Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Bangau Merah Jilid 44

Kisah Si Bangau Merah Jilid 44

44

“Suheng....!” Ia mengeluh.
Yo Han menghampirinya dan duduk di depannya, terhalang meja.
“Li-moi, tidak ada gunanya menangisi kematian Sian Lun. Bagaimanapun juga, dia tewas sebagai seorang pendekar yang gagah dan tidak mengecewakan!”
Sian Li mengusap air matanya dan menghela napas.
“Dia patut dikasihani, Han-ko.”
Yo Han mengangguk.
“Sudah kuduga. Kesesatannya tentu tidak wajar. Dia masih terlalu muda dan kurang pengalaman sehingga mudah saja dikuasai musuh dengan ilmu sihir. Akan tetapi dia telah menebus kesalahannya, telah menghapus dosanya dengan darah dan dia.... dia ternyata amat mencintamu, Li-moi.”
Sian Li mengangguk. Teringat akan pengalamannya di perahu dengan Sian Lun, ketika pemuda itu menyatakan cinta kepadanya dan ia mendorong suhengnya sehingga tercebur di air!
“Memang Suheng pernah menyatakan cinta kepadaku, akan tetapi aku menolaknya karena aku menyayanginya sebagai kakak seperguruan, tidak lebih daripada itu.”
Yo Han menarik napas panjang, melihat kenyataan yang membuat nuraninya mencela diri sendiri. Kenapa hatinya merasa senang mendengar bahwa Sian Li tidak membalas cinta kasih Sian Lun?
“Kita harus waspada malam ini. Kalau tidak meleset perhitunganku, malam inilah penyerbuan itu akan terjadi. Karena Sian Lun sudah tidak ada, kini kita hanya mencari kesempatan untuk melarikan diri saja dari tempat ini. Aku tidak ingin terlibat dalam pertempuran antara persekutuan ini melawan pasukan Tibet. Mengertikah engkau, Li-moi?”
Gadis itu mengerutkan alisnya
“Akan tetapi, aku harus membunuh pangeran Nepal jahanam itu, Han-ko!”
Yo Han menatap tajam wajah Sian Li.
“Kenapa harus, Li-moi?”
“Pertama, dia pernah hampir memperkosaku, dan untung ada Cu Ki Bok yang menolongku. Ke dua, dia telah membunuh Suheng. Tidak pantaskah kalau aku membalas dendam dan membunuhnya?”
“Li-moi, siapakah kita ini maka boleh membunuh sesama manusia begitu saja? Li-moi, kita mempelajari ilmu bukan untuk menjadi pembunuh. Kurasa ayah ibumu sendiri, juga guru-gurumu tentu telah memberitahu akan kebenaran itu. Kita sebagai manusia tidak berhak untuk membunuh manusia lain, dengan alasan apapun juga.”
“Tapi, Han-ko. Bukankah dia juga telah membunuh Suheng? Bukankah dia hampir memperkosaku dan hal-hal itu saja membuktikan betapa jahatnya dia? Dia layak dihukum, dibunuh agar jangan menambah kejahatannya lagi dan mengganggu orang lain.”
Yo Han menggeleng kepalanya.
“Katakanlah dia jahat dan dia telah membunuh suhengmu. Kalau kita membalas dan membunuhnya, lalu apa bedanya antara dia dengan kita?”
“Jelas bedanya, Han-ko! Kita membunuhnya untuk memberantas kejahatan sedangkan dia membunuh Suheng untuk melakukan kejahatan....”
“Tidak begitu, Li-moi. Kalau kita tanya kepadanya, tentu dia memiliki alasan yang cukup kuat mengapa dia membunuh suhengmu. Setiap orang yang melakukan sesuatu tentu akan mempunyai alasan untuk membela diri. Padahal yang mendorong pembunuhan adalah sama, yaitu balas dendam, kebencian dan permusuhan. Kalau engkau hendak membunuhnya, maka jelas dasarnya adalah dendam kebencian.”
“Aih, sekarang aku mengerti mengapa Ayah dan Ibu mengatakan engkau seorang yang baik hati akan tetapi aneh, Hanko.”
“Apa yang dikatakan ayah ibumu tentang diriku?” Yo Han ingin sekali mendengarnya.
“Ayah dan Ibu pernah bercerita kepadaku bahwa engkau memiliki bakat ilmu silat yang luar biasa, akan tetapi anehnya, engkau sama sekali tidak mau mempelajari ilmu silat karena engkau selalu berpendapat bahwa ilmu silat adalah ilmu memukul dan membunuh orang. Sekarang, setelah engkau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, engkau pantang membunuh orang, betapapun jahatnya orang itu. Aku sudah mendengar sepak terjangmu sebagai Sin-ciang Tai-hiap. Han-ko, kalau begitu, untuk apa engkau mempelajari ilmu silat sampai begitu tinggi?”
“Untuk apa? Selain untuk membela diri dari ancaman bahaya, untuk menyehatkan dan menguatkan tubuh, untuk menguasai gerakan yang mengandung seni tari yang indah, juga kepandaian itu dapat kupergunakan untuk menolong orang lain yang terancam bahaya. Bahkan dengan kepandaian ini dapat kita pakai untuk menekan orang tersesat agar mereka kembali ke jalan yang benar. Bagaikan obat bagi orang sakit, obat yang keras namun manjur, ilmu silat dapat kita pergunakan menyembuhkan orang sakit batin sehingga dia jera menjadi penjahat dan kembali ke jalan benar.”
Sampai beberapa lamanya, Sian Li berdiam diri, memikirkan apa yang dikatakan Yo Han, lalu ia menghela napas panjang.
“Kalau begitu, dalam pertemuan nanti, aku tidak boleh mencari Gulam Sing dan tidak boleh menyerangnya?”
“Dia lihai sekali, Li-moi.”
“Aku tidak takut, dan aku tidak gentar biar terancam maut melawannya!” kata gadis itu dengan sikap gagah.
Yo Han tersenyum.
“Aku percaya, Limoi. Dan aku pun tidak akan membiarkan engkau menghadapi dia seorang diri. Akan tetapi, ingatlah bahwa dia akan memimpin orang-orangnya untuk melawan pasukan Tibet. Kalau kita ikut bertempur berarti kita telah terlibat dalam perang antara mereka. Padahal, aku minta bantuan orang-orang kang-ouw hanya agar kita mendapat kesempatan untuk melarikan diri saja, bukan untuk bertempur dan saling bunuh.”
“Jadi berarti.... aku harus membiarkan saja Gulam Sing itu melakukan kejahatan tanpa dihukum?”
“Li-moi, tidak ada perbuatan tanpa akibat yang menimpa Si Pembuat sendiri. Tidak ada orang yang tidak menuai dan memakan hasil tanamannya sendiri. Tuhan Maha Adil, Li-moi. Ingatlah, seorang yang berjiwa pendekar pantang untuk mendendam, katena perbuatan apa pun yang didasari dendam dan kebencian, maka perbuatan itu sudah pasti sesat dan jahat. Kita menentang perbuatan jahat, tanpa dendam kebencian kepada orang yang melakukan kejahatan itu. Sekali engkau menurutkan perasaan hati dalam tindakanmu, maka engkau akan melakukan hal yang bagi orang lain akan dianggap jahat pula. Musuh yang paling berbahaya bukan terdapat di luar diri kita, melainkan di dalam diri sendiri. Musuh itu adalah kalau nafsu sudah merajalela di dalam hati akal pikiran.
“Aihh, aku menjadi pening, Han-ko. Terserah kepadamu sajalah. Aku ingat bahwa Ayah dan Ibu menganggap engkau seorang yang berbudi mulia, karena itu, apa pun yang kaukatakan tentu benar.”
Dua orang ini sama sekali tidak mengira bahwa pada saat itu, para pimpinan gerombolan itu pun sedang bersiap siaga, dan mereka pun mengadakan pertemuan dan membicarakan kematian Sian Lun dan akibatnya.
“Biarlah Sin-ciang Tai-hiap datang kalau dia marah karena aku membunuh pemuda itu,” kata Pangeran Gulam Sing. “Aku tidak takut kepadanya. Dan kita begini banyak. Kalau kita maju bersama menghadapinya, apakah seorang saja dia akan mampu mengalahkan kita?”
“Ada satu hal yang aneh sekali dan membuat kami berpikir-pikir,” kata Ji Kui, orang tertua dari Pek-lian Samli.
“Apakah yang kaumaksudkan?” Lulung Lama bertanya karena suara wanita itu terdengar penuh rahasia dan penuh kesungguhan. Semua orang memandang kepadanya.
“Tentu kalian telah melihat sendiri betapa kami bertiga mempergunakan kekuatan sihir untuk memaksa Sian Li dan Yo Han berlutut kepada kami. Akan tetapi, mereka berdua sama sekali tidak jatuh berlutut, bahkan kami terhuyung oleh pukulan tenaga kami yang membalik Bukanlah ini aneh sekali?”
“Apanya yang aneh?” kata Lulung Lama mendongkol. “Gadis itu adalah keturunan keluarga Pendekar Pulau Es dan Naga Gurun Pasir. Kalau ia dapat menolak kekuatan sihir kalian, tidak dapat dibilang aneh.” Melihat Ketua Hek I Lama yang baru itu marah-marah. Pek-lian Sam-li berdiam diri. Juga semua orang diam. Suasana menjadi sunyi sampai tiba-tiba Pangeran Gulam Sing menggebrak meja.
“Memang aneh!” katanya melalui penterjemahnya. “Aku mengenal kekuatan sihir Pek-lian Sam-li, cukup kuat bahkan lebih kuat daripada kekuatan sihirku. Tidak mungkin nona itu akan dapat bertahan menghadapi serangan sihir mereka, apalagi menolak dan membuat tenaga mereka membalik. Menghadapi sihirku saja, ia tidak tahan dan tunduk....” Dia menoleh kepada Cu Ki Bok, teringat betapa dia sudah hampir berhasil menguasai Sian Li akan tetapi muncul pemuda itu yang menggagalkannya.
“Itulah yang membuat kami berpikir-pikir,” kata Ji Kui yang mendapat angin oleh pertanyaan Gulam Sing itu. “Kami pun tahu akan kemampuan gadis itu. Jelas bukan ia yang menolak kekuatan sihir kami, akan tetapi Yo Han, kakak misannya itu.”
“Hemmm, rasanya tidak mungkin,” kata Cu Ki Bok, Yo Han itu hanya utusan Sin-ciang Tai-hiap, dan sepanjang pengetahuanku, dia seorang pemuda yang lemah dan....”
“Kami sudah mempertimbangkan semua itu dan kami hampir merasa yakin bahwa Yo Han itu adalah Sin-ciang Tai-hiap sendiri!” kata pula Ji Kui dan sekali ini semua orang terlonjak saking kaget hati mereka.
“Omitohud....! Apa maksudmu? Dia.... dia Sin-ciang Tai-hiap?” teriak Lulung Lama.
“Kami hampir yakin akan hal itu,” kata Ji Kui pula sambil menoleh ke arah Pangeran Gulam Sing. “Pangeran, ingatkah engkau betapa mudahnya engkau menundukkan Sian Li dengan sihirmu? Rasanya tidak mungkin kalau sekarang ia bukan saja mampu bertahan terhadap pengaruh sihir kami, bahkan membuat tenaga kami membalik. Jelaslah bahwa yang memiliki kekuatan dahsyat itu tentu pemuda bernama Yo Han itu. Siapa di antara kita yang sudah membuktikan sendiri bahwa pemuda itu lemah? Dan biarpun selama ini Sin-ciang Tai-hiap menutupi mukanya, dan biarpun mungkin suaranya yang diubah, akan tetapi bentuk tubuhnya serupa benar dengan Yo Han itu. Kalau dia pemuda biasa yang lemah, bagaimana dia dapat bersikap sedemikian beraninya, bukan saja mengunjungi adik misannya di sini, bahkan minta ditahan pula di sini dengan alasan menemani gadis itu! Hemm, siapa lagi dia kalau bukan Sin-ciang Tai-hiap?”
“Omitohud....! Kalau begitu, celaka, kita telah kebobolan! Ki Bok, bagaimana hal ini sampai dapat terjadi?” Lulung Lama menegur muridnya.
Wajah Cu Ki Bok berubah, matanya terbelalak. Pendapat Pek-lian Sam-li itu masuk diakal dan dia sendiri pun baru sekarang menyadari kemungkinan itu. Yo Han adalah Sin-ciang Tai-hiap! Kenapa dia tidak memikirkan kemungkinan itu? Biasanya dia amat cerdik dan tidak mudah ditipu. Inilah akibatnya kalau dia tergila-gila! Karena dia mencinta Sian Li, dia tidak ingat apa-apa lagi kecuali untuk melindungi gadis itu. Dia bangkit berdiri.
“Suhu, kalau benar demikian, teecu yang akan menangkap Yo Han itu!”
Dan dia pun berlari keluar. Akan tetapi di luar dia masih mendengar teriakan-teriakan mereka yang berada di dalam.
“Kalau dia Sin-ciang Tai-hiap, kita harus menyerbu beramai-ramai, sekarang juga!” terdengar teriakan suhunya. Ki Bok maklum bahwa inilah saatnya dia harus bertindak cepet. Dia harus menyelamatkan Sian Li terlebih dahulu. Mengenai Yo Han, kalau benar dia Sin-ciang Tai-hiap dan tidak mau bekerja sama, dia sendiri akan membantu untuk mengeroyok dan membunuh pendekar yang berbahaya itu. Akan tetapi, yang terpenting baginya, sekarang juga sebelum terlambat dia harus menyingkirkan Sian Li dari situ, harus dapat membiarkan gadis itu lolos. Dia tidak tahu betapa ketika semua orang menyerbu keluar, Ji Kui, orang pertama dari Pek-lian Sam-li, mendekati Lulung Lama dan membisikkan sesuatu yang membuat Lulung Lama mengerutkan alisnya dan nampak terkejut dan marah.
Ki Bok mengerahkan seluruh kepandaiannya, berloncatan dengan cepat sekali dan dia mengetuk daun pintu pondok di mana Sian Li dan Yo Han tinggal. Enam orang petugas jaga segera menghampirinya dari tempat penjagaan, juga ada belasan orang muncul dari tempat persembunyian. Ternyata pondok itu dijaga ketat sehingga kalau penghuninya hendak melarikan diri, maka tentu usaha itu akan ketahuan. Akan tetapi ketika para petugas itu mengenal Ki Bok, mereka memberi hormat dan segera mundur kembali setelah Ki Bok memberi isarat.
Sian Li dan Yo Han tidak tidur. Mereka di kamar masing-masing duduk bersila dan menghimpun tenaga, menanti datangnya saat penyerbuan seperti yang diharapkan Yo Han. Ketika mereka mendengar ketukan pada daun pintu depan, keduanya yang memang selalu siap siaga, segera keluar dari dalam kamar. Yo Han memberi isarat kepada Sian Li untuk membuka daun pintu sedangkan dia menyelinap kembali ke dalam kamarnya. Sian Li maklum bahwa Yo Han ingin mengintai apa yang akan terjadi.
“Siapa di luar?” Sian Li bertanya dari balik daun pintu.
“Sian Li, ini aku, Ki Bok. Cepat buka ada urusan penting sekali,” terdengar suara Ki Bok berbisik dari luar pintu.
Mendenger ini, Sian Li cepat membuka daun pintu. Ki Bok masuk dan memandang ke sekeliling, wajahnya cemas.
“Ki Bok, ada apakah? Apa yang terjadi?" tanya Sian Li, memandang tajam.
“Di mana Yo-toako?” tanyanya lirih.
Sian Li menoleh ke arah kamar Yo Han. “Dia masih tidur, ada apakah?”
“Sian Li, keadaan gawat. Mereka hendak datang memaksamu bekerja sama dan kalau engkau menolak, mereka akan membunuhmu. Aku.... aku tidak mungkin dapat menolongmu, tidak mungkin mencegah mereka. Sekarang, kau ambillah keputusan, Sian Li. Maukah engkau membantu kami dan bekerja sama dengan kami?”
Sian Li mengerutkan alisnya.
“Engkau sudah tahu akan watakku, Ki Bok. Aku tidak mau bekerja sama dengan siapapun juga.”
“Kalau begitu, Sian Li, engkau harus cepat lari, sekarang juga. Mari kubantu engkau lolos dari sini. Cepat, mereka akan mengejar kita!” Ki Bok menyambar tangan Sian Li. “Kita melalui jalan belakang!”
Akan tetapi Sian Li merenggutkan tangannya hingga terlepas.
“Aku akan bertanya kepada Han-ko lebih dulu,“ katanya.
Pada saat itu, terdengar suara gaduh di luar pondok, suara banyak orang datang ke tempat itu. Wajah Ki Bok berubah.
“Celaka, mereka sudah datang. Sian Li mari cepat kita lari!”
Pada saat Sian Li meragu, Yo Han muncul dari dalam kamarnya.
“Pergilah menyelamatkan diri, Li-moi, biar aku yang akan menghadapi mereka dan menghadang mereka yang akan mengejarmu.”
Tadinya Yo Han sudah siap untuk mengajak Sian Li melarikan diri begitu penyerbuan tiba dan mempergunakan kesempatan selagi terjadi pertempuran sehingga mereka dapat meloloskan diri tanpa harus menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Akan tetapi agaknya kini keadaan berubah. Sebelum serbuan itu tiba, keselamatan Sian Li terancam.
“Tidak Han-ko. Aku akan tinggal di sini membantumu menghadapi mereka,” kata Sian Li.
“Li-moi, jangan bodoh! Musuh terlampau banyak Larilah dulu, aku akan menghalang mereka dan nanti akan menyusulmu. Saudara Ki Bok, kalau benar engkau mencintainya, cepat selamatkan adikku itu!” setelah berkata demikian, Yo Han berlari keluar sambil cepat mengenakan caping lebarnya yang tadi dia lipat dan sembunyikan di balik baju ketika dia memasuki perkampungan itu. Caping lebar yang bertirai itu menyembunyikan mukanya.
Ki Bok mencabut sabuk baja yang kedua ujungnya berpisau, lalu menodongkan sebatang pisaunya ke punggung Sian Li sambil berkata,
“Engkau pura-pura menjadi tawananku agar lebih mudah mengelabuhi mereka!” bisiknya. Tangan kanan menodongkan pisau, tangan kiri memegang pergelangan tangan Sian Li. Gadis itu maklum. Ia tidak dapat membantah lagi karena Yo Han telah berlari keluar dan ia mengerti akan maksud Ki Bok.
Biarpun hatinya amat mengkhawatirkan keselamatan Yo Han, namun ia harus mentaati keinginan Yo Han. Kalau ia membangkang dan nekat melawan, tentu hal itu bahkan membuat Yo Han harus repot melindunginya. Maka, ia pun menurut saja ketika Ki Bok menariknya melarikan diri keluar dari pondok itu melalui jendela kamar Yo Han yang berada di sudut belakang.
Ketika mereka meloncat keluar dari rumah itu, mereka melihat betapa dibelakang rumah itu pun sudah penuh dengan anak buah Hek I Lama yang memegang senjata. Melihat Cu Ki Bok, mereka tertegun, akan tetapi pemuda itu dengan tenang segera berkata,
“Kalian kepung dan jaga rumah ini, jangan biarkan siapapun keluar. Aku harus cepat mengamankan tawanan ini agar jangan sampai lolos!” Setelah berkata demikian, dengan sikap kasar dia menarik lengan Sian Li sambil menodongkan pisaunya ke tengkuk gadis itu. Para anak buah perkumpulan pendeta Lama yang memberontak terhadap Tibet itu saling pandang, akan tetapi mereka tidak berani mencegah Cu Ki Bok, apalagi mereka masih belum tahu apa artinya semua keributan itu. Mereka hanya melihat para pimpinan berlari menyerbu ke rumah pondok itu dari depan dan mereka mendapat perintah untuk mengepung pondok itu. Mereka hanya mendengar bahwa Sin-ciang Tai-hiap sudah menyelundup ke sarang mereka. Hal ini saja sudah cukup membuat mereka tegang. Siapa yang tidak akan merasa gentar mendengar bahwa Sin-ciang Tai-hiap, pendekar yang sudah mengalahkan dan mengakibatkan tewasnya Dobhin Lama itu berada diantara mereka?
Sin-ciang Tai-hiap atau Yo Han telah membuka daun pintu depan pondok itu, tepat pada saat semua orang yang tadi lari dari bangunan induk itu ke situ telah tiba di depan pondok. Banyak anak buah Hek I Lama memegang obor sehingga tempat itu menjadi terang. Suara berisik mereka itu seketika lenyap dan mereka orang diam, bahkan ada yang menahan napas saking tegang dan juga jerih. Mereka melihat pria bercaping lebar yang mukanya tersembunyi di balik tirai caping itu berdiri tegak di depan pintu, menentang mereka. Sosok tubuh yang mendatangkan ketegangan dan kegentaran itu sebetulnya biasa saja. Tubuh yang sedang dan tegap, dengan pakaian sederhana pula, tidak memegang senjata apa pun. Rambut hitam panjang terurai lepas. Mukanya sama sekali tidak nampak, akan tetapi sepasang mata di balik tirai tipis itu seperti mencorong menembus tirai tertimpa sinar obor yang bergerak-gerak. Sosok tubuh yang tidak mengesankan, akan tetapi karena semua orang tahu bahwa pendekar ini baru saja menyebabkan Dobhin Lama tewas, maka mereka menjadi gentar. Dari balik tirainya, Yo Han melihat bahwa pondok itu telah di datangi sedikitnya tiga puluh orang dan masih ada puluhan orang anak buah Hek I Lama berada di belakang rombongan itu. Dia melihat Pangeran Nepal Gulam Sing bersama Badhu dan Sagha, juga beberapa orang tosu Pek-lian-kauw, Hek-pang Sin-kai dan anak buahnya, beberapa Pendeta Lama yang agaknya menjadi pimpinan. Akan tetapi dia tidak melihat adanya Lulung Lama, juga tidak melihat Pek-lian Sam-li. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang amat berbahaya karena selain mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, memiliki pula ilmu sihir dan ahli menggunakan racun, juga mereka berjumlah banyak. Kiranya tidak mungkin dia seorang diri saja akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, kalau Sian Li sudah lolos, agaknya bukan tidak mungkin baginya untuk melarikan dan meloloskan diri dari kepungan mereka.
“Omitohud.... kiranya Sin-ciang Tai-hiap yang terkenal itu tidak datang melalui pintu gerbang depan seperti seorang gagah, melainkan secara curang menyelundup masuk seperti maling!” kata seorang pendeta Lama, seorang diantara para pembantu Lulung Lama sambil memegang sebatang tongkat pendeta berkepala naga yang lebih panjang dari pada tubuhnya yang tinggi.
“Losuhu, siapa yang curang agaknya perlu diteliti lebih jauh, aku ataukah perkumpulan Hek I Lama yang terdiri dari pendeta-pendeta yang sudah selayaknya bersikap jujur, adil dan mengharamkan perbuaan sesat. Ketua kalian, Dobhin Lama, telah menantangku untuk mengadu ilmu dengan taruhan bahwa kalau dia kalah, dia akan mengembalikan mutiara hitam dan membebaskan Liem Sian Lun. Kami bertanding dan Tuhan membimbingku sehingga ketua kalian kalah. Dobhin Lama telah dengan gagah mengakui kekalahan dan mengembalikan mutiara hitam, akan tetapi kalian tidak membebaskan Liem Sian Lun, bahkan secara curang sekali menawan Tan Sian Li. Nah, siapa yang curang?”
Tiba-tiba Gulam Sing mencabut goloknya yang melengkung, mengangkat goloknya itu tinggi di atas kepalanya dan dia pun setelah mendengar ucapan Yo Han melalui penterjemahnya, berteriak dalam bahasanya sendiri.
“Sin-ciang Ti-hiap, engkau ini manusia sombong! Engkau telah mengalahkan Dobhin Lama, akan tetapi hal itu terjadi karena dia sudah tua dan kehabisan tenaga. Kini engkau berani lancang menyusup ke sini seperti pencuri, jangan harap akan dapat keluar lagi hidup-hidup!”
Ketika ucapan itu hendak diterjemahkan, Yo Han mendahului.
“Aku mengerti apa yang kaukatakan, Pangeran Gulam Sing. Dan aku mengerti pula mengapa engkau dan gerombolanmu keluar dari Nepal sebagai orang-orang pemberontak pelarian. Kini engkau bergabung dengan Lama Jubah Hitam yang juga memberontak terhadap pemerintah Tibet, tentu hanya untuk mencari kawan saja agar kelak dapat membalas budi dan membantumu memberontak terhadap pemerintah Nepal!”
“Sin-ciang Tai-hiap, mati hidupmu di tangan kami dan engkau masih membuka mulut besar? Kepung dan keroyok!” teriak seorang pemimpin Hek I Lama dan Pangeran Nepal itu sudah mendahului dengan serangan golok melengkung yang amat tajam itu, disusul rekan-rekannya sehingga dalam beberapa detik saja hujan senjata telah menyerang ke arah tubuh Yo Han.
Yo Han maklum bahwa dia diserang oleh banyak orang pandai, maka dia mengerahkan gin-kangnya dan tubuhnya berkelebat begaikan seekor burung walet cepatnya, berloncatan dan mengelak dari hujan senjata yang menyambar dari segenap penjuru itu.
Dia harus memberi waktu kepada Sian Li untuk dapat lolos terlebih dahulu sebelum dia sendiri melarikan diri. Sebaliknya dia memancing datangnya semua tokoh di tempat itu agar pelarian Sian Li dapat berjalan lancar. Sian Lun telah tewas dan tidak perlu dipikirkan lagi. Sambil berloncatan mengelak, kaki tangannya bergerak dengan tamparan dan tendangan. Beberapa orang pengeroyok terpelanting. Usahanya memang berhasil.
Semua tokoh yang dirinya memiliki kepandaian yang tinggi saja yang hanya mengepung dengan senjata di tangan, tanpa berani lancang ikut mengeroyok.
Akan tetapi Yo Han tetap merasa khawatir karena belum juga nampak Lulung Lama dan Pek-Sian Sam-Li ikut mengeroyok. Dia khawatir kalau-kalau empat orang yang paling lihai itu menjadi penghalang bagi lolosnya Sian Li yang tadi dibantu oleh Cu Ki Bok.
Kekhawatiran Yo Han itu memang terbukti benar, Cu Ki Bok, berhasil membawa Sian Li lari sampai ke dekat pagar bambu runcing dan tidak pernah ada penjaga yang berani menghalanginya. Mereka berhenti di bawah pagar bambu runcing.
“Nah, engkau loncatlah ke atas dan cepat tinggalkan tempat ini, Sian Li,” kata Cu Ki Bok, suaranya agak gemetar.
Sian Li memegang tangan pemuda itu. Ia dapat mendengar getaran suara itu dan ia pun terharu. “Akan tetapi bagaimana dengan engkau sendiri, Ki Bok? Mereka akan tahu bahwa engkau telah membebaskan aku, dan tentu engkau akan celaka....”
Ki Bok tersenyum dan menggeleng kepala.
”Aku cukup penting bagi perjuangan Suhu dan kawan-kawan. Kesalahanku itu kecil saja karena engkau bukanlah orang Mancu, bukan musuh penting. Sudahlah, aku dapat menjaga diriku sendiri, Sian Li kau pergilah....!”
Sian Li melepaskan pegangan tangannya, melangkah ke arah pagar bambu, akan tetapi terhenti lagi dan menengok.
“Ki Bok....” ia meragu.
“Ada apa lagi, Sian Li. Cepat-cepatlah, jangan sampai mereka datang mengejar.”
“Aku hanya ingin minta maaf padamu....”
“Minta maaf? Untuk apa?” Ki Bok memandang heran.
“Engkau begitu mencintaiku dan sudah kaubuktikan dengan pertolongan ini, akan tetapi aku....aku tidak dapat membalas cintamu. Maafkan aku, Ki Bok.”
Cu Ki Bok tertawa, namun suara ketawanya sumbang,
“Sudah nasibku Sian Li, cinta tak dapat bertepuk sebelah tangan. Engkau tidak bersalah. Cinta tidak dapat dipaksakan, hanya aku yang tidak tahu diri. Nah, pergilah dan jangan pikirkan aku lagi....”
Tiba-tiba mereka melihat beberapa bayangan berkelebat dan Ki Bok terbelalak ketika melihat bahwa gurunya, Lulung Lama, ketiga Pek-Lian Sam-li dan belasan orang pembantu mereka telah mengepung tempat itu!
“Omitohud, tidak kusangka bahwa muridku yang paling kupercaya, sekarang bahkan mengkhianatiku! Sungguh seperti memelihara anak harimau, ketika kecil dan lemah dirawat dan dipelihara, setelah besar dan kuat hendak menubruk pemeliharanya sendiri. Engkau murid murtad!”
“Suhu, teecu hendak membebaskan Nona Tan Sian Li karena ia tidak bersalah, dan karena teecu tidak tega melihat ia celaka. Suhu, ia bukan musuh kita, dan membebaskannya tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan perjuangan kita. Bagaimana Suhu dapat mengatakan bahwa teecu murtad dan pengkhianat? Suhu, kalau Suhu menghendaki agar perjuangan kita mendapat dukungan para pendekar di dunia kang-ouw, sebaiknya Suhu membebaskan Nona ini.”
Terdengar suara tawa merdu, disambung suara Ji Kim, orang ke tiga Pek-lian Sam-li yang cantik manis dan lincah.
“Hi-hik, apakah Losuhu masih belum mengerti? Muridmu itu telah tergila-gila kepada gadis ini, dan orang yang tergila-gila seperti dia itu mau berbuat apa saja untuk orang yang dicintainya. Kalau perlu melawan guru sendiri demi membela wanita yang dicintainya, heh-heh!”
“Benar sekali, Losuhu. Muridmu ini tidak ada harganya sama sekali, bahkan berbahaya karena sewaktu-waktu dia dapat mengkhianati kita,” kata Ji Kui.
Cu Ki Bok marah sekali dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka tiga orang wanita itu.
“Pek-Lian Sam-li, kalian ini hanya tamu akan tetapi tidak tahu diri! Aku tahu mengapa kalian membenciku, karena aku tidak sudi melayani rayuan kalian, bukan? Kalian sungguh menjemukan, kalian perempuan-perempuan hina yang berkedok pejuang!”
“Ki Bok tutup mulutmu!” Lulung Lama membentak.
Sian Li yang sejak tadi mendengarkan saja, kini melangkah maju dan ia pun berseru nyaring. “Ucapan Ki Bok benar! Tiga orang wanita jalang ini tak tahu malu! Ki bok seribu kali lebih berharga daripada mereka ini, Losuhu.”
“Hi-hik, engkau sudah mau mampus masih banyak lagak!” bentak Ji kui, dan bersama adiknya ia sudah menyerang ke arah Sian Li. Gadis berpakaian merah ini, bergerak cepat, mengelak dan biarpun ia bertangan kosong, ia membalas dengan serangan yang dahsyat.
“Ki Bok, pinceng tidak mungkin dapat membiarkan engkau kelak mengkhianatiku. Nah, terimalah hukumanku ini!’ Pendeta Lama itu menerjang kedepan dan menghantam dengan tangan kanan ke arah kepala murid sendiri.
“Suhu....!” Ki Bok berseru dan cepat melempar tubuhnya ke belakang. Biarpun dia sudah mengelak cepat, namun angin pukulan itu masih menyambar dahsyat dan tubuhnya terjengkang dan terguling-guling sampai lima meter lebih.
“Ki Bok....! Losuhu engkau tidak boleh membunuhnya!” Sian Li berteriak, akan tetapi tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu sudah menyerangnya dari tiga penjuru dan biarpun ia dapat menangkis dan mengelak, tetap saja ia terhuyung ke belakang. Seorang penjaga yang memegang pedang menyambutnya dengann tusukan pedangnya, Sian Li adalah seorang gadis gemblengan. Biarpun ia kurang pengalaman dan ilmu-ilmunya belum masak benar, namun ia telah mewarisi ilmu-ilmu hebat. Ketika ada angin tusukan pedang menyambar tubuh bagian iga dari samping, ia masih dapat menekuk tubuhnya sehingga pedang lewat dekat iganya, dan kakinya menendang, pergelangan tangan yang memegang pedang itu terkena sambaran ujung kakinya. Tangannya juga cepat merenggut dan pedang itu sudah berpindah ke tangannya! Begitu memegang pedang, senjata menyambar dan penyerangnya tadi pun roboh oleh pedangnya sendiri.
Dengan pedang di tangan, Sian Li mengamuk, memainkan Liong-siauw Kiam-sut dengan pedang rampasan itu. Namun Pek-lian Sam-li yang juga sudah menggunakan pedang, mengepung dan megeroyoknya, membuat Sian Li tak mungkin lagi dapat mendekati Ki Bok lagi.
Pemuda itu bangkit berdiri setelah tadi terguling-guling, hanya untuk melihat suhunya sudah berdiri di depannya, kini dengan sepasang senjata gelang roda besar di kedua tangan, matanya mencorong marah, penuh nafsu membunuh.
“Suhu, ampunkan teecu....” Cu Ki Bok meratap. Dia tidak takut mati konyol di tangan gurunya sendiri, hanya untuk kesalahan sekecil itu. Kalau diingat betapa sejak kecil dia diperlakukan dengan baik oleh Lulung Ma, sungguh penasaran kalau sekarang terancam maut di tangan orang yang selama ini dianggap sebagai pengganti orang tuanya, yang menyayang dan disayangnya.
Agaknya Lulung Lama juga tidak tega untuk membunuh pemuda yang selama ini menjadi tumpuan harapan dan yang disayangnya, selama ini setia kepadanya itu, maka dia nampak ragu-ragu.
“Losuhu, ingat, dia agaknya pun berbaik dengan Sin-ciang Tai-hiap. Dia berbahaya, seperti musuh dalam selimut!” teriak Ji Kim yang merasa kecewa dan sakit hati karena selamanya baru sekali ia dan encinya ditolak pria, yaitu ketika mereka gagal merayu Ki Bok.
Mendengar teriakan ini bangkit kembali kemarahan Lulung Lama. Memang muridnya ini yang menerima Yo Han.
“Mampuslah....!” bentaknya dan dia pun menyerang dengan sepasang rodanya. Ki Bok terkejut bukan main, berusaha untuk mengelak. Dia tetap tidak mau melawan gurunya dan hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan diri dari cengkeraman maut. Namun, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan gurunya, maka sebuah tendangan kaki Lulung Lama mencium lutut kanannya dan dia pun terpelanting.
“Sian Li, larilah.... cepat....!” Dia masih sempat berteriak sebelum sebuah roda di tangan kiri Lulung Lama menghantam kepalanya dan pemuda itu tewas seketika. Lulung Lama berdiri seperti patung, memandang ke arah pemuda yang kepalanya retak dan tewas itu, dan baru dia merasa menyesal bukan main.
“Ki Bok.... omitohud.... apa yang kulakukan ini? Ki Bok....” dia mengeluh.
lanjut--->

Tidak ada komentar:

Posting Komentar