di punggung. Kemudian, dia mempergunakan tiga batang jarum emas untuk menusuk bagian-bagian tertentu, menggetarkan jarum-jarum itu dengan tenaga sin-kang melalui jari-jari tangannya.
Kurang lebih dua jam kakek ini melakukan pengobatan dan akhirnya, Kao Cin Liong muntah-muntah dan keluarlah darah menghitam dari mulutnya. Tentu saja melihat lni, Sin Hong dan Hong Li terkejut dan memandang dengan hati khawatir. Akan tetapi, Yok-sian tersenyum nampak lega dan pada saat itu terdengar suara rintihan lirih dari pembaringan di mana Suma Hui berbaring. Mendengar suara ibunya, Hong Li cepat menghampiri dan ternyata ibunya baru saja siuman. Melihat ibunya bergerak hendak duduk, Hong Li membantu ibunya bangkit duduk.
“Ibu, bagaimana rasanya badanmu?” Hong Li bertanya, hatinya gembira karena wajah ibunya nampak kemerahan.
Suma Hui agaknya baru teringat akan semua keadaan.
“Mana ayahmu?” Ketika ia menengok ke arah kiri, dan mendengar suaminya muntah-muntah, ia hendak meloncat turun dan tentu akan terjatuh kalau saja tidak ditahan oleh puterinya.
“Perlahan, Ibu. Ayah juga terluka dan baru saja ditolong oleh Locianpwe itu.”
Suma Hui kembali duduk dan kini ia memandang ke arah kakek yang mengurut tengkuk den punggung suaminya yang masih muntah-muntah, akan tetapi tidak sehebat tadi.
“Dia.... Dia.... Yok-sian Lo-kai?” Suma Hui mengenalnya. Pengemis tua ahli pengobatan itu sudah selesai menolong Kao Cin Liong dan dia pun kini menghadapi Suma Hui sambil tersenyum.
“Suma Lihiap, engkau masih mengenal aku? Bagus! Sudah ditakdirkan Tuhan bahwa kebetulan saja aku sedang hendak berkunjung ke sini ketika aku melihat engkau dan suamimu terluka.”
“Ah, terima kasih Lo-kai. Bagaimana suamiku?”
“Aku juga sudah sembuh. Sungguh besar budi Lo-kai kepada kita!” kata Kao Cin Liong yang kini juga sudah bangkit duduk.
Yok-sian Lo-kai tertawa gembira.
“Ha-ha-ha, kalian ini suami isteri pendekar sungguh lucu. Apa itu budi dan dendam? Menjadi biang penyakit saja. Kao Taihiap, sejak engkau menjadi panglima dahulu, entah sudah berapa puluh atau ratus ribu keluarga yang selamat karena sepak terjangmu. Apa artinya pengobatan yang kuberikan sekarang ini? Pula, kalau bukan Tuhan menghendaki kalian suami isteri budiman agar masih hidup, bagaimana mungkin aku dapat kebetulan berada di sini?”
Kao Cin Liong menghela napas panjang dan dia memandang kepada puterinya dan mantunya. “Ketahuilah, dahulu, ketika aku memimpin pasukan ke barat, pernah aku menderita luka beracun yang nyaris membunuhku. Untung aku bertemu dengan Yok-sian Lo-kai ini dan dialah pula yang menyembuhkan aku.”
“Ha-ha-ha, urusan sekecil itu masih teringat oleh Kao Tahiap sedangkan cara Taihiap menyelamatkan puluhan ribu orang di dusun-dusun yang dilanda gerombolan pemberontak sama sekali dilupakannyal”
“Kong-kong....! Bo-bo....!” Sian Li datang menghampiri kakek dan neneknya. Mereka bergantian merangkul cucu mereka itu. “Kelak aku yang akan membasmi para penjahat yang telah melukai Kong-kong dan Bo-bo!” kata Sian Li penuh semangat.
“Siancai....! Kalian mempunyai seorang cucu yang sehat!” Yok-sian Lo-kai memuji.
“Sian Li, anak yang baik, kalau saja engkau mempelajari ilmu pengobatan seperti itu, tentu engkau akan mudah saja tadi menyembuhkan kakek dan nenekmu. Apakah engkau tidak ingin belajar ilmu pengobatan?”
“Aku suka sekali! Kakek yang baik, kau ajarkanlah aku ilmu mengobati seperti itu!”
“Siancai....! Tentu saja aku suka sekali dan engkau memang berbakat. Akan tetapi, tentu saja keputusannya tergantung kepada ayah ibumu, Sian Li.”
Kao Cin Liong mengangguk-angguk dan berkata kepada puterinya,
“Hong Li, kalau anakmu bisa dididik Yok-sian Lo-kai, bukan saja ilmu pengobatan yang akan diwarisinya, akan tetapi juga ilmu totok Im-yang Sin-ci yang tidak ada duanya di seluruh dunia ini!”
Hong Li memandang kepada suaminya. Ia dan suaminya adalah sepasang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagaimana mungkin mereka menyerahkan anak tunggal mereka kepada orang lain untuk di jadikan murid? agaknya Sin Hong dapat mengerti akan isi hatinya, maka Sin Hong cepat memberi hormat kepada kakek itu.
“Locianpwe, kami sebagai orang tua Sian Li menghaturkan banyak terima kasih atas kemurahan hati Locianpwe yang hendak mendidik anak kami. Akan, tetapi karena ia masih amat kecil, biarlah kami akan mendidik dan memberi pelajaran dasar kepadanya lebih dulu. Kelak kalau sudah tiba waktunya, tentu kami akan membawanya menghadap Locianpwe untuk menerima pendidikan Locianpwe.”
Kakek itu tersenyum.
“Ah, bagus sekali kalau begitu, Taihiap. Memang seorang tua bangka yang hidup sebatang kara seperti aku ini, bagaimana mungkin mendidik seorang anak kecil? Biarlah, kelak kalau usiaku masih panjang, setelah Sian Li menjadi seorang gadis dewasa, aku akan mewariskan kepandaianku kepadanya.”
Keluarga yang kini merasa gembira karena kesembuhan Kao Cin Liong dan Suma Hui, menjamu tamu kehormatan itu dengan makan minum dan mereka mempergunakan kesempatan ini untuk bercakap-cakap.
“Engkau adalah seorang yang banyak melakukan perantauan, Lo-kai, tentu dapat menjelaskan apa artinya semua peristiwa yang menimpa kami ini,” kata Kao Cin Liong yang sudah mengenal baik dewa obat itu.
Yok-sian Lo-kai menghela napas panjang.
“Seperti cerita kalian tadi, ketua kuil yang murid Siauw-lim-pai itu diserang dan dikejar-kejar beberapa orang tosu Bu-tong-pai dan dia lari ke sini sampai akhirnya tewas pula di sini. Bahkan kalian yang hendak melerai dan melindungi hwesio itu hampir menjadi korban. Memang aneh sekali. Kalian menderita pukulan beracun, padahal setahuku, Bu-tong-pai pantang mempergunakan ilmu pukulan yang keji, yang hanya pantas dimiliki para tokoh sesat. Bagaimanapun juga, permusuhan antara Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai memang semakin meruncing, seperti juga permusuhan antara empat perkumpulan besar, yaitu Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Aku sendiri merasa heran, bagaimana orang-orang yang mengaku pendekar dan bahkan para pemimpinnya terdiri dari pendeta-pendeta, kini bermusuhan, saling serang dan saling bunuh seperti binatang buas, penuh dendam kebencian. Hayaaaa, agaknya memang sudah jamannya begini. Jaman penjajahan yang mendatangkan segala macam bentuk kekeruhan.”
“Akan tetapi, Lo-kai, apakah kita harus tinggal diam saja? Kalau didiamkan bukankah permusuhan itu semakin berlarut-larut dan hal ini amat melemahkan dunia persilatan terutama golongan putih atau kaum pendekar?” kata Sin Hong sambil mengerutkan alisnya.
“Bukan itu saja, bahkan golongan lain yang tidak ikut bermusuhan, dapat terlibat seperti halnya kami sekarang ini,” kata Hong Li. “Kalau menurutkan hati panas, salahkah kalau kita mendatangi Bu-tong-pai dan menuntut balas atas apa yang mereka lakukan terhadap ayah dan ibuku yang sama sekali tidak bersalah terhadap mereka?”
“Dalam urusan ini, hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin,” kata pula Sin Hong. “Kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa Bu-tong-pai telah mencelakai orang tua kita. Maka, aku telah mengirim surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai dan kita lihat saja bagaimana nanti jawaban dari sana.”
“Siancai.... Ji-wi (Kalian berdua) adalah suami isteri pendekar yang tentu tidak kekurangan kebijaksanaan dan tidak akan bertindak sembarangan. Memang, di dalam jaman penjajahan ini, banyak terjadi bentrokan karena salah paham. Ada sebagian pendekar yang mendukung pemerintah karena menganggap pemerintah dapat bersikap baik terhadap rakyat jelata, ada sebaliknya yang membenci penjajah karena mereka itu orang asing. Aihhh, urusan negara adalah urusan yang ruwet, bagaimana aku dapat mencampurinya? Biarlah aku sekarang pergi dan kelak, kalau waktunya tiba, aku akan datang menagih janji untuk mewariskan kepandaian yang ada padaku kepada Sian Li.“
Yok-sian Lo-kai pergi meninggalkan rumah keluarga Kao tanpa dapat ditahan lagi.
Karena Kao Cin Liong dan Suma Hui masih lemah biarpun sudah sembuh, maka Sin Hong dan Hong Li yang mewakili mereka melayat ke kuil untuk menghadiri upacara pembakaran atau perabuan jenazah Thian Kwan Hwesio.
***
Suma Ceng Liong adalah seorang pendekar sakti yang hidup bersama isterinya di dusun Hong-cun, di luar kota Cin-an Propinsi Shan-tung, di lembah Huang-ho yang subur dan indah. Pendekar ini merupakan cucu Pendekar Sakti yang paling lihai, putera dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil. Memang Suma Ceng Liong selain lihai juga amat gagah perkasa. Usianya sudah empat puluh enam tahun namun dia masih nampak gagah, tinggi besar dengan dagu lonjong dan wajahnya selalu cerah gembira. Pendekar ini bukan saja mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Istana Pulau Es, akan tetapi juga dia pernah digembleng oleh Hek I Mo-ong, seorang datuk sesat yang amat lihai. Juga disamping ilmu silat, dia pernah mempelajari ilmu sihir karena ibunya, Teng Siang In almarhum, adalah seorang ahli sihir yang ampuh. Oleh karena itu, maka pada waktu itu, boleh dianggap bahwa di antara keturunan keluarga Istana Pulau Es, pendekar Suma Ceng Liong ini merupakan cucu yang paling lihai di antara tiga orang cucu dalam mendiang Pendekar Super Sakti, yaitu Suma Ciang Bun, Suma Hui, dan Suma Ceng Liong.
Pendekar Suma Ceng Liong ini menikah dengan seorang wanita yang sakti pula, bahkan dalam hal ilmu kepandaian silat tingkatnya seimbang dengan tingkat kepandaian suaminya. Wanita ini bernama Kam Bi Eng, puteri dari Pendekar Sakti Kam Hong, pewaris dari ilmu-ilmu hebat dari Pendekar Suling Emas!
Suami isteri ini semenjak menikah hidup berbahagia, saling mencinta, saling menghormat dan saling setia. Mereka hanya mempunyai seorang keturunan, yaitu seorang anak perempuan yang bernama Suma Lian. Puterinya itu juga seorang pendekar yang lihai dan kini sudah menikah dengan seorang pendekar murid Suma Ciang Bun, bernama Gu Hong Beng yang kini tinggal di daerah Heng-san, sebelah selatan Po-teng.
Demikiandah sedikit riwayat pendekar sakti Suma Ceng Liong. Kini setelah puterinya yang menjadi anak tunggal itu menikah enam tahun yang lalu, Suma Ceng Liong hidup berdua saja dengan isterinya dan kadang merasa kesepian. Untuk melewatkan waktu menganggur, mereka membuka toko obat di dusun Hong-cun itu. Mereka tadinya bertahan tidak mau menerima murid karena mereka merasa sayang kalau ilmu kepandaian yang mereka peroleh dari keluarga itu, yang merupakan ilmu silat keturunan, baik dari Suma Ceng Liong maupun dari isterinya, Kam Bi Eng. Akan tetapi, setahun yang lalu, ketika di rumah keluarga Liem di dusun mereka terjadi kebakaran hebat yang menewaskan seluruh isi rumah, kecuali seorang anak laki-laki mereka yang selamat karena kebetulan berada di luar rumah, suami isteri pendekar itu merasa kasihan sekali kepada Liem Sian Lun, anak itu. Melihat betapa anak laki-laki berusia tujuh tahun itu demikian tabahnya menghadapi malapetaka yang menimpa keluarganya sehingga dia menjadi yatim piatu dan sama sekali tidak mempunyai anggauta keluarga lagi, melihat anak itu hanya berlutut di depan makam ayah ibunya seperti patung, tidak menangis, tergerak hati mereka. Suami isteri ini lalu mengajak Sian Lun pulang. Mula-mula mereka hanya ingin menolong saja, menjadikan Sian Lun sebagai pembantu rumah tangga dan pembantu toko rempa-rempa mereka. Akan tetapi, melihat betapa anak itu amat pendiam, penurut dan berwatak baik sekali, juga setelah mendapat kenyataan bahwa anak itu berbakat dan bertulang baik, keduanya sepakat untuk mengambil Sian Lun sebagai murid, bahkan dianggap sebagai anak karena setelah Suma Lian pergi mengikuti suami, mereka berdua seringkali merasa kesepian. Dan biarpun tahu bahwa dia disayang, digembleng ilmu silat bahkan dianggap sebagai anak angkat, Sian Lun tetap bersikap rendah hati, rajin bekerja sehingga suami isteri pendekar itu menjadi semakin sayang kepadanya.
Karena sikapnya yang rendah hati ini, walaupun para pegawai toko obat dan rempa-rempa itu tahu belaka bahwa Sian Lun diperlakukan seperti anak angkat oleh majikan mereka, namun tak seorang pun merasa iri. Sian Lun membantu pekerjaan di toko, di rumah, tidak malas dan tidak segan untuk melakukan pekerjaan dan mengepel, bahkan membantu pekerjaan pelayan di dapur. Pendeknya, di mana ada kesibukan, di situ tentu ada Sian Lun maka dia pun disayang oleh seisi rumah. Diam-diam pendekar Suma Ceng Liong dan isterinya merasa sayang sekali kepada murid ini dan menaruh harapan besar kepada diri anak itu bahwa kelak akan dapat mewarisi kepandaian mereka dan menjunjung tinggi nama mereka sebagai seorang pendekar budiman. Sejak berusia tujuh tahun saja sudah nampak bahwa Sian Lun selain berotak terang, mudah menghafal pelajaran baik sastra maupun silat, bertubuh tinggi tegap, pendiam dan tabah sekali, wajahnya cerah.
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar