Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 27

Kisah Si Bangau Merah Jilid 27

27

“Coan Ciangkun pernah melamar puteri kami, Bi Kim,” kata ibu gadis itu. Yo Han memandang kepada Bi Kim dan gadis itu menundukkan mukanya yang berubah merah, akan tetapi bibir gadis itu bergerak dan berkata lirih, “Manusia tak tahu malu itu!”
“Tentu saja kami menolak pinangan yang merendahkan kami itu,” kata pula Gan Seng.
“Bayangkan saja, panglima yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu telah mempunyai sedikitnya lima selir, dan dia masih menghendaki anak kami untuk dijadikan selir! Menghina sekali!”
Yo Han mengangguk-angguk. Alasan itu memang cukup kuat. Mungkin saja karena sakit hati lamarannya ditolak, panglima itu lalu melakukan pencurian pusaka untuk mencelakakan keluarga Gan. Akan tetapi, alasan ini pun tidak begitu meyakinkan. Kalau hanya ditolak lamarannya, bagaimana panglima itu sampai melakukan perbuatan yang juga amat berbahaya bagi dirinya sendiri itu? Dan apa manfaat dan keuntungannya bagi dia?
“Maaf, Paman dan Bibi. Apekah tidak ada alasan yang lebih kuat dari itu sehingga Paman dan Bibi mencurigai Coan Ciangkun?”
“Ada.... ada....” kata Gan Seng. “Semenjak dua buah pusaka itu lenyap, beberapa kali sudah dia menghubungi aku dan mengatakan bahwa kalau aku suka menerima lamarannya, dia akan membantu sampai dua buah benda pusaka itu ditemukan kembali. Nah, aku hampir yakin bahwa setidaknya dia tahu siapa yang mencuri benda pusaka itu.”
“Ah, terima kasih, Paman. Sekarang, tolong beritahukan di mana tempat tinggal Panglima Coan itu, saya akan melakukan penyelidikan ke sana.”
“Akan tetapi, itu berbahaya sekali, Yo Han!” kata Gan Seng.
Yo Han tersenyum.
“Harap Paman dan Bibi jangan khawatir. Mendiang Suhu telah mengajarkan banyak ilmu kepada saya, dan dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Sakti, saya kira saya akan berhasil menyelidiki dan mendapat tahu apakah panglima itu benar yang melakukan pencurian itu ataukah bukan. Mudah-mudahan kecurigaan Paman dan Bibi benar sehingga tidak akan sukar lagi untuk mengatasi urusan ini.”
“Akan tetapi, para panglima saja yang dimintai bantuan Ayah tidak sanggup menyelidiki orang itu, apakah kau tidak hanya akan mengantar nyawa ke sana?” tiba-tiba Bi Kim berkata dengan nada suara khawatir.
Yo Han memandang gadis itu dan tersenyum.
“Harap engkau tidak merasa khawatir, Nona. Saya akan menjaga diri baik-baik.”
Setelah mendapatkan keterangan jelas dari Gan Seng tentang tempat tinggal Coan Ciangkun, Yo Han lalu berpamit. Tuan rumah sekeluarga mencoba untuk menahannya dan menghidangkan makan minum, akan tetapi Yo Han menolak dengan halus.
“Masih banyak waktu bagi kita untuk bercakap-cakap dan makan bersama, yaitu setelah tugas ini selesai dengan baik. Nah, selamat tinggal, Paman, Bibi dan.... Nona”
“Adik, bukan nona!” Bi Kim memotong.
“Baiklah, Adik Bi Kim. Saya pergi dulu dan mudah-mudahan kalau saya datang lagi akan membawa kabar baik untuk Paman sekeluarga.”
Untuk meyakinkan hati mereka, Yo Han sengaja berkelebat dan lenyap dari depan mereka. Tentu saja ayah, ibu dan anak itu terkejut dan sejenak tertegun. Pemuda itu dapat menghilang begitu saja dari depan mata mereka! Setelah Yo Han pergi, tiada hentinya mereka bertiga membicarakan pemuda itu dan timbul harapan di hati mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu akan berhasil menolong mereka.
***
Memang benar sekali apa yang dikemukakan Gan Seng, isterinya dan puterinya. Sungguh tidak mudah, bahkan berbahaya sekali untuk melakukan penyelidikan ke dalam gedung tempat tinggal Panglima Coan itu. Gedung itu besar dan dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi seperti sebuah benteng kecil. Memang pantas menjadi tempat tinggal seorang panglima tinggi yang memimpin pasukan besar. Di pintu gerbang terdapat sebuah gubuk penjagaan di mana berkumpul belasan orang perajurit penjaga, dan masih ada pengawal yang selalu meronda di sekaliling pagar tembok itu. Yo Han maklum bahwa di waktu siang hari, tidak mungkin menyelundup masuk ke dalam gedung itu. Andaikata dia dapat mengelabui para penjaga di luar dan dapat masuk ke dalam, masih ada bahaya ketahuan di bagian dalam gedung yang tentu dijaga ketat. Siang hari itu dia tidak berani masuk, hanya mengelilingi bangunan itu di luar pagar tembok dan melihat-lihat keadaan. Ketika dia melihat sebuah pohon yang tumbuh di bagian belakang, agak jauh dari bangunan, dia dapat menduga, bahwa pohon itu tentu tumbuh di kebun belakang, dekat dengan pagar tembok dan dia pun memilih tempat ini untuk menyelinap masuk malam nanti kalau sudah gelap.
Siang hari itu dia kembali ke rumah penginapan, menanti datangnya malam. Setelah malam tiba, dia menanti sampai gelap benar barulah dia meninggalkan rumah penginapan secara sembunyi, melalui jendela dan meloncat ke atas genteng agar kepergiannya dari situ tidak ketahuan orang lain. Tak lama kemudian, dia sudah tiba di luar pagar tembok sebelah belakang di mana siang tadi dia melihat pohon di sebelah dalam pagar. Dia menanti sampai peronda lewat, lalu melompatlah dia ke atas pagar tembok. Benar dugaannya, pohon itu tumbuh di kebun belakang dan dia pun melompat ke pohon itu, menanti sambil meneliti keadaan. Dari pohon dia dapat melihat beberapa orang penjaga di kanan kiri rumah, dan di sebelah belakang rumah, di luar pintu belakang, terdapat pula dua orang penjaga tengah bercakap-cakap. Di atas mereka terdapat sebuah lampu minyak gantung yang cukup terang.
Bukan main, pikir Yo Han. Agaknya panglima itu telah melakukan penjagaan diri dengan ketat. Hal ini saja sudah mencurigakan. Hanya orang yang menjaga diri terhadap penyerbuan dari luar saja yang menyuruh pasukan pengawal menjaga rumah sedemikian ketatnya. Tentu ada sesuatu yang perlu dijaga! Makin tebal dugaannya bahwa Panglima Coan inilah yang sengaja mencuri pusaka itu untuk memaksa Gan Seng menyerahkan gadisnya! Bagi seorang panglima yang mengepalai pasukan, kiranya tidak begitu sukar untuk melakukan pencurian itu. Seorang dua orang penjaga keamanan gudang pusaka itu tentu telah dapat dipengaruhinya, untuk mencuri pusaka itu untuknya! Pusaka yang amat penting bagi istana, yang kehilangannya akan mendatangkan dosa besar bagi Gan Taijin akan tetapi yang tidak ada gunanya bagi Si Pencuri!
Setelah melihat suasana semakin sunyi dan yang menghalanginya masuk ke gedung besar itu hanya dua orang penjaga di luar pintu belakang, Yo Han meloncat turun dari atas pohon dan berindap-indap mendekati dua orang penjaga yang masih duduk berhadapan di bangku, kini tidak lagi bercakap-cakap melainkan sedang bermain catur.Yo Han mengambil dua buah kerikil dan setelah membidik dengan hati-hati, dua kali tangannya bergerak. Dua buah batu kerikil melayang dan dengan beruntun, dua orang pemain catur itu terpelanting dari tempat duduk mereka dalam keadaan lemas tak mampu bergerak karena jalan darah mereka sudah tertotok oleh kerikil yang disambitkan tadi. Dengan cepat Yo Han meloncat mendekati mereka, menotok pangkal leher mereka sehingga kini mereka tidak hanya tidak mampu bersuara. Dia menyeret tubuh mereka dan menyembunyikan tubuh mereka di bagian yang gelap, kemudian, dengan hati-hati dia membuka daun pintu belakang. Dia tiba di taman bunga belakang gedung yang amat indah.
Tak lama kemudian, Yo Han sudah mengintai sebuah ruangan di tengah gedung itu. Ada kesibukan di sana dan ketika dia mengintai, dia melihat seorang panglima, hal ini dapat diketahui dari pakaiannya, dihadap oleh tiga orang kakek berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun yang berpakaian preman, akan tetapi yang nampaknya kuat.
Dia menduga bahwa tiga orang itu tentulah jagoan-jagoan dan mungkin sekali panglima itu yang bernama Coan. Usianya kurang lebih empat puluh tahun, tinggi besar bermuka hitam dengan bopeng bekas cacar. Seorang pria yang wajahnya kasar dan buruk sekali.
Tidak mengherankan kalau Bi Kim dan ayah ibunya menolak pinangannya. Sudah mempunyai banyak selir mukanya buruk pula! Padahal Bi Kim demikian cantik jelita dan masih amat muda. Empat orang itu bercakap-cakap dan Yo Han mengerahkan kepekaan telinganya untuk menangkap percakapan mereka.
“Akan tetapi, bagaimana kalau dia menolak, Ciangkun?” tanya seorang di antara tiga jagoan yang mukanya kuning dan matanya sipit.
“Hemm, kalau dia menolak, dia akan dijatuhi hukuman berat, juga keluarganya. Dia pasti tidak akan menolak uluran tanganku untuk menyelamatkan keluarganya,” kata pembesar itu sambil menyeringai dan nampaklah giginya yang besar-besar. Makin buruk orang itu kalau menyeringai, pikir Yo Han.
“Kalau begitu, semua jerih payah kita tidak akan ada gunanya, Ciangkun!” kata orang ke dua yang perutnya gendut sehingga kancing bajunya bagian bawah terlepas semua dan nampak kulit perut yang buncit itu.
“Benar, kalau begitu, apa artinya semua jerih payah ini? Terbasminya keluarga itu sama sekali tidak menguntungkan Ciangkun,” kata orang ke tiga yang tinggi kurus dan hidungnya seperti hidung burung kakatua, melengkung panjang ke bawah sehingga matanya nampak juling.
Panglima itu terbahak.
“Ha-ha-ha, apa kalian kira aku begitu bodoh untuk membuang tenaga sia-sia belaka? Kalau mereka itu berkeras tidak mau menerimaku, aku akan menghadap Sri Baginda. Aku akan mencarikan pusaka itu sampai dapat, dengan imbalan anugerah, yaitu agar gadis jelita itu diserahkan kepadaku. Kalau Kaisar yang memerintahkan, mustahil orang she Gan itu berani membantah lagi. Ha-ha-ha!”
Tiga orang itu pun tertawa gembira dan memuji kecerdikan majikan mereka. Yo Han yang mengintai tidak ragu-ragu lagi. Sudah pasti panglima inilah yang bernama Coan Ciangkun dan tiga orang itu tentu anak buahnya, atau jagoan-jagoannya. Inilah kesempatan terbaik, pikirnya. Kalau dia harus mencari pusaka pusaka itu, tentu akan sukar sekali karena panglima itu tentu menyembunyikannya dan amat sukar mencari pusaka yang disembunyikan di gedung sebesar itu, apalagi yang dipenuhi penjagaan ketat.
Sekali dorong saja, jendela yang terkunci dari dalam itu terbuka dan kuncinya jebol.
Sebelum empat orang itu hilang kaget mereka, tiba-tiba mereka melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda.
“Engkaukah yang disebut Coan Ciangkun?” tanya Yo Han dengan suara tenang sambil memandang panglima itu.
Setelah hilang kagetnya dan melihat bahwa yang masuk secara lancang itu hanyalah seorang pemuda yang tidak memegang senjata dan berpakaian sederhana saja, bangkitlah kemarahan Coon Ciangkun. “Sudah tahu aku Coan Ciangkun dan engkau berani masuk seperti maling? Apakah nyawamu sudah rangkap lima? Tangkap dia!” bentak panglima itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Yo Han.
Mendengar ini, Si Perut Gendut tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, cacing tanah berani sekali engkau lancang masuk ke sini! Hendak mencuri apakah? Hayo cepat berlutut, atau akan kupatah-patahkan tulang kedua kakimu agar engkau berlutut dan minta ampun kepada Coan Ciangkun!”
Yo Han bersikap tenang dan matanya masih terus memandang kepada panglima itu.
“Aku tidak ingin mencuri apa-apa, bahkan hendak menangkap pencuri dua buah benda pusaka dari gedung pusaka istana!”
Tentu saja ucapannya ini mengejutkan empat orang itu.
“Tong Gu, cepat tangkap dia!” bentak panglima itu kepada Si Gendut yang bernama Tong Gu.
“Haiiiittt....!” Tong Gu menerjang ke depan, gerakannya seperti sebuah bola menggelundung menuju ke arah Yo Han dan agaknya dia benar-benar hendak mematahkan kedua tulang kaki Yo Han karena begitu menerjang, dia sudah membuat gerakan menyapu dengan kaki kanannya yang pendek namun besar. Gerakannya, biarpun berperut gendut, gesit sekali dan kaki kanannya sudah menyambar ke arah kedua kaki Yo Han. Namun, Yo Han sama sekali tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan berdiri tegak dan masih memandang kepada Coan Ciangkun. Karena itu, tanpa dapat dicegah lagi, kaki kanan Tong Gu, menyambar kedua kakinya dengan amat kuatnya.
“Bresss....!” Bukan tulang kedua kaki Yo Han yang patah-patah, melainkan Si Gendut yang berteriak-teriak kesakitan, meloncat-loncat dengan kaki kiri dan mencoba untuk memegangi kaki kanan dengan kedua tangannya. Akan tetapi karena kedua lengannya pendek, sedangkan kaki kanan itu pun pendek, maka sukar baginya untuk dapat memegang kaki itu dan dia pun berjingkrak menari-nari dengan sebelah kaki, matanya terbelalak mulutnya ngos-ngosan seperti orang makan mrica saking nyerinya, karena kakinya terasa kiut-miut seperti pecah-pecah tulangnya. Akan tetapi, dua orang kawannya menjadi marah dan mereka pun siap untuk menerjang.
Yo Han tidak mempedulikan mereka. Dia melihat panglima itu pun terkejut dan bangkit dari tempat duduknya, siap hendak melarikan diri. Sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah meloncat ke dekat panglima itu dan jari tangannya menotok. Tubuh panglima itu menjadi lemas dan dia pun jatuh terduduk kembali ke atas kursinya, hanya dapat memandang dengan mata terbelalak karena Yo Han sudah menghampiri tiga orang tukang pukul itu dengan sikap tenang.
Kini Tong Gu Si Gendut sudah mencabut golok besarnya. Tulang kakinya tidak patah, akan tetapi membengkak dan kebiruan, nyeri sekali. Si Muka Kuning bermata sipit yang bernama Cong Kak juga mencabut sepasang pedangnya, sedangkan Si Hidung Kakatua mencabut rantai baja. Mereka bertiga mengepung Yo Han, namun pemuda ini bersikap tenang. Dia tidak suka berkelahi, tidak suka menggunakan kekerasan, akan tetapi sekarang dia melihat kebenaran pendapat mendiang gurunya. Kepandaian silat memang amat penting, untuk menghadapi orang-orang yang sewenang-wenang seperti ini! Bukan untuk berkelahi, bukan untuk menggunakan kekerasan, melainkan untuk menundukkan yang jahat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan!
“Lebih baik kalian membujuk majikan kalian untuk menyerahkan dua benda curian itu kepadaku. Kalau kalian menggunakan kekerasan, maka kalian sendiri yang akan menjadi korban kekerasan kalian itu!” Yo Han masih menasihati, karena kalau dapat, dia hendak menyelesaikan masalah itu tanpa harus melawan tiga orang ini.
Tentu saja nasihatnya itu menggelikan bagi orang-orang yang biasa menggunakan kekerasan itu. Mereka sudah marah sekali dan tanpa dikomando lagi, ketiganya sudah memutar-mutar senjata dan menggerakkan senjata mereka dengan kuat dan cepat, menerjang ke arah Yo Han. Pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, namun belum pernah dia mempergunakannya dalam perkelahian. Biarpun demikian, melihat gerakan tiga orang yang bagi orang lain nampak cepat itu, baginya kelihatan lamban sekali dan dia dapat melihat jelas ke arah mana senjata mereka itu menyambar.
Dengan kelincahan tubuhnya yang sudah mempelajari segala macam ilmu tari dari Thian-te Tok-ong yang sebenarnya merupakan ilmu-ilmu silat tinggi, dengan amat mudah dia mengelak ke sana sini dan semua serangan senjata itu sama sekali tidak mampu menyentuhnya.
Yo Han tidak ingin membunuh orang, bahkan melukainya pun dia tidak tega, walaupun dia tahu bahwa tiga orang ini biasanya mempergunakan kekerasan untuk menindas orang lain. Dia harus bekerja cepat agar urusan itu segera dapat diselesaikannya dengan baik.
Maka, begitu tangan kakinya bergerak dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandang mata tiga orang pengeroyoknya, tiba-tiba tiga orang itu berturut-turut, jatuh terpelanting dalam keadaan lemas tertotok. Senjata mereka terlepas dari pegangan dan mengeluarkan suara berisik ketika terjatuh ke atas lantai.
Akan tetapi, agaknya suara ribut-ribut itu telah terdengar oleh para pengawal panglima itu. Sebelas orang perajurit pengawal berserabutan memasuki ruangan yang luas itu dengan senjata di tangan dan begitu masuk, mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi, melihat majikan mereka duduk tak bergerak dan tiga orang jagoan itu roboh dan tak mampu bergerak pula. Maka, serentak mereka mengepung Yo Han dan menyerangnya dengan senjata mereka.
Yo Han maklum bahwa kalau dia tidak bertindak cepat, akan makin sukarlah keadaannya. Dia pun mengeluarkan kepandaiannya dan bagaikan seekor burung walet beterbangan, tubuhnya menyambar-nyambar dan kembali para pengeroyoknya roboh tertotok seorang demi seorang. Tubuh mereka berserakan, ada yang bertumpuk dan dalam waktu yang singkat, sebelas orang itu pun sudah roboh semua tanpa mengalami luka, hanya tertotok dan lemas tak mampu bergerak.
Sebelum datang lagi pengeroyok, sekali loncat Yo Han telah mandekat! Coan Ciangkun yang marah duduk tertotok dan tak mampu bergerak. Yo Han membebaskan totokannya terhadap pembesar itu dan Coan Ciangkun dapat pula bergerak. Akan tetapi dia tidak berani bengkit berdiri karena pemuda yang lihai itu telah mengancamnya dengan jari tangan di leher!
“Mau apa engkau? Engkau akan dihukum mati untuk ini!” kata Coan Ciangkun dengan nada marah. “Pasukanku akan menangkapmu!”
“Sebelum aku di tangkap, aku akan dapat membunuhmu lebih dulu, Ciangkun!” Yo Han mengancam.
Wajah yang marah itu seketika menjadi pucat karena Sang Panglima maklum bahwa pemuda yang dengan mudahnya merobohkan empat belas orang pengawalnya, tentu tidak hanya menggertak, akan tetapi benar-benar akan dapat membunuhnya dengan mudah.
“Apa yang kauinginkan?” katanya dan biarpun nadanya masih membentak, namun suara itu gemetar.
Yo Han mendengar suara ribut-ribut di luar ruangan, suara banyak orang dan dia tahu bahwa tentu pasukan penjaga sudah datang mengepung ruangan itu.
“Pertama, kauperintahkan agar pasukanmu mundur dan jangan mengganggu percakapan kita di ruangan ini. Hayo cepat lakukan!” Sengaja dia menyentuh leher panglima itu dengan jari-jari tangannya. Panglima itu bergidik dan dia pun berseru dengan suara nyaring.
“Pasukan jaga, semua mundur dan jangan ganggu aku. Kami sedang bicara dan tidak boleh siapa pun mengganggu kami!”
Suaranya dikenal oleh para penjaga dan biarpun merasa heran, mereka semua mendengar dan tidak berani mendekati ruangan itu walaupun di sebelah sana mereka tetap mengatur pengepungan karena mereka tahu bahwa, ada seorang asing bersama majikan mereka, dan bahwa belasan orang pengawal telah dirobohkan orang asing itu.
“Bagus, Ciangkun. Kalau engkau memenuhi semua permintaanku, aku akan membebaskanmu dan tidak akan mengganggumu lagi. Sekarang, keluarkan dua buah benda mustika yang kaucuri dari dalam gedung pusaka istana itu!”
Wajah itu semakin pucat.
“Apa.... apa maksudmu? Pusaka.... yang mana....?”
“Tidak usah berpura-pura lagi, Ciangkun. Aku sudah tahu semuanya. Engkau mendendam kepada keluarga Gan karena lamaranmu ditolak, dan untuk membalas sakit hati itu, engkau sengaja menyuruh orang mencuri dua buah benda pusaka dari dalam gedung pusaka istana agar Gan Taijin menerima hukuman. Den engkau menjanjikan kepada Gan Taijin untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu asal dia mau menyerahkan puterinya kepadamu!”
Sepasang mata itu terbelalak.
“Tidak! Tidak! Mana buktinya bahwa aku melakukan semua itu?”
Yo Han memandang ke arah meja di depan panglima itu. Sabuah meja terbuat dari papan yang tebal. Dia menggerakkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ujung meja.
“Krekk-krekk....!” Dan ujung meja itu hancur menjadi bubuk dalam cengkeramannya.
Wajah panglima itu menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak ketakutan.
“Ciangkun, apakah lehermu lebih keras daripada papan meja ini?”
“Jangan.... jangan bunuh aku.... apa yang kaukehendaki?” pembesar itu berkata, suaranya kehilangan keangkuhannya, bernada menyerah.
“Coan Ciangkun, engkau seorang laki-laki, dan memegang jabatan tinggi sebagai panglima. Semestinya engkau seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi perbuatanmu ini sungguh memalukan sebagai seorang laki-laki. Kalau pinanganmu ditolak, itu berarti bahwa nona Gan Bi Kim bukan jodohmu. Kenapa engkau hendak memaksanya dengan cara yang begini curang dan pengecut? Kadudukanmu tinggi, akan tetapi watakmu sungguh rendah. Sekarang, aku hanya ingin engkau memperbaiki kesalahanmu, mengembalikan dua buah benda pusaka itu kepadaku. Cepat, atau aku akan kehilangan kesabaranku dan tanganku yang gatal-gatal ini akan mencengkeram lehermu atau kepalamu!” Sengaja Yo Han meraba-raba leher itu dan Coan Ciangkun bergidik.
“Jangan bunuh.... baik, akan kukembalikan....! Tapi.... dua buah benda itu disimpan oleh Tong Gu itu....” Dia menunjuk ke arah tubuh gendut Tong Gu, seorang di antara tiga jagoannya tadi, dengan telunjuk yang menggigil.
Yo Han dapat menduga bahwa panglima itu tidak main -main atau hendak menipunya.
Bagaimanapun juga, panglima itu telah berada di dalam kekuasaannya dan tidak akan mampu berbuat apa pun.
“Akan kusadarkan dia dan cepat perintahkan dia mengambil dua buah pusaka itu!” katanya dan sekali tangannya bergerak, dia telah membebaskan totokan Tong Gu. Si Gendut itu dapat bergerak dan meloncat dengan sikap hendak menyerang.
Akan tetapi Coan Ciangkun menghardiknya.
“Tolol, apa yang akan kaulakukan?” Dia memang mendongkol sekali melihat ketidak becusan para jagoannya. Malawan seorang pemuda saja, mereka bertiga roboh, bahkan belasan orang pengawalnya juga roboh. Dan sekarang, masih berlagak hendak melawan!
Tong Gu terkejut dan membungkuk di depan pembesar itu.
“Maafkan hamba.... hamba kira....”
“Tidak usah banyak cakap. Cepat kau ambil dua buah pusaka itu dan bawa ke sini!” perintah Coan Ciangkun.
“Baik, Ciangkun!” kata Tong Gu.
Sebelum dia pergi Yo Han berkata,
“Tong Gu, jangan coba untuk main gila. Ingat, nyawa majikanmu berada di dalam tanganku. Dia akan mati sebelum engkau dapat melakukan sesuatu terhadap diriku!”
“Kalau engkau main gila, akan kusuruh hukum siksa sampai mati!” bentak Coan Ciangkun yang agaknya ingin cepat-cepat bebas dari tangan pemuda yang lihai itu.
“Cepat pergi dan ambil benda-benda itu!”
Tong Gu keluar dari ruangan itu dan tenta saja dia disambut oleh hujan pertanyaan dari para rekannya di luar ruangan. Akan tetapi, dia memberi isarat dengan telunjuk di depan mulut.
“Gawat Ciangkun telah dikuasai iblis itu. Kalau kita bergerak, tentu Coan Ciangkun akan dibunuhnya. Kita tidak boleh bergerak sebelum Ciangkun dibebaskan. Kepung saja dari luar, jangan sampai ada yang lolos. Aku harus mengambilkan pusaka itu sekarang juga,” bisiknya kepada para pimpinan pasukan.
Kini setelah penghuni gedung itu telah terbangun dan suasananya menjadi panik. Namun, pasukan itu hanya mengepung di luar gedung, dan keluarga Coan Ciangkun berkumpul di sebelah dalam, dijaga oleh pasukan pengawal dengan ketat.
Tong Gu tidak berani mengabaikan perintah Coan Ciangkun karena dia maklum sepenuhnya bahwa nyawa majikannya dalam ancaman bahaya maut. Dia tahu betapa lihainya pemuda yang menawan majikannya itu. Bukan saja dia dan dua orang rekannya yang terkenal jagoan roboh di tangan pemuda itu, juga belasan orang pengawal roboh dalam waktu singkat. Kepandaian pemuda itu tidak wajar, tidak seperti manusia biasa!
Tong Gu muncul kembali ke dalam ruangan itu. Keadaan di situ masih seperti tadi. Coan Ciangkun masih duduk menghadapi meja yang patah ujungnya, dan pemuda itu masih berdiri di belakang panglima dengan sikap tenang sekali. Justru ketenangan sikap pemuda itu yang membuat Tong Gu merasa seram. Dia meletakan bungkusan dua buah banda itu di atas meja depan Coan Ciangkun. Yo Han lalu membuka bungkusan itu dan melihat bahwa memang itulah dua benda pusaka yang hilang. Dia sudah mendapat keterangan jelas dari Gan Seng bagaimana bentuk dan rupa dua buah benda pusaka itu. Tanpa ragu lagi, dia mengambil benda-benda itu dan menyimpannya ke daam saku jubahnya.
“Kami telah menyerahkan dua buah benda pusaka itu, sekarang bebaskan kami dan pergilah, jangan ganggu kami lagi!” kata Coan Ciangkun menuntut.
“Nanti dulu, Ciangkun,” kata Yo Han dan dia memandang kepada Tong Gu lalu berkata,
“Tong Gu, cepat kausediakan kertas dan alat tulis untuk Coan Ciangkun!”
Tong Gu tidak berani membantah dan di dalam ruangan itu memang tersedia alat tulis dan kertasnya. Setelah perlengkapan itu berada di atas meja, Yo Han lalu berkata,
“Ciangkun, sekarang tulislah surat pengakuanmu bahwa engkau yang melakukan pencurian itu!”
Sepasang mata itu terbelalak.
“Akan tetapi.... engkau ingin melaporkan aku dan mencelakakan aku....?”
Yo Han tersenyum.
“Kami bukanlah orang-orang macam engkau yang suka bertindak curang, Ciangkun. Surat itu perlu untuk pegangan Gan Taijin, agar engkau tidak lagi mengganggunya. Kalau engkau berani mengganggunya, maka tentu surat pengakuan itu akan diserahkannya kepada Sri Baginda Kaisar.”
Panglima Coan itu menjadi lemas. Kalau tadinya dia masih mengandung harapan kelak akan membalas semua ini kepada Gan Seng, kini harapannya itu membuyar seperti asap tertiup angin. Dia telah kalah mutlak dan sebagai seorang ahli perang, dia pun tahu bahwa ada waktu menang dan ada pula waktu kalah. Dan sekali ini, dia benar-benar kalah dan tidak berdaya. Maka, tanpa banyak cakap lagi dia segera mengambil pena bulu dan menuliskan surat pengakuan seperti yang dikehendaki Yo Han. Yo Han mendikte dan diturut oleh panglima itu. Setelah selesai, Yo Han mengambil surat itu dan membacanya sekali lagi.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini mengaku telah mencuri dua benda pusaka, yaitu cap kebesaran dan bendera lambang kekuasaan, dari dalam gudang pusaka istana.
Perbuatan itu saya lakukan untuk membalas dendam dan mencelakakan keluarga Gan Seng, karena lamaran saya terhadap puterinya telah ditolaknya. Kemudian, karena menginsafi perbuatan saya yang jahat, saya mengembalikan dua buah benda pusaka itu dan berjanji tidak akan mengganggu keluarga Gan lagi.
Tertanda saya,
PANGLIMA COAN.

Yo Han menggulung surat pengakuan itu dan memasukkannya ke dalam saku jubahnya pula. Diam-diam Coan Ciangkun mengepal tinju. Masih ada harapan untuk menebus kesalahannya, yaitu dengan menghadang pemuda ini, mengerahkan pasukan dan menangkapnya sebelum pemuda itu menyerahkan dua benda pusaka dan surat pengakuannya kepada Gan Seng. Kalau pemuda ini dapat ditangkapnya, semua itu dapat dirampasnya kembali, dan dia dapat menebus kekalahannya saat itu.
Akan tetapi, harapan terakhir ini membuyar seperti gantungan terakhir pada sehelai rambut yang putus ketika pemuda itu memegang lengan kanannya dan berkata dengan lembut tapi nadanya memerintah,
“Mari, Ciangkun. Kau antar aku keluar dari gedung ini!”
Tentu saja hatinya protes karena perintah itu merupakan tanda kekalahan terakhir baginya, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan kepala menunduk, dia melangkah keluar dari ruangan itu, pergelangan tangan kanannya digandeng Yo Han, seperti dua orang sahabat baik jalan bersama, seolah-olah panglima itu mengantar seorang tamu yang akrab keluar meninggalkan rumahnya! Para prajurit dan pengawal yang tadinya sudah mengepung gedung itu, kini hanya melongo saja tidak berani bertindak apa-apa karena komandan mereka pun diam dalam seribu bahasa, tidak berani mengeluarkan komando untuk melakukan penyergapan!
Setelah tiba di pintu gerbang depan, Yo Han berkata kepada panglima itu.
“Coan Ciangkun, terima kasih atas segala kebaikanmu. Mudah-mudahan saja engkau tidak melakukan kekeliruan-kekeliruan selanjutnya. Selamat tinggal!”
Sekali berkelebat, pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam. Beberapa orang perwiranya berloncatan keluar dengan pedang di tangan, hendak melakukan pengejaran.
Akan tetapi Coan Ciangkun mengangkat tengan kanan ke atas. Dia maklum bahwa pemuda itu terlalu lihai dan kalau dia salah langkah lagi, mungkin dia tidak akan tertolong dan surat pengakuannya tadi merupakan ujung pedang yang sudah ditodongkan di depan dadanya!
“Jangan kejar dia! Biarkan pergi, aku telah kalah,” katanya dengan lemas dan dia pun memasuki gedungnya. Tentu saja anak buahnya tidak berani melanggar perintah ini.
Apalagi pemuda itu sudah lenyap dan mereka tidak tahu harus mencari dan mengejar ke mana.
Ketika Yo Han menyerahkan dua buah benda pusaka itu bersama surat pengakuan Coan Ciangkun, Gan Seng dan isterinya menjadi demikian gembira den terharu sehingga kalau tidak dicegah oleh Yo Han, mau rasanya mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu! Yo Han bukan saja telah menyelamatkan Gan Seng, akan tetapi juga seluruh keluarganya dari malapetaka yang amat besar! Gan Seng merangkulnya dan kedua matanya basah, sedangkan isterinya sudah menangis saking harunya, dirangkul puteri mereka, Gan Bi Kim, yang juga merasa gembira bukan main.
“Yo Han, engkau sungguh merupakan bintang penolong dan penyelamat kami sekeluarga. Entah bagaimana keluarga kami akan dapat membalas budimu ini, Yo Han.”
“Aih, Paman Gan, kenapa bicara seperti itu? Saya hanya melaksanakan tugas saya, memenuhi perintah dan pesan terakhir dari mendiang Suhu. Kalau Paman hendak berterima kasih, semestinya berterima kasih kepada Suhu Ciu Lam Hok karena saya hanya mewakili beliau saja.”
Nenek Ciu Ceng juga segera sembuh seketika ketika mendengar hasil baik yang diperoleh Yo Han dalam menyelamatkan keluarga puteranya. Ketika diberi tahu tentang kematian kakaknya, nenek ini menangis dan menuntut kepada puteranya agar malam itu juga diadakan sembahyang terhadap arwah kakaknya, mendiang kakek Ciu Lam Hok, yang telah mengirim muridnya dan menyelamatkan mereka. Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega untuk menceritakan keadaan kakek Ciu Lam Hok yang buntung kedua kaki tangannya itu. Biarlah mereka menganggap bahwa suhu hidup sampai saat terakhir dalam keadaan sehat dan berbahagia, pikirnya.
selanjutnya ---->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar