Tirai ( Curtain, 1975 )
Dimulai di desa Styles, diakhiri di
tempat yang sama. Demikian mungkin yang ada di benak Agatha waktu
menulis novel ini ' Curtain'. Pembunuhan di Styles merupakan novel
perdana Agatha yang memperkenalkan tokoh Hercule Poirot kepada publik.
Pada novel Styles pertama tersebut Poirot yang masih bugar didampingi
teman setianya kapten Arthur Hastings berhasil membongkar pembunuhan di
sebuah losmen di Styles.
Losmen di Styles kembali menjadi latar cerita pada 'curtain' (tirai/
layar) yang dirilis tahun 1975. Sebenarnya Agatha menulis novel ini jauh
jauh hari sebelum tahun rilis. Ini semacam wasiat terakhir agar tokoh
ciptaannya harus mengikuti penciptanya pergi ke peristirahatan terakhir.
Agatha berakhir, Poirot pun tamat. Agatha lelah, Poirot pun sudah
terlalu renta untuk bermain detektif.
Dikisahkan Kapten Hastings menerima surat untuk segera menyusul Poirot
ke Styles, percis ke sebuah losmen yang dulu pernah mereka tinggali.
Semacam de ja vu. Kapten Hastings yang kesepian karena ditinggal
mati istri, bertemu Poirot tua yang duduk di kursi roda. Apa maumu
Poirot? demikian Hastings kira kira bertanya.
' Ini Hastings, akan merupakan perkaraku yang terakhir. dan juga
merupakan perkaraku yang paling menarik - dan karenanya penjahatnya pun
demikian pula... sudah beroperasi dengan kesanggupan yang sedemikian
mengagumkan sampai sampai dia mampu mengalahkan aku...' ( hal 209)
Bahkan seorang Poirot yang demikian angkuh dan tak terkalahkan mengakui kekalahannya.
'Benar benar situasi yang luar biasa, yang abnormal ! .....hingga ia tak pernah dapat dihukum karena kejahatannya itu ... (hal 256).
Hari hari di Styles memang sudah mencekam sejak awal. Apalagi ketika
Hastings harus bertemu putri bungsunya, Judith, yang beranjak dewasa dan
bekerja sebagai asisten laboratorium dr. Franklin. Judith yang
pemberontak dan tidak mau diatur ayahnya. Sementara itu, di antara tamu
tamu losmen, terdapat pembunuh yang membunuh tanpa motif... membunuh
hanya untuk kesenangan, seorang psikopat yang tampak bukan psikopat.
Malah dia sebenarnya adalah teman yang menyenangkan. Dan yang lebih
hebat, si pembunuh tidak perlu membunuh dengan tangannya sendiri. Dengan
kemampuan manipulasi psikologis, ia bisa menggerakkan seseorang untuk
membunuh. Dingin, sadis, licik! dan Poirot yang malang masih saja
dibelenggu penyakit arthritisnya...
Kapten Hastings yang temperamental, nyaris jadi alat pembunuh bagi si pembunuh. Untung saja Poirot masih waspada. Namun korban pertama akhirnya jatuh. Dia adalah istri dr.Franklin. Situasinya benar benar bertambah runyam. Korban yang lainnya menunggu. Mungkin hanya menunggu hitungan hari. Di tengah kebingungan para penghuni losmen, Poirot harus bertindak cepat. Segala upaya dikerahkan untuk mencegah jatuhnya korban. Dan klimaksnya, tak ada pilihan lain selain mengundang sang pembunuh ke kamar pribadinya. Aku tahu kau yang melakukannya! demikian Poirot menggertak.
Sebentar. Coba anda perhatikan. Adegan duel psikologis semacam ini jarang terjadi dalam kasus kasus Poirot sebelumnya. Biasanya yang terjadi adalah dengan bangga Poirot memamerkan hasil analisa sel sel kelabunya - yang tak pernah salah, di hadapan banyak orang dan menjadikan si pembunuh tak berkutik. Ini lain. Poirot mengundang si pembunuh, berdua saja! Dan yang kemudian terjadi adalah... Poirot (yang kali ini menang posisi) memberikan pilihan..... kamu mau mati dengan belati atau minum racun! Sang psikopat menyeringai. Luar biasa tenang orang ini. Dan dia berani melayani tantangan Poirot. Dua duanya harus mati! katanya. Benar benar dua orang dengan kebanggaan dan kehormatan setara. Dua duanya minum racun, dengan porsi yang sama... menjadi akhir yang sama, bagi si pembunuh, bagi Poirot.
Kapten Hastings yang temperamental, nyaris jadi alat pembunuh bagi si pembunuh. Untung saja Poirot masih waspada. Namun korban pertama akhirnya jatuh. Dia adalah istri dr.Franklin. Situasinya benar benar bertambah runyam. Korban yang lainnya menunggu. Mungkin hanya menunggu hitungan hari. Di tengah kebingungan para penghuni losmen, Poirot harus bertindak cepat. Segala upaya dikerahkan untuk mencegah jatuhnya korban. Dan klimaksnya, tak ada pilihan lain selain mengundang sang pembunuh ke kamar pribadinya. Aku tahu kau yang melakukannya! demikian Poirot menggertak.
Sebentar. Coba anda perhatikan. Adegan duel psikologis semacam ini jarang terjadi dalam kasus kasus Poirot sebelumnya. Biasanya yang terjadi adalah dengan bangga Poirot memamerkan hasil analisa sel sel kelabunya - yang tak pernah salah, di hadapan banyak orang dan menjadikan si pembunuh tak berkutik. Ini lain. Poirot mengundang si pembunuh, berdua saja! Dan yang kemudian terjadi adalah... Poirot (yang kali ini menang posisi) memberikan pilihan..... kamu mau mati dengan belati atau minum racun! Sang psikopat menyeringai. Luar biasa tenang orang ini. Dan dia berani melayani tantangan Poirot. Dua duanya harus mati! katanya. Benar benar dua orang dengan kebanggaan dan kehormatan setara. Dua duanya minum racun, dengan porsi yang sama... menjadi akhir yang sama, bagi si pembunuh, bagi Poirot.
Selamat jalan Poirot. "Curtain" (layar)
telah diturunkan. Pertunjukan mu telah selesai. Hari hari indah
bersamamu telah berakhir. Tapi engkau masih hidup di hati jutaan
penggemar mu. Dan masih tetap akan hidup kelak di hati anak cucu
penggemar mu.
Behind The StorySurat Perpisahan Poirot kepada Hastings. |
Mungkin banyak dari anda masih penasaran dengan di mana Poirot berkantor? Trafalgar 8137, London, adalah alamat resmi versi novel. Namun orang film lebih menyukai lokasi Florin Court, London.
Mengenai ceritanya... hmmm. Kisah perpisahan yang sendu. Semua orang menangis, semua orang kehilangan. Ini kisah petualangan 25 tahun yang tak mungkin di lupakan. Tapi... bukan yang terbaik saya pikir.
Begini. Mengenai si pembunuh. Agatha tidak mengenal lawan abadi seperti layaknya Sherlock Holmes VS dr. Moriarty. Namun dalam buku perpisahan ini, Agatha coba membuat metode yang paling muskil, membunuh tanpa membunuh. Gagasan canggih, yang memungkinkan orang membunuh tanpa harus menerima hukuman. Yang membuatnya menjadi sedikit tidak grande adalah, tampilan si pembunuh yang biasa biasa saja. Bukan lawan sangar, gagah, monster atau lawan terakhir yang spektakuler. Padahal monster seperti itu pernah diciptakan dalam Empat Besar (The Big Four, 1927).
Lagian seting ceritanya, hanya sebuah losmen kecil. Lagi lagi tidak grande. Saya membayangkan seting yang lebih monumental seperti Misteri Kereta Api Biru, atau Pembunuhan di Sungai Nil. Yaah, kalau begitu mestinya Poirot ngak lagi pake kursi roda... (mungkin begitu pikir Agatha).
Tapi benarkah lokasinya tidak Grande? ngak masalah bagi orang film. Ini losmen yang mereka pakai, gagah koq...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar