Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 14

Kisah Si Bangau Merah Jilid 14

14

Tiba-tiba Sian Li yang berada di pondongan kakeknya, berkata,
“Kong-kong dan Bo-bo (Nenek), Suheng Yo Han nakal dia pergi bersama seorang bibi iblis!”
Kakek dan nenek itu terbelalak memandang kepada Sin Hong dan Hong Li. Suami isteri ini memang selalu membujuk Sian Li untuk melupakan Yo Han yang mereka katakan nakal karena Yo Han minggat dan ikut dengan seorang wanita iblis yang jahat. Hal ini mereka tekankan agar Sian Li dapat melupakan Yo Han dan tidak selalu menagisinya.
“Apa yang terjadi dengan dia?” tanya Kao Cin Liong. Dia dan isterinya juga merasa sayang kepada Yo Han, murid mantu mereka itu.
“Ayah dan Ibu, biarlah nanti kami ceritakan tentang dia,” kata Hong Li. “Kami masih lelah, karena baru saja kami datang dari kota raja di mana kami tinggal selama seminggu dan setiap hari kami mengajak, Sian Li pesiar.”
Mereka semua lalu masuk dan Sin Hong bersama isterinya mendapatkan kamar yang dahulu menjadi kamar Hong Li. Adapun Sian Li tentu saja ditahan oleh neneknya dan diajak tidur di kamar neneknya.
Setelah beristirahat dan makan malam dan setelah Sian Li tidur pulas di kamar neneknya, barulah Tan Sin Hong dan Kao Hong Li bercakap-cakap dengan kakek dan nenek itu, menceritakan tentang Yo Han. Mereka menceritakan semua keanehan yang terdapat pada diri Yo Han, tentang sikapnya yang sama sekali tidak mau berlatih ilmu silat. Kemudian tentang munculnya Ang I Moli, Tee Kui Cu yang mula-mula menculik Sian Li, kemudian betapa Yo Han dapat menemukan wanita iblis itu dan menukar Sian Li dengan dirinya sendiri!
“Demikianlah, Ayah dan Ibu. Yo Han pergi bersama iblis betina itu dan menjadi muridnya. Kami tidak dapat mencegahnya karena dia memang sudah berjanji untuk menukar Sian Li dengan dirinya sendiri.”
“Ah, tapi mengapa begitu?” nenek Suma Hui mencela puterinya. “Apa artinya janji kepada iblis betina seperti itu? Ia telah berani menculik Sian Li dan kalian membiarkan saja ia pergi membawa Yo Han sebagai muridnya? Iblis betina itu pantas dibasmi!”
“Tidak boleh kita berpendirian begitu,” kata Kao Cin Liong dengan suara tenang. “Sudah jelas bahwa Yo Han bukan anak biasa seperti yang diceritakan Sin Hong tadi. Dia tidak suka akan kekerasan, namun memiliki ketabahan yang luar biasa. Dan kalau dia sudah berjanji kepada Ang I Moli agar iblis betina itu membebaskan Sian Li dan sebagai tukarnya dia mau ikut dengan iblis betina itu, tentu saja Sin Hong dan Hong Li tidak dapat memaksa dan melanggar janji yang telah dikeluarkan Yo Han.”
“Apa yang dikatakan ayah itu memang benar, Ibu,” kata Kao Hong Li. “Akupun tadinya tidak mau mengalah begitu saja dan aku sudah memaksa iblis betina itu untuk melayaniku bertanding. Ia memang lihai, akan tetapi kalau ia tidak melarikan diri, tentu aku akan dapat membunuhnya. Betapapun juga, kami tidak mungkin dapat membunuhnya setelah ia mengembalikan Sian Li dan memperlakukan anakku dengan baik, dan kalau Yo Han ikut dengannya, hal itu adalah karena keinginan Yo Han sendiri. Kiranya anak yang luar biasa itu sudah tahu bahwa kami ingin menjauhkan Sian Li darinya, dan agaknya Yo Han memang sengaja ikut iblis itu agar dia dapat menjauhkan diri dari kami tanpa harus melarikan diri, atau tanpa kami harus menitipkannya kepada pendeta kuil seperti yang tadinya kami rencanakan. Dia sudah tahu semuanya, Ibu.”
Kao Cin Liong dan Suma Hui saling pandang, diam-diam merasa aneh dan kagum kepada anak itu. “Jadi, dia sengaja mengorbankan diri, sengaja meninggalkan keluargamu karena tahu bahwa kalian ingin memisahkan Sian Li darinya?”
Hong Li mengangguk dan menunduk.
“Sungguh kami merasa kehilangan dia, Ibu. Kami sayang kepada Yo Han, juga Sian Li amat menyayangnya, sehingga ia rewel terus dan terpaksa kami mengajaknya pesiar ke kota raja lalu ke sini. Akan tetapi, kami harus mementingkan masa depan Sian Li. Ia pasti akan terbawa oleh sikap Yo Han kalau terus dekat dengan dia.”
Sin Hong menarik napas panjang.
“Benar sekali, Ayah dan Ibu. Kami amat sayang kepada Yo Han, seperti kepada anak sendiri. Akan tetapi, dia amat aneh dan kami tidak ingin melihat Sian Li menjadi seperti dia.”
“Tapi.... bagaimana dengan nasib Yo Han? Apakah tidak berbahaya sekali dia terjatuh ke tangan seorang iblis betina? Jangan-jangan keselamatan nyawanya terancam....” Suma Hui menyatakan kekhawatirannya.
“Aku juga khawatir sekali, Ibu. Akan tetapi ayah Sian Li mengatakan tidak perlu khawatir,” kata Hong Li sambil memandang suaminya.
Kini mereka bertiga semua memandang kepada Sin Hong dan mengharapkan penjelasan yang meyakinkan, karena mereka semua mengkhawatirkan keselamatan Yo Han.
“Sesungguhnya pendapat atau jalan pikiran saya ini saya dapatkan dari Yo Han, betapapun janggalnya, saya harus mengakui bahwa dialah yang memberi teladan atau tanpa disengaja memberi pelajaran kepada saya. Yaitu bahwa nyawa setiap orang berada di tangan Tuhan. Dia amat yakin akan hal ini, maka dia tidak pernah takut menghadapi apapun bahkan ancaman maut sekalipun. Saya merasa yakin bahwa ada sesuatu yang mujijat pada diri anak itu. Seolah-olah ada suatu kekuatan gaib yang melindunginya. Seperti ketika dia diserang ular berbisa itu. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, seperti seorang ahli silat yang pandai, tangannya bergerak menangkap ular itu. Akan tetapi dia tidak membunuhnya, melainkan bicara kepada ular itu, melepaskannya lagi dan ular itu menjadi jinak! Seolah-olah dia menguasai pula ilmu menundukkan ular.”
“Aneh!” kata Suma Hui. “Padahal, biarpun aku sendiri pernah mempelajari ilmu menundukkan ular akan tetapi tidak begitu menguasainya, dan aku tidak pernah mengajarkannya kepadamu, Hong Li.”
“Itulah keanehannya, Ibu,” kata Hong Li. “Lebih aneh lagi, ketika kami semua mencari penculik Sian Li. Kami berdua yang memiliki kepandaian saja gagal menemukan penculik, akan tetapi kenapa Yo Han dapat menemukannya, bahkan lebih hebat lagi, dapat membujuk Ang I Moli untuk membebaskan Sian Li?”
Kakek dan nenek itu menjadi semakin heran dan kagum. Bagaimanapun juga, mereka menyayangkan bahwa Yo Han sampai ikut seorang tokoh sesat seperti Ang I Moli.
“Kalau saja kalian membawa dia ke sini, kami akan suka mendidiknya.” kata Suma Hui dan suaminya juga mengangguk setuju. Akan tetapi semua sudah terlanjur dan Yo Han sudah pergi bersama Ang I Moli entah ke mana.
Malam itu, karena lelah oleh perjalanan yang jauh, Sin Hong dan Hong Li tidur pulas di dalam kamar mereka. Sian Li tidur bersama neneknya di kamar neneknya, sedangkan kakek Kao Cin Liong yang merasa gembira dengan kunjungan puterinya, mantunya dan cucunya, juga sudah tidur dengan mulut tersenyum.
Kakek dan nenek itu memang merasa amat berbahagia. Betapa tidak? Mereka hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Kao Hong Li. Ketika puteri mereka itu menikah dengan Thio Hui Kong kemudian bercerai, mereka merasa prihatin dan berduka sekali.
Anak mereka satu-satunya, seorang wanita lagi, dalam usia demikian muda telah menjadi seorang janda tanpa anak! Mereka sudah merasa putus harapan karena pada masa itu, derajat seorang janda yang bercerai hidup, apalagi tanpa anak, amatlah dipandang hina dan rendah. Sungguh di luar dugaan mereka, kemudian Kao Hong Li berjodoh dengan Tan Sin Hong yang berilmu tinggi, bahkan mereka hidup berbahagia dan mempunyai seorang anak yang menjadi cucu mereka yang mungil!
Menjelang tengah malam, ketika seluruh isi rumah itu tidur pulas dan juga keadaan sekeliling rumah itu sunyi karena tidak ada lagi orang berada di luar rumah dalam cuaca yang amat dingin itu, terdengarlah seruan di atas genteng kamar kakek Kao Cin Liong.
“Taihiap (Pendekar Besar) Kao Cin Liong, tolonglah pinceng (saya)!” terdengar teriakan di atas genteng kamar itu, lalu terdengar suara gedobrakan di atas genteng itu.
Kao Cin Liong yang sedang duduk bersamadhi, mendengar seruan ini dengan jelas. Bahkan dia mengenal suara itu sebagai suara seorang sahabatnya, yaitu Thian Kwan Hwesio ketua kuil di sudut kota Pao-teng, seorang murid Siauw-limpai yang termasuk tokoh karena tingkat kepandaian silatnya sudah cukup tinggi. Mendengar suara itu, tubuh Kao Cin Liong meloncat dari atas pembaringan, membuka jendela dan dalam beberapa detik saja dia sudah meloncat naik ke atas genteng di mana dia melihat seorang hwesio sedang didesak dan dihajar dengan pukulan-pukulan oleh dua orang berpakaian jubah pendeta tosu (pendeta To) yang lihai sekali. Karena malam itu bulan hanya muncul secuwil, maka cuaca remang-remang dan dia tidak dapat melihat jelas wajah tiga orang itu. Akan tetapi dia dapat mengenal Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah payah, terhuyung-huyung di atas genteng.
“Tahan....!” seru Kao Cin Liong dan sekali meloncat dia sudah mendekati Thian Kwan Hwesio yang terhuyung, menyambar lengannya.
Hwesio yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun itu nampak lemah sekali dan dia bersandar kepada rangkulan lengan Kao Cin Liong.
“Thian Kwan Suhu, ada apakah? Siapakah mereka ini?”
“Mereka.... mereka.... orang-orang Bu-tong-pai.... uhhh-uhhh!” hwesio itu terengah-engah. “Kami sudah mengalah.... akan tetapi.... seperti pernah kuceritakan.... Bu-tong-pai selalu mendesak dan menyerang kami....” Tubuh hwesio itu terkulai dan dengan lirih dia masih menyebut “omitohud....!” dan dia pun lemas dan tewas dalam rangkulan kakek Kao Cin Liong.
Kao Cin Liong beberapa hari yang lalu pernah bercakap-cakap dengan ketua kuil itu dan mendengar bahwa kini Bu-tong-pai selalu memusuhi Siauw-lim-pai. Di mana-mana para murid Bu-tong-pai menyerang para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah bentrokan-bentrokan berdarah. Menurut keterangan Thian Kwan Hwesio. Bu-tong-pai menuduh seorang tokoh Siauw-lim-pai, yaitu Loan Hu Hwesio telah membunuh Phoa Cin Su, tokoh Bu-tong-pai di puncak Bukit Naga. Padahal menurut keterangan kepala kuil itu, justeru Loan Hu Hwesio dibunuh oleh seorang tokoh Kun-lun-pai, juga di puncak Bukit Naga!
Dua orang tosu Bu-tong-pai itu maju mendekati Kao Cin Liong yang masih merangkul Thian Kwan Hwesio.
“Ini tentu murid Siauw-lim-pai juga, Sute. Kita bunuh dia!” Dan mereka berdua maju menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Kakek Kao Cin Liong terkejut dan berseru,
“Heiii, tahan dulu!” teriaknya sambil mencoba untuk mengelak. Akan tetapi karena dia sedang merangkul Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah menjadi mayat, tentu saja gerakannya menjadi lambat. Dia terpaksa melepaskan tubuh hwesio itu dan mengangkat kedua lengannya untuk menangkis.
“Desss....!” Kakek itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa kedua orang tosu itu memiliki tenaga yang amat kuat. Kalau saja mereka tidak maju bersama, tentu dia dapat mengatasi tenaga seorang di antara mereka. Akan tetapi mereka maju berbareng dan agaknya mereka telah menggabungkan diri dan mengerahkan tenaga. Sedangkan dia sendiri karena belum tahu benar akan keadaan dan tidak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai yang banyak dikenal para pemimpinnya, dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Akibatnya, kakinya menginjak pecah genteng di bawahnya dan kedua tangannya melekat kepada tangan dua orang tosu itu!
Kao Cin Liong adalah putera Kao Kok Cu, Naga Sakti Gurun Pasir. Biarpun usianya telah lanjut, sudah enam puluh tiga tahun, namun dia telah mewarisi ilmu yang hebat dari Gurun Pasir. Karena maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai, dan kedua tangannya sudah melekat pada tangan lawan dan kedua kakinya hampir tertekuk, dia lalu mengerahkan tenaga Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Bumi). Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Istana Gurun Pasir.
“Aaarghhhh....!” Kakek itu mengeluarkan suara yang menyayat hati dan dua orang tosu itu pun terjengkang! Akan tetapi pada saat ketika kakek yang sudah tua itu menghentikan pengerahan Sinliong-hok-te, dari belakangnya ada dua orang tosu lain yang menghantamkan telapak tangan mereka ke punggungnya.
“Plakkk! Dukkk!”
Dua orang pemukul itu terjengkang dan menjadi terkejut bukan main karena mereka merasa betapa tangan mereka yang menampar itu menjadi nyeri. Akan tetapi kakek Kao Cin Liong sendiri terpelanting dan mengeluh karena dua tamparan pada punggungnya selagi dia menyimpan kembali tenaga Sin-liong-hok-te tadi sedemikian hebatnya sehingga dia merasa seolah-olah seluruh isi dada dan perutnya dilanda badai hebat!
“Aiihhh....!” Teriakan ini terdengar dari bawah, disusul teriakan seorang anak kecil.
“Kong-kong....!”
Suma Hui tadi keluar bersama cucunya karena terkejut mendengar teriakan suaminya. Ia menjerit karena sempat melihat suaminya roboh terpukul dari belakang. Tubuhnya cepat meluncur ke atas seperti seekor burung terbang saja. Seorang di antara empat tosu itu, yang tubuhnya kurus jangkung, menyambut Suma Hui dengan serangan kilat, dan kini dia mempergunakan sebatang pedang. Tubuh wanita itu masih melayang di udara ketika pedang itu menyambutnya dengan tusukan maut ke arah dada. Namun, Suma Hui adalah seorang wanita yang lihai sekali. Ia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, maka serangan yang bagaimana dahsyat pun, kalau dilakukan berterang, tentu akan dapat diatasinya.
“Haiiittt....!” Suaranya melengking dan tubuhnya berjungkir balik beberapa kali dan berhasil menghindarkan dari dari tusukan! Gerakan ini sungguh lincah bukan main, membuat penyerangnya terkejut. Akan tetapi Suma Hui juga kaget karena serangan tadi nyaris mengenai tubuhnya, membuktikan bahwa penyerangnya adalah seorang yang lihai.
Begitu kakinya menyentuh genteng, ia membalik dan mengelak ketika pedang yang tadi sudah menyambar pula. Kiranya tosu tinggi kurus itu sudah menghujankan serangan pedang kepadanya. Suma Hui mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, lalu membalas pula dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga Swat-im Sin-kang yang dingin. Karena maklum bahwa suaminya telah terluka dan lawan ini amat lihai, maka ia telah mengerahkan ilmu yang khas dari keluarga Istana Pulau Es itu.
Lawannya terkejut ketika merasa ada hawa yang amat dingin menyambar dari kedua tangan lawannya, maka dia bertindak hati-hati dan memutar pedang menjaga jarak, melindungi diri dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung. Ketika tiga orang tosu yang lain hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat dari bawah, melayang ke atas genteng itu seperti dua ekor burung garuda. Mereka ini bukan lain adalah Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.
Melihat ini, dua orang tosu yang tadi memukul Kao Cin Liong secara curang dari belakang, menyambut mereka dengan pedang di tangan. Dan mereka terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa dua orang pria dan wanita muda yang baru datang ini juga amat lihai, terutama sekali yang pria. Begitu Sin Hong mengelak dan tangannya mendorong hawa pukulan tangannya membuat lawannya terhuyung ke belakang!
Seorang tosu lain cepat membantu kawannya, dan baru setelah dua orang tosu yang berpedang menghadapi Sin Hong, mereka mampu saling menjaga dan terjadi perkelahian yang agak seimbang.
“Ayah....!” Kao Hong Li yang melihat ayahnya menggeletak di atas genteng, terkejut sekali dan cepat menghampiri ayahnya.
Dengan napas empas-empis Kao Cin Liong berkata,
“Hong Li.... cepat.... kau bantu.... ibumu....”
Hong Li menoleh dan melihat betapa ibunya memang nampak sibuk menghadapi permainan pedang seorang tosu. Suaminya, biarpun dikeroyok dua, tidak nampak terdesak. Ia pun cepat meloncat dan membantu ibunya. Kini, tosu berpedang itu menjadi repot sekali ketika berhadapan dengan ibu dan anak itu.
Walaupun mereka berdua tidak sempat membawa senjata, namun mereka seperti dua ekor singa betina yang marah dan tosu itu terdesak hebat, hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari terkaman dua ekor singa betina itu! Bahkan dia sempat berteriak.
“Sute, bantu....!” Teriaknya ditujukan kepada tosu ke empat, karena dua orang tosu yang lain hanya dapat berimbang saja mengeroyok Sin Hong yang bertangan kosong. Bahkan dua orang tosu ini pun sudah mulai terdesak ketika Sin Hong terpaksa memainkan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun. Ilmu ini adalah ilmu yang amat hebat, ilmu gabungan dari tiga orang sakti, yaitu mendiang kakek Kao Kok Cu dan Tiong Khi Hwesio, bersama nenek Wan Ceng. Juga tenaga sin-kang yang terkandung dalam ilmu ini amat hebatnya. Sin Hong sendiri mendapat pesan dari tiga orang gurunya itu bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak boleh mempergunakan ilmu itu. Sekarang, melihat ayah mertuanya sudah roboh, dan betapa para tosu itu lihai, dia terpaksa mempergunakan ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Dan begitu dia mengeluarkan ilmu ini, baru beberapa jurus saja dua orang pengeroyoknya yang berpedang itu sudah terhuyung dan terdesak.
Tiba-tiba terdengar teriakan suara anak kecil,
“Ibuuu....! Ayaahhh....!” Suara ini disusul suara yang parau dan tegas, penuh ancaman.
“Hentikan perkelahian, atau anak ini akan pinto (aku) bunuh!”
Mendengar teriakan anak itu saja, Sin Hong dan Hong Li Sudah terkejut, demikian pula nenek Suma Hui. Mereka berloncatan ke belakang dan menengok ke bawah. Di sana, di bawah sinar lampu gantung yang remang-remang, nampak seorang tosu memondong Sian Li dan pedang di tangan kanannya menempel di leher anak itu! Seketika lemaslah tubuh tiga orang ini dan mereka tidak mampu bergerak, tidak berani bergerak dan terpaksa membiarkan tiga orang tosu yang tadi sudah mereka desak itu berloncatan dan menghilang ke dalam kegelapan malam.
“Jangan mengejar kami kalau menginginkan anak ini selamat!” kata pula tosu itu. Sin Hong dan isterinya seperti terpukau dan tidak berani bergerak, akan tetapi, Hong Li melihat ibunya yang tadi berada di belakangnya telah tidak berada di situ pula, entah ke mana perginya.
“Uhhh....!” Tubuh kakek Kao Cin Liong menggelundung dan tertahan talang, hampir jatuh ke bawah. Melihat ini, Sin Hong cepat meloncat dan menyambar tubuh ayah mertuanya itu, lalu dipondongnya. Sementara itu, melihat betapa tosu yang menawan puterinya itu meloncat pergi, Kao Hong Li meloncat turun dan berteriak.
“Jangan bawa anakku! Kembalikan!”
“Berhenti, atau kubunuh anakmu!” Tosu itu berseru dan mendengar ini, Hong Li yang sudah tiba di atas tanah itu menjadi pucat dan kedua kakinya menjadi lemas. Tak berani ia mengejar.
Tiba-tiba, dari balik tembok samping rumah itu, Suma Hui meloncat dan menubruk tosu itu dari belakang. Gerakan Suma Hui cepat bukan main, dan tahu-tahu pundak kanan tosu itu telah dihantamnya sehingga terdengar tulang remuk dan pedang di tangan yang menjadi lumpuh itu terlepas dari pegangan. Tosu itu terkejut dan begitu merasa betapa anak di pondongan tangan kiri dirampas oleh penyerangnya, dia membalik dan tangan kirinya berhasil menjambak rambut Suma Hui! Wanita ini cepat melempar tubuh Sian Li ke arah Hong Li.
“Terima anakmu!” teriaknya dan tubuh anak itu melayang ke arah Hong Li yang cepat menangkapnya.
“Ibuuu....!”
“Sian Li, engkau tidak apa-apa, nak?” Hong Li memeriksa anaknya dan mendekapnya, menciuminya dengan hati lega. Akan tetapi, ia terkejut mendengar ibunya menjerit. Ia terbelalak dan pada aaat itu, Sin Hong sudah melayang, turun memandong tubuh ayah mertuanya. Hong Li menurunkan Sian Li karena di situ sudah ada Sin Hong dan ia pun meloncat ke arah ibunya yang terhuyung. Empat orang tosu tadi sudah lenyap.
“Ibu....!”
Hong Li merangkul ibunya yang terhuyung.
“Aku.... berhasil menghajar penculik tadi....tapi yang lain....membokong dengan curang dari belakang.... ahhh.... bagaimana....ayahmu....?” Wanita itu terkulai dan tentu roboh kalau tidak cepat dipondong Hong Li.
“Cepat bawa masuk. Mari Sian Li masuk ke dalam!” kata Sin Hong kepada isterinya.
Dia masih memondong tubuh ayah mertuanya, dan Hong Li memondong tubuh ibunya.
Mereka masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Sian Li. Anak ini tidak menangis walaupun nampak bingung dan masih belum hilang kagetnya.
Tiga orang pembantu dari kakek Kao Cin Liong yang tinggal di bagian belakang rumah menjadi terkejut mendengar ribut-ribut tadi dan mereka sudah berlarian keluar. Tentu saja mereka kaget bukan main melihat kedua majikan mereka dipondong masuk dalam keadaan luka dan pingsan.
“Kalian cepat undang tabib yang pandai di kota ini, kata Sin Hong setelah dia merebahkan tubuh ayah mertuanya ke atas pembaringan. Juga Hong Li merebahkan tubuh ibunya di atas pembaringan yang lain.
Sin Hong lalu keluar lagi, melompat ke atas genteng dan menurunkan tubuh hwesio tua yang telah menjadi mayat. Juga tubuh yang sudah tak bernyawa ini dibaringkan di atas sebuah dipan.
Sin Hong memeriksa luka pukulan di punggung ayah mertuanya. Dia mengerutkan alisnya melihat dua telapak tangan membekas di punggung itu, menghitam. Tahulah dia bahwa ayah mertuanya menderita luka dalam yang amat hebat. Kakek itu masih pingsan, napasnya empas-empis, tinggal satu-satu. Kemudian dia dan isterinya memeriksa luka yang di derita Suma Hui. Keadaan nenek ini tidak lebih baik dari suaminya. Sebuah luka tusukan pedang di lambung, dan di lehernya terdapat luka kecil-kecil yang menghitam, tanda bahwa ada dua buah benda kecil, mungkin senjata rahasia paku atau jarum, memasuki lehernya, dan jelas bahwa senjata rahasia itu beracun!
Melihat keadaan ayah ibunya, Kao Hong Li mencucurkan air mata tanpa bersuara. Ia terlampau gagah untuk menangis keras. Ia menahan gejolak hatinya yang penuh kekhawatiran dan kemarahan. Dengan pandang matanya Sin Hong menghibur dan menenangkan hati isterinya, kemudian dengan lembut dia berkata,
“Lebih baik bawa Sian Li tidur lebih dulu. Biar aku yang berjaga di sini sampai tabib datang.”
Hong Li maklum akan maksud suaminya. Memang tidak baik membiarkan Sian Li di situ. Anak ini nampak kebingungan memandang ke arah kakek dan neneknya yang rebah di atas dua buah pembaringan di dalam kamar itu, dengan napas empas empis dan wajah pucat, kadang terdengar suara seperti rintihan lirih.
“Mari, Sian Li, kita kembali ke kamar untuk tidur.”
Sian Li digandeng ibunya memasuki kamar mereka. Ketika Hong. Li merebahkan puterinya di atas pembaringan, anak itu memandang ibunya dan bertanya,
“Ibu siapa yang melukai Kakek dan Nenek?”
“Mereka orang-orang jahat, Sian Li.”
“Kenapa Ayah dan Ibu tidak menangkap mereka?”
“Mereka itu lihai dan sempat melarikan diri, bahkan hampir menawanmu, anakku.”
“Tapi, Ibu. Tentu Ibu juga tahu siapa mereka?”
Kao Hong Li menggeleng kepalanya.
“Aku tidak mengenal siapa mereka akan tetapi sebelum tewas, Thian Kwan Suhu berseru bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Tentu mereka itu tokoh-tokoh Bu-tong-pai tingkat tinggi.”
“Kalau begitu, Kakek dan Nenekku dilukai orang-orang Bu-tong-pai?”
“Begitulah. Kenapa engkau menanyakan hal itu, Sian Li.”
Kini Sian Li mengepal tinjunya dan bangkit berdiri di atas pembaringannya.
“Kalau begitu, kelak aku akan membasmi Bu-tong-pai!. Mereka orang-orang jahat!”
“Ssttt, sudahlah. Kau tidur dan jangan banyak memikirkan hal itu. Serahkan saja kepada ayah dan ibumu, Sian Li. Engkau masih terlalu kecil untuk memikirkan urusan itu.
Ibunya menghibur dan satelah putarinya tidur, Kao Hong Li menemani suaminya yang menjaga ayah dan ibunya. Tabib yang diundang datang, akan tetapi seperti yang telah dikhawatirkan Sin Hong, tabib itu hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
Luka-luka itu selain parah, juga mengandung racun yang amat berbahaya. Tentu saja Sin Hong dan Hong Li menjadi gelisah sekali ketika tabib itu angkat tangan menyatakan tidak sanggup mengobati luka karena racun itu.
Setelah tabib pergi, Hong Li berkata kepada suaminya.
“Kiraku hanya ada seorang saja yang akan mampu menolong, yaitu Paman Suma Ceng Liong. Kita harus cepat memberi kabar dan mengundangnya ke sini, juga Paman Suma Ciang Bun yang biarpun tidak memiliki kesaktian seperti paman Suma Ceng Liong, namun memiliki pengalaman yang luas.”
Sin Hong setuju dengan usul ini. Karena dia dan isterinya harus menjaga dan merawat ayah dan ibu mertua yang luka berat, mereka tidak dapat pergi sendiri dan segera mengirim utusan yang melakukan perjalanan secepatnya dengan kuda pergi ke kota Cin-an untuk mengundang Suma Ceng Liong dan yang lain pergi Tapa-san untuk mengundang Suma Ciang Bun. Sementara itu Tan Sin Hong, yang menjadi kenalan baik dari Ketua Bu-tong-pai, segera menulis surat protes kepada perkumpulan besar itu tentang terlukanya ayah dan ibu mertuanya oleh serangan orang-orang Bu-tong-pai.
Setelah tiga orang utusan itu berangkat, Sin Hong menjaga ayah dan ibu mertuanya, bersama isterinya. Mereka merasa khawatir sekali dan biarpun Sin Hong dan isterinya sudah berusaha untuk membantu mereka yang terluka itu dengan penyaluran tenaga sin-kang, namun mereka berdua tidak berhasil menyembuhkan, hanya mengurangi rasa nyeri dan memperlambat menjalarnya pengaruh pukulan beracun itu saja.
Melihat keadaan orang tuanya, Kao Hong Li mengerutkan alisnya dan ia berbisik kepada suaminya. Mereka sengaja duduk agak menjauh agar percakapan mereka tidak mengganggu dua orang tua yang sedang menderita sakit itu.
“Para tosu Bu-tong-pai yang keparat!” desis Hong Li sambil mengepal tangannya “Kalau Ayah dan Ibu sudah sembuh, aku pasti akan pergi ke sana untuk meminta pertanggungan jawab mereka. Perbuatan mereka melukai Ayah dan Ibu ini sungguh tidak boleh didiamkan begitu saja!”
Tan Sin Hong mengerutkan alisnya.
“Kita harus bersabar dan tidak boleh menurutkan nafsu amarah saja. Kita sudah mengetahui bahwa memang akhir-akhir ini terdapat pertentangan antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai sehingga seringkali terjadi bentrokan antara murid-murid mereka. Kita belum mengetahui sebabnya dan memang bukan urusan kita. Kalau sekarang Ayah dan Ibu sampai terluka, hal itu terjadi dalam perkelahian karena mereka terlibat dalam perkelahian antara Thian Kwan Hwesio ketua kuil di Pao-teng yang menjadi tokoh Siauw-lim-pai dengan beberapa orang tosu Bu-tong-pai.”
“Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu sahabat Ayah dan sudah lari ke sini minta bantuan Ayah, kenapa, mereka masih terus menyerang dan tidak memandang muka orang tuaku? Ayah dan Ibu tadinya tentu hanya ingin melerai saja, kenapa Ayah dan Ibu malah mereka serang?”
“Karena itu, aku sudah menulis surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai, dan aku yakin beliau akan memperhatikan teguranku itu dan akan menghukum murid mereka yang bersalah.”
Akan tetapi isterinya menggeleng kepala.
“Aku masih penasaran. Bagaimana kalau Ketua Bu-tong-pai membela muridnya dan tidak akan menghukum mereka? Aku harus membalas perbuatan mereka itu. Ingat saja, mereka itu jahat! Mereka merobohkan Ayah dengan cara yang curang sekali, bahkan merobohkan Ibu juga dengan serangan gelap. Mereka itu patutnya gerombolan penjahat, bukan murid-murid sebuah partai persilatan besar seperti Bu-tong-pai! Atau sekarang Butong-pai telah menyeleweng dan murid-muridnya menjadi pengecut-pengecut yang curang!”
Sin Hong mengangguk-angguk.
“Engkau benar. Aku sendiri memang ada perasaan curiga terhadap para tosu Bu-tong-pai itu. Cara mereka mengeroyok hwesio itu saja sudah bukan watak pendekar-pendekar Bu-tong. Kemudian, mereka menyerang Ayah dan Ibu secara menggelap dan lebih lagi, mereka menawan Sian Li sebagai sandera, ini pun bukan watak pendekar. Karena itu, aku lebih dulu mengirim surat kepada Ketua Bu-tong-pai. Kelak, kalau kita sudah selesai di sini, kalau Ayah dan Ibu sudah sehat kembali, tentu aku akan berkunjuhg ke Bu-tong pai untuk membikin terang perkara ini.”
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah memasuki ruangan kamar kakek dan neneknya.
“Ayah, Ibu, bagaimana dengan Kakek dan Nenek?” tanyanya sambil mendekati pembaringan kakeknya, kemudian neneknya.
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar